1.
An-Nisa ayat 1
يَٰٓأَيُّهَا ٱلنَّاسُ ٱتَّقُواْ
رَبَّكُمُ ٱلَّذِي خَلَقَكُم مِّن نَّفۡسٖ وَٰحِدَةٖ وَخَلَقَ مِنۡهَا زَوۡجَهَا
وَبَثَّ مِنۡهُمَا رِجَالٗا كَثِيرٗا وَنِسَآءٗۚ وَٱتَّقُواْ ٱللَّهَ ٱلَّذِي
تَسَآءَلُونَ بِهِۦ وَٱلۡأَرۡحَامَۚ إِنَّ ٱللَّهَ كَانَ عَلَيۡكُمۡ رَقِيبٗا ١
Hai sekalian
manusia, bertakwalah kepada Tuhan-mu yang telah menciptakan kamu dari seorang
diri, dan dari padanya Allah menciptakan isterinya; dan dari pada keduanya
Allah memperkembang biakkan laki-laki dan perempuan yang banyak. Dan
bertakwalah kepada Allah yang dengan (mempergunakan) nama-Nya kamu saling
meminta satu sama lain, dan (peliharalah) hubungan silaturrahim. Sesungguhnya
Allah selalu menjaga dan mengawasi kamu.
Didalam ayat ini dibahas enam
masalah:
Pertama: Firman Allah يَٰٓأَيُّهَا
ٱلنَّاسُ ٱتَّقُواْ رَبَّكُمُ ٱلَّذِي خَلَقَكُم “Hai sekalian manusia bertakwalah
kepada Tuhanmu yang telah menciptakan kamu.”
Dalam
pembahasan surah Al-Baqarah, telah dijelaskan makna kata ٱلنَّاسُ , begitu pula
arti kata ٱلزَوج, الخَلقُ, الرَّبُّ,
التَّقْوَى dan البَثُ oleh karena itu penjelasan tentang makna kata-kata tersebut tidak perlu
diulangi disini, Ayat ini mengingatkan kembali manusia akan penciptaannya.
Firman Allah, وَٰحِدَةٖ “Dari diri yang satu” disebutkan dalam pola ta’nits (kata ynag
menunjuk pada jenis perempuan), karena mengikuti kata sebelumnya yaitu نَّفۡسٖ meskipun yang dimaksud adalah mudzakkar.
Kalimat itu bisa juga diungkapkan dengan مِّن
نَّفۡسٖ وَٰحِدَةٖ untuk menjaga keaslian kalimat tersebut, dan
maksud النَّفسُ adalah Nabi Adam A.S.
Mujahid dan Qatadah
berkata, “Kalimat tersebut menurut Qira’ah Ibnu Abu Ablah adalah وَٰحِدٍ tanpa menyebutkan huruf ha.
Firman Allah وَبَثَّ “Memperkembangbiakkan”, di ayat lain, Allah SWT berfirman وَزَرَابِيُّ
مَبۡثُوثَةٌ ١٦ “dan permadani-permadani yang terhampar”. (Q.S Al Ghaasyiyah [88]: 16), dan pembahasan
tentang lafazh ini telah dijelaskan dalam surah Al Baqarah.
Firman Allah مِنۡهُمَا “Dari keduanya” maksudnya dari Adam dan Hawa. Mujahid berkata,
“Hawa diciptakan dari tulang rusuk Adam yang bengkok”. Hal ini berdasarkan
sabda Nabi SAW:
خُلِقَتِ
الْمَرْأَةُ مِنْ ضِلَعٍ عَوْجَاءَ
“Wanita diciptakan dari
tulang rusuk yang bengkok.”
Firman Allah رِجَالٗا
كَثِيرٗا وَنِسَآءٗۚ “Laki-laki dan peremuan yang banyak”. Maksudnya, meliputi keturunan Adam dan Hawa,
baik yang berjenis kelamin pria maupun wanita. Oleh karena itu, al khuntsa (yang
memiliki dua kelamin) tidak termasuk bagian dari kedua jenis itu. Meskipun
demikian ia memiliki kecenderungan sifat dan perilaku yang dapat mengembalikan
identitas jati dirinya yang sebenarnya, maka ketika itu ia bisa diidentifikasi
sebagai pria atau wanita, seperti yang telah dijelasakan sebelumnya dala surah
Al Baqarah, berdasarakan pertimbangan kekurangan atau kelebihan anggota tubuh.
Kedua: Firman
Alah SWT وَٱتَّقُواْ ٱللَّهَ ٱلَّذِي
تَسَآءَلُونَ بِهِۦ وَٱلۡأَرۡحَامَۚ “Dan bertakwalah kepada Allah yang dengan
(mempergunakan) nama-Nya kamu saling meminta satu sama lain, dan (peliharalah)
hubungan silaturrahim.” Pengulangan kata takwa disini merupakan penekanan dan peringatan kepada
setiap jiwa yang diperintahkan untuk memperhatikan hal tersebut, sedangkan kata
ٱلَّذِي “yang” berada dalam posisi nashab (kata yang akhirnya
diberi baris fathah) karena mengikuti na’at (kata sifat) sebelumnya. Lafazh ٱلۡأَرۡحَامَۚ (hubungan silaturrahim) berkedudukan sebagai
ma’thuf. Yang maknanya, bertakwalah kepada Allah dikala kmau berbuat maksiat
dan bertakwalah kepada Allah dalam rangka memelihara hubungan silaturrahim
dikala kamu memutuskannya. Para ulama Ahlu Madinah membaca lafazh تَسْآءَلُونَ dengan cara mengidghamkan huruf ta kedalam
huruf sin تَسَآءَلُونَ . Sedangkan Ulama Kufah membacanya dengan
membuang huruf ta disebabkan bertemunya dua ta dan mentakhfifkan pengucapan huruf
sin, سَآءَلُونَ karena maknanya dapat dipahami dengan jelas
sebagaimana firman Allah SWT وَلَا
تَعَاوَنُواْ عَلَى ٱلۡإِثۡمِ وَٱلۡعُدۡوَٰنِۚ “Dan tolong-menolonglah kamu dalam
(mengerjakan) kebajikan dan takwa, dan jangan tolong-menolong dalam berbuat
dosa dan pelanggaran.” (Q.S Al Maidah [5]: 2), dengan demikian juga pada lafazh تَنَزَّلُ dan yang sama dengannya.
Ibrahim An-Nakha’i,
Qatadah, Al A’masy, dan Hamzah membaca lafazh ٱلۡأَرۡحَامَۚ dengan mentakhfidkannya (kasrah). Hal ini juga
merupakan pendapat para ulama Nahwu. Sedangkan menurut pendapat ulama Bashrah,
mengkasrahkan qira’ahnya merupakan sebuah kekeliruan dan tidak benar lafazh
tersebut diturunkan dengan qira’ah tersebut. Hal senada juga diungkapkan oleh
ulama Kufah, mereka bertkata, “membaca dengan cara tersebut termasuk qira’ah
yang buruk, hanya saja mereka tidak menambahkan komentar mereka dan juga tidak
menyebutkan alasan keburukan qira’ah tersebut.”
An-Nuhaa berkata, “Seperti
itulah yang aku ketahui.”
Sibawaih berkata, “kalimat
tersebut tidak boleh di athafkan kepada dhamir (kata ganti) yang tidak
disebutkan secara jelas dan akhir katanya berbaris kasrah, karena akhir kata
tersebut berbaris tanwin, dan tanwin tidak boleh diidhafatkan kepada kata yang
akhirnya berbaris kasrah.
Sekelompok ulama
berpendapat bahwa kalimat ini diathafkan kepada kata ganti yang jelas, karena
kata tersebut biasanya digunakan untuk meminta,
Sekelompok ulama berependapat bahwa
kalimat ini diathafkan kepada ganti yang jelas, karena kata tersebut biasanya
digunakan untuk meminta, seperti سَأَلْتُكَ
بِاللَّهِ وَ الأَرْحَامِ “Aku meminta kepadamu untuk menjaga hubungan silaturrahim atas nama Allah.”
Seperti itulah lafazh tersebut ditafsirkan oleh Al Hasan An-Nakha’i dan
Mujahid. Ini juga merupakan pendapat yang shahih dalam masalah ini dan
dijelaskan selanjutnya.
Namun pendapat ini
dianggap lemah oleh beberapa ulama diantaranya Az-Zujaj, mereka berpendapat
bahwa tidak pantas mengathafkan kata benda yang disebutkan secara jelas dengan
kata yang tidak disebutkan dengan jelas, contohnya firman Allah SWT: فَخَسَفۡنَا
بِهِۦ وَبِدَارِهِ ٱلۡأَرۡضَ
“Maka
Kami benamkanlah Karun beserta rumahnya ke dalam bumi.” (Q.S Al Qashash [28]: 81). Demikian juga pada
kalimat مَرَرْتُ بِهِ وَ زَيْدٌ yang menurut Az-Zujaj –dari Al Majini-, sebab
ma’thuf dan ma’thuf ‘alaaih saling berkaitan satu sama lain, oleh karena itu
yang satu tidak boleh menempati kedudukan yang lain. Hal itu berlaku juga pada
kalimat مَرَرْتُ بِزَيْدٍ وَ بِكَ dan زَيْدٍ وَ بِكَ مَرَرْتُ . Di sisi lain, Sibawaih menganggap kalimat tersebut
tidak pantas dan tidak boleh dipergunakan kecuali didalam syair, seperti
berikut ini:
فَا اليَوْمُ قَرَّبْتَ
تَهْجُوْنَا وَ تَشْتِمُنَا فَاذْهَبْ فَمَا بِكَ وَ الأَيَّامِ
مِنْ عَجَبٍ
Pada hari kamu
mendekat, kami dicerca dan dihina
Maka enyahlah engaku
tidaklah hari-harimu mendapatkan
Penghormatan dan juga
orang-orang yang mengagumimu.
Yaitu
dengan mengathafkan kata الأَيَّامِ pada huruf kaf yang
sebelumnya didahului huruf ba tanpa menyebutkan kembali huruf ba karena kondisi
darurat. Hal yang sama juga diutarakan oleh penyair lainnya:
نُعَلِّقُ فِى مِثْلِ
السَّوَارِى سُيُفَنَا وَمَا بَيْنَهُمَا وَ الْكَعْبِ مَهْوَى
نَفَانِفُ
Kami menggantungkan pedang
kami pada sarungnya
Dan diantaranya terdapat
taburan kemuliaan dan ketakutan.
Dengan
mengathafkan الْكَعْبِ kepada ganti yang berada
diantara keduanya sebab darurat susunan kalimat syair.
Abu Ali
berkata: pendapat tersebut lemah dalam pengkiasannya, Abu Al Abbas Al Mubarrad
berkata dari Al Farisi didalam kitab At-Tadzkirah Al Mahdiyyah: Andaikata aku
shalat dibelakang imam yang membaca وَمَآ
أَنتُم بِمُصۡرِخِيَّ dan kamupun sekali-kali tidak dapat menolongku. (Q.S Ibrahim [14]: 22), dan juga firman Allah
SWT وَٱتَّقُواْ ٱللَّهَ ٱلَّذِي
تَسَآءَلُونَ بِهِۦ وَٱلۡأَرۡحَامَۚ “Dan bertakwalah kepadaAllah yang dengan
(mempergunakan) nama-Nya kamu saling meminta satu sama lain dan (peliharalah)
hubungan silaturrahim” niscaya aku akan mengambil sendalku dan pergi berlalu. Az-Zujaj berkata:
qira’ah hamzah dalam pembacaan ayat ini adlaah lemah dan buruk dalam bahasa
Arab dan hal tersebut merupakan kekeliruan yang besar dalam masalah
prinsip-prinsip agama, sebab Nabi SAW bersabda لَا
تَحْلِفُ بِابَائِكُمْ “Jangan sekali-kali kalian bersumpah dengan
nama bapak-bapak kamu”, bersumpah dengan nama bapak saja tidak dibenarkan apalagi dengan nama Ar-Rahman
dan menurut saya Ismail bin Ishak berpendapat bahwa bersumpah dengan nama
selain Allah merupakan perkara yang menyalahi prinsip-prinsip agama dan hal tersebut
hanya boleh dengan menggunakan nama Allah saja.
An-Nuhas berkata: sebagian
ulamam yang berpendapat kata ٱلۡأَرۡحَامَۚ
sebuah sumpah
adalah pendapat yang keliru dipandang dari sisi makna dan I’rab, karena hadits
Nabi SAW menunjukkan bahwa kata itu berbentuk nashab, diriwayatkan dari
Syu’bah, dari Aun bin Abu Juhaifah, dari Al Mundzir bin Jarir, dari bapaknya,
ia berkata: Suatu hari dikala kami bersam Nabi SAW, datanglah aku melihat
perubahan wajah Rasulullah SAW tatkala melihat kemiskinan mereka, setelah itu
beliau menunaikan shalat Zhuhur dan berkhutbah dihadapan orang-orang, beliau
membaca firman Allah SWT يَٰٓأَيُّهَا
ٱلنَّاسُ ٱتَّقُواْ رَبَّكُمُ sampai kepada kalimat ٱلۡأَرۡحَامَۚ
selanjutnya
beliau bersabda “Seorang laki-laki yang bersedekah dengan uang dinarnya,
seorang yang bersedekah dengan uang dirhamnya dan seorang lagi bersedekah
sengan satu sha’ tamar,” kemudian ia menyebutkan redaksi hadits tersebut,
dilihat dari sisi makna tersebut berbentuk nashab karena kalimat itu
menganjurkan mereka untuk saling menjalin kasih sayang dengan menjalin
silaturrahim diantara mereka, dan juga terdapat hadits shahih dair Nabi SAW, “Barang
siapa bersumpah hendaknya ia bersumpah dengan nama Allah atau ia diam.”
Hujjah ini menepis pendapat yang mengatakan
bahwa arti dari ayat tersebut adalah: “Aku meminta kepadamu dengan nama Allah
dan demi silaturrahim yang telah terjalin”, Abu Ishak berkata: arti dari firman
Allah SWT تَسَآءَلُونَ بِهِۦ bermakna engali meminta hak-hakmu dengan
nama-Nya, dan pada kalimat tersebut tidak dibenarkan mentakhfidhkan maknanya.
Saya (AL Qurthubi)
katakan: Hal ini yang sengaja tidak dibahas oleh para ulama (tawaqquf) yang
mengerti tentang pengucapan yang benar dengan melarang membacanya dalam bentuk
takhfidz ٱلۡأَرۡحَامِۚ
yang mana hal
ini merupakan pendapat yang dipilih oleh Ibnu Athiyyah, sedangkan pendapat ini
ditolak oleh Imam Abu Nashar Abdurrahim bin Abdul Karim AL Qusyairi dengan
tetap menjadikannya sebagai athaf dimana ia berkata: perumpamaan kalimat ini
tidak dibenarkan oleh para ulama, karena bacaan yang dibaca para ulama ahli
qira’at berdasarkan apa yang berasal dair Nabi SAW secara mutawatir dan dikenal
oleh para ahlinya, dan umambacanya dengan mentakhfidkannya adalah haram sebab
para ulama sastra arab dan Nahwu pun tidak melakukannya dan juga standar
penggunaan bahasa Arab bersumber dari Nabi SAW, sebab tidak seorangpun
meragukan kefasihan beliau didalam berbahasa dan apa yang terdapat didalam
hadits tersebut masih perlu diteliti lagi, dengan alasan bahwa Nabi SAW pernah
bersabda kepada Abul Usyara’: “Demi ayahmu! Andaikata engkau menusuk pada lambungnya”.
Adapun pelarangan tersebut hanya berlaku pada
sumpah selain nama Allah, dan bertawasul dengan selain-Nya menggunakan
kamuliaan kasih sayang dan silaturrahim tidak terlarang.
Al Qusyairi berkata:
pendapat lain mengatakan bahwa bentuk kalimat tersebut merupakan bentuk sumpah
dengan menggunakan kalimat Ar-Rahim yang artinya “Berrtakwalah kepada Allah
SWT dan hubungan silaturrahim atas nama-Nya”, sebagaimana engaku
mengatakan: “Lakukanlah hal itu dan demi kewajiban kamu terhadap bapakmu” dan
kalimat-kalimat seperti ini terdapat juga didalam Al Qur’an النَّجْمُ,
وَ التِّيْنُ, لَعَمْرُكَ dan orang yang melakukannya berdosa.
Saya (AL Qurthubi)
katakan: hal tersebut tidak berdosa dilakukan, karena kalimat ٱلۡأَرۡحَامَۚ masih satu bentuk dengan kalimat-kalimat
sumpah diatas, jadi bersumpah dengannya sama saja sebagaimana Allah bersumpah
dnegan makhluknya yang manunjukkan ke-Esaan dan kemaha kuasaanya sebagai bentuk
penegasan kalimat tersebut digandengkan dengan nama-Nya.
Allah SWT boleh saja
bersumpah dengan apa saja yang Ia inginkan dna membolehkan apa saja yang ia
kehendaki seklaigus menjadikannya sebagai sumpah-Nya, oleh karena itu
orang-orang arab bersumpah dengan nama kasih sayang, sehingga benarlah bahwa
huruf ba yang merupakan kalimat proposisinya dihilangkan sebagaimana yang
terdapat pada syair:
مَشَائِيْمُ لَيْسُوا
مُصْلِحِيْنَ عَشِيْرَةً وَلَا نَاعِبٍ إِلَّا بِبَينٍ غُرَابُهَا
Sikap pesimis tidaklah memperbaiki masalah keluarga
Begitu pula dengan meramal kecuali dengan menjelaskan (memperbaiki)
masalahnya
Walaupun kalimat tersebut
tidak menampakkan huruf ba, namun ia boleh di jar kan, Ibnu Ad Dahhan Abu
Muhammad Said bin Mubarak berkata: para ulama Kuffah membolehkan
mengathafkannya (menggandengkannya) secara ternag-terangan dengan bentuk yang
di jar kan dan hal tersebut menurut mereka tidak terlarang berdasarkan sebuah
syair:
فَا ذْهَبْ فَمَا بِكَ وَ
الاَيَّامِ مِنَ العَجَبِ
Maka enyalah engkau, tidaklah hari-harimu
mendapatkan penghormatan dan juga orang-orang yang mengagumi
Syair lain:
وَمَا بَيْنَهُمَا وَ الْكَعْبِ مَهْوَى نَفَانِفُ
Dan diantaranya terdapat taburan kemuliaan dan
ketakutan
Lainnya:
فَحَسْبُكَ وَالضَحَاكِ سَيْفٌ مُهَنَّدُ
Cukuplah kamu berkelakar dengan pedang India
Penyair berkata:
وَ قَدْ رَامَ افَاقَ السَّمَاءِ فَلَمْ يَجِدْ لَهُ مَصْعَدًا
فِيْهَا وَ لَا الأَرْضِ مَقْعَدًا
Ia menghendaki puncak langit namun tidak
menemukan tangga menuju kesana dan juga ia tidak menemukan tangga memnuju
kesana dan juga ia tidak menemukan tempat tempat duduk (tinggal) di bumi.
Penyair lain berkata:
مَا إنْ بِهَا وَ الْأُ
مُورِ مِنْ تَلَفَ مَا حُمَّ مِنْ أَمْرِ غَيْبِهِ وَقَعَأ
Tidaklah urusan-urusan yang gagal, pastilah telah
ditetapkan-Nya
Dan tidaklah suatu urusan yang gaib diputuskan-Nya, pastilah
akan terjadi.
Syair:
أَمُرُ عَلَى الكَتِيْبَةِ
لَسْتُ أَدْرِى أَخَتْفِيَ كَانَ فِهَا أَمْ سِوَاهَا
Aku berjalan melewati
sekelompok pasukan berkuda
Sedangkan aku tidak tahu
aku (harus) melepaskan sendalku ketika itu (untuk menghormati mereka) atau tidak
Sementara
kata سِوَاهَا dikasrahkan pada tempatnya
karena huruf fii, berdasarkan bait-bait diatas sebagian ulama berhujah dengan
firman Allah SWT وَجَعَلۡنَا
لَكُمۡ فِيهَا مَعَٰيِشَ وَمَن لَّسۡتُمۡ لَهُۥ بِرَٰزِقِينَ ٢٠ “Dan Kami telah menjadikan untukmu di bumi
keperluan-keperluan hidup, dan (Kami menciptakan pula) makhluk-makhluk yang
kamu sekali-kali bukan pemberi rezeki kepadanya” (Q.S Al Hijr [15]: 20), yaitu dengan
mengathafkannya kepada kaf dan mim, namun Abdullah bin Yazid membaca dengan merafa’kannya
وَٱلۡأَرۡحَامَۚ
karena
posisinya sebagai mubtada’ sedangkan khabarnya Muqaddar (diperkirakan), dan
perkiraannya adalah: Wal Arhamu Ahlun an tuushala (keluarga dekat lebuh
berhak untuk disambung), atau mungkin dipergunakan hanya sebagai unsur pengindah
kalimat saja, karena sebagian orang arab terkadang merafakan kalimatnya hanya
sekedar pengindahan kata (Ighra’) sebagaimana bait yang dilantunkan oleh AL
Farra’:
إِنَّ قَوْمًا مِنْهُمْ
عُمََيْرُ وَ أَشْبَا هُ عُمَيْرٍ وَ مِنْهُمْ السَفَّاحُ
لَجَدِرُونَ بِاللِقَاءِ
إِذَا قَا لَ أَخُو النَجْدَة
السَلاحُ السلاحُ
Sesungguhnya diantara kelompok itu terdapat seorang yang
menyerupai Umair dan orang yang suka menumpahkan darah (membunuh)
Mereka bersembunyi darinya jika pemimpin perang berkata:
(angkat) sejata-senjata.
Pendapat
lain juga mengatakan: bahwa وَٱلۡأَرۡحَامَۚ
yang dinashabkan karena athaf dengan posisi ia sendiri, sebab posisinya
nashab, sebagaimana lantunan seorang penyair:
فَلَسْنَا بِالجِبَلِ وَ
لَا حَدِيْدَا
Kami bukanlah gunung ataupun
besi
Sedangkan
ulama yang mengatakan: أَنْشُدُكَ بِا للَّهِ وَ
الرَّحِمَ “Demi Allah dan silaturrahim aku bernyanyi untukmu” jelas bahwa kalimat ini
bentuknya nashab dengan kata ganti kata kerja sebagaimana yang telah kami
sebutkan.
Ketiga:
Telah menjadi kesepakatan seluruh umat bahwa silaturrahim adalah hal
yang wajib ditunaikan dan memutuskannya adalah haram hukumnya, berdasarkan
hadits shahih bahwa Nabi SAW bersabda kepada Asma tatkala ia bertanya kepada
beliau: “Apakah saya harus menyambung silaturrahim dengan ibuku ? beliau
menjawab: “ya, sambunglah silaturrahim dengan ibumu.””
Rasulullah SAW tetap
memerintahkan untuk menjaga silaturrahim dengan ibunya walaupun ibunya berbeda
akidah dengannya, dan penegasan hadits ini menunjukkan keutamaan
bersilaturrahim meskipun terhadap orang kafir, sampai-sampai Abu Hanifah dan
sahabat-sahabatnya berpendapat boleh mewariskan garta kepada kerabat dan handai
taulan apabila si mayit tidak memiliki keluarga terdekat maupun jauh, dan
kerabat-kerabat yang telah memerdekakan mereka dari perbudakan karena kemuliaan
kasih sayang, alasan mereka berdasarkan hadits yang diriwayatkan oleh Abu Daus
dari Nabi SAW, beliau bersabda: “Barang siapa yang meiliki (budak yang
berasal dari) kerabat dekat maka ia (budaj tersebut) adalah merdeka.
Ini merupakan pendapat
kebanyakan para uklama, sebagaimana yang diriwayatkan dari Umar bin Khattab dan
Abdullah bin Mas’ud, dimana tidak seorangpun sahabat berbeda pendapat dengan
mereka berdua, dan ini juga merupakan pendapat Al Hasan Al Bashri, Jabir bin
Zaid, Atha’, Asy-Sya’bi, dan Az-Zuhri, juga merupakan pendapat Ats-Tsauri,
Ahmad dan Ishak. Para ulama kita (Maliki) berbeda pendapat tentang masalah ini
dalam tiga hal, pertama: khitbahnya ditujukan kepada bapak dan kakek, kedua:
keluarga yang berada digaris sebelah keturunan mereka, yaitu
saudara-saudara, ketiga: sebagaimana perkataan Abu Hanifah, hanya saja
Asy-Syafi’i berpendapat budaj tersebut tidak dimerdekakan kecuali anak-anaknya,
bapak dan ibunya, bahkan tidak boleh memerdekakan saudaranya dan juga salah
satu dari kerabat-kerabat dan juga familinya.
Pendapat yang paling shahih adalah pendapat
pertama, berdasarkan hadits yang telah kami sebutkan sebelumnya yang juga diriwayatkan
oleh At-Tirmidzi, An-Nasa’i, kemudian ia (At-Tirmidzi menilainya hasan jalur
haditsnya, diriwayatkan pula hadits Dhamrah dari Sufyan, dari Abdullah bin
Dinar, dari Ibnu Umar, ia berkata: Rasulullah SAW bersabda, “Barang siapa
yang memiliki (budak yang berasal)kerabat dekat (keluarga) maka budak tersebut
telah dimerdekakan”.
Hadits ini kuat dan shahih penukilannya yang bersasal dari para
perawi yang adil, tidak seorangpun dari para ulama hadits yang memandang buruk
dan mengemukakan kecacatan hadits ini, selain itu pada akhir hadits, An-Nasa’i
berkomentar: hadits ini mungkar.
Pendapat lain mengatakan bahwa
hadots ini diriwayatkan oleh Dhamrrah secara munfarid (sendiri) dan inilah yang
dimaksud dengan makna mungkar dan syadz, oleh para ulama hadits sedangkan
Dhamrah adalah perawi yang adil dan tsiqah, dan periwayatan seorang yang tsiqah
secara munfarid tidak berpengaruh sama sekali pada keshahihan haditsnya.
Keempat: Para ulama
juga berbeda pendapat pada pembahasan kerabat yang berasal dari sauadra
persusuan. Kebanyakan ulama berpendapat bahwa mereka tidak termasuk dalam nash
hadits yang disebutkan diatas, Syarik Al Qadhi berpendapat, mereka
dimerdekakan. Sedangkan Ahlu Zhahir (pengikut madzhab Dzahiri atau kelompok
tekstual) dan sebagian Ahlul Kalam (mutakallimin) berpendapat bahwa seorang
bapak yang statusnya sebagai budak apabila dibeli oleh anaknya maka ia tidak
wajib memerdekakannya mereka berhujjah dengan sabda Nabi SAW: “Tidaklah
seorang anak dapat membalas kebaikan orang tuanya kecuali jika ia menemukan
bapaknya menjadi hamba sahaya kemudian ia membelinya dan memerdekakannya.”
Mereka
berkata: Apabila transaksi pembelinya sah maka kepemilikan tersebut sah, dan
pemiliknya boleh melakukan apa saja dengan barang tersebut.
Pendapat ini menurut saya disebabkan
ketidaktahuan mereka terhadap maqashid asy-syari’ah (prinsip-prinsip
dasar dan tujuan syari’ah) padahal Allah SWT berfirman وَبِٱلۡوَٰلِدَيۡنِ
إِحۡسَٰنًاۚ “dan hendaklah kamu
berbuat baik pada ibu bapakmu” (Q.S Al Israa’ [17]: 23), dimana pada ayat ini Allah SWT
mengikutsertakan anatara ibadah seorang hamba dengan kewajiban berbakti kepada
kedua orang tua, dan bukanlah termasuk berbakti apabila seorang anak membiarkan
bapaknya menjadi budaknya dan tetap berada dibawah penguasaaannya, maka wajib
baginya memerdekakan bapaknya walaupun dengan niat memilikinya berdasarkan
hadits, فَيَشْتَرِيَهُ وَ
يَعْتِقَهُ “Maka ia membelinya dan memerdekakannya”, atau karena hendak berbakti kepada kedua orang
tua berdasarkan perintah ayat tersebut diatas.
Adapun makna hadits dalam
pandangan jumhur ulama bahwa usaha anak untuk membelinya tidak berbakti
bapaknya langsung merdeka dan perintah syariat untuk memerdekakannya adalah hak
preogratif anak tersebut, sedangkan khilaf ulama tentang anak yang memerdekakan
bapaknya yang menjadi miliknya, dan alasan pendapat kelompok pertama berpegang
pada Al Kitab dan Sunnah yang telah kami sebutkan sebelumnya.
Alasan kelompok kedua,
menyamakan perlakuan anatara kerabat dengan keluarga dekat sebagaimana
pembahasan bapak yang dimerdekakan pada hadits diatas, dan tidak ada seornag
yang paling dekat dengan anaknya dan kemungkinan tersebut bisa bapak ataupun
saudaranya karena ia memiliki hubungan sedarah dari bapaknya, dan ia berkata:
“saya adalah anak bapaknya.”
Sedangkan kelompok ketiga
berpegang hadits Dhamrah yang telah kami sebutkan sebelumnya.
Kelima: Firman
Allah: وَٱلۡأَرۡحَامَۚ
Ar-Rahim adalah nama
yang melengkapi hubungan kekerabatan yang tidak membedakan antara famili dan
kerabat lainnya, sedangkan Abu Hanifah menganggap hibah yang telah diberikan
kepada kerabata dekat terlarang untuk diminta kembali, sebaliknya hal ini tidak
berlaku kepada anak-anak dair paman, walaupun dalil qath’i tentang mereka
sangat jelas dan hubungan mereka lebuh dekat berbeda dengan kerabat, oleh
karena itu Abu Hanifah dan para pengikutnya menjadikannya sebagai dalil
dibolehkannya keramat mendapatlan warisan, hak perwalian seorang budak dan
lain-lain, sehingga kita dapat memahami dari pendapat beliau bahwa tambhana
hukum terhadap hak seorang kerabat yang disandarkan kepada Al Qur’an tidaklah
berdasar, karena nash yang menyatakan pembolehan pewarisan kepada mengisyaratkan
kepada keluarga dar kalangan bapak dan ibu membolehkan mereka menerima hak
pewarisan dan sebagainya apakah mereka itu anak-anaknya paman ataupun bibi.
Keenam: Firman
Allah: إِنَّ ٱللَّهَ كَانَ
عَلَيۡكُمۡ رَقِيبٗا “Sesunguhnya Allah selalu menjaga dan
mengawasi kamu,” yaitu, Maha Pemelihara. Ibnu Abbas dan Mujahid, Ibnu Zaid menafsirkannya:
Maha mengetahui. Pendapat lain mengatakan رَقِيبٗا ditafsirkan hafizhan “pemelihara” dalam
bentuk fa’il, sedangkan Raqib adlaah salah satu sifat Allah SWT, dan Raqib juga
berarti penjaga yang senantiasa memantau, misalnya engkau mengatakan: “Raqabtu,
arqubu riqbatan wa riqbaanan (aku menjaga dan melihat), dan marqab, artinya
temoat yang tinggi lagi terhormat, yaiut tempat dimana seorang penjaga berdiri,
dan raqib adalah bagian ketiga dari tujuh yang memiliki beberapa bagian
lainnya, pendapat lain mengatakan bahwa Ar Raqib adalah salah satu nama
ular, dan lafazh ini memiliki banyak makna, tergantung susunan kalimatnya.
2.
Al-Furqon ayat 59
ٱلَّذِي
خَلَقَ ٱلسَّمَٰوَٰتِ وَٱلۡأَرۡضَ وَمَا بَيۡنَهُمَا فِي سِتَّةِ أَيَّامٖ ثُمَّ ٱسۡتَوَىٰ
عَلَى ٱلۡعَرۡشِۖ ٱلرَّحۡمَٰنُ فَسَۡٔلۡ بِهِۦ خَبِيرٗا ٥٩
59. Yang menciptakan langit dan bumi dan
apa yang ada antara keduanya dalam enam masa, kemudian dia bersemayam di atas
´Arsy, (Dialah) Yang Maha Pemurah, maka tanyakanlah (tentang Allah) kepada yang
lebih mengetahui (Muhammad) tentang Dia.
Firman Allah SWT ٱلَّذِي
خَلَقَ ٱلسَّمَٰوَٰتِ وَٱلۡأَرۡضَ وَمَا بَيۡنَهُمَا فِي سِتَّةِ أَيَّامٖ“Yang Menciptakan langit dan bumi dan apa yang ada antara
keduanya dalam enam masa, kemudian Dia bersemayam di Arsy.” Sebagaimana yang di
jelaskan dalam surah Al A’raf. Lafadz ٱلَّذِي berada dalam
posisi khafadz (berharakat kasroh di akhir huruf) dan na’ath
(kata sifat) kepada lafazh الْحَيِّ Allah
kemudian berfirman, بَيۡنَهُمَا
dan tidak mengatakan بَيۡنَهُنَّ, karena Allah menginginkan dua sifat dan dua macam.
ٱلرَّحۡمَٰنُ
فَسَۡٔلۡ بِهِۦ خَبِيرٗا “(Dialah) Yang Maha
Pemurah, maka tanyakanlah (tentang Allah) kepada yang lebih mengetahui (Muhammad)
tentang Dia.”
Az Zujaj berkata, “Maknanya, maka tanyakanlah tentang-nya.” Dan ini
telah dikisahkan oleh sekelompok ahli bahasa, bahwa ba’ berarti ‘an
(tentang), sebagaimana Allah SWT berfirman, سَأَلَ سَائِلٌ بِعَذَابِ وَاقِعٍ “Seseorang peminta telah meminta kedatangan adzab yang bakal
terjadi.”
Ali bin Sulaiman mengingkari dan berkata, “Para peneliti
mengingkari bahwa ba’ bararti
‘an, karena karena hal ini dapat merusak makna perkataan orang arab, lau
laqiita fulaanan lalaqqaika bihi al asada (jjika kamu bertemu si fulan,
niscaya dia dengan pertemuanmu itu akan mempertemukan dengan singa). Jadi ayat
itu berarti, maka tanyakanlah dengan pertanyaanmu itu kepada-Nya, Mengetahui.”
Demikian juga Ibnu
Jabir berkata, “Al Khabiir (Yang Maha Mengetahui) adalah Allah SWT.
Jadi, lafazh خَبِيرٗا nashab kepada maf’ul bih dengan pertanyaan itu.”
Menurut saya (Al
Qurthubi), “Pendapat Az Zujaj mengeluarkan dari versi yang baik, yaitu bahwa Al
Khabiir itu adalah bukan Allah, atau tanyakanlah tentangnya kepada yang
lebih tahu dengannya, mengenai sifat dan asma”-Nya.”
Ada yang
mengatakan, “Maknanya, maka tanyakan untuknya tentang Yang Maha
Mengetahui. Jadi ia nashab kepada haal dari ba’ yang
disamarkan.
Al Mahdawi
berkata, “Tidak baik jika itu menjadi haal, karena haal tidak
terlepas dari orang yang bertanya dan yang ditanya. Dan, juga tidak sah haal
dari faa’il . Karena yang Maha Mengetahui selamanya. Al haal dalam kebanyakan perkara
berubah dan berpindah, kecuali diarahkan bahwa ia adalah haal yang menguatkan, seperti firman Allah SWT, وَهُوَ الحَقُّ مُصَدِّقًا“Sedang Al Qur’an itu (kitab) yang hak, yang
membenarkan,maka ini diperbolehkan.
Sedangkan الرَّحْمَانُmaka tentang rafa’nya ada tiga versi. Sebagai ganti dari dhamir
yang terdapat dalam اسْتَوَى. Bisa juga marfu’ yang berarti Dia adalah Yang Maha
Pengasih. Bisa juga marfu’ dengan mubtada’ dan Khabarnya adalah فَسَۡٔلۡ
بِهِۦ خَبِيرٗا. Bisa juga Khafadh yang
berarti “Dan bertakwallah kepada Dzat Ynag Maha Hidup Yang Tidak Mati, Tuhan
Yang Maha Pengasih.” Yang mana ia menjadi na’at dan bisa juga nashab kepada
pujianoleh Abu Ubaid dan Abu Hatim.
3.
An-Nur ayat 45
وَٱللَّهُ خَلَقَ كُلَّ
دَآبَّةٖ مِّن مَّآءٖۖ فَمِنۡهُم مَّن يَمۡشِي عَلَىٰ بَطۡنِهِۦ وَمِنۡهُم مَّن
يَمۡشِي عَلَىٰ رِجۡلَيۡنِ وَمِنۡهُم مَّن يَمۡشِي عَلَىٰٓ أَرۡبَعٖۚ يَخۡلُقُ ٱللَّهُ
مَا يَشَآءُۚ إِنَّ ٱللَّهَ عَلَىٰ كُلِّ شَيۡءٖ قَدِيرٞ ٤٥
45. Dan Allah telah
menciptakan semua jenis hewan dari air, maka sebagian dari hewan itu ada yang
berjalan di atas perutnya dan sebagian berjalan dengan dua kaki sedang sebagian
(yang lain) berjalan dengan empat kaki. Allah menciptakan apa yang
dikehendaki-Nya, sesungguhnya Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu.
Firman
Allah SWT: وَاللَّهُ
خَلَقَ كُلَّ دَابَّةٍ مِن مَّاء“Dan
Allah telah menciptakan semua jenis hewan dari air.” Yahya bin Watstsab, Al
A’masy, Hamzah, dan Al Kisa’I membaca وَاللَّهُ
خَلَقَ كُلَّ
dengan
lafazh, وَاللَّهُ خَالِقُ كُلَّ
yankni dengan idhafah. Sedangkan yang
lain membacanya dengan lafazh وَاللَّهُ
خَلَقَ كُلَّ-yakni dengan bentuk fi’il.
Menurut satu pendapat, kedua makna
yang terkandung pada kedua qira’ah tersebut
shahih. Allah Azza wa Jalla mengabarkan dua berita. Dalam hal ini, tidak boleh
dikatakan bahwa salah satu dari kedua qira’ah
itu lebih shahih daripada lainnya.
Namun menurut satu pendapat, lafazh خَلَقَitu
digunakan untuk penciptaan sesuatu yang khusus, sedangkan lafazh خَالِقُ itu digunakan untuk penciptaan sesuatu
yang umum. Contoh lafazhخَلَقَ yang digunakan untuk
penciptaan sesuatu yang umum adalah firman Allah:ٱلۡخَٰلِقُ
ٱلۡبَارِئُ “Yang Menciptakan, Yang Mengadakan.” (Qs. Al Hasyr [59]:24)sedangkan
contoh lafazh yang digunakan untuk untuk penciptaan yang khusus adalah firman
Allah SWT:ٱلۡحَمۡدُ
لِلَّهِ ٱلَّذِي خَلَقَ ٱلسَّمَٰوَٰتِ وَٱلۡأَرۡضَ“Segala
puji bagi Allah yang telah menciptakan langit dan bumi.”(Qs. Al An’am[61]:1) Demikian pula dengan firman
Allah SWT :۞هُوَ ٱلَّذِي خَلَقَكُم مِّن نَّفۡسٖ
وَٰحِدَةٖ “Dialah
yang menciptakan kamu dari diri yang satu.” (Qs. Al A’raf[7]:189).
Begitu
juga seharusnya dengan firman Allah SWT: وَٱللَّهُ خَلَقَ كُلَّ
دَآبَّةٖ مِّن مَّآءٖۖ “Dan Allah telah menciptakan semua jensi hewan dari air.” Kata دَآبَّةٖ
adalah setiap hewan
melata di muka bumi. Kata ini dibentuk dari kata, دَبَّ –
يَدِبُّ - دَابٌ Huruf ha’
mubalaghah. Hal ini sudah dijelaskan
dalam surah Al Baqarah. .
مِّن مَّآءٖۖ “Dari
air.” Berdasarkan firman Allah ini, maka jin dan malaikat tidak termasuk
kedalam ayat ini. Sebab kita belum pernah mengetahui kalau mereka itu
diciptakan dari air. Yang benar, dalam hadits shahih dinyatakan bahwa malaikat dari cahaya, sedangkan jin
diciptakan dari api. Hal ini sudah dijelaskan dalam pembahasan sebelumnya.
Para ahli tafsir berkata, “Maksud
firman Allah SWT, مِّن
مَّآءٖۖ “Dari air” “adalah
air mani.”
An-Naqqasy berkata, “yang dimaksud adalah air
mani laki-laki atau jantan.”
Mayoritas analisis berkata,
“Maksudnya, Allah menciptakan setiap hewan yang mengandung air, sebagaimana
Allah menciptakan Adam dari air dan tanah.”
Jika berdasarkan pendapat ini, maka
sabda Rasulullah SAW menjawab, “Kami
diciptakan dari air,” tidak termasuk dalam kategori tersebut.
Sekelompok orang berkata, “Jin dan
malaikat tidak dikecualikan dari firman Allah ini. Bahkan setiap hewan itu
diciptakan dari air. Api diciptakan dari air, dan angin pun diciptakan dari
air. Sebab hal pertama yang Allah ciptakan dari alam semesta adalah air.
Setelah itu, barulah Allah SWT menciptakan semuanya.”
Menurut saya (Al Qurthubi): firman
Allah berikut menunjukkan atas kebenaran pendapat ini, فَمِنۡهُم
مَّن يَمۡشِي عَلَىٰ بَطۡنِهِۦ “Maka sebagaian dari hewan itu ada yang berjalan di atas perutnya.” Berjalan di atas perut adalah untuk ular dan
ikan. Demikian pula dengan cacing dan lainya. Sedangkan berjalan dengan kedua
kaki adalah untuk manusia dan burung, jika burung itu sedang berjalan.
Sementara berjalan dengan keempat kaki adalah untuk semua binatang.
Dalam mushaf Ubai tertera, فَمِنۡهُم مَّن يَمۡشِي
عَلَىٰ أَكْثَرَ “Sedang
sebagaian (yang lain) berjalan dengan lebih banyak (kaki). Penambahan ini
mencakup seluruh jenis binatang, seperti kepiting.
Namun apa yang tertera dalam mushhaf
Ubai itu merupakan Al Qur’an yang belum ditetapkan ijmak. Kendati demikian,
An-Naqqasy berkata, “Sesungguhnya penyebutan terhadap binatang yang berjalan
dengan empat kaki itu sudah cukup, sehingga tidak perlu lagi menyebutkan
binatang yang berjalan dengan lebih dari empat kaki. Pasalnya semua binatang
itu biasa berjalan dengan empat kaki. Keempat kaki tersebut merupakan pijakan
saaat mereka berjalan. Dalam hal ini perlu dimaklumi bahwa tumbuhan kaki yang
terjadi pada sebagaian hewan, merupakan sebuah kelebihan pada rupanya. Padahal
hewan itu sendiri belum tentu memerlukan semua kaki itu saat berjalan.
Ibnu Athiyyah berkata, “Yang pasti,
kaki-kaki tersebut bukanlah suatu hal yang percuma, akan tetapi merupakan
anggota tubuh yang diperlukan saat hewan melakuakan gerakan. Semua kaki-kaki
itu bergerak sesuai dengan fungsinya. Sebagaian ahli tafsir mengatakan bahwa di
dalam Al-Qur’an tidak ada keterangan yang melarang berjalan dengan lebih dari
empat kaki. Hal ini sebagaimana yang tertera dalam mushaf Ubai. Wallahu a’lam.”
Kata دَآبَّةٖ
mencakup yang berakal dan
yang tidak berakal. Namun kata ini lebih ditunjukan kepada yang berakal, saat
yang berakal ini menyatu dengan yang tidak berakal. Sebab yang berallah yang
diajak berbicara dan diperintahkan untuk beribadah. Oleh karena itu, Allah SWT berfirman, فَمِنۡهُم
“Maka sebagaian dari
mereka.” Allah juga berfirman, مَّن
يَمۡشِي “Ada orang yang berjalan.”
Dalam hal ini, Allah SWT memberikan
isyarat dengan perbedaan tersebut akan adanya Sang Pencipta. Yakni, seandainya
semuanya tidak memiliki Sang Pencipta yang mereka (bebas menentukan kehendak),
maka mereka tidak akan berbeda –beda, akan tetapi mereka akan satu jenis.
Firman Allah ini seperti firman-Nya, يُسۡقَىٰ
بِمَآءٖ وَٰحِدٖ وَنُفَضِّلُ بَعۡضَهَا عَلَىٰ بَعۡضٖ فِي ٱلۡأُكُلِۚ إِنَّ فِي
ذَٰلِكَ لَأٓيَٰتٖ “Disirami dengan air yang sama Kami
melebihkan sebagaian tanam-tanaman itu ats sebagaian yang lain tentang rasanya.
Sesungguhnya pada yang demikian itu terdapat tanda-tanda (kebesaran Allah).
“(Qs. Ar-Ra’d[13]:4).
يَخۡلُقُ
ٱللَّهُ مَا يَشَآءُۚ “Allah
menciptakan apa yang dikehendaki-Nya, sesungguhnya Allah Maha Kuasa atas segala
sesuatu. “ Maksudnya adalah, yang hendak diciptakan.
Ar-Rahman
ayat 14
خَلَقَ ٱلۡإِنسَٰنَ مِن صَلۡصَٰلٖ كَٱلۡفَخَّارِ
١٤
14. Dia menciptakan
manusia dari tanah kering seperti tembikar
Firman Allah SWT, خَلَقَ
ٱلۡإِنسَٰنَ “Dia
menciptakan manusia” Ketika Allah SWT menyebutkan penciptaan alam yang amat
besar ini yang terdiri dari langit, bumi, dan segala isinya, yang didalamnya
terdapat tanda-tanda keesaan dan kekuasaan-Nya, Dia pun menyebutkan penciptaan
alam yang kecil. Dia berfirman خَلَقَ
ٱلۡإِنسَٰنَ Sesuai dengan
kesepakatan para takwil, maksudnya adalah Adam A.S.
Firman Allah SWT مِن
صَلۡصَٰلٖ كَٱلۡفَخَّارِ “Dari tanah
kering seperti tembikar”. صَلۡصَٰلٖ artinya tanah
kering yang mengeluarkan suara. Diserupakan dengan tembikar yang digunakan untuk
memasak. Ada juga yang mengatakan bahwa artiya adalah tanah yang bercampur
dengan pasir. Ada lagi yang mengatakan bahwa artinya adalah tanah yang berbau
busuk, dari shalla al-lahmu wa ashalla, artinya apabila daging telah
berbau busuk. Hal ini telah dipaparkan dalam surat Al-Hijr. Disini Allah SWT
berfirman مِن صَلۡصَٰلٖ كَٱلۡفَخَّارِ “Dari tanah
kering seperti tembikar.” Sedangkan disana Dia berfiriman مِن
صَلۡصَٰلٖ مِنْ حَمَإٍ مَّسْنُوْنٍ “Dari tanah
liat kering (yang berasal) dari lumpur hitam
yang diberi bentuk. Dia juga berfirman dalam surah lain, إِنَّا
خَلَقْنَهُمْ مِنْ طِيْنٍ لَازِبْ “Sesungguhnya
Kami telah menciptakan mereka dari tanah liat.”. Dia juga berfirman, كَمَثَلِ
ءَادَمَ خَلَقَهُ مِنْ تُرَابٍ “Seperti
(penciptaan) Adam, Allah menciptakan Adam dari tanah. Semuanya semakna, bahwa Allah SWT mengambil sebagian tanah bumi,
lalu mengadoninya hingga menjadi tanah, kemudian berubah hingga menjadi lumpur
hitam, kemudian berubah menjadi tanah kering seperti tembikar.
4.
Al-An’am ayat 2
هُوَ
ٱلَّذِي خَلَقَكُم مِّن طِينٖ ثُمَّ قَضَىٰٓ أَجَلٗاۖ وَأَجَلٞ مُّسَمًّى عِندَهُۥۖ
ثُمَّ أَنتُمۡ تَمۡتَرُونَ ٢
2. Dialah Yang
menciptakan kamu dari tanah, sesudah itu ditentukannya ajal (kematianmu), dan
ada lagi suatu ajal yang ada pada sisi-Nya (yang Dia sendirilah mengetahuinya),
kemudian kamu masih ragu-ragu (tentang berbangkit itu).
Firman Allah Ta’ala هُوَ الَّذِي خَلَقَكُم مِّن طِينٍ “Dialah
yang menciptakan kamu dari tanah” Firman Allah ini merupakan sebuah pemberitahuan (dari-Nya). Ada dua pendapat mengenai makna firman Allah
ini:
Pertama:
-Pendapat inilah yang lebih masyhur-, Bahwa (sosok) yang dimaksud (dalam ayat
ini) adalah Adam, sedangkan Al Khalq (ciptaan) adalah keturunannya. Di
sini perlu dimaklumi bahwa ‘cabang’ (keturunan Adam) itu senantiasa disandarkan
kepada ‘pokok’ –nya (Adam). Oleh Karena
itu Allah berfirman: خَلَقَكُم -dengan
bentuk jamak. Allah menunjukkan firman
–Nya ini sebagai khithabuntuk mereka,
karena mereka adalah anak-anak Adam. Ini
adalah pendapat Al Hasan, Qutadah, Ibnu Abi Najih, As-suddi, Adh- Dhahak, Ibnu
Zaid dan yang lainnya.
Kedua:
Allah
menciptakan sperma dari tanah sesuai dengan hakikatnya, kemudian Allah mengubahnya
hingga terbentuklah manusia
dari sperma itu.
Demikianlah yang disebutkan oleh An-Nuhas.
Demikianlah yang disebutkan oleh An-Nuhas.
Menurut saya (Al
Qurthubi), “Secara global, manakala Allah Azza wa jalla menyebutkan penciptaan alam yang besar, maka setelah
Allah menyebutkan penciptaan alam yang kecil, yaitu manusia. Pada alam yang
kecil ini pun Allah menetapkan apa yang berlaku pada alam yang besar. Hal ini
sebagaimana yang telah kami jelaskan pada surah Al Baqarah, yakni pada
ayat-ayat yang meneraangkan tentang keesaaan Allah, Wallahu a’lam. Segala puji bagi Allah.”
Abu Nu’aim Al Hafizh meriwayatkan di
dalam kitabnya dari Murrah, dari Ibnu Mas’ud, bahwa malaikat yang ditugaskan di
dalam Rahim mengambil sperma, lalu meletakanya di telapak tangannya. Dia
kemudian bertanya, “Wahai Tuhan, (apakah speerma ini) akan diciptakan (menjadi
manusia) ataukah tidak?” Jika Allah menjawab akan diciptakan (menjadi manusia),
maka malaikat itu bertanya, “Ya Tuhan, bagaimana dengan rizki, jejak langkah,
ajal, dan perbuatannya?” Allah menjawab, “Lihatlah didalam Al Kitab.” Malaikat
kemudian melihat (di dalam Al Kitab yang ada) di Lauh Al Mahfuzh. Dia menemukan
di dalam rizki, jejak langkah, ajal, dan amal perbuatan mansia yang diciptakan
itu. Setelah itu, dia mengambil tanah yang akan menjadi pemakaman manusia yang
akan diciptakan itu, lalu mengadukannya dengan sprma itu. Itulah yang dimaksud
firman Allah Ta’ala خَلَقْنَاكُمْ
وَفِيهَا نُعِيدُكُمْ “Dari
bumi (tanah) itulah kami menjadikan kamu dan kepadanya kami akan mengembalikan
kamu.” (Qs. Thaahaa[20]:55)
Diriwayatkan dari Abu Hurairah, dia berkata, “Rasulullah
SAW bersabda,
مَا
مِنْ مَوْلُوْدٍ وَ قَدْ ذَرَّ عَلَيْهِ مِنْ تُرَابِ حُفْرَتِهِ
“Tidak
ada seseorang yang dilahirkan kecuali tanah kuburannya telah ditaburkan kepada
dirinya.”
Menurut saya (Al Qurthubi),
“Berdasar kepada hal ini< semua manusia itu diciptakan dari tanah dan air
yang hina (sperma). Hal ini sebagaimana yang diberitahukan Allah ‘Azza wa Jalla dalam surah Al Mu’minun.
Dengan demikian, terjadilah singkronisasi ayat dan hadits. Sehingga hilanglah
keragu-raguan dan ketumpang-tindihan. Wallahu
a’lam.”
Adapun
mengenai hadits-hadits yang menjelaskanpenciptaan Adam, hal ini telah dikemukakan dalam surat
Al Baqarah. Namun demikian, di sini kami akan menambahkan sepenggal keterangan
tentang sifat, usia dan wafatnya Adam AS.
Ibnu Sa’ad menyebut dalam Ath-Thabaqat:
Diriwayatkan
dari Abu Hurairah, dia berkata, “Rasulullah SAW bersabda, ‘Manusia adalah eturunana
Adam, dan Adam itu (diciptakan)dari tanah’.”
Diriwayatkan dari Sa’id bin Jubair,
dia berkata, “Allah menciptakan Adam AS dari tanah yang di sebut Dajna.”
Al Hasan berkata “Allah menciptakan Ju’ju-nya dari (tanah) yang diambil dari
dhariyyah. “Al Juhairi” berkata, “Dhariyah adalah perksmpungsn Bani Kilab yang
terletak di jalur menuju Bashrah. Posisinya sangat dekat dengan Makkah.”
Diriwayatkan dari Ibnu Mas’ud dia
berkata, “Sesungguhnya Allah SWT mengutus Iblis untuk mengambil permukaan tanah
dari bagian yang tawar dan bagian yang asin. Setelah itu, Allah menciptakan
Adam darinya. Setiap sesuatu yang Dia ciptakan dari bagian yang tawar, ia akan
masuk surge meskipun ia seorang kafir Dan setiap sesuatu yang Dia ciptakan dari
bagian yang asin, ia akan masuk neraka meskipun ia seorang yang bertakwa. Oleh
karena itulah Iblis berkata, أَأَسْجُدُ
لِمَنْ خَلَقْتَ طِيناً‘Apakah
Aku akan sujud kepada orang yang Engkau ciptakan dari tanah? (Qs.
Al Isra’[17]:61). Sebab Iblislah yang
membawa tanah itu. Adam dinamakan dengan Adam, Karena ia diciptakan dari
permukaan (Adiim) tanah.”
Diriwayatkan dari Abdullah bin
Salam, dia berkata, “Allah menciptakan Adam, di penghujung hari jum’at.”
Diriwayatkan
dari Ibnu Abbas, dia berkata, “Ketika Allah menciptakan Adam, kepalanya menyentuh
langit.” Ibnu Abbas berkata, “Allah kemudian menggencetnya ke tanah hingga
(tinggi) Adam menjadi enam puluh hasta dengan lebar tujuh hasta.”
Diriwayatkan dari Ubay bin Ka’bah
berkata, “Adam adalah seseorang yang sangat inggi lagi ikal (rambutnya),
seolah-olah dia adalah pohon kurma yang buahnya jauh dari jangkauan orang yang
akan memetiknya.”
Diriwayatkan dari Ibnu Abbas- dalam
sebuah hadits yang panjang: “Adam As menunaikan ibadah haji dari India ke
Makkah dengan berjalan kaki. Dia menunaikan ibadah haji sebanyak empat puluh
kali. Ketika diturunkan (dari surga), kepalanya menyentuh langit. Oleh karena
itulah dia diturunkan (dari surga), kepalanya menyentuh langit. Oleh karena
itulah dia menjadi botak, dan mewariskan kebotakan kepada kepada keturunannya.
Bintang-bintang darat berlarian karena tingginya, sehingga bintang-bintang itu
pun menjadi liar sejak saat itu. Dia belum meninggal dunia hingga anak dan
cucunya mencapai empat puluh ribu orang. Dia belum meninggal dunia di puncak
bukit tempat pertama kali diturunkan. Syits berkata kepada Jibril,
‘Shalatkanlah Adam!” Jibril berkata kepada Syits, ‘Silahkan maju Shalatkanlah
ayahmu dan bertakbirlah untuknya tiga puluh kali. ‘Adapun yang lima ini adalh
shalat (lima waktu). Sedangkan yang dua puluh lima, ini merupakan keutamaan
bagi Adam.”
Menurut satu pendapat: (Jibril berkata
kepada Syits), Bertakbirlah untuknya empat puluh kali. ‘Anak-anak Syits
kemudian menempatkan Adam di dalam sebuah goa dan mereka pun menunjuk seorang
penjaga, sehingga jenazah Adam tidak dapat didekati oleh seorang pun dari
anak-anak Qabil. Orang-orang yang dating dan memohonkan ampunan unttuk Adam
adalah anak-anak Syaits. Usia Adam adalah Sembilan tiga puluh enam tahun.
Ditanyakan, apakah di dalam ayat ini
terdapat dalil yang menunjukan bahwa beberapa jauhar (substansi) itu berasal dari jenis yang sama? Jawabnya
adalah ya. Sebab tanah jika boleh dirunah menjadi manusia yang hidup, kuasa dan
mengetahui, maka tanah boleh dirubah menjadi apa saja dari setiap keadaan jauhar. Karena tidak ada perbedaan dalam
hal itu menurut pandangan akal. Lebih jauh, adalah sah bila benda padat dapat
dirubah menjadi hewan menurut petunjuk ayat ini.
Firman Allah Ta’ala“ ثُمَّ قَضَى أَجَلاً Sesudah
itu ditentukan-Nya ajal (kematianmu).” Lafazh أَجَلاًadalah maf’ul . Sedangkan firman Allah: وَأَجَلٌ مُّسمًّى عِندَهُ “ ada lagi suatu ajal yang pada sisi-Nya (yang Dia sendirilah
mengetahuinya).” Adalah mubtada’ dan khabar-nya.
Adh-Dhahak berkata, “Yang dimaksud
dengan lafazh أَجَلاً adalah ajal kematian, sedangkan yang dimaksud dengan
ajal pada firman Allah: وَأَجَلٌ مُّسمًّى عِندَهُ ‘dan
ada lagi suatu ajal yang pada sisi-Nya (yang dia sendirilah mengetahuinya), ‘adalah
ajal (masa) hari kiamat. “Dengan
demikian, maka firman Allah berdasarkan kepada pendapat ini adalah: Allah
menetapkan ajal, dan memberitahukan kalian bahwa kalian akan mati dan tidak
akan mengetahui masa terjadinya hari kiamat.
Al Hasan, Mujahid, Ikrimah,
Khushaif, dan Qatadah –redaksi berikut adalah redaksi Al Hasan- berkata. “Allah
telah menetapkan masa keberadaan (mu)
di alam dunia sejak pertama menciptakan kamu sampai kamu meninggal dunia.
Sedangkan yang dimaksuud firman Allah: وَأَجَلٌ مُّسمًّى عِندَهُ ‘dan ada lagi suatu ajal yang pada sisi-Nya
(yang Dia sendirilah mengetahuinya). Adalah
hari kiamat.”
Menurut
satu pendapat, yang dimaksud firman Allah:ثُمَّ قَضَى أَجَلاً “Sesudah
itu ditentukan –Nya ajal (kematianmu),” adalah ajal yang dapat kita ketahui dari bulan stabit,
tumbuhan dan sejenisnya. Sedangkan yang dimaksud dari firman Allah وَأَجَلٌ مُّسمًّى عِندَهُ “dan ada lagi suatu ajal
yang pada sis-Nya (yang dia sendirilah mengetahuinya), ‘adalah ajal
kematian, dimana tidak akan ada seorang manusia pun yang mengetahui kapan dia
akan mati.
Ibnu
Abbas dan Mujahid berkata, “Makna ayat :ثُمَّ قَضَى أَجَلاً ‘Ditentukan-Nya ajal
(kematianmu),’ dengan menentukan dunia, sedangkan makna ayat: وَأَجَلٌ مُّسمًّى عِندَهُ ‘dan ada lagi sutau ajal yang ada
pada sisi-Nya (yang Dia sendirilah mengetahuinya).’ Adalah untuk permulaan
akhirat.
Menurut
suatu pendapat yang dimaksud dengan ajal yang pertama adalah pengambilan ruh
ketika tidur, sedangkan yang dimaksud dengan ajal yang kedua adalah pengambilan
ruh ketika mati. Pendapat ini diriwayatkan juga dari Ibnu Abbas.
Firman
Allah Ta’ala . ثُمَّ
أَنتُمْ تَمْتَرُونَ“Kemudian kamu masih ragu-ragu
(tentangberbangkit itu).” Firman Allah ini terdiri dari mubtada’ dan khabar. Maksudnya, kalian meragukan bahwa Allah
adalah tuhan yang Esa. Menurut saya pendapat kalian berbantah-bantah dengan
bantahan orang-orang yang ragu. Makna At-Tumaarii
adalah berbantah-bantahan karena keraguan. Contohnya adalah
firman Allah: اَفَتُمَرُوْنَهُ عَلَى مَا يَرَى
5.
Al-Mu’minun ayat 12-14
وَلَقَدۡ خَلَقۡنَا ٱلۡإِنسَٰنَ
مِن سُلَٰلَةٖ مِّن طِينٖ ١٢ ثُمَّ
جَعَلۡنَٰهُ نُطۡفَةٗ فِي قَرَارٖ مَّكِينٖ ١٣ ثُمَّ خَلَقۡنَا ٱلنُّطۡفَةَ
عَلَقَةٗ فَخَلَقۡنَا ٱلۡعَلَقَةَ مُضۡغَةٗ فَخَلَقۡنَا ٱلۡمُضۡغَةَ عِظَٰمٗا
فَكَسَوۡنَا ٱلۡعِظَٰمَ لَحۡمٗا ثُمَّ أَنشَأۡنَٰهُ خَلۡقًا ءَاخَرَۚ فَتَبَارَكَ ٱللَّهُ
أَحۡسَنُ ٱلۡخَٰلِقِينَ ١٤
12. Dan sesungguhnya Kami
telah menciptakan manusia dari suatu saripati (berasal) dari tanah
13. Kemudian
Kami jadikan saripati itu air mani (yang disimpan) dalam tempat yang kokoh
(rahim)
14. Kemudian
air mani itu Kami jadikan segumpal darah, lalu segumpal darah itu Kami jadikan
segumpal daging, dan segumpal daging itu Kami jadikan tulang belulang, lalu
tulang belulang itu Kami bungkus dengan daging. Kemudian Kami jadikan dia
makhluk yang (berbentuk) lain. Maka Maha sucilah Allah, Pencipta Yang Paling
Baik.
Dalam
ayat dibahas 5 masalah, yaitu:
Pertama: fiman Allah
SWT وَلَقَدۡ خَلَقۡنَا ٱلۡإِنسَٰنَ “Dan
sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia” manusia
disini adalah Adam a.s. Inilah pendapat yang dikatakann oleh Qatadah dan
lainnya. Sebab Adam diciptakan dari tanah.
Dhamir (kata ganti) yang terdapat pada firman
Allah ثُمَّ جَعَلۡنَٰهُ “Kemudian Kami
jadikan saripati itu,” kembali kepada
anak cucu Adam, meskipun mereka tidak disebutkan, karena hal ini sudah masyhur.
Sebab makna firman Allah itu akan benar kecuali dengan itu. Padahal firman
Allah ini adalah firman-Nya:حَتَّىٰ
تَوَارَتۡ بِٱلۡحِجَابِ ٣٢
“sampai kuda itu hilang dari
pandangan" (Q.S (38): 32).
Menurut satu pendapat, yang dimaksud
dari kata سُلَٰلَةٖ adalah anak
cucu Adam. Inilah pendapat yang dikatan oleh Ibnu Abbas dan lainnya. Jika
berdasarkan kepada pendapat ini سُلَٰلَةٖ adalah air
pilihan, yaitu air mani. سُلَٰلَةٖ adalah kata
yang sesuai dengan pola kata فُعَالَة dan berasal dari kata السَّلُّ yaitu
mengeluarkan sesuatu dari sesuatu yang lain. Contohnya سَلَلْتُ
السَّعْرَ مِنَ الْعَجَيْنِ (aku mengeluarkan rambut dari adonan). Dan سَلَلْتُ
السَّيْفَ مِنَ الْغَمْدِ فَانْسَلْ (aku menghunus pedang dari sarungnya ia pun
terhunus).
مِّن
طِينٖ “dari tanah”, mkasudnya adalah asal Adam A.S
adalah dari tanah.
Menurut saya
(Al-Qurthubi): Maksudnya adalah dari tanah yang murni. Sedangkan
keturunannya, mereka berasal dari tanah dan air mani. Hal ini sebagaimana yang
telah kami jelaskan di awal surah Al-An’am.
Al Kalbi berkata, “As-Sulaalah
adalah tanah yang apabila engkau memerasnya maka ia keluar dari sela-sela
jarimu. Tanah yang keluar itulah yang disebut As-Sulaalah.
Kedua: Firman Allah SWT نُطۡفَةٗ “air mani”. Pada awal surah Al-Hajj sudah
dijelaskan kata An-Nuthfah, Al Alaqah, dan Al Mudhghah beserta hukum-hukum yang
terkandungnya.
Ketiga: Firman
Allah SWT ثُمَّ أَنشَأۡنَٰهُ خَلۡقًا
ءَاخَرَۚ
“Kemudian kami jadikan dia makhluk yang (berbentuk) lain.” Para ulama berbeda
pendapat tentang خَلۡقًا
ءَاخَرَ.
Ibnu Abbas, Asy-Syalabi, Abu Al Aliyah,
Adn-Dhahhak dan Ibnu Zaid, “Itu adalah dihembuskannya ruh kepada makhluk
tersebut, setelah (sebelumnya) ia adalah benda mati.”
Diriwayatkan dari Ibnu
Abbas, “Itu adalah keluarnya (makhluk tersebut) ke alam dunia.”
Qatadah mengutip dari
sekelompok ulama, “Itu adalah tumbuhnya rambut.”.
Adh-Dhahhak berkata,
“Tumbuhnya gigi dan rambut.”.
Mujahid berkata.,
“Sempurnanya kemudaanya.”.
Pendapat ini pun
diriwayatkan oleh Ibnu Umar.
Pendapat yang benar dalam
hal ini adalah, bahwa yang dimaksud dari firman Allah tersebut adalah mencapkup
semua itu, juga mencakup lainnya, yaitu dapat berbicaraq, dapat mengerti,
baiknya perbuatan, dan memperoleh pemahaman, sampai meninggal dunia.
Keempat: Firman
Allah SWT, فَتَبَارَكَ ٱللَّهُ
أَحۡسَنُ ٱلۡخَٰلِقِينَ “Maka
Maha suci Allah, pencipta yang paling baik.” Diriwayatkan dari Umar bin
Khattab bahwa dia mendengar awal ayat sampai firman Allah خَلۡقًا
ءَاخَرَ “Makhluk yang berbentuk lain,” maka dia
berkata, فَتَبَارَكَ ٱللَّهُ
أَحۡسَنُ ٱلۡخَٰلِقِينَ “Maka Maha suci Allah, pencipta yang paling
baik.” Rasulullah SAW kemudian bersabda, “Demikianlah ayat itu diturunkan”.
Dalam Musnad Ath-Thayalisi
tertera, “Dan diturunkanlah ayat, وَلَقَدۡ
خَلَقۡنَا ٱلۡإِنسَٰنَ مِن سُلَٰلَةٖ مِّن طِينٖ….. “Dan sesungguhnya Kami telah menciptakan
manusia dari suatu saripati (yang berasal) dari tanah …..” Ketika ayat turun, aku (Umar bin Khattab) berkata, فَتَبَارَكَ
ٱللَّهُ أَحۡسَنُ ٱلۡخَٰلِقِينَ “Maka Maha sucilah Allah, Pencipta yang paling
baik” maka turunlah
ayat, فَتَبَارَكَ ٱللَّهُ
أَحۡسَنُ ٱلۡخَٰلِقِينَ. “Maka Maha sucilah Allah, Pencipta yang paling baik”.
Diriwayatkan bahwa orang yang mengatakan itu
adalah Mu’adz bin Jabal. Diriwayatkan pula bahwa orang yang mengatakan itu
adalah Abdullah bin Abu Sarh. Oleh karena itu dia murtad. Dia berkata, “Aku
mendatangkan (ayat) seperti yang datang kepada Muhammad. Dalam hal ini turun
firman Allah SWT, وَمَنۡ
أَظۡلَمُ مِمَّنِ ٱفۡتَرَىٰ عَلَى ٱللَّهِ كَذِبًا أَوۡ قَالَ أُوحِيَ إِلَيَّ
وَلَمۡ يُوحَ إِلَيۡهِ شَيۡءٞ وَمَن قَالَ سَأُنزِلُ مِثۡلَ مَآ أَنزَلَ ٱللَّهُۗ
“Dan siapakah yang lebih zalim daripada orang yang membuat
kedustaan terhadap Allah atau yang berkata: "Telah diwahyukan kepada
saya", padahal tidak ada diwahyukan sesuatupun kepadanya, dan orang yang
berkata: "Saya akan menurunkan seperti apa yang diturunkan Allah.” (Q.S Al An’aam
[6]: 93)
Hal
ini seperti yang sudah dijelaskan dalam surah Al-An’aam.
Firman
Allah فَتَبَارَكَ ٱللَّهُ “Maka Maha
sucilah” adalah lafadz yang sesuai dengan pola kata تَفَاعَلَ dari kata Al
Barakah.
أَحۡسَنُ
ٱلۡخَٰلِقِينَ “Pencipta yang
paling baik” maksudnya adalah, yang paling ahli diantara para
pencipta. Dikatakan kepada orang yang menciptaka sesuatu, khalaqahu (dia
menciptakannya). Contoh yang lain adalah syair berikut ini:
وَلَأَنْتَ تَفْرِي مَا
خَلَقْتَ وَبَعْ ىضُ الْقَوْمِ يَخْلُقُ ثُمَّ لَا يَفْرِيْ
Dan sesungguhnya engkau memperbagus yang telah
engkau ciptakan,
Sedangkan sebagian kaum menciptakan, namun
mereka tidak memperindah (nya)
Sebagian orang berpendapat
bahwa lafazh (Al-Kalq) ditiadakan dari manusia, dan ia hanya di-idhafah-kan
kepada Allah.
Ibnu Juraij berkata,
“Sesungguhnya dikatakan, أَحۡسَنُ
ٱلۡخَٰلِقِينَ “Pencipta yang
paling baik” karena Allah SWT mengizinkan Isa untuk menciptakan
sesuatu. Namun sebagian yang lain masih bimbag dalam hal itu. Sesungguhnya
lafazh tersebut tidak boleh ditiadakan dari manusia jika mengandung makna
membuat (Ash-Shan’u). Lafazh tersebut ditiadakan dari manusia jika
mengandung makna menciptakan dan mengadakan dari tiada.
Masalah:
Masuk dalam makna ayat ini apa yang dikemukakan Ibnu Abbas kepada Umar,
saat Umar bertanya kepada para sahabat senior tentang Lailatul Qadar, dimana
mereka kemudian menjawab, “Allah yang maha mengetahui hal itu,” Umar bertanya
kepada Ibnu Abbas, “Apa yang engkau katakan wahai putera Abbas ?” Ibnu Abbas
menjawab, “Wahai Amirul Mukminin, sesungguhnya Allah SWT telah menciptakan
langit yang tujuh dan bumi yang tujuh, kemudian memperlihatkannya pada malam
kedua puluh tujuh.” Umar R.A berkata, “Apakah kalian tidak mampu mendatangkan
(sesuatu) seperti apa yang didatangkan oleh anak yang belum dewasa ini ?”. Hadits
panjang ini disebutkan dalam Musnad Ibnu Abi Syaibah. Yang dimaksud oleh
Ibnu Abbas dengan ucapannya, “Menciptakan anak cucu Adam dari yang tujuh.”.
adalah ayat ini. Sedangkan yang dimaksud dari ucapannya, “Dan menetapkan rezeki
mereka pada yang tujuh” adalah firman Allah SWT فَأَنۢبَتۡنَا
فِيهَا حَبّٗا ٢٧ وَعِنَبٗا
وَقَضۡبٗا ٢٨ وَزَيۡتُونٗا
وَنَخۡلٗا ٢٩ وَحَدَآئِقَ
غُلۡبٗا ٣٠ وَفَٰكِهَةٗ
وَأَبّٗا ٣١ “lalu Kami tumbuhkan biji-bijian di bumi itu, anggur dan sayur-sayuran, zaitun dan kurma, kebun-kebun (yang) lebat, dan buah-buahan serta rumput-rumputan.”(Q.S Abasa [80]: 27-31).
Tujuh macam
tumbuh-tumbuhan tersebut untuk anak cucu Adam, rerumputan untuk binatang
ternak, dan sayur-sayuran untuk anak cucu Adam, dimana karenanya kaum perempuan
menjadi gemuk, ini menurut satu pendapat. Menurut pendapat lain, Al Qadhb (potongan)
adalah sayur-sayuran, karena ia dipotong. Ia adalah rezeki bagi anak cucu Adam.
Menurut pendapat yang lain lagi, sayur-sayuran dan rerumputan untuk binatang
ternak, dan enam jenis tumbuhan lainnya untuk anak cucu Adam. Yang ketujuh bagi
mereka adalah binatang ternak itu sendiri. Sebab ia merupakan rezeki yang
paling besar bagi anak cucu Adam.
6.
Al-Hajj ayat 5
يَٰٓأَيُّهَا ٱلنَّاسُ إِن
كُنتُمۡ فِي رَيۡبٖ مِّنَ ٱلۡبَعۡثِ فَإِنَّا خَلَقۡنَٰكُم مِّن تُرَابٖ ثُمَّ مِن
نُّطۡفَةٖ ثُمَّ مِنۡ عَلَقَةٖ ثُمَّ مِن مُّضۡغَةٖ مُّخَلَّقَةٖ وَغَيۡرِ
مُخَلَّقَةٖ لِّنُبَيِّنَ لَكُمۡۚ وَنُقِرُّ فِي ٱلۡأَرۡحَامِ مَا نَشَآءُ إِلَىٰٓ
أَجَلٖ مُّسَمّٗى ثُمَّ نُخۡرِجُكُمۡ طِفۡلٗا ثُمَّ لِتَبۡلُغُوٓاْ أَشُدَّكُمۡۖ
وَمِنكُم مَّن يُتَوَفَّىٰ وَمِنكُم مَّن يُرَدُّ إِلَىٰٓ أَرۡذَلِ ٱلۡعُمُرِ
لِكَيۡلَا يَعۡلَمَ مِنۢ بَعۡدِ عِلۡمٖ شَيۡٔٗاۚ وَتَرَى ٱلۡأَرۡضَ هَامِدَةٗ
فَإِذَآ أَنزَلۡنَا عَلَيۡهَا ٱلۡمَآءَ ٱهۡتَزَّتۡ وَرَبَتۡ وَأَنۢبَتَتۡ مِن
كُلِّ زَوۡجِۢ بَهِيجٖ ٥
5. Hai manusia, jika kamu
dalam keraguan tentang kebangkitan (dari kubur), maka (ketahuilah) sesungguhnya
Kami telah menjadikan kamu dari tanah, kemudian dari setetes mani, kemudian
dari segumpal darah, kemudian dari segumpal daging yang sempurna kejadiannya
dan yang tidak sempurna, agar Kami jelaskan kepada kamu dan Kami tetapkan dalam
rahim, apa yang Kami kehendaki sampai waktu yang sudah ditentukan, kemudian
Kami keluarkan kamu sebagai bayi, kemudian (dengan berangsur-angsur) kamu
sampailah kepada kedewasaan, dan di antara kamu ada yang diwafatkan dan
(adapula) di antara kamu yang dipanjangkan umurnya sampai pikun, supaya dia
tidak mengetahui lagi sesuatupun yang dahulunya telah diketahuinya. Dan kamu
lihat bumi ini kering, kemudian apabila telah Kami turunkan air di atasnya,
hiduplah bumi itu dan suburlah dan menumbuhkan berbagai macam tumbuh-tumbuhan
yang indah.
Firman Allah
SWT,
يَٰٓأَيُّهَا ٱلنَّاسُ إِن
كُنتُمۡ فِي رَيۡبٖ مِّنَ ٱلۡبَعۡثِ ”Hai manusia, jika kamu dalam keraguan tentang kebangkitan (dari
kubur).”
Dalam ayat ini dibahas dua belas
masalah, yaitu :
Pertama : Firman Allah SWT, إِن
كُنتُمۡ فِي رَيۡبٖ مِّنَ ٱلۡبَعۡثِ ”Jika kamu
dalam keraguan tentang kebangkitan (dari kubur). “Firman ini merupakan
argumentasi yang dikemukakan kepada alam tentang adanya penciptaan
pertama. Firman Allah SWT, إِن
كُنتُمۡ فِي رَيۡبٖ “Jika kamu
dalam keraguan,” ini mencakup penetapan (Allah tentang adanya keraguan).
Al-Hasan bin Abu Al-Hasan membaca
lafadz
ٱلۡبَعۡثِ dengan lafadz
ٱلۡبَعۡثِ –yakni dengan harakat fathah pada huruf ain-. Lafadz ٱلۡبَعۡثِ ini merupakan
salah satu dialek untuk lafadz ٱلۡبَعۡثِ menurut para
ulama Bashrah. Sedangkan menurut para ulama kufah, lafadz tersebut harus dibaca
ringan. Maknanya adalah, wahai manusia, jika kamu berada dalam keraguan tentang
pengembalian (dari kubur).“
فَإِنَّا
خَلَقۡنَٰكُم “Maka
(ketahuilah) sesungguhnya Kami telah menjadikan kamu,“ maksudnya adalah, Kami
telah menciptakan moyang kamu yang merupakan nenek moyang manusia, Yakni Nabi
Adam AS.
مِّن
تُرَابٖ “Dari tanah,”
kemudian Kami menciptakan keturunannya. مِن
نُّطۡفَةٖ maksudnya
adalah dari setetes mani. Mani dinamakan dengan Nutfah karena jumlah cairannya
yang sedikit. Namun terkadang kata Nutfah pun digunakan untuk menyebut air yang
banyak. Contohnya adalah hadis yang menyebutkan, حَتَّى
يَسِيْرُ الرَّاكِبُ بَيْنَ النَّطْفَتَيْنِ لَا يَخْشَى “Hingga pengendara berjalan di
antara kedua air, dimana dia tidak takut akan kedzaliman.” Maksudnya adalah
laut timur dan laut barat. Kata An-Nathf berarti tetesan. Kata tersebut
dibentuk dari نَطَفَ
–
يَنْطِفُ dan
يَنْطُفُ (menetes). Sedangkan makna
لَيْلَة نَطُفَط adalah malam yang senantiasa
menetaskan air (hujan).
ثُمَّ
مِنۡ عَلَقَةٖ “kemudian dari
segumpal darah,” maksudnya adalah, darah yang keras. Kata
عَلَقَةٖ juga mengandung
makna darah segar (yang tidak bercampur dengan yang lain). Menurut satu
pendapat, عَلَقَةٖ adalah darah
yang sangat merah.
ثُمَّ
مِن مُّضۡغَةٖ “kemudian dari
segumpal daging.” Kata مُّضۡغَةٖ berarti daging
yang sedikit, kira-kira sebesar daging yang dimamah atau dikunyah. Contohnya
adalah hadits yang menyebutkan, أَلَا
وَإِنَّ فِي الْجَسَدِ مُضْغَة “Ketahuilah,
sesungguhnya di dalam tubuh itu terdapat segumpal darah daging.”
Fase-fase
pembentukan tersebut berlangsung selama empat bulan. Ibnu Abbas berkata, “pada
hari kesepuluh selepas empat bulan ruh ditiupkan. Oleh karena itulah iddah
wanita yang ditinggal mati suaminya berlangsung selama empat bulan sepuluh
hari.”
Kedua, Yahya bin Zakaria bin Abu
Za’idah menceritakan kepada kami, Daud menceritakan kepada kami dari Amir, dari
Al-Qamah, dari Ibnu Mas’ud, dari Ibnu Umar, bahwa apabila air mani telah berada
di dalam rahim (seorang perempuan). Maka diambillah ia oleh seorang malaikat
dengan telapak tangannya, lalu ia berkata, “ya Tuhan, Apakah (akan menjadikan
seorang) laki-laki atau perempuan, (apakah makhluk) sengsara atau bahagia ?
bagaimana dengan ajal dan atsar ? di negeri manakah dia akan meninggal dunia”
Allah berfirman, “Pergilah engkau ke Ummul Kitab. Sesungguhnya di sana engkau
akan menemukan kisah tentang air mani ini.” Malaikat kemudian berangkat dan dia
menemukan air mani itu di dalam Ummul Kitab. Setelah itu air mani itu pun
menjadi makhluk, memakan rezekinya, dan menyusuri jejak langkahnya. Apabila
ajalnya telah tiba, maka diambillah nyawanya, lalu dimakamkanlah dia di tempat
yang telah ditakdirkan untuknya. “Setelah itu Ibnu Amir (membaca firman Allah),
يَأَيُّهَا النَّاسُ إِنَّ كُنْتُمْ
فِي رَيْبٍ مِّنَ الْبَعْثِ فَإِنَّا خَلَقْنَاكُمْ مِّنْ تُرَابٍ “Hai Manusia,
jika kamu dalam keraguan tentang kebangkitan (dari kubur), maka (ketahuilah)
sesungguhnya Kami telah menjadikan kamu dari tanah.
Dalam Ash-Shahih disebutkan :
Diriwayatkan dari Anas bin Malik –Anas meriwayatkan hadis ini secara marfu’-,
dia berkata, “Sesungguhnya Allah telah menugaskan seorang malaikat di dalam
rahim (seorang wanita), lalu malaikat itu berkata, ‘Ya Tuhan, (ini adlah) air
mani. Ya Tuhan, (ini adalah) segumpal segumpal darah. Ya Tuhan, (ini adalah)
segumpal daging’. Apabila Allah hendak menciptakan seorang makhluk, maka
malaikat berkata, ‘Ya Tuhan, (apakah makhluk) itu seorang laki-laki atau
seorang perempuan, (apakah makhluk) ini sengsara atau bahagia. Bagaimana dengan
rezekinya? Bagaimana dengan ajalnya?’ Malaikat kemudian menetapkan semua itu
padanya ketika dia berada dalam perut ibunya.
Dalam Ash-Shahih juga disebutkan :
Diriwayatkan dari Huzaifah bin Usaid Al-Ghifari, dia berkata : aku mendengar
Rasulullah SAW bersabda, “apabila empat puluh dua malam berlalu pada sperma,
maka Allah mengutus seorang maikat padanya, lalu malaikat itu membentuk
rupanya, menciptakan telinganya, pendengarannya, penglihatannya, kulitnya,
dagingnya, dan tulangnya. Setelah itu malaikat berkata, ‘Ya Tuhan, (apakah dia)
seorang laki-laki atau perempuan...” Hudzaifah Al-Ghifari kemudian menyebutkan
hadis diatas.
Selain itu, dalam Ash-Shahih
disebutkan : Diriwayatkan dari Abdullah bin Mas’ud, dia berkata, “Rasulullah
SAW menceritakan kepada kami dan beliau adalah cocok yang jujur lagi dipercaya.
إِنَّ
أَحَدَ كُمْ يُجْمَعَ خَلْقُهُ فِي بَطْنِ أُمِّهِ أَرْبَعِيْنَ يَوْمًا نُطْفَةً
ثُمَّ يَكُوْنُ فِي ذَلِكَ عَلَقَةً مِثْلَ ذَلِكَ ثُمَّ يَكُوْنُ مُضْغَةً مِثْلَ
ذَلِكَ ثُمَّ يُرْسَلُ الْمَلَكُ فَيَنْفُخُ فِيْهِ الرُّوْحُ وَيُؤْمَرُ
بِأَرْبَعَ كَلِمَاتٍ بَكَتْبٍ رِزْقِهِ وَأَجَلِهِ وَعَمَلِهِ وَشَقِيُّ اَوْ
سَعِيْدٌ .
‘Sesungguhnya penciptaan
salah seorang diantara kalian dihimpun didalam perut ibunya selama empat puluh
hari berupa air mani, kemudian menjadi segumpal darah dalam waktu yang sama,
kemudian menjadi segumpal daging juga dalam waktu yang sama. Setelah itu, malaikat
diutus untuk meniupkan roh ke dalamnya dan diperintahkan untuk mencatat empat
perkara : mencatat rezekinya, ajalnya, perbuatannya, dan celaka ataukah
bahagia.
Hadis ini menafsirkan beberapa hadis sebelumnya. Sebab hadis ini
menyatakan bahwa penciptaan salah seorang diantara kalian itu dihimpun di alam
perutnya selama 40 hari dalam bentuk air mani. Kemudian selama 40 hari dalam
bentuk segumpal darah, kemudian dalam 40 hari dalam bentuk segumpal daging.
Laludiutuslh malaikat yang akan meniupkan roh kepadanya. Hal ini (dari 4
bulan), malaikat akan menghembuskan roh. Ini adalah iddah wanita yang ditinggal
mati suaminya, seperti yang dikatakan oleh Ibnu Abbas.
Adapun sabda Rasulullah SAW, “Sesungguhnya salah seorang di antara
kalian, penciptaannya dihimpun dalam perut ibunya,: telah ditafsirkan oleh Ibnu
Mas’ud.
Al-‘Amasy pernah ditanya, “Apa yang dihimpun dalam perut ibu
seorang?” Al-‘Amasy menceritakan kepada kami dia berkata : Abdullah bin Mas’ud
berkata, ‘Apabila air mani berada dalam rahim (seorang wanita), kemudian Allah
hendak menjadikan air mani itu seorang manusia. Maka air mani itu akan mengalir
di kulit perempuan ituu, yakni di bawah kuku dan rambutnya. Lalu air mani itu
diam selama empat puluh hari, kemudian ia menjadi darah di dalam rahim. Itulah
penghimpunannya. Ini adalah waktu dimana ia menjadi segumpal darah.”
Ketiga : Nisbat penciptaan dan pembentukan kepada Malaikat adalah
nisbat majazi dan bukan hakiki. Sebab apa yang keluar dari malaikat –yang
berupa pengaruh terhadap segumpal daging- ketika melakukan pembentukan dan
penciptaan, adalah terjadi kekuasaan, penciptaan, dan pembentukan Allah.
Tidaklah engkau melihat bahwa Allah telah menisbatkan penciptaan
yang hakiki kepada Dzat-Nya dan menghilangkan semua
penisbatan kepada makhluk dalam firman-Nya,
وَلَقَدۡ خَلَقۡنَٰكُمۡ
ثُمَّ صَوَّرۡنَٰكُمۡ “Sesungguhnya
Kami telah menciptakan kamu (Adam), lalu Kami bentuk tubuhmu,” (QS. Al-A’raaf
ayat 11). وَلَقَدۡ خَلَقۡنَا ٱلۡإِنسَٰنَ
مِن سُلَٰلَةٖ مِّن طِينٖ ١٢ ثُمَّ
جَعَلۡنَٰهُ نُطۡفَةٗ فِي قَرَارٖ مَّكِينٖ ١٣ “Dan sesungguhnya Kami telah
menciptakan manusia dari suatu saripati (berasal) dari tanah. Kemudian Kami
jadikan saripati itu air mani (yang disimpan) dalam tempat yang kokoh (rahim).”
(QS. Al-Mu’minun ayat 12-13).
يَأَيُّهَا
النَّاسُ إِنْ كُنْتُمْ فِي رَيْبٍ مِّنَ الْبَعْثِ فَإِنَّا خَلَقْنَاكُمْ مِّنْ
تُرَابٍ ثُمَّ مِن نُّطْفَةٍ “Hai Manusia,
jika kamu dalam keraguan tentang kebangkitan (dari kubur), maka (ketahuilah)
sesungguhnya Kami telah menjadikan kamu dari tanah, kemudian dari setetes
mani.”
هُوَ
ٱلَّذِي خَلَقَكُمۡ فَمِنكُمۡ كَافِرٞ وَمِنكُم مُّؤۡمِنٞۚ وَٱللَّهُ بِمَا
تَعۡمَلُونَ بَصِيرٌ ٢ “Dialah yang
menciptakan kamu maka di antara kamu ada yang kafir dan di antaramu ada yang
mukmin. Dan Allah Maha Melihat apa yang kamu kerjakan”. (QS. At-Tahgabun ayat
2).
وَصَوَّرَكُمۡ
فَأَحۡسَنَ صُوَرَكُمۡ “dan membentuk kamu lalu membaguskan rupamu.” (QS. Al-Gaafir ayat
64).
لَقَدۡ
خَلَقۡنَا ٱلۡإِنسَٰنَ فِيٓ أَحۡسَنِ تَقۡوِيمٖ ٤ “sesungguhnya Kami telah menciptakan
manusia dalam bentuk yang sebaik-baiknya.” (QS. At-Tiin ayat 4).
خَلَقَ
ٱلۡإِنسَٰنَ مِنۡ عَلَقٍ ٢ “Dia telah
menciptakan manusia dari segumpal darah.” (QS. Al-‘Alaq ayat 2). Dan Firman
Allah lainnya, disamping dalil-dalil lainnya yang secara pasti menunjukan bahwa
tidak ada yang Menciptakan Makhluk kecuali Tuhan semesta alam.
Seperti uraian itu pula yang dikatakan untuk sabda Rasulullah SAW,
kemudian diutuslah malaikat yang akan meniupkan roh padanya.” Demikian pula
dngan semua faktor yang menjadi sebab sesuatu terjadi. Semua itu terjadi karena
penciptaan Allah dan bukan karena yang lain. Renungkan dan berpegang teguhlah
kepada prinsip ini. Karena inilah yang menyelamatkan dari aliran naturalisme
yang sesat dan lainnya.
Keempat : para ulama tidak berbeda pendapat bahwa roh itu dihembuskan
setelah 120 hari, yakni setelah genap 4 bulan dan masuk ke usia 5 bulan. Hal
ini berdasarkan hadis-hadis yang telah dikemukakan di atas. Hal ini pula yang
menjadi landasan hukum untuk kasus penisbatan (anak) ketika terjadi
persengketaan dan penetapan kewajiban memberi nafkah kepada wanita hamil yang
diceraikan. Sebab (jika kehamilan terjadi), diyakini janin sudah bergerak di
dalam perut.
Menurut satu pendapat, mengetahui kehamilan ini merupakan hikmah
dari iddah wanita yang ditinggal ati suaminya, dimana iddah ini berlangsung
selama 4 bulan 10 hari. Sebab dengan memasuki usia 5 bulan, jika kehamilan
tidak nampak, maka diyakini bahwa rahim telah bebas dari kehamilan.
Kelima : jika seorang wanita mengeluarkan air mani, maka air mani
ini tidak dianggap apapun –secara meyakinkan- dan hukum pun tidak berkaitan
dengannya. Apabila air mani tidak mengendap di dalam rahim, maka air mani ini
sama dengan air mani yang ada di tulang punggung seorang laki-laki.
Tapi jika seorang wanita mengeluarkan segumpak darah, maka kita
bisa memastikan bahwa air mani itu sudah mengendap, berkumpul, dan berubah
menjadi sesuatu yang tengah berada dalam kondisi pertama, yang diyakini akan
menjadi anak. Jika berdasarkan hal ini, maka mengeluarkan gumpalan darah atau
lebih (yakni segumpal daging) sama saja dengan melahirkan kandungan. Hal ini
dapat membebaskan rahim (dari kehamilan), menyudahi masa iddah, dan menetapkan
hukum seorang ibu kepada kepada wanita yang mengeluarkannya. Ini adalah mazhab
Malik dan para sahabatnya.
Asy-Syafi’i berkata, “Jatuhnya gumpalan darah tersebut tidak
menjadi sesuatu yang patut dipertimbangkan. Sebab yang dipertimbangkan adalah
nampaknya bentuk dan rupa. Jika rupa itu masih samar dan gumpalan daging pun
masih berupa daging, maka dalam hal ini ada dua pendapat : berdasarkan kepada
naql dan takhrij. Pendapat yang dinashkan dalam hal ini adalah, bahwa iddah
telah berakhir, namun wanita yang mengeluarkan darah itu tidak dianggap menjadi
seorang ibu. Karena iddah dapat berakhir akibat keluarnya darah. Jika iddah
dapat berakhir karena keluarnya darah yang mengalir, apabila karena alasan yang
lain.
Keenam : Firman Allah SWT, مُّخَلَّقَةٖ
وَغَيۡرِ مُخَلَّقَةٖ “yang sempurna
kejadiannya dan yang tidak sempurna.” Al-Farra’ berkata, “Makna
مُخَلَّقَةٖ adalah yang
sempurna kejadiannya, sedangkan makna وَغَيۡرِ
مُخَلَّقَةٖ adalah yang
gugur.”
Ibnu Al-Arabi berkata, “Makna مُخَلَّقَةٖ adalah yang
sudah dimulai penciptaannya (sudah ada
bentuknya), sedangkan makna وَغَيۡرِ
مُخَلَّقَةٖ adalah yang
belum ada bentuknya.”
Ibnu Zaid berkata, “Makna مُخَلَّقَةٖ adalah yang
padanya Allah telah menciptakan kepala, kedua tangan, dan kedua kaki, sedangkan
makna وَغَيۡرِ
مُخَلَّقَةٖ adalah yang belum diciptakan apapun padanya.”
Ibnu Al-Arabi berkata, “Apabila kita kembali kepada asal-muasal
pengambilan kata, sesungguhnya sperma, segumpal daging, dan segumpal darah
disebutkan مُخَلَّقَةٖ (yang
diciptakan). Sebab semuanya merupakan ciptaan Allah. Tapi jika kita kembali
kepada gambaran (yang diberikan Allah) yang merupakan akhir dari penciptaan
(manusia), sebagaimana dalam firman Allah, ثُمَّ
أَنشَأۡنَٰهُ خَلۡقًا ءَاخَرَ ”Kemudian Kami
jadikan dia makhluk yang (berbentuk) lain.” (QS. Al-Mu’minuun ayat 14) maka
(yang dimaksud dengan firman Allah, مُّخَلَّقَةٖ
وَغَيۡرِ مُخَلَّقَةٖ tersebut)
adalah apa yang dikatakan oleh Ibnu Zaid.”
Menurut Al-Qurtubi : kata At-Takhliiq (penciptaa) itu dibentuk dari
kata Al-Khalq (ciptaa). Kata At-Takhliiq ini mengandung makna banyak (yakni
nanyaknya hal yang diciptakan). Jika demikian, apa yang terjadi dalam fase-fase
tersebut? Semuanya itu merupakan ciptaan Allah setelah ciptaan yang lain.
Apabila ciptaan itu berbentuk sperma, maka ia disebut makhluk saja (bukan
mukhallaqah). Oleh karena itu, Allah SWT berfirman,
ثُمَّ أَنشَأۡنَٰهُ خَلۡقًا
ءَاخَرَ “kemudian Kami
jadikan dia makhluk yang (berbentuk) lain.” (QS. Al-Muminuun ayat 14).
Menurut satu pendapat, firman Allah SWT, مُّخَلَّقَةٖ
وَغَيۡرِ مُخَلَّقَةٖ “yang sempurna
kejadiannya dan yang tidak sempurna,” kembali kepada anak itu saja, dan bukan
kepada (janin) yang gugur. Maksud dari firman Allah tersebut adalah, di antara
mereka ada yang Allah sempurnakan gumpalan darahnya, dimana Allah menciptakan
semua anggota tubuh padanya, dan di antara mereka pun ada yang lahir sebelum
waktunya lagi tidak sempurna.
Menurut satu pendapat, مُّخَلَّقَةٖ adalah seorang
wanita yang melahirkan pada waktu yang sudah sempurna atau genap.
Ibnu Abbas berkata, مُّخَلَّقَةٖ adalah anak
yang hidup, sedangkan وَغَيۡرِ
مُخَلَّقَةٖ adalah anak
atau janin yang gugur.
Seorang penyair berkata,
أَفِيْ
غَيْرِ الْمُخَلَّقَةِ الْبُكَاءُ
فَأَيْنَ الْحَزْمُ وَيْحَكَ وَالْحَيَاءُ
Apakah tangisan itu untuk janin yang gugur ?
Celaka engkau, dimanakah keteguhan hati dan rasa malu(mu).
Ketujuh
: Para ulama sepakat bahwa seorang wanita telah dianggap menjadi seorang ibu
dari seorang, karena keguguran anak yang sudah sempurna penciptaannya.
Sedangkan menurut malik, Al-Auza’i dan lainnya, (dia telah dianggap menjadi
seorang ibu) karena (keguguran) segumpal daging, apakah kejadiannya sudah
sempurna atau belum.
Imam
Malik, “Jika dia mengetahui bahwa itu adalah gumpalan darah.”
Asy-Syafi’i dan Abu Hanifah berkata,
“jika telah nampak secara jelas rupa manusia, baik jari, mata, atau lainnya,
maka wanita tersebut telah menjadi seorang ibu.”
Mereka juga sepakat bahwa jika bayi
yang baru dilahirkan dapat mengeraskan suara (atau menangis kemudian meninggal
dunia), maka dia harus dishalatkan. Tapi jika tidak dapat mengeraskan suara,
maka menurut Malik, Abu Hanifah, Asy-Syafi’i dan lainnya, dia tidak wajib
dishalatkan.
Diriwayatkan dari Ibnu Umar, bahwa
dia harus dishalatkan. Pendapat ini pun dikemukakan oleh Ibnu Al-Musayyib, Ibnu
Sirrin, dan lainnya.
Diriwayatkan dari Al-Mughairah
binSyu’bah, bahwa dia memerintahkan untuk menyalatkan anak yang keguguran. Dia
berkata, “Berilah mereka nama, mandikanlah mereka, kafanilah mereka, dan
awetkanlah mereka. Sesungguhnya Allah telah memuliakan yang besar dan yang
kecil di dalam agama islam.” Dia kemudian membaca firman Allah SWT,
وَغَيۡرِ مُخَلَّقَةٖ ... فَإِنَّا
خَلَقۡنَٰكُم مِّن تُرَابٖ “maka
(ketahuilah) sesungguhnya Kami telah menjadikan kamu dari tanah ... dan yang
tidak sempurna.”
Ibnu Al-Arabi berkata, “boleh jadi
maksud Al-Mughairah bin Syu’bah dengan janin atau anak yang gugur itu adalah
yang sudah jelas rupanya. Inilah yang diharus diberikan nama. Sedangkan yang
belum jelas rupanya tidak ada.”
Sebagian salaf berkata, “Dia harus
dishalatkan apabila ruh sudah dihembuskan dan sudah erusia sempurna 4 bulan.”
Abu Daud meriwayatkan dari Abu
Hurairah RA, dari Nabi SAW, beliau bersabda,
إِذَا
اسْتَهْلً الْمَوْلُوْدُ وَرِثَ .
“Apabila bayi
yang dilahirkan mengeraskan suara(nya), maka dia berhak mewarisi.”
Kata
الاِسْتِهْلَال berarti adalah mengeraskan suara. Dengan
demikian, setiap bayi yang mengalami hal itu, atau bergerak, bersin, atau
bernafas, maka dia berhak untuk mewarisi, karena bayi tersebut telah
menunjukkan adanya kehidupan. Pendapat inilah yang dipegang oleh Sufyan
Ats-Tsauri, Al-Auza’i, dan Asy-Syafi’i.
Al-Khaththabi berkata, “pendapat
yang terbaik adalah pendapat As-Shhab Ar-Ra’yi.”
Malik berkata, “dia tidak berhak
untuk mewarisi, meskipun dia dapat bergerak atau bersin, selama dia tidak
mengeraskan suara.”
Pendapat ini pun diriwayatkan dari
Muhammad bin Sirrin, Asy-Sya’bi, Az-Zuhri, dengan Qatadah.
Kedelapan : Imam Malik berkata,
“Jika seseorang memukul perut wanita yang sedang hamil sehingga mengeluarkan
sesuatu, baik berupa segumpal darah, segumpal daging, atau sesuatu yang
diketahui bahwa itu adalah bayi, maka dalm kasus ini, pelakunya wajib membayar
Al-Ghurrah.”
Asy-Syafi’i berkata, “tidak diwajibkan apapun dalam kasus tersebut
hingga rupa sesuatu itu terlihat jelas.”
Malik berkata, “jika janin gugur kemudian dia tidak mengeraskan
suara, maka dalam kasus ini wajib membayar (diyat) Al-Ghurrah. Sama saja apakah
dia bergerak atau bersin. Dalam kasus ini, tetap diwajibkan Al-Ghurrah
selama-lamanya. Jika dia mengeraskan suara, maka dalam kasus ini diwajibkan
untuk membayar diyat secara penuh.”
Asy-Syafi’i dan semua ahliu fiqih dari berbagai penjuru berkata,
“Apabila kehidupannya diketahui karena adanya gerakan, bersin, suara yang
keras, atau lainnya sehingga dapat memberikan keyakinan bahwa bayi tersebut
hidup, maka dalam kasus ini diwajibkan membayar diyat.”
Kesembilan : Al
Qadhi Ismail menyebutkan bahwa masa iddah seorang wanita dapat berakhir karena
mengalami keguguran. Dia berargumentsi atas hal itu dengan menyatakan bahwa
janin tersebut adalah sesuatu yang dikandungnya. Dia juga berkata, “Allah SWT
berfirman, وَأُوْلَٰتُ
ٱلۡأَحۡمَالِ أَجَلُهُنَّ أَن يَضَعۡنَ حَمۡلَهُنَّ “Dan
perempuan-perempuan yang hamil, waktu iddah mereka itu ialah sampai mereka
melahirkan kandungannya.” (QS. At-Thalaaq ayat 4).
Al-Qadhi Ismail berkata, “dalil yang
menunjukkan atas hal itu adalah, karena janin tersebut dapat mewarisi ayahnya.
Hal ini menunjukan bahwa dia adalah seorang makhluk, sekaligus menunjukkan atas
keberadaan makhluk tersebut sebagai seorang anak dan sesuatu yang dikandung.”
Menurut Al-Qurthubi : apa yang sudah
kami sebutkan pada pembahasan tentang pengambilan nama dan juga sabda
Rasulullah SAW,
إِنَّ
أَحَدَكُمْ يُجْمَعُ خَلْقُهُ فِي بَطْنِ أُمِّهِ “sesungguhnya
penciptaan salah seorang diantara kalian dihimpun di dalam perut ibunya,”
menunjukkan atas kebenaran kami katakan. Selain itu, karena wanita itu
mengeuarkan segumpal darah dan segumpal daging, sehingga dapat dibenarkan
berdasarkan apa yang dikeluarkannya bahwa dia adalah seorang wanita hamil, yang
telah mengeluarkan apa yang tedapat di dalam rahimnya, dengan demikian, dia pun
tercakup dalam makna firman Allah SWT, وَأُوْلَٰتُ
ٱلۡأَحۡمَالِ أَجَلُهُنَّ أَن يَضَعۡنَ حَمۡلَهُنَّ “dan
perempuan-perempuan yang hamil waktu iddah mereka itu ialah telah sampai mereka
melahirkan kandungannya.” (QS. At-Thalaaq ayat 4).
Juga, karena dia telah melahirkan benih anak yang berasal dari
sperma yang sudah memiliki tubuh, seperti yang sudah berbentuk. Hal ini sangat
jelas sekali.
Kesepuluh : Ibnu Majjah meriwayatkan
: Abu Bakkar bin Syaibah menceritakan kepada kami, Khalid bin Makhlad
menceritakan kepada kami, Yazid menceritakan kepada kami dari Abdul malik
An-Naufali, dari Yazid bin Ruman dari Abu Hurairah, dia berkata, “Rasulullah
SAW bersabda, ‘sesungguhnya janin gugur yang aku bawa kehadapanku lebih aku
sukai dari pada pasukan berkuda yang aku tinggalkan dibelakangku.
Hadis ini pun diriwayatkan oleh
Al-Hakin dalam Ma’rifah Al-Ulum, dan Suhail bin Abu Shalih dari ayahnya, dari
Abu Hurairah, dia berkata, “lebih aku sukai dari pada seribu pasukan berkuda
yang aku tinggalkan dibelakangku.”
Kesebelas : Firman Allah SWT, لِّنُبَيِّنَ
لَكُمۡۚ
“Agar Kami jelaskan kepada kamu dan kami tetapkan dalam rahim,”
maksudnya adalah, (agar kami jelaskan kepada kamu) kesempurnaan kekuasaan Kami
dengan memberlakukan fase-fase penciptaan Kami.
وَنُقِرُّ
فِي ٱلۡأَرۡحَامِ مَا نَشَآءُ إِلَىٰٓ أَجَلٖ مُّسَمّٗى ثُمَّ نُخۡرِجُكُمۡ
طِفۡلٗا
“Dan Kami tetapkan dalam rahim, apa yang kami kehendaki sampai pada
waktu yang sudah ditentukan, kemudian kami keluarkan kamu sebagai bayi,” ada
yang membaca وَنُقِرُّ dengan nashab, yakni وَنُقِرّ dan
نُخۡرِجَ . Hal itu
diriwayakan dari Abu Hatim, dari Abu Zaid, dari Mufadhdhal, dari Ashim.
Abu Hatim berkata, “Qiraah nashab
itu karena athaf.”
Az-Zujaj, “ Lafadz نُقِرُّ harus dibaca rafa’, bukan lainnya.”
Sebab makna firman Allah itu
bukanlah ‘Kami melakukan itu didalam rahim untuk menetapkan apa yang kami
kehendaki.” Akan tetapi, Allah Azza wa Jalla melakukan itu untuk menunjukkan
mereka kepada petunjuk dan kebaikan.
Menurut satu pendapat, makna firman
tersebut adalah, untuk menjelaskan kepada mereka perkara kebangkitan. Dengan
demikian, kalimat tersebut adalah kalimat sisipan di antara dua kalimat.
Kelompok (yang mengatakan bahwa makna firman Allah tersebut adalah seperti ini)
membaca firman Allah tersebut dengan rafa’, yakni وَنُقِرُّ . Maknanya, wa nahnu nuqirru (sedang Kami menetapkan). Qiraah rafa’
ini adalah qira’ah mayoritas ulama.
Ada pula yang membacanya dengan lafadzh وَيُقِرُّ dan
يُخۡرِجُكُمۡ –yakni dengan menggunakan huruf ya’ di awal kata-. Jika sesuai
dengan qiraah ini, maka membaca rafa’ kedua kata tersebut adalah sesuatu hal
yang dibolehkan.
Ibnu Watstab membaca lafadz مَا
نَشَآءُ
dengan
مَا نِشَاءُ –yakni dengan harakat kasrah pada huruf nun-.
Ajal yang telah ditentukan itu berbeda-beda sesuai dengan keadaan
satu janin ke janin yang lain. Ada janin yang gugur dan ada pula yang sempurna
sampai keluar dalam keadaan hidup.
Dalam hal ini, Allah SWT berfirman, مَا
نَشَآءُ
“Apa yang Kami kehendaki,” dan bukan مَنْ
نَشَآءُ
“siapa yang Kami Kehendaki,” karena kata ما itu kembali kepada kehamilan.
Maksudnya, ditetapkan di dalam rahim apa yang Kami kehendaki, yaitu berupa
kehamilan dan gumpalan darah. Sedangkan kehamilan dan gumpalan darah adalah
benda mati. Oleh karena itulah digunakan kata ... untuk menyebutnya.
Kedua belas : Firman Allah SWT, ثُمَّ
نُخۡرِجُكُمۡ طِفۡلٗا “Kemudian Kami keluarkan kamu
sebagai bayi,” maksudnya adalah bayi-bayi. Sebab kata الطِّفۡل adalah isim jins (kata benda yang menunjukkan makna jenis). Selain
itu, karena orang-orang arab itu terkadang menyebutkan jamak dengan kata yang
berbentuk tunggal.
Al-Mubarrad berkata, “kata الطِّفۡل adalah isim yang digunakan sebagai mashdar (inivinitif), seperti
kata الرِّضَى dan
الْعَدْل , sehingga ia mencakup jamak dan tunggal. Allah SWT berfirman, أَوِ
ٱلطِّفۡلِ ٱلَّذِينَ لَمۡ يَظۡهَرُواْ عَلَىٰ عَوۡرَٰتِ ٱلنِّسَآءِۖ ‘atau anak-anak
yang belum mengerti tentang aurat wanita’.” (Surah An-Nur ayat 31)
Ath-Thabari berkata, “Lafadz الطِّفۡل itu dibaca nashab karena berfungsi sebagai tamyiz. Contohnya adalah
firman Allah SWT,
فَإِن طِبۡنَ لَكُمۡ عَن
شَيۡءٖ مِّنۡهُ نَفۡسٗا ‘kemudian jika mereka menyerahkan
kepada kamu sebagai dari maskawin itu dengan dengan senang hati.” (QS.
An-Nisaa’ ayat 4).
Menurut satu pendapat, makna firman
Allah tersebut adalah Kemi Keluarkan masing-masing kalian sebagai bayi.
Kata الطِّفۡل biasanya digunakan untuk menyebut seorang anak sejak dia disapih
hingga mencapai masa bagligh. Kata ini juga digunakan untuk menyebut anak semua
binatang liar. Contohnya adalah, طِفۡلٌ جَارِيَةٌ(satu orang anak perempuan
adalah anak),
طِفۡلٌ جَارِيَتَانِ (dua anak
perempuan adalah anak), dan
طِفۡلٌ جَوَارٍ (beberapa orang
anak perempuan adalah anak). Begitu juga jika digabungkan dengan kata غُلَام
.
Bentuk kata ini adalah, طِفۡل (anak laki-laki) dan طِفۡلَة (anak perempuan),
طِفۡلَان (dua anak laki-laki) dan طِفۡلَتَانِ (dua anak perempuan), serta أَطْفَال (beberapa orang anak) –kata أَطْفَال ini mencakup laki-laki dan perempuan-. Sebab tidak dikatakan طِفۡلَات .
Makna
أَطْفَلَتْ
الْمَرْأَتُ
adalah wanita itu memiliki anak. Sedangkan makna الْمُطْفِلَة adalah kijang betina yang membawa anaknya yang baru saja
dilahirkan. Demikian pula dengan unta. Bentuk jamak dari kata ini adalah مَطَافِل dan مَطَافِيْل .
Makna kata
الطِّفۡل adalah yang lembut. Contohnya adalah, طَفۡلَة جَارِيَةٌ (gadis yang lembut), dan بَنوْن طَفۡلٌ (anak-anak yang lembut). Sedangkan makna kalimat طَفَّلَ
اللَّيْلُ
adalah malam menjadi gelap. Makna kata الطَّفَل adalah selepas Ashar, ketika matahari bersiap untuk tenggelam. Kata
ini juga bermakna hujan.
ثُمَّ
لِتَبۡلُغُوٓاْ أَشُدَّكُمۡۖ “Kemudian (dengan berangsur-angsur) kamu sampailah epada
kedewasaan. “menurut satu pendapat, lafadz ثُمَّ adalah tambahan seperti huruf wau yang terdapat pada firman Allah, حَتَّىٰٓ
إِذَا جَآءُوهَا وَفُتِحَتۡ أَبۡوَٰبُهَا “sehinga
apabila mereka sampai ke syurga itu sedang pintu-pintunya telah terbuka.” (QS.
Az-Zumar ayat 73) sebab ثُمَّ adalah huruf yang
berfungsi untuk mengurutkan seperti huruf wau.
أَشُدَّكُمۡ “Kedewasaan,” maksudnya adalah, sempurnanya akal dan kekuatan
kalian. Penjelasan mengenai kata ini sudah dipaparkan dalam pembahasan surah
Al-An’aam.
وَمِنكُم
مَّن يُرَدُّ إِلَىٰٓ أَرۡذَلِ ٱلۡعُمُرِ “dan (ada pula)
di antara kamu yang dipanjangkan umurnya sampai pikun,” maksudnya adalah, umur
yang paling hina dan rendah, yaitu (umur dimana seseorang menjadi) tua dan
pikun, sehingga dia tidak mampu mengingat. Oleh karena itulah Allah SWT
berfirman, لِكَيۡلَا يَعۡلَمَ مِنۢ
بَعۡدِ عِلۡمٖ شَيۡٔٗاۚ “Supaya dia tidak mengetahui lagi
sesuatu pun yang dahulunya telah diketahuinya.” Begitu pula sebagaimana Dia
berfirman dalam surah Yaasiin,
وَمَن نُّعَمِّرۡهُ
نُنَكِّسۡهُ فِي ٱلۡخَلۡقِۚ “dan barang siapa yang kami panjangkan umurnya, niscaya kami
kembalikan dia kepada kejadian(nya).”(QS. Yaasiin ayat 68).
Rasulullah SAW pernah berdoa,
اللَّهُمَّ إِنِّي أَعُوْذُ بِكَ مِنَ الْبُخْلِ
وَأَعُوْذُ بِكَ مِنَ الْجُبْنِ وَأَعُوْذُ بِكَ أَنْ أُرَدَّ إِلَى أَرْذَلِ الْعُمُرِ
وَأَعُوْذُ بِكَ مِنْ فِتْنَةِ الدُّنْيَا وَعَذَابِ الْقَبْرِ .
“Ya Allah, sesungguhnya aku berlindung kepada-Mu dari sifat kikir,
aku berlindung kepada-Mu dari sifat penakut, aku berlindung kepada-Mu dari
panjang umur sampai pikun, aku berlindung kepada-Mu dari fitnah dunia dan siksa
kubur.” (HR. An-Nasa’i dari Sa’d)
An-Nasa’i berkata, “Sa’id
mengajarkan doa itu kepada anak-anaknya, sebagaimana seorang guru mengajarkan
kepada anak didik(nya). “Hal ini telah dijelaskan dalam surah An-Nahl.
وَتَرَى
ٱلۡأَرۡضَ هَامِدَةٗ “Dan kamu lihat bumi ini kering.”
Allah SWT menyebutkan beberapa bukti yang menunjukkan adanya kebangkitan. Allah
berfirman tentang bukti yang pertama, فَإِنَّا
خَلَقۡنَٰكُم مِّن تُرَابٖ “Maka (ketahuilah) sesungguhnya Kami
telah menjadikan kamu dari tanah.” Di sini, Allah mengarahkan pembicaraan
kepada semua orang. Setelah itu Allah SWT berfirman tentang bukti yang kedua, وَتَرَى
ٱلۡأَرۡضَ هَامِدَةٗ “dan kamu lihat bumi ini kering.” Di
sini, Allah mengarahkan pembicaraan hanya kepada satu orang, sehingga lafadz
yang pertama pun terpisah dari yang kedua. Namun demikian, makna lafadz yang
kedua ini masih menyatu dengan lafadz yang pertama, dimana semua itu merupakan
argumentasi untuk orang-orang yang mengingkari akan adanya hari kebangkitan.
هَامِدَة “Kering,” maksudnya adalah, kering, tidak dapat menumbuhkan apapun.
Demikianlah yang dikatakan Ibnu Juraij. Menurut satu pendapat, makna lafadz ini
adalah terhapus. Sebab makna
الهُمُوْد adalah terhapus.
Al-Harawi berkata, “Makna هَامِدَة adalah kering dan berdebu.”
Syamar berkata, “Kalimat, هَمَدَ شَجَرَ الْأَرْضِ artinya adalah
pohon itu usang dan musnah. Sedangkan kalimat هَمَدَتْ أَصْوَاتُهُمْ artinya adalah
suaranya diam.”
Yang dimaksud dengan keringnya bumi
adalah tidak ada kehidupan di sana, tidak adanya tumbuh-tumbuhan, tidak adanya
pepohonan, dan ia tidak tersirami hujan. Dalam sebuah hadits dinyatakan, حَتَّى كَادَ يَهْمُدُ مِنَ الْجُوْعِ “hingga dia hampir binasa karena kelaparan.” Dikatakan, هَمَدَ الْثَّوْبُ artinya adalah baju itu menjadi usang.
فَإِذَآ
أَنزَلۡنَا عَلَيۡهَا ٱلۡمَآءَ ٱهۡتَزَّتۡ “kemudian
apabila telah Kami turunkan air diatasnya, hiduplah bumi itu,” maksudnya
adalah, bergeraklah air di atasnya. Kata الْاِهْتِزَاز adalah kuatnya gerakan. Contohnya adalah, هَزَزْتُ الشَّيْءَ فَاهْتَزَّ (aku menggerakan sesuatu, maka ia pun bergerak). Atau, هَزَّ الْحَادِي الإِبِلَ هَزِيْزًا فَهْتَزَّتْ
هِيَ
(penyanyi itu menggerakkan unta sedemikian rupa sehingga unta itu
bergerak melangkah karena nyanyiannya). Contoh lainnya adalah, اهْتَزَّ
الْكَوْكَبُ فِيْ إِنْقِضَاضِهِ (planet itu bergerak pada porosnya)
dan كَوْكَبٌ هَازٌّ (planet yang bergerak). Dengan demikian, bumi tergerak karena
tumbuhan. Sebab tumnuhan tidak dapat keluar dari bumi, hingga sebagian bumi menghilangkan
sebagian yang lain secara sembunyi-sembunyi. Oleh karena itu, Allah SWT
menyebut peristiwa itu dengan ‘tergerak’, dimana penyebutan ini merupakan
sebuah majaz.
Menurut satu pendapat, maknanya adalah, bergeraklah
tumbuh-tumbuhannya. Jika berdasarkan pada pendapat ini, maka mudhaf dibuang.
Demikianlah pendapat yang dikatakan Al-Mubarrad. Ihtizaz-nya bumi
adalahgerakannya yang sangat kuat. Gerakan pada tumbuhan lebih jelas daripada
gerakan pada bumi.
وَرَبَتْ “dan suburlah,” maksudnya adalah, naik dan bertambah. Menurut satu
pendapat, maksudnya adalah, membengkak. Makna yang telah disebutkan tadi
sebenarnya memiliki pengertian yang sama. Makna asal kata tersebut adalah
tambahan, dari رَبَا
الشَّيْءُ – يَرْبُوْ -
رُبُوُّا artinya adalah sesuatu
bertambah. Dari kata itu kata
الرَّبَا (riba) dan
الرَّبْوَة (bukit) dibentuk.
Yazid bin Qa’qa dan Khalid bin Ilyas membaca dirman Allah tersebut
dengan lafadz وَرَبَأَتْ, artinya dalah,
meninggi hingga berada di tempat yang sangat tinggi, yakni orang yang melindungi
suatu kaum karena sesuatu yang mulia.
وَأَنۢبَتَتۡ “dan menumbuhkan,” maksudnya adalah, mengeluarkan.
مِن
كُلِّ زَوۡجِۢ
maksudnya
adalah, berbagai macam tumbuh-tumbuhan.
بَهِيجٖ maksudnya adalah yang indah. Pendapat ini diriwayatkan dari
Qatadah. Maksudnya, membuat orang yang melihatnya merasa indah. Al-Bahjah
adalah keindahan. Contohnya adalah, رَجُلٌ ذُوْ بَهْجَه (orang yang
memiliki keindahan). Kata ini dibentuk dari kata بَهَجَ –
يَبْهُجُ – بَهَاجَةٌ -
بَهِيْج
sedangkan makna kalimat أَبْهَجْنِي adalah
keindahan membuatku tertarik.
Ketika Allah menyifati tanah dengan ‘menumbuhkan’, maka hal ini
menunjukkan bahwa firman Allah SWT, ٱهۡتَزَّتۡ
وَرَبَتۡ
“Hiduplah bumi itu dan suburlah,” kembali ke bumi, bukan ke
tumbuhan. Wallahu a’lam.
7.
Al-Infithar ayat 6-8
يَٰٓأَيُّهَا ٱلۡإِنسَٰنُ مَا غَرَّكَ بِرَبِّكَ
ٱلۡكَرِيمِ ٦ ٱلَّذِي خَلَقَكَ فَسَوَّىٰكَ فَعَدَلَكَ ٧ فِيٓ أَيِّ صُورَةٖ مَّا شَآءَ رَكَّبَكَ ٨
6. Hai manusia, apakah
yang telah memperdayakan kamu (berbuat durhaka) terhadap Tuhanmu Yang Maha
Pemurah
7. Yang telah
menciptakan kamu lalu menyempurnakan kejadianmu dan menjadikan (susunan
tubuh)mu seimbang
8. dalam bentuk
apa saja yang Dia kehendaki, Dia menyusun tubuhmu
Firman Allah Ta’ala يَٰٓأَيُّهَا ٱلۡإِنسَٰنُ “Hai manusia,” yang Allah SWT maksudkan adalah manusia yang
mengingkari hari kebangkitan, sementara Ibnu Abbas RA berkata, “Maksud dari
manusia disini adalah Al Walid bin Al Mughirah, “Ikrimah berkata, “Ubayy bin
Khalaf.”
Ada yang
mengatakan, ayat ini turun berkenaan dengan Abu Al Asyad bin Kaladah Al Jumahi,
dari Ibnu Abbas RA, ia berkata, “Maksud dari firman Allah Ta’ala, مَا غَرَّكَ بِرَبِّكَ ٱلۡكَرِيمِ ‘Apakah yang telah memperdayakan
kamu (berbuat durhaka)terhadap Tuhanmu Yang Maha Pemurah’ yaitu apa yang memperdayakanmu sehingga engkau menjadi kufur?
بِرَبِّكَ
ٱلۡكَرِيمِ ‘Terhadap Tuhanmu Yang Maha Pemurah, ‘yakni yang menghapus
kesalahanmu, Qatadah berkata, “Syetan yang telah menguasainya telah memperdayakannya.”
Sedangkan Al Hasan
berkata, “Ia diperdayakan oleh syetannya yang keji.”
Ada yang
mengatakan, ia bodoh-bodohi oleh syetannya.
Al Hasan
meriwayatkannya dari Umar RA, dan mayoritas pengikut Hanafi meriwayatkan pula,
ketika Rasulallah SAW membaca ayat يَٰٓأَيُّهَا
ٱلۡإِنسَٰنُ مَا غَرَّكَ بِرَبِّكَ ٱلۡكَرِيمِ “Hai manusia, apakah
yang telah memperdayakan kamu (berbuat durhaka )terhadap tuhanmu yang Maha
Pemurah,” beliau bersabda, ‘kebodohan telah memperdayakannya.
Shalih bin Mismar berkta, ‘Telah sampai kepada kami bahwa
Rasulullah SAW membacanya ayat يَٰٓأَيُّهَا ٱلۡإِنسَٰنُ مَا غَرَّكَ
بِرَبِّكَ ٱلۡكَرِيمِ “Hai manusia, Apakah yang
telah memperdayakan kamu (berbuat durhaka) terhadap tuhanmu yang Maha Pemurah.”
Beliau bersabda, ‘Kebodohannya
telah memperdayakanya’ Umar RA berkata, ayat ini sama dengan firman-Nya
إِنَّهُۥ
كَانَ ظَلُومٗا جَهُولٗا ٧٢ “Sesungguhnya manusia itu Amar
zhalim dan Amat bodoh,” (Qs. Al Ahzaab[33]:72) ada yang mengatakan,
anugerah Allah SWT malah membuatnya terpedaya, karena pada mulanya Allah SWT
belum menghukumnya, Ibrahim bin Al Asy’ats berkata, dikatakan kepada Fudhail
bin Iyadh, ‘Jika Allah SWT menghadapkanmu pada sisi-Nya di hari kiamat, dan Dia
berkata kepadamu مَا غَرَّكَ بِرَبِّكَ ٱلۡكَرِيمِ
‘Apakah yang telah memperdayakan kamu (berbuat durhaka) terhadap
Tuhanmu yang Maha Pemurah, ‘Yang mebuatku terpedaya adalah tirai-Nya, Ibnu
As-Simak menyebutkan dalam syairnya:
Dzu Nun Al Mashri
berkata, “Berapa banyak orang yang terpedaya di balik tabir, sedangkan ia tidak
merasa,”
Abu Bakar bin
Thahir Al Abhuri menyendungkan sebuah syair:
يَا مَنْ غَلَا فِى الْعُجْبِ وَ التِّيْهِ وَغَرَّهُ
طُوْلَ تَمَادِيْهِ
أَمْلَى لَكَ اللَّهُ فَبَارَزْتُهُ وَلَمْ تَخَفْ غِبَّ مَعَاصِيْهِ
“Wahai orang yang berlebihan dalam kebanggan dan
kesombongan dan ia telah terpedaya dengan kesinambunganya (dalam kesombongan
itu)
Allah SWT memberimu nikmat tetapi engkau malah menentangnya, dan engkau tidak takut akibat dari maksiat kepada-Nya.”
Allah SWT memberimu nikmat tetapi engkau malah menentangnya, dan engkau tidak takut akibat dari maksiat kepada-Nya.”
Diriwayatkan dari
Ali RA, suatu ketika memanggil seorang anak berkali- kali tetapi anak tersebut
tidak menjawabnya, kemudian Ali menghampirinya dan anak tersebut sedang berada
di sisi pint, Ali pun bertanya kepadanya, “Mengapa engkau tidak menjawab
panggilanku?” anak anak itu menjawab, “Aku mohon kemurahan hatimu, dan aku
memohon pula keamanan dari hukumanmu.”
Karena ia menjawab
dengan jawaban yang baik. Ali pun melepaskannya.
Sekelompok orang
mengatakan مَا غَرَّكَ maksudnya adalah apa yang membuatmu
tertipu, apa yang membuatmu terpikat, hingga engkau menyia-nyiakan kewajibanmu?
Ibnu Ma’ud RA
berkata “Tiada seorangpun dari kalian pada hari kiamat melainkan Allah akan
memanggil ke hadapan-Nya, kemudian Dia bertanya kepadanya, “Wahai anak Adam apa
yang telah kau perbuat dengan apa yang telah kau ketahui? Wahau anak Adam
bagaimana engkau memenuhi ajakan para
rasul?
Firman Allah Ta’ala ٱلَّذِي خَلَقَكَ “Yang telah menciptakan kamu,” yaitu yang mengatur penciptaanmu dari setetes air mani
فَسَوَّىٰكَ “Lalu menyempurnakan kejadianmu,” dalam perut ibumu, kemudian menjadikan bagimu memiliki dua tangan
, dua kaki, sepasang mata, serta seluruh anggota tubuhmu, فَعَدَلَكَ “Dan menjadikan
(susunan tubuh)mu seimbang”
Firman Allah Ta’ala فَعَدَلَكَ yakni menjadikanmu ciptaan yang lurus, sepadan
dan seimbang, seperti dikatakan هَذَا
شَيْءٌ مُعَدَّلٌ(ini sesuatu yang lurus),
qira’ah ini adalah qira’ah mayoritas ulama, dan qira’ah yang
dipilih oleh Abu Ubaid dan Abu Hatim
Al Farra’ dan
Abu Ubaid mengatakan,dalilnya adalah firman Allah Ta’ala, لَقَدۡ
خَلَقۡنَا ٱلۡإِنسَٰنَ فِيٓ أَحۡسَنِ تَقۡوِيمٖ ٤ “Sesungguhnya
Kami telah menciptakan manusia dalam bentuk yang
sebaik-baiknya.”(Qs.At-Tiin[95]:4)
Penduduk Kufah, Ashim, Hamzah, dan Al Kisa’I membacanya فَعَدَلَكَ dengan takhfif, yang berarti Dia memiringkan
dan merubahmu kepada bentuk yang Dia kehendaki, baik itu bagus ataupunburuk,
panjang atau pun pendek, Musa bin Ali bin Abu Rabah Al Lakhmi meriwayatkan dari
ayahnya dari kakeknya, ia berkata, “Nabi Muhammad SAW mengatakan kepadaku ‘Sesungguhnya
nuthfah (air mani) jika sudah menetap di dalam rahim, Allah SWT
mendatangkan kepadanya setiap keturunan antara dia dan Nabi Adam”. Sedangkan ayat yang telah kau baca, فِيٓ
أَيِّ صُورَةٖ مَّا شَآءَ رَكَّبَكَ “Dalam bentuk apa saja yang Dia kehendaki, Dia menyusun tubuhmu.فِيْمَا بَيْنَكَ وَ بَيْنَ ادَمَ ‘Dalam bentuk antara kamu dan Adam, ‘
Ikrimah dan Abu Shalih mengatakan bahwa maksud
firman Allah SWT Ta’ala فِيٓ
أَيِّ صُورَةٖ مَّا شَآءَ رَكَّبَكَ “Dalam bentuk apa saja yang Dia kehendaki, Dia menyusun tubuhmu.” Jika Allah
menghendaki, Dia menyusun tubuhmu dalam bentuk manusi, bentuk keledai, bentuk
kera, atau pun dalam bentuk babi.
Makhluk berkata,
“Jika Dia menghendaki, Dia menjadikanmu perempuan, dan jika Dia menghendaki, Dia menjadikanmu
laki-laki, “Mujahid mengatakan tentang Firman Allah Ta’ala, فِيٓ أَيِّ صُورَةٖ “Yakni dalam bentuk yang mirip, baik ayah, ibu, paman, bibi, ataupun
yang lainnya.”
Lafadz رَكَّبَكَ terkait dengan lafazh عَدَلَكَ bagi yang membacanya dengan takhfif,
karena Anda mengatakan عُدِّلْتُ
إِلَى كَذَا(aku telah kembali kepda
sesuatu) dan Anda tidak mengucapkan عُدِّلْتُ
فِى كَذَا (aku telah kembali pada
sesuatu), oleh karena itu Al Farra’ melarang membaca lafazh tersebut dengan qira’ah
takhfif, karena ia menetapkan bahwa فِىterkait dengan lafazhعَدَلَكَ
dan مَا boleh mempunyai shillah muakkadah (hubungan yang
menguatkan), yakni dalam bentuk apa saja yang Dia kehendaki, Dia menyusun
tubuhmu, atau boleh juga lafazh مَاmenjadi lafazh syarthiyyah (persyaratan),
yakni jika Dia menghendaki, Dia menyusun
tubuhmu bukan dalam bentuk apa saja yang
Dia kehendaki untuk menyususn tubuhmu,
Dia pasti menyusun tubuhmu.
8.
Az-Zumar ayat 6
خَلَقَكُم مِّن نَّفۡسٖ
وَٰحِدَةٖ ثُمَّ جَعَلَ مِنۡهَا زَوۡجَهَا وَأَنزَلَ لَكُم مِّنَ ٱلۡأَنۡعَٰمِ
ثَمَٰنِيَةَ أَزۡوَٰجٖۚ يَخۡلُقُكُمۡ فِي بُطُونِ أُمَّهَٰتِكُمۡ خَلۡقٗا مِّنۢ
بَعۡدِ خَلۡقٖ فِي ظُلُمَٰتٖ ثَلَٰثٖۚ ذَٰلِكُمُ ٱللَّهُ رَبُّكُمۡ لَهُ ٱلۡمُلۡكُۖ
لَآ إِلَٰهَ إِلَّا هُوَۖ فَأَنَّىٰ تُصۡرَفُونَ ٦
6. Dia menciptakan kamu
dari seorang diri kemudian Dia jadikan daripadanya isterinya dan Dia menurunkan
untuk kamu delapan ekor yang berpasangan dari binatang ternak. Dia menjadikan
kamu dalam perut ibumu kejadian demi kejadian dalam tiga kegelapan. Yang
(berbuat) demikian itu adalah Allah, Tuhan kamu, Tuhan Yang mempunyai kerajaan.
Tidak ada Tuhan selain Dia; maka bagaimana kamu dapat dipalingkan.
Firman Allah SWT, خَلَقَكُم
مِّن نَّفۡسٖ وَٰحِدَةٖ
“Dia menciptakan kamu dari seorang diri” yakni Adam ثُمَّ
جَعَلَ مِنۡهَا زَوۡجَهَا “kemudian Dia jadikan daripadanya isterinya” yakni untuk menghasilkan keturunan, dan ini
telah dijelaskan sebelumnya dalam tafsir surah Al A’raaf. Dan surah lainnya. وَأَنزَلَ
لَكُم مِّنَ ٱلۡأَنۡعَٰمِ ثَمَٰنِيَةَ أَزۡوَٰجٖۚ “dan Dia menurunkan untuk kamu delapan ekor
yang berpasangan dari binatang ternak” Allah SWT mengabarkan tentang
pasnagan-pasangan yang diturunkan. Sebabnya, hewan-hewan tersebut tumbuh dengan
adanya air yang diturunkan. Inilah yang disebut dengan gradualitas. Sama
seperti firman-Nya, قَدْ
أَنْزَلْنَا عَلَيْكُمْ لِبَاسًا . “Sesungguhnya Kami telah menurunkan kepadamu pakaian.”.
Sa’id bin Jubair berkata, “Anzala bermakna
khalaqa menciptakan.” Ada yang mengatakan, “Allah SWT menciptakan
hewan-hewan ini disurga kemudian menurunkannya ke bumi, sebagaimana yang
dikatakan didalam firman-Nya . وَ
أَنْزَلْنَا الْحَدِيْدَ فِيْهِ “Dan Kami ciotakan besi yang padanya terdapat
kekuatan yang hebat.” Ketika Adam A.S diturunkan ke bumi diturunkannya bersamanya pula besi. Ada
yang mengatakan, وَ
أَنْزَلْنَا لَكُمْ مِنَ الْأَنْعَامِ “Dan Dia menurunkan untuk kamu binatang
ternak,” yakni bermakna a’thaakum
(memberikan kepadamu).
Ada yang mengatakan,
“Bermakna menurunkan (perintah) penciptaan, sebab penciptaan hanya terjadi
dengan adanya ketetapan yang turun dari langit. Maka makna: Menciptakan untuk
kamu yang demkian, berdasarkan ketetapan-Nya yang turun.”
ٖۚ يَخۡلُقُكُمۡ فِي بُطُونِ أُمَّهَٰتِكُمۡ خَلۡقٗا مِّنۢ بَعۡدِ
خَلۡقٖ “Dia menjadikan kamu dalam perut ibumu kejadian demi kejadian.” Qatadah dan As-Suddi berkata, “Dari nuthfah
(air mani), lalu ‘alaqah (segumpal darah), kemudian mudhgah (sepotong
daging), kemudian (‘azhmaa) tulang-tulang dan kemudian (lahmaa) daging.” Ibnu
Zaid berkata خَلۡقٗا
مِّنۢ بَعۡدِ خَلۡقٖ “Kejadian demi Kejadian” penciptaan di perut ibu kamu setelah
sebelumnya penciptaan pada tulang punggung Adam A.S.
Ada yang mengatakan, pada tulang punggung ayah, lalu
penciptaan pada perut itu lalu penciptaan setelah masa persalinan. Demikian
yang dinyatakan Al Mawardi.
فِي
ظُلُمَٰتٖ ثَلَٰثٖۚ “Dalam tiga kegelapan,” yakni kegelapan dalam perut, kegelapan dalam
Rahim dan kegelapan dalam ari-ari. Demikian yang disebutkan
Ibnu Abbas RA, Ikrimah, Mujahid Qatadah dan Adh-Dhahak.
Ibnu Jubir berkata, “kegelapan masyimah (kegelapan Rahim dan kegelapan
malam).” Pendapat pertama lebih benar.
Ada yang mengatakan, “Kegelapan
tulang punggung lelaki, kegelapan perut ibu dan kegelapan rahim. Ini pendapat
Abu Ubaidah, yakni tidak ada kegelapan yang mampu menahannya sebagaimana tidak
seorang makhluk pun yang mampu menahannya.
ذَٰلِكُمُ
ٱللَّهُ “Yang
(berbuat) demikian itu adalah Allah” yakni yang menciptakan semua ini. رَبُّكُمۡ
لَهُ ٱلۡمُلۡكُۖ لَآ إِلَٰهَ إِلَّا هُوَۖ “Tuhan kamu, Tuhan yang mempunyai kerajaan.
Tidak ada tuhan selain dia.” فَأَنَّىٰ
تُصۡرَفُونَ
“Maka bagaimana kamu dapat dipalingkan?” yakni bagaimana bisa kamu meninggalkan
penyembahan-Nya dan menyembah yang lain selain Allah SWT Hamzah membacanya,
(‘immahaatikum). Ulama lainnya membacanya dengan dhammah hamzah dan fathah mim
(‘ummahatikum).
9.
Luqman ayat 13
وَإِذۡ
قَالَ لُقۡمَٰنُ لِٱبۡنِهِۦ وَهُوَ يَعِظُهُۥ يَٰبُنَيَّ لَا تُشۡرِكۡ بِٱللَّهِۖ
إِنَّ ٱلشِّرۡكَ لَظُلۡمٌ عَظِيمٞ ١٣
13. Dan (ingatlah) ketika
Luqman berkata kepada anaknya, di waktu ia memberi pelajaran kepadanya:
"Hai anakku, janganlah kamu mempersekutukan Allah, sesungguhnya
mempersekutukan (Allah) adalah benar-benar kezaliman yang besar"
Dalam ayat ini dibahas delapan masalah, yaitu :
Pertama: Firman Allah Subhanu
wata’ala, وَوَصَّيۡنَا
ٱلۡإِنسَٰنَ بِوَٰلِدَيۡهِ Dan Kami
perintahkan kepada manusia (berbuat baik) kepada dua orang ibu-bapaknya.” Dua
ayat diatas merupakan selingan di antara wasiat Luqman. Namun ada yang
mengatakan bahwa sesungguhnya ini termasuk wasiat yang disampaikan oleh Luqman
kepada anaknya yang Allah beritakan. Maksudnya adalah Luqman berkata kepada
anaknya, “janganlah kamu menyekutukan Allah dan janganlah kamu taat kepada
kedua orangtuamu dalam hal berbuat syirik. Sebab, Allah Subhanu wata’ala telah
mewasiatkan taat kepada kedua orang tua selama hal-hal tersebut tidak ada
kaitannya dengan ke Syirikan dan kemaksiatan kepada Allah Subhanu wata’ala.
Ada juga yang berpendapat bahwa
maksudnya adalah ketika Luqman berkata kepada anaknya, Kami berfirman kepada
Luqman lewat hikmah yang Kami berikan kepadanya, “Dan kami perintahkan kepada
manusia (berbuat baik) kepada dua orang ibu bapaknya.” Maksudnya adalah Kami
firmankan kepada Luqman, “bersyukurlah kepada Allah”, dan Kami firmankan
kepadanya juga, “Dan Kami perintahkan kepada manusia.”
Selain itu, ada yang berpendapat
bahwa maksudnya adalah, ketika Luqman berkata kepada anaknya, “janganlah kamu
menyekutukan,” dan kami perintahkan kepada manusia (berbuat baik) kepada kedua
orang ibu bapaknya, maka kami perintahkan manusia dengan ini dan Luqman
memerintahkan anaknya dengan ini.
Semua pendapat ini disebutkan oleh
Qusyairi. Akan tetapi pendapat yang benar adalah kedua ayat ini turun pada
Sa’ad bin Abu Waqqash, sebagaimana yang telah dijelaskan dalam surat
Al-Ankabuut. Inilah pendapat yang dipegang oleh sejumlah ahli Tafsir
Kesimpulannya, taat kepada kedua ibu bapak tidak berlaku dalam hal
melakukan dosa besar dan tidak berlaku dalam hal meninggalkan kewajiban yang
bersifat individual. Tetapi wajib taat pada hal-hal yang mubah (dibolehkan) dan
lebih baik tetap taat dalam hal meninggalkan ketaatan yang bersifat sunnah.
Misalnya, jihad kifayah dan memperkenankan panggilan ibu dalam shalat yang
masih bisa diulang, karena khawatir ada sesuatu yang mungkin dapat mencelakai
ibu dan hal-hal lain yang membolehkan shalat dihentikan.
Namun Hasan tidak sependapat dengan pernyataan tersebut. Dia berkata,
“jika ibunya melarangnya untuk hadir shalat Isya berjamaah karena kasihan, maka
perintah itu tidak boleh ditaati.
Kedua: ketika Allah memberikan
keistimewaan kepada Ibu dengan suatu derajat, dia menyebutkan kehamilan dan
dengan derajat lain, menyebutkan perihal menyusui. Dengan demikian, ibu
mendapatkan tiga derajat sedangkan ayah mendapatkan satu derajat. Rasulullah Shallallahu
‘alaihi wasallam sendiri pernah mengisyaratkan, ketika seorng sahabat
bertanya kepada beliau, “Siapa yang paling pantas aku aku berbakti kepadanya?”
belaiu menjawab, “Ibumu.” Laki-laki itu bertanya, “kemudian siapa?” beliau
menjawab, “Ibumu.” Laki-laki itu bertanya lagi, “kemudian siapa?” beliau
menjawab, “Ibumu.” Laki-laki itu terus bertanya, “kemudian siapa?” beliau menjawab,
“Ayahmu”.
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam hanya menjadikan
untuk ayah seperempat dari kebaktian seorang anak sebagaimana yang terkandung
dalam ayat ini. Semua keterangan ini telah dipaparkan dalam surah Al-Israa’.
Ketiga: Firman Allah Subhanu
wata’ala, وَهۡنًا
عَلَىٰ وَهۡنٖ “dalam keadaan
lemah yang bertambah-tambah,” maksudnya adalah, ibu mengandungnya di dalam
perut, sementara dia sendiri hari demi hari kan melemah. Ada yang berpendapat
bahwa maksudnya adalah kondisi (fifik) perempuan itu lemah, kemudian dibuat
lemah lagi oleh kehamilan.
Isa Ats-Tsaqafi membaca وَهَنًا
عَلَىٰ وَهَنٖ -yakni dengan
kedua huruf ha’ berharakat fathah-. Qiraah ini juga diriwayatkan oleh Abu Amr.
Keduanya bermakna sama. Kata tersebut diambil dari وَهُنَ
–
يَوْهَنُ , وَهَنَ –
يَهِنُ dan وَهِنَ
–
يَهِنُ . Kata وَهَنًا berada pada posisi nashab karena berfungsi
sebagai mashdar. Demikian pendapat yang dikatakan oleh Al-Qusyairi. Namun
menurut An-Nuhas, kata tersebut berfungsi sebagai maf’ul kedua dengan
menghilangkan huruf jar. Maksudnya, ibunya mengandungnya dalam kondiisi lemah
di atas lemah.
Jumhur
ulama membaca وَفِصَالُهُ , sedangkan Hasan dan Ya’qub membacanya dengan lafadz
وَفَصْلُهُ . kedua qiraah
tersebut ada dalam bahasa arab. Maknanya, dan penyapihannya pada waktu habis
masa dua tahun. Maksud al-fishal adalah sapih. Artinya, dia mengungkapkan
dengan tujuan dan akhirnya. Contohnya adalah,
الفَصْلُ
عَنْ كَذَا (dia terpisah
atau berbeda dari ini). Dengan demikian, anak yang telah disapih disebut
Al-Fishal.
Keempat: para ulama
sepakat tentang dua tahun masa menyusui bahwa ini terkait dengan hukum dan
nafkah. Sedangkan terkait pengharaman karena ASI, maka sesuatu kelompok
membatasi satu tahun, tidak lebih dan tidak kurang.
Kelompok lain berkata, “Dua tahun dan bulan serta
hari yang bersambung dengan dua tahun tersebut, apabila anak terus menyusui.”
Kelompok lain lagi berkata, “jika seorang anak disapih sebelum dua
tahun dan meninggalkan ASI, maka jika dia meminim ASI kembali masih dalam masa
dua tahun maka tidak menjadikannya haram.” Tentang hal ini telah dijelaskan
sebelumnya dalam surah Al-Baqarah.
Kelima : Firman Allah Subhanu
wata’ala, أَنِ
ٱشۡكُرۡ لِي “bersyukurlah kepada-Ku.”
أَنِ di sini berada pada posisi nashab,
menurut pendapat Az-Zujaj. Maknanya adalah Kami perintahkan kepada manusia
(berbuat baik) kepada kedua orang ibu bapaknya, bersyukurlah kepada-Ku. Menurut
An-Nuhas, yang lebih baik dari itu bahwa أَنِ adalah An
Mufassirah. Maknanya adalah Kami katakan kepadanya bahwa bersyukurlah kepada-Ku
dan kepada kedua orangtuamu.
Ada yang mengatakan bahwa syukur kepada Allah Subhanu wata’ala
atas nikmat iman dan kepada kedua orangtua atas nikmat pendidikan. Sufyan bin
Uyainah berkata, “barangsiapa yang shalat lima waktu, maka sungguh dia telah
bersyukur kepada Allah dan barangsiapa yang mendoakan kedua orangtuanya di
setiap selesai shalat, maka sungguh dia telah bersyukur (berterima kasih)
kepada keduanya.”
Keenam: Allah Subhanu
wata’ala berfirman :
وَإِن جَٰهَدَاكَ عَلَىٰٓ
أَن تُشۡرِكَ بِي مَا لَيۡسَ لَكَ بِهِۦ عِلۡمٞ فَلَا تُطِعۡهُمَاۖ وَصَاحِبۡهُمَا
فِي ٱلدُّنۡيَا مَعۡرُوفٗاۖ وَٱتَّبِعۡ سَبِيلَ مَنۡ أَنَابَ إِلَيَّۚ ثُمَّ
إِلَيَّ مَرۡجِعُكُمۡ فَأُنَبِّئُكُم بِمَا كُنتُمۡ تَعۡمَلُونَ ١٥
Artinya : Dan
jika keduanya memaksamu untuk mempersekutukan dengan Aku sesuatu yang tidak ada
pengetahuanmu tentang itu, maka janganlah kamu mengikuti keduanya, dan
pergaulilah keduanya di dunia dengan baik, dan ikutilah jalan orang yang
kembali kepada-Ku, kemudian hanya kepada-Kulah kembalimu, maka Kuberitakan
kepadamu apa yang telah kamu kerjakan. (QS. Luqman ayat 15).
Kami telah menjelaskan bahwa ayat ini dan ayat sebelumnya turun
pada Sa’ad bin Abu Waqqash. Tepatnya ketika dia telah memeluk agama Islam dan
Ibunya yang bernama Hammah binti Abu Sufyan bin Umayah bersumpah tidak akan
makan, sebagaimana yang telah disampaikan dalam penjelasan ayat sebelumnya.
Ketujuh: Firman Allah Subhanu
wata’ala, وَصَاحِبۡهُمَا
فِي ٱلدُّنۡيَا مَعۡرُوفٗاۖ ”dan pergaulilah keduanya di dunia dengan baik.” Lafadz مَعۡرُوفٗا adalah na’at
kepada mashdar yang tidak disebutkan, yaitu pergaulan yang baik. Arti مَعۡرُوفٗا sendiri adalah
sesuatu yang bagus.
Ayat ini merupakan dalil menyambung hubungan dengan kedua orangtua
yang kafir dengan memberikan harta, jika keduanya fakir, mengucapkan kata-kata
yang santun dan mengajak keduanya kepada islam dengan lembut.
Asma’ binti Abu Bakar Ash-Shiddiq pernah berkata kepada Rasulullah Shallallahu
‘alaihi wasallam, ketika bibinya dari pihak –ada yang mengatakan, ibu
susuannya- datang menemuinya, “wahai Rasulullah, sesungguhnya ibuku telah
datang menemuiku, padahal dia sendiri tidak suka. Apakah aku harus menyambung
silaturahim dengannya?” beliau menjawab, “Iya.”
Ada yang berpendapat bahwa maksud tidak suka di sini adalah tidak
suka terhadap Islam. Ibnu Athiyyah berkata, Menurutku, dia tidak suka membangun
hubungan dengannya dan tidaklah mungkin dia menemui Asma’ seandainya tidak ada
keperluan.
Ibu kandung Asma’ adalah Qutailah binti Abdul Uzza bin Abdu Asad.
Sedangkan ibu kandung Aisyah dan Abdurrahman adalah Ummu Rumman, salah seorang
perempuan yang terdahulu memeluk Islam.
Kedelapan : Firman Allah Subhanu wata’ala, وَٱتَّبِعۡ
سَبِيلَ مَنۡ أَنَابَ إِلَيَّۚ ”Dan ikutilah jalan orang-orang yang bertaubat kepada-Ku.” Adalah
wasiat kepada seluruh alam. Seakan-akan yang diperintahkan adalah manusia. أَنَابَ artinya condong
dan kembali kepada sesuatu. Inilah jalan para nabi dan orang-orang shalih.
An-Naqqasy menceritakan bahwa yang diperintahkan adalah Sa’ad dan
orang-orang yang kembali adalah Abu Bakar. Daia nerkata, “Sesungguhnya setelah
Abu Bakar berislam, Sa’ad, Abdurrahman bin Auf, Utsman, Thalhah, Sa’id, dan
Zubair datang menemuinya. Mereka berkata, ‘kamu telah beriman!’ Abu Bakar
menjawab, ‘iya’. Maka turunlah padanya ayat,
أَمَّنۡ هُوَ قَٰنِتٌ
ءَانَآءَ ٱلَّيۡلِ سَاجِدٗا وَقَآئِمٗا يَحۡذَرُ ٱلۡأٓخِرَةَ وَيَرۡجُواْ
رَحۡمَةَ رَبِّهِۦۗ قُلۡ هَلۡ يَسۡتَوِي ٱلَّذِينَ يَعۡلَمُونَ وَٱلَّذِينَ لَا
يَعۡلَمُونَۗ إِنَّمَا يَتَذَكَّرُ أُوْلُواْ ٱلۡأَلۡبَٰبِ ٩
Artinya : (Apakah kamu hai orang musyrik yang lebih
beruntung) ataukah orang yang beribadat di waktu-waktu malam dengan sujud dan
berdiri, sedang ia takut kepada (azab) akhirat dan mengharapkan rahmat
Tuhannya? Katakanlah: "Adakah sama orang-orang yang mengetahui dengan
orang-orang yang tidak mengetahui?" Sesungguhnya orang yang berakallah
yang dapat menerima pelajaran. (QS. Az-Zumar ayat 9).
Ketika mendengar ayat ini, keenam
orang tersebut pun memeluk Islam. Maka Allah Subhanu wata’ala menurunkan
firman-Nya kepada mereka,
وَٱلَّذِينَ ٱجۡتَنَبُواْ ٱلطَّٰغُوتَ
أَن يَعۡبُدُوهَا وَأَنَابُوٓاْ إِلَى ٱللَّهِ لَهُمُ ٱلۡبُشۡرَىٰۚ فَبَشِّرۡ
عِبَادِ ١٧ ٱلَّذِينَ يَسۡتَمِعُونَ ٱلۡقَوۡلَ فَيَتَّبِعُونَ أَحۡسَنَهُۥٓۚ
أُوْلَٰٓئِكَ ٱلَّذِينَ هَدَىٰهُمُ ٱللَّهُۖ وَأُوْلَٰٓئِكَ هُمۡ أُوْلُواْ ٱلۡأَلۡبَٰبِ
١٨
Artinya : Dan orang-orang yang menjauhi thaghut (yaitu)
tidak menyembahnya dan kembali kepada Allah, bagi mereka berita gembira; sebab
itu sampaikanlah berita itu kepada hamba-hamba-Ku. Yang mendengarkan perkataan
lalu mengikuti apa yang paling baik di antaranya. Mereka itulah orang-orang
yang telah diberi Allah petunjuk dan mereka itulah orang-orang yang mempunyai
akal. (QS. Az-Zumar ayat 17-18)
Ada yang berpendapat bahwa maksud
orang yang kembali itu adalah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam. Ibnu
Abbas Radiyallahu anhu berkata, “Ketika Sa’ad masuk Islam, maka kedua
saudaranya, Amir dan Uwaimar pun ikut masuk Islam. Tidak ada seorangpun dari
mereka yang musyrik kecuali Utbah.”
Kemudian Allah Subhanu wata’ala mengancam
dengan bangkitnya orang-orang yang ada di dalam kubur dan kembali kepada-Nya
untuk pembalasan dan penghitung amal, baik kecil maupun besar.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar