Rabu, 04 April 2018

Islam dan Penciptaan Manusia Dalam Tafsir


1.     An-Nisa ayat 1
يَٰٓأَيُّهَا ٱلنَّاسُ ٱتَّقُواْ رَبَّكُمُ ٱلَّذِي خَلَقَكُم مِّن نَّفۡسٖ وَٰحِدَةٖ وَخَلَقَ مِنۡهَا زَوۡجَهَا وَبَثَّ مِنۡهُمَا رِجَالٗا كَثِيرٗا وَنِسَآءٗۚ وَٱتَّقُواْ ٱللَّهَ ٱلَّذِي تَسَآءَلُونَ بِهِۦ وَٱلۡأَرۡحَامَۚ إِنَّ ٱللَّهَ كَانَ عَلَيۡكُمۡ رَقِيبٗا ١
Hai sekalian manusia, bertakwalah kepada Tuhan-mu yang telah menciptakan kamu dari seorang diri, dan dari padanya Allah menciptakan isterinya; dan dari pada keduanya Allah memperkembang biakkan laki-laki dan perempuan yang banyak. Dan bertakwalah kepada Allah yang dengan (mempergunakan) nama-Nya kamu saling meminta satu sama lain, dan (peliharalah) hubungan silaturrahim. Sesungguhnya Allah selalu menjaga dan mengawasi kamu.
            Didalam ayat ini dibahas enam masalah:
            Pertama: Firman Allah يَٰٓأَيُّهَا ٱلنَّاسُ ٱتَّقُواْ رَبَّكُمُ ٱلَّذِي خَلَقَكُم “Hai sekalian manusia bertakwalah kepada Tuhanmu yang telah menciptakan kamu.”
            Dalam pembahasan surah Al-Baqarah, telah dijelaskan makna kata ٱلنَّاسُ , begitu pula arti kata ٱلزَوج, الخَلقُ, الرَّبُّ, التَّقْوَى  dan البَثُ  oleh karena itu penjelasan tentang makna kata-kata tersebut tidak perlu diulangi disini, Ayat ini mengingatkan kembali manusia akan penciptaannya.
            Firman Allah, وَٰحِدَةٖ “Dari diri yang satu” disebutkan dalam pola ta’nits (kata ynag menunjuk pada jenis perempuan), karena mengikuti kata sebelumnya yaitu نَّفۡسٖ meskipun yang dimaksud adalah mudzakkar. Kalimat itu bisa juga diungkapkan dengan مِّن نَّفۡسٖ وَٰحِدَةٖ untuk menjaga keaslian kalimat tersebut, dan maksud النَّفسُ adalah Nabi Adam A.S.
            Mujahid dan Qatadah berkata, “Kalimat tersebut menurut Qira’ah Ibnu Abu Ablah adalah وَٰحِدٍ tanpa menyebutkan huruf ha.
            Firman Allah وَبَثَّ “Memperkembangbiakkan”, di ayat lain, Allah SWT berfirman  وَزَرَابِيُّ مَبۡثُوثَةٌ ١٦ “dan permadani-permadani yang terhampar”. (Q.S Al Ghaasyiyah [88]: 16), dan pembahasan tentang lafazh ini telah dijelaskan dalam surah Al Baqarah.
            Firman Allah مِنۡهُمَا “Dari keduanya” maksudnya dari Adam dan Hawa. Mujahid berkata, “Hawa diciptakan dari tulang rusuk Adam yang bengkok”. Hal ini berdasarkan sabda Nabi SAW:
خُلِقَتِ الْمَرْأَةُ مِنْ ضِلَعٍ عَوْجَاءَ
            “Wanita diciptakan dari tulang rusuk yang bengkok.”
            Firman Allah رِجَالٗا كَثِيرٗا وَنِسَآءٗۚ “Laki-laki dan peremuan yang banyak”. Maksudnya, meliputi keturunan Adam dan Hawa, baik yang berjenis kelamin pria maupun wanita. Oleh karena itu, al khuntsa (yang memiliki dua kelamin) tidak termasuk bagian dari kedua jenis itu. Meskipun demikian ia memiliki kecenderungan sifat dan perilaku yang dapat mengembalikan identitas jati dirinya yang sebenarnya, maka ketika itu ia bisa diidentifikasi sebagai pria atau wanita, seperti yang telah dijelasakan sebelumnya dala surah Al Baqarah, berdasarakan pertimbangan kekurangan atau kelebihan anggota tubuh.
            Kedua: Firman Alah SWT وَٱتَّقُواْ ٱللَّهَ ٱلَّذِي تَسَآءَلُونَ بِهِۦ وَٱلۡأَرۡحَامَۚ “Dan bertakwalah kepada Allah yang dengan (mempergunakan) nama-Nya kamu saling meminta satu sama lain, dan (peliharalah) hubungan silaturrahim.” Pengulangan kata takwa disini merupakan penekanan dan peringatan kepada setiap jiwa yang diperintahkan untuk memperhatikan hal tersebut, sedangkan kata ٱلَّذِي “yang” berada dalam posisi nashab (kata yang akhirnya diberi baris fathah) karena mengikuti na’at (kata sifat) sebelumnya. Lafazh ٱلۡأَرۡحَامَۚ (hubungan silaturrahim) berkedudukan sebagai ma’thuf. Yang maknanya, bertakwalah kepada Allah dikala kmau berbuat maksiat dan bertakwalah kepada Allah dalam rangka memelihara hubungan silaturrahim dikala kamu memutuskannya. Para ulama Ahlu Madinah membaca lafazh تَسْآءَلُونَ dengan cara mengidghamkan huruf ta kedalam huruf sin تَسَآءَلُونَ . Sedangkan Ulama Kufah membacanya dengan membuang huruf ta disebabkan bertemunya dua ta dan mentakhfifkan pengucapan huruf sin, سَآءَلُونَ karena maknanya dapat dipahami dengan jelas sebagaimana firman Allah SWT وَلَا تَعَاوَنُواْ عَلَى ٱلۡإِثۡمِ وَٱلۡعُدۡوَٰنِۚ  “Dan tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan takwa, dan jangan tolong-menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran.” (Q.S Al Maidah [5]: 2), dengan demikian juga pada lafazh تَنَزَّلُ dan yang sama dengannya.
            Ibrahim An-Nakha’i, Qatadah, Al A’masy, dan Hamzah membaca lafazh ٱلۡأَرۡحَامَۚ dengan mentakhfidkannya (kasrah). Hal ini juga merupakan pendapat para ulama Nahwu. Sedangkan menurut pendapat ulama Bashrah, mengkasrahkan qira’ahnya merupakan sebuah kekeliruan dan tidak benar lafazh tersebut diturunkan dengan qira’ah tersebut. Hal senada juga diungkapkan oleh ulama Kufah, mereka bertkata, “membaca dengan cara tersebut termasuk qira’ah yang buruk, hanya saja mereka tidak menambahkan komentar mereka dan juga tidak menyebutkan alasan keburukan qira’ah tersebut.”
            An-Nuhaa berkata, “Seperti itulah yang aku ketahui.”
            Sibawaih berkata, “kalimat tersebut tidak boleh di athafkan kepada dhamir (kata ganti) yang tidak disebutkan secara jelas dan akhir katanya berbaris kasrah, karena akhir kata tersebut berbaris tanwin, dan tanwin tidak boleh diidhafatkan kepada kata yang akhirnya berbaris kasrah.
            Sekelompok ulama berpendapat bahwa kalimat ini diathafkan kepada kata ganti yang jelas, karena kata tersebut biasanya digunakan untuk meminta,
            Sekelompok ulama berependapat bahwa kalimat ini diathafkan kepada ganti yang jelas, karena kata tersebut biasanya digunakan untuk meminta, seperti سَأَلْتُكَ بِاللَّهِ وَ الأَرْحَامِ  “Aku meminta kepadamu untuk menjaga hubungan silaturrahim atas nama Allah.” Seperti itulah lafazh tersebut ditafsirkan oleh Al Hasan An-Nakha’i dan Mujahid. Ini juga merupakan pendapat yang shahih dalam masalah ini dan dijelaskan selanjutnya.
            Namun pendapat ini dianggap lemah oleh beberapa ulama diantaranya Az-Zujaj, mereka berpendapat bahwa tidak pantas mengathafkan kata benda yang disebutkan secara jelas dengan kata yang tidak disebutkan dengan jelas, contohnya firman Allah SWT: فَخَسَفۡنَا بِهِۦ وَبِدَارِهِ ٱلۡأَرۡضَ “Maka Kami benamkanlah Karun beserta rumahnya ke dalam bumi.” (Q.S Al Qashash [28]: 81). Demikian juga pada kalimat مَرَرْتُ بِهِ وَ زَيْدٌ yang menurut Az-Zujaj –dari Al Majini-, sebab ma’thuf dan ma’thuf ‘alaaih saling berkaitan satu sama lain, oleh karena itu yang satu tidak boleh menempati kedudukan yang lain. Hal itu berlaku juga pada kalimat مَرَرْتُ بِزَيْدٍ وَ بِكَ dan زَيْدٍ وَ بِكَ مَرَرْتُ . Di sisi lain, Sibawaih menganggap kalimat tersebut tidak pantas dan tidak boleh dipergunakan kecuali didalam syair, seperti berikut ini:
فَا اليَوْمُ قَرَّبْتَ تَهْجُوْنَا وَ تَشْتِمُنَا                   فَاذْهَبْ فَمَا بِكَ وَ الأَيَّامِ مِنْ عَجَبٍ
Pada hari kamu mendekat,  kami dicerca dan dihina
Maka enyahlah engaku tidaklah hari-harimu mendapatkan
Penghormatan dan juga orang-orang yang mengagumimu.
            Yaitu dengan mengathafkan kata الأَيَّامِ pada huruf kaf yang sebelumnya didahului huruf ba tanpa menyebutkan kembali huruf ba karena kondisi darurat. Hal yang sama juga diutarakan oleh penyair lainnya:
نُعَلِّقُ فِى مِثْلِ السَّوَارِى سُيُفَنَا            وَمَا بَيْنَهُمَا وَ الْكَعْبِ مَهْوَى نَفَانِفُ
Kami menggantungkan pedang kami pada sarungnya
Dan diantaranya terdapat taburan kemuliaan dan ketakutan.
            Dengan mengathafkan الْكَعْبِ kepada ganti yang berada diantara keduanya sebab darurat susunan kalimat syair.
            Abu Ali berkata: pendapat tersebut lemah dalam pengkiasannya, Abu Al Abbas Al Mubarrad berkata dari Al Farisi didalam kitab At-Tadzkirah Al Mahdiyyah: Andaikata aku shalat dibelakang imam yang membaca وَمَآ أَنتُم بِمُصۡرِخِيَّ  dan kamupun sekali-kali tidak dapat menolongku. (Q.S Ibrahim [14]: 22), dan juga firman Allah SWT وَٱتَّقُواْ ٱللَّهَ ٱلَّذِي تَسَآءَلُونَ بِهِۦ وَٱلۡأَرۡحَامَۚ “Dan bertakwalah kepadaAllah yang dengan (mempergunakan) nama-Nya kamu saling meminta satu sama lain dan (peliharalah) hubungan silaturrahim” niscaya aku akan mengambil sendalku dan pergi berlalu. Az-Zujaj berkata: qira’ah hamzah dalam pembacaan ayat ini adlaah lemah dan buruk dalam bahasa Arab dan hal tersebut merupakan kekeliruan yang besar dalam masalah prinsip-prinsip agama, sebab Nabi SAW bersabda لَا تَحْلِفُ بِابَائِكُمْ “Jangan sekali-kali kalian bersumpah dengan nama bapak-bapak kamu”, bersumpah dengan nama bapak saja tidak dibenarkan apalagi dengan nama Ar-Rahman dan menurut saya Ismail bin Ishak berpendapat bahwa bersumpah dengan nama selain Allah merupakan perkara yang menyalahi prinsip-prinsip agama dan hal tersebut hanya boleh dengan menggunakan nama Allah saja.
            An-Nuhas berkata: sebagian ulamam yang berpendapat kata ٱلۡأَرۡحَامَۚ  sebuah sumpah adalah pendapat yang keliru dipandang dari sisi makna dan I’rab, karena hadits Nabi SAW menunjukkan bahwa kata itu berbentuk nashab, diriwayatkan dari Syu’bah, dari Aun bin Abu Juhaifah, dari Al Mundzir bin Jarir, dari bapaknya, ia berkata: Suatu hari dikala kami bersam Nabi SAW, datanglah aku melihat perubahan wajah Rasulullah SAW tatkala melihat kemiskinan mereka, setelah itu beliau menunaikan shalat Zhuhur dan berkhutbah dihadapan orang-orang, beliau membaca firman Allah SWT يَٰٓأَيُّهَا ٱلنَّاسُ ٱتَّقُواْ رَبَّكُمُ sampai kepada kalimat ٱلۡأَرۡحَامَۚ  selanjutnya beliau bersabda “Seorang laki-laki yang bersedekah dengan uang dinarnya, seorang yang bersedekah dengan uang dirhamnya dan seorang lagi bersedekah sengan satu sha’ tamar,” kemudian ia menyebutkan redaksi hadits tersebut, dilihat dari sisi makna tersebut berbentuk nashab karena kalimat itu menganjurkan mereka untuk saling menjalin kasih sayang dengan menjalin silaturrahim diantara mereka, dan juga terdapat hadits shahih dair Nabi SAW, “Barang siapa bersumpah hendaknya ia bersumpah dengan nama Allah atau ia diam.”
            Hujjah ini menepis pendapat yang mengatakan bahwa arti dari ayat tersebut adalah: “Aku meminta kepadamu dengan nama Allah dan demi silaturrahim yang telah terjalin”, Abu Ishak berkata: arti dari firman Allah SWT تَسَآءَلُونَ بِهِۦ bermakna engali meminta hak-hakmu dengan nama-Nya, dan pada kalimat tersebut tidak dibenarkan mentakhfidhkan maknanya.
            Saya (AL Qurthubi) katakan: Hal ini yang sengaja tidak dibahas oleh para ulama (tawaqquf) yang mengerti tentang pengucapan yang benar dengan melarang membacanya dalam bentuk takhfidz ٱلۡأَرۡحَامِۚ  yang mana hal ini merupakan pendapat yang dipilih oleh Ibnu Athiyyah, sedangkan pendapat ini ditolak oleh Imam Abu Nashar Abdurrahim bin Abdul Karim AL Qusyairi dengan tetap menjadikannya sebagai athaf dimana ia berkata: perumpamaan kalimat ini tidak dibenarkan oleh para ulama, karena bacaan yang dibaca para ulama ahli qira’at berdasarkan apa yang berasal dair Nabi SAW secara mutawatir dan dikenal oleh para ahlinya, dan umambacanya dengan mentakhfidkannya adalah haram sebab para ulama sastra arab dan Nahwu pun tidak melakukannya dan juga standar penggunaan bahasa Arab bersumber dari Nabi SAW, sebab tidak seorangpun meragukan kefasihan beliau didalam berbahasa dan apa yang terdapat didalam hadits tersebut masih perlu diteliti lagi, dengan alasan bahwa Nabi SAW pernah bersabda kepada Abul Usyara’: “Demi ayahmu! Andaikata engkau menusuk pada lambungnya”.
            Adapun pelarangan tersebut hanya berlaku pada sumpah selain nama Allah, dan bertawasul dengan selain-Nya menggunakan kamuliaan kasih sayang dan silaturrahim tidak terlarang.
            Al Qusyairi berkata: pendapat lain mengatakan bahwa bentuk kalimat tersebut merupakan bentuk sumpah dengan menggunakan kalimat Ar-Rahim yang artinya “Berrtakwalah kepada Allah SWT dan hubungan silaturrahim atas nama-Nya”, sebagaimana engaku mengatakan: “Lakukanlah hal itu dan demi kewajiban kamu terhadap bapakmu” dan kalimat-kalimat seperti ini terdapat juga didalam Al Qur’an النَّجْمُ, وَ التِّيْنُ, لَعَمْرُكَ dan orang yang melakukannya berdosa.
            Saya (AL Qurthubi) katakan: hal tersebut tidak berdosa dilakukan, karena kalimat ٱلۡأَرۡحَامَۚ masih satu bentuk dengan kalimat-kalimat sumpah diatas, jadi bersumpah dengannya sama saja sebagaimana Allah bersumpah dnegan makhluknya yang manunjukkan ke-Esaan dan kemaha kuasaanya sebagai bentuk penegasan kalimat tersebut digandengkan dengan nama-Nya.
            Allah SWT boleh saja bersumpah dengan apa saja yang Ia inginkan dna membolehkan apa saja yang ia kehendaki seklaigus menjadikannya sebagai sumpah-Nya, oleh karena itu orang-orang arab bersumpah dengan nama kasih sayang, sehingga benarlah bahwa huruf ba yang merupakan kalimat proposisinya dihilangkan sebagaimana yang terdapat pada syair:
مَشَائِيْمُ لَيْسُوا مُصْلِحِيْنَ عَشِيْرَةً وَلَا نَاعِبٍ إِلَّا بِبَينٍ غُرَابُهَا
Sikap pesimis tidaklah memperbaiki masalah keluarga
Begitu pula dengan meramal kecuali dengan menjelaskan (memperbaiki) masalahnya
            Walaupun kalimat tersebut tidak menampakkan huruf ba, namun ia boleh di jar kan, Ibnu Ad Dahhan Abu Muhammad Said bin Mubarak berkata: para ulama Kuffah membolehkan mengathafkannya (menggandengkannya) secara ternag-terangan dengan bentuk yang di jar kan dan hal tersebut menurut mereka tidak terlarang berdasarkan sebuah syair:
فَا ذْهَبْ فَمَا بِكَ وَ الاَيَّامِ مِنَ العَجَبِ
Maka enyalah engkau, tidaklah hari-harimu mendapatkan penghormatan dan juga orang-orang yang mengagumi
            Syair lain:
وَمَا بَيْنَهُمَا وَ الْكَعْبِ مَهْوَى نَفَانِفُ
Dan diantaranya terdapat taburan kemuliaan dan ketakutan
            Lainnya:
فَحَسْبُكَ وَالضَحَاكِ سَيْفٌ مُهَنَّدُ
Cukuplah kamu berkelakar dengan pedang India
            Penyair berkata:
وَ قَدْ رَامَ افَاقَ السَّمَاءِ فَلَمْ يَجِدْ لَهُ مَصْعَدًا فِيْهَا وَ لَا الأَرْضِ مَقْعَدًا
Ia menghendaki puncak langit namun tidak menemukan tangga menuju kesana dan juga ia tidak menemukan tangga memnuju kesana dan juga ia tidak menemukan tempat tempat duduk (tinggal) di bumi.
            Penyair lain berkata:
مَا إنْ بِهَا وَ الْأُ مُورِ مِنْ تَلَفَ            مَا حُمَّ مِنْ أَمْرِ غَيْبِهِ وَقَعَأ
Tidaklah urusan-urusan yang gagal, pastilah telah ditetapkan-Nya
Dan tidaklah suatu urusan yang gaib diputuskan-Nya, pastilah akan terjadi.
            Syair:
أَمُرُ عَلَى الكَتِيْبَةِ لَسْتُ أَدْرِى             أَخَتْفِيَ كَانَ فِهَا أَمْ سِوَاهَا
Aku berjalan melewati sekelompok pasukan berkuda
Sedangkan aku tidak tahu aku (harus) melepaskan sendalku ketika itu (untuk menghormati mereka) atau tidak
            Sementara kata سِوَاهَا dikasrahkan pada tempatnya karena huruf fii, berdasarkan bait-bait diatas sebagian ulama berhujah dengan firman Allah SWT وَجَعَلۡنَا لَكُمۡ فِيهَا مَعَٰيِشَ وَمَن لَّسۡتُمۡ لَهُۥ بِرَٰزِقِينَ ٢٠ “Dan Kami telah menjadikan untukmu di bumi keperluan-keperluan hidup, dan (Kami menciptakan pula) makhluk-makhluk yang kamu sekali-kali bukan pemberi rezeki kepadanya” (Q.S Al Hijr [15]: 20), yaitu dengan mengathafkannya kepada kaf dan mim, namun Abdullah bin Yazid membaca dengan merafa’kannya وَٱلۡأَرۡحَامَۚ  karena posisinya sebagai mubtada’ sedangkan khabarnya Muqaddar (diperkirakan), dan perkiraannya adalah: Wal Arhamu Ahlun an tuushala (keluarga dekat lebuh berhak untuk disambung), atau mungkin dipergunakan hanya sebagai unsur pengindah kalimat saja, karena sebagian orang arab terkadang merafakan kalimatnya hanya sekedar pengindahan kata (Ighra’) sebagaimana bait yang dilantunkan oleh AL Farra’:
إِنَّ قَوْمًا مِنْهُمْ عُمََيْرُ وَ أَشْبَا             هُ عُمَيْرٍ وَ مِنْهُمْ السَفَّاحُ
لَجَدِرُونَ بِاللِقَاءِ إِذَا قَا           لَ أَخُو النَجْدَة السَلاحُ السلاحُ
Sesungguhnya diantara kelompok itu terdapat seorang yang menyerupai Umair dan orang yang suka menumpahkan darah (membunuh)
Mereka bersembunyi darinya jika pemimpin perang berkata: (angkat) sejata-senjata.
            Pendapat lain juga mengatakan: bahwa وَٱلۡأَرۡحَامَۚ   yang dinashabkan karena athaf dengan posisi ia sendiri, sebab posisinya nashab, sebagaimana lantunan seorang penyair:
فَلَسْنَا بِالجِبَلِ وَ لَا حَدِيْدَا
Kami bukanlah gunung ataupun besi
            Sedangkan ulama yang mengatakan: أَنْشُدُكَ بِا للَّهِ وَ الرَّحِمَ “Demi Allah dan silaturrahim aku bernyanyi untukmu” jelas bahwa kalimat ini bentuknya nashab dengan kata ganti kata kerja sebagaimana yang telah kami sebutkan.
            Ketiga: Telah menjadi kesepakatan seluruh umat bahwa silaturrahim adalah hal yang wajib ditunaikan dan memutuskannya adalah haram hukumnya, berdasarkan hadits shahih bahwa Nabi SAW bersabda kepada Asma tatkala ia bertanya kepada beliau: “Apakah saya harus menyambung silaturrahim dengan ibuku ? beliau menjawab: “ya, sambunglah silaturrahim dengan ibumu.””
            Rasulullah SAW tetap memerintahkan untuk menjaga silaturrahim dengan ibunya walaupun ibunya berbeda akidah dengannya, dan penegasan hadits ini menunjukkan keutamaan bersilaturrahim meskipun terhadap orang kafir, sampai-sampai Abu Hanifah dan sahabat-sahabatnya berpendapat boleh mewariskan garta kepada kerabat dan handai taulan apabila si mayit tidak memiliki keluarga terdekat maupun jauh, dan kerabat-kerabat yang telah memerdekakan mereka dari perbudakan karena kemuliaan kasih sayang, alasan mereka berdasarkan hadits yang diriwayatkan oleh Abu Daus dari Nabi SAW, beliau bersabda: “Barang siapa yang meiliki (budak yang berasal dari) kerabat dekat maka ia (budaj tersebut) adalah merdeka.
            Ini merupakan pendapat kebanyakan para uklama, sebagaimana yang diriwayatkan dari Umar bin Khattab dan Abdullah bin Mas’ud, dimana tidak seorangpun sahabat berbeda pendapat dengan mereka berdua, dan ini juga merupakan pendapat Al Hasan Al Bashri, Jabir bin Zaid, Atha’, Asy-Sya’bi, dan Az-Zuhri, juga merupakan pendapat Ats-Tsauri, Ahmad dan Ishak. Para ulama kita (Maliki) berbeda pendapat tentang masalah ini dalam tiga hal, pertama: khitbahnya ditujukan kepada bapak dan kakek, kedua: keluarga yang berada digaris sebelah keturunan mereka, yaitu saudara-saudara, ketiga: sebagaimana perkataan Abu Hanifah, hanya saja Asy-Syafi’i berpendapat budaj tersebut tidak dimerdekakan kecuali anak-anaknya, bapak dan ibunya, bahkan tidak boleh memerdekakan saudaranya dan juga salah satu dari kerabat-kerabat dan juga familinya.
            Pendapat yang paling shahih adalah pendapat pertama, berdasarkan hadits yang telah kami sebutkan sebelumnya yang juga diriwayatkan oleh At-Tirmidzi, An-Nasa’i, kemudian ia (At-Tirmidzi menilainya hasan jalur haditsnya, diriwayatkan pula hadits Dhamrah dari Sufyan, dari Abdullah bin Dinar, dari Ibnu Umar, ia berkata: Rasulullah SAW bersabda, “Barang siapa yang memiliki (budak yang berasal)kerabat dekat (keluarga) maka budak tersebut telah dimerdekakan”.
            Hadits ini kuat dan shahih penukilannya yang bersasal dari para perawi yang adil, tidak seorangpun dari para ulama hadits yang memandang buruk dan mengemukakan kecacatan hadits ini, selain itu pada akhir hadits, An-Nasa’i berkomentar: hadits ini mungkar.
            Pendapat lain mengatakan bahwa hadots ini diriwayatkan oleh Dhamrrah secara munfarid (sendiri) dan inilah yang dimaksud dengan makna mungkar dan syadz, oleh para ulama hadits sedangkan Dhamrah adalah perawi yang adil dan tsiqah, dan periwayatan seorang yang tsiqah secara munfarid tidak berpengaruh sama sekali pada keshahihan haditsnya.
            Keempat: Para ulama juga berbeda pendapat pada pembahasan kerabat yang berasal dari sauadra persusuan. Kebanyakan ulama berpendapat bahwa mereka tidak termasuk dalam nash hadits yang disebutkan diatas, Syarik Al Qadhi berpendapat, mereka dimerdekakan. Sedangkan Ahlu Zhahir (pengikut madzhab Dzahiri atau kelompok tekstual) dan sebagian Ahlul Kalam (mutakallimin) berpendapat bahwa seorang bapak yang statusnya sebagai budak apabila dibeli oleh anaknya maka ia tidak wajib memerdekakannya mereka berhujjah dengan sabda Nabi SAW: “Tidaklah seorang anak dapat membalas kebaikan orang tuanya kecuali jika ia menemukan bapaknya menjadi hamba sahaya kemudian ia membelinya dan memerdekakannya.”
            Mereka berkata: Apabila transaksi pembelinya sah maka kepemilikan tersebut sah, dan pemiliknya boleh melakukan apa saja dengan barang tersebut.
            Pendapat ini menurut saya disebabkan ketidaktahuan mereka terhadap maqashid asy-syari’ah (prinsip-prinsip dasar dan tujuan syari’ah) padahal Allah SWT berfirman وَبِٱلۡوَٰلِدَيۡنِ إِحۡسَٰنًاۚ “dan hendaklah kamu berbuat baik pada ibu bapakmu” (Q.S Al Israa’ [17]: 23), dimana pada ayat ini Allah SWT mengikutsertakan anatara ibadah seorang hamba dengan kewajiban berbakti kepada kedua orang tua, dan bukanlah termasuk berbakti apabila seorang anak membiarkan bapaknya menjadi budaknya dan tetap berada dibawah penguasaaannya, maka wajib baginya memerdekakan bapaknya walaupun dengan niat memilikinya berdasarkan hadits, فَيَشْتَرِيَهُ وَ يَعْتِقَهُ “Maka ia membelinya dan memerdekakannya”, atau karena hendak berbakti kepada kedua orang tua berdasarkan perintah ayat tersebut diatas.
            Adapun makna hadits dalam pandangan jumhur ulama bahwa usaha anak untuk membelinya tidak berbakti bapaknya langsung merdeka dan perintah syariat untuk memerdekakannya adalah hak preogratif anak tersebut, sedangkan khilaf ulama tentang anak yang memerdekakan bapaknya yang menjadi miliknya, dan alasan pendapat kelompok pertama berpegang pada Al Kitab dan Sunnah yang telah kami sebutkan sebelumnya.
            Alasan kelompok kedua, menyamakan perlakuan anatara kerabat dengan keluarga dekat sebagaimana pembahasan bapak yang dimerdekakan pada hadits diatas, dan tidak ada seornag yang paling dekat dengan anaknya dan kemungkinan tersebut bisa bapak ataupun saudaranya karena ia memiliki hubungan sedarah dari bapaknya, dan ia berkata: “saya adalah anak bapaknya.”
            Sedangkan kelompok ketiga berpegang hadits Dhamrah yang telah kami sebutkan sebelumnya.
            Kelima: Firman Allah: وَٱلۡأَرۡحَامَۚ   Ar-Rahim adalah nama yang melengkapi hubungan kekerabatan yang tidak membedakan antara famili dan kerabat lainnya, sedangkan Abu Hanifah menganggap hibah yang telah diberikan kepada kerabata dekat terlarang untuk diminta kembali, sebaliknya hal ini tidak berlaku kepada anak-anak dair paman, walaupun dalil qath’i tentang mereka sangat jelas dan hubungan mereka lebuh dekat berbeda dengan kerabat, oleh karena itu Abu Hanifah dan para pengikutnya menjadikannya sebagai dalil dibolehkannya keramat mendapatlan warisan, hak perwalian seorang budak dan lain-lain, sehingga kita dapat memahami dari pendapat beliau bahwa tambhana hukum terhadap hak seorang kerabat yang disandarkan kepada Al Qur’an tidaklah berdasar, karena nash yang menyatakan pembolehan pewarisan kepada mengisyaratkan kepada keluarga dar kalangan bapak dan ibu membolehkan mereka menerima hak pewarisan dan sebagainya apakah mereka itu anak-anaknya paman ataupun bibi.
            Keenam: Firman Allah: إِنَّ ٱللَّهَ كَانَ عَلَيۡكُمۡ رَقِيبٗا “Sesunguhnya Allah selalu menjaga dan mengawasi kamu,” yaitu, Maha Pemelihara. Ibnu Abbas dan Mujahid, Ibnu Zaid menafsirkannya: Maha mengetahui. Pendapat lain mengatakan رَقِيبٗا ditafsirkan hafizhan “pemelihara” dalam bentuk fa’il, sedangkan Raqib adlaah salah satu sifat Allah SWT, dan Raqib juga berarti penjaga yang senantiasa memantau, misalnya engkau mengatakan: “Raqabtu, arqubu riqbatan wa riqbaanan (aku menjaga dan melihat), dan marqab, artinya temoat yang tinggi lagi terhormat, yaiut tempat dimana seorang penjaga berdiri, dan raqib adalah bagian ketiga dari tujuh yang memiliki beberapa bagian lainnya, pendapat lain mengatakan bahwa Ar Raqib adalah salah satu nama ular, dan lafazh ini memiliki banyak makna, tergantung susunan kalimatnya.
2.     Al-Furqon ayat 59
ٱلَّذِي خَلَقَ ٱلسَّمَٰوَٰتِ وَٱلۡأَرۡضَ وَمَا بَيۡنَهُمَا فِي سِتَّةِ أَيَّامٖ ثُمَّ ٱسۡتَوَىٰ عَلَى ٱلۡعَرۡشِۖ ٱلرَّحۡمَٰنُ فَسۡ‍َٔلۡ بِهِۦ خَبِيرٗا ٥٩
59. Yang menciptakan langit dan bumi dan apa yang ada antara keduanya dalam enam masa, kemudian dia bersemayam di atas ´Arsy, (Dialah) Yang Maha Pemurah, maka tanyakanlah (tentang Allah) kepada yang lebih mengetahui (Muhammad) tentang Dia.
            Firman Allah SWT ٱلَّذِي خَلَقَ ٱلسَّمَٰوَٰتِ وَٱلۡأَرۡضَ وَمَا بَيۡنَهُمَا فِي سِتَّةِ أَيَّامٖ“Yang Menciptakan langit dan bumi dan apa yang ada antara keduanya dalam enam masa, kemudian Dia bersemayam di Arsy.” Sebagaimana yang di jelaskan dalam surah Al A’raf. Lafadz ٱلَّذِي berada dalam posisi khafadz (berharakat kasroh di akhir huruf) dan na’ath (kata sifat) kepada lafazh الْحَيِّ Allah kemudian berfirman, بَيۡنَهُمَا dan tidak mengatakan بَيۡنَهُنَّ, karena Allah menginginkan dua sifat dan dua macam.
            ٱلرَّحۡمَٰنُ فَسۡ‍َٔلۡ بِهِۦ خَبِيرٗا “(Dialah) Yang Maha Pemurah, maka tanyakanlah (tentang Allah) kepada yang lebih mengetahui (Muhammad) tentang Dia.”
Az Zujaj berkata, “Maknanya, maka tanyakanlah tentang-nya.” Dan ini telah dikisahkan oleh sekelompok ahli bahasa, bahwa ba’ berarti ‘an (tentang), sebagaimana Allah SWT berfirman, سَأَلَ سَائِلٌ بِعَذَابِ وَاقِعٍ Seseorang peminta telah meminta kedatangan adzab yang bakal terjadi.”
            Ali bin Sulaiman mengingkari dan berkata, “Para peneliti mengingkari  bahwa ba’ bararti ‘an, karena karena hal ini dapat merusak makna perkataan orang arab, lau laqiita fulaanan lalaqqaika bihi al asada (jjika kamu bertemu si fulan, niscaya dia dengan pertemuanmu itu akan mempertemukan dengan singa). Jadi ayat itu berarti, maka tanyakanlah dengan pertanyaanmu itu kepada-Nya, Mengetahui.”
            Demikian juga Ibnu Jabir berkata, “Al Khabiir (Yang Maha Mengetahui) adalah Allah SWT. Jadi, lafazh خَبِيرٗا nashab kepada  maf’ul bih dengan pertanyaan itu.”
            Menurut saya (Al Qurthubi), “Pendapat Az Zujaj mengeluarkan dari versi yang baik, yaitu bahwa Al Khabiir itu adalah bukan Allah, atau tanyakanlah tentangnya kepada yang lebih tahu dengannya, mengenai sifat dan asma”-Nya.”
            Ada yang mengatakan, “Maknanya, maka tanyakan untuknya tentang Yang Maha Mengetahui. Jadi ia nashab kepada haal dari ba’ yang disamarkan.
            Al Mahdawi berkata, “Tidak baik jika itu menjadi haal, karena haal tidak terlepas dari orang yang bertanya dan yang ditanya. Dan, juga tidak sah haal dari faa’il . Karena yang Maha Mengetahui selamanya. Al haal dalam kebanyakan perkara berubah dan berpindah, kecuali diarahkan bahwa ia adalah haal  yang menguatkan, seperti firman Allah SWT, وَهُوَ الحَقُّ مُصَدِّقًاSedang Al Qur’an itu (kitab) yang hak, yang membenarkan,maka ini diperbolehkan.
            Sedangkan الرَّحْمَانُmaka tentang rafa’nya ada tiga versi. Sebagai ganti dari dhamir yang terdapat dalam اسْتَوَى. Bisa juga marfu’ yang berarti Dia adalah Yang Maha Pengasih. Bisa juga marfu’ dengan mubtada’ dan Khabarnya adalah فَسۡ‍َٔلۡ بِهِۦ خَبِيرٗا. Bisa juga Khafadh yang berarti “Dan bertakwallah kepada Dzat Ynag Maha Hidup Yang Tidak Mati, Tuhan Yang Maha Pengasih.” Yang mana ia menjadi na’at dan bisa juga nashab kepada pujianoleh Abu Ubaid dan Abu Hatim.

3.     An-Nur ayat 45
وَٱللَّهُ خَلَقَ كُلَّ دَآبَّةٖ مِّن مَّآءٖۖ فَمِنۡهُم مَّن يَمۡشِي عَلَىٰ بَطۡنِهِۦ وَمِنۡهُم مَّن يَمۡشِي عَلَىٰ رِجۡلَيۡنِ وَمِنۡهُم مَّن يَمۡشِي عَلَىٰٓ أَرۡبَعٖۚ يَخۡلُقُ ٱللَّهُ مَا يَشَآءُۚ إِنَّ ٱللَّهَ عَلَىٰ كُلِّ شَيۡءٖ قَدِيرٞ ٤٥
45. Dan Allah telah menciptakan semua jenis hewan dari air, maka sebagian dari hewan itu ada yang berjalan di atas perutnya dan sebagian berjalan dengan dua kaki sedang sebagian (yang lain) berjalan dengan empat kaki. Allah menciptakan apa yang dikehendaki-Nya, sesungguhnya Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu.
            Firman Allah SWT:    وَاللَّهُ خَلَقَ كُلَّ دَابَّةٍ مِن مَّاءDan Allah telah menciptakan semua jenis hewan dari air.” Yahya bin Watstsab, Al A’masy, Hamzah, dan Al Kisa’I membaca وَاللَّهُ خَلَقَ كُلَّ dengan lafazh, وَاللَّهُ خَالِقُ كُلَّ yankni dengan idhafah. Sedangkan yang lain membacanya dengan lafazh           وَاللَّهُ خَلَقَ كُلَّ-yakni dengan bentuk fi’il.
            Menurut satu pendapat, kedua makna yang terkandung pada kedua qira’ah tersebut shahih. Allah Azza wa Jalla mengabarkan dua berita. Dalam hal ini, tidak boleh dikatakan bahwa salah satu dari kedua qira’ah itu lebih shahih daripada lainnya.
            Namun menurut satu pendapat, lafazh  خَلَقَitu digunakan untuk penciptaan sesuatu yang khusus, sedangkan lafazh خَالِقُ itu digunakan untuk penciptaan sesuatu yang umum. Contoh lafazhخَلَقَ yang digunakan untuk penciptaan sesuatu yang umum adalah firman Allah:ٱلۡخَٰلِقُ ٱلۡبَارِئُ Yang Menciptakan, Yang Mengadakan.” (Qs. Al Hasyr [59]:24)sedangkan contoh lafazh yang digunakan untuk untuk penciptaan yang khusus adalah firman Allah SWT:ٱلۡحَمۡدُ لِلَّهِ ٱلَّذِي خَلَقَ ٱلسَّمَٰوَٰتِ وَٱلۡأَرۡضَSegala puji bagi Allah yang telah menciptakan langit dan bumi.”(Qs. Al  An’am[61]:1) Demikian pula dengan firman Allah SWT :۞هُوَ ٱلَّذِي خَلَقَكُم مِّن نَّفۡسٖ وَٰحِدَةٖ Dialah yang menciptakan kamu dari diri yang satu.” (Qs. Al A’raf[7]:189).
Begitu juga seharusnya dengan firman Allah SWT: وَٱللَّهُ خَلَقَ كُلَّ دَآبَّةٖ مِّن مَّآءٖۖ  Dan Allah telah menciptakan semua jensi hewan dari air.”  Kata دَآبَّةٖ  adalah setiap hewan melata di muka bumi. Kata ini dibentuk dari kata, دَبَّ يَدِبُّ - دَابٌ   Huruf ha’ mubalaghah. Hal ini sudah dijelaskan dalam surah Al Baqarah. .
مِّن مَّآءٖۖ Dari air.” Berdasarkan firman Allah ini, maka jin dan malaikat tidak termasuk kedalam ayat ini. Sebab kita belum pernah mengetahui kalau mereka itu diciptakan dari air. Yang benar, dalam hadits shahih dinyatakan bahwa malaikat dari cahaya, sedangkan jin diciptakan dari api. Hal ini sudah dijelaskan dalam pembahasan sebelumnya.
            Para ahli tafsir berkata, “Maksud firman Allah SWT, مِّن مَّآءٖۖ Dari air” adalah air mani.”
            An-Naqqasy berkata, “yang dimaksud adalah air mani laki-laki atau jantan.”
            Mayoritas analisis berkata, “Maksudnya, Allah menciptakan setiap hewan yang mengandung air, sebagaimana Allah menciptakan Adam dari air dan tanah.”
            Jika berdasarkan pendapat ini, maka sabda Rasulullah SAW menjawab, “Kami diciptakan dari air,” tidak termasuk dalam kategori tersebut.
            Sekelompok orang berkata, “Jin dan malaikat tidak dikecualikan dari firman Allah ini. Bahkan setiap hewan itu diciptakan dari air. Api diciptakan dari air, dan angin pun diciptakan dari air. Sebab hal pertama yang Allah ciptakan dari alam semesta adalah air. Setelah itu, barulah Allah SWT menciptakan semuanya.”
            Menurut saya (Al Qurthubi): firman Allah berikut menunjukkan atas kebenaran pendapat ini, فَمِنۡهُم مَّن يَمۡشِي عَلَىٰ بَطۡنِهِۦ  Maka sebagaian dari hewan itu ada yang berjalan di atas perutnya.”  Berjalan di atas perut adalah untuk ular dan ikan. Demikian pula dengan cacing dan lainya. Sedangkan berjalan dengan kedua kaki adalah untuk manusia dan burung, jika burung itu sedang berjalan. Sementara berjalan dengan keempat kaki adalah untuk semua binatang.
            Dalam mushaf Ubai tertera, فَمِنۡهُم مَّن يَمۡشِي عَلَىٰ أَكْثَرَ Sedang sebagaian (yang lain) berjalan dengan lebih banyak (kaki). Penambahan ini mencakup seluruh jenis binatang, seperti kepiting.
            Namun apa yang tertera dalam mushhaf Ubai itu merupakan Al Qur’an yang belum ditetapkan ijmak. Kendati demikian, An-Naqqasy berkata, “Sesungguhnya penyebutan terhadap binatang yang berjalan dengan empat kaki itu sudah cukup, sehingga tidak perlu lagi menyebutkan binatang yang berjalan dengan lebih dari empat kaki. Pasalnya semua binatang itu biasa berjalan dengan empat kaki. Keempat kaki tersebut merupakan pijakan saaat mereka berjalan. Dalam hal ini perlu dimaklumi bahwa tumbuhan kaki yang terjadi pada sebagaian hewan, merupakan sebuah kelebihan pada rupanya. Padahal hewan itu sendiri belum tentu memerlukan semua kaki itu saat berjalan.
            Ibnu Athiyyah berkata, “Yang pasti, kaki-kaki tersebut bukanlah suatu hal yang percuma, akan tetapi merupakan anggota tubuh yang diperlukan saat hewan melakuakan gerakan. Semua kaki-kaki itu bergerak sesuai dengan fungsinya. Sebagaian ahli tafsir mengatakan bahwa di dalam Al-Qur’an tidak ada keterangan yang melarang berjalan dengan lebih dari empat kaki. Hal ini sebagaimana yang tertera dalam mushaf Ubai. Wallahu a’lam.”
            Kata دَآبَّةٖ  mencakup yang berakal dan yang tidak berakal. Namun kata ini lebih ditunjukan kepada yang berakal, saat yang berakal ini menyatu dengan yang tidak berakal. Sebab yang berallah yang diajak berbicara dan diperintahkan untuk beribadah. Oleh karena itu, Allah SWT berfirman, فَمِنۡهُم Maka sebagaian dari mereka.”  Allah juga berfirman, مَّن يَمۡشِي Ada orang yang berjalan.”
            Dalam hal ini, Allah SWT memberikan isyarat dengan perbedaan tersebut akan adanya Sang Pencipta. Yakni, seandainya semuanya tidak memiliki Sang Pencipta yang mereka (bebas menentukan kehendak), maka mereka tidak akan berbeda –beda, akan tetapi mereka akan satu jenis. Firman Allah ini seperti firman-Nya,            يُسۡقَىٰ بِمَآءٖ وَٰحِدٖ وَنُفَضِّلُ بَعۡضَهَا عَلَىٰ بَعۡضٖ فِي ٱلۡأُكُلِۚ إِنَّ فِي ذَٰلِكَ لَأٓيَٰتٖ  Disirami dengan air yang sama Kami melebihkan sebagaian tanam-tanaman itu ats sebagaian yang lain tentang rasanya. Sesungguhnya pada yang demikian itu terdapat tanda-tanda (kebesaran Allah). “(Qs. Ar-Ra’d[13]:4).
                                                                                                                                                            يَخۡلُقُ ٱللَّهُ مَا يَشَآءُۚ Allah menciptakan apa yang dikehendaki-Nya, sesungguhnya Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu. “ Maksudnya adalah, yang hendak diciptakan.
           
            Ar-Rahman ayat 14
 خَلَقَ ٱلۡإِنسَٰنَ مِن صَلۡصَٰلٖ كَٱلۡفَخَّارِ ١٤
14. Dia menciptakan manusia dari tanah kering seperti tembikar
            Firman Allah SWT, خَلَقَ ٱلۡإِنسَٰنَ Dia menciptakan manusia” Ketika Allah SWT menyebutkan penciptaan alam yang amat besar ini yang terdiri dari langit, bumi, dan segala isinya, yang didalamnya terdapat tanda-tanda keesaan dan kekuasaan-Nya, Dia pun menyebutkan penciptaan alam yang kecil. Dia berfirman خَلَقَ ٱلۡإِنسَٰنَ Sesuai dengan kesepakatan para takwil, maksudnya adalah Adam A.S.
            Firman Allah SWT مِن صَلۡصَٰلٖ كَٱلۡفَخَّارِ Dari tanah kering seperti tembikar”. صَلۡصَٰلٖ artinya tanah kering yang mengeluarkan suara. Diserupakan dengan tembikar yang digunakan untuk memasak. Ada juga yang mengatakan bahwa artiya adalah tanah yang bercampur dengan pasir. Ada lagi yang mengatakan bahwa artinya adalah tanah yang berbau busuk, dari shalla al-lahmu wa ashalla, artinya apabila daging telah berbau busuk. Hal ini telah dipaparkan dalam surat Al-Hijr. Disini Allah SWT berfirman مِن صَلۡصَٰلٖ كَٱلۡفَخَّارِ Dari tanah kering seperti tembikar.” Sedangkan disana Dia berfiriman مِن صَلۡصَٰلٖ مِنْ حَمَإٍ مَّسْنُوْنٍ “Dari tanah liat kering (yang berasal) dari lumpur hitam yang diberi bentuk. Dia juga berfirman dalam surah lain, إِنَّا خَلَقْنَهُمْ مِنْ طِيْنٍ لَازِبْ “Sesungguhnya Kami telah menciptakan mereka dari tanah liat.”. Dia juga berfirman, كَمَثَلِ ءَادَمَ خَلَقَهُ مِنْ تُرَابٍ “Seperti (penciptaan) Adam, Allah menciptakan Adam dari tanah. Semuanya semakna, bahwa Allah SWT mengambil sebagian tanah bumi, lalu mengadoninya hingga menjadi tanah, kemudian berubah hingga menjadi lumpur hitam, kemudian berubah menjadi tanah kering seperti tembikar.
4.     Al-An’am ayat 2
هُوَ ٱلَّذِي خَلَقَكُم مِّن طِينٖ ثُمَّ قَضَىٰٓ أَجَلٗاۖ وَأَجَلٞ مُّسَمًّى عِندَهُۥۖ ثُمَّ أَنتُمۡ تَمۡتَرُونَ ٢
2. Dialah Yang menciptakan kamu dari tanah, sesudah itu ditentukannya ajal (kematianmu), dan ada lagi suatu ajal yang ada pada sisi-Nya (yang Dia sendirilah mengetahuinya), kemudian kamu masih ragu-ragu (tentang berbangkit itu).
Firman Allah Ta’ala    هُوَ الَّذِي خَلَقَكُم مِّن طِينٍ “Dialah yang menciptakan kamu dari tanah” Firman Allah ini merupakan sebuah pemberitahuan (dari-Nya).  Ada dua pendapat mengenai makna firman Allah ini:
            Pertama: -Pendapat inilah yang lebih masyhur-, Bahwa (sosok) yang dimaksud (dalam ayat ini) adalah Adam,  sedangkan Al Khalq (ciptaan) adalah keturunannya. Di sini perlu dimaklumi bahwa ‘cabang’ (keturunan Adam) itu senantiasa disandarkan kepada ‘pokok’ –nya (Adam).  Oleh Karena itu Allah berfirman:             خَلَقَكُم -dengan bentuk jamak.  Allah menunjukkan firman –Nya ini sebagai khithabuntuk mereka, karena mereka adalah anak-anak Adam.  Ini adalah pendapat Al Hasan, Qutadah, Ibnu Abi Najih, As-suddi, Adh- Dhahak, Ibnu Zaid dan yang lainnya.
Kedua: Allah menciptakan sperma dari tanah sesuai dengan hakikatnya, kemudian Allah mengubahnya hingga terbentuklah manusia dari sperma itu.
Demikianlah yang disebutkan oleh An-Nuhas.
Menurut saya (Al Qurthubi), “Secara global, manakala Allah Azza wa jalla menyebutkan penciptaan alam yang besar, maka setelah Allah menyebutkan penciptaan alam yang kecil, yaitu manusia. Pada alam yang kecil ini pun Allah menetapkan apa yang berlaku pada alam yang besar. Hal ini sebagaimana yang telah kami jelaskan pada surah Al Baqarah, yakni pada ayat-ayat yang meneraangkan tentang keesaaan Allah, Wallahu a’lam. Segala puji bagi Allah.”
            Abu Nu’aim Al Hafizh meriwayatkan di dalam kitabnya dari Murrah, dari Ibnu Mas’ud, bahwa malaikat yang ditugaskan di dalam Rahim mengambil sperma, lalu meletakanya di telapak tangannya. Dia kemudian bertanya, “Wahai Tuhan, (apakah speerma ini) akan diciptakan (menjadi manusia) ataukah tidak?” Jika Allah menjawab akan diciptakan (menjadi manusia), maka malaikat itu bertanya, “Ya Tuhan, bagaimana dengan rizki, jejak langkah, ajal, dan perbuatannya?” Allah menjawab, “Lihatlah didalam Al Kitab.” Malaikat kemudian melihat (di dalam Al Kitab yang ada) di Lauh Al Mahfuzh. Dia menemukan di dalam rizki, jejak langkah, ajal, dan amal perbuatan mansia yang diciptakan itu. Setelah itu, dia mengambil tanah yang akan menjadi pemakaman manusia yang akan diciptakan itu, lalu mengadukannya dengan sprma itu. Itulah yang dimaksud firman Allah Ta’ala  خَلَقْنَاكُمْ وَفِيهَا نُعِيدُكُمْDari bumi (tanah) itulah kami menjadikan kamu dan kepadanya kami akan mengembalikan kamu.” (Qs. Thaahaa[20]:55)
Diriwayatkan  dari Abu Hurairah, dia berkata, “Rasulullah SAW  bersabda,

مَا مِنْ مَوْلُوْدٍ وَ قَدْ ذَرَّ عَلَيْهِ مِنْ تُرَابِ حُفْرَتِهِ

Tidak ada seseorang yang dilahirkan kecuali tanah kuburannya telah ditaburkan kepada dirinya.”
            Menurut saya (Al Qurthubi), “Berdasar kepada hal ini< semua manusia itu diciptakan dari tanah dan air yang hina (sperma). Hal ini sebagaimana yang diberitahukan Allah ‘Azza wa Jalla dalam surah Al Mu’minun. Dengan demikian, terjadilah singkronisasi ayat dan hadits. Sehingga hilanglah keragu-raguan dan ketumpang-tindihan. Wallahu a’lam.”
            Adapun mengenai hadits-hadits yang menjelaskanpenciptaan Adam, hal ini telah dikemukakan dalam surat Al Baqarah. Namun demikian, di sini kami akan menambahkan sepenggal keterangan tentang sifat, usia dan wafatnya Adam AS.
            Ibnu Sa’ad menyebut dalam Ath-Thabaqat:
            Diriwayatkan dari Abu Hurairah, dia berkata, “Rasulullah SAW bersabda, ‘Manusia adalah eturunana Adam, dan Adam itu (diciptakan)dari tanah’.”
            Diriwayatkan dari Sa’id bin Jubair, dia berkata, “Allah menciptakan Adam AS dari tanah yang di sebut Dajna.”
            Al Hasan berkata “Allah menciptakan Ju’ju-nya dari (tanah) yang diambil dari dhariyyah. “Al Juhairi” berkata, “Dhariyah adalah perksmpungsn Bani Kilab yang terletak di jalur menuju Bashrah. Posisinya sangat dekat dengan Makkah.”
            Diriwayatkan dari Ibnu Mas’ud dia berkata, “Sesungguhnya Allah SWT mengutus Iblis untuk mengambil permukaan tanah dari bagian yang tawar dan bagian yang asin. Setelah itu, Allah menciptakan Adam darinya. Setiap sesuatu yang Dia ciptakan dari bagian yang tawar, ia akan masuk surge meskipun ia seorang kafir Dan setiap sesuatu yang Dia ciptakan dari bagian yang asin, ia akan masuk neraka meskipun ia seorang yang bertakwa. Oleh karena itulah Iblis berkata,    أَأَسْجُدُ لِمَنْ خَلَقْتَ طِيناًApakah Aku akan sujud kepada orang yang Engkau ciptakan dari tanah? (Qs. Al Isra’[17]:61). Sebab Iblislah yang membawa tanah itu. Adam dinamakan dengan Adam, Karena ia diciptakan dari permukaan (Adiim) tanah.”
            Diriwayatkan dari Abdullah bin Salam, dia berkata, “Allah menciptakan Adam, di penghujung hari jum’at.”
Diriwayatkan dari Ibnu Abbas, dia berkata, “Ketika Allah menciptakan Adam, kepalanya menyentuh langit.” Ibnu Abbas berkata, “Allah kemudian menggencetnya ke tanah hingga (tinggi) Adam menjadi enam puluh hasta dengan lebar tujuh hasta.”
            Diriwayatkan dari Ubay bin Ka’bah berkata, “Adam adalah seseorang yang sangat inggi lagi ikal (rambutnya), seolah-olah dia adalah pohon kurma yang buahnya jauh dari jangkauan orang yang akan memetiknya.”
            Diriwayatkan dari Ibnu Abbas- dalam sebuah hadits yang panjang: “Adam As menunaikan ibadah haji dari India ke Makkah dengan berjalan kaki. Dia menunaikan ibadah haji sebanyak empat puluh kali. Ketika diturunkan (dari surga), kepalanya menyentuh langit. Oleh karena itulah dia diturunkan (dari surga), kepalanya menyentuh langit. Oleh karena itulah dia menjadi botak, dan mewariskan kebotakan kepada kepada keturunannya. Bintang-bintang darat berlarian karena tingginya, sehingga bintang-bintang itu pun menjadi liar sejak saat itu. Dia belum meninggal dunia hingga anak dan cucunya mencapai empat puluh ribu orang. Dia belum meninggal dunia di puncak bukit tempat pertama kali diturunkan. Syits berkata kepada Jibril, ‘Shalatkanlah Adam!” Jibril berkata kepada Syits, ‘Silahkan maju Shalatkanlah ayahmu dan bertakbirlah untuknya tiga puluh kali. ‘Adapun yang lima ini adalh shalat (lima waktu). Sedangkan yang dua puluh lima, ini merupakan keutamaan bagi Adam.”
            Menurut satu pendapat: (Jibril berkata kepada Syits), Bertakbirlah untuknya empat puluh kali. ‘Anak-anak Syits kemudian menempatkan Adam di dalam sebuah goa dan mereka pun menunjuk seorang penjaga, sehingga jenazah Adam tidak dapat didekati oleh seorang pun dari anak-anak Qabil. Orang-orang yang dating dan memohonkan ampunan unttuk Adam adalah anak-anak Syaits. Usia Adam adalah Sembilan tiga puluh enam tahun.
            Ditanyakan, apakah di dalam ayat ini terdapat dalil yang menunjukan bahwa beberapa jauhar (substansi) itu berasal dari jenis yang sama? Jawabnya adalah ya. Sebab tanah jika boleh dirunah menjadi manusia yang hidup, kuasa dan mengetahui, maka tanah boleh dirubah menjadi apa saja dari setiap keadaan jauhar. Karena tidak ada perbedaan dalam hal itu menurut pandangan akal. Lebih jauh, adalah sah bila benda padat dapat dirubah menjadi hewan menurut petunjuk ayat ini.
            Firman Allah Ta’alaثُمَّ قَضَى أَجَلاً  Sesudah itu ditentukan-Nya ajal (kematianmu).” Lafazh  أَجَلاًadalah maf’ul . Sedangkan firman Allah: وَأَجَلٌ مُّسمًّى عِندَهُ ada lagi suatu ajal yang pada sisi-Nya (yang Dia sendirilah mengetahuinya).”  Adalah mubtada’ dan khabar-nya.
            Adh-Dhahak berkata, “Yang dimaksud dengan lafazh أَجَلاً  adalah ajal kematian, sedangkan yang dimaksud dengan ajal pada firman Allah: وَأَجَلٌ مُّسمًّى عِندَهُ dan ada lagi suatu ajal yang pada sisi-Nya (yang dia sendirilah mengetahuinya), ‘adalah ajal (masa) hari kiamat. “Dengan demikian, maka firman Allah berdasarkan kepada pendapat ini adalah: Allah menetapkan ajal, dan memberitahukan kalian bahwa kalian akan mati dan tidak akan mengetahui masa terjadinya hari kiamat.
            Al Hasan, Mujahid, Ikrimah, Khushaif, dan Qatadah –redaksi berikut adalah redaksi Al Hasan- berkata. “Allah telah menetapkan masa keberadaan (mu) di alam dunia sejak pertama menciptakan kamu sampai kamu meninggal dunia. Sedangkan yang dimaksuud firman Allah:     وَأَجَلٌ مُّسمًّى عِندَهُ dan ada lagi suatu ajal yang pada sisi-Nya (yang Dia sendirilah mengetahuinya). Adalah hari kiamat.”
            Menurut satu pendapat, yang dimaksud firman Allah:ثُمَّ قَضَى أَجَلاً “Sesudah itu ditentukan –Nya ajal (kematianmu),” adalah ajal yang dapat kita ketahui dari bulan stabit, tumbuhan dan sejenisnya. Sedangkan yang dimaksud dari firman Allah وَأَجَلٌ مُّسمًّى عِندَهُdan ada lagi suatu ajal yang pada sis-Nya (yang dia sendirilah mengetahuinya), ‘adalah ajal kematian, dimana tidak akan ada seorang manusia pun yang mengetahui kapan dia akan mati.
            Ibnu Abbas dan Mujahid berkata, “Makna ayat :ثُمَّ قَضَى أَجَلاًDitentukan-Nya ajal (kematianmu),’ dengan menentukan dunia, sedangkan makna ayat: وَأَجَلٌ مُّسمًّى عِندَهُ dan ada lagi sutau ajal yang ada pada sisi-Nya (yang Dia sendirilah mengetahuinya).’ Adalah untuk permulaan akhirat.
            Menurut suatu pendapat yang dimaksud dengan ajal yang pertama adalah pengambilan ruh ketika tidur, sedangkan yang dimaksud dengan ajal yang kedua adalah pengambilan ruh ketika mati. Pendapat ini diriwayatkan juga dari Ibnu Abbas.
            Firman Allah Ta’ala . ثُمَّ أَنتُمْ تَمْتَرُونَ“Kemudian kamu masih ragu-ragu (tentangberbangkit itu).”  Firman Allah ini terdiri dari mubtada’ dan khabar. Maksudnya, kalian meragukan bahwa Allah adalah tuhan yang Esa. Menurut saya pendapat kalian berbantah-bantah dengan bantahan orang-orang yang ragu. Makna At-Tumaarii adalah berbantah-bantahan karena keraguan. Contohnya adalah firman Allah: اَفَتُمَرُوْنَهُ عَلَى مَا يَرَى
5.     Al-Mu’minun ayat 12-14
وَلَقَدۡ خَلَقۡنَا ٱلۡإِنسَٰنَ مِن سُلَٰلَةٖ مِّن طِينٖ ١٢  ثُمَّ جَعَلۡنَٰهُ نُطۡفَةٗ فِي قَرَارٖ مَّكِينٖ ١٣ ثُمَّ خَلَقۡنَا ٱلنُّطۡفَةَ عَلَقَةٗ فَخَلَقۡنَا ٱلۡعَلَقَةَ مُضۡغَةٗ فَخَلَقۡنَا ٱلۡمُضۡغَةَ عِظَٰمٗا فَكَسَوۡنَا ٱلۡعِظَٰمَ لَحۡمٗا ثُمَّ أَنشَأۡنَٰهُ خَلۡقًا ءَاخَرَۚ فَتَبَارَكَ ٱللَّهُ أَحۡسَنُ ٱلۡخَٰلِقِينَ ١٤
12. Dan sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia dari suatu saripati (berasal) dari tanah
13. Kemudian Kami jadikan saripati itu air mani (yang disimpan) dalam tempat yang kokoh (rahim)
14. Kemudian air mani itu Kami jadikan segumpal darah, lalu segumpal darah itu Kami jadikan segumpal daging, dan segumpal daging itu Kami jadikan tulang belulang, lalu tulang belulang itu Kami bungkus dengan daging. Kemudian Kami jadikan dia makhluk yang (berbentuk) lain. Maka Maha sucilah Allah, Pencipta Yang Paling Baik.
Dalam ayat dibahas 5 masalah, yaitu:
            Pertama: fiman Allah SWT وَلَقَدۡ خَلَقۡنَا ٱلۡإِنسَٰنَ “Dan sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia” manusia disini adalah Adam a.s. Inilah pendapat yang dikatakann oleh Qatadah dan lainnya. Sebab Adam diciptakan dari tanah.
             Dhamir (kata ganti) yang terdapat pada firman Allah ثُمَّ جَعَلۡنَٰهُ “Kemudian Kami jadikan saripati itu,” kembali kepada anak cucu Adam, meskipun mereka tidak disebutkan, karena hal ini sudah masyhur. Sebab makna firman Allah itu akan benar kecuali dengan itu. Padahal firman Allah ini adalah firman-Nya:حَتَّىٰ تَوَارَتۡ بِٱلۡحِجَابِ ٣٢ “sampai kuda itu hilang dari pandangan" (Q.S (38): 32).
            Menurut satu pendapat, yang dimaksud dari kata سُلَٰلَةٖ adalah anak cucu Adam. Inilah pendapat yang dikatan oleh Ibnu Abbas dan lainnya. Jika berdasarkan kepada pendapat ini سُلَٰلَةٖ adalah air pilihan, yaitu air mani. سُلَٰلَةٖ adalah kata yang sesuai dengan pola kata فُعَالَة   dan berasal dari kata السَّلُّ yaitu mengeluarkan sesuatu dari sesuatu yang lain. Contohnya سَلَلْتُ السَّعْرَ مِنَ الْعَجَيْنِ (aku mengeluarkan rambut dari adonan). Dan سَلَلْتُ السَّيْفَ مِنَ الْغَمْدِ فَانْسَلْ (aku menghunus pedang dari sarungnya ia pun terhunus).
            مِّن طِينٖ “dari tanah”, mkasudnya adalah asal Adam A.S adalah dari tanah.
            Menurut saya (Al-Qurthubi): Maksudnya adalah dari tanah yang murni. Sedangkan keturunannya, mereka berasal dari tanah dan air mani. Hal ini sebagaimana yang telah kami jelaskan di awal surah Al-An’am.
            Al Kalbi berkata, “As-Sulaalah adalah tanah yang apabila engkau memerasnya maka ia keluar dari sela-sela jarimu. Tanah yang keluar itulah yang disebut As-Sulaalah.
            Kedua: Firman Allah SWT نُطۡفَةٗ “air mani”. Pada awal surah Al-Hajj sudah dijelaskan kata An-Nuthfah, Al Alaqah, dan Al Mudhghah beserta hukum-hukum yang terkandungnya.
            Ketiga: Firman Allah SWT ثُمَّ أَنشَأۡنَٰهُ خَلۡقًا ءَاخَرَۚ “Kemudian kami jadikan dia makhluk yang (berbentuk) lain.” Para ulama berbeda pendapat tentang خَلۡقًا ءَاخَرَ.
          Ibnu Abbas, Asy-Syalabi, Abu Al Aliyah, Adn-Dhahhak dan Ibnu Zaid, “Itu adalah dihembuskannya ruh kepada makhluk tersebut, setelah (sebelumnya) ia adalah benda mati.”
            Diriwayatkan dari Ibnu Abbas, “Itu adalah keluarnya (makhluk tersebut) ke alam dunia.”
            Qatadah mengutip dari sekelompok ulama, “Itu adalah tumbuhnya rambut.”.
            Adh-Dhahhak berkata, “Tumbuhnya gigi dan rambut.”.
            Mujahid berkata., “Sempurnanya kemudaanya.”.
            Pendapat ini pun diriwayatkan oleh Ibnu Umar.
            Pendapat yang benar dalam hal ini adalah, bahwa yang dimaksud dari firman Allah tersebut adalah mencapkup semua itu, juga mencakup lainnya, yaitu dapat berbicaraq, dapat mengerti, baiknya perbuatan, dan memperoleh pemahaman, sampai meninggal dunia.
            Keempat: Firman Allah SWT, فَتَبَارَكَ ٱللَّهُ أَحۡسَنُ ٱلۡخَٰلِقِينَMaka Maha suci Allah, pencipta yang paling baik.” Diriwayatkan dari Umar bin Khattab bahwa dia mendengar awal ayat sampai firman Allah خَلۡقًا ءَاخَرَ “Makhluk yang berbentuk lain,” maka dia berkata, فَتَبَارَكَ ٱللَّهُ أَحۡسَنُ ٱلۡخَٰلِقِينَ Maka Maha suci Allah, pencipta yang paling baik.” Rasulullah SAW kemudian bersabda, “Demikianlah ayat itu diturunkan”.
            Dalam Musnad Ath-Thayalisi tertera, “Dan diturunkanlah ayat, وَلَقَدۡ خَلَقۡنَا ٱلۡإِنسَٰنَ مِن سُلَٰلَةٖ مِّن طِينٖ.. “Dan sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia dari suatu saripati (yang berasal) dari tanah …..”  Ketika ayat turun, aku (Umar bin Khattab) berkata, فَتَبَارَكَ ٱللَّهُ أَحۡسَنُ ٱلۡخَٰلِقِينَ “Maka Maha sucilah Allah, Pencipta yang paling baik” maka turunlah ayat, فَتَبَارَكَ ٱللَّهُ أَحۡسَنُ ٱلۡخَٰلِقِينَ. “Maka Maha sucilah Allah, Pencipta yang paling baik”.
            Diriwayatkan bahwa orang yang mengatakan itu adalah Mu’adz bin Jabal. Diriwayatkan pula bahwa orang yang mengatakan itu adalah Abdullah bin Abu Sarh. Oleh karena itu dia murtad. Dia berkata, “Aku mendatangkan (ayat) seperti yang datang kepada Muhammad. Dalam hal ini turun firman Allah SWT, وَمَنۡ أَظۡلَمُ مِمَّنِ ٱفۡتَرَىٰ عَلَى ٱللَّهِ كَذِبًا أَوۡ قَالَ أُوحِيَ إِلَيَّ وَلَمۡ يُوحَ إِلَيۡهِ شَيۡءٞ وَمَن قَالَ سَأُنزِلُ مِثۡلَ مَآ أَنزَلَ ٱللَّهُۗ “Dan siapakah yang lebih zalim daripada orang yang membuat kedustaan terhadap Allah atau yang berkata: "Telah diwahyukan kepada saya", padahal tidak ada diwahyukan sesuatupun kepadanya, dan orang yang berkata: "Saya akan menurunkan seperti apa yang diturunkan Allah.” (Q.S Al An’aam [6]: 93)
            Hal ini seperti yang sudah dijelaskan dalam surah Al-An’aam.
            Firman Allah فَتَبَارَكَ ٱللَّهُ “Maka Maha sucilah” adalah lafadz yang sesuai dengan pola kata تَفَاعَلَ dari kata Al Barakah.
            أَحۡسَنُ ٱلۡخَٰلِقِينَ “Pencipta yang paling baik” maksudnya adalah, yang paling ahli diantara para pencipta. Dikatakan kepada orang yang menciptaka sesuatu, khalaqahu (dia menciptakannya). Contoh yang lain adalah syair berikut ini:
وَلَأَنْتَ تَفْرِي مَا خَلَقْتَ وَبَعْ             ىضُ الْقَوْمِ يَخْلُقُ ثُمَّ لَا يَفْرِيْ
Dan sesungguhnya engkau memperbagus yang telah engkau ciptakan,
Sedangkan sebagian kaum menciptakan, namun mereka tidak memperindah (nya)
            Sebagian orang berpendapat bahwa lafazh (Al-Kalq) ditiadakan dari manusia, dan ia hanya di-idhafah-kan kepada Allah.
            Ibnu Juraij berkata, “Sesungguhnya dikatakan, أَحۡسَنُ ٱلۡخَٰلِقِينَ “Pencipta yang paling baik” karena Allah SWT mengizinkan Isa untuk menciptakan sesuatu. Namun sebagian yang lain masih bimbag dalam hal itu. Sesungguhnya lafazh tersebut tidak boleh ditiadakan dari manusia jika mengandung makna membuat (Ash-Shan’u). Lafazh tersebut ditiadakan dari manusia jika mengandung makna menciptakan dan mengadakan dari tiada.
            Masalah: Masuk dalam makna ayat ini apa yang dikemukakan Ibnu Abbas kepada Umar, saat Umar bertanya kepada para sahabat senior tentang Lailatul Qadar, dimana mereka kemudian menjawab, “Allah yang maha mengetahui hal itu,” Umar bertanya kepada Ibnu Abbas, “Apa yang engkau katakan wahai putera Abbas ?” Ibnu Abbas menjawab, “Wahai Amirul Mukminin, sesungguhnya Allah SWT telah menciptakan langit yang tujuh dan bumi yang tujuh, kemudian memperlihatkannya pada malam kedua puluh tujuh.” Umar R.A berkata, “Apakah kalian tidak mampu mendatangkan (sesuatu) seperti apa yang didatangkan oleh anak yang belum dewasa ini ?”. Hadits panjang ini disebutkan dalam Musnad Ibnu Abi Syaibah. Yang dimaksud oleh Ibnu Abbas dengan ucapannya, “Menciptakan anak cucu Adam dari yang tujuh.”. adalah ayat ini. Sedangkan yang dimaksud dari ucapannya, “Dan menetapkan rezeki mereka pada yang tujuh” adalah firman Allah SWT فَأَنۢبَتۡنَا فِيهَا حَبّٗا ٢٧  وَعِنَبٗا وَقَضۡبٗا ٢٨  وَزَيۡتُونٗا وَنَخۡلٗا ٢٩  وَحَدَآئِقَ غُلۡبٗا ٣٠ وَفَٰكِهَةٗ وَأَبّٗا ٣١ lalu Kami tumbuhkan biji-bijian di bumi itu, anggur dan sayur-sayuran, zaitun dan kurma, kebun-kebun (yang) lebat, dan buah-buahan serta rumput-rumputan.”(Q.S Abasa [80]: 27-31).
            Tujuh macam tumbuh-tumbuhan tersebut untuk anak cucu Adam, rerumputan untuk binatang ternak, dan sayur-sayuran untuk anak cucu Adam, dimana karenanya kaum perempuan menjadi gemuk, ini menurut satu pendapat. Menurut pendapat lain, Al Qadhb (potongan) adalah sayur-sayuran, karena ia dipotong. Ia adalah rezeki bagi anak cucu Adam. Menurut pendapat yang lain lagi, sayur-sayuran dan rerumputan untuk binatang ternak, dan enam jenis tumbuhan lainnya untuk anak cucu Adam. Yang ketujuh bagi mereka adalah binatang ternak itu sendiri. Sebab ia merupakan rezeki yang paling besar bagi anak cucu Adam.
6.     Al-Hajj ayat 5
يَٰٓأَيُّهَا ٱلنَّاسُ إِن كُنتُمۡ فِي رَيۡبٖ مِّنَ ٱلۡبَعۡثِ فَإِنَّا خَلَقۡنَٰكُم مِّن تُرَابٖ ثُمَّ مِن نُّطۡفَةٖ ثُمَّ مِنۡ عَلَقَةٖ ثُمَّ مِن مُّضۡغَةٖ مُّخَلَّقَةٖ وَغَيۡرِ مُخَلَّقَةٖ لِّنُبَيِّنَ لَكُمۡۚ وَنُقِرُّ فِي ٱلۡأَرۡحَامِ مَا نَشَآءُ إِلَىٰٓ أَجَلٖ مُّسَمّٗى ثُمَّ نُخۡرِجُكُمۡ طِفۡلٗا ثُمَّ لِتَبۡلُغُوٓاْ أَشُدَّكُمۡۖ وَمِنكُم مَّن يُتَوَفَّىٰ وَمِنكُم مَّن يُرَدُّ إِلَىٰٓ أَرۡذَلِ ٱلۡعُمُرِ لِكَيۡلَا يَعۡلَمَ مِنۢ بَعۡدِ عِلۡمٖ شَيۡ‍ٔٗاۚ وَتَرَى ٱلۡأَرۡضَ هَامِدَةٗ فَإِذَآ أَنزَلۡنَا عَلَيۡهَا ٱلۡمَآءَ ٱهۡتَزَّتۡ وَرَبَتۡ وَأَنۢبَتَتۡ مِن كُلِّ زَوۡجِۢ بَهِيجٖ ٥
5. Hai manusia, jika kamu dalam keraguan tentang kebangkitan (dari kubur), maka (ketahuilah) sesungguhnya Kami telah menjadikan kamu dari tanah, kemudian dari setetes mani, kemudian dari segumpal darah, kemudian dari segumpal daging yang sempurna kejadiannya dan yang tidak sempurna, agar Kami jelaskan kepada kamu dan Kami tetapkan dalam rahim, apa yang Kami kehendaki sampai waktu yang sudah ditentukan, kemudian Kami keluarkan kamu sebagai bayi, kemudian (dengan berangsur-angsur) kamu sampailah kepada kedewasaan, dan di antara kamu ada yang diwafatkan dan (adapula) di antara kamu yang dipanjangkan umurnya sampai pikun, supaya dia tidak mengetahui lagi sesuatupun yang dahulunya telah diketahuinya. Dan kamu lihat bumi ini kering, kemudian apabila telah Kami turunkan air di atasnya, hiduplah bumi itu dan suburlah dan menumbuhkan berbagai macam tumbuh-tumbuhan yang indah.
             Firman Allah SWT, يَٰٓأَيُّهَا ٱلنَّاسُ إِن كُنتُمۡ فِي رَيۡبٖ مِّنَ ٱلۡبَعۡثِ  ”Hai manusia, jika kamu dalam keraguan tentang kebangkitan (dari kubur).”
            Dalam ayat ini dibahas dua belas masalah, yaitu :
            Pertama : Firman Allah SWT, إِن كُنتُمۡ فِي رَيۡبٖ مِّنَ ٱلۡبَعۡثِ ”Jika kamu dalam keraguan tentang kebangkitan (dari kubur). “Firman ini merupakan argumentasi yang dikemukakan kepada alam tentang adanya penciptaan pertama.  Firman Allah SWT, إِن كُنتُمۡ فِي رَيۡبٖ “Jika kamu dalam keraguan,” ini mencakup penetapan (Allah tentang adanya keraguan).
          Al-Hasan bin Abu Al-Hasan membaca lafadz ٱلۡبَعۡثِ dengan lafadz ٱلۡبَعۡثِ yakni dengan harakat fathah pada huruf ain-. Lafadz ٱلۡبَعۡثِ ini merupakan salah satu dialek untuk lafadz ٱلۡبَعۡثِ menurut para ulama Bashrah. Sedangkan menurut para ulama kufah, lafadz tersebut harus dibaca ringan. Maknanya adalah, wahai manusia, jika kamu berada dalam keraguan tentang pengembalian (dari kubur).“
          فَإِنَّا خَلَقۡنَٰكُم “Maka (ketahuilah) sesungguhnya Kami telah menjadikan kamu,“ maksudnya adalah, Kami telah menciptakan moyang kamu yang merupakan nenek moyang manusia, Yakni Nabi Adam AS.
          مِّن تُرَابٖ “Dari tanah,” kemudian Kami menciptakan keturunannya. مِن نُّطۡفَةٖ maksudnya adalah dari setetes mani. Mani dinamakan dengan Nutfah karena jumlah cairannya yang sedikit. Namun terkadang kata Nutfah pun digunakan untuk menyebut air yang banyak. Contohnya adalah hadis yang menyebutkan, حَتَّى يَسِيْرُ الرَّاكِبُ بَيْنَ النَّطْفَتَيْنِ لَا يَخْشَى “Hingga pengendara berjalan di antara kedua air, dimana dia tidak takut akan kedzaliman.” Maksudnya adalah laut timur dan laut barat. Kata An-Nathf berarti tetesan. Kata tersebut dibentuk dari نَطَفَ يَنْطِفُ dan يَنْطُفُ (menetes). Sedangkan makna لَيْلَة نَطُفَط adalah malam yang senantiasa menetaskan air (hujan).
          ثُمَّ مِنۡ عَلَقَةٖ “kemudian dari segumpal darah,” maksudnya adalah, darah yang keras. Kata عَلَقَةٖ juga mengandung makna darah segar (yang tidak bercampur dengan yang lain). Menurut satu pendapat, عَلَقَةٖ adalah darah yang sangat merah.
          ثُمَّ مِن مُّضۡغَةٖ “kemudian dari segumpal daging.” Kata مُّضۡغَةٖ berarti daging yang sedikit, kira-kira sebesar daging yang dimamah atau dikunyah. Contohnya adalah hadits yang menyebutkan, أَلَا وَإِنَّ فِي الْجَسَدِ مُضْغَة “Ketahuilah, sesungguhnya di dalam tubuh itu terdapat segumpal darah daging.”
          Fase-fase pembentukan tersebut berlangsung selama empat bulan. Ibnu Abbas berkata, “pada hari kesepuluh selepas empat bulan ruh ditiupkan. Oleh karena itulah iddah wanita yang ditinggal mati suaminya berlangsung selama empat bulan sepuluh hari.”
            Kedua, Yahya bin Zakaria bin Abu Za’idah menceritakan kepada kami, Daud menceritakan kepada kami dari Amir, dari Al-Qamah, dari Ibnu Mas’ud, dari Ibnu Umar, bahwa apabila air mani telah berada di dalam rahim (seorang perempuan). Maka diambillah ia oleh seorang malaikat dengan telapak tangannya, lalu ia berkata, “ya Tuhan, Apakah (akan menjadikan seorang) laki-laki atau perempuan, (apakah makhluk) sengsara atau bahagia ? bagaimana dengan ajal dan atsar ? di negeri manakah dia akan meninggal dunia” Allah berfirman, “Pergilah engkau ke Ummul Kitab. Sesungguhnya di sana engkau akan menemukan kisah tentang air mani ini.” Malaikat kemudian berangkat dan dia menemukan air mani itu di dalam Ummul Kitab. Setelah itu air mani itu pun menjadi makhluk, memakan rezekinya, dan menyusuri jejak langkahnya. Apabila ajalnya telah tiba, maka diambillah nyawanya, lalu dimakamkanlah dia di tempat yang telah ditakdirkan untuknya. “Setelah itu Ibnu Amir (membaca firman Allah), يَأَيُّهَا النَّاسُ إِنَّ كُنْتُمْ فِي رَيْبٍ مِّنَ الْبَعْثِ فَإِنَّا خَلَقْنَاكُمْ مِّنْ تُرَابٍ “Hai Manusia, jika kamu dalam keraguan tentang kebangkitan (dari kubur), maka (ketahuilah) sesungguhnya Kami telah menjadikan kamu dari tanah.
            Dalam Ash-Shahih disebutkan : Diriwayatkan dari Anas bin Malik –Anas meriwayatkan hadis ini secara marfu’-, dia berkata, “Sesungguhnya Allah telah menugaskan seorang malaikat di dalam rahim (seorang wanita), lalu malaikat itu berkata, ‘Ya Tuhan, (ini adlah) air mani. Ya Tuhan, (ini adalah) segumpal segumpal darah. Ya Tuhan, (ini adalah) segumpal daging’. Apabila Allah hendak menciptakan seorang makhluk, maka malaikat berkata, ‘Ya Tuhan, (apakah makhluk) itu seorang laki-laki atau seorang perempuan, (apakah makhluk) ini sengsara atau bahagia. Bagaimana dengan rezekinya? Bagaimana dengan ajalnya?’ Malaikat kemudian menetapkan semua itu padanya ketika dia berada dalam perut ibunya.
            Dalam Ash-Shahih juga disebutkan : Diriwayatkan dari Huzaifah bin Usaid Al-Ghifari, dia berkata : aku mendengar Rasulullah SAW bersabda, “apabila empat puluh dua malam berlalu pada sperma, maka Allah mengutus seorang maikat padanya, lalu malaikat itu membentuk rupanya, menciptakan telinganya, pendengarannya, penglihatannya, kulitnya, dagingnya, dan tulangnya. Setelah itu malaikat berkata, ‘Ya Tuhan, (apakah dia) seorang laki-laki atau perempuan...” Hudzaifah Al-Ghifari kemudian menyebutkan hadis diatas.
            Selain itu, dalam Ash-Shahih disebutkan : Diriwayatkan dari Abdullah bin Mas’ud, dia berkata, “Rasulullah SAW menceritakan kepada kami dan beliau adalah cocok yang jujur lagi dipercaya.
إِنَّ أَحَدَ كُمْ يُجْمَعَ خَلْقُهُ فِي بَطْنِ أُمِّهِ أَرْبَعِيْنَ يَوْمًا نُطْفَةً ثُمَّ يَكُوْنُ فِي ذَلِكَ عَلَقَةً مِثْلَ ذَلِكَ ثُمَّ يَكُوْنُ مُضْغَةً مِثْلَ ذَلِكَ ثُمَّ يُرْسَلُ الْمَلَكُ فَيَنْفُخُ فِيْهِ الرُّوْحُ وَيُؤْمَرُ بِأَرْبَعَ كَلِمَاتٍ بَكَتْبٍ رِزْقِهِ وَأَجَلِهِ وَعَمَلِهِ وَشَقِيُّ اَوْ سَعِيْدٌ .
‘Sesungguhnya penciptaan salah seorang diantara kalian dihimpun didalam perut ibunya selama empat puluh hari berupa air mani, kemudian menjadi segumpal darah dalam waktu yang sama, kemudian menjadi segumpal daging juga dalam waktu yang sama. Setelah itu, malaikat diutus untuk meniupkan roh ke dalamnya dan diperintahkan untuk mencatat empat perkara : mencatat rezekinya, ajalnya, perbuatannya, dan celaka ataukah bahagia.
Hadis ini menafsirkan beberapa hadis sebelumnya. Sebab hadis ini menyatakan bahwa penciptaan salah seorang diantara kalian itu dihimpun di alam perutnya selama 40 hari dalam bentuk air mani. Kemudian selama 40 hari dalam bentuk segumpal darah, kemudian dalam 40 hari dalam bentuk segumpal daging. Laludiutuslh malaikat yang akan meniupkan roh kepadanya. Hal ini (dari 4 bulan), malaikat akan menghembuskan roh. Ini adalah iddah wanita yang ditinggal mati suaminya, seperti yang dikatakan oleh Ibnu Abbas. 
Adapun sabda Rasulullah SAW, “Sesungguhnya salah seorang di antara kalian, penciptaannya dihimpun dalam perut ibunya,: telah ditafsirkan oleh Ibnu Mas’ud.
Al-‘Amasy pernah ditanya, “Apa yang dihimpun dalam perut ibu seorang?” Al-‘Amasy menceritakan kepada kami dia berkata : Abdullah bin Mas’ud berkata, ‘Apabila air mani berada dalam rahim (seorang wanita), kemudian Allah hendak menjadikan air mani itu seorang manusia. Maka air mani itu akan mengalir di kulit perempuan ituu, yakni di bawah kuku dan rambutnya. Lalu air mani itu diam selama empat puluh hari, kemudian ia menjadi darah di dalam rahim. Itulah penghimpunannya. Ini adalah waktu dimana ia menjadi segumpal darah.”
Ketiga : Nisbat penciptaan dan pembentukan kepada Malaikat adalah nisbat majazi dan bukan hakiki. Sebab apa yang keluar dari malaikat –yang berupa pengaruh terhadap segumpal daging- ketika melakukan pembentukan dan penciptaan, adalah terjadi kekuasaan, penciptaan, dan pembentukan Allah.
Tidaklah engkau melihat bahwa Allah telah menisbatkan penciptaan yang hakiki kepada Dzat-Nya dan menghilangkan semua penisbatan kepada makhluk dalam firman-Nya, وَلَقَدۡ خَلَقۡنَٰكُمۡ ثُمَّ صَوَّرۡنَٰكُمۡ “Sesungguhnya Kami telah menciptakan kamu (Adam), lalu Kami bentuk tubuhmu,” (QS. Al-A’raaf ayat 11). وَلَقَدۡ خَلَقۡنَا ٱلۡإِنسَٰنَ مِن سُلَٰلَةٖ مِّن طِينٖ ١٢  ثُمَّ جَعَلۡنَٰهُ نُطۡفَةٗ فِي قَرَارٖ مَّكِينٖ ١٣ “Dan sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia dari suatu saripati (berasal) dari tanah. Kemudian Kami jadikan saripati itu air mani (yang disimpan) dalam tempat yang kokoh (rahim).” (QS. Al-Mu’minun ayat 12-13).
يَأَيُّهَا النَّاسُ إِنْ كُنْتُمْ فِي رَيْبٍ مِّنَ الْبَعْثِ فَإِنَّا خَلَقْنَاكُمْ مِّنْ تُرَابٍ ثُمَّ مِن نُّطْفَةٍ “Hai Manusia, jika kamu dalam keraguan tentang kebangkitan (dari kubur), maka (ketahuilah) sesungguhnya Kami telah menjadikan kamu dari tanah, kemudian dari setetes mani.”
هُوَ ٱلَّذِي خَلَقَكُمۡ فَمِنكُمۡ كَافِرٞ وَمِنكُم مُّؤۡمِنٞۚ وَٱللَّهُ بِمَا تَعۡمَلُونَ بَصِيرٌ ٢ “Dialah yang menciptakan kamu maka di antara kamu ada yang kafir dan di antaramu ada yang mukmin. Dan Allah Maha Melihat apa yang kamu kerjakan”. (QS. At-Tahgabun ayat 2).
وَصَوَّرَكُمۡ فَأَحۡسَنَ صُوَرَكُمۡ  “dan membentuk kamu lalu membaguskan rupamu.” (QS. Al-Gaafir ayat 64).
لَقَدۡ خَلَقۡنَا ٱلۡإِنسَٰنَ فِيٓ أَحۡسَنِ تَقۡوِيمٖ ٤ “sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia dalam bentuk yang sebaik-baiknya.” (QS. At-Tiin ayat 4).
خَلَقَ ٱلۡإِنسَٰنَ مِنۡ عَلَقٍ ٢   “Dia telah menciptakan manusia dari segumpal darah.” (QS. Al-‘Alaq ayat 2). Dan Firman Allah lainnya, disamping dalil-dalil lainnya yang secara pasti menunjukan bahwa tidak ada yang Menciptakan Makhluk kecuali Tuhan semesta alam.
Seperti uraian itu pula yang dikatakan untuk sabda Rasulullah SAW, kemudian diutuslah malaikat yang akan meniupkan roh padanya.” Demikian pula dngan semua faktor yang menjadi sebab sesuatu terjadi. Semua itu terjadi karena penciptaan Allah dan bukan karena yang lain. Renungkan dan berpegang teguhlah kepada prinsip ini. Karena inilah yang menyelamatkan dari aliran naturalisme yang sesat dan lainnya.
Keempat : para ulama tidak berbeda pendapat bahwa roh itu dihembuskan setelah 120 hari, yakni setelah genap 4 bulan dan masuk ke usia 5 bulan. Hal ini berdasarkan hadis-hadis yang telah dikemukakan di atas. Hal ini pula yang menjadi landasan hukum untuk kasus penisbatan (anak) ketika terjadi persengketaan dan penetapan kewajiban memberi nafkah kepada wanita hamil yang diceraikan. Sebab (jika kehamilan terjadi), diyakini janin sudah bergerak di dalam perut.
Menurut satu pendapat, mengetahui kehamilan ini merupakan hikmah dari iddah wanita yang ditinggal ati suaminya, dimana iddah ini berlangsung selama 4 bulan 10 hari. Sebab dengan memasuki usia 5 bulan, jika kehamilan tidak nampak, maka diyakini bahwa rahim telah bebas dari kehamilan.
Kelima : jika seorang wanita mengeluarkan air mani, maka air mani ini tidak dianggap apapun –secara meyakinkan- dan hukum pun tidak berkaitan dengannya. Apabila air mani tidak mengendap di dalam rahim, maka air mani ini sama dengan air mani yang ada di tulang punggung seorang laki-laki.
Tapi jika seorang wanita mengeluarkan segumpak darah, maka kita bisa memastikan bahwa air mani itu sudah mengendap, berkumpul, dan berubah menjadi sesuatu yang tengah berada dalam kondisi pertama, yang diyakini akan menjadi anak. Jika berdasarkan hal ini, maka mengeluarkan gumpalan darah atau lebih (yakni segumpal daging) sama saja dengan melahirkan kandungan. Hal ini dapat membebaskan rahim (dari kehamilan), menyudahi masa iddah, dan menetapkan hukum seorang ibu kepada kepada wanita yang mengeluarkannya. Ini adalah mazhab Malik dan para sahabatnya.
Asy-Syafi’i berkata, “Jatuhnya gumpalan darah tersebut tidak menjadi sesuatu yang patut dipertimbangkan. Sebab yang dipertimbangkan adalah nampaknya bentuk dan rupa. Jika rupa itu masih samar dan gumpalan daging pun masih berupa daging, maka dalam hal ini ada dua pendapat : berdasarkan kepada naql dan takhrij. Pendapat yang dinashkan dalam hal ini adalah, bahwa iddah telah berakhir, namun wanita yang mengeluarkan darah itu tidak dianggap menjadi seorang ibu. Karena iddah dapat berakhir akibat keluarnya darah. Jika iddah dapat berakhir karena keluarnya darah yang mengalir, apabila karena alasan yang lain.
Keenam : Firman Allah SWT, مُّخَلَّقَةٖ وَغَيۡرِ مُخَلَّقَةٖ “yang sempurna kejadiannya dan yang tidak sempurna.” Al-Farra’ berkata, “Makna مُخَلَّقَةٖ adalah yang sempurna kejadiannya, sedangkan makna وَغَيۡرِ مُخَلَّقَةٖ adalah yang gugur.”
Ibnu Al-Arabi berkata, “Makna مُخَلَّقَةٖ adalah yang sudah dimulai  penciptaannya (sudah ada bentuknya), sedangkan makna وَغَيۡرِ مُخَلَّقَةٖ adalah yang belum ada bentuknya.”
Ibnu Zaid berkata, “Makna مُخَلَّقَةٖ adalah yang padanya Allah telah menciptakan kepala, kedua tangan, dan kedua kaki, sedangkan makna وَغَيۡرِ مُخَلَّقَةٖ  adalah yang belum diciptakan apapun padanya.”
Ibnu Al-Arabi berkata, “Apabila kita kembali kepada asal-muasal pengambilan kata, sesungguhnya sperma, segumpal daging, dan segumpal darah disebutkan مُخَلَّقَةٖ (yang diciptakan). Sebab semuanya merupakan ciptaan Allah. Tapi jika kita kembali kepada gambaran (yang diberikan Allah) yang merupakan akhir dari penciptaan (manusia), sebagaimana dalam firman Allah,  ثُمَّ أَنشَأۡنَٰهُ خَلۡقًا ءَاخَرَ ”Kemudian Kami jadikan dia makhluk yang (berbentuk) lain.” (QS. Al-Mu’minuun ayat 14) maka (yang dimaksud dengan firman Allah, مُّخَلَّقَةٖ وَغَيۡرِ مُخَلَّقَةٖ tersebut) adalah apa yang dikatakan oleh Ibnu Zaid.”
Menurut Al-Qurtubi : kata At-Takhliiq (penciptaa) itu dibentuk dari kata Al-Khalq (ciptaa). Kata At-Takhliiq ini mengandung makna banyak (yakni nanyaknya hal yang diciptakan). Jika demikian, apa yang terjadi dalam fase-fase tersebut? Semuanya itu merupakan ciptaan Allah setelah ciptaan yang lain. Apabila ciptaan itu berbentuk sperma, maka ia disebut makhluk saja (bukan mukhallaqah). Oleh karena itu, Allah SWT berfirman, ثُمَّ أَنشَأۡنَٰهُ خَلۡقًا ءَاخَرَ “kemudian Kami jadikan dia makhluk yang (berbentuk) lain.” (QS. Al-Muminuun ayat 14).
Menurut satu pendapat, firman Allah SWT, مُّخَلَّقَةٖ وَغَيۡرِ مُخَلَّقَةٖ “yang sempurna kejadiannya dan yang tidak sempurna,” kembali kepada anak itu saja, dan bukan kepada (janin) yang gugur. Maksud dari firman Allah tersebut adalah, di antara mereka ada yang Allah sempurnakan gumpalan darahnya, dimana Allah menciptakan semua anggota tubuh padanya, dan di antara mereka pun ada yang lahir sebelum waktunya lagi tidak sempurna.
Menurut satu pendapat, مُّخَلَّقَةٖ adalah seorang wanita yang melahirkan pada waktu yang sudah sempurna atau genap.
Ibnu Abbas berkata, مُّخَلَّقَةٖ adalah anak yang hidup, sedangkan وَغَيۡرِ مُخَلَّقَةٖ adalah anak atau janin yang gugur.
Seorang penyair berkata,
أَفِيْ غَيْرِ الْمُخَلَّقَةِ الْبُكَاءُ       فَأَيْنَ الْحَزْمُ وَيْحَكَ وَالْحَيَاءُ
Apakah tangisan itu untuk janin yang gugur ?
Celaka engkau, dimanakah keteguhan hati dan rasa malu(mu).
            Ketujuh : Para ulama sepakat bahwa seorang wanita telah dianggap menjadi seorang ibu dari seorang, karena keguguran anak yang sudah sempurna penciptaannya. Sedangkan menurut malik, Al-Auza’i dan lainnya, (dia telah dianggap menjadi seorang ibu) karena (keguguran) segumpal daging, apakah kejadiannya sudah sempurna atau belum.
            Imam Malik, “Jika dia mengetahui bahwa itu adalah gumpalan darah.”
            Asy-Syafi’i dan Abu Hanifah berkata, “jika telah nampak secara jelas rupa manusia, baik jari, mata, atau lainnya, maka wanita tersebut telah menjadi seorang ibu.”
            Mereka juga sepakat bahwa jika bayi yang baru dilahirkan dapat mengeraskan suara (atau menangis kemudian meninggal dunia), maka dia harus dishalatkan. Tapi jika tidak dapat mengeraskan suara, maka menurut Malik, Abu Hanifah, Asy-Syafi’i dan lainnya, dia tidak wajib dishalatkan.
            Diriwayatkan dari Ibnu Umar, bahwa dia harus dishalatkan. Pendapat ini pun dikemukakan oleh Ibnu Al-Musayyib, Ibnu Sirrin, dan lainnya.
            Diriwayatkan dari Al-Mughairah binSyu’bah, bahwa dia memerintahkan untuk menyalatkan anak yang keguguran. Dia berkata, “Berilah mereka nama, mandikanlah mereka, kafanilah mereka, dan awetkanlah mereka. Sesungguhnya Allah telah memuliakan yang besar dan yang kecil di dalam agama islam.” Dia kemudian membaca firman Allah SWT, وَغَيۡرِ مُخَلَّقَةٖ  ... فَإِنَّا خَلَقۡنَٰكُم مِّن تُرَابٖ “maka (ketahuilah) sesungguhnya Kami telah menjadikan kamu dari tanah ... dan yang tidak sempurna.”
            Ibnu Al-Arabi berkata, “boleh jadi maksud Al-Mughairah bin Syu’bah dengan janin atau anak yang gugur itu adalah yang sudah jelas rupanya. Inilah yang diharus diberikan nama. Sedangkan yang belum jelas rupanya tidak ada.”
            Sebagian salaf berkata, “Dia harus dishalatkan apabila ruh sudah dihembuskan dan sudah erusia sempurna 4 bulan.”
            Abu Daud meriwayatkan dari Abu Hurairah RA, dari Nabi SAW, beliau bersabda,
إِذَا اسْتَهْلً الْمَوْلُوْدُ وَرِثَ .
            “Apabila bayi yang dilahirkan mengeraskan suara(nya), maka dia berhak mewarisi.”
            Kata الاِسْتِهْلَال berarti adalah mengeraskan suara. Dengan demikian, setiap bayi yang mengalami hal itu, atau bergerak, bersin, atau bernafas, maka dia berhak untuk mewarisi, karena bayi tersebut telah menunjukkan adanya kehidupan. Pendapat inilah yang dipegang oleh Sufyan Ats-Tsauri, Al-Auza’i, dan Asy-Syafi’i.
            Al-Khaththabi berkata, “pendapat yang terbaik adalah pendapat As-Shhab Ar-Ra’yi.”
            Malik berkata, “dia tidak berhak untuk mewarisi, meskipun dia dapat bergerak atau bersin, selama dia tidak mengeraskan suara.”
            Pendapat ini pun diriwayatkan dari Muhammad bin Sirrin, Asy-Sya’bi, Az-Zuhri, dengan Qatadah.
            Kedelapan : Imam Malik berkata, “Jika seseorang memukul perut wanita yang sedang hamil sehingga mengeluarkan sesuatu, baik berupa segumpal darah, segumpal daging, atau sesuatu yang diketahui bahwa itu adalah bayi, maka dalm kasus ini, pelakunya wajib membayar Al-Ghurrah.”
Asy-Syafi’i berkata, “tidak diwajibkan apapun dalam kasus tersebut hingga rupa sesuatu itu terlihat jelas.”
Malik berkata, “jika janin gugur kemudian dia tidak mengeraskan suara, maka dalam kasus ini wajib membayar (diyat) Al-Ghurrah. Sama saja apakah dia bergerak atau bersin. Dalam kasus ini, tetap diwajibkan Al-Ghurrah selama-lamanya. Jika dia mengeraskan suara, maka dalam kasus ini diwajibkan untuk membayar diyat secara penuh.”
Asy-Syafi’i dan semua ahliu fiqih dari berbagai penjuru berkata, “Apabila kehidupannya diketahui karena adanya gerakan, bersin, suara yang keras, atau lainnya sehingga dapat memberikan keyakinan bahwa bayi tersebut hidup, maka dalam kasus ini diwajibkan membayar diyat.”
Kesembilan : Al Qadhi Ismail menyebutkan bahwa masa iddah seorang wanita dapat berakhir karena mengalami keguguran. Dia berargumentsi atas hal itu dengan menyatakan bahwa janin tersebut adalah sesuatu yang dikandungnya. Dia juga berkata, “Allah SWT berfirman, وَأُوْلَٰتُ ٱلۡأَحۡمَالِ أَجَلُهُنَّ أَن يَضَعۡنَ حَمۡلَهُنَّ  “Dan perempuan-perempuan yang hamil, waktu iddah mereka itu ialah sampai mereka melahirkan kandungannya.” (QS. At-Thalaaq ayat 4).
            Al-Qadhi Ismail berkata, “dalil yang menunjukkan atas hal itu adalah, karena janin tersebut dapat mewarisi ayahnya. Hal ini menunjukan bahwa dia adalah seorang makhluk, sekaligus menunjukkan atas keberadaan makhluk tersebut sebagai seorang anak dan sesuatu yang dikandung.”
            Menurut Al-Qurthubi : apa yang sudah kami sebutkan pada pembahasan tentang pengambilan nama dan juga sabda Rasulullah SAW, إِنَّ أَحَدَكُمْ يُجْمَعُ خَلْقُهُ فِي بَطْنِ أُمِّهِ “sesungguhnya penciptaan salah seorang diantara kalian dihimpun di dalam perut ibunya,” menunjukkan atas kebenaran kami katakan. Selain itu, karena wanita itu mengeuarkan segumpal darah dan segumpal daging, sehingga dapat dibenarkan berdasarkan apa yang dikeluarkannya bahwa dia adalah seorang wanita hamil, yang telah mengeluarkan apa yang tedapat di dalam rahimnya, dengan demikian, dia pun tercakup dalam makna firman Allah SWT, وَأُوْلَٰتُ ٱلۡأَحۡمَالِ أَجَلُهُنَّ أَن يَضَعۡنَ حَمۡلَهُنَّ “dan perempuan-perempuan yang hamil waktu iddah mereka itu ialah telah sampai mereka melahirkan kandungannya.” (QS. At-Thalaaq ayat 4).
            Juga, karena dia telah melahirkan benih anak yang berasal dari sperma yang sudah memiliki tubuh, seperti yang sudah berbentuk. Hal ini sangat jelas sekali.  
            Kesepuluh : Ibnu Majjah meriwayatkan : Abu Bakkar bin Syaibah menceritakan kepada kami, Khalid bin Makhlad menceritakan kepada kami, Yazid menceritakan kepada kami dari Abdul malik An-Naufali, dari Yazid bin Ruman dari Abu Hurairah, dia berkata, “Rasulullah SAW bersabda, ‘sesungguhnya janin gugur yang aku bawa kehadapanku lebih aku sukai dari pada pasukan berkuda yang aku tinggalkan dibelakangku.
            Hadis ini pun diriwayatkan oleh Al-Hakin dalam Ma’rifah Al-Ulum, dan Suhail bin Abu Shalih dari ayahnya, dari Abu Hurairah, dia berkata, “lebih aku sukai dari pada seribu pasukan berkuda yang aku tinggalkan dibelakangku.”
            Kesebelas : Firman Allah SWT, لِّنُبَيِّنَ لَكُمۡۚ “Agar Kami jelaskan kepada kamu dan kami tetapkan dalam rahim,” maksudnya adalah, (agar kami jelaskan kepada kamu) kesempurnaan kekuasaan Kami dengan memberlakukan fase-fase penciptaan Kami.  
            وَنُقِرُّ فِي ٱلۡأَرۡحَامِ مَا نَشَآءُ إِلَىٰٓ أَجَلٖ مُّسَمّٗى ثُمَّ نُخۡرِجُكُمۡ طِفۡلٗا “Dan Kami tetapkan dalam rahim, apa yang kami kehendaki sampai pada waktu yang sudah ditentukan, kemudian kami keluarkan kamu sebagai bayi,” ada yang membaca وَنُقِرُّ dengan nashab, yakni وَنُقِرّ dan نُخۡرِجَ . Hal itu diriwayakan dari Abu Hatim, dari Abu Zaid, dari Mufadhdhal, dari Ashim.
            Abu Hatim berkata, “Qiraah nashab itu karena athaf.”
            Az-Zujaj, “ Lafadz نُقِرُّ harus dibaca rafa’, bukan lainnya.”
            Sebab makna firman Allah itu bukanlah ‘Kami melakukan itu didalam rahim untuk menetapkan apa yang kami kehendaki.” Akan tetapi, Allah Azza wa Jalla melakukan itu untuk menunjukkan mereka kepada petunjuk dan kebaikan.
            Menurut satu pendapat, makna firman tersebut adalah, untuk menjelaskan kepada mereka perkara kebangkitan. Dengan demikian, kalimat tersebut adalah kalimat sisipan di antara dua kalimat. Kelompok (yang mengatakan bahwa makna firman Allah tersebut adalah seperti ini) membaca firman Allah tersebut dengan rafa’, yakni وَنُقِرُّ . Maknanya, wa nahnu nuqirru (sedang Kami menetapkan). Qiraah rafa’ ini adalah qira’ah mayoritas ulama.
            Ada pula yang membacanya dengan lafadzh وَيُقِرُّ dan يُخۡرِجُكُمۡ –yakni dengan menggunakan huruf ya’ di awal kata-. Jika sesuai dengan qiraah ini, maka membaca rafa’ kedua kata tersebut adalah sesuatu hal yang dibolehkan.
            Ibnu Watstab membaca lafadz مَا نَشَآءُ dengan مَا نِشَاءُ –yakni dengan harakat kasrah pada huruf nun-.
Ajal yang telah ditentukan itu berbeda-beda sesuai dengan keadaan satu janin ke janin yang lain. Ada janin yang gugur dan ada pula yang sempurna sampai keluar dalam keadaan hidup.
            Dalam hal ini, Allah SWT berfirman, مَا نَشَآءُ “Apa yang Kami kehendaki,” dan bukan مَنْ نَشَآءُ “siapa yang Kami Kehendaki,” karena kata ما itu kembali kepada kehamilan. Maksudnya, ditetapkan di dalam rahim apa yang Kami kehendaki, yaitu berupa kehamilan dan gumpalan darah. Sedangkan kehamilan dan gumpalan darah adalah benda mati. Oleh karena itulah digunakan kata ... untuk menyebutnya.
            Kedua belas : Firman Allah SWT, ثُمَّ نُخۡرِجُكُمۡ طِفۡلٗا “Kemudian Kami keluarkan kamu sebagai bayi,” maksudnya adalah bayi-bayi. Sebab kata الطِّفۡل adalah isim jins (kata benda yang menunjukkan makna jenis). Selain itu, karena orang-orang arab itu terkadang menyebutkan jamak dengan kata yang berbentuk tunggal.
Al-Mubarrad berkata, “kata الطِّفۡل adalah isim yang digunakan sebagai mashdar (inivinitif), seperti kata الرِّضَى dan الْعَدْل , sehingga ia mencakup jamak dan tunggal. Allah SWT berfirman, أَوِ ٱلطِّفۡلِ ٱلَّذِينَ لَمۡ يَظۡهَرُواْ عَلَىٰ عَوۡرَٰتِ ٱلنِّسَآءِۖ  ‘atau anak-anak yang belum mengerti tentang aurat wanita’.”  (Surah An-Nur ayat 31)
            Ath-Thabari berkata, “Lafadz الطِّفۡل itu dibaca nashab karena berfungsi sebagai tamyiz. Contohnya adalah firman Allah SWT, فَإِن طِبۡنَ لَكُمۡ عَن شَيۡءٖ مِّنۡهُ نَفۡسٗا ‘kemudian jika mereka menyerahkan kepada kamu sebagai dari maskawin itu dengan dengan senang hati.” (QS. An-Nisaa’ ayat 4).
            Menurut satu pendapat, makna firman Allah tersebut adalah Kemi Keluarkan masing-masing kalian sebagai bayi.
            Kata الطِّفۡل biasanya digunakan untuk menyebut seorang anak sejak dia disapih hingga mencapai masa bagligh. Kata ini juga digunakan untuk menyebut anak semua binatang liar. Contohnya adalah, طِفۡلٌ  جَارِيَةٌ(satu orang anak perempuan adalah anak), طِفۡلٌ  جَارِيَتَانِ (dua anak perempuan adalah anak), dan طِفۡلٌ  جَوَارٍ (beberapa orang anak perempuan adalah anak). Begitu juga jika digabungkan dengan kata غُلَام .
            Bentuk kata ini adalah, طِفۡل (anak laki-laki) dan طِفۡلَة (anak perempuan), طِفۡلَان (dua anak laki-laki) dan طِفۡلَتَانِ (dua anak perempuan), serta أَطْفَال (beberapa orang anak) –kata أَطْفَال ini mencakup laki-laki dan perempuan-. Sebab tidak dikatakan طِفۡلَات .
            Makna أَطْفَلَتْ الْمَرْأَتُ adalah wanita itu memiliki anak. Sedangkan makna الْمُطْفِلَة adalah kijang betina yang membawa anaknya yang baru saja dilahirkan. Demikian pula dengan unta. Bentuk jamak dari kata ini adalah مَطَافِل dan مَطَافِيْل .
            Makna kata الطِّفۡل adalah yang lembut. Contohnya adalah, طَفۡلَة  جَارِيَةٌ (gadis yang lembut), dan بَنوْن طَفۡلٌ (anak-anak yang lembut). Sedangkan makna kalimat طَفَّلَ اللَّيْلُ adalah malam menjadi gelap. Makna kata الطَّفَل adalah selepas Ashar, ketika matahari bersiap untuk tenggelam. Kata ini juga bermakna hujan.
            ثُمَّ لِتَبۡلُغُوٓاْ أَشُدَّكُمۡۖ  “Kemudian (dengan berangsur-angsur) kamu sampailah epada kedewasaan. “menurut satu pendapat, lafadz ثُمَّ adalah tambahan seperti huruf wau yang terdapat pada firman Allah, حَتَّىٰٓ إِذَا جَآءُوهَا وَفُتِحَتۡ أَبۡوَٰبُهَا “sehinga apabila mereka sampai ke syurga itu sedang pintu-pintunya telah terbuka.” (QS. Az-Zumar ayat 73) sebab ثُمَّ adalah huruf yang berfungsi untuk mengurutkan seperti huruf wau.
            أَشُدَّكُمۡ “Kedewasaan,” maksudnya adalah, sempurnanya akal dan kekuatan kalian. Penjelasan mengenai kata ini sudah dipaparkan dalam pembahasan surah Al-An’aam.
            وَمِنكُم مَّن يُرَدُّ إِلَىٰٓ أَرۡذَلِ ٱلۡعُمُرِ “dan (ada pula) di antara kamu yang dipanjangkan umurnya sampai pikun,” maksudnya adalah, umur yang paling hina dan rendah, yaitu (umur dimana seseorang menjadi) tua dan pikun, sehingga dia tidak mampu mengingat. Oleh karena itulah Allah SWT berfirman, لِكَيۡلَا يَعۡلَمَ مِنۢ بَعۡدِ عِلۡمٖ شَيۡ‍ٔٗاۚ “Supaya dia tidak mengetahui lagi sesuatu pun yang dahulunya telah diketahuinya.” Begitu pula sebagaimana Dia berfirman dalam surah Yaasiin, وَمَن نُّعَمِّرۡهُ نُنَكِّسۡهُ فِي ٱلۡخَلۡقِۚ  “dan barang siapa yang kami panjangkan umurnya, niscaya kami kembalikan dia kepada kejadian(nya).”(QS. Yaasiin ayat 68).
            Rasulullah SAW pernah berdoa,
 اللَّهُمَّ  إِنِّي أَعُوْذُ بِكَ مِنَ الْبُخْلِ وَأَعُوْذُ بِكَ مِنَ الْجُبْنِ وَأَعُوْذُ بِكَ أَنْ أُرَدَّ إِلَى أَرْذَلِ الْعُمُرِ وَأَعُوْذُ بِكَ مِنْ فِتْنَةِ الدُّنْيَا وَعَذَابِ الْقَبْرِ .  
            “Ya Allah, sesungguhnya aku berlindung kepada-Mu dari sifat kikir, aku berlindung kepada-Mu dari sifat penakut, aku berlindung kepada-Mu dari panjang umur sampai pikun, aku berlindung kepada-Mu dari fitnah dunia dan siksa kubur.” (HR. An-Nasa’i dari Sa’d)
            An-Nasa’i berkata, “Sa’id mengajarkan doa itu kepada anak-anaknya, sebagaimana seorang guru mengajarkan kepada anak didik(nya). “Hal ini telah dijelaskan dalam surah An-Nahl.
            وَتَرَى ٱلۡأَرۡضَ هَامِدَةٗ “Dan kamu lihat bumi ini kering.” Allah SWT menyebutkan beberapa bukti yang menunjukkan adanya kebangkitan. Allah berfirman tentang bukti yang pertama, فَإِنَّا خَلَقۡنَٰكُم مِّن تُرَابٖ “Maka (ketahuilah) sesungguhnya Kami telah menjadikan kamu dari tanah.” Di sini, Allah mengarahkan pembicaraan kepada semua orang. Setelah itu Allah SWT berfirman tentang bukti yang kedua, وَتَرَى ٱلۡأَرۡضَ هَامِدَةٗ “dan kamu lihat bumi ini kering.” Di sini, Allah mengarahkan pembicaraan hanya kepada satu orang, sehingga lafadz yang pertama pun terpisah dari yang kedua. Namun demikian, makna lafadz yang kedua ini masih menyatu dengan lafadz yang pertama, dimana semua itu merupakan argumentasi untuk orang-orang yang mengingkari akan adanya hari kebangkitan.
            هَامِدَة “Kering,” maksudnya adalah, kering, tidak dapat menumbuhkan apapun. Demikianlah yang dikatakan Ibnu Juraij. Menurut satu pendapat, makna lafadz ini adalah terhapus. Sebab makna الهُمُوْد adalah terhapus.
            Al-Harawi berkata, “Makna هَامِدَة adalah kering dan berdebu.”
            Syamar berkata, “Kalimat, هَمَدَ شَجَرَ الْأَرْضِ artinya adalah pohon itu usang dan musnah. Sedangkan kalimat هَمَدَتْ أَصْوَاتُهُمْ artinya adalah suaranya diam.”
            Yang dimaksud dengan keringnya bumi adalah tidak ada kehidupan di sana, tidak adanya tumbuh-tumbuhan, tidak adanya pepohonan, dan ia tidak tersirami hujan. Dalam sebuah hadits dinyatakan, حَتَّى كَادَ يَهْمُدُ مِنَ الْجُوْعِ “hingga dia hampir binasa karena kelaparan.” Dikatakan, هَمَدَ الْثَّوْبُ artinya adalah baju itu menjadi usang.
فَإِذَآ أَنزَلۡنَا عَلَيۡهَا ٱلۡمَآءَ ٱهۡتَزَّتۡ “kemudian apabila telah Kami turunkan air diatasnya, hiduplah bumi itu,” maksudnya adalah, bergeraklah air di atasnya. Kata الْاِهْتِزَاز adalah kuatnya gerakan.  Contohnya adalah, هَزَزْتُ الشَّيْءَ فَاهْتَزَّ  (aku menggerakan sesuatu,  maka ia pun bergerak).  Atau, هَزَّ الْحَادِي الإِبِلَ هَزِيْزًا فَهْتَزَّتْ هِيَ (penyanyi itu menggerakkan unta sedemikian rupa sehingga unta itu bergerak melangkah karena nyanyiannya). Contoh lainnya adalah, اهْتَزَّ الْكَوْكَبُ فِيْ إِنْقِضَاضِهِ (planet itu bergerak pada porosnya) dan كَوْكَبٌ هَازٌّ (planet yang bergerak). Dengan demikian, bumi tergerak karena tumbuhan. Sebab tumnuhan tidak dapat keluar dari bumi, hingga sebagian bumi menghilangkan sebagian yang lain secara sembunyi-sembunyi. Oleh karena itu, Allah SWT menyebut peristiwa itu dengan ‘tergerak’, dimana penyebutan ini merupakan sebuah majaz.
Menurut satu pendapat, maknanya adalah, bergeraklah tumbuh-tumbuhannya. Jika berdasarkan pada pendapat ini, maka mudhaf dibuang. Demikianlah pendapat yang dikatakan Al-Mubarrad. Ihtizaz-nya bumi adalahgerakannya yang sangat kuat. Gerakan pada tumbuhan lebih jelas daripada gerakan pada bumi.
وَرَبَتْ “dan suburlah,” maksudnya adalah, naik dan bertambah. Menurut satu pendapat, maksudnya adalah, membengkak. Makna yang telah disebutkan tadi sebenarnya memiliki pengertian yang sama. Makna asal kata tersebut adalah tambahan, dari رَبَا الشَّيْءُ يَرْبُوْ - رُبُوُّا artinya adalah sesuatu bertambah. Dari kata itu kata الرَّبَا (riba) dan الرَّبْوَة (bukit) dibentuk.
Yazid bin Qa’qa dan Khalid bin Ilyas membaca dirman Allah tersebut dengan lafadz وَرَبَأَتْ, artinya dalah, meninggi hingga berada di tempat yang sangat tinggi, yakni orang yang melindungi suatu kaum karena sesuatu yang mulia.
وَأَنۢبَتَتۡ “dan menumbuhkan,” maksudnya adalah, mengeluarkan.
مِن كُلِّ زَوۡجِۢ  maksudnya adalah, berbagai macam tumbuh-tumbuhan.
بَهِيجٖ maksudnya adalah yang indah. Pendapat ini diriwayatkan dari Qatadah. Maksudnya, membuat orang yang melihatnya merasa indah. Al-Bahjah adalah keindahan. Contohnya adalah, رَجُلٌ ذُوْ بَهْجَه (orang yang memiliki keindahan). Kata ini dibentuk dari kata بَهَجَ يَبْهُجُ بَهَاجَةٌ - بَهِيْج sedangkan makna kalimat أَبْهَجْنِي adalah keindahan membuatku tertarik.
Ketika Allah menyifati tanah dengan ‘menumbuhkan’, maka hal ini menunjukkan bahwa firman Allah SWT, ٱهۡتَزَّتۡ وَرَبَتۡ “Hiduplah bumi itu dan suburlah,” kembali ke bumi, bukan ke tumbuhan. Wallahu a’lam.

7.     Al-Infithar ayat 6-8
 يَٰٓأَيُّهَا ٱلۡإِنسَٰنُ مَا غَرَّكَ بِرَبِّكَ ٱلۡكَرِيمِ ٦ ٱلَّذِي خَلَقَكَ فَسَوَّىٰكَ فَعَدَلَكَ ٧  فِيٓ أَيِّ صُورَةٖ مَّا شَآءَ رَكَّبَكَ ٨
6. Hai manusia, apakah yang telah memperdayakan kamu (berbuat durhaka) terhadap Tuhanmu Yang Maha Pemurah
7. Yang telah menciptakan kamu lalu menyempurnakan kejadianmu dan menjadikan (susunan tubuh)mu seimbang
8. dalam bentuk apa saja yang Dia kehendaki, Dia menyusun tubuhmu
            Firman Allah Ta’ala يَٰٓأَيُّهَا ٱلۡإِنسَٰنُ “Hai manusia,” yang Allah SWT maksudkan adalah manusia yang mengingkari hari kebangkitan, sementara Ibnu Abbas RA berkata, “Maksud dari manusia disini adalah Al Walid bin Al Mughirah, “Ikrimah berkata, “Ubayy bin Khalaf.”
            Ada yang mengatakan, ayat ini turun berkenaan dengan Abu Al Asyad bin Kaladah Al Jumahi, dari Ibnu Abbas RA, ia berkata, “Maksud dari firman Allah Ta’ala, مَا غَرَّكَ بِرَبِّكَ ٱلۡكَرِيمِ ‘Apakah yang telah memperdayakan kamu (berbuat durhaka)terhadap Tuhanmu Yang Maha Pemurah’ yaitu apa yang memperdayakanmu sehingga engkau menjadi kufur?
            بِرَبِّكَ ٱلۡكَرِيمِ Terhadap Tuhanmu Yang Maha Pemurah, ‘yakni yang menghapus kesalahanmu, Qatadah berkata, “Syetan yang telah menguasainya  telah memperdayakannya.”
            Sedangkan Al Hasan berkata, “Ia diperdayakan oleh syetannya yang keji.”
            Ada yang mengatakan, ia bodoh-bodohi oleh syetannya.
            Al Hasan meriwayatkannya dari Umar RA, dan mayoritas pengikut Hanafi meriwayatkan pula, ketika Rasulallah SAW membaca ayat يَٰٓأَيُّهَا ٱلۡإِنسَٰنُ مَا غَرَّكَ بِرَبِّكَ ٱلۡكَرِيمِ Hai manusia, apakah yang telah memperdayakan kamu (berbuat durhaka )terhadap tuhanmu yang Maha Pemurah,” beliau bersabda, ‘kebodohan telah memperdayakannya.
            Shalih bin Mismar berkta, ‘Telah sampai kepada kami bahwa Rasulullah SAW membacanya ayat يَٰٓأَيُّهَا ٱلۡإِنسَٰنُ مَا غَرَّكَ بِرَبِّكَ ٱلۡكَرِيمِ “Hai manusia, Apakah yang telah memperdayakan kamu (berbuat durhaka) terhadap tuhanmu yang Maha Pemurah.”
            Beliau bersabda, ‘Kebodohannya telah memperdayakanya’ Umar RA berkata, ayat ini sama dengan firman-Nya إِنَّهُۥ كَانَ ظَلُومٗا جَهُولٗا ٧٢ Sesungguhnya manusia itu Amar zhalim dan Amat bodoh,” (Qs. Al Ahzaab[33]:72) ada yang mengatakan, anugerah Allah SWT malah membuatnya terpedaya, karena pada mulanya Allah SWT belum menghukumnya, Ibrahim bin Al Asy’ats berkata, dikatakan kepada Fudhail bin Iyadh, ‘Jika Allah SWT menghadapkanmu pada sisi-Nya di hari kiamat, dan Dia berkata kepadamu  مَا غَرَّكَ بِرَبِّكَ ٱلۡكَرِيمِ Apakah yang telah memperdayakan kamu (berbuat durhaka) terhadap Tuhanmu yang Maha Pemurah, ‘Yang mebuatku terpedaya adalah tirai-Nya, Ibnu As-Simak menyebutkan dalam syairnya:
            Dzu Nun Al Mashri berkata, “Berapa banyak orang yang terpedaya di balik tabir, sedangkan ia tidak merasa,”
            Abu Bakar bin Thahir Al Abhuri menyendungkan sebuah syair:
يَا مَنْ غَلَا فِى الْعُجْبِ وَ التِّيْهِ            وَغَرَّهُ طُوْلَ تَمَادِيْهِ
أَمْلَى لَكَ اللَّهُ فَبَارَزْتُهُ             وَلَمْ تَخَفْ غِبَّ مَعَاصِيْهِ
“Wahai orang yang berlebihan dalam kebanggan dan kesombongan dan ia telah terpedaya dengan kesinambunganya (dalam kesombongan itu)
Allah SWT memberimu nikmat tetapi engkau malah menentangnya, dan engkau tidak takut akibat dari maksiat kepada-Nya.”
            Diriwayatkan dari Ali RA, suatu ketika memanggil seorang anak berkali- kali tetapi anak tersebut tidak menjawabnya, kemudian Ali menghampirinya dan anak tersebut sedang berada di sisi pint, Ali pun bertanya kepadanya, “Mengapa engkau tidak menjawab panggilanku?” anak anak itu menjawab, “Aku mohon kemurahan hatimu, dan aku memohon pula keamanan dari hukumanmu.”
            Karena ia menjawab dengan jawaban yang baik. Ali pun melepaskannya.
            Sekelompok orang mengatakan مَا غَرَّكَ maksudnya adalah apa yang membuatmu tertipu, apa yang membuatmu terpikat, hingga engkau menyia-nyiakan kewajibanmu?
            Ibnu Ma’ud RA berkata “Tiada seorangpun dari kalian pada hari kiamat melainkan Allah akan memanggil ke hadapan-Nya, kemudian Dia bertanya kepadanya, “Wahai anak Adam apa yang telah kau perbuat dengan apa yang telah kau ketahui? Wahau anak Adam bagaimana engkau memenuhi  ajakan para rasul?
            Firman Allah Ta’ala ٱلَّذِي خَلَقَكَ “Yang telah menciptakan kamu,” yaitu yang mengatur penciptaanmu dari setetes air mani
            فَسَوَّىٰكَ “Lalu menyempurnakan kejadianmu,” dalam perut ibumu, kemudian menjadikan bagimu memiliki dua tangan , dua kaki, sepasang mata, serta seluruh anggota tubuhmu, فَعَدَلَكَ Dan menjadikan (susunan tubuh)mu seimbang”
            Firman Allah Ta’ala فَعَدَلَكَ yakni menjadikanmu ciptaan yang lurus, sepadan dan seimbang, seperti dikatakan  هَذَا شَيْءٌ مُعَدَّلٌ(ini sesuatu yang lurus), qira’ah ini adalah qira’ah mayoritas ulama, dan qira’ah yang dipilih oleh Abu Ubaid dan Abu Hatim
                Al Farra’ dan Abu Ubaid mengatakan,dalilnya adalah firman Allah Ta’ala,  لَقَدۡ خَلَقۡنَا ٱلۡإِنسَٰنَ فِيٓ أَحۡسَنِ تَقۡوِيمٖ ٤ “Sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia dalam bentuk yang sebaik-baiknya.”(Qs.At-Tiin[95]:4)
            Penduduk Kufah, Ashim, Hamzah, dan Al  Kisa’I membacanya فَعَدَلَكَ dengan  takhfif, yang berarti Dia memiringkan dan merubahmu kepada bentuk yang Dia kehendaki, baik itu bagus ataupunburuk, panjang atau pun pendek, Musa bin Ali bin Abu Rabah Al Lakhmi meriwayatkan dari ayahnya dari kakeknya, ia berkata, “Nabi Muhammad SAW mengatakan kepadaku ‘Sesungguhnya nuthfah (air mani) jika sudah menetap di dalam rahim, Allah SWT mendatangkan kepadanya setiap keturunan antara dia dan Nabi Adam”. Sedangkan ayat yang telah kau baca, فِيٓ أَيِّ صُورَةٖ مَّا شَآءَ رَكَّبَكَ  “Dalam bentuk apa saja yang Dia kehendaki, Dia menyusun tubuhmu.فِيْمَا بَيْنَكَ وَ بَيْنَ ادَمَ ‘Dalam bentuk antara kamu dan Adam, ‘
Ikrimah dan Abu Shalih mengatakan bahwa maksud firman Allah SWT Ta’ala فِيٓ أَيِّ صُورَةٖ مَّا شَآءَ رَكَّبَكَ  Dalam bentuk apa saja yang Dia kehendaki, Dia menyusun tubuhmu.”  Jika Allah menghendaki, Dia menyusun tubuhmu dalam bentuk manusi, bentuk keledai, bentuk kera, atau pun dalam bentuk babi.
            Makhluk berkata, “Jika Dia menghendaki, Dia menjadikanmu perempuan, dan  jika Dia menghendaki, Dia menjadikanmu laki-laki, “Mujahid mengatakan tentang Firman Allah Ta’ala, فِيٓ أَيِّ صُورَةٖ  Yakni dalam bentuk yang mirip, baik ayah, ibu, paman, bibi, ataupun yang lainnya.”
            Lafadz رَكَّبَكَ terkait dengan lafazh  عَدَلَكَ bagi yang membacanya dengan takhfif, karena Anda mengatakan عُدِّلْتُ إِلَى كَذَا(aku telah kembali kepda sesuatu) dan Anda tidak mengucapkan عُدِّلْتُ فِى كَذَا (aku telah  kembali pada sesuatu), oleh karena itu Al Farra’ melarang membaca lafazh tersebut dengan qira’ah takhfif, karena ia menetapkan bahwa  فِىterkait dengan lafazhعَدَلَكَ dan مَا boleh mempunyai shillah muakkadah (hubungan yang menguatkan), yakni dalam bentuk apa saja yang Dia kehendaki, Dia menyusun tubuhmu, atau boleh juga lafazh  مَاmenjadi lafazh syarthiyyah (persyaratan), yakni  jika Dia menghendaki, Dia menyusun tubuhmu  bukan dalam bentuk apa saja yang Dia kehendaki  untuk menyususn tubuhmu, Dia pasti menyusun tubuhmu.
8.     Az-Zumar ayat 6
خَلَقَكُم مِّن نَّفۡسٖ وَٰحِدَةٖ ثُمَّ جَعَلَ مِنۡهَا زَوۡجَهَا وَأَنزَلَ لَكُم مِّنَ ٱلۡأَنۡعَٰمِ ثَمَٰنِيَةَ أَزۡوَٰجٖۚ يَخۡلُقُكُمۡ فِي بُطُونِ أُمَّهَٰتِكُمۡ خَلۡقٗا مِّنۢ بَعۡدِ خَلۡقٖ فِي ظُلُمَٰتٖ ثَلَٰثٖۚ ذَٰلِكُمُ ٱللَّهُ رَبُّكُمۡ لَهُ ٱلۡمُلۡكُۖ لَآ إِلَٰهَ إِلَّا هُوَۖ فَأَنَّىٰ تُصۡرَفُونَ ٦
6. Dia menciptakan kamu dari seorang diri kemudian Dia jadikan daripadanya isterinya dan Dia menurunkan untuk kamu delapan ekor yang berpasangan dari binatang ternak. Dia menjadikan kamu dalam perut ibumu kejadian demi kejadian dalam tiga kegelapan. Yang (berbuat) demikian itu adalah Allah, Tuhan kamu, Tuhan Yang mempunyai kerajaan. Tidak ada Tuhan selain Dia; maka bagaimana kamu dapat dipalingkan.
            Firman Allah SWT, خَلَقَكُم مِّن نَّفۡسٖ وَٰحِدَةٖ “Dia menciptakan kamu dari seorang diri” yakni Adam ثُمَّ جَعَلَ مِنۡهَا زَوۡجَهَا “kemudian Dia jadikan daripadanya isterinya” yakni untuk menghasilkan keturunan, dan ini telah dijelaskan sebelumnya dalam tafsir surah Al A’raaf. Dan surah lainnya. وَأَنزَلَ لَكُم مِّنَ ٱلۡأَنۡعَٰمِ ثَمَٰنِيَةَ أَزۡوَٰجٖۚ “dan Dia menurunkan untuk kamu delapan ekor yang berpasangan dari binatang ternak” Allah SWT mengabarkan tentang pasnagan-pasangan yang diturunkan. Sebabnya, hewan-hewan tersebut tumbuh dengan adanya air yang diturunkan. Inilah yang disebut dengan gradualitas. Sama seperti firman-Nya, قَدْ أَنْزَلْنَا عَلَيْكُمْ لِبَاسًا  . “Sesungguhnya Kami telah menurunkan kepadamu pakaian.”.
            Sa’id bin Jubair berkata, “Anzala bermakna khalaqa menciptakan.” Ada yang mengatakan, “Allah SWT menciptakan hewan-hewan ini disurga kemudian menurunkannya ke bumi, sebagaimana yang dikatakan didalam firman-Nya . وَ أَنْزَلْنَا الْحَدِيْدَ فِيْهِ “Dan Kami ciotakan besi yang padanya terdapat kekuatan yang hebat.” Ketika Adam A.S diturunkan ke bumi diturunkannya bersamanya pula besi. Ada yang mengatakan, وَ أَنْزَلْنَا لَكُمْ مِنَ الْأَنْعَامِ “Dan Dia menurunkan untuk kamu binatang ternak,” yakni bermakna a’thaakum (memberikan kepadamu).
            Ada yang mengatakan, “Bermakna menurunkan (perintah) penciptaan, sebab penciptaan hanya terjadi dengan adanya ketetapan yang turun dari langit. Maka makna: Menciptakan untuk kamu yang demkian, berdasarkan ketetapan-Nya yang turun.”
            ٖۚ يَخۡلُقُكُمۡ فِي بُطُونِ أُمَّهَٰتِكُمۡ خَلۡقٗا مِّنۢ بَعۡدِ خَلۡقٖ  “Dia menjadikan kamu dalam perut ibumu kejadian demi kejadian.” Qatadah dan As-Suddi berkata, “Dari nuthfah (air mani), lalu ‘alaqah (segumpal darah), kemudian mudhgah (sepotong daging), kemudian (‘azhmaa) tulang-tulang dan kemudian (lahmaa) daging.” Ibnu Zaid berkata خَلۡقٗا مِّنۢ بَعۡدِ خَلۡقٖ “Kejadian demi Kejadian” penciptaan di perut ibu kamu setelah sebelumnya penciptaan pada tulang punggung Adam A.S.
Ada yang mengatakan, pada tulang punggung ayah, lalu penciptaan pada perut itu lalu penciptaan setelah masa persalinan. Demikian yang dinyatakan Al Mawardi.
فِي ظُلُمَٰتٖ ثَلَٰثٖۚ Dalam tiga kegelapan,”  yakni kegelapan dalam perut, kegelapan dalam Rahim dan kegelapan dalam ari-ari. Demikian yang disebutkan Ibnu Abbas RA, Ikrimah, Mujahid Qatadah dan Adh-Dhahak.
            Ibnu Jubir berkata, “kegelapan masyimah (kegelapan Rahim dan kegelapan malam).” Pendapat pertama lebih benar.
            Ada yang mengatakan, “Kegelapan tulang punggung lelaki, kegelapan perut ibu dan kegelapan rahim. Ini pendapat Abu Ubaidah, yakni tidak ada kegelapan yang mampu menahannya sebagaimana tidak seorang makhluk pun yang mampu menahannya.
 ذَٰلِكُمُ ٱللَّهُ Yang (berbuat) demikian itu adalah Allah” yakni yang menciptakan semua ini. رَبُّكُمۡ لَهُ ٱلۡمُلۡكُۖ لَآ إِلَٰهَ إِلَّا هُوَۖ  Tuhan kamu, Tuhan yang mempunyai kerajaan. Tidak ada tuhan selain dia.” فَأَنَّىٰ تُصۡرَفُونَ “Maka bagaimana kamu dapat dipalingkan?”  yakni bagaimana bisa kamu meninggalkan penyembahan-Nya dan menyembah yang lain selain Allah SWT Hamzah membacanya, (‘immahaatikum). Ulama lainnya membacanya dengan dhammah hamzah dan fathah mim (‘ummahatikum).
9.     Luqman ayat 13
وَإِذۡ قَالَ لُقۡمَٰنُ لِٱبۡنِهِۦ وَهُوَ يَعِظُهُۥ يَٰبُنَيَّ لَا تُشۡرِكۡ بِٱللَّهِۖ إِنَّ ٱلشِّرۡكَ لَظُلۡمٌ عَظِيمٞ ١٣
13. Dan (ingatlah) ketika Luqman berkata kepada anaknya, di waktu ia memberi pelajaran kepadanya: "Hai anakku, janganlah kamu mempersekutukan Allah, sesungguhnya mempersekutukan (Allah) adalah benar-benar kezaliman yang besar"
Dalam ayat ini dibahas delapan masalah, yaitu :
            Pertama: Firman Allah Subhanu wata’ala, وَوَصَّيۡنَا ٱلۡإِنسَٰنَ بِوَٰلِدَيۡهِ Dan Kami perintahkan kepada manusia (berbuat baik) kepada dua orang ibu-bapaknya.” Dua ayat diatas merupakan selingan di antara wasiat Luqman. Namun ada yang mengatakan bahwa sesungguhnya ini termasuk wasiat yang disampaikan oleh Luqman kepada anaknya yang Allah beritakan. Maksudnya adalah Luqman berkata kepada anaknya, “janganlah kamu menyekutukan Allah dan janganlah kamu taat kepada kedua orangtuamu dalam hal berbuat syirik. Sebab, Allah Subhanu wata’ala telah mewasiatkan taat kepada kedua orang tua selama hal-hal tersebut tidak ada kaitannya dengan ke Syirikan dan kemaksiatan kepada Allah Subhanu wata’ala.
            Ada juga yang berpendapat bahwa maksudnya adalah ketika Luqman berkata kepada anaknya, Kami berfirman kepada Luqman lewat hikmah yang Kami berikan kepadanya, “Dan kami perintahkan kepada manusia (berbuat baik) kepada dua orang ibu bapaknya.” Maksudnya adalah Kami firmankan kepada Luqman, “bersyukurlah kepada Allah”, dan Kami firmankan kepadanya juga, “Dan Kami perintahkan kepada manusia.”
            Selain itu, ada yang berpendapat bahwa maksudnya adalah, ketika Luqman berkata kepada anaknya, “janganlah kamu menyekutukan,” dan kami perintahkan kepada manusia (berbuat baik) kepada kedua orang ibu bapaknya, maka kami perintahkan manusia dengan ini dan Luqman memerintahkan anaknya dengan ini.
            Semua pendapat ini disebutkan oleh Qusyairi. Akan tetapi pendapat yang benar adalah kedua ayat ini turun pada Sa’ad bin Abu Waqqash, sebagaimana yang telah dijelaskan dalam surat Al-Ankabuut. Inilah pendapat yang dipegang oleh sejumlah ahli Tafsir
Kesimpulannya, taat kepada kedua ibu bapak tidak berlaku dalam hal melakukan dosa besar dan tidak berlaku dalam hal meninggalkan kewajiban yang bersifat individual. Tetapi wajib taat pada hal-hal yang mubah (dibolehkan) dan lebih baik tetap taat dalam hal meninggalkan ketaatan yang bersifat sunnah. Misalnya, jihad kifayah dan memperkenankan panggilan ibu dalam shalat yang masih bisa diulang, karena khawatir ada sesuatu yang mungkin dapat mencelakai ibu dan hal-hal lain yang membolehkan shalat dihentikan.
Namun Hasan tidak sependapat dengan pernyataan tersebut. Dia berkata, “jika ibunya melarangnya untuk hadir shalat Isya berjamaah karena kasihan, maka perintah itu tidak boleh ditaati.
Kedua: ketika Allah memberikan keistimewaan kepada Ibu dengan suatu derajat, dia menyebutkan kehamilan dan dengan derajat lain, menyebutkan perihal menyusui. Dengan demikian, ibu mendapatkan tiga derajat sedangkan ayah mendapatkan satu derajat. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam sendiri pernah mengisyaratkan, ketika seorng sahabat bertanya kepada beliau, “Siapa yang paling pantas aku aku berbakti kepadanya?” belaiu menjawab, “Ibumu.” Laki-laki itu bertanya, “kemudian siapa?” beliau menjawab, “Ibumu.” Laki-laki itu bertanya lagi, “kemudian siapa?” beliau menjawab, “Ibumu.” Laki-laki itu terus bertanya, “kemudian siapa?” beliau menjawab, “Ayahmu”.
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam hanya menjadikan untuk ayah seperempat dari kebaktian seorang anak sebagaimana yang terkandung dalam ayat ini. Semua keterangan ini telah dipaparkan dalam surah Al-Israa’.
Ketiga: Firman Allah Subhanu wata’ala, وَهۡنًا عَلَىٰ وَهۡنٖ “dalam keadaan lemah yang bertambah-tambah,” maksudnya adalah, ibu mengandungnya di dalam perut, sementara dia sendiri hari demi hari kan melemah. Ada yang berpendapat bahwa maksudnya adalah kondisi (fifik) perempuan itu lemah, kemudian dibuat lemah lagi oleh kehamilan.
Isa Ats-Tsaqafi membaca وَهَنًا عَلَىٰ وَهَنٖ -yakni dengan kedua huruf ha’ berharakat fathah-. Qiraah ini juga diriwayatkan oleh Abu Amr. Keduanya bermakna sama. Kata tersebut diambil dari وَهُنَ يَوْهَنُ , وَهَنَ يَهِنُ  dan  وَهِنَ يَهِنُ .   Kata وَهَنًا berada pada posisi nashab karena berfungsi sebagai mashdar. Demikian pendapat yang dikatakan oleh Al-Qusyairi. Namun menurut An-Nuhas, kata tersebut berfungsi sebagai maf’ul kedua dengan menghilangkan huruf jar. Maksudnya, ibunya mengandungnya dalam kondiisi lemah di atas lemah.
Jumhur ulama membaca وَفِصَالُهُ , sedangkan Hasan dan Ya’qub membacanya dengan lafadz وَفَصْلُهُ .  kedua qiraah tersebut ada dalam bahasa arab. Maknanya, dan penyapihannya pada waktu habis masa dua tahun. Maksud al-fishal adalah sapih. Artinya, dia mengungkapkan dengan tujuan dan akhirnya. Contohnya adalah,  الفَصْلُ عَنْ كَذَا (dia terpisah atau berbeda dari ini). Dengan demikian, anak yang telah disapih disebut Al-Fishal.
Keempat: para ulama sepakat tentang dua tahun masa menyusui bahwa ini terkait dengan hukum dan nafkah. Sedangkan terkait pengharaman karena ASI, maka sesuatu kelompok membatasi satu tahun, tidak lebih dan tidak kurang.
Kelompok lain berkata, “Dua tahun dan bulan serta hari yang bersambung dengan dua tahun tersebut, apabila anak terus menyusui.”
Kelompok lain lagi berkata, “jika seorang anak disapih sebelum dua tahun dan meninggalkan ASI, maka jika dia meminim ASI kembali masih dalam masa dua tahun maka tidak menjadikannya haram.” Tentang hal ini telah dijelaskan sebelumnya dalam surah Al-Baqarah.
Kelima : Firman Allah Subhanu wata’ala, أَنِ ٱشۡكُرۡ لِي “bersyukurlah kepada-Ku.” أَنِ di sini berada pada posisi nashab, menurut pendapat Az-Zujaj. Maknanya adalah Kami perintahkan kepada manusia (berbuat baik) kepada kedua orang ibu bapaknya, bersyukurlah kepada-Ku. Menurut An-Nuhas, yang lebih baik dari itu bahwa أَنِ adalah An Mufassirah. Maknanya adalah Kami katakan kepadanya bahwa bersyukurlah kepada-Ku dan kepada kedua orangtuamu.
Ada yang mengatakan bahwa syukur kepada Allah Subhanu wata’ala atas nikmat iman dan kepada kedua orangtua atas nikmat pendidikan. Sufyan bin Uyainah berkata, “barangsiapa yang shalat lima waktu, maka sungguh dia telah bersyukur kepada Allah dan barangsiapa yang mendoakan kedua orangtuanya di setiap selesai shalat, maka sungguh dia telah bersyukur (berterima kasih) kepada keduanya.”
Keenam: Allah Subhanu wata’ala berfirman :                                         
وَإِن جَٰهَدَاكَ عَلَىٰٓ أَن تُشۡرِكَ بِي مَا لَيۡسَ لَكَ بِهِۦ عِلۡمٞ فَلَا تُطِعۡهُمَاۖ وَصَاحِبۡهُمَا فِي ٱلدُّنۡيَا مَعۡرُوفٗاۖ وَٱتَّبِعۡ سَبِيلَ مَنۡ أَنَابَ إِلَيَّۚ ثُمَّ إِلَيَّ مَرۡجِعُكُمۡ فَأُنَبِّئُكُم بِمَا كُنتُمۡ تَعۡمَلُونَ ١٥
Artinya : Dan jika keduanya memaksamu untuk mempersekutukan dengan Aku sesuatu yang tidak ada pengetahuanmu tentang itu, maka janganlah kamu mengikuti keduanya, dan pergaulilah keduanya di dunia dengan baik, dan ikutilah jalan orang yang kembali kepada-Ku, kemudian hanya kepada-Kulah kembalimu, maka Kuberitakan kepadamu apa yang telah kamu kerjakan. (QS. Luqman ayat 15).
Kami telah menjelaskan bahwa ayat ini dan ayat sebelumnya turun pada Sa’ad bin Abu Waqqash. Tepatnya ketika dia telah memeluk agama Islam dan Ibunya yang bernama Hammah binti Abu Sufyan bin Umayah bersumpah tidak akan makan, sebagaimana yang telah disampaikan dalam penjelasan ayat sebelumnya.
Ketujuh: Firman Allah Subhanu wata’ala, وَصَاحِبۡهُمَا فِي ٱلدُّنۡيَا مَعۡرُوفٗاۖ  ”dan pergaulilah keduanya di dunia dengan baik.” Lafadz  مَعۡرُوفٗا adalah na’at kepada mashdar yang tidak disebutkan, yaitu pergaulan yang baik. Arti مَعۡرُوفٗا sendiri adalah sesuatu yang bagus.
Ayat ini merupakan dalil menyambung hubungan dengan kedua orangtua yang kafir dengan memberikan harta, jika keduanya fakir, mengucapkan kata-kata yang santun dan mengajak keduanya kepada islam dengan lembut.
Asma’ binti Abu Bakar Ash-Shiddiq pernah berkata kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam, ketika bibinya dari pihak –ada yang mengatakan, ibu susuannya- datang menemuinya, “wahai Rasulullah, sesungguhnya ibuku telah datang menemuiku, padahal dia sendiri tidak suka. Apakah aku harus menyambung silaturahim dengannya?” beliau menjawab, “Iya.”
Ada yang berpendapat bahwa maksud tidak suka di sini adalah tidak suka terhadap Islam. Ibnu Athiyyah berkata, Menurutku, dia tidak suka membangun hubungan dengannya dan tidaklah mungkin dia menemui Asma’ seandainya tidak ada keperluan.
Ibu kandung Asma’ adalah Qutailah binti Abdul Uzza bin Abdu Asad. Sedangkan ibu kandung Aisyah dan Abdurrahman adalah Ummu Rumman, salah seorang perempuan yang terdahulu memeluk Islam.
Kedelapan : Firman Allah Subhanu wata’ala, وَٱتَّبِعۡ سَبِيلَ مَنۡ أَنَابَ إِلَيَّۚ  ”Dan ikutilah jalan orang-orang yang bertaubat kepada-Ku.” Adalah wasiat kepada seluruh alam. Seakan-akan yang diperintahkan adalah manusia. أَنَابَ artinya condong dan kembali kepada sesuatu. Inilah jalan para nabi dan orang-orang shalih.
An-Naqqasy menceritakan bahwa yang diperintahkan adalah Sa’ad dan orang-orang yang kembali adalah Abu Bakar. Daia nerkata, “Sesungguhnya setelah Abu Bakar berislam, Sa’ad, Abdurrahman bin Auf, Utsman, Thalhah, Sa’id, dan Zubair datang menemuinya. Mereka berkata, ‘kamu telah beriman!’ Abu Bakar menjawab, ‘iya’. Maka turunlah padanya ayat,
أَمَّنۡ هُوَ قَٰنِتٌ ءَانَآءَ ٱلَّيۡلِ سَاجِدٗا وَقَآئِمٗا يَحۡذَرُ ٱلۡأٓخِرَةَ وَيَرۡجُواْ رَحۡمَةَ رَبِّهِۦۗ قُلۡ هَلۡ يَسۡتَوِي ٱلَّذِينَ يَعۡلَمُونَ وَٱلَّذِينَ لَا يَعۡلَمُونَۗ إِنَّمَا يَتَذَكَّرُ أُوْلُواْ ٱلۡأَلۡبَٰبِ ٩
Artinya :  (Apakah kamu hai orang musyrik yang lebih beruntung) ataukah orang yang beribadat di waktu-waktu malam dengan sujud dan berdiri, sedang ia takut kepada (azab) akhirat dan mengharapkan rahmat Tuhannya? Katakanlah: "Adakah sama orang-orang yang mengetahui dengan orang-orang yang tidak mengetahui?" Sesungguhnya orang yang berakallah yang dapat menerima pelajaran. (QS. Az-Zumar ayat 9).
            Ketika mendengar ayat ini, keenam orang tersebut pun memeluk Islam. Maka Allah Subhanu wata’ala menurunkan firman-Nya kepada mereka,
وَٱلَّذِينَ ٱجۡتَنَبُواْ ٱلطَّٰغُوتَ أَن يَعۡبُدُوهَا وَأَنَابُوٓاْ إِلَى ٱللَّهِ لَهُمُ ٱلۡبُشۡرَىٰۚ فَبَشِّرۡ عِبَادِ ١٧ ٱلَّذِينَ يَسۡتَمِعُونَ ٱلۡقَوۡلَ فَيَتَّبِعُونَ أَحۡسَنَهُۥٓۚ أُوْلَٰٓئِكَ ٱلَّذِينَ هَدَىٰهُمُ ٱللَّهُۖ وَأُوْلَٰٓئِكَ هُمۡ أُوْلُواْ ٱلۡأَلۡبَٰبِ ١٨
Artinya :  Dan orang-orang yang menjauhi thaghut (yaitu) tidak menyembahnya dan kembali kepada Allah, bagi mereka berita gembira; sebab itu sampaikanlah berita itu kepada hamba-hamba-Ku. Yang mendengarkan perkataan lalu mengikuti apa yang paling baik di antaranya. Mereka itulah orang-orang yang telah diberi Allah petunjuk dan mereka itulah orang-orang yang mempunyai akal. (QS. Az-Zumar ayat 17-18)
            Ada yang berpendapat bahwa maksud orang yang kembali itu adalah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam. Ibnu Abbas Radiyallahu anhu berkata, “Ketika Sa’ad masuk Islam, maka kedua saudaranya, Amir dan Uwaimar pun ikut masuk Islam. Tidak ada seorangpun dari mereka yang musyrik kecuali Utbah.”
            Kemudian Allah Subhanu wata’ala mengancam dengan bangkitnya orang-orang yang ada di dalam kubur dan kembali kepada-Nya untuk pembalasan dan penghitung amal, baik kecil maupun besar.

Sumber: Terjemah Tafsir al-Qurthubi

Tidak ada komentar:

Posting Komentar