Rabu, 04 April 2018

Islam dan Teknologi Dalam Al Qur'an Beserta Tafsir


1.      Al Hadid ayat 25
لَقَدۡ أَرۡسَلۡنَا رُسُلَنَا بِٱلۡبَيِّنَٰتِ وَأَنزَلۡنَا مَعَهُمُ ٱلۡكِتَٰبَ وَٱلۡمِيزَانَ لِيَقُومَ ٱلنَّاسُ بِٱلۡقِسۡطِۖ وَأَنزَلۡنَا ٱلۡحَدِيدَ فِيهِ بَأۡسٞ شَدِيدٞ وَمَنَٰفِعُ لِلنَّاسِ وَلِيَعۡلَمَ ٱللَّهُ مَن يَنصُرُهُۥ وَرُسُلَهُۥ بِٱلۡغَيۡبِۚ إِنَّ ٱللَّهَ قَوِيٌّ عَزِيزٞ ٢٥
25. Sesungguhnya Kami telah mengutus rasul-rasul Kami dengan membawa bukti-bukti yang nyata dan telah Kami turunkan bersama mereka Al Kitab dan neraca (keadilan) supaya manusia dapat melaksanakan keadilan. Dan Kami ciptakan besi yang padanya terdapat kekuatan yang hebat dan berbagai manfaat bagi manusia, (supaya mereka mempergunakan besi itu) dan supaya Allah mengetahui siapa yang menolong (agama)Nya dan rasul-rasul-Nya padahal Allah tidak dilihatnya. Sesungguhnya Allah Maha Kuat lagi Maha Perkasa.
            Firman Allah SWT, لَقَدۡ أَرۡسَلۡنَا رُسُلَنَا بِٱلۡبَيِّنَٰتِ “Sesungguhnya Kami telah mengutus Rasul-rasul Kamidengan membawa bukti-bukti yang nyata,” yakni dengan mukjizat yang nyata dan syariat-syariat yang jelas. Pendapat lain mengatakan, yakni ikhlas beribadah karena Allah SWT, mendirikan shalat, menunaikan zakat, dengan mukjizat dan bukti-bukti tersebut maka para rasul berdakwah, dari Nabi Nuh A.S sampai Nabi Muhammad SAW.
            وَأَنزَلۡنَا مَعَهُمُ ٱلۡكِتَٰبَ “Dan telah Kami turunkan bersama mereka Al-Kitab,” yakni kitab-kitab, dengan kata lain, kami telah mewahyukan kepada mereka suatu informasi sebelum mereka.
            وَٱلۡمِيزَانَ “Dan neraca (keadilan), “Ibnu Zaid berkata, “Yakni apa-apa yang diitmbang dan bermuamalah dengannya.
            لِيَقُومَ ٱلنَّاسُ بِٱلۡقِسۡطِۖ Supaya mansia dapat melaksanakan keadilan,” Agar melakuakan keadilan dalam muamalah mereka.
            Firman-Nya بِٱلۡقِسۡطِۖ menunjukkan bahwa yang dimaksud adalah neraca yang biasa digunakan, maka maknanya adalah, kami telah menurunankan kitab dan meletakkan neraca, seperti dalam syair:
عَلَفْتُهَا تِبْتًا وَ مَاءً بَارِدًا
Aku memberi makan binatang dengan sepotong-sepotong dan memberinya yang dingin.
            Firman Allah SWT yang juga mencantum kata وَٱلۡمِيزَانَ adalah وَٱلسَّمَآءَ رَفَعَهَا وَوَضَعَ ٱلۡمِيزَانَ ٧ Dan Allah telah meninggikan langit dan Dia meletakkan neraca (keadilan) (Q.S Ar-Rahman [55]: 7)
            Juga firman-Nya, وَأَقِيمُواْ ٱلۡوَزۡنَ بِٱلۡقِسۡطِ وَلَا تُخۡسِرُواْ ٱلۡمِيزَانَ ٩ Dan tegakkanlah timbangan itu dengan adil dan janganlah kamu mengurangi neraca itu. (Q.S Ar-Rahman [55]: 9).
            Dan kami telah jelaskan tentang ayat وَأَنزَلۡنَا ٱلۡحَدِيدَ فِيهِ بَأۡسٞ شَدِيدٞ “Dan kami ciptakan besi yang padanya terdapat kekuatan yang hebat.”.
            Umar R.A meriwayatkan bahwasanya Rasulullah SAW bersabda,
إِنَّ اللَّهَ أَنْزَلَ أَرْبَعَ بَرَكَاتٍ مِنَ السَّمَاءِ إِلَى الْأَرْضِ : الْحَدِيْدَ وَ النَّارَ وَ المَاءَ وَ المِلْحَ
“Sesungguhnya Allah SWT menurunkan ke bumi empat keberkahan dari langit yaitu: besi, api, air, dan garam.”.
            Ikrimah meriwayatkan dari Ibnu Abbas, ia berkata, “Tiga benda diturunkan bersamaan dengan turunnya Nabi Adam A.S: Batu hitam yang berwarna lebih putih daripada salju, tongkat Nabi Musa A.S yang berasal dari semak-semak surga, panjangnya sepuluh dzira’ sama seperti tingginya Musa A.S dan besi, dan bersama besi ini turun pula tiga benda: paron (landasan tukang besi), kalbah (kayu yang ujungnya terbuat dari besi), dan martil, sebagaimana yang disebutkan oleh Al-Mawardi.
            Ats-Tsa’labu menuturkan, Ibnu Abbas berkata, Adam A.S turun dari surga, dan bersamanya lima macam besi: paron (landasan tukang besi), kalbah (kayu yang ujungnya terbuat dari besi), martil, Al-Miqa’ah (pengasah besi) dan jarum.
            Al-Qusyairi menhikayatkan, “Al Miqa’ah adalah alat pengasah besi.” Dalam Ashh-Shihhah dikatakan, Al-Miqa’ah adlaah sebuah wadah yang diapakai tukang pandai besi untuk mengasah besinya, dan juga kayu untuk yang pendek untuk mengetuknya, dan juga martil dan batu gerinda yang panjang. Ada yang meriwayatkan bahwa surah Al-Hadid turun pada hari Selasa.
            Firman-Nya فِيهِ بَأۡسٞ شَدِيدٞ “Yang padanya terdapat kekuatan yang hebat,” untuk menumpahkan darah (baca: membunuh), oleh karenanya Rasulullah melarang berbekam dan fashd (mengeluarkan darah) pada hari selasa, karena pada hari itu darah sedang mengalir dengan deras, diriwayatkan dari Rasulullah SAW, beliau bersabda, “Pada hari selasa terdapat satu saat dimana darah selalu mengalir.” Ada yang mengatakan bahwa maksud dari ۖ وَأَنزَلۡنَا ٱلۡحَدِيدَ adalah kami telah menciptakannya sebagaimana firman-Nya وَأَنزَلَ لَكُم مِّنَ ٱلۡأَنۡعَٰمِ ثَمَٰنِيَةَ أَزۡوَٰجٖۚ  Dia menurunkan untuk kamu delapan ekor yang berpasangan dari binatang ternak. (Q.S Az-Zumar [39]: 6).
            Ini adalah pendapat Al Hasan, ada pula yang berpendapat bahwa tidak semua yang terdapat didalam bumi adalah diturunkan dari langit. Ahli makna berkata, “Allah SWT mengeluarkan besi dair bahan tambang, kemudian Dia mengajarkan manusia bagaimana membuat besi dengan wahyu-Nya.”
            فِيهِ بَأۡسٞ شَدِيدٞ “Yang padanya terdapat kekuatan yang hebat,” yaitu senjata, kuda perang, dan perisai. Adapula yang mengatakan, takut akan dibunuh sejadi-jadinya.
            وَمَنَٰفِعُ لِلنَّاسِ “dan bermanfaat bagi manusia,” Al Mujahid berkata, yakni sebagai perisai. Ada yang mengatakan pula, sebagai manfaat bagi manusia karena mereka menggunakan besi dan menjadikannya sebagai alat bantu, seperti pisau, kapak, jarum dsb.
            وَلِيَعۡلَمَ ٱللَّهُ مَن يَنصُرُهُۥ “Dan supaya Allah mengetahui siapa yang menolong (agama)Nya,” yaitu Allah SWT menciptakan besi agar Dia mengetahui siapa-siapa yang menolong agama-Nya. Pendapat lain  mengatakan, ayat ini diathaf-kan dengan ayat لِيَقُومَ ٱلنَّاسُ بِٱلۡقِسۡطِۖ “Supaya manusia dapat melaksanakan keadilan.” Kmai mengutus rasul-rasul kami dan menurunkan kepada mereka kitab, dan juga segala sesuatunya (termasuk besi) agar mereka dapat melakukan muamalah yang hak dengan manusia وَلِيَعۡلَمَ ٱللَّهُ مَن يَنصُرُهُۥ “Dan supaya Allah mengetahui siapa yang menolong (agama)Nya,” agar Allah SWT melihat siapa saja yang menolong agama-Nya, dan juga menolong وَرُسُلَهُۥ بِٱلۡغَيۡبِۚ “Rasul-rasul-Nya padahal Allah tidak dilihatnya. “Ibnu Abbas berkata, “mereka (umatnya) menololng para rasul, dan tidak mendustakan mereka, serta beriman kepada mereka.
            Firman-Nya بِٱلۡغَيۡبِۚ yakni mereka tidak melihat secara langsung rasul-rasul mereka.
            إِنَّ ٱللَّهَ قَوِيٌّ عَزِيزٞ “Sesungguhnya Allah Maha kuat lagi Maha Perkasa.” قَوِيٌّ “Maha kuat,” dalam mengambilnya kembali. عَزِيزٞ“Lagi Maha Perkasa.” Hanya Dia yang dapat mencegah dan melarang, telah kami jelaskan sebelumnya. Ada yang mengatakan maksud dari بِٱلۡغَيۡبِۚ adalah dengan ikhlas.
2.      Al- Ra’d ayat 17
أَنزَلَ مِنَ ٱلسَّمَآءِ مَآءٗ فَسَالَتۡ أَوۡدِيَةُۢ بِقَدَرِهَا فَٱحۡتَمَلَ ٱلسَّيۡلُ زَبَدٗا رَّابِيٗاۖ وَمِمَّا يُوقِدُونَ عَلَيۡهِ فِي ٱلنَّارِ ٱبۡتِغَآءَ حِلۡيَةٍ أَوۡ مَتَٰعٖ زَبَدٞ مِّثۡلُهُۥۚ كَذَٰلِكَ يَضۡرِبُ ٱللَّهُ ٱلۡحَقَّ وَٱلۡبَٰطِلَۚ فَأَمَّا ٱلزَّبَدُ فَيَذۡهَبُ جُفَآءٗۖ وَأَمَّا مَا يَنفَعُ ٱلنَّاسَ فَيَمۡكُثُ فِي ٱلۡأَرۡضِۚ كَذَٰلِكَ يَضۡرِبُ ٱللَّهُ ٱلۡأَمۡثَالَ ١٧
17. Allah telah menurunkan air (hujan) dari langit, maka mengalirlah air di lembah-lembah menurut ukurannya, maka arus itu membawa buih yang mengambang. Dan dari apa (logam) yang mereka lebur dalam api untuk membuat perhiasan atau alat-alat, ada (pula) buihnya seperti buih arus itu. Demikianlah Allah membuat perumpamaan (bagi) yang benar dan yang bathil. Adapun buih itu, akan hilang sebagai sesuatu yang tak ada harganya; adapun yang memberi manfaat kepada manusia, maka ia tetap di bumi. Demikianlah Allah membuat perumpamaan-perumpamaan.
            Allah SWT berfirman أَنزَلَ مِنَ ٱلسَّمَآءِ مَآءٗ فَسَالَتۡ أَوۡدِيَةُۢ بِقَدَرِهَا فَٱحۡتَمَلَ ٱلسَّيۡلُ زَبَدٗا رَّابِيٗاۖ “Allah telah menurunkan air (hujan) dari langit maka mengalirlah air di lembah-lembah menurut ukurannya maka arus itu membawa buih yang mengambang.” Allah SWT memberi permisalan antara yang hak dan yang batil, orang-orang kafir dimisalkan dengan buih yang naik ke permukaan air. Buih akan segera lenyap dengan cara menepi pada tepian lembah lalu angin menghembuskannya. Demikian pula halnya orang-orang kafir, mereka akan segera lenyap sebagaimana yang akan kita terangkan nanti.
            Mujahid berkata, فَسَالَتۡ أَوۡدِيَةُۢ بِقَدَرِهَا “Maka mengalirlah air di lembah-lembah menurut ukurannya”, maksudnya adalah, ukuran sepenuh lembah.
            `Ibnu Juraij berkata, “Bergantung kepada ukuran besar dan kecilnya lembah.
            Al Asyhab Al Uqaili dan Al Hasan membaca lafazh بِقَدَرِهَا dengan بِقَدْرِهَا yakni dengan huruf dal berharakat sukun, dan maknanya sama. Ada yang mengatakan, maknanya sesuai dengan ukuran yang ditetapkan bagi mereka. Kata أَوۡدِيَةُۢ adalah bentuk plural dari lafazh الوَادِي . Disebut الوَادِي karena sifat air itu keluar dan mengalir. Dengan demikian, الوَادِي berdasarkan sebutan ini adalah air yang mengalir.
            Abu Ali berkata, فَسَالَتۡ أَوۡدِيَةُۢ" maksudnya adalah, airnya mengalir melebar.”
            Abu Ali juga berkata, “Makna بِقَدَرِهَا adalah seukuran banyaknya air di lembah, sebab lembah tidak akan mengalirkan airnya sesuai dengan ukurannya.
            فَٱحۡتَمَلَ ٱلسَّيۡلُ زَبَدٗا رَّابِيٗاۖ “Maka arus itu membawa buih yang mengambang,” maksudnya adalah muncul dan naik diatas air. Demikian pendapat yang dinyatakan oleh Mujahid. Kemudian Allah SWT berfirman , وَمِمَّا يُوقِدُونَ عَلَيۡهِ فِي ٱلنَّارِ “Dan dari apa (logam) yang mereka lebur dalam api” Ini adalah misal kedua.
            ٱبۡتِغَآءَ حِلۡيَةٍ ۚ “Untuk membuat perhiasan” maksudnya adalah perhiasan emas dan perak.
            أَوۡ مَتَٰعٖ زَبَدٞ مِّثۡلُهُۥ  “Atau alat-alat, ada (pula) buihnya seperti buih arus itu.
            Mujahid berkata, “Besi, tembaga dan timah.”.
            زَبَدٞ مِّثۡلُهُۥ maksudnya adalah, semua benda tersebut dinaikkan kepermukaan oleh buih, sebagaimana buih dinaikkan kepermukaan oleh aliran air. Adapun bagaimana air membawa buih, karena air bercampur dengan tanah, dan dari percampuran tadi terbentuklah buih. Demikian juga halnya apa-apa yang dibakar di apa, seperti permata, emas, perak, dan barang tambang lainnya yang keluar dari bumu semuanya bercampur dengan tanah. Ketika barang-barang tambang tadi dibakar untuk dibersihkan, karena pembakaran tersebut jatuhlah tanah yang menempel tersebut.
            كَذَٰلِكَ يَضۡرِبُ ٱللَّهُ ٱلۡحَقَّ وَٱلۡبَٰطِلَۚ فَأَمَّا ٱلزَّبَدُ فَيَذۡهَبُ جُفَآءٗۖ Demikianlah Allah membuat perumpamaan (bagi) yang benar dan yang bathil. Adapun buih itu, akan hilang sebagai sesuatu yang tak ada harganya.
            Mujahid berkata, “Maksudnya adalah membeku.”
            Abu Ubaidah berkata, Abu Amr bin al-A’la berkata, “Kalimat أَجْفَأتْ القِدَرَ artinya tungku itu mendidih hingga menumpahkan guihnya. Ketika dingin, buihnya turun kembali ke bawah. Kata جُفَآءٗۖ adalah apa-apa yang dibuang oleh lembah.
            وَأَمَّا مَا يَنفَعُ ٱلنَّاسَ فَيَمۡكُثُ فِي ٱلۡأَرۡضِۚ Adapun yang memberi manfaat kepada manusia, maka ia tetap di bumi. Mujahid berkata, “Dia itu adalah air yang murni dan bersih”.
            Ada yang mengatakan, bagian yang murni dari perak, emas, besi, tembaga dan timah. Kedua misal ini Allah SWT berikan untuk menggambarkan kebenaran yang selalu ada dan kebatilan yang akan segera sirna. Buih, walaupun sering berada diatas, dia akan segera sirna seperti buih dan kotoran.
            Ada juga yang mengatakan, Allah SWT memberikan permisalan bagi Al-Qur’an dan bagian yang masuk ke dalam hati. Allah SWT memisalkan Al-Qur’an dengan hujan, sebab berita yang dibawa ayat dimaksud bersifat umum, dan manfaat yang dibawanya bersifat abadi. Maka, hati dimisalkan dengan lembah yang meneriman masuknya Al-Qur’an, sebagaimana air yang masuk kedalam lembah seukuran dalam dan besarnya lembah.
            Ibnu Abbas RA berkata, “Firman-Nya, أَنزَلَ مِنَ ٱلسَّمَآءِ مَآءٗ “Allah telah menurunkan air (hujan) dari langit, yakni dengan air hujan adalah Al-Qur’an.
            فَسَالَتۡ أَوۡدِيَةُۢ بِقَدَرِهَا “Maka mengalirlah air di lembah-lembah menurut ukurannya”, yang dimaksud dengan lembah adalah hati-hati para hamba Allah SWT.
            Penulis kitab Suq Al Arus berkata, “Jika benar riwayat ini berasal dari Ibnu Abbas RA, maka artinya adalah Allah SWT memisahkan Al-Qur’an dengan air dan hati-hati manusia dengan lembah. Perkara yang tetap hukumannya dimisalkan dnegan air yang bersih dan perkara yang mutasyabih (hukumnya meragukan) dimisalkan dengan buih.”.
            Ada yang mengatakan, buih adalah hayalan dan gejolak keraguan yang naik ke permukaan akibat dorongan isi yang ada di dalam jiwa, sebagaimana halnya air bersih yang mengalir yang mengangkat naik benda-benda selain air yang terdapat di lembah. Sedangkan perhiasan emas dan perak itu seperti kondisi agung dan akhlak yang bersih, yang menjadi hiasan seseorang dan tegaknya amal kebajikan, sebagaimana halnya emas dan perak adalah hiasan para wanita dan sebuah benda menjadi berharga dengannya.
            Humaid, Ibnu Muhaishin, Yahya, Al-A’masy, Hamzah, Al-Kisa’I dan Hafsh membacanya يُوقِدُونَ yakni dengan huruf ya di awal, dan merupakan pilihan Abu Ubaidah karena firman sebelumnya, يَنْفَعُ النَّاسَ disebutkan dalam bentuk berita (khabar) dan bukan berbentuk dialog, Ulama lainnya membacanya dengan huruf ta, berdasarkan firman-Nya pada awal kalimat (ayat sebelumnya), أَفَاتَّخَذْتُمْ مِنْ دُوْنِهِ أوْلِيَآءَ dan firman-Nya فِى النَّارِ “Didalam api”, berhubungan dengan lafazh yang tidak disebutkan . Lafazh فِى النَّارِ berfungsi sebagai hal (keadaan penjelas) dan dzu al haal (pemilik keadaan) adalah kanti ganti ha’ yang terdapat pada lafazh عَلَيْهِ . Perkiraan maknanya adalah, dan dari apa (logam) yang kamu sekalian lebur tetap atau berada didalam api.
            Sedangkan lafazh فِى النَّارِ terdapat kata ganti rafa’ yang kembali kepada kata ganti ha’ yang merupakan isim dzu al hal. Tidak benar jika menghubungkan lafazh فِى النَّارِ dengan يُوقِدُونَ sebagaimana halnya tidak mengucapkan, أَوقِدُونَ عَلَيۡهِ فِي ٱلنَّارِ  (kamu meleburnya didalam api sebab peleburan memang didalam api. Artinya, lafazh فِي ٱلنَّارِ tidak dibutuhkan.
            ٱبۡتِغَآءَ حِلۡيَةٍ “Untuk membuat perhiasan”, adalah maf’ul bih (obyek) زَبَدٞ مِّثۡلُهُۥ “buihnya seperti buih arus itu.” Adalah kalimat dari mubtada (subyek) dan khabar (predikat), مِّثۡلُهُ adalah sifat bagi زَبَدٞ dan khabarnya adalah kalimat sebelumnya yakni وَمِمَّا يُوقِدُونَ.
          كَذَٰلِكَ يَضۡرِبُ ٱللَّهُ ٱلۡأَمۡثَالَ “Demikianlah Allah membuat perumpamaan-perumpamaan,” misalnya adalah, sebagaimana Allah SWT menjelaskan kepada kamu sekalian dengan permisalan ini, demikian pula Dia menjelaskan makna permisalan tersebut.
3.      Yunus ayat 22
هُوَ ٱلَّذِي يُسَيِّرُكُمۡ فِي ٱلۡبَرِّ وَٱلۡبَحۡرِۖ حَتَّىٰٓ إِذَا كُنتُمۡ فِي ٱلۡفُلۡكِ وَجَرَيۡنَ بِهِم بِرِيحٖ طَيِّبَةٖ وَفَرِحُواْ بِهَا جَآءَتۡهَا رِيحٌ عَاصِفٞ وَجَآءَهُمُ ٱلۡمَوۡجُ مِن كُلِّ مَكَانٖ وَظَنُّوٓاْ أَنَّهُمۡ أُحِيطَ بِهِمۡ دَعَوُاْ ٱللَّهَ مُخۡلِصِينَ لَهُ ٱلدِّينَ لَئِنۡ أَنجَيۡتَنَا مِنۡ هَٰذِهِۦ لَنَكُونَنَّ مِنَ ٱلشَّٰكِرِينَ ٢٢
22. Dialah Tuhan yang menjadikan kamu dapat berjalan di daratan, (berlayar) di lautan. Sehingga apabila kamu berada di dalam bahtera, dan meluncurlah bahtera itu membawa orang-orang yang ada di dalamnya dengan tiupan angin yang baik, dan mereka bergembira karenanya, datanglah angin badai, dan (apabila) gelombang dari segenap penjuru menimpanya, dan mereka yakin bahwa mereka telah terkepung (bahaya), maka mereka berdoa kepada Allah dengan mengikhlaskan ketaatan kepada-Nya semata-mata. (Mereka berkata): "Sesungguhnya jika Engkau menyelamatkan kami dari bahaya ini, pastilah kami akan termasuk orang-orang yang bersyukur".
            Firman Allah SWT, هُوَ ٱلَّذِي يُسَيِّرُكُمۡ فِي ٱلۡبَرِّ وَٱلۡبَحۡرِۖ حَتَّىٰٓ إِذَا كُنتُمۡ فِي ٱلۡفُلۡكِ وَجَرَيۡنَ بِهِم Dialah Tuhan yang menjadikan kamu dapat berjalan di daratan, (berlayar) di lautan. Sehingga apabila kamu berada di dalam bahtera, dan meluncurlah bahtera itu membawa orang-orang yang ada di dalamnya”. Maksudnya adalah, Allah membawamu dapat berjalan di muka bumi dengan kendaraan, dan membawamu dapat berjalan (mengarungi) lautan dnegan kapal (bahtera).
            Al Kalbi mengatakan bahwa Allah yang menjaga kalian dalam perjalanan.
            Ayat tersebut mengandung beberapa nikmat yang dianugerahkan Allah seperti dalam ayat ini, yaitu kemampuan manusia berkendaraan di daerah dan lautan. Penjelasan tentang berlayar di lautan sudah dibahas dalam tafsir surah Al-Baqarah.
            Lafazh, يُسَيِّرُكُمۡ adalah lafazh umum yang dipakai, sedangkan Ibnu Amir membacanya dengan lafazh يُنْشِرُكُمْ  dengan huruf nun dan syin yang bermaksud menyebarkan.
            Lafazh ٱلۡفُلۡكِ dapat dipakai untuk kata tunggal dan jamak, baik mudzakkar maupun muannast.
            وَجَرَيۡنَ بِهِم adalah perkataan yang berubah dari dhamir khitab (kata ganti objek yang diajak bicara) kepada dhamir ghaib (kata ganti orang ketiga jamak), dan hal ini dalam Al-Qur’an dan syair Arab banyak ditemukan.
            An-Nabighah mengungkapkan,
يا دَارَ المَيِّتِ بِالْعَلْيَاءِ فَالسَّنَدُ                      أَقْوَتُ وَ طَالَ عَلَيْهَا الأَمَدُ
Duhai tanah mati yang ada diatas bukit, di lereng terjal itu aku menyepi,
Dan masa-masa yang telah berlalu terasa begitu lama.
            Ibnu al-Anbari berkata, “Dalam bahasa, sah-sah saja sautu kata dikembalikan ke dhamir mukhatab (kata ganti orang kedua) setelah sebelumnya menunjukkan dhamir ghaib (ganti orang ketiga), seperti firman Allah SWT,
 عَٰلِيَهُمۡ ثِيَابُ سُندُسٍ خُضۡرٞ وَإِسۡتَبۡرَقٞۖ وَحُلُّوٓاْ أَسَاوِرَ مِن فِضَّةٖ وَسَقَىٰهُمۡ رَبُّهُمۡ شَرَابٗا طَهُورًا ٢١  إِنَّ هَٰذَا كَانَ لَكُمۡ جَزَآءٗ وَكَانَ سَعۡيُكُم مَّشۡكُورًا ٢٢
21. Mereka memakai pakaian sutera halus yang hijau dan sutera tebal dan dipakaikan kepada mereka gelang terbuat dari perak, dan Tuhan memberikan kepada mereka minuman yang bersih
22. Sesungguhnya ini adalah balasan untukmu, dan usahamu adalah disyukuri (diberi balasan) (Q.S. Al-Insaan (76): 21-22)
            Dalam ayat ini jelas terlihat bahwa pada ayat sebelumnya memakai dhamir ghaib (هم) kemudian ayat sesudahnya memakai dhamir mukhatab ((كم.
Firman Allah SWT, بِرِيحٖ طَيِّبَةٖ وَفَرِحُواْ بِهَا “Dengan tiupan angin yang baik dan mereka bergembira karenanya.
Ayat ini sudah dibahas dalam tafsir surah Al-Baqarah sebelumnya جَاءَتْهَا رِيْحُ عَاصِفٌ  “Datanglah angin badai”.
Dhamir pada kalimat جَاءَتْهَا ditunjukkan kepada kapal.
Ada juga yang berkata, “kembali kepada angin yang baik”.
Kata عَاصِفٌ artinya yang sangat kencang. Kata ini disebutkan dalam bentuk mudzakkar, karena kata رِيْحُ juga mudzakkar.
وَجَآءَهُمُ ٱلۡمَوۡجُ مِن كُلِّ مَكَانٖ “Dan (apabila) gelombang dari segenap penjuru menimpanya.”.
Kata ٱلۡمَوۡجُ artinya air yang meninggi. وَظَنُّوٓاْ “Mereka mengira maksudnya mereka yakin.
أَنَّهُمۡ أُحِيطَ بِهِمۡ maksudnya mereka telah telah terkepung bencana.
دَعَوُاْ ٱللَّهَ مُخۡلِصِينَ لَهُ ٱلدِّينَ maksudnya adalah, mereka hanya memohon kepada Allah dan lupa memohon kepada sesembahannya. Hal ini menjadi dalil yang menjelaskan bahwa apabila dalam keadaan terdesak maka mereka hanya memohon kepada Allah. Orang yang memohon ini akan dijawab doanya meskipun dia orang kafir, karena dia kembali kepada Tuhan, sebagaimana akan dijelaskan nanti dalam tafsir surah An-Naml.
Sebagian ahli tafsir mengatakan bahwa diantara perkataan (doa) mereka adalah أَهْيَا شَرَاهَيَا yang maksudnya يَا حَيُّ يَا قَيُّوْمُ  wahai Maha hidup dan Maha mengurusi makhluk-Nya.
Masalah: Ayat ini menjelaskan tentang berlayar di laut secara mutlak.
Abu Hurairah RA, dalam Sunnah, menyebutkan, “sesungguhnya kami berlayar di lautan sedangkan kami hanya membawa sedikit air …..”.
Begitu juga dengan hadits  Anas RA yang menyebutkan kisah Ummu Haram, menunjukkan bahwa boleh melakukan pelayaran saat terjadi peperangan.
Firman Allah SWT لَئِنۡ أَنجَيۡتَنَا مِنۡ هَٰذِهِۦ “sesungguhnya jika Engkau menyelamatkan kami dari bahaya ini,” maksudnya adalah diselamatkan dari kesempitan dan kegalauan ini.
Al Kalbi mengtakan bahwa maksudnya adalah diselamatkan dari angin (badai) ini.
لَنَكُونَنَّ مِنَ ٱلشَّٰكِرِينَ “Pastilah kami akan menjadi orang-orang yang bersyukur” maksudnya adalah, kami akan menjalankan perintah-Mu dan menaatinya dengan penuh keikhlasan.
4.                  Al-Anbiya ayat 81
وَلِسُلَيۡمَٰنَ ٱلرِّيحَ عَاصِفَةٗ تَجۡرِي بِأَمۡرِهِۦٓ إِلَى ٱلۡأَرۡضِ ٱلَّتِي بَٰرَكۡنَا فِيهَاۚ وَكُنَّا بِكُلِّ شَيۡءٍ عَٰلِمِينَ ٨١
81. Dan (telah Kami tundukkan) untuk Sulaiman angin yang sangat kencang tiupannya yang berhembus dengan perintahnya ke negeri yang kami telah memberkatinya. Dan adalah Kami Maha Mengetahui segala sesuatu.
            Firman Allah SWT, وَلِسُلَيۡمَٰنَ ٱلرِّيحَ عَاصِفَةٗ “Dan (telah Kami tundukkan) untuk Sulaiman angin yang sangat kencang tiupannya” yakni: wasakhkharnaa li sulaimaana ar-riiha ‘aashifah (dan kami tundukkan untuk Sulaiman angin yang sangat kencang), ‘aashifah adalah syadiidah al hubuub (sangat kencang tiupannya). Dikatakan ‘ashafat ar-riih artinya angin bertiup kencang, riih ‘aashif  atau riih ‘ashuuf (angin kencang).
            Dalam logat Bani Asad: a’shafat ar-riih, bentuk isimnya mu’shif dan mu’shifah. Al ‘Ashf adalah at-tibn (jerami/ rumput kering), dari situlah muncul sebutan kencangnya tiupan angin, karena angin itu meniupnya ddengan kencang sehingga menerbangkannya.
            Abdurrahman al A’raji dan Abu Bakar membacanya وَلِسُلَيۡمَٰنَ ٱلرِّيحُ  dengan rafa’ pada ha yang berarti memutuskan dari yang sebelumnya. Maknanya: wa li sulaimaana taskhiru ar-riih (dan Sulaiman memiliki (kemampuan) menundukkan angin), sebagai mubtada’ dan khabar.
            تَجۡرِي بِأَمۡرِهِۦٓ إِلَى ٱلۡأَرۡضِ ٱلَّتِي بَٰرَكۡنَا فِيهَاۚ “Yang berhembus dengan perintahnya ke negeri yang Kami telah memberkatinya” yakni Syam. Diriwayatkan bahwa angin itu membawanya dan para sahabatnya kemana pun yang diinginkan Sulaiman, kemudian dibawa kembali ke Syam.
            Wahb mengatakan, “Apabila Sulaiman bin Daun keluar dari majlisnya, burung-burung merunduk hormat padanya, sementara jin dan manusia berdiri untuknya, sampai ia duduk di singgasananya.”
            Sulaiman adalah seorang ahli perang yang tidak pernah berhenti dair peperangan. Apabila ia hendak pergi berperang, ia memerintahkan kayu sehingga kayu terbentang, lalu diangkutlah manusia, binatang dan alat perang diatasnya, kemudian memerintahkan angin kencang untuk mengangkatnya, lalu memerintahkan angin lembut untuk membawanya, yang mana keberangkatannya selama satu bulan dan kepulangannya selama satu bulan, itulah makna firman Allah SWT: فَسَخَّرۡنَا لَهُ ٱلرِّيحَ تَجۡرِي بِأَمۡرِهِۦ رُخَآءً حَيۡثُ أَصَابَ ٣٦  “Kemudian Kami tundukkan kepadanya angin yang berhembus dengan baik menurut ke mana saja yang dikehendakinya”. Ar-Rakha adalah lembut.
            وَكُنَّا بِكُلِّ شَيۡءٍ عَٰلِمِينَ “Dan adalah Kami Maha Mengetahui segala sesuatu.” Yakni Kami mengetahui segala sesuatu, mengetahui segala pengaturannya.
5.         An-Nahl ayat 80
وَٱللَّهُ جَعَلَ لَكُم مِّنۢ بُيُوتِكُمۡ سَكَنٗا وَجَعَلَ لَكُم مِّن جُلُودِ ٱلۡأَنۡعَٰمِ بُيُوتٗا تَسۡتَخِفُّونَهَا يَوۡمَ ظَعۡنِكُمۡ وَيَوۡمَ إِقَامَتِكُمۡ وَمِنۡ أَصۡوَافِهَا وَأَوۡبَارِهَا وَأَشۡعَارِهَآ أَثَٰثٗا وَمَتَٰعًا إِلَىٰ حِينٖ ٨٠
80. Dan Allah menjadikan bagimu rumah-rumahmu sebagai tempat tinggal dan Dia menjadikan bagi kamu rumah-rumah (kemah-kemah) dari kulit binatang ternak yang kamu merasa ringan (membawa)nya di waktu kamu berjalan dan waktu kamu bermukim dan (dijadikan-Nya pula) dari bulu domba, bulu unta dan bulu kambing, alat-alat rumah tangga dan perhiasan (yang kamu pakai) sampai waktu (tertentu).
          Dalam ayat diatas Sembilan masalah:
          Pertama: Firman Allah, جَعَلَ لَكُم “(Allah) menjadikan bagimu,” maksudnya membuat. Semua yang di atas anda lalu memayungi Anda maka itu adalah atap dan langit. Sedangkan apa yang ada dibawah Anda adalah bumi. Sedangkan semua yang menutupi Anda dari sisi Anda yang empat adalah dinding. Sedangkan semua yang menutupi Anda dari sisi Anda yang empat adalah dinding. Sedangkan jika semua itu teratur rapih sedemikian rupa dan saling bersambung maka itu adalah rumah. Dlam ayat ini penyebutan nikmat-nikmat Allah SWT atas semua manusia di dalam rumah-rumah. Maka mula-mula disebutkan rumah kota, yaitu yang digunakan untuk tempat tinggal.
          Firman-Nya سَكَنٗا rumah-rumah.” Maksudnya, kalian semua tinggal di dalamnya menenangkan anggota tubuh setelah beraktifitas. Kadang-kadang engkau bergerak dan kadang tenang. Hanya saja ungkapan ini pada dasarnya keluar dari kematiannya. Ini dianggap termasuk ragam ni’mat, karena jika dikehendaki maka Allah ciptakan hamba ini dalam keadaan selalu bergerak seperti benda-benda langit yang sesuai dengan ciptaan dan kehendak-Nya.
          Jika Allah menciptakannya selalu diam seperti bumi maka yang sedemikian itu sebagaimana yang Dia ciptakan dan Dia kehendaki. Akan tetapi Allah menciptakannya sebagai makhluk yang berhak bersikap karena dua aspek dan berbeda kondisinya di antara dua keadaaan. Dia mengulang- ulangnya bagaimana dan di mana.
            سَكَنٗا  Adalah bentuk mashdar (infinitif) yang dengan disifati sesuatu yang tunggal maupun jamak. Kemudian Allah SWT menyebutkan rumah-rumah yang bisa dipindah-pindah dan bisa di bawa ke mana saja, yaitu:
          Kedua: Firman-Nya : وَجَعَلَ لَكُم مِّن جُلُودِ ٱلۡأَنۡعَٰمِ بُيُوتٗا تَسۡتَخِفُّونَهَاDan Dia menjadikan bagi kamu rumah-rumah (kemah-kemah) dari kulit bintang ternak yang kamu merasa ringan(membawa)nya. “Maksudnya,dari kulit dan kulit yang disamak. بُيُوتٗا  Rumah-rumah (kemah-kemah).”  Maksudnya, kemah dan kubuh yang ringan bagi kalian membawanya dalam setiap perjalanan.
           يَوۡمَ ظَعۡنِكُمۡ   Di waktu kamu berjalan.”  Adalah perjalanan orang pendalaman (nonmadik) dalam perpindahan dari satu tempat ke tempat lain.
Yang demikan itu sebagaimana ungkapan Antarah:
ظَعَنَ الَّذِيْنَ فِرَاقُهُمْ أتَوَقَّعُ                  وَ جَرَى بِبَيْنِهِمْ الْغُرَابُ الأَبْقَعُ
Pergilah mereka yang perpisahannya aku nantikan
 Yang berlari diantara mereka gagak warna hitam dan putih.
الظَّغْنُJuga berarti sekedap. Ia bertutur:
ألَا هَلْ هَاجَكَ الأَظْعَانُ إذْ بَانُوا                   وَ إِذْ جَادَلتْ بِوَشْكِ الْبَيْنِ غِرْبَانُ
Bukankah sekedap itu mengguncamkanmu ketika mereka berpisah
Dan ketika perpisahan itu sangat cepat muncullah sejumlah gagak.
          Di baca dengan mensukunkan huruf ‘ain atau dengan fathah sebagaimana:  الشَّعْرُdan  الشَّعَرُ
          Ada yang mengatakan, “Bisa juga bermakna yang mencakup semua rumah dari kulit, rumah dari bulu dan rumah dari wool. Karena semua ini dari kuit dan berada tetap.”
          Ibnu Salam mengarah kepada pendapat demikian, dan ini adalah kemungkinan makna yang bagus.
          Sedangkan ungkapan  وَمِنۡ أَصۡوَافِهَاdari bulunya” adalah permulaan pembicaraan. Seakan-akan Dia berfirman, “Dia telah menjadikan perabotan” sedangkan yang dikehendaki adalah pakaian dan alas dan lain sebagaimananya.
Seorang penyair berkata,
أَهَا جَتْكَ الظَّعَائِنُ يَوْمَ بَانُوا              بِذِى الزِّيِّ الجَمِيْلِ مِنَ الأَثَاثِ
Apakah mengguncamkanmu sejumlah sekedap ketika mereka berpisah. Dengan orang yang memiliki pakaian bagus dan sebagian perabotan.
Bisa pula yang dimaksud dengan firman-Nya: مِّن جُلُودِ ٱلۡأَنۡعَٰمِDari kulit binatang ternak,” rumah-rumah dari kulit saja sebagimana telah kami jelaskan di muka.
          Dengan demikian firman-Nya: وَمِنۡ أَصۡوَافِهَاDan dari bulunya (domba),” sebagai athaf pada firman-Nya:  مِّن جُلُودِ ٱلۡأَنۡعَٰمِ  Dri kulit binatang ternak.” Maksudnya, juga membuat rumah.
          Ibnu Al Arabi berkata, “Ini adalah perkara yang populer di daerah itu dan tidak ada negri kita, dan di negri kita, dan di negri kita tidak ada tempat tinggal yang terbuat dari bulu melainkan dari katun dan wool.”
          Nabi SAW memiliki sebuah kubah atau kemah yang terbuat dari kulit, namun tentu jauh dari pikiran Anda kulit dari Tha’if karena mahal harganya dan sangat tinggi kualitasnya jenis kulitnya. Hal demikian bagi beliau SAW tidak dipandang sebagai suatu kemewahan atau sikap berlebih-lebihan, karena hal itu adalah sebagian apa yang dianugerahkan Allah SWT berupa kenikmatan, dan beliau diberi izin memilikinya sebagai kekayaan beliau.
          Sangat jelas aspek manfaatnya untuk tempat tinggal dan berteduh. Di antara perkara aneh yang terjadi bahwa aku pernah mengunjungi sebagian orang-orang zuhud dari mereka yang lalai bersama sebagaian para ahli hadits. Maka kami masuk ke tempat tinggal mereka dalam kemah dari katun sehingga salah seorang kami yang yang merupakan seorang ahli hadits menunjukkan keinginannya untuk mengajak seorang dari mereka berkunjung ke rumahnya sebagai tamu. Maka dia berkata, “Sesungguhnya ini adalah negri yang banyak musim panansnya, sedangkan rumah itu sangat sejuk untuk anda dan lebih bagus untukku.”Maka dia berkata,” Kemah seperti ini sangat banyak di negri kami. Yang dibuat untuk orang kecil. “Maka aku katakan, “Bukan seperti yang engkau kira! Rasulallah SAW sebgai tokoh suri teladan orang-orang zuhud, memiliki kubah dari kulit buatan Tha’if yang selalu beliau bawa dalam perjalanan dan beliau gunakan untuk berteduh.” Maka dia pun bungkam, dan aku melihatnya pada kondisi kebingungan sehingga aku meninggalkannya bersama temanku dan aku pun ke luar dari tempatnya.”
          Ketiga: Firman Allah SWT:  وَمِنۡ أَصۡوَافِهَا وَأَوۡبَارِهَا وَأَشۡعَارِهَآ  Dan (dijadiakan-Nya pula) dari bulu domba, bulu orang dan bulu kambing.” Allah SWT memberikan izin untuk mengambil manfaat dari bulu kambing, bulu unta dan bulu domba sebgaimana Allah SWT telah memberikan izin dalam hal yang berkenaan dengan tulang-tulang, yaitu: menyembelihnya dan memakan dagingnya. Allah SWT tidak menyebutkan kapas dan katun karena di negri Arab audien yang mengenal hal tersebut. Akan tetapi menyebutkan apa yang dikenal audien yang diajak bicara dan mereka pahami serta segala hal sejenis yang masuk kategori nikmat. Yang demikian ini sebgaimana firman Allah SWT, وَيُنَزِّلُ مِنَ ٱلسَّمَآءِ مِن جِبَالٖ فِيهَا مِنۢ بَرَدٖ  “…dan Allah (juga) menurunkan (butiran-butiran) es dari langit (yaitu) dari (gumpalan-gumpalan awan seperti) gunung-gunung.” (Qs. An-Nur [24]:43).
          Mereka diajak bicara tentangbes karena mereka mengetahui bahwa es sering turun di negri mereka, namun Allah tidak menyebutkan masalah salju karena salju tidak ada di negri mereka. Yang demikian ini dimisalkan dalam sifat dan manfaat. Keduannya telah disebutkan oleh Nabi SAW secara bersama-sama dalam hal bersuci. Beliau bersabda,
اللَّهمَّ اغْسِلْنِي بِمَاءٍ وَ ثَلْجٍ وَ بَرَدٍ
Ya Allah, bersikanlah aku dengan air, salju dan embun.”
          Ibnu Abbas berkata, “Salju itu berwarna putih, turun dari langit namun aku sendiri belum pernah melihatnya saa sekali.”
          Ada yang mengatakan, “Meninggalkan penyebutan kepas dan katun adalah karena berpaling dari sikap bermewah-mewah, karena pakaian para hamba Allah yang shalih adalah dari wol. Hal ini  perlu ditinjau ulang. Sesungguhnya Allah SWT berfirman:
يَٰبَنِيٓ ءَادَمَ قَدۡ أَنزَلۡنَا عَلَيۡكُمۡ لِبَاسٗا يُوَٰرِي
“Hai anak Adam, sesungguhnya kami telah menurunkan kepadamu pakaian untuk menutup auratmu”… (Qs. Al A’raaf [7]:26). Sebagaimana telah telah di jelaskan dalam tafsir syrah Al A’raaf. Di sini Allah berfirman:
وَجَعَلَ لَكُمۡ سَرَٰبِيلَ
“….dan menjadikan bagi kalian pakaian (baju besi)…” (Qs.An Nahl [16]:81). Menunjukkan kepada kapas dan katun dalam kataسَرَٰبِيلَ  Wallahu a’lam.
أَثَٰثٗا  Alat-alat rumah tangga. “Al Khalil berkata, “Kekayaan yang sebagian ditambahkan kepada sebagaian yang lain. Dari kata jika sesuatu menjadi banyak jumlahnya. Ia berkata:
وَفَرْعٍ يَزِيْنُ الْمَتْنَ أَسْوَدَ فَاحِم         أَثِيْثٍ كَقِنْوِ النَّخْلَةِ الْمُتَعَثْكِلِ
Rambut itu menghias bukti dengan Warna hitam pekat.
Banyak tumbuh bagai tangkai kurma yang bertumpuk.
          Ibnu Abbas: أَثَٰثٗا  pakaian” dan telah dijelaskan di atas. Ayat ini mencakup hukum bahwa bagaimanapun boleh mengambil manfaat dari bulu (binatang). Oleh sebab itu para pengikut madzab Maliki berkata, “Bulu bangkai itu suci dan boleh diambil manfaatnya bagaimanapun juga. Tetapi harus dicuci karena khawatir ada kotoran padanya.” Demikian juga Ummu Salamah meriwayatkan dari Nabi SAW bahwa beliau besabda,
لَا بَأْسَ بِجِلْدِ الْمَيْتَةِ إِذَا دُبِغَ وَ صُوْفِهَا وَشَعْرِهَا إِذَا غَسَلَ
          Tidak masalah dengan kulit bangkai jika disimak, demikian juga dengan bulu dan rambutnya jika dicuci.
          Karena, semua itu bagian yang tidak terpengaruh oleh kematian, baik itu bulu binatang yang halal dagingnya atau tidak. Seperti:  rambut anak adam (manusia) dan bulu babi. Semua itu suci. Demikian dikatakan pula oleh Abu Hanifah. Bahkan dia memberikan tambahan kepada kami dengan mengatakan, “Tanduk, gigi, tulang adalah sama dengan rambut.” Dia beralasan, karena semua ini tidak memiliki ruh sehingga tidak najis dengan kematian hewan itu”
          Al Hasan Al Bashri dan Al-Laits bin Sa’ad Al Auza’I berkata, “Semua bulu itu najis akan tetapi bisa disucikan dengan mencucinya.”
          Dari Asy-Syafi’I ada tiga riwayat: pertama, suci dan tidak najis karena kematian. Kedua, najis. Ketiga, berbeda antara rambut manusia dengan lain-lainnya. Rambut manusia suci sedangkan yang lainnya najis. Dalil kami adalah keumuman firman Allah SWT: وَمِنۡ أَصۡوَافِهَاDan di jadikan-Nya pula) dari bulu domba” Maka Allah menganugerahkan kepada kita dengan memberikan izin kepada kita untuk mengambil mnfaat dari semua itu, dan tidak mengkhususkan bulu bangkai dari bintang yang disembelih. Semua ini, bersifat umum kecuali yang dilarang berdasarkan dalil.
          Demikian pula bahwa hukum asalnya adalah suci sebelum mati dengan dasar kesepakatan. Barangsiapa mengklaim bahwa dai telah berubah menjadi najis, maka dia harus mengetengahkan dalil. Jika dikatakan bahwa firman Allah SWT, “Diharamkan bagi kalian bangkai” adalah sebuah ungkapan yang menunjukan kepda keseluruhan, maka kami katakana, “Kami men-takhshih-nya (membatasinya) dengan apa yang sudah disebut di atas. Krena semua itu disebut langsung di dalam nash ketika menyebutkan bulu, sedangakn di dalam ayat tidak ada penyebutannya secara gamblang. Maka dalil kami lebih utama. Wallahu a’lam.”
          Syaikh Imam Abu Ishak seorang imam dari kalangan Syafi’iy di Baghdad cenderung mengatakan bahwa rambut adalah bagian yang tak terpisahkan oleh hewan dalam penciptaanya. Dia tumbuh seiring dengan pertumbuhan hewan itu sehingga menjadi najis dengan kematiannya sebagaimana semua bagian tubuhnya.
          Hal tersebut dibantah: Bahwa pertumbuhan tersebut bukan dalil yang menunjukan kehidupan. Karena tanaman tetap tumbuh padahal tidak hidup. Jika mereka lebih cenderung kepada pertumbuhan yang yang berhubungan dengan apa yang ada pada hewan maka kami cenderung kepada keberadaan yang menunjukkan tidak adanya daya indera yang menunjukkan tidak adanya kehidupan. Sedangkan apa yang disebutkan oleh para pengikut madzhab Hanafi berkenaan dengan tulang, gigi, tanduk dari hewan yang telah menjadi bangkai bahwa semua itu bagian yang sama dengan rambut, maka yang masyhur di kalangan kami (Syafi’iah) bahwa semua itu najis seperti dagingnya. Ibnu Wahb berpendapat sebagaimana pendapat Abu Hanifah.
          Lalu apakah ujung tanduk atau kuku disamakan dengan pangkalnya atau dengan rambut, dalam hal ini ada dua pendapat. Demikian juga sebagai rambut yaitu bulu (sebagaimana bulu ayam) hukumnya adalah sama dengan hukum rambut. Dalil tentang tulang juga sama dengan hukumnya. Dalil kami adalah sabda Rasulallah SAW,
لَاتُنْفِعُ مِنَ الْمَيِّةِ بِشَيْءٍ
Janganlah kalian mengambil manfaat dari bangkai”
          Dalil ini bersifat umum berkenaan dengan bangkai dan mengenai setiap bagian dari bangakai itu, kecuali yang ada dalilnya secara khusus. Di antara dalil mutlak yang menunjukan hal yang demikian ini adalah firman Allah SWT:
قَالَ مَن يُحۡيِ ٱلۡعِظَٰمَ وَهِيَ رَمِيمٞ ٧٨
 Ia berkata: ‘Siapakah yang dapat menghidupkan tulang belulang yang telah hancur luluh?” (Qs. Yaasiin [36]:78)
          Juga firman-Nya:
 وَٱنظُرۡ إِلَى ٱلۡعِظَامِ كَيۡفَ نُنشِزُهَا
 “…. Dan lihatlah kepada tulang belalang itu, Kemudian kami menyusunya kembali.” (Qs. Al Baqarah [2]:259)
          Juga firman-Nya:
فَكَسَوۡنَا ٱلۡعِظَٰمَ لَحۡمٗا
“…… lalu tulang berulang itu Kami bungkus dengan daging ……”
Juga firman-Nya:
 أَءِذَا كُنَّا عِظَٰمٗا نَّخِرَةٗ ١١
 “…lalu tulang belalang itu kami bungkus dengan daging…” (Qs.An Nazi’at [79]:11).
Asalnya adalah tulang, ruh dan kehidupan yang di dalamnya daging dan kulit. Sedangkan di dalam hadits Abdullah bin Ukaim,
لَا تَنْفِعُوْا مِنَ الْمَيْتَةِ بِإِهَابٍ وَ لَا عَصَبٍ
Janganlah kalian manfaatkan dari bangkai kulit atau ototnya.”
          Jika dikatakan, “Telah jelas dalam kitab Ash-Shahih bahwa Nabi SAW bersabda berkenaan dengan bangkai seekor domba milik Maimunah:
أَلَا إِنْتِفَاعُهُمْ بِجِلْدِهَا. قَالوا يَا رَسُلَ اللَّه إِنَّهَا مَيِّتَةٌ فَقَالَ إِنَّمَا حَرُمَ أكْلُهَا
“Mengapa kalian tidak memanfaatkan kulitnya?. “Mereka berkata “Wahai Rasulullah, tapi itu telah menjadi bangkai.” Beliau bersabda, “Sesungguhnya yang haram itu adalah memakannya.”
          Tulang juga tidak boleh dimakan. Menurut kami, tulang itu dimakan, khususnya tulang anak unta dan tulang anakl kambing dan tulang burung. Sedangkan tulang binatang dewasa dipanggang lalu dimakan pula. Apa yang kami sebutkan diatas berlaku pada binatang yang hidup. Segala binatang yang suci saat hidupnya dan boleh dimakan dengan jalan disembelih maka menjadi najis dengan kematian. Wallahu a’lam.
          Keempat. Firman Allah SWT مِّن جُلُودِ ٱلۡأَنۡعَٰمِ Dari kulit binatang ternak” Bersifat umum berkenaan dengan segala macam kulit binatang hidup atau mati. Maka boleh mengambil manfaat dari kulit binatang sekalipun disamak. Yang demikian ini dikatakan oleh Ibnu Syihab Az-Zuhri dan Al-Laits bin Sa’ad.
          Ath-Thahawi berkata, “Kami belum pernah menemukan dari kalangan pakar fikih bahwa boleh menjual kulit bangkai sebelum disamak kecuali menurut Al-Laits saja.”
Abu Umar berkata, “Yakni dari kalangan para pakar fikih yang ahli di bidang fatwa di berbagai penjuru kota setelah zaman tabi’in.  Sedangkanpendapat dari keduanya kebalikan pendapat ini, sedangkan yang pertama lebih populer.”
          Menurut saya (Al Qurthubi): Ad-Daraquthni dalam sunannya telah menyebutkan sebuah riwayat Yahya bin Ayyub dari Yunus dan Uqail dari Az-Zuhri, riwayat Az-Zubaidi dan dari Muhammad bin Kastir Al Abdi dan Abu Salamah Al Minqari dari Sulaiman bin Katsir dari AZ-Zuhri. Di bagian akhirnya ia berkata, “Ini adalah isnad-isnad yang shahih.
          Kelima: Para ulama berbeda pendapat berkenaan dengan kulit bangkai jika telah disamak, apakah suci atau tidak. Ibnu Abd Al Hakim menyebutkan dari Malik apa yang menyerupai madzhab Ibnu Syihab Az-Zuhri dalam hal ini. Disebutkan juga oleh Ibnu Khuwaizimandad dan di dalam kitabnya dari Ibnu Abd Al Hakam. Ibnu Khuwaizimandad berkata, “Itu adalah ungkapan Az-Zuhri dan Al-Laits. Yang paling jelas pada madzhab Maliki adalah apa yang disebut oelh Ibnu Abd Al Hakam, yaitu bahwa menyamak tidak mensucikan kulit bangkai, akan tetapi boleh memanfaatkannya untuk hal-hal yang kering. Tidak boleh digunakan untuk shalat atau untuk makan.
          Di dalam Al Mudawwanah karya Ibnu Al Qasim disebutkan, “Barangsiapa merampas kulit bangakai yang tidak disamak lalu dia merusaknya maka dia harus mengganti senilai harganya.”Dikisahkan bhawa itu adalah ungkapan Malik.
          Sementara Abu Al Faraj menyebutkan bahwa Malik berkata, “Barangsiapa merampas kulit bangkai milik seseorang yang tidak disamak, maka tidak mengapa baginya.”
          Isma’il berkata, “Kecuali jika milik seorang majusi.” Sedangkan Ibnu Wahb dan Ibnu Abd Al Hakim meriwayatkan dari Malik bahwa boleh menjual kulit bangkai. Ini berkenaan dengn ragam kulit bangkai kecuali babi saja, karena penyembelihan tidak dilakukan terhadapnya, apalagi penyamakan.
          Abu Umar berkata, “Semua kulit binatang yang disembelih boleh dimanfaatkan, baik untuk kepentingan berwudhu’ atau lainnya.”
Malik tidak suka berwudhu’ dari air yang wadahnya terbuat dari kulit bangkai ang disamak, sikapnya ini bertentangan dengan pendapatnya sendiri.  Suatu ketika ia berkata, “Aku tidak membecinya melainkan bagi diriku sendiri”. “Makruh pula menunaikan shalat di atasnya dan menjualnya”. “Hal demikian diikuti oleh jamaah dari kalangan para sahabatnya. Sedangkan mayoritas masyarakat kota sepakat bahwa semua itu boleh. Hal itu berdasarkan sabda Rasulullah SAW,
أَيُّمَا إِهَابٍ دُبِعَ فَقَدْ طَهُرَ
“Kulit apapun jika telah disamak dia telah suci.”
Demikianlah pendapat ulama Hijaz, dan Irak dari kalngan ahli fikih dan hadits. Dan ini menjadi pilihan Ibnu Wahb.
Keenam: Imam Ahmad bin Hanbal RA berpendapat bahwa tidak boleh mengambil manfaat dari kulit bangkai sama sekali sekalipun disamak. Karena dia sama dengan daging bangkai. Akan tetapi hadits-hadits berkenaan dengan pemanfaatanya setelah disamak menolak pendapatnya. Dia beralasan dengan hadits Abdullah bin ‘Ukaim- yang diriwayatkan oleh Abu Daud-ia berkata, “Dibacakan kepada kami Rasulallah SAW di daerah Juhainah dan aku ketika itu masih seorang pemuda,
أَلَّا تَسْتَمِعُوْا مِنَ الْمَيِّتَةِ بِإِهَابٍ وَلَا عَصَبٍ
Janganlah kalian bersenang-senang dengan sesuatu dari bangkai baik kulit dan dagingnya.”
Dalam suatu riwayat disebutkan,
قَبْلَ مَوْتِهِ بِشَهْرٍ
Sebulan sebelum matinya.”
Diriwayatkan oleh Abu Al Qasim bin Mukhaimirah dari Abdullah bin Ukaim ia berkata, “Para syaikh kami menyampaikan hadits kepada kami bahwa Nabi SAW mengirim surat kepada mereka….”
Daud bin Ali berkata, “Aku bertanya kepada Yahya bin Mu’in tentang hadits ini yang ternyata dia menyatakannya lemah dan berkata, “Tidak mengapa”. Akan tetapi dia mengatakan, para syaikh menyampaikan hadits kepadaku.”
Abu Umar berkata, “JIka hadits ini kuat aka kemungkinan bertentangan dengan hadits-hadits yang diriwayatkan dari Ibnu Abbas, Aisyah, Salamah bin Al Muhababiq dan lain-lainya, karean bisa saja makna hadits Ibnu Ukaim, “Janganlah kalian memanfaatkan dari bangkai baik kulit dan dagingnya”  adalah sebelum disamak.
          Jika kemungkinan tidak bertentangan maka kita tidak boleh menjadikannya bertentangan, kita harus menggunakan kedua hadits itu sebisa mungkin. Hadits Abdullah bin Ukaim sekalipun diriwayatkan sebulan sebelum Nabi SAW wafat sebaimana dijelaskan di dalam hadits itu, maka bisa selagi kisah Maimunah dan apa yang didengar oleh Ibnu Abbas darinya bahwa Rasulallah SAW bersabda,
أَيُّمَا إِهَابٍ دُبِعَ فَقَدْ طَهُرَ
Kuit apapun jika disamak maka dia telah suci”, sebelum beliau wafat, yang diucapkan pada hari jum’at atau selain hari jum’at. Wallahu a’Lam.
Ketujuh: Yang paling populer di kalangan kami (madzhab Maliki) bahwa kulit babi tidak masuk dalam keumuman hadits. Demikan juga anjing menurut As-Syafi’iy. Sedangkan menurut Al Auza’I dan Abu Tsaur, penyamakan tidak menjadikan suci melainkan pada kulit binatang yang halal dagingnya untuk dimakan.
Sedangkan Ma’n bin Isa meriwayatkan dari Malik bahwa dia ditanya tentang kulit babi jika disamak, dia pun memakruhkan hal itu.
Ibnu Wadhah berkata, “Aku pernah mendengar Suhnun mengatakanbahwa tidak mengapa dengannya.” Demiakan juga dikatakan oleh Muhammad bin Abd Al Hakam, Daud bin Ali dan para sahabatnya. Hal itu karena sabda Rasulallah SAW,
أَيُّمَا مَسَكٍ دُبِعَ فَقَدْ طَهُرَ
Kulit apapun jika disamak maka dia telah suci.”
Abu Umar berkata, “Kemungkinan yang dimaksud dengan ungkapan seperti itu adalah kulit pada umumnya yang bisa dimanfaatkan. Sedangkan babi tidak masuk dalam makna ini karena dia tidak bisa dimanfaatkan kulitnya, menginngat tidak bisa dilakukan penyembelihan terhadapnya. “Dalil yang lain adalah apa yang dikatakan oleh An –Nadhr untuk selain ketiganya disebut dengan kata jildun dan bukan ihbah.
Menurut saya (Al Qurthubi): Kulit anjng dan binatang yang tidak boleh diamkan dagingnya juga tidak bisa dimanfaatkan sehingga tidak bisa disucikan. Nabi SAW telah bersabda,
أَكُلْ كُلَّ ذِى نَابٍ مِنَ السِّبَاعِ حَرَامٌ
Memakan setiap binatang bertaring dari jenis binatang buas adalah haram hukumnya.”
Sehingga pada semua itu (anjing dan binatang yang tidak boleh dimakan dagingnya) bukanlah penyembelihan. Sebagaimana tidak ada penyembelihan pada Nabi.
An-Nasa’I meriwayatkan dari Al Miqdam bin Ma’dikarib, ia berkata, “Rasulallah SAW melarang memakai sutera, emas dan alas dari kulit harimau.”
          Kedelapan: Para pakar fikih berbeda pendapat berkenaan dengan penyamkan yang bisa mensucikan kulit, dengan apa? Para sahabat atau pengikut Malik mengatakan pendapat yang paling masyhur di dalam madzhabnya adalah, “Segala sesuatu yang bisa digunakan untuk menyamak kulit, seperti: garam, daun akasia tambang dan lain-lainnya, dengan itu semua kulit boleh diamanfaatkan. “Demikan juga pendapat Abu Hanifahdan para sahabatnya. Ini adalah pendapat Daud.
          Sedangkan bagi Asy-Syafi’I dalam hal ini ada dua pendapat. Pertama, sama dengan pendapat yang diatas. Kedua, tidak menjadikan suci selain garam tambang (tawas) dan daun akasia, karena dengan itulah penyamakan yang berlaku di zaman Nabi SAW. Demikianlah yang dilansir oleh Al Khaththabi. Wallahu a’Lam.
          Adapun yang diriwayatkan oleh An-Nasa’I dari Maimunah istri Nabi SAW, bahwa suatu ketika ada beberapa orang dari kalangan Quraisy berjalan di hdapan Rasulallah SAW sambil menyeret  seeokor kambing yang telah menjadi bangkai yang mirip dengan seekor kuda. Maka Rasulallah SAW bersabda kepada mereka,
لَوْ أَخَذْتُمْ إِهَابَهَا قَالُوا إِنَّهَا مَيْتَةٌ فَقَالَ رَسُوْلُ اللَّهِ يُطَهِّرُهَا الْمَاءُ وَ الْقُرَظُ
Kenapa tidak kalian ambil kulitnya? “Mereka menjawab, “Sesungguhnya itu bangkai.” Rasulallah SAW bersabda, “Bisa disucikan oleh air dan daun akasia.”
          Kesembilan: Firman Allah SWT, أَثَٰثٗا Alat-alat rumah tangga” Al ATsaats adalah peralatan rumah tangga. Bentuk tunggalnya adalah atsaatsah. Ini adalah ungkapan Abu Zaid Al Anshari.
          Al Umawi berkata, “Al Atsaats adalah perabotan rumah tangga bentuk tunggalnya adalah Aatsah dan Utstuts.”
          Selain keduannya mengatakan “Al Atsaats adalah semua jenis harta dan tidak ada bentuk tunggal dari lafadznya.”
          Al Khalil berkata, “Asalnya dari Al Katsrah dan terhimpunnya sebagian kekayaan dengan yang lain sehingga menjadi banyak.” Sebagai contohnya شَعْرٌ أَثِيْثٌ  “jika rambutnya banyak” أَثُّ شَعْرٌ يَأْثِ أَثًا “jika banyak dan lebat rambutnya”. Imru Al Qais berkata,
            وَفَرْعٍ يَزِيْنُ الْمَتْنَ أَسْوَدَ فَاحِمِ               أَثِيْثٍ كَقِنْوِ النَّخْلَةِ المُتَعَثْكِلِ
Rambut itu menghias bukit dengan warna hitam pekat
Banyak tumbuh bagai tangkai kurma yang bertumpuk”
          Dikatakan, “Al Atsaats adalah apa-apa yang dikenakan atau digelar, dan jika engkau telah mengadakan perabotan.
          Dari Ibnu Abbas RA  أَثَٰثٗا adalah harta, dan telah dibahas di muka ketika membahas Al Hiin. Berarti waktu tidak tertentu sesuai dengan tiap-tiap orang, baik berkenaan dengan kematian atau dengan hilangnya segala sesuatu yang tergolong perabotan. Sebagaimana ungkapan seorang penyair,
أَهَا جَتْكَ الظَّغَائِنُ يَوْمَ بَاتُوا         بِذِى الزَّيِّ الْجَمِيْلِ مِنَ الْأَثَاثِ
Dendam mengguncang irimu pada hari mereka tinggal
Dengan orang yang memiliki perhisan indah berupa perabotan.
6.                  Asy-Syu’ara’ ayat 149
وَتَنۡحِتُونَ مِنَ ٱلۡجِبَالِ بُيُوتٗا فَٰرِهِينَ ١٤٩
149. Dan kamu pahat sebagian dari gunung-gunung untuk dijadikan rumah-rumah dengan rajin
Firman Allah SWT, وَتَنْحِتُوْنَ مِنَ الْجِبَالِ بُيُوْتًا فَارِحِيْنَ “dan, kamu pahat sebagian dari gunung-gunung untuk dijadikan rumah-rumah dengan rajin.” An-Nahtu adalah An-Najru, memahat dan Al-Baryu, maraut. Nahata – Yanhitu dengan Kasrah – Nahtan, yaitu meraut. An-Nuhaatatu adalah Al-Buraayatu. Al-Minhat, alat memahat atau meraut. Di dalam surah Ash-Shaaffaat, Firmannya, أَتَعْبُدُوْنَ مَا تَنْحِتُوْنَ  “Apakah kamu menyembah patung-patung yang kamu pahat itu?” mereka memahat gunung-gunung untuk dijadikan rumah sehingga rumah mereka terlihat tinggi, setelah meruntuhkan rumah-rumah mereka sebelumnya.
        Ibnu Katsir, Abu Amru, Nafi’ membacanya, فَرِهِيْنَ tanpa alif, ulama lainnya membacanya فَارِهِيْنَ dengan alif. Keduanya bermakna tunggal menurut pendapat Abu Ubaidah dan lainnya, seperti firman-Nya, عِظَامًا نَّخِرَة “telah menjadi tulang belulang yang hancur lumat?” dan “naakhirah”. Demikian pula yang diriwayatkan Quthrub. Diriwayatkan: faruha-yafruhu-fa hua faarihun dan fariha-yafrahu-fahua farihun dan faarihun bermakna giat dan rajin. Di dalam ayat berada pada kedudukan manshub sebagai haal (penjelas keadaan).
            Sekelompok ulama membedakan dan berkata, “faarihiin” bermakna pandai dalam memahatnya. Demikian dikatakan Abu Ubaidah, dan diriwayatkan dari Ibnu Abbas, Abu Shalih dan Ulama selain makna keduanya.
            Abdullah nin Syaddad berkata, “Faarihiin” bermakna mutajabbirin, sombong. Diriwayatkan juga dari Ibnu Abbas bahwa makna “farihii” asyrriin bathiriin, gembira berlebihan hingga kufur nikmat. Demikian pula yang dikatakan Mujahid, dan darinya, syarhiin artinya lahap dan rakus.
            Adh-Dhahhak berkata, “Kayyisiin, pintar.” Qatadah berkata, “Mu’ajjibiina, menakjubkan.” Demikian yang dikatakan Al-Kalbi, dan darinya, “Naa’imiin, penuh dengan nikmat,” darinya juga, “Aaminiin, penuh rasa aman.” Ini juga pendapat Al-Hasan.
            Ada yang berpendapat, mutakhayyiriin, penuh dengan pilihan. Demikian yang dikatakan Al-Kalbi dan As-Suddi.
            Ada yang berpendapat, muta’ajjabiina, menakjubkan. Demikian yang dikatakan Khusaif. Ibnu Zaid berkata, “Aqwiyaa”, Orang–orang yang kuat.
            Ada yang berpendapat, farihiin bermakna farihiin, yang arti gembira. Demikian juga dikatakan Al-Akhfasy. Orang-orang arab bisa mengganti ha’ dengan hha’. Semisal anda berkata, madahtuhu dan madahtuhhu, saya memuninya. Maka, al farhu bermaknaal asyar al farhu, yaitu kegembiraan yang berlebihan. Al farhu juga bermakna al marahu yang tercela yakni sombong membanggakan diri. Allah SWT berfirman, وَلَا تَمْشِ فِى الأَرْضِ مَرَحًا “dan, janganlah kamu berjalan di muka bumi ini dengan sombong.” Firman-Nya juga : اِنَّ اللهَ لَا يُحِبُّ الفَرِحِيْنَ “sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang terlalu membanggakan diri.”
        فَأتَّقُوا اللهَ وَأَطِيْعُوْنِ ۞ وَلَا تُطِيعُوا أَمْرَ الْمُسْرِفُيْنَ  “maka, bertakwalah kepada Allah dan taatlah kepada. Dan, janganlah kamu menaati perintah orang-orang yang melewati batas.” Ada yang berpendapat, maksudnya adalah mereka yang menyembelih unta.
        Ada yang berpendapat, sembilan kelompok yang mengadakan kerusakan di muka bumi dan tidak berbuat kebaikan di dalamnya.
            As-Suddi dan Ulama lainnya berkata, “Allah SWT. Mewahyukan kepada Shalih AS, ‘sesungguhnya kaummu akan menyembelih untamu.’ Maka, Shalih AS berkata kepada kaumnya tentang hal demikian itu dan kaumnya berkata, ‘kami tidak akan melakukannya’.”
7.                  Saba’ ayat 13
يَعۡمَلُونَ لَهُۥ مَا يَشَآءُ مِن مَّحَٰرِيبَ وَتَمَٰثِيلَ وَجِفَانٖ كَٱلۡجَوَابِ وَقُدُورٖ رَّاسِيَٰتٍۚ ٱعۡمَلُوٓاْ ءَالَ دَاوُۥدَ شُكۡرٗاۚ وَقَلِيلٞ مِّنۡ عِبَادِيَ ٱلشَّكُورُ ١٣
13. Para jin itu membuat untuk Sulaiman apa yang dikehendakinya dari gedung-gedung yang tinggi dan patung-patung dan piring-piring yang (besarnya) seperti kolam dan periuk yang tetap (berada di atas tungku). Bekerjalah hai keluarga Daud untuk bersyukur (kepada Allah). Dan sedikit sekali dari hamba-hamba-Ku yang berterima kasih.
Dalam ayat ini terdapat delapan masalah, yaitu :
Pertama : Firman Allah SWT, مِن مَّحَارِيْبَ وَتَمَثِيْلَ “Dari gedung-gedung yang tinggi dan patung-patung.” Dalam bahasa, kata  المِحْرَابِ berarti setiap tempat yang tinggi. Ada mengatakan, bahwa tempat orang shalat disebut mihrab, sebab dia wajib meninggikan dan mengagungkan.
            Adh-Dhahhak berkata, “lafadz مِن مَّحَارِيْبَ  maksudnya adalah, dari masjid-masjid.
            Seperti ini juga pendapat yang dikatakan oleh Qatadah. Mujahid berkata, “kata مَّحَارِيْبَ adalah tempat yang ukurannya besar dan tingginya di bawah ukuran istana.”
            Abu Ubaidiyyah berkata, “Al-Mihraab adalahh bagian rumah yang paling mulia.”
            Ada juga yang berpendapat bahwa artinya adalah tempat yang dicapai dengan menaiki tangga seperti kamar yang paling bagus. Sebagaimana Allah SWT berfirman, إِذَ تَسَوَّرُوْا الْمِحْرَابَ “ketika mereka memanjat pagar? “ (Qs. Shaad ayat 21) dan firman Allah SWT, فَخَرَجَ عَلَى قَوْمِهِ مِنَ المِحْرَابَ “Maka ia keluar dari mihrab.” (Qs. Maryam ayat 11). Maksudnya, melihat dari atas mereka.
            Dalam riwayat disebutkan bahwa Sulaiman AS memerintahkan jin untuk membuat 1000 mihrab di sekitar kursinya. Di dalamnya terdapat 1000 laki-laki yang terus menerus berser kepada Allah. Dia berada di atas kursi yang mihrab-mihrab dibangun di sekitarnya. Dia berkata kepada tentaranya apabila dia mengendarai kendaraannya, “bertasbihlah kepada Allah sampai benda itu.” Lalu, apabila mereka sampai ke bandara tersebut, Sulaiman AS berkata, “bertasbihlah kepada bendera itu.” Apabila mereka sampai ke bendera tersebut, Sulaiman AS berkata lagi, “bertakbirlah sampai bendera lainnya.” Maka tentara-tentara serempak mengucapkan tasbih dan tahlil.
Kedua : Firman Allah SWT, وَتَمَا ثِيْلَ “dan patung-patung” adalah bentuk jamak dari تِمْثَالَ . artinya, setiapyang dibuat berbentuk, sepertibentuk binatang atau bukan binatang. Ada yang mengatakan bahwa ada beberapa patung yang terbuat dari kaca, tembaga dan tanah liat yang tidak berbentuk binatang. Ada juga yang menyebutkan bahwa patung-patung itu berbentuk para nabi dan para ulama. Patung-patung itu dibuat di masjid agar orang-orang melihatnya, maka mereka pun menambah ibadah dan kesungguhan. Rosulullah SAW bersabda,
اِنَّ أولَئِكَ كَانَ إِذَا مَاتَ فِيْهِمُ الرِّجُلُ الصَّالِحُ بَنَوْا عَلَى قَبْرِهِ مَسْجِيْدًا وَصَوَّرُوْا فِيْهِ تِلْكَ الصُّوَر.
“sesungguhnya apabila ada orang shalih dari mereka meninggal dunia maka mereka membangun di atas kuburannya sebuah masjid dan membuat patungnya di sana”.
            Maksudnya, agar mengingatkan mereka dangan ibadah sehingga mereka pun bersungguh-sungguh dalam ibadah. Ini menunjukan bahwa membuat patung adalah perbuatan yang dibolehkan pada masa itu. Lalu, kebolehan ini dihapus dengan syariat Nabi Muhammad SAW. Akan ada penjelasannya lebih lanjut tentang hal ini dalam surah Nuh.
            Ada yang berpendapat bahwa تَمَا ثِيْلَ artinya jimat-jimat yang sulaiman AS buat dan melarang setiap pembuat patung melampauwinya. Dan membuat patung lalat, nyamuk, atau buaya di suatu tempat dan memerintahkan mereka untuk tidak melampawinya, maka tidak ada seorangpun yang berani melampauinya selama-selamanya, selama patung itu masih berdiri.
            Bentuk tunggal تَمَا ثِيْلَ adalah تِمْثَالَ . seorang penyair mengungkapkan,
وَيَارَبِّ قَدْ لَهَوْتُ وَلَيْلَةٍ      بِانِسَةٍ كَاَنَّهَا خَطَّ تِمْثَال
“Wahai Tuhanku, sungguh aku telah lalai dan satu malam dengan perempuan perawan seakan-akan dia telah membuat patung”
Ada yang berpendapat bahwa patung-patung itu berbentuk laki-laki yang dibuat dari tembaga. Sulaiman AS memohon kepada Allah agar meniupkan ruh ke dalam patung-patung tersebut hingga mereka dapat berperang di jalan Allah dan tidak mempan terhadap senjata. Ada juga yang mendapat bahwa isfandiyar termasuk salah satu dari mereka. Wallahua’lam.
            Diriwayatkan bahwa mereka meletakkan untuk sulaiman AS dua ekor singa di bawa kursinya dan dua ekor burung elang di atasnya. Apabila dia hendak naik, maka kedua singa itu membentangkan kedua kaki depannya. Dan apabila dia telah duduk maka kedua burung-burung elang itu membentangkan kedua sayapnya.
Ketiga : Makki meriwayatkan dalam Al-Hidayah bahwa ada sekolompok ulama yang membolehkan membuat patung dan mereka berdalih dengan ayat ini, Ibnu Athiyyah berkata, “ini jelas keliru dan aku tidak pernah mendengar ada ahli ilmu yang membolehkannya."
            Menurut Qurtubi : apa yqng diriwayatkan oleh Makki ini telah disebutkan oleh Nuhas. Dia berkata. “suatu kaum berkata, ‘membuat patung itu boleh berdasarkan ayat ini dan berdasarkan apa yang diberitahukan oleh Allah tentang Al-Masih’. Suatu kaum lain berkata, ‘ada riwayat shahih dari Rasulullah SAW yang melarang membuat patung dan ancaman bagi orang yang membuatnya. Dengan demikian, Allah SWT menasakh apa yang dibolehkan sebelumnya. Rahasianya, karena ketika Rasulullah SAW diutus, patung-patung dijadikan sesembahan. Maka tindakan yang lebih baik adalah menghabisi patung-patung.”
Keempat : Patung itu ada dua : (1) patung binatang dan (2) benda mati. Benda mati terbagi dua, yaitu : tidak berkembang dan berkembang. Jin membuat seluruhnya untuk sulaiman AS, berdasarkan firman-Nya وَتَمَا ثِيْلَ . dalam riwayat isra’iliyat disebutkan bahwa patung-patung itu berbentuk burung, terletak di atas kursi Sulaiman AS.
            Jika ada yang mengatakan tidak ada keumuman bagi firman-Nya, وَتَمَا ثِيْلَ , sebab itu adalah itsbat (penetapan) pada nakirah dan itsbat (penetapan) pada nakirah tidak ada keumuman baginya. Keumuman hanya berlaku dalam bentuk nafi (peniadaan) pada nakirah.
            Jawab : memang benar, akan tetapi terkadang itsbat pada nakirah itu diiringi oleh sesuatu yang menurut mengartikannya atas keumuman, Di sini, sesuatu tersebut adalah firman Allah: مَا يَشَاءُ Adanya kehendak ini menurut adanya pemaknaan berdasarkan keumuman.
            Jika ada yang berkata, “bagaimana dibolehkan membuat patung-patung yang dilarang itu?” Kami menjawab bahwa membuat patung dibolehkan dalam syariat Sulaiman AS, lalu hal itu di nasakh dengan  syariat kita, sebagaimana yang telah kami jelaskan. Wallahua’lam.
            Diriwayatkan dari Abu Al-‘aliyah bahwa membuat patugng pada waktu itu tidaklah diharamkan.
Kelima : makna dalam hadits-hadits menunjukkan bahwa patung-patung atau gambar-gambar itu dilarang. Kemudian diriwayatkan , “kecuali hiasan di baju.” Artinya, neliau mengkhususkan ini dari gambar. Kemudian, ditetapkan kemakruhannya dengan sabda Rasulullah SAW kepada Siti Aisyah RA tentang pakaian, “jauhkan itu dariku, sebab sesungguhnya setiap kali aku melihatnya, aku teringat akan dunia.” Dengan merusak baju bergambar yang beliau larang tersebut, kemudian memotongnya menjadi bantal dan gambar itu sudah berubah dan tidak berbentuk lagi.
            Ini berarti bahwa gambar dibolehkan apabila bentuknya tidak utuh. Jika bentuknya utuh maka tidak dibolehkan. Hal ini berdasarkan perkataan Aisyah RA tentang bantal bergambar, “aku membelikannya untuk engkau agar engkau dapat duduk diatasnya dan menjadikannya sebagai bantal. Maka, beliau melarangnya dan mengancam perbuatannya.”
            Dijelaskan pula dengan Hadits shalat bahwa sebelumnya gambar itu dubolehkan untuk keperluan hiasan baju, kemudian larangan itu me-nasakh-nya. Seperti itulah hukum gambar. Demikian pendapat yang dikatakan oleh Ibnu Al-Arabi.
Keenam : Muslim meriwayatkan dari Aisyah RA, dia berkata, “kami memiliki tirai bergambar burung, apabila ada orang yang masuk kedalam rumah maka dia langsung berhadapan dengan tirai bergambar tersebut. Maka Rasulullah SAW bersabda,
حَوِّلِي هَذَا فَإِنِّي كُلَّمَا دَخَلْتُ فَرَأَيْتُهُ ذَكَرْتُ الدُّنْيَا.
‘Pindahkan tirai ini, sebab setiap kali aku masuk, lalu melihatnya, aku langusng teringat akan dunia’.”
            Aisyah RA berkata lagi, “kami memiliki sepotog kain beludru. Kami katakan gambarnyandari sutera. Kami biasa memakainya.”
            Diriwayatkan dari Aisyah RA juga, dia berkata, “Rasulullah SAW pernah masuk menemuiku saat aku terlindung oleh tirai tipis bergambar. Seketika itu juga, wajah beliau berubah, kemudia beliau mengambil tirai tersebut, lalu merusaknya. Beliau bersabda,
اِنَّ اَشَدَّ النَّاسَ عَذَابًا يَوْمَ الْقِيَامَةِ الَّذِيْنَ يُشَبُّهُوْنَ بِخَلْقِ اللهِ عَزَّ وَجَلَّ.
‘Sesungguhnya orang yang paling berat siksaannya pada hari kiamat adalah orang-orang yang meniru ciptaan Allah Azza Wa Jalla’.”
            Diriwayatkan dari Aisyah RA juga dia memiliki sebuah baju bergambar yang dibentangkan ke sebuah peti yang terletak agak ke bawah yang biasanya Rasulullah SAW shalat ke arah peti yang terletak agak ke bawah yang biasanya Rasulullah SAW shalat ke arah peti tersebut. Maka beliau bersabda, “Pindahkan ke Belakangkau.” Akupun memindahkannya, lalu ku......kan dua buah bantal.
            Sebagian ulama berkata, “Mungkin tindakan Nabi nerusak baju tersebut dan perintah beliau untuk memindahkannya ke belakang adalah sebagai sikap wara’, sebab tempat kenabian dan risalah adalah kesempurnaan. Oleh  karena itu, coba anda renungkan.”
Ketujuh : Al-Muzani berkata dari Asy-Syafi’i, “jika seseorang diundang ke sebuah pesta perkawinan, lalu dia melihat sebuah gambar sesuatu yang memiliki ruh atau beberapa gambar sesuatu yang memiliki ruh, maka dia tidak boleh masuk. Itu jika gambar tersebut ditegakkan. Jika gambar tersebut diinjak, maka tidaklah mengapa. Begitu juga, menurut mereka mengecualikan gambar hiasan dibaju, berdasarkan hadits Sahl bin Hunaif.”
            Menurut Al-Qurtubi : Rasulullah SAW melaknat orang-orang yang membuat gambar dan tidak membuat pengecualian. Beliau juga bersabda,
إِنَّ أَصْحَابَ هَذِهِ الصُّوَرِ يُعَذَّبُوْنَ يَوْمَ القِيَامَةِ وَيُقَالُ لَهُمْ أَحْيُوْا مَا خَلَقْتُمْ.
“Sesungguhnya orang-orang yang membuat gambar ini akan diadzab pada hari kiamat dan dikatakan kepada mereka, ‘Hidupkan apa yang kalian ciptakan’.”
Dalam hadits ini beliau tidak memberikan pengecualian.
            Dalam riwayat At-Tirmidzi, dari Abu Hurairah RA, dia berkata, Rasulullah SAW bersabda,
يَخْرُجُ عُنُقٌ مِنَ النَّارِ يَوْمَ القِيَامَةِ لَهُ عَيْنَانِ تُبْصِرَانِ وَأُذُنَانِ تَسْمَعَانِ وَلِسَانٌ يَنْتِقُ يَقُوْلُ : اِنِّ وُكِّلْتُ بِثَلَاثِ : بِكُلِّ جَبَّارٍ عَنِيْدٍ. وَبِكُلِّ مَنْ دَعَا مَعَ اللهِ اِلَهًا اَخَرَ. وَبَالْمُصَوِّرِيْنَ.
“Akan keluar leher dari api neraka pada hari kiamat. Ia memiliki dua mata yang dapat melihat, dua telinga yang dapat mendengar dan lidah yang dapat berbicara. Ia berkata, ‘sesungguhnya aku ditugaskan untuk menyiksa tiga golongan : setiap orang yang kasar lagi keras kepala, setiap orang yang menyeru tuhan selain Allah dan orang-orang yang membuat gambar’.”
            Abu Isa At-Tirmidzi berkata, “Hadits ini adalah hasan gharib shahih.” Dalam riwayat Al-Bukhari dan Muslim, dari Abdullah bin Mas’ud RA, dia berkata, “Rasulullah SAW bersabda, ‘Manusia yang paling berat siksaanya pada hari kiamat adalah orang-orang yang mebuat gambar.”
            Hadis ini menunjukan larangan menggambar apa pun. Allah SWT sendiri berfirman, مَّا كَانَ لَكُمْ أَن تُنْبَتُوْا شَجَرَهَا  “Kamu sekali-kali tidak mampu menumbuhkan pohon-pohonnya?” (Qs. An-Naml ayat 60).
Kedelapan : Mainan anak-anak perempuan atau boneka tidak termasuk dalam gambar atau patung yang dilarang. Karena ada riwayat dari Aisyah RA bahwa Rasulullah SAW menikahinya saat dia berusia 7 tahun dan menggaulinya saat dia berusia 9 tahun, Dan saat itu dia masih suka bermain dengan boneka. Sedangkan ketika Rasulullah SAW wafat, Aisyah RA baru berusia 18 tahun.
            Diriwayatkan dari Aisyah RA juga, dia berkata, “aku bisa bermain dengan anak-anak perempuan di dekat Rosulullah. Aku memiliki beberapa teman bermain. Apabila rasulullah SAW masuk, mereka menghilang dan masuk ke dalam rumah atau bersembunyi di balik tirai. Maka Rasulullah SAW mempersilakan mereka menemuiku dan mereka pun bermain bersamaku.”
            Kedua riwayat ini disebutkan oleh muslim. Para ulama berkata, “ini karena mainan anak-anak perempuan hingga mereka dapat berlatih mendidik anak-anak mereka. Selin itu, mainan itu pasti akan rusak. Begitu juga patung yang dibuat dari manisan atau adonan, pasti akan rusak karena dimakan. Oleh karena itu, boneka dan patung yang terbuat dari bahan yang manis dan adonan untuk dimakan dibolehkan. Wallahua’lam.”
            وَجَفَانٍ كَا لْجَوَابِ  “Dan piring-piring yang (besarnya) seperti kolam.” Ibnu Arofa berkata, “kata اَلْجَوَابِى adalah bentuk jamak dari الجَابِيَة yang berarti lubang seperti telaga (kolam).”
            Dia juga berkata, seperti tempat minum unta.”
            Ibnu Al-Qasim berkata dari Malik, “Seperti lubang di tanah. Semua makna di atas jauh berbeda. Satu piring itu untuk seribu orang.”
            An-Nuhas berkata, “Firman Allah SWT, وَجِفَانٍ كَالْجَوَابِ pada mulanya dengan huruf ‘ya dan siapa yang membuang huruf ya’, berarti dia mengatakan jalan alif dan lam masuk atas nakirah. Dengan demikian itu tidak merubahnya dari keadaannya. Ketika dikatakan, جَوَابٍ dan masuk alif dan lam, berarti dia menetapkan atas keadaannya, maka dihilangkan huruf ya’, bentuk tunggal اَلْجَوَابِى adalah جَابِيَة yang artinya periuk besar dan telagabesar lagi lebar yang dapat menampung sesuatu. Contoh lain, جَبَيْتُ الخَرَاج وَجَبَيْتُ الجَرَاد (aku buat pakaian, lalu aku kumpulkan padanya).
            Akan tetapi Al-Laits meriwayatkan dari Mujahid, dia berkata, “kata اَلْجَوَابِى adalah bentuk jamak dari  جَوْبَة. Kata جَوْبَة sendiri berarti lubang besar yang ada di gunung dan di dalamnya tertampung air hujan.
            Al-kisa’i berkata, “kata جَبَوْتُ الْمَائِعَ فِي الحَوْضِ وَجَبْتُهُ , berarti aku kumpulkan air di telaga atau kolam. Kata الجَابِيَة berarti telaga atau kolam yang digunakan untuk tempat mengumpulkan air untuk unta.”
            وَقُدُوْرٍ رَّاسِيَاتٍ “dan periuk yang tetap (berada di atas tungku).” Sa’id bin Jubair berkata, “Maksudnya periuk-periuk tembaga yang yang ada di persia.”
            Adh-Dhahhak berkata, “itu adalah periuk-periuk yang dibuat dari gunung.”
            Yang lain berkata, “diukir dari gunung-gunung yang diam dari apa yang dibuat oleh para syetan untuk Sulaiman AS. Tungku periuk itu diantaranya adalah gunung-gunung yang diukirnya, begitu juga gunung-gunung lainnya.”
            Makna رَّاسِيَاتٍ adalah tetap atau kokoh. Tidak dapat dibawa dan tidak dapat digerakkan, karena begitu besarnya.
            Ibnu Al-Arabi berkata, “begitu juga periuk-periuk Abdullah bin Ju’dan. Pada masa jahiliyyah, untuk mencapai bagian atas periuk-periuk itu bisa digunakan tangga.”
            Ibnu Al-Arabi juga berkata, “aku pernah melihat di taman Abu Sa’id periuk-periuk sufi seperti itu. Mereka menggunakannya untuk memasak bersama dan makan bersama tanpa ada pengutamaan seseorang dari mereka atas orang lainnya.”
            Firman Allah SWT. إعْمَلوْا ءَالَ دَاوُدَ شُكْرًا وَقَلِيْلٌ مِّن عِبَادِىَ الشَّكُوْرُ “bekerjalah hai keluarga Daud untuk bersyukur (kepada Allah). Dan sedikit sekali dari hamba-hambaKu yang berterima kasih.” Makna Syukur (terima kasih) telah dijelaskan salam surah Al-Baqarah dan lainnya.
            Diriwayatkan bahwa Rasullullah SAW naik ke atas mimbar, lalu beliau membaca ayat ini. Kemudian beliau bersabda, “ada tiga hal yang siapa diberi tiga hal tersebut maka sungguh dia telah diberi apa yang diberikan kepada keluarga Daud.” Para sabahat bertanya, “Apakah tiga hal itu?” Beliau menjawab,
العَدْلُ فِي الرِّضَا وَالغَضَبِ, وَالقَصْدُ فِي الفَقْرِ وَالغِنَى, وَخَشْيَةُ اللهِ فِي السِّرِّ وَالْعَلَانِيَّةِ.
            “Sikap adil itu ditunjukkan saat ridha dan marah, tidak berlebihan, pada saat fakir dan kaya, dan takut kepada Allah pada saat sendirian dan bersama orang banyak.”
            Hadits ini diriwayatkan oleh At-Tirmidzi Al-Hakim Abu Abdullah, dari Atha’ bin Yassar, dari Abu Hurairah RA.
            Diriwayatkan bahwa Daud AS berkata, “wahai Tuhanku, bagaimana aku dapat mensyukuri semua nikmat-Mu, sementara ilham dan kemampuanku untuk mensyukuri nikmatmu merupakan nikmat untukku juga.” Tuhan berfirman, “Hai Daud, sekarang kamu telah mengenal-Ku.” Hal ini telah dipaparkan dalam surat Ibraahiim.
            Syukur pada hakikatnya adalah mengakui nilmat milik Tuhan yang memberi nikmat dan menggunakan nikmat itu dalam taat kepada-Nya. Sedangkan ingkar nikmat adalah menggunakannya dalam kemaksiatan.
            Sedikit sekali orang yang mengakui nikmat dari Tuhan yang memberi nikmat dan menggunakannya dalam ketaatan, sebab kebaikan lebih sedikit dari kejahatan dan ketaatan, lebih sedikit dari kemaksiatan, sesuai dengan ketentuan.
            Mujahid berkata, “ketika Allah Azza wa Jalla berfirman, إِعْمَلوْا ءَالَ دَاوُدَ شُكْرًا  Bekerjalah hai keluarga Daud untuk untuk bersyukur (kepada Allah), Daud berkata kepada Sulaiman AS, ‘Sesungguhnya Allah Azza wa Jalla menyebutkan syukur. Maka lakukanlah shalat siang dan akan melakukan shalat malam’. Sulaiman AS menjawab, ‘Aku tidak sanggup’. Daud berkata. ‘kalau begitu, lakukanlah – Al-Fariyabi berkata bahwa menurutku Daud berkata, ‘sampai shalat dzuhur’. – Sulaiman menjawab, ‘baik’. Maka dia pun mencukupkan Sulaiman AS dengan itu.”
            Az-Zuhri berkata, Firman Allah SWT, إِعْمَلوْا ءَالَ دَاوُدَ شُكْرًا  maksudnya adalah, ucapkanlah, ‘Alhamdulillaah.”
            Kata شُكْرًا berada pada posisi nashab sebagai maf’ul (obyek). Maksudnya adalah, lakukanlah suatu amalan, yaitu Syukur. Seakan-akan shalat, puasa dan ibadah-ibadah lainnya sebenarnya adalah syukur, karena menempati tempat syukur. Hal    ini   juga    dijelaskan oleh   firman   Allah  Azza  wa Jalla, اِلَّا الّذِيْنَ ءَامَنُوْا وَعَمِلُوا الصَّالِحَاتِ وَقَلِيْل مَّا هُمْ “kecuali orang-orrang yang beriman dan mengerjakan amal shaleh, dan amat sedikitlah mereka ini.” (Qs. Shaad ayat 24) inilah yang dimaksudkan dengan firman-Nya,  وَقَلِيْلٌ مِّن عِبَادِىَ الشَّكُوْرُ”dan sedikit sekali dari hamba-hamba-Ku yang berterima kasih.”
            Sufyan bin Uyainah mengatakan ketika menakwilkan firman Allah SWT, أنِ آشْكُرْ لِلهِ “Yaitu, Bersyukurlah Kepada Allah,” (Qs. Luqman ayat 12). Bahwa maksud Syukur Kepada Allah itu adalah Shalat 5 waktu.
            Dalam Shahih muslim diriwayatkan dari Aisyah RA bahwa Rasulullah SAW sering bangun di malam hari hingga kedua kaki beliau bengkak. Aisyah RA pun berkata kepada Beliau, “kenapa kau lakukan hal ini, padahal Allah telah mengampuni apa yang terdahulu dari dosamu dan yang akan datang?” Rasulullah SAW menjawab,
أَفَلَا اَكُوْنَ عَبْدًا شًكُوْرًا
“Apakah aku tidak ingin menjadi hamba yang banyak bersyukur.”
            Hadis ini hanya diriwayatkan oleh Muslim.
            Berdasarkan pernyataan Al-Quran dan As-Sunnah, maka syukur itu dengan amal fisik, tidak hanya dengan amal lisan saja. Syukur dengan perbuatan adalah amalan tubuh dan syukur dengan ucapan adalah lisan. Wallahua’lam.
            وَقَلِيْلٌ مِّن عِبَادِىَ الشَّكُوْرُ “dan sedikit sekali dari hamba-hambaKu yang yang berterima kasih.” Biasa jadi firman iniuntuk keluarga Daud AS dan bisa jadi juga firman ini untuk Muhammad SAW.
            Ibnu Athiyyah berkata : ayat ini ditujukan kepada siapa pun. Yang jelas di dalam ayat ini terdapat peringatan dan anjuran. Umar Bin Khattab RA pernah mendengar seorang laki-laki berkata, “Ya Allah, jadikanlah aku dari yang sedikit.” Umar pun bertanya, “Apa maksud doa ini?” laki-laki itu menjawab, “yang    aku   maksudkan    dalam    firman  Azza   wa   jalla, وَقَلِيْلٌ مِّن عِبَادِىَ الشَّكُوْرُ . “ maka Umar berkata, “ setiap orang lebih tahu darimu, hai Umar!”
            Diriwayatkan bahwa Sulaiman AS biasa makan Sya’ir (jenis gandum), memberi makan keluarganya dengan Khasykar dan memberi makan orang-orang miskin dengan tepung putih. Ada yang mengatakan bahwa Sulaiman AS biasa makan pasir dan mejadikannya sebagai bantal. Namun yang benar adalah yang pertama, sebab pasir bukan makanan.
            Diriwayatkan juga bahwa Sulaiman AS tidak merasa kenyang. suatu ketika, dia ditanya tentang hal ini, maka dia menjawab “aku takut jika aku kenyang, aku akan melupakan lapar.” Ini termasuk sikap syukur dan termasuk hal yang sedikit. Oleh karena itu, renungkanlah. Wallahua’lam...
8.            An-Nur ayat 35
۞ٱللَّهُ نُورُ ٱلسَّمَٰوَٰتِ وَٱلۡأَرۡضِۚ مَثَلُ نُورِهِۦ كَمِشۡكَوٰةٖ فِيهَا مِصۡبَاحٌۖ ٱلۡمِصۡبَاحُ فِي زُجَاجَةٍۖ ٱلزُّجَاجَةُ كَأَنَّهَا كَوۡكَبٞ دُرِّيّٞ يُوقَدُ مِن شَجَرَةٖ مُّبَٰرَكَةٖ زَيۡتُونَةٖ لَّا شَرۡقِيَّةٖ وَلَا غَرۡبِيَّةٖ يَكَادُ زَيۡتُهَا يُضِيٓءُ وَلَوۡ لَمۡ تَمۡسَسۡهُ نَارٞۚ نُّورٌ عَلَىٰ نُورٖۚ يَهۡدِي ٱللَّهُ لِنُورِهِۦ مَن يَشَآءُۚ وَيَضۡرِبُ ٱللَّهُ ٱلۡأَمۡثَٰلَ لِلنَّاسِۗ وَٱللَّهُ بِكُلِّ شَيۡءٍ عَلِيمٞ ٣٥
35. Allah (Pemberi) cahaya (kepada) langit dan bumi. Perumpamaan cahaya Allah, adalah seperti sebuah lubang yang tak tembus, yang di dalamnya ada pelita besar. Pelita itu di dalam kaca (dan) kaca itu seakan-akan bintang (yang bercahaya) seperti mutiara, yang dinyalakan dengan minyak dari pohon yang berkahnya, (yaitu) pohon zaitun yang tumbuh tidak di sebelah timur (sesuatu) dan tidak pula di sebelah barat(nya), yang minyaknya (saja) hampir-hampir menerangi, walaupun tidak disentuh api. Cahaya di atas cahaya (berlapis-lapis), Allah membimbing kepada cahaya-Nya siapa yang dia kehendaki, dan Allah memperbuat perumpamaan-perumpamaan bagi manusia, dan Allah Maha Mengetahui segala sesuatu.
Kata النُّوْر dalam bahasa arab adalah cahaya yang dapat dilihat dengan penglihatan. Kata ini kemudian digunakan secara majaz untuk makna-makna yang benar dan nampak. Contohnya adalah كَلَامٌ لَهُ نُوْرٌ  (perkataan yang memberikan penjelasan) dan الكِتَابُ مُنِيْرٌ (kitab yang meberikan penjelasan) orang mengatakan, فُلَانٌ نُوْرُ الْبِلًادِ وَشَمْسٌ العَصْرِ وَقَمَرِهِ (si fulan adalah cahaya negeri, matahari dan bulan zaman).
Seorang penyair mengungkapkan,

فَإِنَّكَ شَمْسٌ وَالْمُلُوْكُ كَوَاكِبٌ

Sesungguhnya engkau adalah matahari, sedang para raja adalah binatang.
Penyair yang lain mengatakan,

إِذَا سَارَ عَبْدُ اللهِ مِنْ مَرْوَ لَيْلَةً      فَقَدْ سَارَمِنْهَا نُوْرُهَا وَجَمَالُهَا

Apakah Abdullah pergi dari Marwa berjalan di malam hari,
Maka sesungguhnya telah pergi darinya cahayanya dan keindahannya
Dengan demikian, boleh dikatakan, لِلهِ تَعَالَى نُوْرٌ  (bagi Alah cahaya), saat hendak mengungkapkan sebuah sanjungan. Sebab Allah-lah yang mengadakan segala sesuatu, dan dia adalah cahaya segala sesuatu, dari Allah lah cahaya itu bermula dan dari Allah pula cahaya itu bersumber. Namun Allah SWT bukanlah cahaya yang dapat dilihat dengan penglihatan. Maha Perkasa dan Maha Tinggi Allah dari apa yang telah dikatakan oleh orang-orang dzolim, dengan se tinggi-tingginya.
Hisyam Al-Jawaliki dan sekelompok penganutaliran Mujassimah berkata, “Allah adalah cahaya tapi tidak seperti cahaya, dan Allah adalah jism (fisik) tapi tidak seperti jism.”
Semua itu merupakan hal yang mustahil bagi Allah, baik menurut logika maupun menurut dalil Agama. Hal ini sebagaimana telah diketahui dalam pembahasan ilmu kalam (teologi).
Selain itu, apa yang mereka katakan itu pun saling bertentangan. Perkataan mereka jism atau cahaya merupakan penetapan atas hakikat itu kepada Allah, sementara ucapan mereka tidak seperti cahaya dan tidak seperti jism merupakan sebuah peniadaan atas apa yang sudah mereka tetapkan. Hal itu tentu saja saling bertentangan. Penelitian mengenai hal ini terdapat di dalam ilmu kalam.
Hal yang membuat mereka berpendapat demikian adalah zhahir beberapa keterangan yang mereka telusuri, antara lain adalah ayat ini. Selain itu, sabda Rasulullah SAW, “Apabila seseorang bangun tengah malam untuk bertahajud, (lalu dia membaca), ‘ya Allah, bagi-Mu semua pujian. Engkau adalah cahaya langit dan bumi...’.” juga sabda beliau, “Aku melihat cahaya” saat beliau ditanya, “apakah engkau melihat tuhanmu?” dan beberapa hadis lainnya.
Para ulama berbeda pendapat tentang takwil firman Allah tersebut.
Menurut satu pendapat, makna firman Allah tersebut adalah, karena Allah dan kekuasaan-Nya lah cahaya-cahaya itu dapat terpncar, keberadaannya bisa stabil, dan hasilnya bisa terwujud. Firman Allah itu merupakan sebuah upaya untuk mendekatkan pengertian tersebut kedalam logika manusia. Contohnya adalah kalimat الْمَلِكُ نُوْرُ اَهْلِ الْبَلَدِ (raja adalah cahaya penduduk negeri), yakni padanyalah terdapat kendali persoalan, dan kebaikan semuanya.
Dengan demikian, jika ungkapan tersebut dinisbatkan kepada raja, maka itu merupakan sebuah majaz. Tapi jika ungkapan itu dinisbatkan kepada sifat Allah, maka itu merupakan hakikat yang sesungguhnya. Karena Allah-lah yang menciptakan segala yang ada, dan Dia-lah yang menciptakan akal sebagai cahaya dan pemberi petunjuk. Sebab kemunculan segala sesuatu yang ada oleh dzat-Nya yang sudah terjadi, sebagaimana kemunculan hal-hal yang dapat dilihat oleh cahaya sudah terjadi pula. Maha suci Allah yang tiada tuhan yang hak selain Dia. Pengertian inilah yang dikemukakan oleh Mujahid, Az-Zuhri dan yang lainnya.
Ibnu Arafah berkata, “Makna firman Allah tersebut adalah, Allah adalah yang menerangi langit dan bumi.”
Pendapat ini pula yang dikemukakan oleh Adh-Dhahak dan Al-Qurazhi. Firman Allah itu seperti kalimat, فُلَانِ غِيَاثُنَا  (pulan adalah penolong kami). Atau  فُلَانٌ زَادِيْ (fulan adalah bekalku).
Jarir mengungkapkan,

وَاَنْتَ لَنَا نُوْرٌ وَغَيْثٌ وَعِصْمَةٌ       وَنَبْتُ لِمَنْ يَرْجُوْ نَدَاكَ وَرِيْقُ

Dan Bagi kami engkau adalah cahaya, hujan, perlindungan, tumbuhan, dan air liur bagi orang-orang yang ingin menyeru-Mu.
Mujahid berkata, “makna firman Allah tersebut adalah, Allah adalah pengatur urusan di langit dan bumi.”
Ubay bin Ka’b, Hasan, dan Abu Al-Aliyah mengatakan bahwa makna firman Allah tersebut adalah, Allah penghias langit dengan matahari, bulan dan bintang, dan penghias bumi dengan para Nabi, Ulama, dan orang-orang Beriman.
Ibnu Abbas dan Anas berkata, “Makna firman Allah tersebut adalah, Allah adalah pemberi petunjuk kepada penduduk langit dan bumi.”
مَثَلُ نُوْرِهِ “perumpamaan cahaya Allah,” maksudnya adalah, perumpamaan petunjuk-petunjuk-Nya yang telah dibenamkan di dalam hati orang-orang beriman. Petunjuk-petunjuk itu disebut dengan cahaya. Hal ini sebagaimana Allah menanamkan kitab-Nya dengan cahaya. Allah SWT berfirman,  وَأَنْزَلْنَا اِلَيْكُمْ نُوْرًا مُّبِيْنَا “dan telah kami turunkan kepadamu cahaya yang terang benderang (Al-Quran).” (Qs. An-Nisaa’ ayat 174).
Allah juga menanamkan Nabi-Nya dengan cahaya. Allah SWT berfirman, قَدْ جَاءَ كُمْ مِنَ اللهِ نُوْرٌ وَكِتَابٌ مُّبِيْنَ  “Sesungguhnya telah datang kepadamu cahaya dari Allah, dan Kitab yang menerangkan.” (Qs. Al-Maidah ayat 15) sebab kitab tersebut dapat memberikan petujuk dan penjelasan. Demikian pula dengan rasul-Nya.
Alasan kenapa kata (Nur) di idhafahkan kepada Allah, karena Allah-lah yang menetapkan, menerangkan, dan Mensyariatkan petunjuk-petunjuk tersebut.
Ayat ini pun mengandung makna lain, yang tidak saling menghadapkan antara bagian-bagian perumpamaan dan bagian-bagian yang diumpamakan, akan tetapi kesamaan (antara perumpamaan dan yang diumpamakan) itu terjadi secara kalimat per kalimat. Makna lain itu adalah, perumpamaan cahaya Allah yang tak lain adalah petunjuk-Nya, kepiawaian-Nya dalam menciptakan semua makhluk, dan dalil-dalil-Nya yang bersinar, adalah seperti kalimat ini (maksudnya kalimat yang ada pada ayat 35 surah An-Nuur ini), yaitu cahaya yang kalian ambil dengan sifat seperti ini, yang merupakan sifat yang psling tinggi dari sifat cahaya yang ada di tangan manusia. Perumpamaan cahaya Allah –dalam hal kejelasannya- adalah seperti cahaya yang paling puncak ini, wahai sekalian manusia.
Kata المِشْكَاة adalah lobang di dinding yang tidak tembus. Pendapat ini dikemukakan oleh Ibnu Jubair dan Mayoritas Ahli Tafsir. Makna ini paling sesuai dengan cahaya. Sebab pelita yang ada di dalam itu lebih terang daripada pelita yang berada di tempat lain.
Makna asal المِشْكَاة adalah tempat penyimpanan sesuatu. Kata ini juga mengandung makna wadah yang terbuat dari kulit, yang digunakan untuk mendinginkan air. Selain itu, kata ini adalah kata yang sesuai denga pola kata مِفْعَلَة seperti مِقْرَاة dan  مِصْفَاة.
Seorang penyair mengungkapkan,

كَأَنَّ عَيْنَيْهِ مِشْكَاتَانِ فِيْ حَجَرٍ     قِيْضَا إقْتِيَاضًا بِأَطرَافِ الْمَنَاقِيْرِ

Seolah-olah kedua matanya adalah dua lubang yang tidak tembus, yang ada di sebongkah batu.
Kedua lubang itu dibuang menggunakan ujung minqaar (beliung)
Menurut satu pendapat, kata المِشْكَاة adalah tiga pelita yang di sanalah terdapat sumbu.
Mujahid berkaya, “Al-Misykaah adalah pelita.”
فِى زُجَاجَةٍ “di dalam kaca”. Sebab kaca adalah benda yang transparan. Pelita yang berada di dalam kaca akan lebih terang daripada pelita yang tidak berada di dalamnya. Kata المِصْبَاح adalah sumbu berikut apinya.
كَأَنَّهَا كَوْكَبٌ دُرِّىٌّ “(dan) kaca itu seakan-akan bintang (yang bercahaya) seperti mutiara.” Maksudnya adalah, dalam hal memberikan penerangan dan penyinaran. Firman Allah ini mengandung dua makna, yaitu (1) boleh jadi maksudnya kaca dengan pelita itu memang demikian, atau (2) boleh jadi maksudnya kaca itu memang demikian dengan sendirinya, karena kejernihan dan kualitas dzatnya. Penakwilan ini sangat relevan dengan cahaya.
Adh-Dhahak berkata, “Al-Kaukab Ad-Durri (bintang yang bercahaya seperti mutiara) adalah venus.”
يُوْقَدُ مِنْ شَجَرَةٍ مُّبَارَكَةٍ  “yang dinyalakan dengan minyak dari pohon yang banyak berkahnya,” maksudnya adalah, dengan minyak dari pohon. Mudhaf (Zait) dalam hal ini dibuang. Makna مُبَارَكَةٍ adalah yang ditumbuhkan. Zaitun termasuk buah yang paling agung pertumbuhannya. Demikian pula dengan delima. Pengertian firman Allah memang menghendaki demikian.
Menurut satu pendapat, sebagian dari keberkahan pohon zaitun dan delia adalah rantingnya yang berdaun mulai bawah sampai atasnya.
Ibnu Abbas berkata, “ada beberapa manfaat yang dapat diambil dari zaitun. Minyaknya dapat digunakan untuk menyalakan pelita, dijadikan sebagai makanan, minyak, dan dapat digunakan sebagai alat untuk menyamak. Kayu bakarnya dan buihnya dapat digunakan sebagai alat untuk menyamak. Kayu bakarnya dan buihnya dapat digunakan sebagai bahan bakar. Tidak ada sesuatu pun padanya kecuali ia megandung manfaat. Hingga abunya pun dapat digunakan untuk mencuci sutera. Ia adalah pohon pertama yang tumbuh di dunia. Ia juga pohon pertama yang tumbuh setelah bajir bandang. Ia tumbuh di tempat para nabi dan di tanah yang suci. Tujuh puluh ribu orang nabi mendoakan keberkahan untuknya. Di antara mereka adalah ibrahim dan Muhammad. Beliau bersabda, ‘ya Allah, berkahkan-lah keberkahan pada minyak dan zaitun’. Beliau mengatakan itu dua kali.”
لَا شَرْقِيَّةٍ وَلَا غَرْبِيَّةٍ “yang tumbuh tidak di sebelah timur (sesuatu) dan tidak pula di sebelah baratnya(nya). “para ulama berbeda pendapat tentang firman Allah SWT,  لَا شَرْقِيَّةٍ وَلَا غَرْبِيَّةٍ “yang tumbuh tidak di sebelah timur (sesuatu) dan tidak pula di sebelah barat(nya).”
Ibnu Abbas, Ikrimah, Qatadah dan lainnya mengatakan bahwa Asy-Syarqiyyah adalah pohon yang terkena (sinar) matahari pada saat terbit namun tidak terkena cahaya nya pada saat terbenam. Sebab pohon ini terhalang. Sedangkan Al-Gharbiyyah adalah lawan Asy-Syarqiyyah,”
Maksud Firman Allah tersebut adalah, pohon itu adalah pohon yang berada di gurun pasir, yang terbuka di atas permukaan tanah, dan yang tidak memiliki sesuatu pun yang menghalanginya dari sinar matahari. Hal itu membuat minyaknya menjadi sangat baik. Ia tidak murni berada di timur sehingga disebut Syarqiyyah, dan tidak pula murni berada di wilayah barat sehingga di sebut Gharbiyyah. Akan tetapi ia adalah pohon yang berada di wilayah timur tapi juga berada di wilayah barat.
Ath-Thabari mengutip dari Ibnu Abbas bahwa ia adalah pohon yang berada di sekeliling pohon-pohon besar. Ia tidak terbuka dari arah timur dan tidak pula dari arah barat.
Ibnu Athiyyah berkata, “pendapat ini tidak sah bersumber dari Ibnu Abbas. Sebab buah dengan sifat seperti ini akan rusak sebelum di petik. Hal ini dapat disaksikan secara nyata.”
Al-Hassan berkata, “pohon ini bukanlah pohon dunia. Akan tetapi, ia adalah perumpamaan yang Allah gunakan untuk cahaya-Nya. Seandainya pohon tersebut ada di dunia, maka ia berada di timur atau di barat.
Ats-Tsa’labi berkata, “Al-Quran menyatakan dengan tegas bahwa ia adalah pohion yang berada di atas dunia. Sebab lafadz Asy-Syarqiyyah itu merupakan badal bagi lafal Asy—Syajarah.  Allah SWT berfirman زَيْتُوْنَةٍ (Yaitu) pohon Zaitun.
Ibnu Zaid berkata, “pohon itu adalah pohon yang ada di Syam”. Sebab pohon yang ada di Syam adalah pohon yang tidak ada di timur dan tidak ada di barat. Pohon yang berada di syam yang terbaik. Sebab syam adalah tanah yang diberkati.
Lafadz شَرْقِيَّةٍ adalah na’t (sifat) bagi lafadz زَيْتُوْنَةٍ sedangkan huruf لَا yang terdapat pada firman Allah tersebut tidak menghalangi antara na’t (sifat) dan man’ut (yang disifati). Lafadz وَلَا غَرْبِيَّةٍ di Athafkan kepada Lafadz لَا شَرْقِيَّةٍ .
يَكَادُ زَيۡتُهَا يُضِيٓءُ وَلَوۡ لَمۡ تَمۡسَسۡهُ نَارٞۚ “yang minyaknya (saja) hampir-hampir menerangi, walaupun tidak disentuh api, “ini merupakan penekanan tentang kebaikah, kejernihan, dan kwalitas minyak tersebut.
نُّورٌ عَلَىٰ نُورٖۚ  “cahaya di atas cahaya (berlapis-lapis).” Maksudnya adalah, pada lubang yang tidak tembus itu terkumpul cahaya pelita, kemudian cahaya, kemudian cahaya minyak, sehingga – karena itu- cahaya itu menjadi cahaya. Cahaya-cahaya itu tertahan di lubangyang tidak tembus, sehingga menjadi seperti cahaya di atas cahaya yang belum pernah ada. Demikian juga dengan hujjah-hujjah Allah yang sangat jelas. Hujjah itu adalah hujjah di atas hujjah dan peringatan di atas peringatan, seperti pengutusan-Nya terhadap rosul dan penurunan-Nya terhadap kitab.
Ada beberapa nasihat yang terkandung di dalam ayat tersebut bagi logika manusia yang mau mengambil pelajaran.
Selanjutnya, Allah SWT menyebutkan bimbingan-Nya untuk menuju cahaya-Nya yang diberikan kepada siapa saja dan yang dapat membahagiakan hamba-hamba-Nya. Allah juga menyebutkan karunia-Nya yang diberikan kepada hamba-hamba-Nya dengan membuat perumpamaan-perumpamaan ini, agar mereka dapat mengambil pelajaran dan penghayatan yang akan menyampaikan pada keimanan.
Abdullah bin Asyyasy bin Abu Rabi’ah dan Abu Abdurrahman As-Sulami membaca اللهُ نُوْرُ  dengan lafadz اَللهُ نَوَّرَ yakni dengan harakat fathah pada huruf nun dan waw bertasydid.
Para Ahli Tafsir nerbeda pendapat tentang kembalinya dhamir (kata ganti) yang terdapat pada lafadz  نُوْرِهِ .kepada siapakah dhamir itu kembali?
Ka’b Al-Ahbar dan Ibnu Jubair mengatakan bahwa dhamir itu kembali kepada Muhammad. Maksudnya, perumpamaan cahaya Muhammad.
Ibnu Al-Anbari berkata. “Firman Allah SWT, ٱللَّهُ نُورُ ٱلسَّمَٰوَٰتِ وَٱلۡأَرۡضِ  ‘Allah (pemberi) cahaya (Kepada) langit dan bumi’. Disinilah waqaf yang baik. Lalu ayat ini diteruskan dengan Lafadz, مَثَلُ نُورِهِۦ كَمِشۡكَوٰةٖ فِيهَا مِصۡبَاحٌۖ ‘perumpamaan cahaya Allah adalah seperti sebuah lubang yang tak tembus, yang di dalamnya ada pelita besar’, dengan makna cahaya Muhammad.
Ubay bin Kaab. Ibnu Jubair dan Adh-Dhahak mengatakan bahwa dhamir tersebut kembali kepada orang-orang yang beriman. Di dalam qiraah (mushaf) ubay disebutkanمَثَلُ نُوْرِ الْمُؤْمِنِيْنَ  “perumpamaan cahaya orang-orang beriman.”
Diriwayatkan pula bahwa dalam qiraah-nya disebutkan, مَثَلُ نُوْرِ الْمُؤْمِنِيْنِ “perumpamaan cahaya orang beriman.” Selain itu diriwayatkan bahwa dalam  qiraah -  nya disebutkan, مَنْ أَمَنَ بِهِ   مَثَلُ نُوْرِ “perumpamaan cahaya orang beriman kepadanya.”
Al-Hasan berkata, “Dhamir (kata ganti) tersebut kembali kepada Al-Quran dan Keimanan.”
Jika berdasarkan kepada pendapat-pendapat tersebut, maka firman Allah tersebut dibaca waqaf pada lafadz, وَالْاَرْضِ .
Ibnu Athiyyah berkata, “dalam beberapa pendapat tersebut terdapat pengambilan dhamir kepada orang yang belum pernah disebutkan sebelumnya. Selain itu, dalam beberapa pendapat itu terdapat pertentangan antara bagian-bagian perumpamaan dan bagian-bagian yang diumpamakan. Jika berdasarkan pendapat yang menyatakan bahwa yang diumpamakan adalah Muhammad –ini adalah pendapat Ka’b al-Habr-, maka Rasulullah SAW atau dada beliau adalah lubang yang tidak tembus. Al-Mishbaah (pelita) adalah kenabian dan hal-hal yang berhubungan dengan kenabian yaitu perbuatan dan petunjuk beliau. Az-Zujaajah (kaca) adalah hati beliau, dan Asy-Syajaarah Al-Mubarokah (pohon yang banyak berkahnya) adalah wahyu dan malaikat, utusan Allah kepada beliau sekaligus sebab yang menjadi perantara, dan Az-Zait (minyak) adalah hujjah-hujjah, keterangan-keterangan serta ayat-ayat yang dikandung wahyu.”
Jika berdasarkan kepad pendapat-pendapat orang-orang mengatakan bahwa yang diumpamakan adalah seorang mukmin –ini adalah pendapat ubay-, maka Al-Misykaah (lubang yang tidak tembus)adalah dada beliau, Al-Mishbaah (pelita) adalah keimanan dan ilmu pengetahuan, Az-Zujaajah (kaca) adalah hati beliau, dan minyak pelita itu adalah hujjah-hujjah dan hikmah yang terkandung di dalamnya.
Ubay berkata, “dia (orang yang beriman) berada pada kondisi terbaik. Dia berjalan di antara manusia seperti orang hidup yang berjalan di kuburan orang-orang yang sudah meninggal dunia.”
Jika berdasarkan pendapat orang-orang yang mengatakan bahwa yang diumpamakan adalah Al-Quran dan keimanan, maka perkiraan maknanya adalah, perumpamaan cahaya Al-Quran yang tak lain adalah keimanan yang  ada di dalam dada orang yang beriman, tepatnya ada di dalam hatinya, adalah seperti cahaya yang tidak tembus itu. Yakni seperti kalimat ini (maksudnya, kalimat yang ada pada ayat 35 surat An-Nur ini).
Pendapat ini tidak saling mengadakan (antara bagian-bagian perumpamaan dan bagian-bagian yang diumpamakan) seperti dua pendapat sebelumnya. Sebab kata Al-Misykaah tidak berhadapan dengan keimanan.
Sekelompok ahli tafsir mengatakan bahwa dhamir yang terdapat pada lafadz نُوْرِهِ  kembali kepada Allah. Ini adalah pendapat ibnu Abbas yang dituturkan oleh Ats-Tsalabi, Al-Mawardi, dan Al-Mahdawi. Makna firman Allah itu jika disesuaikan dengan pendapat ini, maka qiraahnya tidak boleh dibaca waqaf pada lafadz, وَالْاَرْضِ.
Al-Mahdawi berkata, “Huruf Ha’ tersebut kembali kepada Allah. Perkiraan maknanya adalah, Allah adalah pemberi petunjuk kepada penduduk langit dan bumi. Perumpamaan petunjuk-Nya yang ada di hati orang-orang yang beriman adalah seperti lubang yang tidak tembus.”
Ungkapan ini pun diriwayatkan dari Ibnu Abbas. Demikian pula pendapat yang dikatakan oleh Zaid bin Aslam.
Hasan Berkata, “Huruf Ha’ tersebut kembali kepada Allah Azza wa Jalla. Ubay dan Ibnu Mas’ud membacanya dengan lafadz مَثَلُ نُوْرِهِ فِيْ قَلْبِ الْمُؤمِنْ كَمِشْكَاةٍ ‘perumpamaan cahaya Allah di dalam hati orang yang beriman adalah seperti lubang yang tidak tembus’.”
Muhammad bin Ali At-Tirmidzi berkata, “selain Ubay dan Ibnu Mas’ud, tidak ada yang membacanya dalam Al-Quran seperti itu. Namun mereka menyetujui keduanya dalam penakwilannya, bahwa yang dimaksud adalah cahaya Allah di dalam hati orang beriman. Pembenaran atas penakwilan ini terdapat pada ayat lain.
Allah SWT berfirman, اَفَمَنْ شَرَحَ اللهُ صَدْرَهُ لِلْاِسْلَامِ فَهُوَ عَلَى نُوْرٍ مِّنْ رَّبِّهِ ‘maka apakah orang-orang yang dibukakan Allah hatinya untuk (menerima) agama islam lalu ia mendapat cahaya dari tuhannya (sama dengan orang yang membantu hatinya) ?’.” (Qs. Az-Zumar ayat 22).
Orang-orang yang mengemukakan pendapat sebelumnya membantah bahwa huruf ha’ tersebut kembali kepada Allah. Mereka mengatakan bahwa huruf ha’ tersebut tidak boleh kembali kepada Allah, sebab cahaya Allah itu tidak ada batasannya.
Al-Kisa’i menurut riwayat Abu Umar Ad-Duri mengimalahkan huruf alif yang terdapat dalam lafadz كَمِشْكَاة , dan memberi harakat kasrah pada huruf kaf yang ada sebelum huruf alif tersebut.
Nashr bin Ashim membaca lafadz tersebut dengan lafadz زُجَاجَةٍ, yakni dengan harakat fathah pada huruf zai. Demikian pula dengan lafadz, اَلزُّجَاجَة . (yang menjadi : الزَّجَاجَةُ). Ini adalah salah satu dialek dalam bahasa arab.
Ibnu Amir dan Hafish dari Ashim membaca lafazd di atas dengan lafadz دُرِّيٌّ - yakni dengan harokat dhammah pada huruf dal dan tasydid pada huruf ya’-.
Untuk qiraah ini ada dua alasan, yaitu: (1) boleh jadi bintang-bintang itu dinisbatkan dalam hal putih dan jernihnya, dan (2) boleh jadi pula asalnya adalah دُرِّىءٌ yakni dengan huruf hamzah. Ini adalah bentuk فُعِّيْلٌ dari kata الدَّرْءُ, yakni penolakan. Hamzah tersebut kemudian dihilangkan agar ringan atau mudah untuk diucapkan. Oleh karena itu, dikatakan kepada bintang besar yang tidak diketahui namanya, الدَّرَارَي –tanpa huruf hamzah-. Mungkin saja orang-orang arab menghilangkan huruf hamzah agar mudah untuk diucapkan. Asalnya adalah الدَّرْءُ , yaitu penolakan.
Hamzah dan Abu Bakar dari Ashim membaca دُرِّيٌّ dengan lafadz دُرِّىءٌ –yakni dengan huruf hamzah dan mad (bacaan panjang)-. Ini adalah pola kata فَعِيْلٌ dari kata الدَّرْءٌ , dimana maknanya adalah satu sama lain saling menaolak.
Al-Kisa’i dan Abu Amr membacanya dengan lafadz دَرِّىءٌ – yakni dengan harakat kasrah pada huruf dal dan hamzah-, seperti kata السِّكِّيْر dan الفِسِّيْق.
Sibawaih berkata, “maksudnya, sebagian pancaran cahayanya menolak sebaian yang lain.”
An-Nuhas berkata, “Abu Ubaid menganggap qiraah Abu Amr dan Al-Kisa’i itu sangat lemah. Sebab mereka menakwilkannya dari kata Dara’at yaitu menolak. Maksudnya, bintang yang berjalan dari ufuk (timur) ke ufuk (barat). Jika takwil firman Allah itu sesuai dengan penakwilan tersebut, maka firman Allah itu tidak akan memiliki faedah apapun atas semua bidang lainnya. Tidaklah engkau melihat bahwa tidak dikatakan, جَاءَنِيْ إِنْسَانٌ مِنْ بَنِي ادَمَ (manusia dari anak cucu Adam datang kepadaku). Orang seperti Abu Umar dan Al-Kisa’i tidak mungkin menakwilkan firman Allah tersebut dengan penakwilan yang jauh dari kebenaran seperti itu. Sebab mereka mengetahui bahwa penakwilan tersebut jauh dari kebenaran. Akan tetapi penakwilan mereka sebagai mana yang diriwayatkan dari Muhammad bin Yazid, bahwa makna firman Allah tersebut menurut keduanya adalah bintang yang memancarkan cahaya, seperti kalimat انْدَرَأَ الْحَرِيْقُ (kebakaran berkobar).
Diriwayatkan   dari    Said   bin  Mus’adah, bahwa   kalimat  دَرَأَ الْكَوْكَبُ بِضَوْئِهِ , berarti bintang itu memancarkan cahayanya.
Al-Jauhari    berkata    dalam     Ash-Shihah,     “kalimat, دَرَأَ عَلَيْنَا فُلَانٌ يَدْرَأُ دُرُوْءًا , berarti si fulan muncul secara tiba-tiba. Termasuk ke dalam makna tersebut dalam kalimat دُرِّيْءٌ كَوْكَبٌ (bintang yang bercahaya). Kata دِرِّيْءٌ ini sama dengan pola kata فِعِّيُلٌ seperti سِكِّيْرٌ dan .... , karena kuat pancaran cahaya dan kilauannya. Contoh lainnya adalah, دُرُوْءا  الْكَوْكَبُ دَرَأَ artinya adalah bintang-bintang itu bercahaya.
            Abu Amr Al-A’la berkata, “aku bertanya kepada seorang lelaki dari bani sa’d bin bakr yang merupakan penduduk Dzat Irq, ‘kalian sebut apa bintang yang besar itu?’ mereka menjawab ‘Dirri’, mereka adalah orang yang paling fasih,”
An-Nuhas berkata, “adapun qiraah hamzah, seluruh pakar bahasa kecuali sebaian kecil dari mereka mengatakan bahwa itu merupakan kesalahan pengucapan yang tidak dibolehkan. Sebab dalam bahasa arab tidak ada isim yang menggunakan pola kata فُعِّيْلٌ .”
Abu Ubaid mengemukakan argumentasi yang mendukung pendapat Hamzah. Dia berkata, “kata tersebut bukan menggunakan pola kata فُعِّيْلٌ , akan tetapi menggunakan pola kata فُعُّوْلٌ , seperti سُبُّوْحٌ , diantara huruf wau kemudian ditukar dengan huruf ya’, seperti kata عُتِيٌ.
Abu Ja’far An-Nuhas berkata, “bantahan dan argumentasi (yang dikemukakan oleh Abu Ubaid) itu merupakan suatu kesalahan yang sangat besar. Sebab hal itu (penukaran huruf wau dengan huruf ya’) sama sekali tidak dibolehkan. Seandainya apa yang dikatakan oleh abu Ubaid itu dibolehkan, maka dikatakan:  سُبِّيْحٌ untuk kata سُبُّوْحٌ sayangnya hal ini tidak pernah dikatakan oleh seorang pun. Sedangkan kata عُتِيُّ tidak termasuk ke dalam masalah ini. Perbedaan antara سُبُّوْحٌ dan عَتِيٌّ sangat jelas. Karena kata عُتِيٌّ itu tidak terlepas dari salah saatu dari dua hal tersebut:
(1)               Boleh jadi ia merupakan bentuk jamak dari kata عَاتٍ , sehingga penukaran huruf yang terjadi pada kata tersebut merupakan sebuah kekhususan. Pasalnya, perubahan ke dalam bentuk jamak adalah perubahan bentuk nagunan kata atau perubahan huruf. Sementara huruf wau tidak boleh berada di akhir kata, apabila sebelumnya terdapat dhammah. Manakala sebelum huruf wau itu terdapat huruf mati, dan sebelum huruf mati bukanlah pemisah yang kuat, maka dhammah ditukarkan kepada jasrah, lalu wau dirubah atau ditukar dengan ya’.
(2)               Tapi apabila kata عُتِيٌّ adalah bentuk tunggal, maka ia lebih berhak terhadap huruf wau. Namun huruf wau itu boleh ditukarkan (kepada huruf ya’), sebab ia berada di akhir kata. Sedangkan huruf wau yang menikuti pola kata فُعُوْلٌ bukanlah huruf wau yang berada di akhir kata. Oleh karena itu, ia tidak boleh ditukarkan.”
Al-Jauhari berkata, “Abu Ubaid berkata, ‘jika huruf dal dibaca dhammah, meka engkau akan mengatakan دُرِّيٌّ , dan ini merupakan penisatan kepada الدُّرُّ  (mutiara), sesuai dengan pola kata فُعْلِيٌّ , dan engkau tidak akan mengakhirinya dengan huruf hamzah, sebab dalam bahasa arab tidak ada kata yang menggunakan  pola kata فُعِيْلٌ . sedangkan orng yang menggunakan huruf hamzah (di akhir kata) mengkhendaki pola kata فُعُوْلًا , seperti سُبُّوْحًا . bagi sebagian orang kata سُبُّوْحًا ini berarti untuk diucapkan, sehingga mereka menukarkan harakat dhammah tersebut dengan ya’.”
Al-Akhfasy meriwyatkan dari sebagian orang-orang arab bahwa kata دَرِّىءٌ dibentuk dari دَرَأْتُهُ . mereka menetapkan huruf hamzah pada kata tersebut, dan menjadikannya sesuai dengan pola kata فَعِيْلٌ –yakni dengan harakat fathah pada huruf pertamanya-.
Al-Akhfasy juga berkata, “itu karena kilaunya.”
Ats-Tsa’labi, “Said bin Al-Musayyib dan Abu Raja’ membacanya dengan lafadz دَرِّىُءٌ –yakni dengan harakat fathah paoda huruf dal dan hamzah di akhir kata-.”
Abu Hatim berkata, “ini salah. Sebab dalam bahasa arab itu adalah isim yang sesuai dengan pola kata فَعِيْلٌ . tapi jika qiraah ini sah bersumber dari keduanya, maka keduanya adalah orang yang dapat dijadikan sebagai argumentasi.”
Syaibah, Nafi’, Ayyub, Salam, Ibnu Amir, Penduduk Syam dan Hafs, membaca يُوْقَدُ dengan lafadz يُوْقَدُ , -yakni dengan huruf ya’ yang diberi harakat dhammah, tanpa tasydid pada huruf qaf, dan dhammah pada huruf dal-. Sedangkan Al-Hasan, As-Sulami, Abu Ja’far, dan Abu Amr bin Al-‘Ala Al-Basri membacanya dengan huruf  تَوَقَّدُ – yakni dengan harakat fathah semua huruf dan tasydid pada huruf qaf-. Qiraah inilah yang dipilih oleh Abu Hatim dan Abu Ubaid.
An-Nuhas berkata, “kedua qiraah ini hampir sama. Sebab keduanya ditujukan pada makna pelita, dan pelita ini sangat sesuai dengan sifat ini (dinyalakan). Sebab pelitalah yang bersinar dan bercahaya. Sedangkan kata adalah kaca hanyalah tempatnya. تَوَقَّدُ adalah fiil madhi dari يَتَوَقَدُ تَوَقَّدَ , sedangkan يُوْقَدُ adalah fiil mudhari dari kata أَوْقَدَيُوْقِدُ . “
Nashr bin Ashim membaca firman Allah itu dengan lafadz, تَوَقَّدَ asal qiraahnya adalah تَتَوَقَّدَ , lalu salah satu dari kedua dari huruf ta’ tersebut dinuang, sebab huruf ta’ yang lainsudah mewakili yang lain.
Para Ulama Kufah membacanya dengang lafadz تُوْقَدُ – yakni dengan huruf ta’-, dimana mereka memaksudkannya kepada kaca. Kedua qiraah ini (Qiraah Nashr bin Ashim dan ulama kuffah) berdasarkan bahwa lafadz Az-Zujajah adalah mu’annats.
مِن شَجَرَةٖ مُّبَٰرَكَةٖ زَيۡتُونَةٖ لَّا شَرۡقِيَّةٖ وَلَا غَرۡبِيَّةٖ  ” Yang dinyalakan dengan minyak dari pohon yang banyak berkahnya. (yaitu) pohon zaitun yang tumbuh tidak di sebelah timur (sesuatu) dan tidak pula di sebelah barat(nya).” Ini sudah dijelaskan dalam pembahasan sebelumnya.
يَكَادُ زَيۡتُهَا يُضِيٓءُ وَلَوۡ لَمۡ تَمۡسَسۡهُ نَارٞۚ نُّورٌ عَلَىٰ نُورٖۚ  ” Yang minyaknya (saja) hampir-hampir menerangi, walaupun tidak disentuh api. Cahaya di atas cahaya (berlapis-lapis),” dengan menjadikan lafadz نَارٌ sebagai muannats. Abu Ubaid mengklaim bahwa hanya qiraah inilah yang diketahui untuk firman Allah ini. Padahal Abu Hatim meriwayatkannbahwa As-Suddi meriwayatkan dari Abu Malik, dari Ibnu Abbas, Bahwa dia membaca firman Allah, وَلَوۡ لَمۡ تَمۡسَسۡهُ نَارٞۚ dengan lafadz وَلَوۡ لَمۡ يَمۡسَسۡهُ نَارٞۚ – yakni dengan huruf ya’ pada lafadz يَمۡسَسۡهُ -.
Muhammad bin Yazid berkata, “qiraah yang menjadikan lafadz نَارٌ sebagai mudzakkar (yaitu qiraa : lam yamsashu naarun),  adalah karena lafadz نَارٌ itu merupakan muannats yang bukan sebenarnya atau muannats majazi. Dengan demikian pula semua kata yang dianggap sebagai muannats, menurut pendapatnya.
Ibnu Umar berkata. “Al-Mishkaah (lubang tak tembus) adalah perut Nabi Muhammad SAW, Az-Zujajah (kaca) adalah hatinya, dan Al-Misbaah (pelita) adalah cahaya yang Allah jadikan di dalam hatinya, yang dinyalakan dengan minyak dari pohon yang diberkati. Maksudnya, asal cahaya itu adalah dari Ibrahim, dimana Ibrahim merupakan pohon tersebut. Allah SWT menyalakan cahaya di hati Nabi Muhammad, sebagaimana Allah menjadikannya di dalam hati Nabi Ibrahim AS.
Muhammad bin Ka’b berkata, “Al-Misykaah (lubang yang tak tembus) adalah Nabi Ibrahim, Az-Zujaajah (kaca) adalah Nabi Ismail, Al-Mishbaah (pelita) adalah Nabi Muhammad. Allah menamakan beliau Al-Mishbaah (pelita), sebagaimana Allah menamakan beliau Siradj (lampu atau cahaya) adalah firman-Nya, Dan untuk jadi penyeru pada Agama Allah dengan izin-Nya dan untuk jadi cahaya yang menerangi’. (Qs. Al-Ahzab ayat 46).
Pelita itu dinyalakan dengan minyak dari pohon yang diberkati, yaitu Nabi Adam AS. Dia diberikan kepada keturunannya dan banyaknya para nabi serta kekasih Allah yang berasal dari keturunannya. Menurut satu pendapat, pohon yang diberkati tersebut adalah Nabi Ibrahim. Allah SWT menanamkannya ‘yang diberkati’ karena sebagian besar dari para nabi berasal dari keturunannya.
لَّا شَرۡقِيَّةٖ وَلَا غَرۡبِيَّةٖ ‘yang tumbuh tidak di sebelah timur (sesuatu) dan tidak pula dari sebelah barat(nya).’ Maksudnya adalah, yang tidak beragama yahudi dan tidak pula beragama Nashrani, akan tetapi orang yang hanif lagi muslim. Allah SWT berfirman demikian, sebab orang-orang yahudi itu beribadah dengan menghadap ke arah barat, sedangkan orang-orang nashrani beribadah dengan menghadap ke arah timur.
يَكَادُ زَيۡتُهَا يُضِيٓءُ  “yang minyaknya (saja) hampir-hampir menerangi, “maksudnya adalah, kebaikan-kebaikan Muhammad telah nampak pada Manusia, sebelum Allah SWT menurunkan wahyu kepadanya.
نُّورٌ عَلَىٰ نُورٖۚ  “Cahaya di atas cahaya (berlapis-lapis),” maksudnya adalah, nabi yang berasal dari keturunan nabi.
Adh-Dhahhak berkata, “Abdul Muthalib diserupakan dengan Al-Misykaah (lubang yang tak tembus), Abdullah diserupakan dengan Az-Zujajah (kaca), dan Nabi SAW diserupakan dengan Al-Mishbaah (pelita) di dalam hati Abdul Muthalib dan Abdullah. Beliau mewarisi kenabian dan Nabi Ibrahim AS.
مِن شَجَرَةٍ   ’dari pohon’, maksudnya adalah, pohon ketakwaan, keridhaan, petunjuk dan keimanan. Pohon yang akarnya adalah kenabian, dahannya adalah muru’ah, rantingnya adalah wahyu, daunnya adalah takwil, dan pengurusnya adalah Jibril dan Mikail.”
Al-Qadhi Abu Bakar bin Al-Arabi berkata, “di antara hal yang mengherankan adalah, sebagian ahli fiqih menyatakan bahwa ayat ini merupakan perumpamaan yang Allah ciptakan tentang Nabi Ibrahim, Muhammad, Abdul Muthalib, dan juga puteranya yaitu Abdullah.
Al-Misykaah dalam bahasa Habasyah adalah lubang. Allah menyerupakan Abdul Muthalib dengan lubang yang di dalamnya terdapat qindiil, yakni kaca. Allah SWT menyerupakan Abdullah dengan qindiil, yaitu kaca. Sedangkan Muhammad, beliau adalah seperti pelita, yakni pelita yang berasal dari keturunan Abdul Muthalib dan Abdullah. Beliau laksana bintang yang bercahaya, yaitu Mustara (venus).
يُوقَدُ مِن شَجَرَةٖ مُّبَٰرَكَةٍ  Yang dinyalakan dengan minyak dari pohon yang banyak berkahnya,” maksudnya adalah, pusaka kenabian yang diwariskan oleh Nabi Ibrahim AS, yang tak lain adalah pohon yang diberkati, yaitu agama hanif, tidak ke Timur dan tidak pula ke Barat, dan tidak beragama Yahudi serta tidak beragama Nashrani.
يَكَادُ زَيۡتُهَا يُضِيٓءُ وَلَوۡ لَمۡ تَمۡسَسۡهُ نَارٞۚ  ”Yang minyaknya (saja) hampir-hampir menerangi, walaupun tidak disentuh api.” Sebagian ahli fikih berkata, “Ibrahim hampir-hampir mengatakan wahyu sebelum wahyu itu diberikan kepadanya.”
نُّورٌ عَلَىٰ نُورٖۚ  “Cahaya di atas cahaya (berlapis-lapis),” maksudnya adalah, Ibrahim lalu Muhammad.
Menurut Al-Qurthubi: Demikian pula dengan semua pendapat lainnya, sebab pendapat-pendapat tersebut tidak ada kaitannya dengan ayat tersebut, kecuali pendapat yang pertama. Firman Allah ini merupakan sebuah perumpamaan tentang cahaya-Nya yang agung – guna mengingatkan makhluk-Nya– kecuali dengan sebagian makhluk-Nya. Sebab makhluk itu, karena keterbatasannya, hanya akan mengerti jika perumpamaan itu dibuat oleh diri mereka dan bersumber dari diri mereka juga. Seandainya tidak begitu, maka tidak akan ada yang mengenal Allah SWT kecuali Allah semata. Demikianlah pendapat yang dikemukakan oleh Ibnu Al-Arabi.
Ibnu Abbas berkata, “Ini adalah perumpamaan cahaya dan petunjuk Allah di hati orang yang beriman. Ia sepeti minyak jernih yang nyaris dapt mengeluarkan cahaya sebelum tersentuh api. Jika ia tersentuh api, maka cahayanya akan semakin bertambah terang. Demikian pula dengan hhati seorang mukmin. Ia nyaris mengamalkan petunjuk sebelum ia menerima pengetahuan. Apabila pengetahuan datang padanya, maka ia semakin mendapatkan petunjuk dan cahaya. Hal ini seperti ucapan Nabi Ibrahim AS sebelum beliau mendapatkan pengetahuan, هَذَا رَبِّيْ  ‘Inilah Tuhanku’. (Qs. Al-An’aam ayat 76) padahal saat itu belum ada seorang pun yang memberitahukan kepadanya bahwa dia memiliki Tuhan. Ketika Allah SWT memberitahukan kepadanya bahwa Dia-lah Tuhannya, maka beliau semakin mendapatkan petunjuk. Allah SWT berfirman kepadanya, ۞   . قَلَ أَسْلَمْتُ لِرَبِّ الْعَالَمِيْنَ أَسْلِمْ  ‘Tunduk dan patuhlah! Ibrahim menjawab, ‘Aku tunduk patuh kepada Tuhan semesta Alam.” (Qs. Al-Baqarah ayat 31).
Adapun orang-orang yang mengatakan bahwa ini merupakan perumpamaan Al-Quran di hati orang yang beriman, mereka berkata, “Sebagaimana pelita dimintai cahayanya namun ia tidak pernah kurang, maka demikian pula dengan Al-Quran. Ia diminta petunjuknya namun ia tidak pernah berkurang. Dengan demikian, Al-Mishbaah (pelita) adalah Al-Quran, Az-Zujaajah (kaca) adalah hati orang yang beriman, Al-Misykaah (lubang yang tak tembus) adalah lidah dan pemahamannya, dan Asy-Syajarah Al-Mubarakah (pohon yang diberkati) adalah pohon wahyu.
يَكَادُ زَيۡتُهَا يُضِيٓءُ وَلَوۡ لَمۡ تَمۡسَسۡهُ نَارٞۚ   ”Yang minyaknya (saja) hampir-hampir menerangi, walaupun tidak disentuh api,” maksudnya adalah, hujjah-hujjah Al-Quran hampir nampak, meskipun ia tidak dibaca.
نُّورٌ عَلَىٰ نُورٖۚ  ”Cahaya di atas cahaya (berlapis-lapis),” maksudnya adalah, Al-Quran adalah cahaya dari Allah bagi makhluk-Nya, disamping dalil-dalil dan pemberitahuan yang Allah SWT berikan kepada mereka sebelum turunnya Al-Quran. Oleh karena itu, mereka semakin mendapatkan cahaya.
Selanjutnya, Allah SWT memberitahukan bahwa cahaya yang disebutkan itu sangat luar biasa, dan ia tidak akan didapatkankecuali oleh orang-orang yang hendak diberikan petunjuk oleh Alah. Allah SWT berfirman,
يَهۡدِي ٱللَّهُ لِنُورِهِۦ مَن يَشَآءُۚ وَيَضۡرِبُ ٱللَّهُ ٱلۡأَمۡثَٰلَ لِلنَّاسِۗ  ”Allah membimbing kepada Cahaya-Nya siapa yang Dia kehendaki, dan Allah memperbuat perumpamaa-perumpamaan bagi manusia.” Maksudnya adalah, Allah SWT menerangkan perumpamaan-perumpamaan tersebut agar dapat dipahami.
وَٱللَّهُ بِكُلِّ شَيۡءٍ عَلِيمٞ ٣٥  ”Dan Allah maha mengetahui segala sesuatu,” maksudnya adalah, mengetahui yang memberikan petunjuk dan yang menyesatkan.
Diriwayatkan dari Ibnu Abbas, bahwa orang yahudi pernah berkata, “Wahai Muhammad, bagaimana mungkin cahaya Allah itu dapat menembus bahwa langit, kemudian Allah menjadikan itu sebagai sebuah perumpamaan untuk cahaya-Nya?” Maka, Allah SWT membuatnya sebagai perumpamaan dengan cahaya-nya.
9.                  Al-Kahfi ayat 96
ءَاتُونِي زُبَرَ ٱلۡحَدِيدِۖ حَتَّىٰٓ إِذَا سَاوَىٰ بَيۡنَ ٱلصَّدَفَيۡنِ قَالَ ٱنفُخُواْۖ حَتَّىٰٓ إِذَا جَعَلَهُۥ نَارٗا قَالَ ءَاتُونِيٓ أُفۡرِغۡ عَلَيۡهِ قِطۡرٗا ٩٦
96. “Berilah aku potongan-potongan besi". Hingga apabila besi itu telah sama rata dengan kedua (puncak) gunung itu, berkatalah Dzulkarnain: "Tiuplah (api itu)". Hingga apabila besi itu sudah menjadi (merah seperti) api, diapun berkata: "Berilah aku tembaga (yang mendidih) agar aku kutuangkan ke atas besi panas itu".
            Firman Allah SWT, ءَاتُونِي زُبَرَ ٱلۡحَدِيدِۖ “Berilah aku potongan-potongan besi", yakni: berilah aku potongan-potongan besi dan bawakan kepadaku. Ia memerintahkan mereka untuk memindahkan peralatan. Semua ini dilakukan dalam arti menuntut pemberian tapi tidak bermakna hibah (tidak untuk dirinya), karena ia sudah terikat dengan perkataannya, bahwa ia tidak akan mengambil pembayaran dari mereka. Jadi yang diminta hanyalah penyerahan dan bantuan tenaga زُبَرَ ٱلۡحَدِيدِۖ adalah potongan-potongan besi. Asal maknanya adalah berkumpul, contohnya dengan pengertian ini: Zabrah al kitaab, yakni aku menulis buku dan menghimpunkan huruf-hurufnya.
            Abu Bakar dan Al Mufadhdhal membacanya: رَدْمًا اِيْتُوْنِي yakni dari al ityaan yang artinya datang. Yakni datankan kepadaku potongan-potongan besi. Karena faktor penyebab khafadnya gugur, maka fi’ilnya menjadi manshub, ini seperti ungkapan seorang penyair:
أَمَرْتُكَ الخَيْرَ
“Aku memerintahkanmu melakukan kebaikan …”
            Harf jarnya (partikel penyebab majrurnya) dibuang sehingga fi’ilnya menjadi manshub. Jumhur membacanya زُبَرَ dengan fathah pada ba, sementara Al-Hasan membacanya dengan dhammah. Semuanya merupakan bentuk jamak dari zubrah, yaitu potongan besar darinya.
            Firman Allah Ta’ala, حَتَّىٰٓ إِذَا سَاوَىٰ “Hingga apabila besi itu telah sama rata” yakni bila bangunannya sudah sama rata, disini ada kata yang dibuang karena kuatnya perkataan ini.
بَيۡنَ ٱلصَّدَفَيۡنِ “Dengan kedua (puncak) gunung itu,” Abu Ubaidah mengatakatan, “Kedua dinding itu letaknya di kedua sisi gunung itu. Diungkapkan demikian karena keduanya bersentuhan dan menempel.”. Demikian juga yang dikatakan oleh Az-Zuhri dan Ibnu Abbas, jadi seolah-olah keduanya saling membentengi yang lainnya, dari ash-shuduuf (kerang/tiram). Seorang penyair mengatakan,

كِلَا الصَّدَفَيْنِ يَنْفُذُ سَنَاهَا                  تَوَقَّدُ مِثْلَ مِصْبَاحِ الظَّلَامِ

“Kedua kerang itu memancarkan cahayanya yang menyala bagaikan lampu penerang kegelapan.”
          Bangunan tinggi juga disebut shadaf karena menyerupai pinggiran bukit. Disebutkan didalam hadits:
كَانَ إِذَا مَرَّ بِصَدَفٍ مَائِلٍ أَسْرَعَ الْمَشْيَ.
“Apabila berjalan melewati dinding tinggi yang miring, maka ia mempercepat langkah(nya).” Abu Ubaidah mengatakan, “Ash-Shadaf dan al hadaf adalah setiap bangunan besar nan tinggi.” Ibnu Athiyah mengatakan, :Ash-Shadafani adalah dua buah gunung yang berhadapan, bila hanya satu tidak disebut shadaf, dan disebut shadafan itu karena ada dua, karena yang satunya menghadap yang lainya.”
          Nafi;, Hamzah dan Al Kias’i membacanya: ٱلصَّدَفَيۡنِ dengan fathah dan tasydid pada shad serta fathah pada dal. Ini juga merupakan qira’ahnya Umar bin Khattab RA dan Umar bin Abdul Aziz. Dan ini merupakan pilihan Abu Ubaidah karena lebih dikenal oleh banyak dialek (logat/lahjah).
          Ibnu Katsir, Ibnu Amir dan Abu Amr membacanya ٱلصُّدَفَيۡنِ dengan dhammah pada shad dan dal.
            Ashim dalam riwayat Abu Bakar membacanya ٱلصُّدْفَيۡنِ dengan dhammah pada shad dan sukun pada dal, yaitu seperti kata al jurf dan al juruf, yaitu dengan diringankan.
            Ibnu Al Majisyun membacanya dengan fathah pada shad dan dhammah pada dal.
          Sementara Qatadah membacanya dengan بَيۡنَ ٱلصَّدْفَيۡنِ dengan fathah pada shad dan sukun pada dal. Semua itu maknanya sama, yaitu dua buah gunug yang berhadapan.
          Firman Allah SWT, قَالَ ٱنفُخُواْۖ “Berketalah Dzulqarnain, tiuplah (api itu) ….” Hingga akhir ayat, yakni tiupkan pada besi-besi itu dengan alat peniup. Demikian itu karena ia telah memerintahkan untuk meletakkan kerangka potongan-potongan besi dan bebatuan kemudian dinyalakan kayu bakar diatasnya serta ditiup dengan alat peniup sehingga memerah, karena karakter besi itu apabila dipanaskan diatasnya maka akan menjadi seperti itu, itulah firman-Nya حَتَّىٰٓ إِذَا جَعَلَهُۥ نَارٗا “Hingga apabila besi itu sudah menjadi (merah seperti) api”. Kemudian ditambahkan kuningan yang telah dicairkan atau tembaga atau besi yang titik leburnya berbeda, lalu dituangkan kepada kerangka yang telah tersusun itu, sehingga ketika memanas maka akan saling menempel dengan kuat, lalu diletakkan lagi kerangka lainnya hingga akhirnya hasil pekerjaan itu menjadi sebuah gunung yang sangat keras.
            Qatadah mengatakan, “Itu seperti kain berwarna, jalanan hitam dan jalanan merah.”
            Diriwayatkan bahwa Rasulullah SAW didatangi oleh seorang laki-laki lalu berkata, “Wahai Rasulullah, sesungguhnya aku telah melihat dinding Ya’juj dan Ma’juj.” Beliau bertanya, “Bagaimana kau melihatnya?” Ia menjawab, “Aku melihatnya seperti kain berwarna, jalanan kuning, jalanan merah dan jalanan hitam.” Maka Rasulullah SAW pun bersabda,”Engkau memang telah melihatnya”.
          Makna: حَتَّىٰٓ إِذَا جَعَلَهُۥ نَارٗا “Hingga apabila besi itu sudah menjadi (merah seperti) api” yakni menjadi seperti api. Makna قَالَ ءَاتُونِيٓ أُفۡرِغۡ عَلَيۡهِ قِطۡرٗا “berilah aku tembaga (yang mendidih) agar aku tuangkan keatas besi panas itu.” Yakni berilah aku tembaga yang sudah mencair agar aku tuangkan ketasnya. Ini berupa bentuk ungkapan taqdim dan ta’khir (mendahulukan dan mengakhirkan kata).
            Orang yang membacanya ءُائْتُونِيٓ maka maknanya: kemarilah agar aku tuangkan tembaga keatasnya. Menurut mayoritas mufassir, bahwa al qithr adalah kuningan yang telah mencair, asalnya dari al qathr (tetesan), karena apabila telah dicairkan (dipanaskan dengan suhu tertentu) maka akan menetes seperti menetesnya air. Ada juga yang mengatakan, bahwa al qithr adalah besi yang telah mencair.
            Ada juga yang mengatakan, termasuk diantaranya Ibnu Al Anbari, “Yaitu tembaga yang mencair. Ini merupakan derivasi (turunan bentuk kata) dari qathara-yaqthuru-qathran. Contohnya : وَأَسَلۡنَا لَهُۥ عَيۡنَ ٱلۡقِطۡرِۖ  “Dan Kami alirkan cairan tembaga baginya.”.
10.              Al-Isra ayat 01
سُبۡحَٰنَ ٱلَّذِيٓ أَسۡرَىٰ بِعَبۡدِهِۦ لَيۡلٗا مِّنَ ٱلۡمَسۡجِدِ ٱلۡحَرَامِ إِلَى ٱلۡمَسۡجِدِ ٱلۡأَقۡصَا ٱلَّذِي بَٰرَكۡنَا حَوۡلَهُۥ لِنُرِيَهُۥ مِنۡ ءَايَٰتِنَآۚ إِنَّهُۥ هُوَ ٱلسَّمِيعُ ٱلۡبَصِيرُ ١
Maha Suci Allah, yang telah memperjalankan hamba-Nya pada suatu malam dari Al Masjidil Haram ke Al Masjidil Aqsha yang telah Kami berkahi sekelilingnya agar Kami perlihatkan kepadanya sebagian dari tanda-tanda (kebesaran) Kami. Sesungguhnya Dia adalah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.
Dalam ayat ini dibahas delapan masalah:
Pertama: Firman Allah SWT:  “Maha Suci”   سُبْحَانَ“Maha Suci” isism yang diposisikan pada mashdar dan dia tidak tetap karena tidak berlaku baginya aspek-aspek I’rab juga tidak dimasuki huruf alif  dan lam. Tidak ada kata kerjanya. Juga tidak berlaku hukum sharaf karena di bagian akhirnya ada dua tambahan. Artinya mensucikan dan membebaskan Allah dari segala kekurangan. Kata ini juga merupakan dzikir yang agung kepada Allah SWT dan tidak layak untuk selain-Nya.
Thalhah bin Abdullah Al Fayadh berkata kepada Nabi SAW,
مَا مَعنَي سُبْحَانَ اللَّهِ فَقَالَ : تَنْزِيْهُ اللَّهِ مِنْ كُلِّ سُوْءٍ
“Apa arti ssubhanallah?” Beliau menjawab, “Mensucikan Allah dari segala keburukan.”
‘Aamil di dalamnya menurut pendapat sibawaih adalah kata kerja yang tersurat pada maknanya bukan pada lafadznya. Karena dari lafadznya tidak berlaku kata kerja yang muncul darinya. Perkiraanya adalah, “Jauhkanlah Allah sejauh-jauhnya dari egala kekurangan.” Subhanallah terposisikan untuk makna ‘menjauh’
Kedua: Firman Allah SWT:  أَسْرَى بِعَبْدِهِ   memperjalankan hamba-Nya.” Asraa memiliki dua kata lain yang sama:  أَسْرَى   dan سَرَى sebagaimana سَفَى dengan أسفى  Sebagaiman telah dijelaskan diatas.
            Ada yang mengatakan “أَسْرَى adalah berjalan dari awal malam, sedangkan                   adalah berjalan di akhir malam. Tetapi yang pertama lebih populer.”
Ketiga: Firman Allah SWT:  بِعَبۡدِهِۦ “ Hamba-Nya.” Para ulama berkata, “Jika Nabi SAW memiliki nama yang lebih mulia dari pada yang ada itu (hamba-Nya) tentu Allah menyebtkannya dengan nama itu dalam situasi yang penting itu.” 
Al Qusyairi berkata, “Ketika beliau dingkat oleh Allah SWT ke haribaan-Nya yang mulia, dan ditinggikan atas semua bintang yang tinggi Allah menyematkan nama hamba kepadanya sebagai tanda ketawadu’an beliau terhadap ummatnya”.
Keempat: Perkara Isra’ telah jelas dalam semua kitab hadits. Diriwayatkan dari kalangan para sahabat di setiap negri Islam, sehingga apa yang diriwayatkan ini menjadi mutawattir. An-Naqqasy menyebutkan diantara yang meriwayatkanya adalah dua puluh sahabat.
            Dalam Ash-Shahih diriwayatkan dari Anas bin Malik bahwa Rasulallah SAW bersabda:
“Diberikan kepadaku seekor Buroq, yaitu binatang berwarna putih yang lebih panjang dari keledai dan lebih pendek dari baghal, ia meletakkan tapal kakiknya di bagian paling ujung. Lalu aku menungganginya hingga aku sampai di Baitul Maqdis. Maka aku ikat dengan tali yang juga dikenakan para Nabi lainnya untuk mengikat. Kemudian aku keluar lalu datanglah lepadaku Jibril sambil membawa wadah berisi khamer dan wadah lainnya berisi susu, aku pun memiliki wadah yang berisi susu. Sehingga Jibril berkat, ‘Engkau  telah memilih fitrah.’ Kemudian kami naik menuju ke langit….
Riwayat yang tidak tedapat dalam Ash-Shahihain adalah yang diriwayatkan oleh Al Ajurra dan As-Samarqandi. Al Ajurra berkata dari Abu Sa’id Al Khurdi berkenaan dengan firman Allah SWT,
سُبْحَانَ الَّذِي أَسْرَى بِعَبْدِهِ لَيْلاً مِّنَ الْمَسْجِدِ الْحَرَامِ إِلَى الْمَسْجِدِ الأَقْصَى الَّذِي بَارَكْنَا حَوْلَهُ
“Maha suci Allah yang telah memperjalankan hamba-Nya pada suatu malam dari  Masjidil Haram ke Al Masjidil Aqsha yang telah kami berkahi sekelilingnya…”
Abu Sa’id berkata: Rasulallah SAW menyampaikan hadits kepada kami tentang isra; mi’raj beliau, Nabi SAW bersabda, “Diberikan kepadaku seekor binatang yang sangat mirip dengan baghal, memiliki dua daun telinga yang selalu bergerak. Dia adalah buraq yang dahulu ditunggangi oleh para nabi. Sehingga aku menungganginya dan berangkatlah ia kedua kaki depanya terletak sejauh matanya memandang. Aku mendengar panggilan dari sebelah kananku, ‘Wahai Muhammad, berhentilah sehingga aku bertanya kepadamu. ‘ Kemudian aku mendengar pnggilan dari sebelah kiriku, ‘Wahai Muhammad, berhentilah. ‘Aku terus berjalan dan tidak membuat aku cenderung kepadanya. Kemudian datanglah seorang wanita menghadap kepadaku dengan segala macam perhiasn dunia sambil mengangkut kedua tangannya seraya berkata, ‘berhentilah, sehingga aku bertanya kepadamu. ‘Aku terus berjalan dan tidak membuat aku cenderung kepadanya. Kemudian aku sampai ke Biatul Maqdis Al Aqsha. Lalu aku turun dari bintang tungganganku, aku mengikatnya pada rantai yang digunakan oleh para nabi untuk mengikatnya. Kemudian aku masuk ke dalam masjid dan aku menunaikan shalat di dalamnya. Maka jibril AS berkata kepadaku, ‘Apa yang engakau dengar wahai Muhammad?. ‘ Maka aku jawab, ‘Aku dengar panggilan dari arah kanankku, Wahai Muhammad, berhentilah sehingga aku bertanya kepadamu. ‘Aku terus berjalan dan tidak membuat aku cenderung kepadanya. Maka dia berkata, ‘Itu adalah penyeru Yahudi.
Jika enngkau berhenti maka umatmu menjadi Yahudi. ‘Beliau bersabda, “Kemudian aku mendengar panggilan dari sebelah kiriku, ‘Berhenilah sehingga aku bertanya kepadamu. ‘Aku terus berjalan dan tidak membuat aku cenderung kepadanya. Maka dia berkata, ‘Itu adalah penyeru Nasrani. Sungguh, jika engkau berhenti maka umatmu menjadi Nasrani. ‘Beliau bersabda, ‘Kemudian seorang wanita dengan segala macam perhiasan dunia dengan mengangkat kedua tangannya meminta aku menghadap kepadanya seraya berkata, ‘Itu adalah, dunia jika engkau berhenti tentu engkau memilih dunia dari pada akhirat. ‘Beliau bersabda, ‘Kemudian aku diberi dua bejana. Salah diantara keduanya dengan berisi susu, sedangkan yang lainya berisi khamer.

Lalu dikatakan kepadaku, ‘Ambillah sekehendakmu mana yang kamu mau. ‘Maka aku mengambil susu dan minumannya. Maka Jibril berkata kepadaku, ‘Engkau mendapatkan fitrah. Jika engkau memiliki khamer maka sesatlah umatmu. ‘Kemudian dia dating ke tempat mi’rajyang didalmnya pula arwah anak adam telah melakukan mi’raj. Ternyata dia adalah tempat yang paling bagus yang pernah aku lihat. Apakah kalian tidak melihat orang orang yang meninggal bagaimana matanya mengikutinya ke atas? Maka dia mi’raj bersama kami hingga tiba di pintu langit dunia sehingga Jibril memohon dibukakanpintunya. Maka dikatakan, ‘Siapa ini?. ‘Dia menjawab,’Jibril. ‘Merek berkata, ‘Dia telah menjadi Rasul?. ‘Dia menjawab, ‘Ya. ‘Maka mereka membukakan pintu untukku, mereka menyampaikan salam kepdaku. Ternyata seorang malaikat penjaga yang disebut bernama Isma’ail, bersamanya tujuh puluh ribu malaikat dan bersama masing-masing malaikat ada seratus ribu malaikat. Ia berkata, ‘Tiada yang mengetahui jumlah pasukan Rabbmu selain dia… ‘Kemudian menyebutkan hadits hingga dikatakan kemudian kami terus berjalan hingga ke langit lapis lima. Dan ternyata di sana ada Harun bin Imran yang sangat dicintai dikalangan kaumnya. Di sekelilingnya para pengikutnya yang banyak dari kalangan umatnya.
Kemudian di sebutkan ciri-cirinya oleh Nabi  SAW dan bersabda, ‘Panjang jenggotnya hingga hampir menyentuh pustnya. ‘Kemudian kami terus berjalan hingga ke langit lapis enam. Ternyata aku sudah bersama Musa sehingga ia mengucapkan salam kepadaku dan menyambutku. Kemudian Nabi SAW menyebutkan ciri-cirinya dengan bersabda, ‘Dia adalah orang yang sangat lebat rambutnya. Sekalipun dia mengenakan dua lapis pakaian, Rambutnya keluar dari balik kedua lapis pakaian itu…. ‘Hadits.
            Al Bazzar meriwayatkan bahwa Rasulallah SAW diberi seekor kuda yang kemudian beliau gunakan untuk kendaraan. Setiap langkahnya lebih jauh dari penglihatannya. Kemudian ia menyebutkan hadits.
            Qud menceritakan ciri-ciri buraq dari sebuah hadits Ibnu Abbas, ia berkata: Rasulallah SAW bersabda:
“Ketika aku sedang tidur di dalam kamar tiba-tiba dating seseorang kepadaku lalu menggerakanku dengan kakinya. Maka aku melihat orang itu ternyata dia adalah Jibril sedang berdiri di pintu masjid dengan membawa seekor binatang yang lebih kecil dari baghal dan lebih besar dari keledai, wajahnya seperti wajah manusia, kukunya seperti kuku tunggal, ekornya seperti ekor banteng, jambulnya seperti jambul kuda. Ketika Jibril mendekatkannya kepadaku dia berlari dan jambulnya menyembul, sehingga diusap oleh jibril dan berkata, ‘Wahai Barqah, janganlah engkau berlari dari Muhammad. Demi Allah tidak ada malaikat paling dekat dengan atau seseorang Nabi yang diutus menunggangimu yang lebih utama dari pada Muhammad SAW, tidak juga lebih mulia di sisi Allah daripadanya.’Burqah berkata, ‘Aku tahu bahwa dia sedimikan itu dan dia adalah pemegang syafaat. Dan sungguh sangat bergembira jika aku termasuk salah satu yang berada di dalam syafaatnya. ‘Lalunaku katakan, ‘Engkau terhimpun di dalam syafaatku insyaAllah Ta’ala… “Hadits.
Sedangkan Abu Sa’id ABD Al Malik bin Muhammad An-Naisaburi dari Abu Sa’id Al Khudri berkata, “Ketika Nabi SAW berlalu dari Idris AS di langit keempat, dia berkata, “Selamat dating saudara yang shalih dan Nabi yang shalih yang dijanjikan kepda kami. Kami ingin melihatnya namunbelum melihatnya selain mal mini.” Ternyata di dalamnya ada Maryam binti Imran yang memiliki tujuh puluh istana dari mutiara sedangkan bagi ibu Musa bin Imran tujuh puluh istana dari mutiara sedangkan dari marjan merah yang dilapisi dengan mutiara. Pintu-pintunya dan ranjang-ranjangnya dari pegunungan yang sama. Ketka naik (mi’raj) ke langit lapis lima yang para penghuninya bertasbih ‘Mahasuci Dzat yang menggabungkan antara salju dengan api’ , siapa saja mengucapkannya satu kali maka dia mendapatkan pahala sebagaimana pahala mereka.
            Jibril memohon dibukakan pintu sehingga dibukakan untuknya dan ternyata di dalamnya seorang tua yang belum pernah dilihatnya sama sekali  yang paling tampan dari dirinya, bermata besar, jenggotnya menyentuh bagian yang dekat dengan pusatnya, yang hampir menjadi paduan warna ntara putih dan hitam. Di sekitarnya kelompok orang yang duduk dan dia berkisah kepada mereka. Maka aku katakana, “Wahai Jibril, siapa ini ?.” Dia menjawab, ‘Ini adalah Harun yang sangat dicintai oleh kaumnya… “Hadits,
            Demikianlah sekilas dan serba singkat sejumlah hadits tentang isra’ di luar kitab Ash-Shahihain yang disebutkan oleh Abu Ar-Rabi’ Sulaiman bin Sab’ dengan sempurna di dalam Syifa Ash-Shudur karyanya. Tidak ada perbedaan pendapat di kalangan ulama dan jamaah ahli sirah bahwa shalat difardhukan kepada Nabi SAW di Makkah pada waktu isra’ ketika beliau mi’raj (naik) menuju ke langit. Namun mereka berbeda pendapat berkenaan dengan sejarah isra’ dan cara shalat. Apakah isra’ itu dengan ruh beliau atau dengan jasad beliau. Berikut ini tiga masalah berkaitan dengan ayat yang harus diketahui dan harus dibahas. Inilah bagian yang penting ketika memaparkan hadits-hadits itu. Saya akan sebutkan sepengetahuan saya berupa sejumlah pendapat para ulama dan perbedaan pendapat para ahli fikih dengan pertolongan Allah SWT.
Apakah isra’ itu dengan ruh atau dengan jasad beliau? Dalam hal ini kalangan Salaf dan Khalaf berbeda pendapat. Sekelompok ulama berpendapat bahwa isra’ itu dengan ruh sedangkan jasadnya tidak meningglkan tempat tidurnya. Semua itu adalah mimpi yang dialami dan di dalamnya berbagai macam fakta. Adapun mimpi para nabi adalah kebenaan. Diantara yang berpendapat demikian adalah Mu’awiyah dan Aisyah yang dikisahkan dari Al Hasan dan Ibnu Ishak.
Sekelompok yang lain mengatakan “Isra’ itu dengan jasad dalam keadaan jaga menuju Baitul Maqdis dan menuju ke langit dengan ruh. “Mereka beralasan dengan firman Allah SWT:
سُبْحَانَ الَّذِي أَسْرَى بِعَبْدِهِ لَيْلاً مِّنَ الْمَسْجِدِ الْحَرَامِ إِلَى الْمَسْجِدِ الأَقْصَى الَّذِي بَارَكْنَا حَوْلَه لِنُرِيَهُ مِنْ آيَاتِنَا إِنَّهُ هُوَ السَّمِيعُ البَصِير
Maha Suci Allah, yang telah memperjalankann hamba-Nya pada suatu malam dari Masjidil Haram ke Al Masjid Aqsha….”
Masjid Aqsha dijadikan tujuan akhir isra’. Mereka berkata “Jika isra’ itu dengan jasad beliau hingga lebih dari masjid Aqsha tentu akan disebutkan, karena yang demikian itu menjadi pujian yang lebih dalam. Sedangkan mayoritas kalangan salaf dan kaum muslim berpendapat bahwa isra’ dengan jasad dan dalam keadaan terjaga, dengan menunggang Buraq dari Makkah. Lalu sampai ke Baitul Maqdis, lalu shalat di dalamnya kemudian diperjalankan dengan jasadnya.”
Dengan demikian khabar-khabar (baca: hadits) itu dan ayat menunjukan apa yang telah kita paparkan. Tidak ada kemustahilan di dalam isra’ dengan jasad dan dalam keadaan terjaga. Juga tidak perlu dialihkan dari kenyataan dan hakikat kepada suatu takwil, kecuali ketika dalam kemustahilan. Jika sekiranya dalam tidur tentu akan disebutkan ‘dengan ruh hamba-Nya’ dan tidak mengatakan ‘dengan hamban-Nya’.
Firman-Nya  مَا زَاغَ الْبَصَرُ وَ مَا طَغَىPenglihatannya (Muhammad) tidak berpaling jauh dari yang dilihatnya itu dan tidak (pula) melampuinya.”(Qs. An Najm[53]:17), menunjukan akan hal itu. Jika dalam keadaan tidur maka tidak ada tanda kekuasaan dan mukjizat. Juga tidak mungkin Ummu Hani’ berkata kepada beliau, “Janganlah cerita kepada khalayak ramai sehingga mereka akan mendustkan engkau, “maka tidak ada keutamaan Abu Bakar atas orang lain dalam pembentukannya. Juga tidak mungkin suku Quraisy membenci dan mendustakannya. Beliau telah didustakan oleh Quraisy berkenaan dengan apa-apa yang beliau sampaikan, hingga sejumlah kaum yang semula beriman menjadi murtad. Jika dengan mimpi maka tidak mungkin diingkari.
Orang-orang muyrik berkata kepada beliau, “jika engkau benar maka sampaikan kepada kamitentang kafilah kami, dimana engkau ketemukannya.” Beliau menjawab, “Di tempat demikian dan demikian. Aku berlalu di atasnya sehingga fulan terkejut lalu dikatan kepadanya, ‘Apa yang engkau lihat hai Fulan? ‘Ia menjawab, ‘Aku tidak melihat apa-apa selain seekor unta yang berlari’.”
Mereka berkata “Sampaikanlah kepada kami kapan kafilah kami dating kepada kami?. “Beliau menjawab, “Mereka berkata, “Kapan waktunya?.” Belaiu menjawab, “Aku tidak tahu. Matahari terbit dari sisni lebih cepat atau munculnya kafilah dari sini. “Seseorang berkata, “Hari itu?, matahari telah terbit.” Seseorang berkata, “Inilah kafilah kalian telah muncul.”
Mereka meminta berita kepada Nabi SAW tentang ciri-ciri Biatul Maqdis sehingga beliau menyebutkan ciri-ciri itu kepada mereka sedangkan beliau sebelum itu belum penah melihatnya.
Dalam Ash-Shahih ada riwayat dari Abu Hurairah, ia berkata: Rasulallah SAW bersabda: “Aku berada di dalam Hijir dan suku Quraisy bertanya kepadaku tentang pemasalahan isra’ku. Mereka bertanya kepadaku tentang berbagai hal yang berkaitan dengan Baitul Maqdis yang aku belum pernah melihatnya. Sehingga aku mendapatkan kesulitan yang sangat berat yang belum pernah aku alami seperti itu sama sekali. Sehingga Allah mengangkatnya untukku dan aku pun melihatnya. Maka ketika mereka bertanya tentang segala sesuatu tiada lain aku menjawabnya. “Hadits.
Pendapat Aisyah dan Mu’awiyah ditentang yang menjelaskan, Rasulallah diisra’kan dengan ruhnya SAW, karena itu kafir dan tidak menyaksikan keadaanya. Juga tidak menyampaikan hadits dari Nabi SAW. Siapa saja yang hendak menambah apa yang telah kami sebutkan maka hendaknya mengetahui kitab ASH-Syifa karya Al Qadhi Iyadh, maka dari sana dia akan mendapatkan keyakinan atau solusi.
Pernah diberikan alasan dalam pendapat Aisyah dengan firman Allah SWT
…. وَمَا جَعَلْنَاالرُّؤيَا الَّتِي أَرَيْنَاكَ إِلاَّ فِتْنَةً لِّلنَّاسِ  
 “Dan kami tidak menjadikan mimpi yang telah kami perlihatkan kepadamu, melainkan sebagai ujian bagi manusia…. “(QS.Al Isra’[17]:60) Hal itu dinamakan mimpi.
Hal tersebut dibantah oelh firman Allah SWT
 سُبْحَانَ الَّذِي أَسْرَى بِعَبْدِهِ
 Maha suci Allah, yang telah memperjalankan hamba-Nya pada suatu malam…”
Jika dalam keadaan tidur tidak mungkin dikatan ‘diperjalankan’. Selain itu pandangan mata sering disebut ru’ya (mimpi). Berikut penjelasannya dalam surah ini. Dalam nash-nash hadits yang shahih menunjukkan bahwa isra’ dengan badan.
Jika muncul khabar (baca: hadits) tentang sesuatu yang tidak logis dalam kemampuan Allah SWT maka tidak ada jalan untuk mengingkarinya. Apalagi di zaman banyak keajaiban-keajaiban. Nabi SAW memiliki alat yang membawanya naik ke langit, sehingga tidak aneh jika sebagaian berpandangan bhawa itu dengan mimpi. Dengan demikian sabda Rasulallah SAW yang dilansir dalam kitab Ash-Shahih:
بَيْنَ أنَا عِنْدَ الْبَيْتِ بَيْنَ النَّائِمِ وَ اليَقْظَانِ
Ketika aku berada di sekitar Ka’bah antara tidur dan jaga,”
            Dipahami sebagai mimpi. Bisa juga dipahami bahwa isra’ terjadi dalam keadaan tidur. Wallahu a’lam
.
.Berkenaan dengan sejarajh Isra’, Para ulama jugaberbeda pendapat dalam hal ini. Dalam hal ini mereka berbeda pendapat dengan Ibnu Syihab. Musa bin Uqbah meriwayatkan darinya bahwa beliau diisra’kan ke Baitul Maqdis setahun sebelum beliau hijarah ke Madinah.
Yunus meriwayatkan darinya, dari Urwah dan Aisyah ia berkata, “Khadijah wafat sebelum difardlukan shalat.”
Ibnu Syihab berkata, “Hal itu setelah tujuh tahun Nabi SAW diutus menjadi rasul.” Darinya Al Waqashi meriwayatkan dan mengatakan, “Beliau diisra’kan setelah lima tahun diangkat menjadi Rasul.”
Ibnu Syihab berkata, “Puasa di fardhukan di Madinah sebelum perang Badar, sedangkat zakat dan haji di fardhukan di Madinah. Khamer diharamkan setelah perang Uhud.
Ibnu Ishak berkata, “Beliau diisra’kan dari Masjidil Haram ke Masjidil Aqsha yaitu Baitul Maqdis setelah Islam menyebar di Makkah di sejumlah kabilah.”
Darinya Yunus bin Bakir meriwayatkan dan berkata, “Khadijah menunaikan shalat bersama Nabi SAW.” Akan dating pelnjelasanya.
Abu Umar berkata, “Ini menunjukkan kepada kalian bahwa isra’ terjadi beberapa tahun sebelum hijrah, karena khadijah telah wafat lima tahun sebelum hijrah.”
Ada yang mengatakan, “Tiga tahun sebelum hijrah.”
Ada yang mengatakan, “Empat tahun sebelum hijrah.”
Pendapat Ibnu Ishak bertentangan dengan pendapat Ibnu Syihab. Bahwa  Ibnu Syihab telah berbeda dengannya sebagaimana dijelaskan di atas.
Al Harbi berkata, “Beliau diisra’kan pada malam dua puluh tujuh bulan Rabi’ Al Akhir, setahun sebelum hijrah.”
Abu Bakar Muhammad bin Ali bin Al Qasim Adz-Dzahabi di dalam Tarikh-Nya berkata, “Beliau diisra’kan dari Makkah ke Baitu Maqdis, Lalu dimi’rajkan ke langit, setelah delapan belas bulan diangkat menjadi Rasul.”
Abu Umar berkata, “Aku tidak mengetahui seorangpun dari ahli biografi mengatakan apa-apa yang dikisahkan oleh Adz-Dzahabi, juga tidak menyadarkan pendapatnya kepada seorangpun yang ahli dibidang ini diantara mereka, juga tidak dijadikan argument.”
Adapun mengenai sholat dan geraknya ketika difardhukan, tidak ada perbedaan pendapat di antara ulama dan para pakar sejarah bahwa shalat difardhukan di Makkah pada malam isra’ ketika beliau mi’raj ke langit. Hadits mengenai ini tertulis dalam Ash-Shahih dan lain-lainnya. Akan tetapi, mereka berbeda pendapat dalam hal tata caranya ketika difardhukan.
Diriwayatkan dari Aisyah bahwa shalat difardhukan dengan cara dua rakaat, dua rakaat. Kemudian di dalam sholat orang yang mukim di tambah sehingga sempurna menjadi empat rakaat. Dia menetapkan shalat orang yang dalam perjalanan dua rakaat. Pendapat ini juga dikatakan oleh Asy-Sys’bi, Maimun bin Mahran dan Muhammad bin Ishak.
Asy-Sya’bi berkata, “Kecuali shalat maghrib.”
Yunus bin Bakir berkata, “Juga dikatakan oleh Ibnu Ishak bahwa Jibril dating kepada Nabi SAW ketika shalat difardhukan kepada beliau, maksudnya ketika isra’, lalu jibril mendorong ujung sisi lembah hingga muncrat mata air hingga Jibril berwudlu, sedangkan Nabi SAW menyaksikannya, Sehingga, beliau membasuh muka, berintinsyaq, berkumur-kumur, mengusap kepala dan kedua telinganya serta membasuh kedua kaki hingga kedua mata kaki dan menyipratkan air pada kemaluannya.
Kemudian beliau berdiri menunaikan shalat dua rakaat dengan empat kali sujud. Kemudian Rasulallah SAW puleng setelah Allah menyejukkan pandangannya dan membahagiakan jiwanya dan telah melakukan apa yang dicintai berupa perintah dari Allah SWT. Maka beliau raih tangan Khadijah lalu membawakan air untuknya, ia pun berwudhu sebagaimana Jibril berwudhu,kmudian ruku’ (shalat)dua rakaat dengan empat kali sujud bersama Khadijah. Kemudian beliau bersama Khadijah menunaikan shalat secara bersama.”
Diriwayatkan dari Ibnu Abbas bahwa shalat itu di fardhukan dalam keadaan mukim empat rakaat, sedangkan dalam perjalanan dua rakaat.”
Demikian juga apa yang dikatakan oleh Nafi’ bin Jabir dan Al Hasan bin Abu AL Hasan Al Bashari. Itu adalah pendapat Ibnu Juraij.
Diriwayatkan dari Nabi SAW, yang sama dengan itu. Mereka tidak berbeda pendapat bahwa Jibril turun pada pagi hari malam isra’ ketika matahari tergelincir. Maka Nabi SAW mengetahui shalat dengan waktu-waktunya.
Sedangkan Yunus bin bakir meriwayatkan dari salim budak Abu Al Muhajir, ia berkata: Aku pernah mendengar Maimun bin Mahran berkata, “Shalat yang pertama-tama adalah dua rakaat. Kemudian Rasulallah SAW menunaikan sholat empat rakaat sehingga menjadi sunnah. Juga ditetapkan shalat untuk musafir adalah sempurna (empat rakaat).”
Abu Umar berkata, “Ini adalah sebuah isnad yang tidak bisa dijadikan hujjah. Ungkapannya, ‘Sehingga menjadi snah. Adalah ungkapan yang munkar. Demikian juga pengecualian Maghrib saja oleh Asy-Sya’bi dengan menyebutkan subuh adalah ungkapan yang tidak bermakna.”
Kaum muslimin sepakat bahwa fardhu shalat ketika mukim adalah empat rakaat kecuali Maghrib dan Subuh. Mereka tidak mengetahui selain itu, baikdari pengalaman atau enukilan yang tersebar luas. Perbedaan pendapat tentang apa yang menjadi dasar dalam mewajibkannya tidak membahayakan mereka.
Kelima: Telah berlalu pembahsan tentang adzan dalam tafsir surat AlMaa’idah. Al Hamdulillah. Sedangkan dalam tafsir surah Aali ‘Imraan telah berlalu pembahsan bahwa masjid yang mula-mula dibangun di muka bumi adalah masjid Haram kemudian masjid Aqsha. Antar keduanya adalah empat puluh tahun berdasarkan hadits yang diriwayatkan Abu Dzarr.
Sedangkan bangunan Sulaiman adalah masjid Aqsha dan doa untuknya berdasarkan hadist riwayat Abdullah bin Amru da nada aspek yang bisa menggabungkan dalam hadits itu. Silahkan merujuk kembali ke sana.
Di sini kita sebutkan sabda beliau SAW:  Tidak ditekankan berpegian kecuali kepada tiga masjid. Ke masjid Hram, ke masjidku (nabawi) ini dan masjid Iliya atau Baitul Maqdis. HR. Malik dari hadits Abu Hurairah.
Dalam hadits ini menunjukkan keutamaan tiga masjid ini dibandingkan semua masjid. Oleh sebab itu para ulama berkata, “Barangsiap bernadzar melakukan shalat di masjid yang ia tidak akan sampai ke sana kecuali dengan melakukan perjalanan menggunakan kendaraan maka tidak perlu dilakukan dan cukup shalat di masjidnya. Kecuali dalam tiga buah masjid tersebut. Maka barangsiap bernadzar melakukan shalat di dalamnya maka dia harus pergi ke sana.”
Malik dan sekelompok ulama, di antara orang-orang yang bernadzar melakukan jihad menjaga perbatasan munculnya musuh, maka ia wajib memenuhinya di manapun itu karena hal itu merupkan ketaatan kepada Allah ‘Azza wa Jalla.
Sedankan Abu Al Baakhtari dalam hadits ini adalah masjid Al jundi. Ini tidak shahih dan maudhu’ (palsu). Dan telah dilaksanakan diatas dalam mukadimah kitab ini.
Keenam: Firman Allah SWT: إِلَى الْمَسْجِدِ الأَقْصَى  “ke al masjidil Aqsha. “Dinamakan Al Aqsha karena jaraknya yang jauh dengan Masjid Al Haram. Ia merupakan masjid yng paling jauh bagi warga Makkah di muka bumi ini yang diagungkan dengan menziarahinya. Kemudian Allah berfirman:  الَّذِي بَارَكْنَا حَوْلَهُ   Yang telah kami berkahi sekelilingnya,” dengan buah-buahan dan dengan aliran sungai-sungai.
Ada yang mengatakan, “Dengan para nabi dan orang-orang shalih yang dimakamkan di sekelilingnya. Dengan demikian dijadikan sebagai tolokukur.
Mu’adz bin Jbal meriwayatkan dari Nabi SAW bahwa beliau bersabda: Allah Ta’ala berfirman, ‘Wahai Syam, engkau pilihan-Ku diantara negeri- negeri-Ku dan Aku arahkan hamba-hamba pilihan-Ku kepadamu.
لِنُرِيَهُ مِنْ ءَايَاتِنَا  Agar kami perlihatkan kepadanya sebagaian dari tanda-tanda (kebesaran) kami” Ini masuk ke dalam pewaranaan pesan. Tanda-tanda yang ditunjukkan oleh Allah adalah adalah berbagi hal yang menakjubkan yang disampaikan kepada semua manusia. Isra’ Rasulallah dari Makkah ke Masjid Aqsha pada malam hari itu memakan waktu satu malam. Kemudian mi’raj beliu ke langit dengan bertemu para nabi satu persatu.
إِنَّهُ هُوَ السَّمِيْعُ الْبَصِيْرُ  Sesungguhnya Dia adalah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.”Telah dijelaskan sebelumnya.


Sumber: Terjemah Tafsir al-Qurtubhi

Tidak ada komentar:

Posting Komentar