BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Pernikahan adalah ajaran Islam yang pokok yang ditegaskan
sebagai sunnah Rasul, yang mana barangsiapa menolaknya maka dia tidak termasuk
golongan Rasul. Tujuan Islam mensyari'atkan pernikahan, antara lain, adalah
agar pasangan suami isteri dapat hidup tenang dalam cinta dan kasih sayang.
Kehidupan tenang diliputi cinta dan kasih sayang akan memudahkannya untuk
melaksanakan misi penciptaan sebagai manusia, yaitu abdullah dan khalifatullah.
Untuk itu, Islam
mengajarkan cara bagaimana membentuk rumah tangga yang tenang penuh dengan
cinta dan kasih sayang yang dirumuskannya secara garis besar dengan saling
mempergauli dengan baik معا شرة بالمعروف. Namun realitasnya,
seringkali kita menemukan gangguan¬ gangguan yang rnenyebabkan tidak
tercapainya tujuan tersebut (مودة
ورحمة). Diantara
gangguan itu adalah perilaku nusyuz, baik dari pihak isteri maupun suami. Dalam
diskursus kesetaraan gender, sering dilontarkan kritik, bahwa dalam ayat-ayat
mengenai nusyuz.: secara tidak langsung Islam melegitimasi kekerasan dalam
rumah tangga, yaitu, kekerasan suami kepada isteri. Benarkah kritik tersebut?
Bagaimana sesungguhnya tuntunan Islam menghadapi tingkah nusyuz?
Penulis tertarik
untuk membahas topik nusyuz dalam perspektif tafsir ahkam dan juga untuk
memenuhi tugas yang diberikan bapak Dr. Mujar Ibnu Syarif, S.H, M.A. Menyadari
kekurangan dan keterbatasan kemampuan kami, kami berharap koreksi dari masukan
baik dari pengampu maupun pembaca yang budiman.
- Rumusan Masalah
1.
Bagaimana
asbab an-nuzul, tafsir mufradat, penafsiran ayat, istinbat hukum dari ayat Q.S.
an-Nisa ayat 34?
2.
Bagaimana
asbab an-nuzul, tafsir mufradat, penafsiran ayat, istinbat hukum dari ayat Q.S.
an-Nisa ayat 128?
- Tujuan
Adapun tujuan dari
penulisan makalah ini adalah mencoba untuk memberikan informasi kepada
rekan-rekan kami pada khususnya dan kepada masyarakat pada umumnya tentang nusyuz
dalam perspektif tafsir ahkam dan untuk memenuhi tugas yang diberikan oleh
bapak Dr. Mujar Ibnu Syarif, S.H, M.A.
BAB II
PEMBAHASAN
1.
An-Nisa [04] ayat 34
وَٱلَّٰتِي
تَخَافُونَ نُشُوزَهُنَّ فَعِظُوهُنَّ وَٱهۡجُرُوهُنَّ فِي ٱلۡمَضَاجِعِ وَٱضۡرِبُوهُنَّۖ
فَإِنۡ أَطَعۡنَكُمۡ فَلَا تَبۡغُواْ عَلَيۡهِنَّ سَبِيلًاۗ إِنَّ ٱللَّهَ كَانَ
عَلِيّٗا كَبِيرٗا ٣٤
Wanita-wanita yang kamu khawatirkan nusyuznya, maka
nasehatilah mereka dan pisahkanlah mereka di tempat tidur mereka, dan pukullah
mereka. Kemudian jika mereka mentaatimu, maka janganlah kamu mencari-cari jalan
untuk menyusahkannya. Sesungguhnya Allah Maha Tinggi lagi Maha Besar.
A.
Asbabun Nuzul
Diriwayatkan oleh Ibnu Abi Hatim
yang bersumber dari Al-Hasan: Bahwa seorang wanita yang mengadu kepada
Rasulullah Saw karena telah ditampar oleh suaminya. Rasulullah SAW bersabda:
“Dia mesti diqishash (dibalas)”. Maka turunlah ayat tersebut (An-Nisa ayat 34)
sebagai ketentuan mendidik istri yang menyeleweng. Setelah mendengar penjelasan
ayat tersebut pulanglah ia dengan tidak melaksanakan qishash.[1]
B.
Tafsir Mufradat
تَخَافُونَ = Kamu sangka, نُشُوزَهُنَّ = Pembangkangan mereka (istri) terhadap kalian dan meremehkan
suami dengan tanda atau indikasi yang nyata, وَٱهۡجُرُوهُنَّ فِي ٱلۡمَضَاجِعِ =
memisahkan mereka dari tempat tidur jika nyata nusyuznya, وَٱضۡرِبُوهُنَّ = pukulan yang tidak melukai jika mereka (istri)
tidak kembali jika sudah dipisahkan dari tempat tidur, فَلَا تَبۡغُواْ = jangan mencari عَلَيۡهِنَّ سَبِيلًاۗ =
cara lain untuk memukul mereka (istri) dengan cara dzalim.[2]
C.
Tafsiran Ayat
Makna kata Nusyuz
pada firman Allah نشوزهن “Nusyuznya” adalah
kecongkakan mereka terhadap suami mereka, penghindaran mereka dari tempat tidur
suami mereka dengan melakukan kemaksiatan, menyalahi suami mereka pada hal-hal
yang diwajibkan oleh Allah kepada mereka untuk taat kepada suami mereka,
kebencian mereka, dan keberpalingan mereka dari suami-suami mereka.
Makna
asal an-nusyuz adalah al-irtifaa’ (meninggi). Oleh karena itu,
tempat yang tinggi disebutkan dengan nasyz dan nasyaaz.[3]
Firman Allah SWT, (نشوزهن) “wanita-wanita yang kamu khawatirkan nusyuznya”. Allaati adalah jamak
(plural) dari allati. Ibnu Abbas berkata,”Takhafuuna bermakna ta’lamuuna (kamu
tahu) dan tataqayanuun (kamu yakin).” An-nusyuz adalah durhaka, terambil dari
kata an-nasyz, yaitu sesuatu yang tinggi dipermukaan bumi.
Berkata Abu Mansyur al-Lughawi: “Nusyuz adalah bencinya salah seorang dari
dua pasangan terhadap pasangannya”.[4]
Firman
Allah SWT وَٱلَّٰتِي تَخَافُونَ
نُشُوزَهُنَّ Yakni
wanita-wanita yang kalian khawatirkan bersikap membangkang terhadap suaminya.
An-Nusyuz artinya tinggi diri, wanita yang nusyuz ialah wanita yang bersikap
sombong terhadap suaminya, tidak mau melakukan perintah suaminya, tidak mau
melakukan perintah suaminya, berpaling darinya, dan membenci suaminya. Apabila
timbul tanda-tanda nusyuz pada diri si istri, hendaklah si suami menasihati dna
menakutinya dengan siksa Allah bila ia durhaka terhadap dirinya. Karena
sesungguhnya Allah SWT telah mewajibkan kepadanya agar taat kepada suaminya dan
haram berbuat durhaka terhadap suami, karena suami mempunyai keutamaan dan
memikul tanggung jawab terhadap dirinya. Sungguh Nabi Muhammad SAW bersabda:
لَوْ كُنْتُ آمِرًا أحَدًا أَنْ يَسْجُدَ
لِاَحَدٍ لَاَمَرْتُ الْمَرْأَةَ أنْ تَسْجُدَ لِزَوجِهَا مِنْ عِظَمِ حَقِّهِ
عَلَيْهَا
Seandainya
aku diberi wewenang untuk memerintah seorang agar bersujud terhadap orang lain,
niscaya aku perintahkan kepada wanita untuk bersujud kepada suaminya, karena
hak suami yang besar terhadapnya.
Diriwayatkan
Imam Bukhari dari Abu Hurairah R.A ia berkata, Rasulullah SAW bersabda:
إِذَا
دَعَا الرَّجُلُ امْرَأَتَهُ إِلَى فِرَاشِهِ فَأَبَتْ فَبَاتَ غَضْبَانَ عَلَيْهَا
لَعَنَتْهَا المَلاَئِكَةُ حَتَّى تُصْبِحَ
Apabila seorang laki-laki mengajak istrinya ke
tempat tidurnya, lalu si istri menolaknya, maka para malaikat melaknatnya
sampai pagi hari.
Menurut riwayat Imam Muslim
disebutkan seperti berikut:
إِذَا
بَاتَتِ الْمَرْأَةُ هَاجِرَةً فِرَاشَ زَوْجِهَا لَعَنَتْهَا الْمَلَائِكَةُ
حَتَّى تُصْبِحَ
Jka seorang istri tidur semalam dalam keadaan
memisahkan diri dari tempat tidur dengan suaminya, maka para malaikat melaknatnya sampai pagi hari.[5]
Berkata Imam asy-Syawkani dalam menafsirkan ayat وَٱلَّٰتِي تَخَافُونَ نُشُوزَهُنَّ :
yaitu perempuan yang durhaka dan meremehkan dengan hak suaminya dan tidak
mentaati perintah suaminya, maka Allah memerintahkan untuk menasihatinya dan
mengingatkannya kepada Allah dan memuliakan hak suaminya atasnya, maka jika
diterima (menerima nasihat dari suaminya) jika tidak maka pisahkan dari tempat
tidur dan jangan ajak bicara selain membicarakan pernikahannya, dan yang
demikian itu adalah keras baginya, maka jika ia kembali (kembali tidak durhaka)
jika tidak maka pukullah dengan pukulan yang tidak melukai dan jangan patahkan
tulang-tulangnya dan jangan juga menyakiti dia dengan suatu kesakitan.[6]
Maka
firman-Nya, فَعِظُوهُنَّ “Maka nasihatikah mereka”, adalah, ingatkanlah mereka (kaum
perempuan atau para istri) kepada Allah dan takutilah mereka dengan ancaman
Allah bila mereka melakukan hal-hal yang telah diharamkan Allah kepada mereka,
yaitu bermaksiat kepada suami mereka, padahal Allah telah mewajibkan mereka
untuk taat kepada suami mereka.[7]
Firman Allah SWT,( فَعِظُوهُنَّ) “Maka
nasehatilah mereka,” yaitu berdasarkan Al-quran, nasehatilah mereka apa saja
yang Allah wajibkan kepada mereka apa saja yang Allah wajibkan kepada mereka
berupa pergaulan yang baik kepada suami, dan pengakuan kedudukannya terhadap
istri.[8]
Hendaknya suami menasihati istrinya: “bertaqwalah kepada
Allah karena sesungguhnya aku ada hak atasmu, dan kembalilah dari apa yang kamu
kerjakan, dan ketahuilah bahwa taat kepadaku adalah wajib bagimu” dan contoh
lain yang sesuai dengan menakuti terhadap Allah dan ancamlah dengan siksaan
Allah, dan berikan peringatan tentang buruknya hukuman dan akibat dan
kekurangan nikmat kehidupan berumah tangga yang bahagia. Dan inilah ancaman dan peringatan yang sungguh
dapat mengembalikan dia (istri) dari nusyuz.[9]
Riwayat-riwayat
yang sesuai dengan pendapat diatas adalah:
Dari
Ibnu
Abi Najihdari Mujahid, tentang firman Allah, (وَٱلَّٰتِي
تَخَافُونَ نُشُوزَهُنَّ فَعِظُوهُنَّ) “Wanita-wanita yang kamu khawatirkan
nusyuznya, maka nasihatilah mereka.”ia berkata, “ jika seorang istri enggan
menyentuh tempat tidur suaminya, maka suaminya harus berkata kepadanya, “Takutlah
engkau kepada Allah dan kembalilah ke tempat tidurmu.’ Jika dia taat kepada
suaminya, maka janganlah mencari-cari jalan untuk menyusahkannya.”.
Dari
Muhamad bin Ka’ab Al-Qurazhi, ia berkata. “Apabila seseorang melihat
istrinya berteriak enteng, baik saat masuk maupun keluar, maka katakanlah
kepada istrinya,’ Aku sudah melihatmu begini dan begitu. Berhentilah.’
Jika istrinya menurut, maka tidak ada alasan baginya untuk menceraikan istrinya.
Tapi jika istrinya menolak, maka dia harus memisahkannya ditempat tidurnya.”.
Dari
Ibnu Juraij, tentang firman Allah, فعظوه” Maka
nasihatilah mereka,” ia berkata, “ (Maknanya adalah, nasihatilah) dengan
ucapan.”.[10]
Firman Allah (وَٱهۡجُرُوهُنَّ
فِي ٱلۡمَضَاجِعِ) “dan pisahkanlah mereka di tempat tidur mereka”. Yaitu
memisahkannya dan membelakangi punggungnya serta tidak mencampurinya.[11]
Dan ini sebuah kiasan untuk tidak berhubungan suami-istri, atau bermalam di
satu ranjang, dan tidak boleh tidak berbicara lebih dari tiga hari.[12]
Sebagian berpendapat bahwa firman
Allah tersebut adalah, “wahai para suami, nasihatilah mereka (istri-istri
kalian) terkait dengan nusyuz yang mereka lakukan terhadap kalian. Jika mereka
enggan kembali kepada kebenaran dalam hal itu, sementara telah diwajibkan
terhadap mereka atas kalian, maka pisahkanlah mereka dengan tidak menggauli
mereka ditempat tidur kalian”.
Riwayat-riwayat yang sesuai dengan
pendapat tersebut adalah :
Dari Ibnu Abbas, tentang firman Allah,
(وَٱهۡجُرُوهُنَّ فِي ٱلۡمَضَاجِعِ) “Dan pisahkanlah mereka ditempat tidur mereka,” bahwa maknanya
adalah, nasihatilah mereka. Jika mereka tidak menaati kalian maka pisahkanlah
mereka (di tempat tidur mereka).
Dari Ibnu Abbas, tentang firman
Allah, (وَٱهۡجُرُوهُنَّ فِي ٱلۡمَضَاجِعِ) “Dan pisahkanlah mereka dari tempat tidur mereka” ia berkata,
“Dia tidak boleh menggauli istrinya”.[13]
Sebagian ahli takwil lainnya berpendapat
bahwa maknanya adalah,“Pisahkanlah mereka. Acuhkanlah mereka karena mereka
tidak bersedia tidur bersama kalian, hingga mereka kembali ke tempat tidur
kalian”.
Riwayat-riwayat yang sesuai dengan
pendapat tersebut adalah :
Dari Ibnu Abbas, tentang firman
Allah, (وَٱهۡجُرُوهُنَّ فِي ٱلۡمَضَاجِعِ) : Dan pisahkanlah mereka dari tempat tidur mereka,” ia
berkata: (Maknanya adalah), suami harus menasihatinya. Jika dia menolak maka
suami harus memisahkannya di tempat tidurnya dan tidak boleh berbicara
dengannya, tapi tidak boleh tidak menggaulinya. Hal itu merupakan suatu perkara
yang berat baginya.[14]
Ahli takwil lainnya berpendapat
bahwa maknanya adalah: “katakanlah perkataan (yang keras) kepada mereka, sebab
mereka meninggalkan tempat tidur kalian”.
Riwayat-riwayat yang sesuai dengan pendapat tersebut adalah:
Al-Mutsanna menceritakan kepadaku,
ia berkata: Ishaq menceritakan kepada kami, ia berkata: Ya’la menceritakan
kepadaku dari Sufyan, tentang firman Allah, (وَٱهۡجُرُوهُنَّ
فِي ٱلۡمَضَاجِعِ) “ Dan pisahkanlah dari tempat
tidur mereka,” ia berkata, “(Maknanya) adalah (pemisahan) dalam hal
menggaulinya. Akan tetapi suami harus berkata kepada istrinya.’ Kemarilah,
lakukanlah (anu)’, dengan ucapan yang keras. Apabila istrinya melakukan hal
tersebut, maka janganlah dia menuntut istrinya untuk menyukai hal itu, sebab hati istrinya tidak berada
dalam kekuasaan istrinya.[15]
Abu Ja’far berkata : Al hajr
dalam bahasa Arab hanya memiliki salah satu dari tiga makna (berikut ini):
- Hajara ar-arajul kalaama ar-rajuli wa
hadiiitsahu (seseorang menolak dan tidak berbicara dengan orang lain).
Dikatakan, hafara fulaanun ahlahu yahrujuhaa hajran wa hujraanan (fulan
tidak berbicara dengan istrinya).
- Banyak berbicara
dengan mengulang-ngulang (pembicaraan tersebut), seperti perkataan orang
yang mengejek,
Dikatakan,
Hajara fulaanu fi kalaamihi hajran (fulan berbicara tidak karuan), jika
dia berbicara tidak karuan dan memanjangkan kalimatnya.
- Hajara al ba’iira ( seseorang
mengikat unta ). Maksudnya, pemiliknya mengikatnya dengan hijar, yaitu
tali yang dikatakan dikedua pahanya dan pergelangan kaki depannya.
Perkataan
yang keras atau kasar dan menyakitkan adalah al ihjaar. Dikatakan, ahjaara
fuulanun fi manthiqihi yahjuru ihjaaran wa hujran (fulan kotor dalam
bicaranya), jika dia mengatakan al-hujr , yakni perkataan yang kotor.
Dalam bahasa Arab, al hajr hanya memiliki
salah satu dari tiga makna tersebut –sementara suami dari seorang istri yang
dikhawatirkan berbuat berbuat nusyuz hanya diperintahkan untuk mengingatkan
istrinya agar taat kepada dirinya dalam hal-hal yang telah Allah wajibkan
kepada istrinya, yaitu menyetujuinya bila dia mengjak istrinya itu ke tempat
tidurnya,- maka jika istrinya itu memamtuhi peringatan atau nasihat suaminya,
merupakan suatu perkara yang tidak mungkin bila sang suami kemudian
diperintahkan untuk mengacuhkan istrinya pada perkara yang dinasihatkannya itu
(menyetujuinya saat dia mengajak istrinya ke tempat tidur).
Jika demikian, batallah pendapat
orang-orang yang mengatakan bahwa makna firman Allah tersebut adalah,” Tolaklah
(oleh kalian) berbicara dengan mereka, karena mereka telah meninggalkan tempat
tidur kalian”. Itu karena pendapat ini juga tidak memiliki alasan yang dapat
dimengerti. Pasalnya, Allah telah memberitahukan melalui lisan Nabinya, bahwa
seorang muslim tidak halal untuk mengacuhkan saudaranya lebih dari tiga hari,
Kalaupun hal ini memang perkara yang dihalalkan, namun mengacuhkan atau tidak
berbicara dengan istri, tidak memiliki makna atau alasan yang di mengerti,
sebab jika istrinya berpaling dan berbuat nusyuz kepadanya maka istrinya itu
akan merasa lebih senang jika suaminya tidak berbicara dengannya dan tidak
melihat darinya.[16]
Al Qhurtubi mengatakan: Ini pendapat
yang bagus, karena suami apabila berpaling dari ranjang istrinya (tidak
menggaulinya ), maka jika istri itu mencintai suaminya, hal itu akan membuat
dia susah sehingga dia akan kembali untuk berkebaikan. Dan jika dia membencinya
maka akan muncul penentangan dari istri, hingga akan nampak bahwa penentangan
datang dari pihak istri.
Dikatakan, Syadduuhunna watsaaqan
fi buyutuhinna: (kurunglah mereka dirumah) berasal dari perkataan mereka hajara
al ba’ir yaitu mengikat unta dengan tali.[17]
Ibnu ‘Arabi mengatakan: “Alangkah kelirunya
jika dia mendasarkan pendapat ini kepada al-Qur’an dan Sunnah. Penafsiran ini
dilandasi hadits gharib yang diriwayatkan oleh Ibnu Wahab dari Malik: bahwa
Asma binti Abu Bakar ash-Shiddiq istri zubair bin Awwam pernah keluar rumah
sehingga Zubair menegurnya, begitu juga dengan istri keduanya, lalu Zubair
mengikaat rambut kedua istri satu dengan yang lain, lalu memukul keduanya.
Sementara istri keduanya lebih menjaga diri, adapun Asma mengadu kepada
bapaknya yakni Abu Bakar, lalu Abu Bakar berkata: “wahai anakku bersabarlah
karena Zubair adalah laki-laki yang shalih, dan barangkalil dia akan menjadi
suamimu di surga nanti, aku mendapat informasi bahwa seseorang apabila
melakukakn seperti itu ia akan menikahinya disurga”.”.
Firman Allah SWT (وَٱضۡرِبُوهُنَّ) “dan pukullah mereka” Allah memerintahkan agar memulainya
dengan nasihat dulu kemudian pisah ranjang, bila belum berhasil maka pukullah,
karena itulah yang dapat memperbaikinya dan yang dapat mendorongnya untuk
memenuhi hak suaminya. Sedangkan pukulan disini adalah pukulan pendidikan bukan
pukulan yang menyakitkan, tidak mematahkan tulang dan tidak menyebabkan luka
seperti meninju dan yang semisalnya, karena tujuannya untuk memperbaiki bukan
yang lain.[19]
Abu Ja’far
berkata: Maknanya adalah, “Wahai para suami, nasihatilah istri kalian tentang
perbuatan nusyuz mereka. Jika mereka menolak untuk kembali kepada kewajiban
mereka, maka ikatlah mereka dengan tali dirumah mereka, dan pukullah mereka
agar mereka kembali kepada kewajiban mereka, yaitu taat kepada Allah dalm
kewajiban mereka terkait dengan hak kalian.”
Ahli takwil
berkata, “Sifat pukulan yang dibolehkan Allah kepada suami adalah pukulan yang
tidak melukai”.[20]
Wahbah al-Zuhaili
mengatakan: “Pukulan yang tidak menyakitkan yaitu memukul yang tidak terlalu
sakit seperti pukulan ringan dengan tangan yang dipukulkan ke paha sebanyak
tiga kali, atau memukul dengan siwak atau kayu yang ringan karena
tujuannya untuk memperbaiki bukan yang lain.[21]
Riwayat-riwayat yang
sesuai dengan oendapat tersebut adalah :
اتّقوا الله في
النساء فإنكم أخذتموهنّ بأمانة الله واستحللتم فروجهنّ بكلمة الله وإن لكم عليهنّ
أن لا يوطئن فرشكم أحدا تكرهونه فإن فعلن فاضربوهنّ ضربا غير مبرح ولهنّ عليكم
رزقهنّ وكسوتهنّ بالمعروف
Bertakwalah
kepada Allah tentang urusan wanita sesungguhnya engkau dititipkan mereka dengan
amanat Allah dan menghalalkan kelamin mereka dengan kalimat Allah. Kalian
mempunyai hak terhadap mereka. Yaitu, mereka tidak boleh membiarkan seorangpun
yang kalian benci menginjak hamparan kalian (masuk ke rumah kalian). Jika
mereka melakukannya, pukullah mereka dengan pukulan yang tidak melukai dan
mereka memiliki hak untuk mendapatkan rizki dan pakaian dengan cara yang
ma’ruf”.[22]
Dari Sa’id bin Jubair, tentang firman Allah, (وَٱضۡرِبُوهُنَّۖ) “Dan
pukullah mereka,” ia berkata,” Dengan pukulan yang tidak mencinderai.”
Al Mutsama menceritakan
kepadaku, ia berklata: Abu Shalih menceritakn kepada kami, ia berkata:
Mu’awiyah menceritakan kepadaku dari Ali bin Abi Thalhah, dari Ibnu Abbas,
tentang firman Allah (وَٱهۡجُرُوهُنَّ
فِي ٱلۡمَضَاجِعِ وَٱضۡرِبُوهُنَّۖ) “Dan pisahkanlah dari tempat tidur mereka, dan
pukullah mereka,” ia berkata,” Engkau harus memisahkan di tempat tidurnya.
Jika dia tidak terima maka Allah telah mengizinkanmu untuk memukulnya dengan
pukulan yang tidak melukai, dan janganlah engkau mematahkan tulangnya. Jika dia
tidak terima maka halal bagimu untuk untuk menerima tebusan (khulu’) darinya.[23]
Takwil firman Allah : (فَإِنۡ
أَطَعۡنَكُمۡ فَلَا تَبۡغُواْ عَلَيۡهِنَّ سَبِيلًاۗ) (Kemudian jika mereka
mentaatimu, maka janganlah kamu mencari-cari jalan untuk menyusahkannya).
Abu Ja’far berkata: Maknanya adalah, “Wahai
manusia, jika mereka—yakni istri-istrimu yang kalian khawatirkan nusyuznya ketika
kalian menasihati mereka– menaatimu, maka janganlah kamu memisahkan mereka
ditempat tidur mereka dan pukullah mereka. Jika ketika itu mereka kembali
menaati kalian dan kembali kepada kewajiban mereka, maka janganlah kalian
mencari-cari jaln untuk menyakiti dan menyusahkan mereka, dan janganlah kalian
mencari-cari cara untuk meraih sesuatu yang tidak halal bagi klaian dari tubuh
dan harta metreka dengan suatu alasan”.
Hal itu dapat dilakukan jika salah seorang dintara kalian
berkata pada wanita itu taat kepadanya, “Engkau tidak mencintaiku dan engkau
benci kepadaku. Lalu dia memukul wanita itu karena hal itu. Allah Ta’ala
berfirman kepada kaum laki-laki, (فَإِنۡ
أَطَعۡنَكُمۡ)” Kemudian jika mereka mentaatimu,” yakni dapat menghilangkan
kebencian mereka terhadap kalian, maka janganlah kalian berbuat jahat kepada
mereka, dan janganlah kalian menuntut mereka mencintai kalian, sebab itu
bukanlah kekuasaan mereka, sehingga kalian hanya akan memukuli mereka atau
menyakiti mereka.
Maka firman Allah (فَلَا
تَبۡغُواْ) “Maka janganlah kamu mencari cari” adalah “janganlah kamu
mencari-cari”.
Kata ini diambil dari ucapan seseorang, “Baghaitu adh-dhaalah”
(aku mencari sesuatu yang hilang).[24]
Riwayat-riwayat yang sesuai dengan pendapat tersebut
adalah :
عَنْ سُلَيْمَانَ بْنِ
عَمْرِو بْنِ الْأَحْوَصِ قَالَ: حَدَّثَنِي أَبِي أَنَّهُ شَهِدَ حَجَّةَ الْوَدَاعِ
مَعَ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَحَمِدَ اللَّهَ وَأَثْنَى
عَلَيْهِ وَذَكَّرَ وَوَعَظَ ثُمَّ قَالَ: «اسْتَوْصُوا بِالنِّسَاءِ خَيْرًا فَإِنَّهُنَّ عِنْدَكُمْ عَوَانٍ
لَيْسَ تَمْلِكُونَ مِنْهُنَّ شَيْئًا غَيْرَ ذَلِكَ إِلَّا أَنْ يَأْتِينَ بِفَاحِشَةٍ
مُبَيِّنَةٍ فَإِنْ فَعَلْنَ فَاهْجُرُوهُنَّ فِي الْمَضَاجِعِ وَاضْرِبُوهُنَّ ضَرْبًا
غَيْرَ مُبَرِّحٍ فَإِنْ أَطَعْنَكُمْ فَلَا تَبْغُوا عَلَيْهِنَّ سَبِيلًا
Riwayat
dari Sulaiman bin ‘Amr bin al-Ahwash ia berkata:menceritakan kepada oleh
bapakku bahwasannya ia menyaksikan haji wada’ bersama Rasulullah SAW, maka
Rasul memuji Allah dan memuji Allah, kemudian mengingatkan (taat kepada Allah)
dan menasihati, kemudian bersabda: “berbuat baiklah terhadap perempuan, karena
mereka adalah tawanan kalian. Kalian tidak berhak atas mereka lebih dari itu,
kecuali jika mereka melakukan perbutan yang keji dan nyata. Jika mereka
melakukannya, jauhilah mereka dari tempat tidur dan pukullah mereka dengan yang
tidak menyakitkan. Jika mereka mentaatimu maka janganlah kamu mencari-cari
jalan untuk menyusahkannya.[25]
Dari Ibnu Abbas, tentang firman Allah (فَإِنۡ
أَطَعۡنَكُمۡ فَلَا تَبۡغُواْ عَلَيۡهِنَّ سَبِيلًاۗ) “kemudian jika mereka
menaatimu, maka janganlah kamu mencari-cari jalan untuk menyusahkannya” ia
berkata “Jika istrimu taat kepadamu maka janganlah kamu mencari-cari alasan
untuk menyusahkannya”.[26]
D.
Istinbat Hukum dari Ayat Tersebut
Melihat ayat dan penafsiran diatas
maka dapat diistinbatkan bahwa:
1.
Langkah-langkah menyelesaikan perselisihan antara suami dan istri yaitu
dengan: nasihat dan petunjuk, jika tidak kembali (taat) maka pisahkanlah dari
tempat tidur, jika tidak kembali (taat) maka pukullah dengan pukulan yang tidak
menyakiti, kemudian jika tidak kembali (taat) maka utuslah dua hakim baik dari
kerabat dekat maupun kerabat jauh. Dan Allah tidak menyebutkan tugas kedua
hakim melainkan untuk mendamaikan dan tidak menyebutkan pemisahan yang
mengisyaratkan kepada keinginan untuk damai (antara suami istri) selain maksud
memisahkan kepada kehancuran rumah tangga.
2.
Menahan diri dari kedzaliman, beristidlal dengan firman Allah فَإِنۡ أَطَعۡنَكُمۡ maka
jika mereka mentaatimu, artinya setelah mereka
meniggalkan nusyuznya فَلَا تَبۡغُواْ عَلَيۡهِنَّ سَبِيلًاۗ maka jangnlah kamu mencari jalan
lain untuk menyakitinya, ayat ini menunjukkan
keharaman suami berbuat dzalim terhadap istri. Yaitu janganlah kamu marahi
mereka dengan perkataan atau perbuatan. Dan dilarang mendzalimi mereka setelah
mereka mematuhi hukuman mereka.[27]
2.
An-Nisa [04] ayat 128
وَإِنِ
ٱمۡرَأَةٌ خَافَتۡ مِنۢ بَعۡلِهَا نُشُوزًا أَوۡ إِعۡرَاضٗا فَلَا جُنَاحَ
عَلَيۡهِمَآ أَن يُصۡلِحَا بَيۡنَهُمَا صُلۡحٗاۚ وَٱلصُّلۡحُ خَيۡرٞۗ
وَأُحۡضِرَتِ ٱلۡأَنفُسُ ٱلشُّحَّۚ وَإِن تُحۡسِنُواْ وَتَتَّقُواْ فَإِنَّ ٱللَّهَ
كَانَ بِمَا تَعۡمَلُونَ خَبِيرٗا ١٢٨
128. Dan jika
seorang wanita khawatir akan nusyuz atau sikap tidak acuh dari suaminya, maka
tidak mengapa bagi keduanya mengadakan perdamaian yang sebenar-benarnya, dan
perdamaian itu lebih baik (bagi mereka) walaupun manusia itu menurut tabiatnya
kikir. Dan jika kamu bergaul dengan isterimu secara baik dan memelihara dirimu
(dari nusyuz dan sikap tak acuh), maka sesungguhnya Allah adalah Maha
Mengetahui apa yang kamu kerjakan.
A.
Asbabun Nuzul
At-Tirmidzi meriwayatkan, dari Ibnu Abbas, ia berkata:
“Saudah khawatir akan diceraikan oleh Rasulullah SAW, kemudian ia berkata,
‘Janganlah engkau menceraikanku dan biarkan aku ini tetap menjadi istrimu, dan
berikanlah jatah hariku untuk Aisyah’, Nabi punn melakukan permintaannya,
sehingga turunlah ayat ini فَلَا
جُنَاحَ عَلَيۡهِمَآ أَن يُصۡلِحَا بَيۡنَهُمَا صُلۡحٗاۚ وَٱلصُّلۡحُ خَيۡرٞۗ dan apa saja yang dijadikan oleh
keduanya sebagai media untuk berdamai, maka hal itu diperbolehkan”.
Ibnu Uyainah meriwayatkan dari az-Zuhri dari Sa’id bin
al-Musayyab bahwa Rafi’ bin Khadij mempunyai istri yang bernama Khaulah binti
Muhammad bin Maslamah, ia tidak suka pada istrinya, entah karena ia sudah tua
atau karena hal yang lainnya, lalu ia ingin menceraikannya, istrinya berkata:
“janganlah engaku menceraikanku dan berikanlah jatah hariku semaumu” dan hal
yang seperti ini banyak terjadi sehingga turunlah ayat فَلَا
جُنَاحَ عَلَيۡهِمَآ أَن يُصۡلِحَا بَيۡنَهُمَا صُلۡحٗاۚ وَٱلصُّلۡحُ خَيۡرٞۗ .[28]
- Tafsir Mufrodat
خَافَتۡ
مِنۢ بَعۡلِهَا Khawatir
suaminya melakukan hal yang ia (istri) tidak sukai, نُشُوزًا merasa tinggi
dan merasa sombong darinya dengan meninggalkan tempat tidurnya dan mengurangi
sebagian nafkahnya dan ambisius mata suaminya kepada kecantikannya. أَوۡ
إِعۡرَاضٗا atau tidak acuh
terhadap wajahnya (istri) yaitu kecenderungannya dan menyimpang فَلَا
جُنَاحَ عَلَيۡهِمَآ أَن يُصۡلِحَا بَيۡنَهُمَا صُلۡحٗاۚ damai dalam pembagian jatah dan
nafkah dengan kau tinggalkan baginya sesuatu yang ia cari kekalan persahaban,
jika kau ridha dengan demikian itu, jika tidak maka hak suami untuk memberikan
sepenuhnya hak nya (istri) atau memisahkannya (istri). وَٱلصُّلۡحُ
خَيۡرٞۗ damai dari
pemisahan dan nusyuz dan tak acuh. وَأُحۡضِرَتِ
ٱلۡأَنفُسُ ٱلشُّحَّۚ sangat pelit
yaitu jika kikir itu hadir pada dirinya (istri) tidak menghilang darinya yaitu
menjadi tabi’at atas dirinya.[29]
وَإِن
تُحۡسِنُواْ وَتَتَّقُواْ فَإِنَّ ٱللَّهَ كَانَ بِمَا تَعۡمَلُونَ خَبِيرٗا
C.
Tafsir Ayat
Takwil
Firman Allah: وَإِنِ
ٱمۡرَأَةٌ خَافَتۡ مِنۢ بَعۡلِهَا نُشُوزًا أَوۡ إِعۡرَاضٗا فَلَا جُنَاحَ
عَلَيۡهِمَآ أَن يُصۡلِحَا بَيۡنَهُمَا صُلۡحٗاۚ وَٱلصُّلۡحُ خَيۡرٞۗ Dan jika seorang wanita
khawatir akan nusyuz atau sikap tidak acuh dari suaminya, maka tidak mengapa
bagi keduanya mengadakan perdamaian yang sebenar-benarnya, dan perdamaian itu
lebih baik (bagi mereka).
Allah memberitahukan serta
mengisyaratkan ketetapan hukum-hukumnya menyangkut berbagai kondisi yang
dialami oleh sepasang suami istri. Adakalanya pihak suami bersikap tidak senang
kepada istrinya, adakalanya pihak suami serasi dengan istrinya, dan adakalanya
pihak suami ingin bercerai dengan istrinya.
Keadaan
pertama terjadi apabila pihak istri merasa khawatir terhadap suaminya, bila si
suami merasa tidak senang kepadanya dan bersikap tidak acuh kepada dirinya.
Maka dalam keadaan seperti ini pihak istri boleh menggugurkan diri dari
kewajiban suaminya seluruh hak atau sebagian haknya yang menjadi tanggungn
suami, seperti sandang, pangan, dan tempat tinggal serta lain-lainnya yang
termasuk hak istri atas suaminya. Pihak suami boleh menerima hal tersebut dari
pihak istrinya, tiada dosa bagi pihak istri memberikan hal itu kepada suaminya,
tidak (pula) penerimaan pihak suami dari pihak istrinya akan itu.[30]
Firman Allah وَإِنِ
ٱمۡرَأَةٌ dalam bentuk rafa’ (dhammah), oleh fi’il (kata kerja) setelahnya,
dan kata خَافَتۡ berarti
khawatir, adapun yang bermakna yakin adalah salah. Az-Zajjaj berkata, “Artinya
adalah apabila seorang wanita khawatir akan nusyuz dari suaminya” ia
melanjutkan “perbedaan antara nusyuz dan sikap tidak acuh adalah dengan cara
tidak mengajaknya bicara dan tidak menemaninya”.[31]
Abu
Ja’far berkata: maksud ayat وَإِنِ
ٱمۡرَأَةٌ خَافَتۡ مِنۢ بَعۡلِهَا adalah,
memahami benar suaminya نُشُوزًا nusyuz, yakni bersikap egois, diktator, dan sombong. Adapun
dikarenakan kebencian, adakalanya karena ketidaksukaannya terhadap beberapa
faktor, diantaranya tidak cantik dan tua. أَوۡ
إِعۡرَاضٗا “atau sikap
tidak acuh” memalingkan wajahnya atau berpaling
dari sebagian manfaat yang dimiliki istri darinya فَلَا
جُنَاحَ عَلَيۡهِمَآ أَن يُصۡلِحَا بَيۡنَهُمَا صُلۡحٗاۚ “maka tidak
mengapa bagi keduanya mengadakan perdamaian yang sebenar-benarnya”. Jadi, tidak berdosa atas keduanya,
yakni seorang perempuan yang khawatir akan nusyuz dan sikap acuh tak acuh dari
suaminya, untuk mengadakan perdamaian yang sebenar-benarnya –karena suaminya
telah melewati hari-harinya, menyia-nyiakan sebagian kewajiban istri yang sudah
menjadi hak suami- meminta perdamaian atas kejadian tersebut, untuk tetap
berada dalam ikatan pernikahan, menahan diri dari akad pernikahan yang mengikat
keduanya. [32]
Dalam ayat ini
terdapat permasalahan fiqh, yaitu tentang pendapat orang-orang bodoh yang
megatakan bahwa seorang laki-laki yang mengambil masa muda sorang wanita (kawin
dengannya disaat wanita, itu masih muda), ketika telah tua, maka lelaki
tersebut tidak dibolehkan menceraikannya.[33]
Ulama berkata:
“semua bentuk perdamaian dalam kejadian ini dibolehkan, yaitu dalam bentuk
suami memberikan sebagian hartanya dengan konsekwensi istri harus bersabar,
atau istri memberikan sebagian hartanya dengan konsekwensi suami
mengutamakannya, atau suami mengutamakan dan tetap menjadikannya sebagai
istrinya, atau perdamaian ini terjadi dengan kesabaran atau pengutamaan dengan
tanpa memberi (sesuatupun), semua bentuk perdamaian ini boleh, dan dibolehkan
juga bagi para isrti berdamai, dalam bentuk salah satu diantara keduanya
memberikan sesuatu kepada yang lainnya, untuk ditukarkan dengan jatah harinya,
seperti yang dilakukan oleh para istri Nabi SAW dimana pada saat itu Rasulullah
SAW sedang marah kepada Shafiyah, kemudian ia (Shafiyah) berkata kepada Aisyah:
“perbaikilah hubunganku dengan Rasulullah SAW, dan aku akan memberikan jatah
hariku untukmu”, cerita ini disebutkan oleh Ibnu Khuwaizimandad dalam kitab
al-Ahkamnya. Aisyah, ia berkata: Rasulullah SAW menemukan pada diri Shafiyyah
sesuatu yang membuat Beliau marah, lalu Shafiyah berkata kepadaku (Aisyah):
“Apakah engkau mau memperbaiki hubunganku dengan Rasulullah dengan imbalan aku
akan memberikan jatah hariku padamu?” Aisyah berkata “kemudian aku memakai
kerudung milikku yang telah dicelupkan dengan za’faran dan telah aku perciki
dengan za’faran tersebut, lalu aku datang dan duduk disamping Nabi SAW, Rasul
pun bersabda: “Menjauhlah dariku, sebab sekarang bukan harimu”, aku menjawab,
“itulah pemberian Allah yang diberikan kepada siapa saja yang Dia kehendaki”
lalu aku menceritakan tentang apa yang terjadi, dan Nabi pun rela dengan hal
ini”. Dalam kejadian ini terdapat sebuah pelajaran, yaitu tidak memberikan hak
yang sama terhadap para istri dan mengutamakan yang satu dengan yang lainnya
itu tidak diperbolehkan kecuali dengan izin dan kerelaan dari orang yang
dikalahkan dalam pengutamaan ini.[34]
Berkata Nuhas:
“Perbedaan antar nusyuz dengan i’radh yaitu bahwasannya nusyuz itu menyimpang
sedangkan i’radh tidak bicara kepadanya (istri) dan tidak ramah kepadanya.[35]
Abu Ja’far berkata,
“Lafaz وَٱلصُّلۡحُ خَيۡرٞۗ
dan perdamaian itu lebih baik,
maksudnya melakukan perdamaian karena telah meninggalkan sebagian haknya, terus
menerus melakukan hal-hal yang diharamkan, dan menahan diri dari akad
pernikahan, lebih baik daripada meminta cerai dan perpisahan.[36]
Firman Allah وَٱلصُّلۡحُ
خَيۡرٞۗ adalah lafaz umum yang mempunyai pengertian
perdamaian sebenarnya yang mententramkan jiwa, dan menghilangkan perselisihan
secara keseluruhan, termasuk dalam pengertian ini adalah sesuatu yang dijadikan
media perdamaian antara suami dan istri, yang bisa berupa harta, jima’, atau
yang lainnya. Kata خَيۡرٞۗ artinya lebih
baik daripada berpisah, sebab memperuncing perselisihan dan permusuhan, serta
saling membenci merupakan pilar-pilar kejelekan, Rasulullah SAW bersabda
tentang kebencian: “Sesungguhnya ia merupakan pengikat” yang dimaksud
adalah pengikat agama dan bukan pengikat rambut. Maksudnya bahwa sesuatu yang
dapat memperbaiki hubungan diantara dua orang yang berseteru adalah dengan
meninggalkan kebencian.[37]
Riwayat-riwayat
yang sesuai dengan pendapat tersebut adalah:
Dari
Ibnu Sirin, ia berkata: “seorang laki-laki datang kepada Umar untuk menanyakan
tentang satu ayat, lalu laki-laki itu membenci ayat tersebut. Orang lain lalu
bertanya tentang ayat ini وَإِنِ
ٱمۡرَأَةٌ خَافَتۡ مِنۢ بَعۡلِهَا نُشُوزًا أَوۡ إِعۡرَاضٗا Umar
lalu berkata: “tentang ayat yang serupa dengan ayat ini, maka tanyakanlah” ia
lalu berkata lagi: “Wanita ini mempunyai suami dan suaminya telah
meninggalkannya, kemudian suaminya menikah dengan seorang gadis demi mendapatkan
keturunan. Selama keduanya mengadakan perdamaian, hal itu diperbolehkan.
Dari
Ibnu Abbas, tentang firman Allah وَإِنِ
ٱمۡرَأَةٌ خَافَتۡ مِنۢ بَعۡلِهَا نُشُوزًا أَوۡ إِعۡرَاضٗا ia
berkata: “Seorang wanita berada disamping suaminya hingga usianya tua, lalu
suaminya ingin menikah lagi, maka keduanya mengadakan perdamaian yang
sebenar-benarnya, meluangkan satu hari untuk istrinya, sedangkan dua atau tiga
hari untuk istri mudanya.
Dari
Aisyah, tentang firman Allah وَإِنِ
ٱمۡرَأَةٌ خَافَتۡ مِنۢ بَعۡلِهَا نُشُوزًا أَوۡ إِعۡرَاضٗا فَلَا جُنَاحَ
عَلَيۡهِمَآ أَن يُصۡلِحَا بَيۡنَهُمَا صُلۡحٗاۚ وَٱلصُّلۡحُ خَيۡرٞ ia berkata: “Tentang seorang wanita yang telah lama berada disisi
suaminya, kemudian suaminya berlaku sombong terhadapnya, dan perempuan itu
tidak mempunyai anak yang dapat menemeninya, kemudian perempuaun itu berkata:
“Jangan kamu ceraikan aku, sekalipun kau halal untuk menceraikanku”.[38]
Takwil
firman Allah وَأُحۡضِرَتِ
ٱلۡأَنفُسُ ٱلشُّحَّۚ وَإِن تُحۡسِنُواْ وَتَتَّقُواْ فَإِنَّ ٱللَّهَ كَانَ بِمَا
تَعۡمَلُونَ خَبِيرٗا ١٢٨ walaupun manusia itu menurut tabiatnya kikir.
Dan jika kamu bergaul dengan isterimu secara baik dan memelihara dirimu (dari
nusyuz dan sikap tak acuh), maka sesungguhnya Allah adalah Maha Mengetahui apa
yang kamu kerjakan.
Firman Allah وَأُحۡضِرَتِ ٱلۡأَنفُسُ ٱلشُّحَّۚ pernyataan ini merupakan berita yang mengabarkan bahwa
kikir terdapat pada setiap orang, sebab manusia diciptakan dengan tabiat kikir
sehingga seorang mampu mengatasi sifat kikir dalam dirinya. Ibnu Jubair
berkata: “Kekikiran disini berasal dari pihak suami dan juga dari pihak istri”.
Ibnu Athiyyah berkata: “Ini lebih bagus karena biasanya seorang istri kikir
(untuk memberikan) bagian yang didapatkan dari suaminya dan biasanya seorang
suami kikir untuk memberikan bagian itu kepada istri tuanya jika ia kawin lagi
dengan wanita muda. Kata asy-Syuhhu lebih tepat diartikan kepada suatu
kepercayaan, keinginan, harta dan lain sebagainya, sedangkan kikir dalam urusan
agama dengan artian tidak melebih-lebihkannya merupakan sesuat u yang baik,
sedangkan kikir dalam urusan lain maka hal itu tercela, inilah yang dikatakan
oleh Allah dalam firman-Nya وَمَن
يُوقَ شُحَّ نَفۡسِهِۦ Dan siapa yang dipelihara dari
kekikiran dirinya, (Q.S.
al-Hasyr [59]: 09) adapun kikir dalam bentuk melarang untuk memberikan hak-hak,
yang telah diatur dalam syara’, atau sesuatu yang berhubungan dengan masalah
perangai, maka hal ini dinamakan dengan bakhil, dan itu tercela, jadi
kebakhilan yang berujung pada akhlak yang jelek dan tanda-tanda ketercelaan adalah
tidak mendatangkan apapun kecuali kehinaan.[39]
Sebagian
ahli tafsir berpendapat bahwa maksudnya adalah: “Para wanita itu kikir terhadap
bagian mereka, baik bagian pada diri suami mereka maupun harta mereka”
Riwayat
yang sesuai dengan pendapat tersebut adalah:
Dari
sa’id bin Jubair, tentang ayat ini وَأُحۡضِرَتِ ٱلۡأَنفُسُ ٱلشُّحَّۚ ia berkata:
“Perempuan yang kikir atas bagian yang telah diberikan suaminya, baik bagian
diri suaminya maupun bagian hartanya”.[40]
Sebagian lain berpendapat bahwa maksudnya
adalah: “Setiap individu, baik laki-laki maupun perempuan, pasti bersikap kikir
dengan hak yang menjadi miliknya”.
Riwayat yang sesuai dengan pendapat tersebut adalah:
Ibnu
Wahab berkata: Aku mendengar Zaid berkata tentang firman Allah وَأُحۡضِرَتِ ٱلۡأَنفُسُ ٱلشُّحَّۚ ia berkata:
“tidaklah senang untuk memberikan sedikit pun, lalu dibolehkan, dan tidak
senang untuk membagi harta dengan orang lian, lalu bersimpati terhadapnya”.[41]
Firman Allah وَإِن تُحۡسِنُواْ وَتَتَّقُواْ فَإِنَّ ٱللَّهَ
كَانَ بِمَا تَعۡمَلُونَ خَبِيرٗا Dan jika kamu bergaul dengan isterimu secara
baik dan memelihara dirimu (dari nusyuz dan sikap tak acuh), maka sesungguhnya
Allah adalah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan.
Jika kalian sabar menahan apa yang
tidak kalian sukai dari mereka dan kalian tetap membagi giliran kepada mereka
sama dengan istri kalian yang lainnya, maka sesungguhnya Allah maha mengetahui
hal tersebut, dan kelak Dia akan memberikan kepada kalian balasan pahala yang
berlimpah atas sikap kalian yang bijak ini.[42]
D.
Istinbat Hukum dari Ayat
Tersebut
Pada ayat ini, Allah mengkabarkan
hukum-hukum yang dapat dijadikan fatwa bagi perempuan, yaitu:
- Perbaikan keadaan nusyuz atau i’rad suami
terhadap istri. I’rad yaitu suami memalingkan wajahnya atau memalingkan
manfaat-manfaat yang dahulu didapatkan istri seperti mengurangi berbicara
dengan istri atau kurang tertarik
karena tua atau cacat atau cacat dari lahir atau bosan.
- Perbaikan keadaan dengan berdamai dengan
cara meninggalkannya beberapa hari, sebagaimana yang dikerjakan Saudah
kepada Rasulullah SAW. Atau meletakkan sebagian kewajibannya dari nafkah
atau sandang atau hibahkan untuknya sebagian dari maharnya atau berikan
dia harta agar tetap bersamanya.
Firman
Allah وَٱلصُّلۡحُ خَيۡرٞۗ , menunjukkan bahwa segala perdamaian pada masalah ini hukumnya mubah
dengan mengasihi salah seorang dari keduanya akan harta atau meniggalkan hak
istri dari haknya pada istirahat malamnya secara mutlak atau meniggalkan haknya
dalam waktu yang lama.
Firman Allah وَإِن تُحۡسِنُواْ وَتَتَّقُواْ , menunjukkan
bahwa ketetapan bagi para suami atas istrinya yang kikir sebagai akibat karena
tidak bergaul dengan baik, jika para suami bergaul dan memelihara diri (dari
nusyuz dan i’rad) dalam bergaul dengan istri pada pendirinamu atas kalian
bersama kebencianmu bagi sahabatnya (sifat yang tidak disukai) dan waspada
kedzaliman mereka maka yang demikian itu lebih baik bagimu.[43]
BAB III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
-
Berdasarkan
keterangan para Mufasir diatas mengenai surah An-Nisa ayat 34 dapat ditarik
kesimpulan bahwasanya melalui firman-Nya Allah telah memberikan solusi atau
perintah terhadap para suami jika sang
istri mulai menampakkan nusyuznya dengan tiga tahap atau cara dalam menghadapi
ketidaktaatannya tersebut. Tahap pertama yakni dengan menasehatinya agar
kembali taat kepada perintah Allah dengan memenuhi dan memuliakan hak suaminya
serta mengingatkannya untuk menunaikan kewajibannya sebagai istri dan apabila
istrinya telah kembali taat kepada Allah maka suami dilarang mencari-cari
kesalahan istri dan melarang suami menzhalimi istrinya. Akan tetapi jika istri
masih belum taat kepada Allah ketika telah dinasehati, maka pisahkan dari
tempat tidurnya. Akan tetapi ketika cara ini sudah dilakukan namun istri masih
membangkang terhadap suaminya, maka Allah mempersilahkan suami untuk memukul
istrinya dengan catatan memukul dengan tidak menyebabkan luka atau meninggalkan
bekas, hal itu dikarenakan pukulan tersebut dalam rangka mendidik atau memberi
peringatan dengan tujuan agar istri sadar dan kembali taat kepada Allah dan
suaminya.
-
Kesimpulan
dari penafsiran surah An-Nisa ayat 128 ialah jika istri khawatir akan nusyuz
yang datang dari suaminya maka Allah membolehkan salah satu diantara mereka
untuk melakukan perdamaian dengan cara mengikhlaskan atau salah satu diantara
mereka agar mengalah akan sebagian hak dan kewajiban salah satu diantara
keduanya untuk digugurkan dengan tujuan untuk mempertahankan keutuhan rumah
tangga, atau demi menghindari terjadinya perceraian. Karena perdamaian dengan
cara apapun dibolehkan demi menghindari terjadinya perceraian.
DAFTAR PUSTAKA
‘Arabi, Abu Bakar Muhammad bin Abdillah Ibnu.
T.th.t. Ahkam al-Qur’an. Beirut: Dar Al Kotob al-Ilmiyah.
Katsir, ‘Amaduddin
Abul Fida’ Isma’il bin ‘Umar Ibnu. 2012. Tafsir al-Qur’an al-‘Adzim. Beirut: Dar
Al Kotob al-Ilmiyah.
Qurthuby, Al, Abi
Abdillah Muhammad bin Ahmad al-Anshori. 1994. al-Jami’ li Ahkam al-Qur’an. Kairo: Dar
El Hadits.
Syawkani, Al, Muhammad
bin ‘Ali. 2007. Fath-hul Qadiir al-Jaami’ Bayna Fannay ar-Riwaayah Wa
ad-Diraayah Min ‘Ilm at-Tafsiir. Kairo: Dar El Hadits.
Thabari, Al, Abi
Ja’far Muhammad bin Jarir. 2001. Tafsir al-Thabari: Jami’ al-Bayan ‘an
Ta’wil Ayi al-Qur’an. Kairo: Dar El Hijr.
Zuhaily, Al,
Wahbah. 2009. al-Tafsir al-Munir fi al-Aqidah wa al-Syari’ah wa al-Minhaj.
Beirut: Dar El Fikr.
[22]
Abi Abdillah Muhammad bin Ahmad al-Anshori al-Qurthuby, al-Jami’ li Ahkam
al-Qur’an, Jilid 3, h. 156. Lihat
pula ‘Amaduddin Abul Fida’ Isma’il bin ‘Umar Ibnu Katsir, Tafsir
al-Qur’an al-‘Adzim), Jilid 1, h. 447. Lihat pula Wahbah al-Zuhaily, al-Tafsir al-Munir fi al-Aqidah
wa al-Syari’ah wa al-Minhaj, Jilid 3, h. 60. Lihat pula Abu Bakar Muhammad bin Abdillah Ibnu ‘Arabi, Ahkam
al-Qur’an, Jilid 1, h. 535.
[28]
Abi Abdillah Muhammad bin Ahmad al-Anshori al-Qurthuby, al-Jami’ li Ahkam
al-Qur’an, Jilid 3, h. 351. Lihat pula Wahbah al-Zuhaily, al-Tafsir
al-Munir fi al-Aqidah wa al-Syari’ah wa al-Minhaj, Jilid 3, h. 303. Lihat pula ‘Amaduddin Abul Fida’
Isma’il bin ‘Umar Ibnu Katsir, Tafsir al-Qur’an al-‘Adzim), Jilid 1, h.
510. Lihat pula Muhammad bin
‘Ali al-Syawkani, Fath-hul Qadiir al-Jaami’ Bayna Fannay ar-Riwaayah Wa
ad-Diraayah Min ‘Ilm at-Tafsiir, Jilid 1, h. 696.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar