1.
Al Hadid ayat 25
لَقَدۡ
أَرۡسَلۡنَا رُسُلَنَا بِٱلۡبَيِّنَٰتِ وَأَنزَلۡنَا مَعَهُمُ ٱلۡكِتَٰبَ وَٱلۡمِيزَانَ
لِيَقُومَ ٱلنَّاسُ بِٱلۡقِسۡطِۖ وَأَنزَلۡنَا ٱلۡحَدِيدَ فِيهِ بَأۡسٞ شَدِيدٞ
وَمَنَٰفِعُ لِلنَّاسِ وَلِيَعۡلَمَ ٱللَّهُ مَن يَنصُرُهُۥ وَرُسُلَهُۥ بِٱلۡغَيۡبِۚ
إِنَّ ٱللَّهَ قَوِيٌّ عَزِيزٞ ٢٥
25. Sesungguhnya Kami
telah mengutus rasul-rasul Kami dengan membawa bukti-bukti yang nyata dan telah
Kami turunkan bersama mereka Al Kitab dan neraca (keadilan) supaya manusia
dapat melaksanakan keadilan. Dan Kami ciptakan besi yang padanya terdapat
kekuatan yang hebat dan berbagai manfaat bagi manusia, (supaya mereka
mempergunakan besi itu) dan supaya Allah mengetahui siapa yang menolong
(agama)Nya dan rasul-rasul-Nya padahal Allah tidak dilihatnya. Sesungguhnya
Allah Maha Kuat lagi Maha Perkasa.
Firman Allah SWT, لَقَدۡ
أَرۡسَلۡنَا رُسُلَنَا بِٱلۡبَيِّنَٰتِ “Sesungguhnya Kami telah mengutus Rasul-rasul Kamidengan membawa
bukti-bukti yang nyata,” yakni dengan mukjizat yang nyata dan syariat-syariat yang jelas.
Pendapat lain mengatakan, yakni ikhlas beribadah karena Allah SWT, mendirikan
shalat, menunaikan zakat, dengan mukjizat dan bukti-bukti tersebut maka para
rasul berdakwah, dari Nabi Nuh A.S sampai Nabi Muhammad SAW.
وَأَنزَلۡنَا
مَعَهُمُ ٱلۡكِتَٰبَ “Dan telah Kami turunkan bersama mereka Al-Kitab,” yakni
kitab-kitab, dengan kata lain, kami telah mewahyukan kepada mereka suatu
informasi sebelum mereka.
وَٱلۡمِيزَانَ “Dan neraca (keadilan), “Ibnu Zaid berkata, “Yakni apa-apa yang diitmbang dan bermuamalah
dengannya.
لِيَقُومَ
ٱلنَّاسُ بِٱلۡقِسۡطِۖ “Supaya mansia dapat melaksanakan keadilan,” Agar melakuakan
keadilan dalam muamalah mereka.
Firman-Nya بِٱلۡقِسۡطِۖ menunjukkan bahwa yang dimaksud adalah neraca yang biasa digunakan,
maka maknanya adalah, kami telah menurunankan kitab dan meletakkan neraca,
seperti dalam syair:
عَلَفْتُهَا تِبْتًا وَ مَاءً بَارِدًا
Aku memberi makan binatang
dengan sepotong-sepotong dan memberinya yang dingin.
Firman Allah SWT yang juga mencantum kata وَٱلۡمِيزَانَ adalah وَٱلسَّمَآءَ
رَفَعَهَا وَوَضَعَ ٱلۡمِيزَانَ ٧ Dan Allah telah meninggikan langit dan Dia
meletakkan neraca (keadilan) (Q.S Ar-Rahman [55]: 7)
Juga
firman-Nya, وَأَقِيمُواْ ٱلۡوَزۡنَ بِٱلۡقِسۡطِ
وَلَا تُخۡسِرُواْ ٱلۡمِيزَانَ ٩ Dan tegakkanlah timbangan itu dengan adil dan janganlah kamu mengurangi
neraca itu. (Q.S Ar-Rahman [55]: 9).
Dan
kami telah jelaskan tentang ayat وَأَنزَلۡنَا
ٱلۡحَدِيدَ فِيهِ بَأۡسٞ شَدِيدٞ “Dan kami
ciptakan besi yang padanya terdapat kekuatan yang hebat.”.
Umar R.A meriwayatkan
bahwasanya Rasulullah SAW bersabda,
إِنَّ اللَّهَ أَنْزَلَ أَرْبَعَ بَرَكَاتٍ مِنَ السَّمَاءِ إِلَى الْأَرْضِ :
الْحَدِيْدَ وَ النَّارَ وَ المَاءَ وَ المِلْحَ
“Sesungguhnya
Allah SWT menurunkan ke bumi empat keberkahan dari langit yaitu: besi, api,
air, dan garam.”.
Ikrimah meriwayatkan dari Ibnu Abbas, ia berkata, “Tiga benda diturunkan
bersamaan dengan turunnya Nabi Adam A.S: Batu hitam yang berwarna lebih putih
daripada salju, tongkat Nabi Musa A.S yang berasal dari semak-semak surga,
panjangnya sepuluh dzira’ sama seperti tingginya Musa A.S dan besi, dan bersama
besi ini turun pula tiga benda: paron (landasan tukang besi), kalbah (kayu yang
ujungnya terbuat dari besi), dan martil, sebagaimana yang disebutkan oleh
Al-Mawardi.
Ats-Tsa’labu menuturkan,
Ibnu Abbas berkata, Adam A.S turun dari surga, dan bersamanya lima macam besi:
paron (landasan tukang besi), kalbah (kayu yang ujungnya terbuat dari besi),
martil, Al-Miqa’ah (pengasah besi) dan jarum.
Al-Qusyairi menhikayatkan,
“Al Miqa’ah adalah alat pengasah besi.” Dalam Ashh-Shihhah dikatakan,
Al-Miqa’ah adlaah sebuah wadah yang diapakai tukang pandai besi untuk mengasah
besinya, dan juga kayu untuk yang pendek untuk mengetuknya, dan juga martil dan
batu gerinda yang panjang. Ada yang meriwayatkan bahwa surah Al-Hadid turun
pada hari Selasa.
Firman-Nya فِيهِ
بَأۡسٞ شَدِيدٞ “Yang padanya terdapat kekuatan yang hebat,” untuk menumpahkan darah (baca: membunuh), oleh karenanya Rasulullah
melarang berbekam dan fashd (mengeluarkan darah) pada hari selasa, karena pada
hari itu darah sedang mengalir dengan deras, diriwayatkan dari Rasulullah SAW,
beliau bersabda, “Pada hari selasa terdapat satu saat dimana darah selalu
mengalir.” Ada yang mengatakan bahwa maksud dari ۖ وَأَنزَلۡنَا ٱلۡحَدِيدَ adalah kami
telah menciptakannya sebagaimana firman-Nya وَأَنزَلَ
لَكُم مِّنَ ٱلۡأَنۡعَٰمِ ثَمَٰنِيَةَ أَزۡوَٰجٖۚ Dia menurunkan untuk kamu delapan ekor yang
berpasangan dari binatang ternak. (Q.S Az-Zumar [39]: 6).
Ini adalah pendapat Al Hasan, ada
pula yang berpendapat bahwa tidak semua yang terdapat didalam bumi adalah
diturunkan dari langit. Ahli makna berkata, “Allah SWT mengeluarkan besi dair
bahan tambang, kemudian Dia mengajarkan manusia bagaimana membuat besi dengan
wahyu-Nya.”
فِيهِ
بَأۡسٞ شَدِيدٞ “Yang padanya terdapat kekuatan yang hebat,” yaitu senjata,
kuda perang, dan perisai. Adapula yang mengatakan, takut akan dibunuh
sejadi-jadinya.
وَمَنَٰفِعُ
لِلنَّاسِ “dan bermanfaat bagi manusia,” Al Mujahid berkata, yakni sebagai
perisai. Ada yang mengatakan pula, sebagai manfaat bagi manusia karena mereka
menggunakan besi dan menjadikannya sebagai alat bantu, seperti pisau, kapak,
jarum dsb.
وَلِيَعۡلَمَ
ٱللَّهُ مَن يَنصُرُهُۥ “Dan supaya Allah mengetahui siapa yang menolong (agama)Nya,” yaitu
Allah SWT menciptakan besi agar Dia mengetahui siapa-siapa yang menolong
agama-Nya. Pendapat lain mengatakan,
ayat ini diathaf-kan dengan ayat لِيَقُومَ
ٱلنَّاسُ بِٱلۡقِسۡطِۖ “Supaya manusia dapat melaksanakan keadilan.” Kmai mengutus
rasul-rasul kami dan menurunkan kepada mereka kitab, dan juga segala sesuatunya
(termasuk besi) agar mereka dapat melakukan muamalah yang hak dengan manusia وَلِيَعۡلَمَ
ٱللَّهُ مَن يَنصُرُهُۥ “Dan supaya Allah mengetahui siapa yang menolong (agama)Nya,” agar Allah
SWT melihat siapa saja yang menolong agama-Nya, dan juga menolong وَرُسُلَهُۥ
بِٱلۡغَيۡبِۚ “Rasul-rasul-Nya padahal Allah tidak dilihatnya. “Ibnu Abbas
berkata, “mereka (umatnya) menololng para rasul, dan tidak mendustakan mereka,
serta beriman kepada mereka.
Firman-Nya بِٱلۡغَيۡبِۚ yakni mereka tidak melihat secara langsung rasul-rasul mereka.
إِنَّ
ٱللَّهَ قَوِيٌّ عَزِيزٞ “Sesungguhnya Allah Maha kuat lagi Maha Perkasa.” قَوِيٌّ “Maha kuat,” dalam mengambilnya kembali. عَزِيزٞ“Lagi Maha Perkasa.” Hanya Dia yang
dapat mencegah dan melarang, telah kami jelaskan sebelumnya. Ada yang
mengatakan maksud dari بِٱلۡغَيۡبِۚ adalah dengan ikhlas.
2. Al- Ra’d ayat
17
أَنزَلَ
مِنَ ٱلسَّمَآءِ مَآءٗ فَسَالَتۡ أَوۡدِيَةُۢ بِقَدَرِهَا فَٱحۡتَمَلَ ٱلسَّيۡلُ
زَبَدٗا رَّابِيٗاۖ وَمِمَّا يُوقِدُونَ عَلَيۡهِ فِي ٱلنَّارِ ٱبۡتِغَآءَ
حِلۡيَةٍ أَوۡ مَتَٰعٖ زَبَدٞ مِّثۡلُهُۥۚ كَذَٰلِكَ يَضۡرِبُ ٱللَّهُ ٱلۡحَقَّ وَٱلۡبَٰطِلَۚ
فَأَمَّا ٱلزَّبَدُ فَيَذۡهَبُ جُفَآءٗۖ وَأَمَّا مَا يَنفَعُ ٱلنَّاسَ
فَيَمۡكُثُ فِي ٱلۡأَرۡضِۚ كَذَٰلِكَ يَضۡرِبُ ٱللَّهُ ٱلۡأَمۡثَالَ ١٧
17. Allah telah
menurunkan air (hujan) dari langit, maka mengalirlah air di lembah-lembah
menurut ukurannya, maka arus itu membawa buih yang mengambang. Dan dari apa
(logam) yang mereka lebur dalam api untuk membuat perhiasan atau alat-alat, ada
(pula) buihnya seperti buih arus itu. Demikianlah Allah membuat perumpamaan
(bagi) yang benar dan yang bathil. Adapun buih itu, akan hilang sebagai sesuatu
yang tak ada harganya; adapun yang memberi manfaat kepada manusia, maka ia
tetap di bumi. Demikianlah Allah membuat perumpamaan-perumpamaan.
Allah SWT berfirman أَنزَلَ
مِنَ ٱلسَّمَآءِ مَآءٗ فَسَالَتۡ أَوۡدِيَةُۢ بِقَدَرِهَا فَٱحۡتَمَلَ ٱلسَّيۡلُ
زَبَدٗا رَّابِيٗاۖ “Allah telah menurunkan air (hujan) dari langit maka mengalirlah
air di lembah-lembah menurut ukurannya maka arus itu membawa buih yang
mengambang.” Allah SWT memberi permisalan antara yang hak dan yang batil,
orang-orang kafir dimisalkan dengan buih yang naik ke permukaan air. Buih akan
segera lenyap dengan cara menepi pada tepian lembah lalu angin
menghembuskannya. Demikian pula halnya orang-orang kafir, mereka akan segera
lenyap sebagaimana yang akan kita terangkan nanti.
Mujahid berkata, فَسَالَتۡ
أَوۡدِيَةُۢ بِقَدَرِهَا “Maka mengalirlah air di lembah-lembah menurut ukurannya”,
maksudnya adalah, ukuran sepenuh lembah.
`Ibnu Juraij berkata, “Bergantung
kepada ukuran besar dan kecilnya lembah.
Al Asyhab Al Uqaili dan Al Hasan
membaca lafazh بِقَدَرِهَا dengan بِقَدْرِهَا yakni dengan huruf dal berharakat sukun, dan maknanya sama. Ada yang mengatakan,
maknanya sesuai dengan ukuran yang ditetapkan bagi mereka. Kata أَوۡدِيَةُۢ adalah bentuk plural dari lafazh الوَادِي . Disebut الوَادِي karena sifat air itu keluar dan mengalir.
Dengan demikian, الوَادِي berdasarkan sebutan ini adalah air yang mengalir.
Abu Ali berkata, فَسَالَتۡ
أَوۡدِيَةُۢ" maksudnya adalah, airnya mengalir melebar.”
Abu Ali juga berkata, “Makna بِقَدَرِهَا adalah seukuran banyaknya air di lembah, sebab lembah tidak akan
mengalirkan airnya sesuai dengan ukurannya.
فَٱحۡتَمَلَ
ٱلسَّيۡلُ زَبَدٗا رَّابِيٗاۖ “Maka arus itu membawa buih yang mengambang,”
maksudnya adalah muncul dan naik diatas air. Demikian pendapat yang dinyatakan
oleh Mujahid. Kemudian Allah SWT berfirman , وَمِمَّا
يُوقِدُونَ عَلَيۡهِ فِي ٱلنَّارِ “Dan dari apa (logam) yang mereka lebur dalam
api” Ini adalah misal kedua.
ٱبۡتِغَآءَ
حِلۡيَةٍ ۚ “Untuk membuat perhiasan” maksudnya adalah
perhiasan emas dan perak.
أَوۡ
مَتَٰعٖ زَبَدٞ مِّثۡلُهُۥ “Atau alat-alat, ada (pula) buihnya seperti buih arus itu.
Mujahid berkata, “Besi,
tembaga dan timah.”.
زَبَدٞ
مِّثۡلُهُۥ maksudnya adalah, semua benda tersebut
dinaikkan kepermukaan oleh buih, sebagaimana buih dinaikkan kepermukaan oleh
aliran air. Adapun bagaimana air membawa buih, karena air bercampur dengan
tanah, dan dari percampuran tadi terbentuklah buih. Demikian juga halnya
apa-apa yang dibakar di apa, seperti permata, emas, perak, dan barang tambang
lainnya yang keluar dari bumu semuanya bercampur dengan tanah. Ketika
barang-barang tambang tadi dibakar untuk dibersihkan, karena pembakaran
tersebut jatuhlah tanah yang menempel tersebut.
كَذَٰلِكَ
يَضۡرِبُ ٱللَّهُ ٱلۡحَقَّ وَٱلۡبَٰطِلَۚ فَأَمَّا ٱلزَّبَدُ فَيَذۡهَبُ جُفَآءٗۖ Demikianlah Allah membuat perumpamaan (bagi) yang benar dan yang
bathil. Adapun buih itu, akan hilang sebagai sesuatu yang tak ada harganya.
Mujahid berkata, “Maksudnya adalah
membeku.”
Abu Ubaidah berkata, Abu Amr bin
al-A’la berkata, “Kalimat أَجْفَأتْ
القِدَرَ artinya tungku itu mendidih hingga menumpahkan guihnya. Ketika
dingin, buihnya turun kembali ke bawah. Kata جُفَآءٗۖ adalah apa-apa yang dibuang oleh lembah.
وَأَمَّا
مَا يَنفَعُ ٱلنَّاسَ فَيَمۡكُثُ فِي ٱلۡأَرۡضِۚ Adapun yang memberi manfaat kepada manusia, maka ia tetap di bumi.
Mujahid berkata, “Dia itu adalah air yang murni dan bersih”.
Ada yang mengatakan, bagian yang
murni dari perak, emas, besi, tembaga dan timah. Kedua misal ini Allah SWT
berikan untuk menggambarkan kebenaran yang selalu ada dan kebatilan yang akan
segera sirna. Buih, walaupun sering berada diatas, dia akan segera sirna seperti
buih dan kotoran.
Ada juga yang mengatakan, Allah SWT
memberikan permisalan bagi Al-Qur’an dan bagian yang masuk ke dalam hati. Allah
SWT memisalkan Al-Qur’an dengan hujan, sebab berita yang dibawa ayat dimaksud
bersifat umum, dan manfaat yang dibawanya bersifat abadi. Maka, hati dimisalkan
dengan lembah yang meneriman masuknya Al-Qur’an, sebagaimana air yang masuk
kedalam lembah seukuran dalam dan besarnya lembah.
Ibnu Abbas RA berkata, “Firman-Nya, أَنزَلَ
مِنَ ٱلسَّمَآءِ مَآءٗ “Allah telah menurunkan air (hujan) dari langit, yakni dengan air
hujan adalah Al-Qur’an.
فَسَالَتۡ
أَوۡدِيَةُۢ بِقَدَرِهَا “Maka mengalirlah air di lembah-lembah menurut ukurannya”, yang
dimaksud dengan lembah adalah hati-hati para hamba Allah SWT.
Penulis kitab Suq Al Arus berkata,
“Jika benar riwayat ini berasal dari Ibnu Abbas RA, maka artinya adalah Allah
SWT memisahkan Al-Qur’an dengan air dan hati-hati manusia dengan lembah.
Perkara yang tetap hukumannya dimisalkan dnegan air yang bersih dan perkara
yang mutasyabih (hukumnya meragukan) dimisalkan dengan buih.”.
Ada yang mengatakan, buih adalah
hayalan dan gejolak keraguan yang naik ke permukaan akibat dorongan isi yang
ada di dalam jiwa, sebagaimana halnya air bersih yang mengalir yang mengangkat
naik benda-benda selain air yang terdapat di lembah. Sedangkan perhiasan emas
dan perak itu seperti kondisi agung dan akhlak yang bersih, yang menjadi hiasan
seseorang dan tegaknya amal kebajikan, sebagaimana halnya emas dan perak adalah
hiasan para wanita dan sebuah benda menjadi berharga dengannya.
Humaid, Ibnu Muhaishin, Yahya,
Al-A’masy, Hamzah, Al-Kisa’I dan Hafsh membacanya يُوقِدُونَ yakni dengan huruf ya di awal, dan merupakan pilihan Abu Ubaidah
karena firman sebelumnya, يَنْفَعُ
النَّاسَ disebutkan dalam bentuk berita (khabar) dan bukan berbentuk dialog,
Ulama lainnya membacanya dengan huruf ta, berdasarkan firman-Nya pada
awal kalimat (ayat sebelumnya), أَفَاتَّخَذْتُمْ
مِنْ دُوْنِهِ أوْلِيَآءَ dan firman-Nya فِى
النَّارِ “Didalam api”, berhubungan dengan lafazh yang
tidak disebutkan . Lafazh فِى
النَّارِ berfungsi sebagai hal (keadaan penjelas) dan dzu
al haal (pemilik keadaan) adalah kanti ganti ha’ yang terdapat pada lafazh عَلَيْهِ . Perkiraan maknanya adalah, dan dari apa (logam) yang kamu sekalian lebur tetap
atau berada didalam api.
Sedangkan lafazh فِى
النَّارِ terdapat kata ganti rafa’ yang kembali
kepada kata ganti ha’ yang merupakan isim dzu al hal. Tidak benar jika menghubungkan
lafazh فِى النَّارِ dengan يُوقِدُونَ sebagaimana halnya tidak mengucapkan, أَوقِدُونَ
عَلَيۡهِ فِي ٱلنَّارِ (kamu meleburnya didalam api sebab peleburan memang didalam api. Artinya,
lafazh فِي ٱلنَّارِ tidak dibutuhkan.
ٱبۡتِغَآءَ
حِلۡيَةٍ “Untuk membuat perhiasan”, adalah maf’ul bih (obyek) زَبَدٞ
مِّثۡلُهُۥ “buihnya seperti buih arus itu.” Adalah kalimat dari mubtada (subyek) dan
khabar (predikat), مِّثۡلُهُ adalah sifat bagi زَبَدٞ dan khabarnya adalah kalimat sebelumnya yakni وَمِمَّا
يُوقِدُونَ.
كَذَٰلِكَ
يَضۡرِبُ ٱللَّهُ ٱلۡأَمۡثَالَ “Demikianlah Allah membuat perumpamaan-perumpamaan,” misalnya adalah,
sebagaimana Allah SWT menjelaskan kepada kamu sekalian dengan permisalan ini,
demikian pula Dia menjelaskan makna permisalan tersebut.
3. Yunus ayat 22
هُوَ
ٱلَّذِي يُسَيِّرُكُمۡ فِي ٱلۡبَرِّ وَٱلۡبَحۡرِۖ حَتَّىٰٓ إِذَا كُنتُمۡ فِي ٱلۡفُلۡكِ
وَجَرَيۡنَ بِهِم بِرِيحٖ طَيِّبَةٖ وَفَرِحُواْ بِهَا جَآءَتۡهَا رِيحٌ عَاصِفٞ
وَجَآءَهُمُ ٱلۡمَوۡجُ مِن كُلِّ مَكَانٖ وَظَنُّوٓاْ أَنَّهُمۡ أُحِيطَ بِهِمۡ
دَعَوُاْ ٱللَّهَ مُخۡلِصِينَ لَهُ ٱلدِّينَ لَئِنۡ أَنجَيۡتَنَا مِنۡ هَٰذِهِۦ
لَنَكُونَنَّ مِنَ ٱلشَّٰكِرِينَ ٢٢
22. Dialah Tuhan yang
menjadikan kamu dapat berjalan di daratan, (berlayar) di lautan. Sehingga
apabila kamu berada di dalam bahtera, dan meluncurlah bahtera itu membawa
orang-orang yang ada di dalamnya dengan tiupan angin yang baik, dan mereka
bergembira karenanya, datanglah angin badai, dan (apabila) gelombang dari
segenap penjuru menimpanya, dan mereka yakin bahwa mereka telah terkepung
(bahaya), maka mereka berdoa kepada Allah dengan mengikhlaskan ketaatan
kepada-Nya semata-mata. (Mereka berkata): "Sesungguhnya jika Engkau
menyelamatkan kami dari bahaya ini, pastilah kami akan termasuk orang-orang
yang bersyukur".
Firman Allah SWT, هُوَ
ٱلَّذِي يُسَيِّرُكُمۡ فِي ٱلۡبَرِّ وَٱلۡبَحۡرِۖ حَتَّىٰٓ إِذَا كُنتُمۡ فِي ٱلۡفُلۡكِ
وَجَرَيۡنَ بِهِم “Dialah Tuhan
yang menjadikan kamu dapat berjalan di daratan, (berlayar) di lautan. Sehingga
apabila kamu berada di dalam bahtera, dan meluncurlah bahtera itu membawa
orang-orang yang ada di dalamnya”. Maksudnya adalah, Allah membawamu dapat
berjalan di muka bumi dengan kendaraan, dan membawamu dapat berjalan
(mengarungi) lautan dnegan kapal (bahtera).
Al Kalbi mengatakan bahwa Allah yang
menjaga kalian dalam perjalanan.
Ayat tersebut mengandung beberapa
nikmat yang dianugerahkan Allah seperti dalam ayat ini, yaitu kemampuan manusia
berkendaraan di daerah dan lautan. Penjelasan tentang berlayar di lautan sudah
dibahas dalam tafsir surah Al-Baqarah.
Lafazh, يُسَيِّرُكُمۡ adalah
lafazh umum yang dipakai, sedangkan Ibnu Amir membacanya dengan lafazh يُنْشِرُكُمْ
dengan huruf nun dan syin
yang bermaksud menyebarkan.
Lafazh ٱلۡفُلۡكِ dapat dipakai untuk kata
tunggal dan jamak, baik mudzakkar maupun muannast.
وَجَرَيۡنَ
بِهِم adalah perkataan yang berubah dari dhamir khitab (kata ganti objek yang
diajak bicara) kepada dhamir ghaib (kata ganti orang ketiga jamak), dan hal ini
dalam Al-Qur’an dan syair Arab banyak ditemukan.
An-Nabighah
mengungkapkan,
يا
دَارَ المَيِّتِ بِالْعَلْيَاءِ فَالسَّنَدُ أَقْوَتُ وَ طَالَ عَلَيْهَا الأَمَدُ
Duhai tanah
mati yang ada diatas bukit, di lereng terjal itu aku menyepi,
Dan masa-masa
yang telah berlalu terasa begitu lama.
Ibnu
al-Anbari berkata, “Dalam bahasa, sah-sah saja sautu kata dikembalikan ke
dhamir mukhatab (kata ganti orang kedua) setelah sebelumnya menunjukkan dhamir
ghaib (ganti orang ketiga), seperti firman Allah SWT,
عَٰلِيَهُمۡ
ثِيَابُ سُندُسٍ خُضۡرٞ وَإِسۡتَبۡرَقٞۖ وَحُلُّوٓاْ أَسَاوِرَ مِن فِضَّةٖ
وَسَقَىٰهُمۡ رَبُّهُمۡ شَرَابٗا طَهُورًا ٢١ إِنَّ
هَٰذَا كَانَ لَكُمۡ جَزَآءٗ وَكَانَ سَعۡيُكُم مَّشۡكُورًا ٢٢
21. Mereka memakai pakaian sutera halus yang hijau
dan sutera tebal dan dipakaikan kepada mereka gelang terbuat dari perak, dan
Tuhan memberikan kepada mereka minuman yang bersih
22. Sesungguhnya ini adalah balasan untukmu, dan
usahamu adalah disyukuri (diberi balasan) (Q.S. Al-Insaan (76): 21-22)
Dalam ayat ini jelas terlihat bahwa pada ayat
sebelumnya memakai dhamir ghaib (هم)
kemudian ayat
sesudahnya memakai dhamir mukhatab ((كم.
Firman Allah SWT, بِرِيحٖ
طَيِّبَةٖ وَفَرِحُواْ بِهَا “Dengan tiupan angin yang baik dan mereka bergembira
karenanya.
Ayat ini sudah dibahas dalam tafsir surah Al-Baqarah sebelumnya جَاءَتْهَا
رِيْحُ عَاصِفٌ “Datanglah angin badai”.
Dhamir pada kalimat جَاءَتْهَا ditunjukkan kepada kapal.
Ada juga yang berkata, “kembali kepada angin yang baik”.
Kata عَاصِفٌ artinya yang sangat kencang. Kata ini
disebutkan dalam bentuk mudzakkar, karena kata رِيْحُ juga mudzakkar.
وَجَآءَهُمُ ٱلۡمَوۡجُ مِن
كُلِّ مَكَانٖ “Dan (apabila) gelombang dari segenap penjuru menimpanya.”.
Kata ٱلۡمَوۡجُ artinya air yang meninggi. وَظَنُّوٓاْ
“Mereka
mengira maksudnya mereka yakin.
أَنَّهُمۡ أُحِيطَ بِهِمۡ maksudnya mereka telah telah terkepung
bencana.
دَعَوُاْ ٱللَّهَ
مُخۡلِصِينَ لَهُ ٱلدِّينَ maksudnya adalah, mereka hanya memohon kepada Allah dan lupa memohon kepada
sesembahannya. Hal ini menjadi dalil yang menjelaskan bahwa apabila dalam
keadaan terdesak maka mereka hanya memohon kepada Allah. Orang yang memohon ini
akan dijawab doanya meskipun dia orang kafir, karena dia kembali kepada Tuhan,
sebagaimana akan dijelaskan nanti dalam tafsir surah An-Naml.
Sebagian ahli tafsir mengatakan bahwa diantara perkataan (doa) mereka
adalah أَهْيَا
شَرَاهَيَا yang maksudnya يَا حَيُّ يَا قَيُّوْمُ wahai Maha hidup dan Maha mengurusi makhluk-Nya.
Masalah: Ayat ini menjelaskan tentang berlayar di laut secara mutlak.
Abu Hurairah RA, dalam Sunnah, menyebutkan, “sesungguhnya kami berlayar di
lautan sedangkan kami hanya membawa sedikit air …..”.
Begitu juga dengan hadits Anas RA
yang menyebutkan kisah Ummu Haram, menunjukkan bahwa boleh melakukan pelayaran
saat terjadi peperangan.
Firman Allah SWT لَئِنۡ
أَنجَيۡتَنَا مِنۡ هَٰذِهِۦ
“sesungguhnya
jika Engkau menyelamatkan kami dari bahaya ini,” maksudnya adalah diselamatkan
dari kesempitan dan kegalauan ini.
Al Kalbi mengtakan bahwa maksudnya adalah diselamatkan dari angin (badai)
ini.
لَنَكُونَنَّ مِنَ ٱلشَّٰكِرِينَ “Pastilah kami akan menjadi orang-orang yang
bersyukur” maksudnya adalah, kami akan menjalankan perintah-Mu dan menaatinya
dengan penuh keikhlasan.
4.
Al-Anbiya ayat 81
وَلِسُلَيۡمَٰنَ
ٱلرِّيحَ عَاصِفَةٗ تَجۡرِي بِأَمۡرِهِۦٓ إِلَى ٱلۡأَرۡضِ ٱلَّتِي بَٰرَكۡنَا
فِيهَاۚ وَكُنَّا بِكُلِّ شَيۡءٍ عَٰلِمِينَ ٨١
81. Dan (telah Kami
tundukkan) untuk Sulaiman angin yang sangat kencang tiupannya yang berhembus
dengan perintahnya ke negeri yang kami telah memberkatinya. Dan adalah Kami
Maha Mengetahui segala sesuatu.
Firman Allah SWT, وَلِسُلَيۡمَٰنَ
ٱلرِّيحَ عَاصِفَةٗ “Dan (telah Kami tundukkan) untuk Sulaiman angin yang sangat
kencang tiupannya” yakni: wasakhkharnaa li sulaimaana ar-riiha ‘aashifah (dan
kami tundukkan untuk Sulaiman angin yang sangat kencang), ‘aashifah adalah
syadiidah al hubuub (sangat kencang tiupannya). Dikatakan ‘ashafat
ar-riih artinya angin bertiup kencang, riih ‘aashif atau riih ‘ashuuf (angin kencang).
Dalam logat Bani Asad: a’shafat
ar-riih, bentuk isimnya mu’shif dan mu’shifah. Al ‘Ashf adalah at-tibn
(jerami/ rumput kering), dari situlah muncul sebutan kencangnya tiupan
angin, karena angin itu meniupnya ddengan kencang sehingga menerbangkannya.
Abdurrahman al A’raji dan Abu Bakar
membacanya وَلِسُلَيۡمَٰنَ ٱلرِّيحُ dengan rafa’ pada ha yang berarti memutuskan
dari yang sebelumnya. Maknanya: wa li sulaimaana taskhiru ar-riih (dan
Sulaiman memiliki (kemampuan) menundukkan angin), sebagai mubtada’ dan khabar.
تَجۡرِي
بِأَمۡرِهِۦٓ إِلَى ٱلۡأَرۡضِ ٱلَّتِي بَٰرَكۡنَا فِيهَاۚ “Yang berhembus dengan perintahnya ke negeri yang Kami telah memberkatinya”
yakni Syam. Diriwayatkan bahwa angin itu membawanya dan para sahabatnya kemana
pun yang diinginkan Sulaiman, kemudian dibawa kembali ke Syam.
Wahb mengatakan, “Apabila
Sulaiman bin Daun keluar dari majlisnya, burung-burung merunduk hormat padanya,
sementara jin dan manusia berdiri untuknya, sampai ia duduk di singgasananya.”
Sulaiman adalah seorang
ahli perang yang tidak pernah berhenti dair peperangan. Apabila ia hendak pergi
berperang, ia memerintahkan kayu sehingga kayu terbentang, lalu diangkutlah manusia,
binatang dan alat perang diatasnya, kemudian memerintahkan angin kencang untuk
mengangkatnya, lalu memerintahkan angin lembut untuk membawanya, yang mana
keberangkatannya selama satu bulan dan kepulangannya selama satu bulan, itulah
makna firman Allah SWT: فَسَخَّرۡنَا
لَهُ ٱلرِّيحَ تَجۡرِي بِأَمۡرِهِۦ رُخَآءً حَيۡثُ أَصَابَ ٣٦ “Kemudian Kami tundukkan kepadanya angin yang
berhembus dengan baik menurut ke mana saja yang dikehendakinya”. Ar-Rakha adalah
lembut.
وَكُنَّا
بِكُلِّ شَيۡءٍ عَٰلِمِينَ “Dan adalah Kami Maha Mengetahui segala
sesuatu.” Yakni Kami mengetahui segala sesuatu, mengetahui segala
pengaturannya.
5.
An-Nahl ayat 80
وَٱللَّهُ
جَعَلَ لَكُم مِّنۢ بُيُوتِكُمۡ سَكَنٗا وَجَعَلَ لَكُم مِّن جُلُودِ ٱلۡأَنۡعَٰمِ
بُيُوتٗا تَسۡتَخِفُّونَهَا يَوۡمَ ظَعۡنِكُمۡ وَيَوۡمَ إِقَامَتِكُمۡ وَمِنۡ
أَصۡوَافِهَا وَأَوۡبَارِهَا وَأَشۡعَارِهَآ أَثَٰثٗا وَمَتَٰعًا إِلَىٰ حِينٖ ٨٠
80. Dan Allah menjadikan
bagimu rumah-rumahmu sebagai tempat tinggal dan Dia menjadikan bagi kamu rumah-rumah
(kemah-kemah) dari kulit binatang ternak yang kamu merasa ringan (membawa)nya
di waktu kamu berjalan dan waktu kamu bermukim dan (dijadikan-Nya pula) dari
bulu domba, bulu unta dan bulu kambing, alat-alat rumah tangga dan perhiasan
(yang kamu pakai) sampai waktu (tertentu).
Dalam ayat diatas Sembilan masalah:
Pertama: Firman Allah, جَعَلَ
لَكُم
“(Allah) menjadikan bagimu,”
maksudnya membuat. Semua yang di atas anda lalu memayungi Anda maka itu adalah
atap dan langit. Sedangkan apa yang ada dibawah Anda adalah bumi. Sedangkan
semua yang menutupi Anda dari sisi Anda yang empat adalah dinding. Sedangkan
semua yang menutupi Anda dari sisi Anda yang empat adalah dinding. Sedangkan
jika semua itu teratur rapih sedemikian rupa dan saling bersambung maka itu
adalah rumah. Dlam ayat ini penyebutan nikmat-nikmat Allah SWT atas semua
manusia di dalam rumah-rumah. Maka mula-mula disebutkan rumah kota, yaitu yang
digunakan untuk tempat tinggal.
Firman-Nya سَكَنٗا “rumah-rumah.” Maksudnya,
kalian semua tinggal di dalamnya menenangkan anggota tubuh setelah
beraktifitas. Kadang-kadang engkau bergerak dan kadang tenang. Hanya saja
ungkapan ini pada dasarnya keluar dari kematiannya. Ini dianggap termasuk ragam
ni’mat, karena jika dikehendaki maka Allah ciptakan hamba ini dalam keadaan
selalu bergerak seperti benda-benda langit yang sesuai dengan ciptaan dan
kehendak-Nya.
Jika Allah menciptakannya selalu diam
seperti bumi maka yang sedemikian itu sebagaimana yang Dia ciptakan dan Dia
kehendaki. Akan tetapi Allah menciptakannya sebagai makhluk yang berhak
bersikap karena dua aspek dan berbeda kondisinya di antara dua keadaaan. Dia
mengulang- ulangnya bagaimana dan di mana.
سَكَنٗا Adalah bentuk mashdar (infinitif)
yang dengan disifati sesuatu yang tunggal maupun jamak. Kemudian Allah SWT
menyebutkan rumah-rumah yang bisa dipindah-pindah dan bisa di bawa ke mana
saja, yaitu:
Kedua: Firman-Nya : وَجَعَلَ
لَكُم مِّن جُلُودِ ٱلۡأَنۡعَٰمِ بُيُوتٗا تَسۡتَخِفُّونَهَا “Dan
Dia menjadikan bagi kamu rumah-rumah (kemah-kemah) dari kulit bintang ternak
yang kamu merasa ringan(membawa)nya. “Maksudnya,dari kulit dan kulit yang
disamak. بُيُوتٗا “Rumah-rumah
(kemah-kemah).” Maksudnya, kemah dan
kubuh yang ringan bagi kalian membawanya dalam setiap perjalanan.
يَوۡمَ
ظَعۡنِكُمۡ “Di waktu kamu berjalan.” Adalah perjalanan orang pendalaman (nonmadik) dalam perpindahan
dari satu tempat ke tempat lain.
Yang
demikan itu sebagaimana ungkapan Antarah:
ظَعَنَ الَّذِيْنَ
فِرَاقُهُمْ أتَوَقَّعُ وَ جَرَى بِبَيْنِهِمْ الْغُرَابُ الأَبْقَعُ
Pergilah mereka
yang perpisahannya aku nantikan
Yang berlari diantara mereka gagak warna hitam
dan putih.
الظَّغْنُJuga berarti
sekedap. Ia bertutur:
ألَا هَلْ هَاجَكَ
الأَظْعَانُ إذْ بَانُوا وَ إِذْ جَادَلتْ بِوَشْكِ الْبَيْنِ
غِرْبَانُ
Bukankah
sekedap itu mengguncamkanmu ketika mereka berpisah
Dan ketika perpisahan itu sangat
cepat muncullah sejumlah gagak.
Di baca dengan
mensukunkan huruf ‘ain atau dengan fathah sebagaimana: الشَّعْرُdan الشَّعَرُ
Ada yang mengatakan, “Bisa juga
bermakna yang mencakup semua rumah dari kulit, rumah dari bulu dan rumah dari
wool. Karena semua ini dari kuit dan berada tetap.”
Ibnu Salam mengarah kepada pendapat
demikian, dan ini adalah kemungkinan makna yang bagus.
Sedangkan ungkapan وَمِنۡ
أَصۡوَافِهَا “dari bulunya” adalah
permulaan pembicaraan. Seakan-akan Dia berfirman, “Dia telah menjadikan
perabotan” sedangkan yang dikehendaki adalah pakaian dan alas dan lain
sebagaimananya.
Seorang
penyair berkata,
أَهَا
جَتْكَ الظَّعَائِنُ يَوْمَ بَانُوا بِذِى
الزِّيِّ الجَمِيْلِ مِنَ الأَثَاثِ
Apakah mengguncamkanmu sejumlah sekedap
ketika mereka berpisah. Dengan orang yang memiliki pakaian bagus dan sebagian
perabotan.
Bisa
pula yang dimaksud dengan firman-Nya: مِّن
جُلُودِ ٱلۡأَنۡعَٰمِ “Dari kulit binatang
ternak,” rumah-rumah dari kulit saja sebagimana telah kami jelaskan di
muka.
Dengan demikian firman-Nya: وَمِنۡ
أَصۡوَافِهَا “Dan dari bulunya
(domba),” sebagai athaf pada
firman-Nya: مِّن
جُلُودِ ٱلۡأَنۡعَٰمِ “Dri kulit binatang ternak.”
Maksudnya, juga membuat rumah.
Ibnu Al Arabi berkata, “Ini adalah
perkara yang populer di daerah itu dan tidak ada negri kita, dan di negri kita,
dan di negri kita tidak ada tempat tinggal yang terbuat dari bulu melainkan
dari katun dan wool.”
Nabi SAW memiliki sebuah kubah atau
kemah yang terbuat dari kulit, namun tentu jauh dari pikiran Anda kulit dari
Tha’if karena mahal harganya dan sangat tinggi kualitasnya jenis kulitnya. Hal
demikian bagi beliau SAW tidak dipandang sebagai suatu kemewahan atau sikap
berlebih-lebihan, karena hal itu adalah sebagian apa yang dianugerahkan Allah
SWT berupa kenikmatan, dan beliau diberi izin memilikinya sebagai kekayaan
beliau.
Sangat jelas aspek manfaatnya untuk
tempat tinggal dan berteduh. Di antara perkara aneh yang terjadi bahwa aku
pernah mengunjungi sebagian orang-orang zuhud dari mereka yang lalai bersama
sebagaian para ahli hadits. Maka kami masuk ke tempat tinggal mereka dalam
kemah dari katun sehingga salah seorang kami yang yang merupakan seorang ahli
hadits menunjukkan keinginannya untuk mengajak seorang dari mereka berkunjung
ke rumahnya sebagai tamu. Maka dia berkata, “Sesungguhnya ini adalah negri yang
banyak musim panansnya, sedangkan rumah itu sangat sejuk untuk anda dan lebih bagus
untukku.”Maka dia berkata,” Kemah seperti ini sangat banyak di negri kami. Yang
dibuat untuk orang kecil. “Maka aku katakan, “Bukan seperti yang engkau kira!
Rasulallah SAW sebgai tokoh suri teladan orang-orang zuhud, memiliki kubah dari
kulit buatan Tha’if yang selalu beliau bawa dalam perjalanan dan beliau gunakan
untuk berteduh.” Maka dia pun bungkam, dan aku melihatnya pada kondisi kebingungan
sehingga aku meninggalkannya bersama temanku dan aku pun ke luar dari
tempatnya.”
Ketiga: Firman Allah SWT: وَمِنۡ
أَصۡوَافِهَا وَأَوۡبَارِهَا وَأَشۡعَارِهَآ “Dan (dijadiakan-Nya pula)
dari bulu domba, bulu orang dan bulu kambing.” Allah SWT memberikan izin
untuk mengambil manfaat dari bulu kambing, bulu unta dan bulu domba sebgaimana
Allah SWT telah memberikan izin dalam hal yang berkenaan dengan tulang-tulang,
yaitu: menyembelihnya dan memakan dagingnya. Allah SWT tidak menyebutkan kapas
dan katun karena di negri Arab audien yang mengenal hal tersebut. Akan tetapi
menyebutkan apa yang dikenal audien yang diajak bicara dan mereka pahami serta
segala hal sejenis yang masuk kategori nikmat. Yang demikian ini sebgaimana
firman Allah SWT, وَيُنَزِّلُ
مِنَ ٱلسَّمَآءِ مِن جِبَالٖ فِيهَا مِنۢ بَرَدٖ
“…dan Allah (juga) menurunkan
(butiran-butiran) es dari langit (yaitu) dari (gumpalan-gumpalan awan seperti)
gunung-gunung.” (Qs. An-Nur [24]:43).
Mereka diajak bicara tentangbes karena
mereka mengetahui bahwa es sering turun di negri mereka, namun Allah tidak
menyebutkan masalah salju karena salju tidak ada di negri mereka. Yang demikian
ini dimisalkan dalam sifat dan manfaat. Keduannya telah disebutkan oleh Nabi
SAW secara bersama-sama dalam hal bersuci. Beliau bersabda,
اللَّهمَّ
اغْسِلْنِي بِمَاءٍ وَ ثَلْجٍ وَ بَرَدٍ
“Ya Allah, bersikanlah aku dengan air, salju dan embun.”
Ibnu Abbas
berkata, “Salju itu berwarna putih, turun dari langit namun aku sendiri belum
pernah melihatnya saa sekali.”
Ada yang mengatakan, “Meninggalkan
penyebutan kepas dan katun adalah karena berpaling dari sikap bermewah-mewah,
karena pakaian para hamba Allah yang shalih adalah dari wol. Hal ini perlu ditinjau ulang. Sesungguhnya Allah SWT
berfirman:
يَٰبَنِيٓ
ءَادَمَ قَدۡ أَنزَلۡنَا عَلَيۡكُمۡ لِبَاسٗا يُوَٰرِي
“Hai anak Adam,
sesungguhnya kami telah menurunkan kepadamu pakaian untuk menutup auratmu”…
(Qs. Al A’raaf [7]:26). Sebagaimana telah telah di jelaskan dalam tafsir syrah
Al A’raaf. Di sini Allah berfirman:
وَجَعَلَ
لَكُمۡ سَرَٰبِيلَ
“….dan
menjadikan bagi kalian pakaian (baju besi)…” (Qs.An Nahl [16]:81). Menunjukkan
kepada kapas dan katun dalam kataسَرَٰبِيلَ
Wallahu a’lam.
أَثَٰثٗا Alat-alat rumah
tangga. “Al Khalil berkata, “Kekayaan yang sebagian ditambahkan kepada sebagaian
yang lain. Dari kata jika sesuatu menjadi banyak jumlahnya. Ia berkata:
وَفَرْعٍ يَزِيْنُ الْمَتْنَ
أَسْوَدَ فَاحِم أَثِيْثٍ كَقِنْوِ
النَّخْلَةِ الْمُتَعَثْكِلِ
Rambut itu menghias bukti dengan
Warna hitam pekat.
Banyak tumbuh bagai tangkai kurma
yang bertumpuk.
Ibnu Abbas: أَثَٰثٗا
“pakaian” dan telah
dijelaskan di atas. Ayat ini mencakup hukum bahwa bagaimanapun boleh mengambil
manfaat dari bulu (binatang). Oleh sebab itu para pengikut madzab Maliki
berkata, “Bulu bangkai itu suci dan boleh diambil manfaatnya bagaimanapun juga.
Tetapi harus dicuci karena khawatir ada kotoran padanya.” Demikian juga Ummu
Salamah meriwayatkan dari Nabi SAW bahwa beliau besabda,
لَا
بَأْسَ بِجِلْدِ الْمَيْتَةِ إِذَا دُبِغَ وَ صُوْفِهَا وَشَعْرِهَا إِذَا غَسَلَ
“Tidak
masalah dengan kulit bangkai jika disimak, demikian juga dengan bulu dan
rambutnya jika dicuci.
Karena, semua
itu bagian yang tidak terpengaruh oleh kematian, baik itu bulu binatang yang
halal dagingnya atau tidak. Seperti:
rambut anak adam (manusia) dan bulu babi. Semua itu suci. Demikian
dikatakan pula oleh Abu Hanifah. Bahkan dia memberikan tambahan kepada kami
dengan mengatakan, “Tanduk, gigi, tulang adalah sama dengan rambut.” Dia
beralasan, karena semua ini tidak memiliki ruh sehingga tidak najis dengan
kematian hewan itu”
Al Hasan Al Bashri dan Al-Laits bin
Sa’ad Al Auza’I berkata, “Semua bulu itu najis akan tetapi bisa disucikan
dengan mencucinya.”
Dari Asy-Syafi’I ada tiga riwayat: pertama,
suci dan tidak najis karena kematian. Kedua, najis. Ketiga, berbeda antara
rambut manusia dengan lain-lainnya. Rambut manusia suci sedangkan yang lainnya
najis. Dalil kami adalah keumuman firman Allah SWT: وَمِنۡ
أَصۡوَافِهَا “Dan di jadikan-Nya pula)
dari bulu domba” Maka Allah
menganugerahkan kepada kita dengan memberikan izin kepada kita untuk mengambil
mnfaat dari semua itu, dan tidak mengkhususkan bulu bangkai dari bintang yang
disembelih. Semua ini, bersifat umum kecuali yang dilarang berdasarkan dalil.
Demikian pula bahwa hukum asalnya
adalah suci sebelum mati dengan dasar kesepakatan. Barangsiapa mengklaim bahwa
dai telah berubah menjadi najis, maka dia harus mengetengahkan dalil. Jika
dikatakan bahwa firman Allah SWT, “Diharamkan
bagi kalian bangkai” adalah sebuah ungkapan yang menunjukan kepda
keseluruhan, maka kami katakana, “Kami men-takhshih-nya
(membatasinya) dengan apa yang sudah disebut di atas. Krena semua itu
disebut langsung di dalam nash ketika menyebutkan bulu, sedangakn di dalam ayat
tidak ada penyebutannya secara gamblang. Maka dalil kami lebih utama. Wallahu a’lam.”
Syaikh Imam Abu
Ishak seorang imam dari kalangan Syafi’iy di Baghdad cenderung mengatakan bahwa
rambut adalah bagian yang tak terpisahkan oleh hewan dalam penciptaanya. Dia
tumbuh seiring dengan pertumbuhan hewan itu sehingga menjadi najis dengan
kematiannya sebagaimana semua bagian tubuhnya.
Hal tersebut dibantah: Bahwa
pertumbuhan tersebut bukan dalil yang menunjukan kehidupan. Karena tanaman
tetap tumbuh padahal tidak hidup. Jika mereka lebih cenderung kepada
pertumbuhan yang yang berhubungan dengan apa yang ada pada hewan maka kami
cenderung kepada keberadaan yang menunjukkan tidak adanya daya indera yang
menunjukkan tidak adanya kehidupan. Sedangkan apa yang disebutkan oleh para
pengikut madzhab Hanafi berkenaan dengan tulang, gigi, tanduk dari hewan yang
telah menjadi bangkai bahwa semua itu bagian yang sama dengan rambut, maka yang
masyhur di kalangan kami (Syafi’iah) bahwa semua itu najis seperti dagingnya.
Ibnu Wahb berpendapat sebagaimana pendapat Abu Hanifah.
Lalu apakah ujung tanduk atau kuku
disamakan dengan pangkalnya atau dengan rambut, dalam hal ini ada dua pendapat.
Demikian juga sebagai rambut yaitu bulu (sebagaimana bulu ayam) hukumnya adalah
sama dengan hukum rambut. Dalil tentang tulang juga sama dengan hukumnya. Dalil
kami adalah sabda Rasulallah SAW,
لَاتُنْفِعُ
مِنَ الْمَيِّةِ بِشَيْءٍ
“Janganlah kalian mengambil manfaat dari bangkai”
Dalil ini
bersifat umum berkenaan dengan bangkai dan mengenai setiap bagian dari bangakai
itu, kecuali yang ada dalilnya secara khusus. Di antara dalil mutlak yang
menunjukan hal yang demikian ini adalah firman Allah SWT:
قَالَ
مَن يُحۡيِ ٱلۡعِظَٰمَ وَهِيَ رَمِيمٞ ٧٨
“Ia
berkata: ‘Siapakah yang dapat menghidupkan tulang belulang yang telah hancur
luluh?” (Qs. Yaasiin [36]:78)
Juga firman-Nya:
وَٱنظُرۡ
إِلَى ٱلۡعِظَامِ كَيۡفَ نُنشِزُهَا
“…. Dan
lihatlah kepada tulang belalang itu, Kemudian kami menyusunya kembali.” (Qs.
Al Baqarah [2]:259)
Juga firman-Nya:
فَكَسَوۡنَا
ٱلۡعِظَٰمَ لَحۡمٗا
“…… lalu tulang
berulang itu Kami bungkus dengan daging ……”
Juga
firman-Nya:
أَءِذَا
كُنَّا عِظَٰمٗا نَّخِرَةٗ ١١
“…lalu tulang
belalang itu kami bungkus dengan daging…” (Qs.An Nazi’at [79]:11).
Asalnya
adalah tulang, ruh dan kehidupan yang di dalamnya daging dan kulit. Sedangkan
di dalam hadits Abdullah bin Ukaim,
لَا تَنْفِعُوْا مِنَ
الْمَيْتَةِ بِإِهَابٍ وَ لَا عَصَبٍ
“Janganlah kalian manfaatkan dari bangkai
kulit atau ototnya.”
Jika dikatakan, “Telah jelas dalam
kitab Ash-Shahih bahwa Nabi SAW bersabda berkenaan dengan bangkai seekor domba
milik Maimunah:
أَلَا
إِنْتِفَاعُهُمْ بِجِلْدِهَا. قَالوا يَا رَسُلَ اللَّه إِنَّهَا مَيِّتَةٌ
فَقَالَ إِنَّمَا حَرُمَ أكْلُهَا
“Mengapa
kalian tidak memanfaatkan kulitnya?. “Mereka berkata “Wahai Rasulullah, tapi
itu telah menjadi bangkai.” Beliau bersabda, “Sesungguhnya yang haram itu
adalah memakannya.”
Tulang juga tidak boleh dimakan.
Menurut kami, tulang itu dimakan, khususnya tulang anak unta dan tulang anakl
kambing dan tulang burung. Sedangkan tulang binatang dewasa dipanggang lalu
dimakan pula. Apa yang kami sebutkan diatas berlaku pada binatang yang hidup.
Segala binatang yang suci saat hidupnya dan boleh dimakan dengan jalan
disembelih maka menjadi najis dengan kematian. Wallahu a’lam.
Keempat. Firman Allah SWT مِّن
جُلُودِ ٱلۡأَنۡعَٰمِ “Dari kulit binatang ternak” Bersifat
umum berkenaan dengan segala macam kulit binatang hidup atau mati. Maka boleh
mengambil manfaat dari kulit binatang sekalipun disamak. Yang demikian ini
dikatakan oleh Ibnu Syihab Az-Zuhri dan Al-Laits bin Sa’ad.
Ath-Thahawi berkata, “Kami belum pernah
menemukan dari kalangan pakar fikih bahwa boleh menjual kulit bangkai sebelum
disamak kecuali menurut Al-Laits saja.”
Abu
Umar berkata, “Yakni dari kalangan para pakar fikih yang ahli di bidang fatwa
di berbagai penjuru kota setelah zaman tabi’in.
Sedangkanpendapat dari keduanya kebalikan pendapat ini, sedangkan yang
pertama lebih populer.”
Menurut
saya (Al Qurthubi): Ad-Daraquthni dalam sunannya telah menyebutkan sebuah
riwayat Yahya bin Ayyub dari Yunus dan Uqail dari Az-Zuhri, riwayat Az-Zubaidi dan
dari Muhammad bin Kastir Al Abdi dan Abu Salamah Al Minqari dari Sulaiman bin
Katsir dari AZ-Zuhri. Di bagian akhirnya ia berkata, “Ini adalah isnad-isnad
yang shahih.
Kelima: Para ulama berbeda pendapat
berkenaan dengan kulit bangkai jika telah disamak, apakah suci atau tidak. Ibnu
Abd Al Hakim menyebutkan dari Malik apa yang menyerupai madzhab Ibnu Syihab
Az-Zuhri dalam hal ini. Disebutkan juga oleh Ibnu Khuwaizimandad dan di dalam
kitabnya dari Ibnu Abd Al Hakam. Ibnu Khuwaizimandad berkata, “Itu adalah
ungkapan Az-Zuhri dan Al-Laits. Yang paling jelas pada madzhab Maliki adalah
apa yang disebut oelh Ibnu Abd Al Hakam, yaitu bahwa menyamak tidak mensucikan
kulit bangkai, akan tetapi boleh memanfaatkannya untuk hal-hal yang kering.
Tidak boleh digunakan untuk shalat atau untuk makan.
Di dalam Al Mudawwanah karya Ibnu Al Qasim disebutkan, “Barangsiapa merampas
kulit bangakai yang tidak disamak lalu dia merusaknya maka dia harus mengganti
senilai harganya.”Dikisahkan bhawa itu adalah ungkapan Malik.
Sementara Abu Al Faraj menyebutkan
bahwa Malik berkata, “Barangsiapa merampas kulit bangkai milik seseorang yang
tidak disamak, maka tidak mengapa baginya.”
Isma’il berkata, “Kecuali jika milik
seorang majusi.” Sedangkan Ibnu Wahb dan Ibnu Abd Al Hakim meriwayatkan dari
Malik bahwa boleh menjual kulit bangkai. Ini berkenaan dengn ragam kulit
bangkai kecuali babi saja, karena penyembelihan tidak dilakukan terhadapnya,
apalagi penyamakan.
Abu Umar berkata, “Semua kulit
binatang yang disembelih boleh dimanfaatkan, baik untuk kepentingan berwudhu’
atau lainnya.”
Malik
tidak suka berwudhu’ dari air yang wadahnya terbuat dari kulit bangkai ang
disamak, sikapnya ini bertentangan dengan pendapatnya sendiri. Suatu ketika ia berkata, “Aku tidak membecinya
melainkan bagi diriku sendiri”. “Makruh pula menunaikan shalat di atasnya dan
menjualnya”. “Hal demikian diikuti oleh jamaah dari kalangan para sahabatnya. Sedangkan
mayoritas masyarakat kota sepakat bahwa semua itu boleh. Hal itu berdasarkan
sabda Rasulullah SAW,
أَيُّمَا إِهَابٍ دُبِعَ
فَقَدْ طَهُرَ
“Kulit apapun jika telah disamak dia telah suci.”
Demikianlah
pendapat ulama Hijaz, dan Irak dari kalngan ahli fikih dan hadits. Dan ini
menjadi pilihan Ibnu Wahb.
Keenam: Imam Ahmad bin
Hanbal RA berpendapat bahwa tidak boleh mengambil manfaat dari kulit bangkai
sama sekali sekalipun disamak. Karena dia sama dengan daging bangkai. Akan
tetapi hadits-hadits berkenaan dengan pemanfaatanya setelah disamak menolak
pendapatnya. Dia beralasan dengan hadits Abdullah bin ‘Ukaim- yang diriwayatkan
oleh Abu Daud-ia berkata, “Dibacakan kepada kami Rasulallah SAW di daerah
Juhainah dan aku ketika itu masih seorang pemuda,
أَلَّا
تَسْتَمِعُوْا مِنَ الْمَيِّتَةِ بِإِهَابٍ وَلَا عَصَبٍ
“Janganlah kalian bersenang-senang dengan
sesuatu dari bangkai baik kulit dan dagingnya.”
Dalam
suatu riwayat disebutkan,
قَبْلَ مَوْتِهِ بِشَهْرٍ
“Sebulan sebelum matinya.”
Diriwayatkan
oleh Abu Al Qasim bin Mukhaimirah dari Abdullah bin Ukaim ia berkata, “Para
syaikh kami menyampaikan hadits kepada kami bahwa Nabi SAW mengirim surat
kepada mereka….”
Daud
bin Ali berkata, “Aku bertanya kepada Yahya bin Mu’in tentang hadits ini yang
ternyata dia menyatakannya lemah dan berkata, “Tidak mengapa”. Akan tetapi dia
mengatakan, para syaikh menyampaikan hadits kepadaku.”
Abu
Umar berkata, “JIka hadits ini kuat aka kemungkinan bertentangan dengan
hadits-hadits yang diriwayatkan dari Ibnu Abbas, Aisyah, Salamah bin Al
Muhababiq dan lain-lainya, karean bisa saja makna hadits Ibnu Ukaim, “Janganlah kalian memanfaatkan dari bangkai
baik kulit dan dagingnya” adalah
sebelum disamak.
Jika kemungkinan tidak bertentangan
maka kita tidak boleh menjadikannya bertentangan, kita harus menggunakan kedua
hadits itu sebisa mungkin. Hadits Abdullah bin Ukaim sekalipun diriwayatkan
sebulan sebelum Nabi SAW wafat sebaimana dijelaskan di dalam hadits itu, maka
bisa selagi kisah Maimunah dan apa yang didengar oleh Ibnu Abbas darinya bahwa
Rasulallah SAW bersabda,
أَيُّمَا إِهَابٍ دُبِعَ
فَقَدْ طَهُرَ
“Kuit apapun jika disamak maka dia telah
suci”, sebelum beliau wafat, yang diucapkan pada hari jum’at atau selain
hari jum’at. Wallahu a’Lam.
Ketujuh: Yang paling
populer di kalangan kami (madzhab Maliki) bahwa kulit babi tidak masuk dalam
keumuman hadits. Demikan juga anjing menurut As-Syafi’iy. Sedangkan menurut Al
Auza’I dan Abu Tsaur, penyamakan tidak menjadikan suci melainkan pada kulit
binatang yang halal dagingnya untuk dimakan.
Sedangkan
Ma’n bin Isa meriwayatkan dari Malik bahwa dia ditanya tentang kulit babi jika
disamak, dia pun memakruhkan hal itu.
Ibnu
Wadhah berkata, “Aku pernah mendengar Suhnun mengatakanbahwa tidak mengapa
dengannya.” Demiakan juga dikatakan oleh Muhammad bin Abd Al Hakam, Daud bin
Ali dan para sahabatnya. Hal itu karena sabda Rasulallah SAW,
أَيُّمَا مَسَكٍ دُبِعَ
فَقَدْ طَهُرَ
“Kulit apapun jika disamak maka dia telah
suci.”
Abu
Umar berkata, “Kemungkinan yang dimaksud dengan ungkapan seperti itu adalah
kulit pada umumnya yang bisa dimanfaatkan. Sedangkan babi tidak masuk dalam
makna ini karena dia tidak bisa dimanfaatkan kulitnya, menginngat tidak bisa
dilakukan penyembelihan terhadapnya. “Dalil yang lain adalah apa yang dikatakan
oleh An –Nadhr untuk selain ketiganya disebut dengan kata jildun dan bukan ihbah.
Menurut
saya (Al Qurthubi): Kulit anjng dan binatang yang tidak boleh diamkan dagingnya
juga tidak bisa dimanfaatkan sehingga tidak bisa disucikan. Nabi SAW telah
bersabda,
أَكُلْ كُلَّ ذِى نَابٍ
مِنَ السِّبَاعِ حَرَامٌ
“Memakan setiap binatang bertaring dari jenis
binatang buas adalah haram hukumnya.”
Sehingga
pada semua itu (anjing dan binatang yang tidak boleh dimakan dagingnya)
bukanlah penyembelihan. Sebagaimana tidak ada penyembelihan pada Nabi.
An-Nasa’I
meriwayatkan dari Al Miqdam bin Ma’dikarib, ia berkata, “Rasulallah SAW
melarang memakai sutera, emas dan alas dari kulit harimau.”
Kedelapan: Para pakar fikih berbeda
pendapat berkenaan dengan penyamkan yang bisa mensucikan kulit, dengan apa?
Para sahabat atau pengikut Malik mengatakan pendapat yang paling masyhur di
dalam madzhabnya adalah, “Segala sesuatu yang bisa digunakan untuk menyamak
kulit, seperti: garam, daun akasia tambang dan lain-lainnya, dengan itu semua
kulit boleh diamanfaatkan. “Demikan juga pendapat Abu Hanifahdan para
sahabatnya. Ini adalah pendapat Daud.
Sedangkan bagi Asy-Syafi’I dalam hal
ini ada dua pendapat. Pertama, sama dengan pendapat yang
diatas. Kedua, tidak
menjadikan suci selain garam tambang (tawas) dan daun akasia, karena dengan
itulah penyamakan yang berlaku di zaman Nabi SAW. Demikianlah yang dilansir oleh
Al Khaththabi. Wallahu a’Lam.
Adapun yang diriwayatkan oleh
An-Nasa’I dari Maimunah istri Nabi SAW, bahwa suatu ketika ada beberapa orang
dari kalangan Quraisy berjalan di hdapan Rasulallah SAW sambil menyeret seeokor kambing yang telah menjadi bangkai
yang mirip dengan seekor kuda. Maka Rasulallah SAW bersabda kepada mereka,
لَوْ أَخَذْتُمْ إِهَابَهَا
قَالُوا إِنَّهَا مَيْتَةٌ فَقَالَ رَسُوْلُ اللَّهِ يُطَهِّرُهَا الْمَاءُ وَ
الْقُرَظُ
“Kenapa tidak kalian ambil kulitnya? “Mereka
menjawab, “Sesungguhnya itu bangkai.” Rasulallah SAW bersabda, “Bisa disucikan
oleh air dan daun akasia.”
Kesembilan: Firman Allah SWT, أَثَٰثٗا “Alat-alat rumah tangga” Al ATsaats adalah peralatan rumah tangga.
Bentuk tunggalnya adalah atsaatsah. Ini
adalah ungkapan Abu Zaid Al Anshari.
Al Umawi berkata, “Al Atsaats adalah perabotan rumah tangga
bentuk tunggalnya adalah Aatsah dan
Utstuts.”
Selain
keduannya mengatakan “Al Atsaats adalah
semua jenis harta dan tidak ada bentuk tunggal dari lafadznya.”
Al Khalil berkata, “Asalnya dari Al Katsrah dan terhimpunnya sebagian
kekayaan dengan yang lain sehingga menjadi banyak.” Sebagai contohnya شَعْرٌ
أَثِيْثٌ “jika rambutnya banyak” أَثُّ
شَعْرٌ يَأْثِ أَثًا “jika banyak
dan lebat rambutnya”. Imru Al Qais berkata,
وَفَرْعٍ
يَزِيْنُ الْمَتْنَ أَسْوَدَ فَاحِمِ أَثِيْثٍ كَقِنْوِ النَّخْلَةِ
المُتَعَثْكِلِ
Rambut itu
menghias bukit dengan warna hitam pekat
Banyak tumbuh
bagai tangkai kurma yang bertumpuk”
Dikatakan, “Al Atsaats adalah apa-apa yang dikenakan
atau digelar, dan jika engkau telah mengadakan perabotan.
Dari Ibnu Abbas RA أَثَٰثٗا adalah harta, dan telah dibahas di muka ketika membahas Al Hiin. Berarti waktu tidak tertentu
sesuai dengan tiap-tiap orang, baik berkenaan dengan kematian atau dengan
hilangnya segala sesuatu yang tergolong perabotan. Sebagaimana ungkapan seorang
penyair,
أَهَا
جَتْكَ الظَّغَائِنُ يَوْمَ بَاتُوا
بِذِى الزَّيِّ الْجَمِيْلِ مِنَ الْأَثَاثِ
Dendam
mengguncang irimu pada hari mereka tinggal
Dengan orang
yang memiliki perhisan indah berupa perabotan.
6.
Asy-Syu’ara’
ayat 149
وَتَنۡحِتُونَ
مِنَ ٱلۡجِبَالِ بُيُوتٗا فَٰرِهِينَ ١٤٩
149. Dan kamu pahat
sebagian dari gunung-gunung untuk dijadikan rumah-rumah dengan rajin
Firman Allah SWT, وَتَنْحِتُوْنَ مِنَ الْجِبَالِ بُيُوْتًا
فَارِحِيْنَ “dan, kamu pahat sebagian dari gunung-gunung untuk dijadikan rumah-rumah
dengan rajin.” An-Nahtu adalah An-Najru, memahat dan Al-Baryu, maraut. Nahata –
Yanhitu dengan Kasrah – Nahtan, yaitu meraut. An-Nuhaatatu adalah Al-Buraayatu.
Al-Minhat, alat memahat atau meraut. Di dalam surah Ash-Shaaffaat, Firmannya, أَتَعْبُدُوْنَ مَا تَنْحِتُوْنَ “Apakah kamu menyembah patung-patung yang kamu
pahat itu?” mereka memahat gunung-gunung untuk dijadikan rumah sehingga rumah
mereka terlihat tinggi, setelah meruntuhkan rumah-rumah mereka sebelumnya.
Ibnu Katsir, Abu Amru, Nafi’ membacanya, فَرِهِيْنَ tanpa
alif, ulama lainnya membacanya فَارِهِيْنَ dengan alif. Keduanya
bermakna tunggal menurut pendapat Abu Ubaidah dan lainnya, seperti firman-Nya, عِظَامًا نَّخِرَة “telah menjadi tulang
belulang yang hancur lumat?” dan “naakhirah”. Demikian pula yang diriwayatkan
Quthrub. Diriwayatkan: faruha-yafruhu-fa hua faarihun dan fariha-yafrahu-fahua
farihun dan faarihun bermakna giat dan rajin. Di dalam ayat berada pada
kedudukan manshub sebagai haal (penjelas keadaan).
Sekelompok ulama membedakan dan berkata, “faarihiin”
bermakna pandai dalam memahatnya. Demikian dikatakan Abu Ubaidah, dan
diriwayatkan dari Ibnu Abbas, Abu Shalih dan Ulama selain makna keduanya.
Abdullah nin Syaddad berkata, “Faarihiin” bermakna
mutajabbirin, sombong. Diriwayatkan juga dari Ibnu Abbas bahwa makna “farihii”
asyrriin bathiriin, gembira berlebihan hingga kufur nikmat. Demikian pula yang
dikatakan Mujahid, dan darinya, syarhiin artinya lahap dan rakus.
Adh-Dhahhak berkata, “Kayyisiin, pintar.” Qatadah
berkata, “Mu’ajjibiina, menakjubkan.” Demikian yang dikatakan Al-Kalbi, dan
darinya, “Naa’imiin, penuh dengan nikmat,” darinya juga, “Aaminiin, penuh rasa
aman.” Ini juga pendapat Al-Hasan.
Ada yang berpendapat, mutakhayyiriin, penuh dengan
pilihan. Demikian yang dikatakan Al-Kalbi dan As-Suddi.
Ada yang berpendapat, muta’ajjabiina, menakjubkan.
Demikian yang dikatakan Khusaif. Ibnu Zaid berkata, “Aqwiyaa”, Orang–orang yang
kuat.
Ada yang berpendapat, farihiin bermakna farihiin, yang
arti gembira. Demikian juga dikatakan Al-Akhfasy. Orang-orang arab bisa
mengganti ha’ dengan hha’. Semisal anda berkata, madahtuhu dan madahtuhhu, saya
memuninya. Maka, al farhu bermaknaal asyar al farhu, yaitu kegembiraan yang
berlebihan. Al farhu juga bermakna al marahu yang tercela yakni sombong
membanggakan diri. Allah SWT berfirman, وَلَا تَمْشِ فِى
الأَرْضِ مَرَحًا “dan, janganlah kamu berjalan di muka bumi ini dengan sombong.” Firman-Nya
juga : اِنَّ اللهَ لَا يُحِبُّ الفَرِحِيْنَ “sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang terlalu membanggakan
diri.”
فَأتَّقُوا اللهَ وَأَطِيْعُوْنِ ۞ وَلَا تُطِيعُوا أَمْرَ الْمُسْرِفُيْنَ
“maka, bertakwalah kepada Allah dan taatlah kepada. Dan, janganlah kamu
menaati perintah orang-orang yang melewati batas.” Ada yang berpendapat,
maksudnya adalah mereka yang menyembelih unta.
Ada yang berpendapat, sembilan kelompok yang mengadakan
kerusakan di muka bumi dan tidak berbuat kebaikan di dalamnya.
As-Suddi dan Ulama lainnya berkata, “Allah SWT.
Mewahyukan kepada Shalih AS, ‘sesungguhnya kaummu akan menyembelih untamu.’
Maka, Shalih AS berkata kepada kaumnya tentang hal demikian itu dan kaumnya
berkata, ‘kami tidak akan melakukannya’.”
7.
Saba’ ayat 13
يَعۡمَلُونَ
لَهُۥ مَا يَشَآءُ مِن مَّحَٰرِيبَ وَتَمَٰثِيلَ وَجِفَانٖ كَٱلۡجَوَابِ
وَقُدُورٖ رَّاسِيَٰتٍۚ ٱعۡمَلُوٓاْ ءَالَ دَاوُۥدَ شُكۡرٗاۚ وَقَلِيلٞ مِّنۡ
عِبَادِيَ ٱلشَّكُورُ ١٣
13. Para jin itu membuat
untuk Sulaiman apa yang dikehendakinya dari gedung-gedung yang tinggi dan
patung-patung dan piring-piring yang (besarnya) seperti kolam dan periuk yang
tetap (berada di atas tungku). Bekerjalah hai keluarga Daud untuk bersyukur
(kepada Allah). Dan sedikit sekali dari hamba-hamba-Ku yang berterima kasih.
Dalam ayat ini terdapat delapan masalah, yaitu :
Pertama : Firman Allah SWT, مِن مَّحَارِيْبَ
وَتَمَثِيْلَ “Dari gedung-gedung yang tinggi dan patung-patung.” Dalam bahasa, kata المِحْرَابِ
berarti setiap tempat yang tinggi. Ada mengatakan, bahwa tempat orang shalat
disebut mihrab, sebab dia wajib meninggikan dan mengagungkan.
Adh-Dhahhak berkata, “lafadz مِن مَّحَارِيْبَ maksudnya adalah, dari masjid-masjid.
Seperti ini juga pendapat yang dikatakan oleh Qatadah.
Mujahid berkata, “kata مَّحَارِيْبَ adalah tempat yang ukurannya besar dan tingginya di bawah
ukuran istana.”
Abu Ubaidiyyah berkata, “Al-Mihraab adalahh bagian rumah
yang paling mulia.”
Ada juga yang berpendapat bahwa artinya adalah tempat
yang dicapai dengan menaiki tangga seperti kamar yang paling bagus. Sebagaimana
Allah SWT berfirman, إِذَ تَسَوَّرُوْا الْمِحْرَابَ “ketika mereka memanjat
pagar? “ (Qs. Shaad ayat 21) dan firman Allah SWT, فَخَرَجَ عَلَى
قَوْمِهِ مِنَ المِحْرَابَ “Maka ia keluar dari mihrab.” (Qs. Maryam ayat 11). Maksudnya, melihat dari
atas mereka.
Dalam riwayat disebutkan bahwa
Sulaiman AS memerintahkan jin untuk membuat 1000 mihrab di sekitar kursinya. Di
dalamnya terdapat 1000 laki-laki yang terus menerus berser kepada Allah. Dia
berada di atas kursi yang mihrab-mihrab dibangun di sekitarnya. Dia berkata
kepada tentaranya apabila dia mengendarai kendaraannya, “bertasbihlah kepada
Allah sampai benda itu.” Lalu, apabila mereka sampai ke bandara tersebut,
Sulaiman AS berkata, “bertasbihlah kepada bendera itu.” Apabila mereka sampai
ke bendera tersebut, Sulaiman AS berkata lagi, “bertakbirlah sampai bendera
lainnya.” Maka tentara-tentara serempak mengucapkan tasbih dan tahlil.
Kedua : Firman Allah SWT, وَتَمَا ثِيْلَ “dan patung-patung”
adalah bentuk jamak dari تِمْثَالَ . artinya, setiapyang
dibuat berbentuk, sepertibentuk binatang atau bukan binatang. Ada yang
mengatakan bahwa ada beberapa patung yang terbuat dari kaca, tembaga dan tanah
liat yang tidak berbentuk binatang. Ada juga yang menyebutkan bahwa
patung-patung itu berbentuk para nabi dan para ulama. Patung-patung itu dibuat
di masjid agar orang-orang melihatnya, maka mereka pun menambah ibadah dan
kesungguhan. Rosulullah SAW bersabda,
اِنَّ أولَئِكَ كَانَ إِذَا مَاتَ فِيْهِمُ الرِّجُلُ
الصَّالِحُ بَنَوْا عَلَى قَبْرِهِ مَسْجِيْدًا وَصَوَّرُوْا فِيْهِ تِلْكَ
الصُّوَر.
“sesungguhnya apabila ada
orang shalih dari mereka meninggal dunia maka mereka membangun di atas
kuburannya sebuah masjid dan membuat patungnya di sana”.
Maksudnya, agar mengingatkan mereka dangan ibadah
sehingga mereka pun bersungguh-sungguh dalam ibadah. Ini menunjukan bahwa
membuat patung adalah perbuatan yang dibolehkan pada masa itu. Lalu, kebolehan
ini dihapus dengan syariat Nabi Muhammad SAW. Akan ada penjelasannya lebih
lanjut tentang hal ini dalam surah Nuh.
Ada yang berpendapat bahwa تَمَا ثِيْلَ artinya jimat-jimat yang
sulaiman AS buat dan melarang setiap pembuat patung melampauwinya. Dan membuat
patung lalat, nyamuk, atau buaya di suatu tempat dan memerintahkan mereka untuk
tidak melampawinya, maka tidak ada seorangpun yang berani melampauinya
selama-selamanya, selama patung itu masih berdiri.
Bentuk tunggal تَمَا ثِيْلَ adalah تِمْثَالَ .
seorang penyair mengungkapkan,
وَيَارَبِّ قَدْ لَهَوْتُ وَلَيْلَةٍ بِانِسَةٍ كَاَنَّهَا خَطَّ تِمْثَال
“Wahai Tuhanku, sungguh aku telah lalai dan satu malam dengan
perempuan perawan seakan-akan dia telah membuat patung”
Ada yang berpendapat bahwa patung-patung itu berbentuk
laki-laki yang dibuat dari tembaga. Sulaiman AS memohon kepada Allah agar
meniupkan ruh ke dalam patung-patung tersebut hingga mereka dapat berperang di
jalan Allah dan tidak mempan terhadap senjata. Ada juga yang mendapat bahwa
isfandiyar termasuk salah satu dari mereka. Wallahua’lam.
Diriwayatkan bahwa mereka meletakkan untuk sulaiman AS
dua ekor singa di bawa kursinya dan dua ekor burung elang di atasnya. Apabila
dia hendak naik, maka kedua singa itu membentangkan kedua kaki depannya. Dan
apabila dia telah duduk maka kedua burung-burung elang itu membentangkan kedua
sayapnya.
Ketiga : Makki meriwayatkan dalam Al-Hidayah bahwa ada
sekolompok ulama yang membolehkan membuat patung dan mereka berdalih dengan
ayat ini, Ibnu Athiyyah berkata, “ini jelas keliru dan aku tidak pernah
mendengar ada ahli ilmu yang membolehkannya."
Menurut Qurtubi : apa yqng diriwayatkan oleh Makki ini
telah disebutkan oleh Nuhas. Dia berkata. “suatu kaum berkata, ‘membuat patung
itu boleh berdasarkan ayat ini dan berdasarkan apa yang diberitahukan oleh
Allah tentang Al-Masih’. Suatu kaum lain berkata, ‘ada riwayat shahih dari
Rasulullah SAW yang melarang membuat patung dan ancaman bagi orang yang membuatnya.
Dengan demikian, Allah SWT menasakh apa yang dibolehkan sebelumnya. Rahasianya,
karena ketika Rasulullah SAW diutus, patung-patung dijadikan sesembahan. Maka
tindakan yang lebih baik adalah menghabisi patung-patung.”
Keempat : Patung itu ada dua : (1) patung binatang dan
(2) benda mati. Benda mati terbagi dua, yaitu : tidak berkembang dan
berkembang. Jin membuat seluruhnya untuk sulaiman AS, berdasarkan firman-Nya وَتَمَا ثِيْلَ . dalam riwayat
isra’iliyat disebutkan bahwa patung-patung itu berbentuk burung, terletak di
atas kursi Sulaiman AS.
Jika ada yang mengatakan tidak ada keumuman bagi
firman-Nya, وَتَمَا ثِيْلَ , sebab itu adalah itsbat (penetapan) pada nakirah dan itsbat (penetapan)
pada nakirah tidak ada keumuman baginya. Keumuman hanya berlaku dalam bentuk
nafi (peniadaan) pada nakirah.
Jawab : memang benar, akan tetapi terkadang itsbat pada
nakirah itu diiringi oleh sesuatu yang menurut mengartikannya atas keumuman, Di
sini, sesuatu tersebut adalah firman Allah: مَا يَشَاءُ Adanya
kehendak ini menurut adanya pemaknaan berdasarkan keumuman.
Jika ada yang berkata, “bagaimana dibolehkan membuat
patung-patung yang dilarang itu?” Kami menjawab bahwa membuat patung dibolehkan
dalam syariat Sulaiman AS, lalu hal itu di nasakh dengan syariat kita, sebagaimana yang telah kami
jelaskan. Wallahua’lam.
Diriwayatkan dari Abu Al-‘aliyah bahwa membuat patugng
pada waktu itu tidaklah diharamkan.
Kelima : makna dalam hadits-hadits menunjukkan bahwa
patung-patung atau gambar-gambar itu dilarang. Kemudian diriwayatkan , “kecuali
hiasan di baju.” Artinya, neliau mengkhususkan ini dari gambar. Kemudian,
ditetapkan kemakruhannya dengan sabda Rasulullah SAW kepada Siti Aisyah RA
tentang pakaian, “jauhkan itu dariku, sebab sesungguhnya setiap kali aku
melihatnya, aku teringat akan dunia.” Dengan merusak baju bergambar yang beliau
larang tersebut, kemudian memotongnya menjadi bantal dan gambar itu sudah
berubah dan tidak berbentuk lagi.
Ini berarti bahwa gambar dibolehkan apabila bentuknya
tidak utuh. Jika bentuknya utuh maka tidak dibolehkan. Hal ini berdasarkan
perkataan Aisyah RA tentang bantal bergambar, “aku membelikannya untuk engkau
agar engkau dapat duduk diatasnya dan menjadikannya sebagai bantal. Maka,
beliau melarangnya dan mengancam perbuatannya.”
Dijelaskan pula dengan Hadits shalat bahwa sebelumnya
gambar itu dubolehkan untuk keperluan hiasan baju, kemudian larangan itu
me-nasakh-nya. Seperti itulah hukum gambar. Demikian pendapat yang dikatakan
oleh Ibnu Al-Arabi.
Keenam : Muslim meriwayatkan dari Aisyah RA, dia
berkata, “kami memiliki tirai bergambar burung, apabila ada orang yang masuk
kedalam rumah maka dia langsung berhadapan dengan tirai bergambar tersebut.
Maka Rasulullah SAW bersabda,
حَوِّلِي هَذَا فَإِنِّي كُلَّمَا دَخَلْتُ فَرَأَيْتُهُ
ذَكَرْتُ الدُّنْيَا.
‘Pindahkan
tirai ini, sebab setiap kali aku masuk, lalu melihatnya, aku langusng teringat
akan dunia’.”
Aisyah RA berkata lagi, “kami memiliki sepotog kain
beludru. Kami katakan gambarnyandari sutera. Kami biasa memakainya.”
Diriwayatkan dari Aisyah RA juga, dia berkata,
“Rasulullah SAW pernah masuk menemuiku saat aku terlindung oleh tirai tipis
bergambar. Seketika itu juga, wajah beliau berubah, kemudia beliau mengambil
tirai tersebut, lalu merusaknya. Beliau bersabda,
اِنَّ اَشَدَّ النَّاسَ عَذَابًا يَوْمَ الْقِيَامَةِ
الَّذِيْنَ يُشَبُّهُوْنَ بِخَلْقِ اللهِ عَزَّ وَجَلَّ.
‘Sesungguhnya
orang yang paling berat siksaannya pada hari kiamat adalah orang-orang yang
meniru ciptaan Allah Azza Wa Jalla’.”
Diriwayatkan dari Aisyah RA juga dia memiliki sebuah baju
bergambar yang dibentangkan ke sebuah peti yang terletak agak ke bawah yang
biasanya Rasulullah SAW shalat ke arah peti yang terletak agak ke bawah yang
biasanya Rasulullah SAW shalat ke arah peti tersebut. Maka beliau bersabda,
“Pindahkan ke Belakangkau.” Akupun memindahkannya, lalu ku......kan dua buah
bantal.
Sebagian ulama berkata, “Mungkin tindakan Nabi nerusak
baju tersebut dan perintah beliau untuk memindahkannya ke belakang adalah
sebagai sikap wara’, sebab tempat kenabian dan risalah adalah kesempurnaan.
Oleh karena itu, coba anda renungkan.”
Ketujuh : Al-Muzani berkata dari Asy-Syafi’i, “jika
seseorang diundang ke sebuah pesta perkawinan, lalu dia melihat sebuah gambar
sesuatu yang memiliki ruh atau beberapa gambar sesuatu yang memiliki ruh, maka
dia tidak boleh masuk. Itu jika gambar tersebut ditegakkan. Jika gambar
tersebut diinjak, maka tidaklah mengapa. Begitu juga, menurut mereka
mengecualikan gambar hiasan dibaju, berdasarkan hadits Sahl bin Hunaif.”
Menurut Al-Qurtubi : Rasulullah SAW melaknat orang-orang yang membuat gambar dan tidak membuat
pengecualian. Beliau juga bersabda,
إِنَّ أَصْحَابَ هَذِهِ الصُّوَرِ يُعَذَّبُوْنَ يَوْمَ
القِيَامَةِ وَيُقَالُ لَهُمْ أَحْيُوْا مَا خَلَقْتُمْ.
“Sesungguhnya
orang-orang yang membuat gambar ini akan diadzab pada hari kiamat dan dikatakan
kepada mereka, ‘Hidupkan apa yang kalian ciptakan’.”
Dalam hadits ini beliau
tidak memberikan pengecualian.
Dalam riwayat At-Tirmidzi, dari Abu Hurairah RA, dia
berkata, Rasulullah SAW bersabda,
يَخْرُجُ عُنُقٌ مِنَ النَّارِ يَوْمَ القِيَامَةِ لَهُ
عَيْنَانِ تُبْصِرَانِ وَأُذُنَانِ تَسْمَعَانِ وَلِسَانٌ يَنْتِقُ يَقُوْلُ :
اِنِّ وُكِّلْتُ بِثَلَاثِ : بِكُلِّ جَبَّارٍ عَنِيْدٍ. وَبِكُلِّ مَنْ دَعَا
مَعَ اللهِ اِلَهًا اَخَرَ. وَبَالْمُصَوِّرِيْنَ.
“Akan keluar leher dari
api neraka pada hari kiamat. Ia memiliki dua mata yang dapat melihat, dua
telinga yang dapat mendengar dan lidah yang dapat berbicara. Ia berkata,
‘sesungguhnya aku ditugaskan untuk menyiksa tiga golongan : setiap orang yang
kasar lagi keras kepala, setiap orang yang menyeru tuhan selain Allah dan
orang-orang yang membuat gambar’.”
Abu Isa At-Tirmidzi berkata, “Hadits ini adalah hasan
gharib shahih.” Dalam riwayat Al-Bukhari dan Muslim, dari Abdullah bin Mas’ud
RA, dia berkata, “Rasulullah SAW bersabda, ‘Manusia yang paling berat siksaanya
pada hari kiamat adalah orang-orang yang mebuat gambar.”
Hadis ini menunjukan larangan menggambar apa pun. Allah
SWT sendiri berfirman, مَّا كَانَ لَكُمْ أَن تُنْبَتُوْا شَجَرَهَا “Kamu
sekali-kali tidak mampu menumbuhkan pohon-pohonnya?” (Qs. An-Naml ayat 60).
Kedelapan : Mainan anak-anak perempuan atau boneka tidak
termasuk dalam gambar atau patung yang dilarang. Karena ada riwayat dari Aisyah
RA bahwa Rasulullah SAW menikahinya saat dia berusia 7 tahun dan menggaulinya
saat dia berusia 9 tahun, Dan saat itu dia masih suka bermain dengan boneka.
Sedangkan ketika Rasulullah SAW wafat, Aisyah RA baru berusia 18 tahun.
Diriwayatkan dari Aisyah RA juga, dia berkata, “aku bisa
bermain dengan anak-anak perempuan di dekat Rosulullah. Aku memiliki beberapa
teman bermain. Apabila rasulullah SAW masuk, mereka menghilang dan masuk ke
dalam rumah atau bersembunyi di balik tirai. Maka Rasulullah SAW mempersilakan
mereka menemuiku dan mereka pun bermain bersamaku.”
Kedua riwayat ini disebutkan oleh muslim. Para ulama
berkata, “ini karena mainan anak-anak perempuan hingga mereka dapat berlatih
mendidik anak-anak mereka. Selin itu, mainan itu pasti akan rusak. Begitu juga
patung yang dibuat dari manisan atau adonan, pasti akan rusak karena dimakan.
Oleh karena itu, boneka dan patung yang terbuat dari bahan yang manis dan
adonan untuk dimakan dibolehkan. Wallahua’lam.”
وَجَفَانٍ كَا
لْجَوَابِ “Dan piring-piring yang
(besarnya) seperti kolam.” Ibnu Arofa berkata, “kata اَلْجَوَابِى adalah bentuk jamak dari الجَابِيَة yang
berarti lubang seperti telaga (kolam).”
Dia juga berkata, seperti tempat minum unta.”
Ibnu Al-Qasim berkata dari Malik, “Seperti lubang di
tanah. Semua makna di atas jauh berbeda. Satu piring itu untuk seribu orang.”
An-Nuhas berkata, “Firman Allah SWT, وَجِفَانٍ
كَالْجَوَابِ pada mulanya dengan huruf ‘ya dan siapa yang membuang huruf ya’, berarti
dia mengatakan jalan alif dan lam masuk atas nakirah. Dengan demikian itu tidak
merubahnya dari keadaannya. Ketika dikatakan, جَوَابٍ dan masuk alif dan lam,
berarti dia menetapkan atas keadaannya, maka dihilangkan huruf ya’, bentuk
tunggal اَلْجَوَابِى adalah جَابِيَة yang artinya periuk besar dan
telagabesar lagi lebar yang dapat menampung sesuatu. Contoh lain, جَبَيْتُ الخَرَاج
وَجَبَيْتُ الجَرَاد (aku buat pakaian, lalu aku kumpulkan padanya).
Akan tetapi Al-Laits meriwayatkan dari Mujahid, dia
berkata, “kata اَلْجَوَابِى adalah bentuk jamak dari جَوْبَة. Kata جَوْبَة
sendiri berarti lubang besar yang ada di gunung dan di dalamnya tertampung air
hujan.
Al-kisa’i berkata, “kata جَبَوْتُ
الْمَائِعَ فِي الحَوْضِ وَجَبْتُهُ , berarti aku kumpulkan air di telaga atau kolam. Kata الجَابِيَة
berarti telaga atau kolam yang digunakan untuk tempat mengumpulkan air untuk
unta.”
وَقُدُوْرٍ رَّاسِيَاتٍ “dan periuk yang tetap
(berada di atas tungku).” Sa’id bin Jubair berkata, “Maksudnya periuk-periuk
tembaga yang yang ada di persia.”
Adh-Dhahhak berkata, “itu adalah periuk-periuk yang
dibuat dari gunung.”
Yang lain berkata, “diukir dari gunung-gunung yang diam
dari apa yang dibuat oleh para syetan untuk Sulaiman AS. Tungku periuk itu
diantaranya adalah gunung-gunung yang diukirnya, begitu juga gunung-gunung
lainnya.”
Makna رَّاسِيَاتٍ adalah tetap atau kokoh.
Tidak dapat dibawa dan tidak dapat digerakkan, karena begitu besarnya.
Ibnu Al-Arabi berkata, “begitu juga periuk-periuk
Abdullah bin Ju’dan. Pada masa jahiliyyah, untuk mencapai bagian atas
periuk-periuk itu bisa digunakan tangga.”
Ibnu Al-Arabi juga berkata, “aku pernah melihat di taman
Abu Sa’id periuk-periuk sufi seperti itu. Mereka menggunakannya untuk memasak
bersama dan makan bersama tanpa ada pengutamaan seseorang dari mereka atas
orang lainnya.”
Firman Allah SWT. إعْمَلوْا ءَالَ
دَاوُدَ شُكْرًا وَقَلِيْلٌ مِّن عِبَادِىَ الشَّكُوْرُ “bekerjalah hai keluarga
Daud untuk bersyukur (kepada Allah). Dan sedikit sekali dari hamba-hambaKu yang
berterima kasih.” Makna Syukur (terima kasih) telah dijelaskan salam surah
Al-Baqarah dan lainnya.
Diriwayatkan bahwa Rasullullah SAW naik
ke atas mimbar, lalu beliau membaca ayat ini. Kemudian beliau bersabda, “ada
tiga hal yang siapa diberi tiga hal tersebut maka sungguh dia telah diberi apa
yang diberikan kepada keluarga Daud.” Para sabahat bertanya, “Apakah tiga hal
itu?” Beliau menjawab,
العَدْلُ فِي الرِّضَا وَالغَضَبِ, وَالقَصْدُ فِي الفَقْرِ
وَالغِنَى, وَخَشْيَةُ اللهِ فِي السِّرِّ وَالْعَلَانِيَّةِ.
“Sikap adil itu ditunjukkan saat ridha dan marah, tidak
berlebihan, pada saat fakir dan kaya, dan takut kepada Allah pada saat
sendirian dan bersama orang banyak.”
Hadits ini diriwayatkan oleh At-Tirmidzi Al-Hakim Abu
Abdullah, dari Atha’ bin Yassar, dari Abu Hurairah RA.
Diriwayatkan bahwa Daud AS berkata, “wahai Tuhanku,
bagaimana aku dapat mensyukuri semua nikmat-Mu, sementara ilham dan kemampuanku
untuk mensyukuri nikmatmu merupakan nikmat untukku juga.” Tuhan berfirman, “Hai
Daud, sekarang kamu telah mengenal-Ku.” Hal ini telah dipaparkan dalam surat
Ibraahiim.
Syukur pada hakikatnya adalah mengakui nilmat milik Tuhan
yang memberi nikmat dan menggunakan nikmat itu dalam taat kepada-Nya. Sedangkan
ingkar nikmat adalah menggunakannya dalam kemaksiatan.
Sedikit sekali orang yang mengakui nikmat dari Tuhan yang
memberi nikmat dan menggunakannya dalam ketaatan, sebab kebaikan lebih sedikit
dari kejahatan dan ketaatan, lebih sedikit dari kemaksiatan, sesuai dengan
ketentuan.
Mujahid berkata, “ketika Allah Azza wa Jalla berfirman, إِعْمَلوْا ءَالَ
دَاوُدَ شُكْرًا Bekerjalah hai keluarga
Daud untuk untuk bersyukur (kepada Allah), Daud berkata kepada Sulaiman AS,
‘Sesungguhnya Allah Azza wa Jalla menyebutkan syukur. Maka lakukanlah shalat
siang dan akan melakukan shalat malam’. Sulaiman AS menjawab, ‘Aku tidak
sanggup’. Daud berkata. ‘kalau begitu, lakukanlah – Al-Fariyabi berkata bahwa
menurutku Daud berkata, ‘sampai shalat dzuhur’. – Sulaiman menjawab, ‘baik’.
Maka dia pun mencukupkan Sulaiman AS dengan itu.”
Az-Zuhri berkata, Firman Allah SWT, إِعْمَلوْا ءَالَ
دَاوُدَ شُكْرًا maksudnya adalah,
ucapkanlah, ‘Alhamdulillaah.”
Kata شُكْرًا berada pada posisi nashab
sebagai maf’ul (obyek). Maksudnya adalah, lakukanlah suatu amalan, yaitu
Syukur. Seakan-akan shalat, puasa dan ibadah-ibadah lainnya sebenarnya adalah
syukur, karena menempati tempat syukur. Hal
ini juga dijelaskan oleh firman
Allah Azza wa Jalla, اِلَّا الّذِيْنَ
ءَامَنُوْا وَعَمِلُوا الصَّالِحَاتِ وَقَلِيْل مَّا هُمْ “kecuali orang-orrang
yang beriman dan mengerjakan amal shaleh, dan amat sedikitlah mereka ini.” (Qs.
Shaad ayat 24) inilah yang dimaksudkan dengan firman-Nya, وَقَلِيْلٌ مِّن
عِبَادِىَ الشَّكُوْرُ”dan sedikit sekali dari hamba-hamba-Ku yang berterima kasih.”
Sufyan bin Uyainah mengatakan ketika menakwilkan firman
Allah SWT, أنِ آشْكُرْ لِلهِ “Yaitu, Bersyukurlah
Kepada Allah,” (Qs. Luqman ayat 12). Bahwa maksud Syukur Kepada Allah itu
adalah Shalat 5 waktu.
Dalam Shahih muslim diriwayatkan dari Aisyah RA bahwa
Rasulullah SAW sering bangun di malam hari hingga kedua kaki beliau bengkak.
Aisyah RA pun berkata kepada Beliau, “kenapa kau lakukan hal ini, padahal Allah
telah mengampuni apa yang terdahulu dari dosamu dan yang akan datang?”
Rasulullah SAW menjawab,
أَفَلَا اَكُوْنَ
عَبْدًا شًكُوْرًا
“Apakah
aku tidak ingin menjadi hamba yang banyak bersyukur.”
Hadis ini hanya diriwayatkan oleh Muslim.
Berdasarkan pernyataan Al-Quran dan As-Sunnah, maka
syukur itu dengan amal fisik, tidak hanya dengan amal lisan saja. Syukur dengan
perbuatan adalah amalan tubuh dan syukur dengan ucapan adalah lisan.
Wallahua’lam.
وَقَلِيْلٌ مِّن عِبَادِىَ الشَّكُوْرُ “dan sedikit sekali dari
hamba-hambaKu yang yang berterima kasih.” Biasa jadi firman iniuntuk keluarga
Daud AS dan bisa jadi juga firman ini untuk Muhammad SAW.
Ibnu Athiyyah berkata : ayat ini ditujukan kepada siapa
pun. Yang jelas di dalam ayat ini terdapat peringatan dan anjuran. Umar Bin
Khattab RA pernah mendengar seorang laki-laki berkata, “Ya Allah, jadikanlah
aku dari yang sedikit.” Umar pun bertanya, “Apa maksud doa ini?” laki-laki itu
menjawab, “yang aku maksudkan
dalam firman Azza
wa jalla, وَقَلِيْلٌ مِّن
عِبَادِىَ الشَّكُوْرُ . “ maka Umar berkata, “ setiap orang lebih tahu darimu, hai Umar!”
Diriwayatkan bahwa Sulaiman AS biasa makan Sya’ir (jenis
gandum), memberi makan keluarganya dengan Khasykar dan memberi makan
orang-orang miskin dengan tepung putih. Ada yang mengatakan bahwa Sulaiman AS
biasa makan pasir dan mejadikannya sebagai bantal. Namun yang benar adalah yang
pertama, sebab pasir bukan makanan.
Diriwayatkan juga bahwa Sulaiman AS tidak merasa kenyang.
suatu ketika, dia ditanya tentang hal ini, maka dia menjawab “aku takut jika
aku kenyang, aku akan melupakan lapar.” Ini termasuk sikap syukur dan termasuk
hal yang sedikit. Oleh karena itu, renungkanlah. Wallahua’lam...
8.
An-Nur ayat 35
۞ٱللَّهُ نُورُ ٱلسَّمَٰوَٰتِ وَٱلۡأَرۡضِۚ
مَثَلُ نُورِهِۦ كَمِشۡكَوٰةٖ فِيهَا مِصۡبَاحٌۖ ٱلۡمِصۡبَاحُ فِي زُجَاجَةٍۖ ٱلزُّجَاجَةُ
كَأَنَّهَا كَوۡكَبٞ دُرِّيّٞ يُوقَدُ مِن شَجَرَةٖ مُّبَٰرَكَةٖ زَيۡتُونَةٖ لَّا
شَرۡقِيَّةٖ وَلَا غَرۡبِيَّةٖ يَكَادُ زَيۡتُهَا يُضِيٓءُ وَلَوۡ لَمۡ تَمۡسَسۡهُ
نَارٞۚ نُّورٌ عَلَىٰ نُورٖۚ يَهۡدِي ٱللَّهُ لِنُورِهِۦ مَن يَشَآءُۚ وَيَضۡرِبُ
ٱللَّهُ ٱلۡأَمۡثَٰلَ لِلنَّاسِۗ وَٱللَّهُ بِكُلِّ شَيۡءٍ عَلِيمٞ ٣٥
35. Allah (Pemberi)
cahaya (kepada) langit dan bumi. Perumpamaan cahaya Allah, adalah seperti
sebuah lubang yang tak tembus, yang di dalamnya ada pelita besar. Pelita itu di
dalam kaca (dan) kaca itu seakan-akan bintang (yang bercahaya) seperti mutiara,
yang dinyalakan dengan minyak dari pohon yang berkahnya, (yaitu) pohon zaitun
yang tumbuh tidak di sebelah timur (sesuatu) dan tidak pula di sebelah
barat(nya), yang minyaknya (saja) hampir-hampir menerangi, walaupun tidak
disentuh api. Cahaya di atas cahaya (berlapis-lapis), Allah membimbing kepada
cahaya-Nya siapa yang dia kehendaki, dan Allah memperbuat perumpamaan-perumpamaan
bagi manusia, dan Allah Maha Mengetahui segala sesuatu.
Kata النُّوْر dalam bahasa arab adalah cahaya yang
dapat dilihat dengan penglihatan. Kata ini kemudian digunakan secara majaz
untuk makna-makna yang benar dan nampak. Contohnya adalah كَلَامٌ
لَهُ نُوْرٌ (perkataan yang memberikan penjelasan) dan الكِتَابُ
مُنِيْرٌ (kitab yang meberikan penjelasan) orang mengatakan, فُلَانٌ
نُوْرُ الْبِلًادِ وَشَمْسٌ العَصْرِ وَقَمَرِهِ (si fulan adalah cahaya negeri,
matahari dan bulan zaman).
Seorang penyair mengungkapkan,
فَإِنَّكَ
شَمْسٌ وَالْمُلُوْكُ كَوَاكِبٌ
Sesungguhnya engkau adalah matahari, sedang para raja adalah
binatang.
Penyair yang lain mengatakan,
إِذَا سَارَ
عَبْدُ اللهِ مِنْ مَرْوَ لَيْلَةً
فَقَدْ سَارَمِنْهَا نُوْرُهَا وَجَمَالُهَا
Apakah Abdullah pergi dari Marwa
berjalan di malam hari,
Maka sesungguhnya telah pergi
darinya cahayanya dan keindahannya
Dengan demikian, boleh dikatakan, لِلهِ
تَعَالَى نُوْرٌ (bagi Alah cahaya), saat hendak mengungkapkan sebuah sanjungan.
Sebab Allah-lah yang mengadakan segala sesuatu, dan dia adalah cahaya segala
sesuatu, dari Allah lah cahaya itu bermula dan dari Allah pula cahaya itu
bersumber. Namun Allah SWT bukanlah cahaya yang dapat dilihat dengan
penglihatan. Maha Perkasa dan Maha Tinggi Allah dari apa yang telah dikatakan
oleh orang-orang dzolim, dengan se tinggi-tingginya.
Hisyam Al-Jawaliki dan sekelompok penganutaliran Mujassimah
berkata, “Allah adalah cahaya tapi tidak seperti cahaya, dan Allah adalah jism
(fisik) tapi tidak seperti jism.”
Semua
itu merupakan hal yang mustahil bagi Allah, baik menurut logika maupun menurut
dalil Agama. Hal ini sebagaimana telah diketahui dalam pembahasan ilmu kalam
(teologi).
Selain itu, apa yang mereka katakan itu pun saling bertentangan.
Perkataan mereka jism atau cahaya merupakan penetapan atas hakikat itu kepada
Allah, sementara ucapan mereka tidak seperti cahaya dan tidak seperti jism
merupakan sebuah peniadaan atas apa yang sudah mereka tetapkan. Hal itu tentu
saja saling bertentangan. Penelitian mengenai hal ini terdapat di dalam ilmu
kalam.
Hal
yang membuat mereka berpendapat demikian adalah zhahir beberapa keterangan yang
mereka telusuri, antara lain adalah ayat ini. Selain itu, sabda Rasulullah SAW,
“Apabila seseorang bangun tengah malam untuk bertahajud, (lalu dia membaca),
‘ya Allah, bagi-Mu semua pujian. Engkau adalah cahaya langit dan bumi...’.”
juga sabda beliau, “Aku melihat cahaya” saat beliau ditanya, “apakah engkau
melihat tuhanmu?” dan beberapa hadis lainnya.
Para ulama berbeda pendapat tentang takwil firman Allah tersebut.
Menurut satu pendapat, makna firman Allah tersebut adalah, karena
Allah dan kekuasaan-Nya lah cahaya-cahaya itu dapat terpncar, keberadaannya
bisa stabil, dan hasilnya bisa terwujud. Firman Allah itu merupakan sebuah
upaya untuk mendekatkan pengertian tersebut kedalam logika manusia. Contohnya
adalah kalimat الْمَلِكُ نُوْرُ اَهْلِ الْبَلَدِ (raja adalah cahaya penduduk
negeri), yakni padanyalah terdapat kendali persoalan, dan kebaikan semuanya.
Dengan demikian, jika ungkapan tersebut dinisbatkan kepada raja,
maka itu merupakan sebuah majaz. Tapi jika ungkapan itu dinisbatkan kepada
sifat Allah, maka itu merupakan hakikat yang sesungguhnya. Karena Allah-lah
yang menciptakan segala yang ada, dan Dia-lah yang menciptakan akal sebagai
cahaya dan pemberi petunjuk. Sebab kemunculan segala sesuatu yang ada oleh
dzat-Nya yang sudah terjadi, sebagaimana kemunculan hal-hal yang dapat dilihat
oleh cahaya sudah terjadi pula. Maha suci Allah yang tiada tuhan yang hak
selain Dia. Pengertian inilah yang dikemukakan oleh Mujahid, Az-Zuhri dan yang
lainnya.
Ibnu Arafah berkata, “Makna firman Allah tersebut adalah, Allah
adalah yang menerangi langit dan bumi.”
Pendapat ini pula yang dikemukakan oleh Adh-Dhahak dan Al-Qurazhi.
Firman Allah itu seperti kalimat, فُلَانِ
غِيَاثُنَا (pulan adalah
penolong kami). Atau فُلَانٌ
زَادِيْ (fulan adalah bekalku).
Jarir mengungkapkan,
وَاَنْتَ
لَنَا نُوْرٌ وَغَيْثٌ وَعِصْمَةٌ
وَنَبْتُ لِمَنْ يَرْجُوْ نَدَاكَ وَرِيْقُ
Dan Bagi kami engkau adalah cahaya,
hujan, perlindungan, tumbuhan, dan air liur bagi orang-orang yang ingin menyeru-Mu.
Mujahid berkata, “makna firman Allah tersebut adalah, Allah adalah
pengatur urusan di langit dan bumi.”
Ubay bin Ka’b, Hasan, dan Abu Al-Aliyah mengatakan bahwa makna
firman Allah tersebut adalah, Allah penghias langit dengan matahari, bulan dan
bintang, dan penghias bumi dengan para Nabi, Ulama, dan orang-orang Beriman.
Ibnu Abbas dan Anas berkata, “Makna firman Allah tersebut adalah,
Allah adalah pemberi petunjuk kepada penduduk langit dan bumi.”
مَثَلُ نُوْرِهِ
“perumpamaan cahaya Allah,” maksudnya adalah, perumpamaan
petunjuk-petunjuk-Nya yang telah dibenamkan di dalam hati orang-orang beriman.
Petunjuk-petunjuk itu disebut dengan cahaya. Hal ini sebagaimana Allah
menanamkan kitab-Nya dengan cahaya. Allah SWT berfirman, وَأَنْزَلْنَا
اِلَيْكُمْ نُوْرًا مُّبِيْنَا “dan telah kami turunkan kepadamu cahaya yang terang benderang
(Al-Quran).” (Qs. An-Nisaa’ ayat 174).
Allah juga menanamkan Nabi-Nya dengan cahaya. Allah SWT berfirman, قَدْ
جَاءَ كُمْ مِنَ اللهِ نُوْرٌ وَكِتَابٌ مُّبِيْنَ “Sesungguhnya telah datang kepadamu cahaya
dari Allah, dan Kitab yang menerangkan.” (Qs. Al-Maidah ayat 15) sebab kitab
tersebut dapat memberikan petujuk dan penjelasan. Demikian pula dengan
rasul-Nya.
Alasan kenapa kata (Nur) di idhafahkan kepada Allah, karena
Allah-lah yang menetapkan, menerangkan, dan Mensyariatkan petunjuk-petunjuk
tersebut.
Ayat ini pun mengandung makna lain, yang tidak saling menghadapkan
antara bagian-bagian perumpamaan dan bagian-bagian yang diumpamakan, akan
tetapi kesamaan (antara perumpamaan dan yang diumpamakan) itu terjadi secara
kalimat per kalimat. Makna lain itu adalah, perumpamaan cahaya Allah yang tak
lain adalah petunjuk-Nya, kepiawaian-Nya dalam menciptakan semua makhluk, dan
dalil-dalil-Nya yang bersinar, adalah seperti kalimat ini (maksudnya kalimat
yang ada pada ayat 35 surah An-Nuur ini), yaitu cahaya yang kalian ambil dengan
sifat seperti ini, yang merupakan sifat yang psling tinggi dari sifat cahaya
yang ada di tangan manusia. Perumpamaan cahaya Allah –dalam hal kejelasannya-
adalah seperti cahaya yang paling puncak ini, wahai sekalian manusia.
Kata المِشْكَاة adalah lobang di dinding
yang tidak tembus. Pendapat ini dikemukakan oleh Ibnu Jubair dan Mayoritas Ahli
Tafsir. Makna ini paling sesuai dengan cahaya. Sebab pelita yang ada di dalam
itu lebih terang daripada pelita yang berada di tempat lain.
Makna asal المِشْكَاة adalah tempat
penyimpanan sesuatu. Kata ini juga mengandung makna wadah yang terbuat dari
kulit, yang digunakan untuk mendinginkan air. Selain itu, kata ini adalah kata
yang sesuai denga pola kata مِفْعَلَة seperti مِقْرَاة dan مِصْفَاة.
Seorang penyair mengungkapkan,
كَأَنَّ
عَيْنَيْهِ مِشْكَاتَانِ فِيْ حَجَرٍ
قِيْضَا إقْتِيَاضًا بِأَطرَافِ الْمَنَاقِيْرِ
Seolah-olah kedua matanya adalah dua
lubang yang tidak tembus, yang ada di sebongkah batu.
Kedua lubang itu dibuang menggunakan ujung minqaar (beliung)
Menurut satu pendapat, kata المِشْكَاة adalah tiga
pelita yang di sanalah terdapat sumbu.
Mujahid berkaya, “Al-Misykaah adalah pelita.”
فِى زُجَاجَةٍ
“di dalam kaca”. Sebab kaca adalah benda yang transparan. Pelita
yang berada di dalam kaca akan lebih terang daripada pelita yang tidak berada
di dalamnya. Kata المِصْبَاح adalah sumbu berikut apinya.
كَأَنَّهَا كَوْكَبٌ دُرِّىٌّ “(dan) kaca itu seakan-akan bintang
(yang bercahaya) seperti mutiara.” Maksudnya adalah, dalam hal memberikan
penerangan dan penyinaran. Firman Allah ini mengandung dua makna, yaitu (1)
boleh jadi maksudnya kaca dengan pelita itu memang demikian, atau (2) boleh
jadi maksudnya kaca itu memang demikian dengan sendirinya, karena kejernihan
dan kualitas dzatnya. Penakwilan ini sangat relevan dengan cahaya.
Adh-Dhahak berkata, “Al-Kaukab Ad-Durri (bintang yang bercahaya
seperti mutiara) adalah venus.”
يُوْقَدُ مِنْ شَجَرَةٍ مُّبَارَكَةٍ “yang dinyalakan dengan minyak dari pohon yang banyak berkahnya,”
maksudnya adalah, dengan minyak dari pohon. Mudhaf (Zait) dalam hal ini
dibuang. Makna مُبَارَكَةٍ adalah yang ditumbuhkan.
Zaitun termasuk buah yang paling agung pertumbuhannya. Demikian pula dengan
delima. Pengertian firman Allah memang menghendaki demikian.
Menurut satu pendapat, sebagian dari keberkahan pohon zaitun dan
delia adalah rantingnya yang berdaun mulai bawah sampai atasnya.
Ibnu Abbas berkata, “ada beberapa manfaat yang dapat diambil dari
zaitun. Minyaknya dapat digunakan untuk menyalakan pelita, dijadikan sebagai
makanan, minyak, dan dapat digunakan sebagai alat untuk menyamak. Kayu bakarnya
dan buihnya dapat digunakan sebagai alat untuk menyamak. Kayu bakarnya dan
buihnya dapat digunakan sebagai bahan bakar. Tidak ada sesuatu pun padanya
kecuali ia megandung manfaat. Hingga abunya pun dapat digunakan untuk mencuci
sutera. Ia adalah pohon pertama yang tumbuh di dunia. Ia juga pohon pertama
yang tumbuh setelah bajir bandang. Ia tumbuh di tempat para nabi dan di tanah
yang suci. Tujuh puluh ribu orang nabi mendoakan keberkahan untuknya. Di antara
mereka adalah ibrahim dan Muhammad. Beliau bersabda, ‘ya Allah, berkahkan-lah
keberkahan pada minyak dan zaitun’. Beliau mengatakan itu dua kali.”
لَا شَرْقِيَّةٍ وَلَا غَرْبِيَّةٍ “yang tumbuh tidak di sebelah timur
(sesuatu) dan tidak pula di sebelah baratnya(nya). “para ulama berbeda pendapat
tentang firman Allah SWT, لَا
شَرْقِيَّةٍ وَلَا غَرْبِيَّةٍ “yang tumbuh tidak di
sebelah timur (sesuatu) dan tidak pula di sebelah barat(nya).”
Ibnu
Abbas, Ikrimah, Qatadah dan lainnya mengatakan bahwa Asy-Syarqiyyah adalah
pohon yang terkena (sinar) matahari pada saat terbit namun tidak terkena cahaya
nya pada saat terbenam. Sebab pohon ini terhalang. Sedangkan Al-Gharbiyyah
adalah lawan Asy-Syarqiyyah,”
Maksud Firman Allah tersebut adalah, pohon itu adalah pohon yang
berada di gurun pasir, yang terbuka di atas permukaan tanah, dan yang tidak
memiliki sesuatu pun yang menghalanginya dari sinar matahari. Hal itu membuat
minyaknya menjadi sangat baik. Ia tidak murni berada di timur sehingga disebut
Syarqiyyah, dan tidak pula murni berada di wilayah barat sehingga di sebut
Gharbiyyah. Akan tetapi ia adalah pohon yang berada di wilayah timur tapi juga
berada di wilayah barat.
Ath-Thabari mengutip dari Ibnu Abbas bahwa ia adalah pohon yang
berada di sekeliling pohon-pohon besar. Ia tidak terbuka dari arah timur dan
tidak pula dari arah barat.
Ibnu Athiyyah berkata, “pendapat ini tidak sah bersumber dari Ibnu
Abbas. Sebab buah dengan sifat seperti ini akan rusak sebelum di petik. Hal ini
dapat disaksikan secara nyata.”
Al-Hassan berkata, “pohon ini bukanlah pohon dunia. Akan tetapi, ia
adalah perumpamaan yang Allah gunakan untuk cahaya-Nya. Seandainya pohon
tersebut ada di dunia, maka ia berada di timur atau di barat.
Ats-Tsa’labi berkata, “Al-Quran menyatakan dengan tegas bahwa ia
adalah pohion yang berada di atas dunia. Sebab lafadz Asy-Syarqiyyah itu
merupakan badal bagi lafal Asy—Syajarah.
Allah SWT berfirman زَيْتُوْنَةٍ (Yaitu) pohon Zaitun.
Ibnu Zaid berkata, “pohon itu adalah pohon yang ada di Syam”. Sebab
pohon yang ada di Syam adalah pohon yang tidak ada di timur dan tidak ada di
barat. Pohon yang berada di syam yang terbaik. Sebab syam adalah tanah yang
diberkati.
Lafadz شَرْقِيَّةٍ adalah na’t (sifat) bagi lafadz زَيْتُوْنَةٍ sedangkan huruf لَا yang terdapat
pada firman Allah tersebut tidak menghalangi antara na’t (sifat) dan man’ut
(yang disifati). Lafadz وَلَا غَرْبِيَّةٍ
di Athafkan kepada Lafadz لَا شَرْقِيَّةٍ .
يَكَادُ زَيۡتُهَا يُضِيٓءُ وَلَوۡ لَمۡ
تَمۡسَسۡهُ نَارٞۚ “yang minyaknya (saja) hampir-hampir menerangi, walaupun tidak
disentuh api, “ini merupakan penekanan tentang kebaikah, kejernihan, dan
kwalitas minyak tersebut.
نُّورٌ عَلَىٰ نُورٖۚ “cahaya di atas
cahaya (berlapis-lapis).” Maksudnya adalah, pada lubang yang tidak tembus itu
terkumpul cahaya pelita, kemudian cahaya, kemudian cahaya minyak, sehingga –
karena itu- cahaya itu menjadi cahaya. Cahaya-cahaya itu tertahan di lubangyang
tidak tembus, sehingga menjadi seperti cahaya di atas cahaya yang belum pernah
ada. Demikian juga dengan hujjah-hujjah Allah yang sangat jelas. Hujjah itu
adalah hujjah di atas hujjah dan peringatan di atas peringatan, seperti
pengutusan-Nya terhadap rosul dan penurunan-Nya terhadap kitab.
Ada beberapa nasihat yang terkandung di dalam ayat tersebut bagi
logika manusia yang mau mengambil pelajaran.
Selanjutnya, Allah SWT menyebutkan bimbingan-Nya untuk menuju
cahaya-Nya yang diberikan kepada siapa saja dan yang dapat membahagiakan
hamba-hamba-Nya. Allah juga menyebutkan karunia-Nya yang diberikan kepada
hamba-hamba-Nya dengan membuat perumpamaan-perumpamaan ini, agar mereka dapat
mengambil pelajaran dan penghayatan yang akan menyampaikan pada keimanan.
Abdullah bin Asyyasy bin Abu Rabi’ah dan Abu Abdurrahman As-Sulami
membaca اللهُ نُوْرُ dengan lafadz اَللهُ
نَوَّرَ yakni dengan harakat fathah pada huruf nun dan waw bertasydid.
Para Ahli Tafsir nerbeda pendapat tentang kembalinya dhamir (kata
ganti) yang terdapat pada lafadz نُوْرِهِ .kepada
siapakah dhamir itu kembali?
Ka’b
Al-Ahbar dan Ibnu Jubair mengatakan bahwa dhamir itu kembali kepada Muhammad.
Maksudnya, perumpamaan cahaya Muhammad.
Ibnu Al-Anbari berkata. “Firman Allah SWT,
ٱللَّهُ نُورُ ٱلسَّمَٰوَٰتِ وَٱلۡأَرۡضِ ‘Allah (pemberi) cahaya (Kepada) langit dan
bumi’. Disinilah waqaf yang baik. Lalu ayat ini diteruskan dengan Lafadz, مَثَلُ
نُورِهِۦ كَمِشۡكَوٰةٖ فِيهَا مِصۡبَاحٌۖ
‘perumpamaan cahaya Allah adalah seperti sebuah lubang yang tak
tembus, yang di dalamnya ada pelita besar’, dengan makna cahaya Muhammad.
Ubay bin Kaab. Ibnu Jubair dan Adh-Dhahak mengatakan bahwa dhamir
tersebut kembali kepada orang-orang yang beriman. Di dalam qiraah (mushaf) ubay
disebutkanمَثَلُ نُوْرِ الْمُؤْمِنِيْنَ “perumpamaan cahaya orang-orang beriman.”
Diriwayatkan pula bahwa dalam
qiraah-nya disebutkan, مَثَلُ نُوْرِ الْمُؤْمِنِيْنِ “perumpamaan cahaya orang beriman.”
Selain itu diriwayatkan bahwa dalam qiraah - nya disebutkan, مَنْ
أَمَنَ بِهِ مَثَلُ نُوْرِ “perumpamaan cahaya orang beriman
kepadanya.”
Al-Hasan berkata, “Dhamir (kata
ganti) tersebut kembali kepada Al-Quran dan Keimanan.”
Jika berdasarkan kepada pendapat-pendapat tersebut, maka firman
Allah tersebut dibaca waqaf pada lafadz, وَالْاَرْضِ .
Ibnu
Athiyyah berkata, “dalam beberapa pendapat tersebut terdapat pengambilan dhamir
kepada orang yang belum pernah disebutkan sebelumnya. Selain itu, dalam
beberapa pendapat itu terdapat pertentangan antara bagian-bagian perumpamaan
dan bagian-bagian yang diumpamakan. Jika berdasarkan pendapat yang menyatakan
bahwa yang diumpamakan adalah Muhammad –ini adalah pendapat Ka’b al-Habr-, maka
Rasulullah SAW atau dada beliau adalah lubang yang tidak tembus. Al-Mishbaah
(pelita) adalah kenabian dan hal-hal yang berhubungan dengan kenabian yaitu
perbuatan dan petunjuk beliau. Az-Zujaajah (kaca) adalah hati beliau, dan
Asy-Syajaarah Al-Mubarokah (pohon yang banyak berkahnya) adalah wahyu dan
malaikat, utusan Allah kepada beliau sekaligus sebab yang menjadi perantara,
dan Az-Zait (minyak) adalah hujjah-hujjah, keterangan-keterangan serta
ayat-ayat yang dikandung wahyu.”
Jika berdasarkan kepad pendapat-pendapat orang-orang mengatakan
bahwa yang diumpamakan adalah seorang mukmin –ini adalah pendapat ubay-, maka
Al-Misykaah (lubang yang tidak tembus)adalah dada beliau, Al-Mishbaah (pelita)
adalah keimanan dan ilmu pengetahuan, Az-Zujaajah (kaca) adalah hati beliau,
dan minyak pelita itu adalah hujjah-hujjah dan hikmah yang terkandung di
dalamnya.
Ubay berkata, “dia (orang yang beriman) berada pada kondisi
terbaik. Dia berjalan di antara manusia seperti orang hidup yang berjalan di
kuburan orang-orang yang sudah meninggal dunia.”
Jika berdasarkan pendapat orang-orang yang mengatakan bahwa yang
diumpamakan adalah Al-Quran dan keimanan, maka perkiraan maknanya adalah,
perumpamaan cahaya Al-Quran yang tak lain adalah keimanan yang ada di dalam dada orang yang beriman,
tepatnya ada di dalam hatinya, adalah seperti cahaya yang tidak tembus itu.
Yakni seperti kalimat ini (maksudnya, kalimat yang ada pada ayat 35 surat
An-Nur ini).
Pendapat ini tidak saling mengadakan (antara bagian-bagian
perumpamaan dan bagian-bagian yang diumpamakan) seperti dua pendapat
sebelumnya. Sebab kata Al-Misykaah tidak berhadapan dengan keimanan.
Sekelompok ahli tafsir mengatakan bahwa dhamir yang terdapat pada
lafadz نُوْرِهِ kembali kepada
Allah. Ini adalah pendapat ibnu Abbas yang dituturkan oleh Ats-Tsalabi,
Al-Mawardi, dan Al-Mahdawi. Makna firman Allah itu jika disesuaikan dengan
pendapat ini, maka qiraahnya tidak boleh dibaca waqaf pada lafadz, وَالْاَرْضِ.
Al-Mahdawi
berkata, “Huruf Ha’ tersebut kembali kepada Allah. Perkiraan maknanya adalah,
Allah adalah pemberi petunjuk kepada penduduk langit dan bumi. Perumpamaan
petunjuk-Nya yang ada di hati orang-orang yang beriman adalah seperti lubang
yang tidak tembus.”
Ungkapan ini pun diriwayatkan dari Ibnu Abbas. Demikian pula
pendapat yang dikatakan oleh Zaid bin Aslam.
Hasan Berkata, “Huruf Ha’ tersebut kembali kepada Allah Azza wa
Jalla. Ubay dan Ibnu Mas’ud membacanya dengan lafadz مَثَلُ
نُوْرِهِ فِيْ قَلْبِ الْمُؤمِنْ كَمِشْكَاةٍ
‘perumpamaan cahaya Allah di dalam hati orang yang beriman adalah
seperti lubang yang tidak tembus’.”
Muhammad bin Ali At-Tirmidzi berkata, “selain Ubay dan Ibnu Mas’ud,
tidak ada yang membacanya dalam Al-Quran seperti itu. Namun mereka menyetujui
keduanya dalam penakwilannya, bahwa yang dimaksud adalah cahaya Allah di dalam
hati orang beriman. Pembenaran atas penakwilan ini terdapat pada ayat lain.
Allah SWT berfirman, اَفَمَنْ
شَرَحَ اللهُ صَدْرَهُ لِلْاِسْلَامِ فَهُوَ عَلَى نُوْرٍ مِّنْ رَّبِّهِ ‘maka apakah orang-orang yang
dibukakan Allah hatinya untuk (menerima) agama islam lalu ia mendapat cahaya
dari tuhannya (sama dengan orang yang membantu hatinya) ?’.” (Qs. Az-Zumar ayat
22).
Orang-orang yang mengemukakan pendapat sebelumnya membantah bahwa
huruf ha’ tersebut kembali kepada Allah. Mereka mengatakan bahwa huruf ha’
tersebut tidak boleh kembali kepada Allah, sebab cahaya Allah itu tidak ada
batasannya.
Al-Kisa’i menurut riwayat Abu Umar Ad-Duri mengimalahkan huruf alif
yang terdapat dalam lafadz كَمِشْكَاة , dan memberi harakat kasrah pada
huruf kaf yang ada sebelum huruf alif tersebut.
Nashr bin Ashim membaca lafadz tersebut dengan lafadz زُجَاجَةٍ, yakni dengan harakat fathah pada huruf
zai. Demikian pula dengan lafadz, اَلزُّجَاجَة . (yang menjadi : الزَّجَاجَةُ). Ini adalah salah satu dialek dalam bahasa arab.
Ibnu Amir dan Hafish dari Ashim membaca lafazd di atas dengan
lafadz دُرِّيٌّ
- yakni dengan harokat dhammah pada
huruf dal dan tasydid pada huruf ya’-.
Untuk qiraah ini ada dua alasan, yaitu: (1) boleh jadi
bintang-bintang itu dinisbatkan dalam hal putih dan jernihnya, dan (2) boleh
jadi pula asalnya adalah دُرِّىءٌ yakni dengan huruf
hamzah. Ini adalah bentuk فُعِّيْلٌ dari kata الدَّرْءُ, yakni penolakan. Hamzah tersebut kemudian dihilangkan agar ringan
atau mudah untuk diucapkan. Oleh karena itu, dikatakan kepada bintang besar
yang tidak diketahui namanya, الدَّرَارَي –tanpa huruf hamzah-.
Mungkin saja orang-orang arab menghilangkan huruf hamzah agar mudah untuk diucapkan.
Asalnya adalah الدَّرْءُ , yaitu penolakan.
Hamzah dan Abu Bakar dari Ashim membaca دُرِّيٌّ dengan lafadz دُرِّىءٌ –yakni dengan huruf hamzah dan mad (bacaan panjang)-. Ini adalah
pola kata فَعِيْلٌ dari kata الدَّرْءٌ , dimana maknanya adalah satu sama lain saling menaolak.
Al-Kisa’i dan Abu Amr membacanya dengan lafadz دَرِّىءٌ – yakni dengan harakat kasrah pada huruf dal dan hamzah-,
seperti kata السِّكِّيْر dan الفِسِّيْق.
Sibawaih berkata, “maksudnya,
sebagian pancaran cahayanya menolak sebaian yang lain.”
An-Nuhas berkata, “Abu Ubaid menganggap qiraah Abu Amr dan
Al-Kisa’i itu sangat lemah. Sebab mereka menakwilkannya dari kata Dara’at yaitu
menolak. Maksudnya, bintang yang berjalan dari ufuk (timur) ke ufuk (barat).
Jika takwil firman Allah itu sesuai dengan penakwilan tersebut, maka firman
Allah itu tidak akan memiliki faedah apapun atas semua bidang lainnya. Tidaklah
engkau melihat bahwa tidak dikatakan, جَاءَنِيْ
إِنْسَانٌ مِنْ بَنِي ادَمَ (manusia dari anak cucu Adam datang kepadaku). Orang seperti Abu
Umar dan Al-Kisa’i tidak mungkin menakwilkan firman Allah tersebut dengan
penakwilan yang jauh dari kebenaran seperti itu. Sebab mereka mengetahui bahwa
penakwilan tersebut jauh dari kebenaran. Akan tetapi penakwilan mereka sebagai
mana yang diriwayatkan dari Muhammad bin Yazid, bahwa makna firman Allah
tersebut menurut keduanya adalah bintang yang memancarkan cahaya, seperti
kalimat انْدَرَأَ الْحَرِيْقُ
(kebakaran berkobar).
Diriwayatkan dari Said bin Mus’adah, bahwa kalimat دَرَأَ
الْكَوْكَبُ بِضَوْئِهِ , berarti bintang itu memancarkan cahayanya.
Al-Jauhari berkata dalam
Ash-Shihah, “kalimat, دَرَأَ
عَلَيْنَا فُلَانٌ – يَدْرَأُ
– دُرُوْءًا , berarti si fulan muncul secara
tiba-tiba. Termasuk ke dalam makna tersebut dalam kalimat دُرِّيْءٌ كَوْكَبٌ (bintang yang bercahaya). Kata دِرِّيْءٌ ini sama dengan
pola kata فِعِّيُلٌ seperti سِكِّيْرٌ dan .... , karena
kuat pancaran cahaya dan kilauannya. Contoh lainnya adalah, دُرُوْءا الْكَوْكَبُ دَرَأَ
artinya adalah bintang-bintang itu bercahaya.
Abu
Amr Al-A’la berkata, “aku bertanya kepada seorang lelaki dari bani sa’d bin
bakr yang merupakan penduduk Dzat Irq, ‘kalian sebut apa bintang yang besar
itu?’ mereka menjawab ‘Dirri’, mereka adalah orang yang paling fasih,”
An-Nuhas berkata, “adapun qiraah hamzah, seluruh pakar bahasa
kecuali sebaian kecil dari mereka mengatakan bahwa itu merupakan kesalahan
pengucapan yang tidak dibolehkan. Sebab dalam bahasa arab tidak ada isim yang
menggunakan pola kata فُعِّيْلٌ .”
Abu Ubaid mengemukakan argumentasi yang mendukung pendapat Hamzah.
Dia berkata, “kata tersebut bukan menggunakan pola kata فُعِّيْلٌ , akan tetapi
menggunakan pola kata فُعُّوْلٌ , seperti سُبُّوْحٌ
, diantara huruf wau kemudian ditukar dengan huruf ya’, seperti
kata عُتِيٌ.
Abu Ja’far An-Nuhas berkata, “bantahan dan argumentasi (yang
dikemukakan oleh Abu Ubaid) itu merupakan suatu kesalahan yang sangat besar.
Sebab hal itu (penukaran huruf wau dengan huruf ya’) sama sekali tidak
dibolehkan. Seandainya apa yang dikatakan oleh abu Ubaid itu dibolehkan, maka
dikatakan: سُبِّيْحٌ untuk kata سُبُّوْحٌ sayangnya hal ini tidak pernah
dikatakan oleh seorang pun. Sedangkan kata عُتِيُّ tidak termasuk ke dalam masalah ini. Perbedaan antara سُبُّوْحٌ dan عَتِيٌّ sangat jelas. Karena kata عُتِيٌّ itu tidak
terlepas dari salah saatu dari dua hal tersebut:
(1)
Boleh jadi ia merupakan bentuk jamak dari kata عَاتٍ , sehingga penukaran
huruf yang terjadi pada kata tersebut merupakan sebuah kekhususan. Pasalnya,
perubahan ke dalam bentuk jamak adalah perubahan bentuk nagunan kata atau
perubahan huruf. Sementara huruf wau tidak boleh berada di akhir kata, apabila
sebelumnya terdapat dhammah. Manakala sebelum huruf wau itu terdapat huruf
mati, dan sebelum huruf mati bukanlah pemisah yang kuat, maka dhammah
ditukarkan kepada jasrah, lalu wau dirubah atau ditukar dengan ya’.
(2)
Tapi apabila kata عُتِيٌّ
adalah bentuk tunggal, maka ia lebih berhak terhadap huruf wau. Namun huruf wau
itu boleh ditukarkan (kepada huruf ya’), sebab ia berada di akhir kata.
Sedangkan huruf wau yang menikuti pola kata فُعُوْلٌ bukanlah
huruf wau yang berada di akhir kata. Oleh karena itu, ia tidak boleh
ditukarkan.”
Al-Jauhari berkata, “Abu Ubaid berkata, ‘jika
huruf dal dibaca dhammah, meka engkau akan mengatakan دُرِّيٌّ , dan ini merupakan penisatan kepada الدُّرُّ
(mutiara), sesuai dengan pola kata فُعْلِيٌّ , dan engkau tidak akan
mengakhirinya dengan huruf hamzah, sebab dalam bahasa arab tidak ada kata yang
menggunakan pola kata فُعِيْلٌ . sedangkan orng yang menggunakan huruf hamzah
(di akhir kata) mengkhendaki pola kata فُعُوْلًا , seperti سُبُّوْحًا . bagi sebagian orang kata سُبُّوْحًا ini berarti untuk diucapkan,
sehingga mereka menukarkan harakat dhammah tersebut dengan ya’.”
Al-Akhfasy meriwyatkan dari sebagian
orang-orang arab bahwa kata دَرِّىءٌ dibentuk dari دَرَأْتُهُ . mereka menetapkan huruf hamzah
pada kata tersebut, dan menjadikannya sesuai dengan pola kata فَعِيْلٌ –yakni dengan harakat fathah pada huruf
pertamanya-.
Al-Akhfasy juga berkata, “itu karena
kilaunya.”
Ats-Tsa’labi, “Said bin Al-Musayyib dan Abu Raja’ membacanya dengan
lafadz دَرِّىُءٌ –yakni dengan harakat fathah paoda huruf dal
dan hamzah di akhir kata-.”
Abu Hatim berkata, “ini salah. Sebab dalam bahasa arab itu adalah
isim yang sesuai dengan pola kata فَعِيْلٌ . tapi jika qiraah ini sah bersumber dari keduanya, maka
keduanya adalah orang yang dapat dijadikan sebagai argumentasi.”
Syaibah, Nafi’, Ayyub, Salam, Ibnu Amir, Penduduk Syam dan Hafs,
membaca يُوْقَدُ dengan lafadz يُوْقَدُ , -yakni dengan huruf ya’ yang diberi harakat dhammah, tanpa
tasydid pada huruf qaf, dan dhammah pada huruf dal-. Sedangkan Al-Hasan,
As-Sulami, Abu Ja’far, dan Abu Amr bin Al-‘Ala Al-Basri membacanya dengan
huruf تَوَقَّدُ – yakni dengan
harakat fathah semua huruf dan tasydid pada huruf qaf-. Qiraah inilah yang
dipilih oleh Abu Hatim dan Abu Ubaid.
An-Nuhas berkata, “kedua qiraah ini hampir sama. Sebab keduanya
ditujukan pada makna pelita, dan pelita ini sangat sesuai dengan sifat ini
(dinyalakan). Sebab pelitalah yang bersinar dan bercahaya. Sedangkan kata
adalah kaca hanyalah tempatnya. تَوَقَّدُ adalah fiil
madhi dari يَتَوَقَدُ
تَوَقَّدَ , sedangkan يُوْقَدُ adalah fiil mudhari dari kata أَوْقَدَ –يُوْقِدُ . “
Nashr bin Ashim membaca firman Allah itu dengan lafadz, تَوَقَّدَ asal qiraahnya adalah تَتَوَقَّدَ , lalu salah
satu dari kedua dari huruf ta’ tersebut dinuang, sebab huruf ta’ yang lainsudah
mewakili yang lain.
Para Ulama Kufah membacanya dengang lafadz تُوْقَدُ – yakni dengan
huruf ta’-, dimana mereka memaksudkannya kepada kaca. Kedua qiraah ini (Qiraah
Nashr bin Ashim dan ulama kuffah) berdasarkan bahwa lafadz Az-Zujajah adalah
mu’annats.
مِن شَجَرَةٖ مُّبَٰرَكَةٖ زَيۡتُونَةٖ لَّا
شَرۡقِيَّةٖ وَلَا غَرۡبِيَّةٖ ” Yang
dinyalakan dengan minyak dari pohon yang banyak berkahnya. (yaitu) pohon zaitun
yang tumbuh tidak di sebelah timur (sesuatu) dan tidak pula di sebelah
barat(nya).” Ini sudah dijelaskan dalam pembahasan sebelumnya.
يَكَادُ زَيۡتُهَا يُضِيٓءُ وَلَوۡ لَمۡ
تَمۡسَسۡهُ نَارٞۚ نُّورٌ عَلَىٰ نُورٖۚ ” Yang
minyaknya (saja) hampir-hampir menerangi, walaupun tidak disentuh api. Cahaya
di atas cahaya (berlapis-lapis),” dengan menjadikan lafadz نَارٌ sebagai muannats. Abu Ubaid mengklaim bahwa hanya qiraah inilah
yang diketahui untuk firman Allah ini. Padahal Abu Hatim meriwayatkannbahwa
As-Suddi meriwayatkan dari Abu Malik, dari Ibnu Abbas, Bahwa dia membaca firman
Allah, وَلَوۡ لَمۡ تَمۡسَسۡهُ نَارٞۚ dengan lafadz وَلَوۡ
لَمۡ يَمۡسَسۡهُ نَارٞۚ – yakni dengan huruf ya’
pada lafadz يَمۡسَسۡهُ
-.
Muhammad bin Yazid berkata, “qiraah yang menjadikan lafadz نَارٌ sebagai
mudzakkar (yaitu qiraa : lam yamsashu naarun),
adalah karena lafadz نَارٌ itu merupakan muannats
yang bukan sebenarnya atau muannats majazi. Dengan demikian pula semua kata
yang dianggap sebagai muannats, menurut pendapatnya.
Ibnu Umar berkata. “Al-Mishkaah (lubang tak tembus) adalah perut
Nabi Muhammad SAW, Az-Zujajah (kaca) adalah hatinya, dan Al-Misbaah (pelita)
adalah cahaya yang Allah jadikan di dalam hatinya, yang dinyalakan dengan
minyak dari pohon yang diberkati. Maksudnya, asal cahaya itu adalah dari
Ibrahim, dimana Ibrahim merupakan pohon tersebut. Allah SWT menyalakan cahaya
di hati Nabi Muhammad, sebagaimana Allah menjadikannya di dalam hati Nabi
Ibrahim AS.
Muhammad bin Ka’b berkata, “Al-Misykaah (lubang yang tak tembus)
adalah Nabi Ibrahim, Az-Zujaajah (kaca) adalah Nabi Ismail, Al-Mishbaah
(pelita) adalah Nabi Muhammad. Allah menamakan beliau Al-Mishbaah (pelita),
sebagaimana Allah menamakan beliau Siradj (lampu atau cahaya) adalah
firman-Nya, Dan untuk jadi penyeru pada Agama Allah dengan izin-Nya dan untuk
jadi cahaya yang menerangi’. (Qs. Al-Ahzab ayat 46).
Pelita itu dinyalakan dengan minyak dari pohon yang diberkati,
yaitu Nabi Adam AS. Dia diberikan kepada keturunannya dan banyaknya para nabi
serta kekasih Allah yang berasal dari keturunannya. Menurut satu pendapat,
pohon yang diberkati tersebut adalah Nabi Ibrahim. Allah SWT menanamkannya
‘yang diberkati’ karena sebagian besar dari para nabi berasal dari
keturunannya.
لَّا شَرۡقِيَّةٖ وَلَا غَرۡبِيَّةٖ ‘yang tumbuh tidak di sebelah timur
(sesuatu) dan tidak pula dari sebelah barat(nya).’ Maksudnya adalah, yang tidak
beragama yahudi dan tidak pula beragama Nashrani, akan tetapi orang yang hanif
lagi muslim. Allah SWT berfirman demikian, sebab orang-orang yahudi itu
beribadah dengan menghadap ke arah barat, sedangkan orang-orang nashrani
beribadah dengan menghadap ke arah timur.
يَكَادُ زَيۡتُهَا يُضِيٓءُ “yang minyaknya (saja) hampir-hampir menerangi, “maksudnya adalah,
kebaikan-kebaikan Muhammad telah nampak pada Manusia, sebelum Allah SWT
menurunkan wahyu kepadanya.
نُّورٌ عَلَىٰ نُورٖۚ “Cahaya di atas
cahaya (berlapis-lapis),” maksudnya adalah, nabi yang berasal dari keturunan
nabi.
Adh-Dhahhak berkata, “Abdul Muthalib diserupakan dengan Al-Misykaah
(lubang yang tak tembus), Abdullah diserupakan dengan Az-Zujajah (kaca), dan
Nabi SAW diserupakan dengan Al-Mishbaah (pelita) di dalam hati Abdul Muthalib
dan Abdullah. Beliau mewarisi kenabian dan Nabi Ibrahim AS.
مِن شَجَرَةٍ ’dari pohon’,
maksudnya adalah, pohon ketakwaan, keridhaan, petunjuk dan keimanan. Pohon yang
akarnya adalah kenabian, dahannya adalah muru’ah, rantingnya adalah wahyu,
daunnya adalah takwil, dan pengurusnya adalah Jibril dan Mikail.”
Al-Qadhi Abu Bakar bin Al-Arabi berkata, “di antara hal yang
mengherankan adalah, sebagian ahli fiqih menyatakan bahwa ayat ini merupakan
perumpamaan yang Allah ciptakan tentang Nabi Ibrahim, Muhammad, Abdul Muthalib,
dan juga puteranya yaitu Abdullah.
Al-Misykaah dalam bahasa Habasyah adalah lubang. Allah menyerupakan
Abdul Muthalib dengan lubang yang di dalamnya terdapat qindiil, yakni kaca.
Allah SWT menyerupakan Abdullah dengan qindiil, yaitu kaca. Sedangkan Muhammad,
beliau adalah seperti pelita, yakni pelita yang berasal dari keturunan Abdul
Muthalib dan Abdullah. Beliau laksana bintang yang bercahaya, yaitu Mustara
(venus).
يُوقَدُ مِن شَجَرَةٖ مُّبَٰرَكَةٍ “Yang dinyalakan
dengan minyak dari pohon yang banyak berkahnya,” maksudnya adalah, pusaka
kenabian yang diwariskan oleh Nabi Ibrahim AS, yang tak lain adalah pohon yang
diberkati, yaitu agama hanif, tidak ke Timur dan tidak pula ke Barat, dan tidak
beragama Yahudi serta tidak beragama Nashrani.
يَكَادُ زَيۡتُهَا يُضِيٓءُ وَلَوۡ لَمۡ
تَمۡسَسۡهُ نَارٞۚ ”Yang minyaknya
(saja) hampir-hampir menerangi, walaupun tidak disentuh api.” Sebagian ahli
fikih berkata, “Ibrahim hampir-hampir mengatakan wahyu sebelum wahyu itu
diberikan kepadanya.”
نُّورٌ عَلَىٰ نُورٖۚ “Cahaya di atas
cahaya (berlapis-lapis),” maksudnya adalah, Ibrahim lalu Muhammad.
Menurut Al-Qurthubi: Demikian pula dengan semua pendapat lainnya,
sebab pendapat-pendapat tersebut tidak ada kaitannya dengan ayat tersebut,
kecuali pendapat yang pertama. Firman Allah ini merupakan sebuah perumpamaan
tentang cahaya-Nya yang agung – guna mengingatkan makhluk-Nya– kecuali dengan
sebagian makhluk-Nya. Sebab makhluk itu, karena keterbatasannya, hanya akan mengerti
jika perumpamaan itu dibuat oleh diri mereka dan bersumber dari diri mereka
juga. Seandainya tidak begitu, maka tidak akan ada yang mengenal Allah SWT
kecuali Allah semata. Demikianlah pendapat yang dikemukakan oleh Ibnu Al-Arabi.
Ibnu Abbas berkata, “Ini adalah perumpamaan cahaya dan petunjuk
Allah di hati orang yang beriman. Ia sepeti minyak jernih yang nyaris dapt
mengeluarkan cahaya sebelum tersentuh api. Jika ia tersentuh api, maka
cahayanya akan semakin bertambah terang. Demikian pula dengan hhati seorang
mukmin. Ia nyaris mengamalkan petunjuk sebelum ia menerima pengetahuan. Apabila
pengetahuan datang padanya, maka ia semakin mendapatkan petunjuk dan cahaya.
Hal ini seperti ucapan Nabi Ibrahim AS sebelum beliau mendapatkan pengetahuan, هَذَا
رَبِّيْ ‘Inilah Tuhanku’. (Qs. Al-An’aam ayat 76) padahal saat itu belum
ada seorang pun yang memberitahukan kepadanya bahwa dia memiliki Tuhan. Ketika
Allah SWT memberitahukan kepadanya bahwa Dia-lah Tuhannya, maka beliau semakin
mendapatkan petunjuk. Allah SWT berfirman kepadanya,
۞ .
قَلَ أَسْلَمْتُ لِرَبِّ الْعَالَمِيْنَ أَسْلِمْ ‘Tunduk dan patuhlah! Ibrahim menjawab, ‘Aku
tunduk patuh kepada Tuhan semesta Alam.” (Qs. Al-Baqarah ayat 31).
Adapun orang-orang yang mengatakan bahwa ini merupakan perumpamaan
Al-Quran di hati orang yang beriman, mereka berkata, “Sebagaimana pelita
dimintai cahayanya namun ia tidak pernah kurang, maka demikian pula dengan
Al-Quran. Ia diminta petunjuknya namun ia tidak pernah berkurang. Dengan
demikian, Al-Mishbaah (pelita) adalah Al-Quran, Az-Zujaajah (kaca) adalah hati
orang yang beriman, Al-Misykaah (lubang yang tak tembus) adalah lidah dan
pemahamannya, dan Asy-Syajarah Al-Mubarakah (pohon yang diberkati) adalah pohon
wahyu.
يَكَادُ زَيۡتُهَا يُضِيٓءُ وَلَوۡ لَمۡ تَمۡسَسۡهُ
نَارٞۚ ”Yang minyaknya (saja) hampir-hampir menerangi, walaupun tidak
disentuh api,” maksudnya adalah, hujjah-hujjah Al-Quran hampir nampak, meskipun
ia tidak dibaca.
نُّورٌ عَلَىٰ نُورٖۚ ”Cahaya di atas
cahaya (berlapis-lapis),” maksudnya adalah, Al-Quran adalah cahaya dari Allah
bagi makhluk-Nya, disamping dalil-dalil dan pemberitahuan yang Allah SWT
berikan kepada mereka sebelum turunnya Al-Quran. Oleh karena itu, mereka
semakin mendapatkan cahaya.
Selanjutnya, Allah SWT memberitahukan bahwa cahaya yang disebutkan
itu sangat luar biasa, dan ia tidak akan didapatkankecuali oleh orang-orang
yang hendak diberikan petunjuk oleh Alah. Allah SWT berfirman,
يَهۡدِي ٱللَّهُ لِنُورِهِۦ مَن يَشَآءُۚ
وَيَضۡرِبُ ٱللَّهُ ٱلۡأَمۡثَٰلَ لِلنَّاسِۗ ”Allah membimbing
kepada Cahaya-Nya siapa yang Dia kehendaki, dan Allah memperbuat
perumpamaa-perumpamaan bagi manusia.” Maksudnya adalah, Allah SWT menerangkan
perumpamaan-perumpamaan tersebut agar dapat dipahami.
وَٱللَّهُ بِكُلِّ شَيۡءٍ عَلِيمٞ ٣٥ ”Dan Allah maha mengetahui segala sesuatu,” maksudnya adalah,
mengetahui yang memberikan petunjuk dan yang menyesatkan.
Diriwayatkan dari Ibnu Abbas, bahwa orang yahudi pernah berkata,
“Wahai Muhammad, bagaimana mungkin cahaya Allah itu dapat menembus bahwa
langit, kemudian Allah menjadikan itu sebagai sebuah perumpamaan untuk
cahaya-Nya?” Maka, Allah SWT membuatnya sebagai perumpamaan dengan cahaya-nya.
9.
Al-Kahfi ayat 96
ءَاتُونِي
زُبَرَ ٱلۡحَدِيدِۖ حَتَّىٰٓ إِذَا سَاوَىٰ بَيۡنَ ٱلصَّدَفَيۡنِ قَالَ ٱنفُخُواْۖ
حَتَّىٰٓ إِذَا جَعَلَهُۥ نَارٗا قَالَ ءَاتُونِيٓ أُفۡرِغۡ عَلَيۡهِ قِطۡرٗا ٩٦
96. “Berilah aku
potongan-potongan besi". Hingga apabila besi itu telah sama rata dengan
kedua (puncak) gunung itu, berkatalah Dzulkarnain: "Tiuplah (api
itu)". Hingga apabila besi itu sudah menjadi (merah seperti) api, diapun
berkata: "Berilah aku tembaga (yang mendidih) agar aku kutuangkan ke atas
besi panas itu".
Firman Allah SWT, ءَاتُونِي
زُبَرَ ٱلۡحَدِيدِۖ “Berilah aku potongan-potongan besi", yakni: berilah aku
potongan-potongan besi dan bawakan kepadaku. Ia memerintahkan mereka untuk
memindahkan peralatan. Semua ini dilakukan dalam arti menuntut pemberian tapi
tidak bermakna hibah (tidak untuk dirinya), karena ia sudah terikat dengan
perkataannya, bahwa ia tidak akan mengambil pembayaran dari mereka. Jadi yang
diminta hanyalah penyerahan dan bantuan tenaga زُبَرَ
ٱلۡحَدِيدِۖ adalah potongan-potongan besi. Asal maknanya adalah berkumpul,
contohnya dengan pengertian ini: Zabrah al kitaab, yakni aku menulis buku dan
menghimpunkan huruf-hurufnya.
Abu Bakar dan Al Mufadhdhal
membacanya: رَدْمًا اِيْتُوْنِي yakni dari al ityaan yang artinya datang. Yakni datankan kepadaku
potongan-potongan besi. Karena faktor penyebab khafadnya gugur, maka fi’ilnya
menjadi manshub, ini seperti ungkapan seorang penyair:
أَمَرْتُكَ الخَيْرَ ……
“Aku
memerintahkanmu melakukan kebaikan …”
Harf jarnya (partikel
penyebab majrurnya) dibuang sehingga fi’ilnya menjadi manshub. Jumhur
membacanya زُبَرَ dengan fathah pada ba, sementara Al-Hasan membacanya dengan dhammah.
Semuanya merupakan bentuk jamak dari zubrah, yaitu potongan besar darinya.
Firman Allah Ta’ala, حَتَّىٰٓ
إِذَا سَاوَىٰ “Hingga apabila besi itu telah sama rata”
yakni bila bangunannya sudah sama rata, disini ada kata yang dibuang karena
kuatnya perkataan ini.
بَيۡنَ
ٱلصَّدَفَيۡنِ “Dengan kedua (puncak) gunung itu,” Abu
Ubaidah mengatakatan, “Kedua dinding itu letaknya di kedua sisi gunung itu.
Diungkapkan demikian karena keduanya bersentuhan dan menempel.”. Demikian juga
yang dikatakan oleh Az-Zuhri dan Ibnu Abbas, jadi seolah-olah keduanya saling
membentengi yang lainnya, dari ash-shuduuf (kerang/tiram). Seorang
penyair mengatakan,
كِلَا الصَّدَفَيْنِ يَنْفُذُ سَنَاهَا تَوَقَّدُ مِثْلَ مِصْبَاحِ الظَّلَامِ
“Kedua
kerang itu memancarkan cahayanya yang menyala bagaikan lampu penerang
kegelapan.”
Bangunan tinggi juga disebut shadaf karena
menyerupai pinggiran bukit. Disebutkan didalam hadits:
كَانَ
إِذَا مَرَّ بِصَدَفٍ مَائِلٍ أَسْرَعَ الْمَشْيَ.
“Apabila berjalan melewati
dinding tinggi yang miring, maka ia mempercepat langkah(nya).” Abu Ubaidah
mengatakan, “Ash-Shadaf dan al hadaf adalah setiap bangunan besar
nan tinggi.” Ibnu Athiyah mengatakan, :Ash-Shadafani adalah dua buah
gunung yang berhadapan, bila hanya satu tidak disebut shadaf, dan
disebut shadafan itu karena ada dua, karena yang satunya menghadap yang
lainya.”
Nafi;, Hamzah dan Al Kias’i membacanya: ٱلصَّدَفَيۡنِ dengan fathah
dan tasydid pada shad serta fathah pada dal. Ini juga merupakan qira’ahnya Umar
bin Khattab RA dan Umar bin Abdul Aziz. Dan ini merupakan pilihan Abu Ubaidah
karena lebih dikenal oleh banyak dialek (logat/lahjah).
Ibnu Katsir, Ibnu Amir dan Abu Amr membacanya ٱلصُّدَفَيۡنِ dengan dhammah
pada shad dan dal.
Ashim dalam
riwayat Abu Bakar membacanya ٱلصُّدْفَيۡنِ dengan dhammah
pada shad dan sukun pada dal, yaitu seperti kata al jurf dan al juruf, yaitu
dengan diringankan.
Ibnu Al Majisyun membacanya dengan
fathah pada shad dan dhammah pada dal.
Sementara Qatadah membacanya dengan بَيۡنَ
ٱلصَّدْفَيۡنِ dengan fathah
pada shad dan sukun pada dal. Semua itu maknanya sama, yaitu dua buah gunug
yang berhadapan.
Firman Allah SWT, قَالَ
ٱنفُخُواْۖ “Berketalah
Dzulqarnain, tiuplah (api itu) ….” Hingga akhir ayat, yakni tiupkan pada
besi-besi itu dengan alat peniup. Demikian itu karena ia telah memerintahkan
untuk meletakkan kerangka potongan-potongan besi dan bebatuan kemudian
dinyalakan kayu bakar diatasnya serta ditiup dengan alat peniup sehingga
memerah, karena karakter besi itu apabila dipanaskan diatasnya maka akan
menjadi seperti itu, itulah firman-Nya حَتَّىٰٓ
إِذَا جَعَلَهُۥ نَارٗا “Hingga apabila
besi itu sudah menjadi (merah seperti) api”. Kemudian ditambahkan kuningan yang
telah dicairkan atau tembaga atau besi yang titik leburnya berbeda, lalu
dituangkan kepada kerangka yang telah tersusun itu, sehingga ketika memanas
maka akan saling menempel dengan kuat, lalu diletakkan lagi kerangka lainnya
hingga akhirnya hasil pekerjaan itu menjadi sebuah gunung yang sangat keras.
Qatadah mengatakan, “Itu seperti kain berwarna, jalanan hitam dan
jalanan merah.”
Diriwayatkan bahwa Rasulullah SAW didatangi oleh seorang
laki-laki lalu berkata, “Wahai Rasulullah, sesungguhnya aku telah melihat
dinding Ya’juj dan Ma’juj.” Beliau bertanya, “Bagaimana kau melihatnya?” Ia
menjawab, “Aku melihatnya seperti kain berwarna, jalanan kuning, jalanan merah
dan jalanan hitam.” Maka Rasulullah SAW pun bersabda,”Engkau memang telah
melihatnya”.
Makna: حَتَّىٰٓ
إِذَا جَعَلَهُۥ نَارٗا “Hingga
apabila besi itu sudah menjadi (merah seperti) api” yakni menjadi seperti api.
Makna قَالَ
ءَاتُونِيٓ أُفۡرِغۡ عَلَيۡهِ قِطۡرٗا “berilah aku
tembaga (yang mendidih) agar aku tuangkan keatas besi panas itu.” Yakni berilah
aku tembaga yang sudah mencair agar aku tuangkan ketasnya. Ini berupa bentuk
ungkapan taqdim dan ta’khir (mendahulukan dan mengakhirkan kata).
Orang yang membacanya ءُائْتُونِيٓ maka maknanya:
kemarilah agar aku tuangkan tembaga keatasnya. Menurut mayoritas mufassir,
bahwa al qithr adalah kuningan yang telah mencair, asalnya dari al qathr
(tetesan), karena apabila telah dicairkan (dipanaskan dengan suhu tertentu)
maka akan menetes seperti menetesnya air. Ada juga yang mengatakan, bahwa al
qithr adalah besi yang telah mencair.
Ada juga yang mengatakan, termasuk
diantaranya Ibnu Al Anbari, “Yaitu tembaga yang mencair. Ini merupakan derivasi
(turunan bentuk kata) dari qathara-yaqthuru-qathran. Contohnya : وَأَسَلۡنَا
لَهُۥ عَيۡنَ ٱلۡقِطۡرِۖ “Dan Kami alirkan cairan tembaga baginya.”.
10.
Al-Isra ayat 01
سُبۡحَٰنَ
ٱلَّذِيٓ أَسۡرَىٰ بِعَبۡدِهِۦ لَيۡلٗا مِّنَ ٱلۡمَسۡجِدِ ٱلۡحَرَامِ إِلَى ٱلۡمَسۡجِدِ
ٱلۡأَقۡصَا ٱلَّذِي بَٰرَكۡنَا حَوۡلَهُۥ لِنُرِيَهُۥ مِنۡ ءَايَٰتِنَآۚ إِنَّهُۥ
هُوَ ٱلسَّمِيعُ ٱلۡبَصِيرُ ١
Maha Suci
Allah, yang telah memperjalankan hamba-Nya pada suatu malam dari Al Masjidil
Haram ke Al Masjidil Aqsha yang telah Kami berkahi sekelilingnya agar Kami perlihatkan
kepadanya sebagian dari tanda-tanda (kebesaran) Kami. Sesungguhnya Dia adalah
Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.
Dalam
ayat ini dibahas delapan masalah:
Pertama: Firman Allah
SWT: “Maha Suci” سُبْحَانَ“Maha Suci” isism yang diposisikan pada mashdar
dan dia tidak tetap karena tidak berlaku baginya aspek-aspek I’rab juga tidak
dimasuki huruf alif dan lam.
Tidak ada kata kerjanya. Juga tidak berlaku hukum sharaf karena di bagian
akhirnya ada dua tambahan. Artinya mensucikan dan membebaskan Allah dari segala
kekurangan. Kata ini juga merupakan dzikir yang agung kepada Allah SWT dan
tidak layak untuk selain-Nya.
Thalhah
bin Abdullah Al Fayadh berkata kepada Nabi SAW,
مَا مَعنَي سُبْحَانَ
اللَّهِ فَقَالَ : تَنْزِيْهُ اللَّهِ مِنْ كُلِّ سُوْءٍ
“Apa arti ssubhanallah?” Beliau menjawab, “Mensucikan Allah dari segala keburukan.”
“Apa arti ssubhanallah?” Beliau menjawab, “Mensucikan Allah dari segala keburukan.”
‘Aamil
di dalamnya menurut pendapat sibawaih adalah kata kerja yang tersurat pada
maknanya bukan pada lafadznya. Karena dari lafadznya tidak berlaku kata kerja
yang muncul darinya. Perkiraanya adalah, “Jauhkanlah Allah sejauh-jauhnya dari
egala kekurangan.” Subhanallah terposisikan
untuk makna ‘menjauh’
Kedua: Firman Allah
SWT: أَسْرَى بِعَبْدِهِ “memperjalankan hamba-Nya.” Asraa
memiliki dua kata lain yang sama: أَسْرَى dan سَرَى sebagaimana سَفَى dengan أسفى Sebagaiman telah dijelaskan
diatas.
Ada yang mengatakan “أَسْرَى adalah berjalan
dari awal malam, sedangkan
adalah berjalan di akhir malam. Tetapi yang pertama lebih populer.”
Ketiga: Firman Allah
SWT: بِعَبۡدِهِۦ “ Hamba-Nya.” Para ulama
berkata, “Jika Nabi SAW memiliki nama yang lebih mulia dari pada yang ada itu
(hamba-Nya) tentu Allah menyebtkannya dengan nama itu dalam situasi yang
penting itu.”
Al
Qusyairi berkata, “Ketika beliau dingkat oleh Allah SWT ke haribaan-Nya yang
mulia, dan ditinggikan atas semua bintang yang tinggi Allah menyematkan nama hamba kepadanya sebagai tanda
ketawadu’an beliau terhadap ummatnya”.
Keempat: Perkara Isra’
telah jelas dalam semua kitab hadits. Diriwayatkan dari kalangan para sahabat
di setiap negri Islam, sehingga apa yang diriwayatkan ini menjadi mutawattir.
An-Naqqasy menyebutkan diantara yang meriwayatkanya adalah dua puluh sahabat.
Dalam Ash-Shahih diriwayatkan dari Anas bin Malik bahwa Rasulallah SAW
bersabda:
“Diberikan kepadaku seekor Buroq, yaitu binatang berwarna putih yang lebih
panjang dari keledai dan lebih pendek dari baghal, ia meletakkan tapal kakiknya
di bagian paling ujung. Lalu aku menungganginya hingga aku sampai di Baitul Maqdis.
Maka aku ikat dengan tali yang juga dikenakan para Nabi lainnya untuk mengikat.
Kemudian aku keluar lalu datanglah lepadaku Jibril sambil membawa
wadah berisi khamer dan wadah lainnya berisi susu, aku pun memiliki wadah yang
berisi susu. Sehingga Jibril berkat, ‘Engkau
telah memilih fitrah.’ Kemudian kami naik menuju ke langit….
Riwayat
yang tidak tedapat dalam Ash-Shahihain adalah yang diriwayatkan oleh Al Ajurra
dan As-Samarqandi. Al Ajurra berkata dari Abu Sa’id Al Khurdi berkenaan dengan
firman Allah SWT,
سُبْحَانَ الَّذِي
أَسْرَى بِعَبْدِهِ لَيْلاً مِّنَ الْمَسْجِدِ الْحَرَامِ إِلَى الْمَسْجِدِ
الأَقْصَى الَّذِي بَارَكْنَا حَوْلَهُ
“Maha suci
Allah yang telah memperjalankan hamba-Nya pada suatu malam dari Masjidil Haram ke Al Masjidil Aqsha yang
telah kami berkahi sekelilingnya…”
Abu
Sa’id berkata: Rasulallah SAW menyampaikan hadits kepada kami tentang isra;
mi’raj beliau, Nabi SAW bersabda, “Diberikan
kepadaku seekor binatang yang sangat mirip dengan baghal, memiliki dua daun
telinga yang selalu bergerak. Dia adalah buraq yang dahulu ditunggangi oleh
para nabi. Sehingga aku menungganginya dan berangkatlah ia kedua kaki depanya
terletak sejauh matanya memandang. Aku mendengar panggilan dari sebelah
kananku, ‘Wahai Muhammad, berhentilah sehingga aku bertanya kepadamu. ‘
Kemudian aku mendengar pnggilan dari sebelah kiriku, ‘Wahai Muhammad,
berhentilah. ‘Aku terus berjalan dan tidak membuat aku cenderung kepadanya.
Kemudian datanglah seorang wanita menghadap kepadaku dengan segala macam
perhiasn dunia sambil mengangkut kedua tangannya seraya berkata, ‘berhentilah,
sehingga aku bertanya kepadamu. ‘Aku terus berjalan dan tidak membuat aku
cenderung kepadanya. Kemudian aku sampai ke Biatul Maqdis Al Aqsha. Lalu aku
turun dari bintang tungganganku, aku mengikatnya pada rantai yang digunakan
oleh para nabi untuk mengikatnya. Kemudian aku masuk ke dalam masjid dan aku
menunaikan shalat di dalamnya. Maka jibril AS berkata kepadaku, ‘Apa yang
engakau dengar wahai Muhammad?. ‘ Maka aku jawab, ‘Aku dengar panggilan dari
arah kanankku, Wahai Muhammad, berhentilah sehingga aku bertanya kepadamu. ‘Aku
terus berjalan dan tidak membuat aku cenderung kepadanya. Maka dia berkata,
‘Itu adalah penyeru Yahudi.
Jika enngkau berhenti maka umatmu menjadi Yahudi. ‘Beliau bersabda, “Kemudian aku mendengar panggilan dari sebelah kiriku, ‘Berhenilah sehingga aku bertanya kepadamu. ‘Aku terus berjalan dan tidak membuat aku cenderung kepadanya. Maka dia berkata, ‘Itu adalah penyeru Nasrani. Sungguh, jika engkau berhenti maka umatmu menjadi Nasrani. ‘Beliau bersabda, ‘Kemudian seorang wanita dengan segala macam perhiasan dunia dengan mengangkat kedua tangannya meminta aku menghadap kepadanya seraya berkata, ‘Itu adalah, dunia jika engkau berhenti tentu engkau memilih dunia dari pada akhirat. ‘Beliau bersabda, ‘Kemudian aku diberi dua bejana. Salah diantara keduanya dengan berisi susu, sedangkan yang lainya berisi khamer.
Jika enngkau berhenti maka umatmu menjadi Yahudi. ‘Beliau bersabda, “Kemudian aku mendengar panggilan dari sebelah kiriku, ‘Berhenilah sehingga aku bertanya kepadamu. ‘Aku terus berjalan dan tidak membuat aku cenderung kepadanya. Maka dia berkata, ‘Itu adalah penyeru Nasrani. Sungguh, jika engkau berhenti maka umatmu menjadi Nasrani. ‘Beliau bersabda, ‘Kemudian seorang wanita dengan segala macam perhiasan dunia dengan mengangkat kedua tangannya meminta aku menghadap kepadanya seraya berkata, ‘Itu adalah, dunia jika engkau berhenti tentu engkau memilih dunia dari pada akhirat. ‘Beliau bersabda, ‘Kemudian aku diberi dua bejana. Salah diantara keduanya dengan berisi susu, sedangkan yang lainya berisi khamer.
Lalu dikatakan kepadaku, ‘Ambillah
sekehendakmu mana yang kamu mau. ‘Maka aku mengambil susu dan minumannya. Maka
Jibril berkata kepadaku, ‘Engkau mendapatkan fitrah. Jika engkau memiliki
khamer maka sesatlah umatmu. ‘Kemudian dia dating ke tempat mi’rajyang
didalmnya pula arwah anak adam telah melakukan mi’raj. Ternyata dia adalah
tempat yang paling bagus yang pernah aku lihat. Apakah kalian tidak melihat
orang orang yang meninggal bagaimana matanya mengikutinya ke atas? Maka
dia mi’raj bersama kami hingga tiba di pintu langit dunia sehingga Jibril
memohon dibukakanpintunya. Maka dikatakan, ‘Siapa ini?. ‘Dia menjawab,’Jibril.
‘Merek berkata, ‘Dia telah menjadi Rasul?. ‘Dia menjawab, ‘Ya. ‘Maka mereka
membukakan pintu untukku, mereka menyampaikan salam kepdaku. Ternyata seorang
malaikat penjaga yang disebut bernama Isma’ail, bersamanya tujuh puluh ribu
malaikat dan bersama masing-masing malaikat ada seratus ribu malaikat. Ia
berkata, ‘Tiada yang mengetahui jumlah pasukan Rabbmu selain dia… ‘Kemudian
menyebutkan hadits hingga dikatakan kemudian kami terus berjalan hingga ke
langit lapis lima. Dan ternyata di sana ada Harun bin Imran yang sangat
dicintai dikalangan kaumnya. Di sekelilingnya para pengikutnya yang banyak dari
kalangan umatnya.
Kemudian
di sebutkan ciri-cirinya oleh Nabi SAW
dan bersabda, ‘Panjang jenggotnya hingga
hampir menyentuh pustnya. ‘Kemudian kami terus berjalan hingga ke langit lapis
enam. Ternyata aku sudah bersama Musa sehingga ia mengucapkan salam kepadaku
dan menyambutku. Kemudian Nabi SAW menyebutkan ciri-cirinya dengan bersabda,
‘Dia adalah orang yang sangat lebat rambutnya. Sekalipun dia mengenakan dua
lapis pakaian, Rambutnya keluar dari balik kedua lapis pakaian itu…. ‘Hadits.
Al Bazzar meriwayatkan bahwa
Rasulallah SAW diberi seekor kuda yang kemudian beliau gunakan untuk kendaraan.
Setiap langkahnya lebih jauh dari penglihatannya. Kemudian ia menyebutkan
hadits.
Qud menceritakan ciri-ciri buraq
dari sebuah hadits Ibnu Abbas, ia berkata: Rasulallah SAW bersabda:
“Ketika aku sedang tidur di dalam
kamar tiba-tiba dating seseorang kepadaku lalu menggerakanku dengan kakinya.
Maka aku melihat orang itu ternyata dia adalah Jibril sedang berdiri di pintu
masjid dengan membawa seekor binatang yang lebih kecil dari baghal dan lebih
besar dari keledai, wajahnya seperti wajah manusia, kukunya seperti kuku
tunggal, ekornya seperti ekor banteng, jambulnya seperti jambul kuda. Ketika
Jibril mendekatkannya kepadaku dia berlari dan jambulnya menyembul, sehingga
diusap oleh jibril dan berkata, ‘Wahai Barqah, janganlah engkau berlari dari
Muhammad. Demi Allah tidak ada malaikat paling dekat dengan atau seseorang Nabi
yang diutus menunggangimu yang lebih utama dari pada Muhammad SAW, tidak juga lebih
mulia di sisi Allah daripadanya.’Burqah berkata, ‘Aku tahu bahwa dia sedimikan
itu dan dia adalah pemegang syafaat. Dan sungguh sangat bergembira jika aku
termasuk salah satu yang berada di dalam syafaatnya. ‘Lalunaku katakan, ‘Engkau
terhimpun di dalam syafaatku insyaAllah Ta’ala… “Hadits.
Sedangkan
Abu Sa’id ABD Al Malik bin Muhammad An-Naisaburi dari Abu Sa’id Al Khudri
berkata, “Ketika Nabi SAW berlalu dari
Idris AS di langit keempat, dia berkata, “Selamat dating saudara yang shalih
dan Nabi yang shalih yang dijanjikan kepda kami. Kami ingin melihatnya
namunbelum melihatnya selain mal mini.” Ternyata di dalamnya ada Maryam binti
Imran yang memiliki tujuh puluh istana dari mutiara sedangkan bagi ibu Musa bin
Imran tujuh puluh istana dari mutiara sedangkan dari marjan merah yang dilapisi
dengan mutiara. Pintu-pintunya dan ranjang-ranjangnya dari pegunungan yang
sama. Ketka naik (mi’raj) ke langit lapis lima yang para penghuninya bertasbih
‘Mahasuci Dzat yang menggabungkan antara salju dengan api’ , siapa saja
mengucapkannya satu kali maka dia mendapatkan pahala sebagaimana pahala mereka.
Jibril memohon
dibukakan pintu sehingga dibukakan untuknya dan ternyata di dalamnya seorang
tua yang belum pernah dilihatnya sama sekali
yang paling tampan dari dirinya, bermata besar, jenggotnya menyentuh
bagian yang dekat dengan pusatnya, yang hampir menjadi paduan warna ntara putih
dan hitam. Di sekitarnya kelompok orang yang duduk dan dia berkisah kepada
mereka. Maka aku katakana, “Wahai Jibril, siapa ini ?.” Dia menjawab, ‘Ini
adalah Harun yang sangat dicintai oleh kaumnya…
“Hadits,
Demikianlah sekilas dan serba
singkat sejumlah hadits tentang isra’ di luar kitab Ash-Shahihain yang disebutkan oleh Abu Ar-Rabi’ Sulaiman bin Sab’
dengan sempurna di dalam Syifa Ash-Shudur
karyanya. Tidak ada perbedaan pendapat di kalangan ulama dan jamaah ahli
sirah bahwa shalat difardhukan kepada Nabi SAW di Makkah pada waktu isra’
ketika beliau mi’raj (naik) menuju ke langit. Namun mereka berbeda pendapat
berkenaan dengan sejarah isra’ dan cara shalat. Apakah isra’ itu dengan ruh
beliau atau dengan jasad beliau. Berikut ini tiga masalah berkaitan dengan ayat
yang harus diketahui dan harus dibahas. Inilah bagian yang penting ketika
memaparkan hadits-hadits itu. Saya akan sebutkan sepengetahuan saya berupa
sejumlah pendapat para ulama dan perbedaan pendapat para ahli fikih dengan
pertolongan Allah SWT.
Apakah
isra’ itu dengan ruh atau dengan jasad beliau? Dalam hal ini kalangan Salaf dan
Khalaf berbeda pendapat. Sekelompok ulama berpendapat bahwa isra’ itu dengan
ruh sedangkan jasadnya tidak meningglkan tempat tidurnya. Semua itu adalah
mimpi yang dialami dan di dalamnya berbagai macam fakta. Adapun mimpi para nabi
adalah kebenaan. Diantara yang berpendapat demikian adalah Mu’awiyah dan Aisyah
yang dikisahkan dari Al Hasan dan Ibnu Ishak.
Sekelompok
yang lain mengatakan “Isra’ itu dengan jasad dalam keadaan jaga menuju Baitul
Maqdis dan menuju ke langit dengan ruh. “Mereka beralasan dengan firman Allah
SWT:
سُبْحَانَ الَّذِي أَسْرَى بِعَبْدِهِ لَيْلاً
مِّنَ الْمَسْجِدِ الْحَرَامِ إِلَى الْمَسْجِدِ الأَقْصَى الَّذِي بَارَكْنَا
حَوْلَه لِنُرِيَهُ مِنْ آيَاتِنَا إِنَّهُ هُوَ السَّمِيعُ البَصِير
“Maha Suci Allah, yang telah memperjalankann
hamba-Nya pada suatu malam dari Masjidil Haram ke Al Masjid Aqsha….”
Masjid
Aqsha dijadikan tujuan akhir isra’. Mereka berkata “Jika isra’ itu dengan jasad
beliau hingga lebih dari masjid Aqsha tentu akan disebutkan, karena yang
demikian itu menjadi pujian yang lebih dalam. Sedangkan mayoritas kalangan salaf
dan kaum muslim berpendapat bahwa isra’ dengan jasad dan dalam keadaan terjaga,
dengan menunggang Buraq dari Makkah. Lalu sampai ke Baitul Maqdis, lalu shalat
di dalamnya kemudian diperjalankan dengan jasadnya.”
Dengan
demikian khabar-khabar (baca: hadits) itu dan ayat menunjukan apa yang telah
kita paparkan. Tidak ada kemustahilan di dalam isra’ dengan jasad dan dalam
keadaan terjaga. Juga tidak perlu dialihkan dari kenyataan dan hakikat kepada
suatu takwil, kecuali ketika dalam kemustahilan. Jika sekiranya dalam tidur
tentu akan disebutkan ‘dengan ruh hamba-Nya’ dan tidak mengatakan ‘dengan
hamban-Nya’.
Firman-Nya
مَا زَاغَ الْبَصَرُ وَ مَا طَغَى“Penglihatannya (Muhammad)
tidak berpaling jauh dari yang dilihatnya
itu dan tidak (pula) melampuinya.”(Qs. An Najm[53]:17), menunjukan akan hal
itu. Jika dalam keadaan tidur maka tidak ada tanda kekuasaan dan mukjizat. Juga
tidak mungkin Ummu Hani’ berkata kepada beliau, “Janganlah cerita kepada
khalayak ramai sehingga mereka akan mendustkan engkau, “maka tidak ada
keutamaan Abu Bakar atas orang lain dalam pembentukannya. Juga tidak mungkin
suku Quraisy membenci dan mendustakannya. Beliau telah didustakan oleh Quraisy
berkenaan dengan apa-apa yang beliau sampaikan, hingga sejumlah kaum yang
semula beriman menjadi murtad. Jika dengan mimpi maka tidak mungkin diingkari.
Orang-orang
muyrik berkata kepada beliau, “jika engkau benar maka sampaikan kepada
kamitentang kafilah kami, dimana engkau ketemukannya.” Beliau menjawab, “Di
tempat demikian dan demikian. Aku berlalu di atasnya sehingga fulan terkejut
lalu dikatan kepadanya, ‘Apa yang engkau lihat hai Fulan? ‘Ia menjawab, ‘Aku
tidak melihat apa-apa selain seekor unta yang berlari’.”
Mereka
berkata “Sampaikanlah kepada kami kapan kafilah kami dating kepada kami?.
“Beliau menjawab, “Mereka berkata, “Kapan waktunya?.” Belaiu menjawab, “Aku
tidak tahu. Matahari terbit dari sisni lebih cepat atau munculnya kafilah dari
sini. “Seseorang berkata, “Hari itu?, matahari telah terbit.” Seseorang
berkata, “Inilah kafilah kalian telah muncul.”
Mereka
meminta berita kepada Nabi SAW tentang ciri-ciri Biatul Maqdis sehingga beliau menyebutkan
ciri-ciri itu kepada mereka sedangkan beliau sebelum itu belum penah
melihatnya.
Dalam
Ash-Shahih ada riwayat dari Abu
Hurairah, ia berkata: Rasulallah SAW bersabda: “Aku berada di dalam Hijir dan suku
Quraisy bertanya kepadaku tentang pemasalahan isra’ku. Mereka bertanya kepadaku
tentang berbagai hal yang berkaitan dengan Baitul Maqdis yang aku belum pernah
melihatnya. Sehingga aku mendapatkan kesulitan yang sangat berat yang belum
pernah aku alami seperti itu sama sekali. Sehingga Allah mengangkatnya untukku
dan aku pun melihatnya. Maka ketika mereka bertanya tentang segala sesuatu
tiada lain aku menjawabnya. “Hadits.
Pendapat Aisyah dan Mu’awiyah ditentang yang
menjelaskan, Rasulallah diisra’kan dengan ruhnya SAW, karena itu kafir dan
tidak menyaksikan keadaanya. Juga tidak menyampaikan hadits dari Nabi SAW.
Siapa saja yang hendak menambah apa yang telah kami sebutkan maka hendaknya
mengetahui kitab ASH-Syifa karya Al
Qadhi Iyadh, maka dari sana dia akan mendapatkan keyakinan atau solusi.
Pernah
diberikan alasan dalam pendapat Aisyah dengan firman Allah SWT
…. وَمَا جَعَلْنَاالرُّؤيَا الَّتِي أَرَيْنَاكَ
إِلاَّ فِتْنَةً لِّلنَّاسِ
“Dan kami tidak menjadikan
mimpi yang telah kami perlihatkan kepadamu, melainkan sebagai ujian bagi
manusia…. “(QS.Al Isra’[17]:60) Hal itu dinamakan mimpi.
Hal
tersebut dibantah oelh firman Allah SWT
سُبْحَانَ الَّذِي أَسْرَى بِعَبْدِهِ
“Maha
suci Allah, yang telah memperjalankan hamba-Nya pada suatu malam…”
Jika
dalam keadaan tidur tidak mungkin dikatan ‘diperjalankan’. Selain itu pandangan
mata sering disebut ru’ya (mimpi).
Berikut penjelasannya dalam surah ini. Dalam nash-nash hadits yang shahih menunjukkan
bahwa isra’ dengan badan.
Jika
muncul khabar (baca: hadits)
tentang sesuatu yang tidak logis dalam kemampuan Allah SWT maka tidak ada jalan
untuk mengingkarinya. Apalagi di zaman banyak keajaiban-keajaiban. Nabi SAW
memiliki alat yang membawanya naik ke langit, sehingga tidak aneh jika
sebagaian berpandangan bhawa itu dengan mimpi. Dengan demikian sabda Rasulallah
SAW yang dilansir dalam kitab Ash-Shahih:
بَيْنَ
أنَا عِنْدَ الْبَيْتِ بَيْنَ النَّائِمِ وَ اليَقْظَانِ
“Ketika aku berada di sekitar Ka’bah antara
tidur dan jaga,”
Dipahami sebagai mimpi. Bisa juga dipahami bahwa isra’ terjadi dalam keadaan tidur. Wallahu a’lam.
Dipahami sebagai mimpi. Bisa juga dipahami bahwa isra’ terjadi dalam keadaan tidur. Wallahu a’lam.
.Berkenaan
dengan sejarajh Isra’, Para ulama jugaberbeda pendapat dalam hal ini. Dalam hal
ini mereka berbeda pendapat dengan Ibnu Syihab. Musa bin Uqbah meriwayatkan
darinya bahwa beliau diisra’kan ke Baitul Maqdis setahun sebelum beliau hijarah
ke Madinah.
Yunus
meriwayatkan darinya, dari Urwah dan Aisyah ia berkata, “Khadijah wafat sebelum
difardlukan shalat.”
Ibnu
Syihab berkata, “Hal itu setelah tujuh tahun Nabi SAW diutus menjadi rasul.”
Darinya Al Waqashi meriwayatkan dan mengatakan, “Beliau diisra’kan setelah lima
tahun diangkat menjadi Rasul.”
Ibnu
Syihab berkata, “Puasa di fardhukan di Madinah sebelum perang Badar, sedangkat
zakat dan haji di fardhukan di Madinah. Khamer diharamkan setelah perang Uhud.
Ibnu
Ishak berkata, “Beliau diisra’kan dari Masjidil Haram ke Masjidil Aqsha yaitu
Baitul Maqdis setelah Islam menyebar di Makkah di sejumlah kabilah.”
Darinya
Yunus bin Bakir meriwayatkan dan berkata, “Khadijah menunaikan shalat bersama
Nabi SAW.” Akan dating pelnjelasanya.
Abu
Umar berkata, “Ini menunjukkan kepada kalian bahwa isra’ terjadi beberapa tahun
sebelum hijrah, karena khadijah telah wafat lima tahun sebelum hijrah.”
Ada
yang mengatakan, “Tiga tahun sebelum hijrah.”
Ada
yang mengatakan, “Empat tahun sebelum hijrah.”
Pendapat
Ibnu Ishak bertentangan dengan pendapat Ibnu Syihab. Bahwa Ibnu Syihab telah berbeda dengannya
sebagaimana dijelaskan di atas.
Al
Harbi berkata, “Beliau diisra’kan pada malam dua puluh tujuh bulan Rabi’ Al
Akhir, setahun sebelum hijrah.”
Abu
Bakar Muhammad bin Ali bin Al Qasim Adz-Dzahabi di dalam Tarikh-Nya berkata, “Beliau diisra’kan dari Makkah ke Baitu Maqdis,
Lalu dimi’rajkan ke langit, setelah delapan belas bulan diangkat menjadi
Rasul.”
Abu
Umar berkata, “Aku tidak mengetahui seorangpun dari ahli biografi mengatakan
apa-apa yang dikisahkan oleh Adz-Dzahabi, juga tidak menyadarkan pendapatnya
kepada seorangpun yang ahli dibidang ini diantara mereka, juga tidak dijadikan
argument.”
Adapun
mengenai sholat dan geraknya ketika difardhukan, tidak ada perbedaan pendapat
di antara ulama dan para pakar sejarah bahwa shalat difardhukan di Makkah pada
malam isra’ ketika beliau mi’raj ke langit. Hadits mengenai ini tertulis dalam Ash-Shahih dan lain-lainnya. Akan
tetapi, mereka berbeda pendapat dalam hal tata caranya ketika difardhukan.
Diriwayatkan
dari Aisyah bahwa shalat difardhukan dengan cara dua rakaat, dua rakaat.
Kemudian di dalam sholat orang yang mukim di tambah sehingga sempurna menjadi
empat rakaat. Dia menetapkan shalat orang yang dalam perjalanan dua rakaat.
Pendapat ini juga dikatakan oleh Asy-Sys’bi, Maimun bin Mahran dan Muhammad bin
Ishak.
Asy-Sya’bi
berkata, “Kecuali shalat maghrib.”
Yunus bin Bakir berkata, “Juga dikatakan oleh
Ibnu Ishak bahwa Jibril dating kepada Nabi SAW ketika shalat difardhukan kepada
beliau, maksudnya ketika isra’, lalu jibril mendorong ujung sisi lembah hingga
muncrat mata air hingga Jibril berwudlu, sedangkan Nabi SAW menyaksikannya,
Sehingga, beliau membasuh muka, berintinsyaq, berkumur-kumur, mengusap kepala
dan kedua telinganya serta membasuh kedua kaki hingga kedua mata kaki dan
menyipratkan air pada kemaluannya.
Kemudian
beliau berdiri menunaikan shalat dua rakaat dengan empat kali sujud. Kemudian
Rasulallah SAW puleng setelah Allah menyejukkan pandangannya dan membahagiakan
jiwanya dan telah melakukan apa yang dicintai berupa perintah dari Allah SWT.
Maka beliau raih tangan Khadijah lalu membawakan air untuknya, ia pun berwudhu
sebagaimana Jibril berwudhu,kmudian ruku’ (shalat)dua rakaat dengan empat kali
sujud bersama Khadijah. Kemudian beliau bersama Khadijah menunaikan shalat
secara bersama.”
Diriwayatkan
dari Ibnu Abbas bahwa shalat itu di fardhukan dalam keadaan mukim empat rakaat,
sedangkan dalam perjalanan dua rakaat.”
Demikian
juga apa yang dikatakan oleh Nafi’ bin Jabir dan Al Hasan bin Abu AL Hasan Al
Bashari. Itu adalah pendapat Ibnu Juraij.
Diriwayatkan
dari Nabi SAW, yang sama dengan itu. Mereka tidak berbeda pendapat bahwa Jibril
turun pada pagi hari malam isra’ ketika matahari tergelincir. Maka Nabi SAW
mengetahui shalat dengan waktu-waktunya.
Sedangkan
Yunus bin bakir meriwayatkan dari salim budak Abu Al Muhajir, ia berkata: Aku
pernah mendengar Maimun bin Mahran berkata, “Shalat yang pertama-tama adalah
dua rakaat. Kemudian Rasulallah SAW menunaikan sholat empat rakaat sehingga
menjadi sunnah. Juga ditetapkan shalat untuk musafir adalah sempurna (empat
rakaat).”
Abu
Umar berkata, “Ini adalah sebuah isnad yang tidak bisa dijadikan hujjah. Ungkapannya, ‘Sehingga menjadi
snah. Adalah ungkapan yang munkar. Demikian
juga pengecualian Maghrib saja oleh Asy-Sya’bi dengan menyebutkan subuh adalah
ungkapan yang tidak bermakna.”
Kaum
muslimin sepakat bahwa fardhu shalat ketika mukim adalah empat rakaat kecuali
Maghrib dan Subuh. Mereka tidak mengetahui selain itu, baikdari pengalaman atau
enukilan yang tersebar luas. Perbedaan pendapat tentang apa yang menjadi dasar
dalam mewajibkannya tidak membahayakan mereka.
Kelima:
Telah
berlalu pembahsan tentang adzan dalam tafsir surat AlMaa’idah. Al Hamdulillah. Sedangkan dalam tafsir
surah Aali ‘Imraan telah berlalu pembahsan bahwa masjid yang mula-mula dibangun
di muka bumi adalah masjid Haram kemudian masjid Aqsha. Antar keduanya adalah
empat puluh tahun berdasarkan hadits yang diriwayatkan Abu Dzarr.
Sedangkan
bangunan Sulaiman adalah masjid Aqsha dan doa untuknya berdasarkan hadist
riwayat Abdullah bin Amru da nada aspek yang bisa menggabungkan dalam hadits
itu. Silahkan merujuk kembali ke sana.
Di
sini kita sebutkan sabda beliau SAW: “Tidak ditekankan berpegian
kecuali kepada tiga masjid. Ke masjid Hram, ke masjidku (nabawi) ini dan masjid
Iliya atau Baitul Maqdis. HR. Malik dari hadits Abu Hurairah.
Dalam
hadits ini menunjukkan keutamaan tiga masjid ini dibandingkan semua masjid.
Oleh sebab itu para ulama berkata, “Barangsiap bernadzar melakukan shalat di
masjid yang ia tidak akan sampai ke sana kecuali dengan melakukan perjalanan
menggunakan kendaraan maka tidak perlu dilakukan dan cukup shalat di masjidnya.
Kecuali dalam tiga buah masjid tersebut. Maka barangsiap bernadzar melakukan
shalat di dalamnya maka dia harus pergi ke sana.”
Malik
dan sekelompok ulama, di antara orang-orang yang bernadzar melakukan jihad
menjaga perbatasan munculnya musuh, maka ia wajib memenuhinya di manapun itu
karena hal itu merupkan ketaatan kepada Allah ‘Azza wa Jalla.
Sedankan
Abu Al Baakhtari dalam hadits ini adalah masjid Al jundi. Ini tidak shahih dan
maudhu’ (palsu). Dan telah dilaksanakan diatas dalam mukadimah kitab ini.
Keenam: Firman Allah
SWT: إِلَى الْمَسْجِدِ الأَقْصَى “ke al masjidil
Aqsha. “Dinamakan Al Aqsha karena jaraknya yang jauh dengan Masjid Al Haram. Ia
merupakan masjid yng paling jauh bagi warga Makkah di muka bumi ini yang
diagungkan dengan menziarahinya. Kemudian Allah berfirman: الَّذِي بَارَكْنَا حَوْلَهُ “Yang
telah kami berkahi sekelilingnya,” dengan buah-buahan dan dengan aliran
sungai-sungai.
Ada
yang mengatakan, “Dengan para nabi dan orang-orang shalih yang dimakamkan di
sekelilingnya. Dengan demikian dijadikan sebagai tolokukur.
Mu’adz
bin Jbal meriwayatkan dari Nabi SAW bahwa beliau bersabda: “Allah Ta’ala berfirman, ‘Wahai Syam, engkau
pilihan-Ku diantara negeri- negeri-Ku dan Aku arahkan hamba-hamba pilihan-Ku
kepadamu.
لِنُرِيَهُ مِنْ ءَايَاتِنَا “Agar
kami perlihatkan kepadanya sebagaian dari tanda-tanda (kebesaran) kami” Ini
masuk ke dalam pewaranaan pesan. Tanda-tanda yang ditunjukkan oleh Allah adalah
adalah berbagi hal yang menakjubkan yang disampaikan kepada semua manusia.
Isra’ Rasulallah dari Makkah ke Masjid Aqsha pada malam hari itu memakan waktu
satu malam. Kemudian mi’raj beliu ke langit dengan bertemu para nabi satu
persatu.
إِنَّهُ هُوَ السَّمِيْعُ الْبَصِيْرُ “Sesungguhnya Dia adalah Maha
Mendengar lagi Maha Mengetahui.”Telah dijelaskan sebelumnya.
Sumber: Terjemah Tafsir al-Qurtubhi
Tidak ada komentar:
Posting Komentar