Minggu, 08 April 2018

Makalah Tafsir Ahkam Tentang Nusyuz


BAB I
PENDAHULUAN

A.    Latar Belakang

            Pernikahan adalah ajaran Islam yang pokok yang ditegaskan sebagai sunnah Rasul, yang mana barangsiapa menolaknya maka dia tidak termasuk golongan Rasul. Tujuan Islam mensyari'atkan pernikahan, antara lain, adalah agar pasangan suami isteri dapat hidup tenang dalam cinta dan kasih sayang. Kehidupan tenang diliputi cinta dan kasih sayang akan memudahkannya untuk melaksanakan misi penciptaan sebagai manusia, yaitu abdullah dan khalifatullah.
            Untuk itu, Islam mengajarkan cara bagaimana membentuk rumah tangga yang tenang penuh dengan cinta dan kasih sayang yang dirumuskannya secara garis besar dengan saling mempergauli dengan baik معا شرة بالمعروف. Namun realitasnya, seringkali kita menemukan gangguan¬ gangguan yang rnenyebabkan tidak tercapainya tujuan tersebut (مودة ورحمة). Diantara gangguan itu adalah perilaku nusyuz, baik dari pihak isteri maupun suami. Dalam diskursus kesetaraan gender, sering dilontarkan kritik, bahwa dalam ayat-ayat mengenai nusyuz.: secara tidak langsung Islam melegitimasi kekerasan dalam rumah tangga, yaitu, kekerasan suami kepada isteri. Benarkah kritik tersebut? Bagaimana sesungguhnya tuntunan Islam menghadapi tingkah nusyuz?
            Penulis tertarik untuk membahas topik nusyuz dalam perspektif tafsir ahkam dan juga untuk memenuhi tugas yang diberikan bapak Dr. Mujar Ibnu Syarif, S.H, M.A. Menyadari kekurangan dan keterbatasan kemampuan kami, kami berharap koreksi dari masukan baik dari pengampu maupun pembaca yang budiman.
  1. Rumusan Masalah
1.      Bagaimana asbab an-nuzul, tafsir mufradat, penafsiran ayat, istinbat hukum dari ayat Q.S. an-Nisa ayat 34?
2.      Bagaimana asbab an-nuzul, tafsir mufradat, penafsiran ayat, istinbat hukum dari ayat Q.S. an-Nisa ayat 128?
  1. Tujuan
            Adapun tujuan dari penulisan makalah ini adalah mencoba untuk memberikan informasi kepada rekan-rekan kami pada khususnya dan kepada masyarakat pada umumnya tentang nusyuz dalam perspektif tafsir ahkam dan untuk memenuhi tugas yang diberikan oleh bapak Dr. Mujar Ibnu Syarif, S.H, M.A.













BAB II
PEMBAHASAN

1.      An-Nisa [04] ayat 34

وَٱلَّٰتِي تَخَافُونَ نُشُوزَهُنَّ فَعِظُوهُنَّ وَٱهۡجُرُوهُنَّ فِي ٱلۡمَضَاجِعِ وَٱضۡرِبُوهُنَّۖ فَإِنۡ أَطَعۡنَكُمۡ فَلَا تَبۡغُواْ عَلَيۡهِنَّ سَبِيلًاۗ إِنَّ ٱللَّهَ كَانَ عَلِيّٗا كَبِيرٗا ٣٤
Wanita-wanita yang kamu khawatirkan nusyuznya, maka nasehatilah mereka dan pisahkanlah mereka di tempat tidur mereka, dan pukullah mereka. Kemudian jika mereka mentaatimu, maka janganlah kamu mencari-cari jalan untuk menyusahkannya. Sesungguhnya Allah Maha Tinggi lagi Maha Besar.
A.    Asbabun Nuzul
            Diriwayatkan oleh Ibnu Abi Hatim yang bersumber dari Al-Hasan: Bahwa seorang wanita yang mengadu kepada Rasulullah Saw karena telah ditampar oleh suaminya. Rasulullah SAW bersabda: “Dia mesti diqishash (dibalas)”. Maka turunlah ayat tersebut (An-Nisa ayat 34) sebagai ketentuan mendidik istri yang menyeleweng. Setelah mendengar penjelasan ayat tersebut pulanglah ia dengan tidak melaksanakan qishash.[1]
B.     Tafsir Mufradat
            تَخَافُونَ = Kamu sangka, نُشُوزَهُنَّ = Pembangkangan mereka (istri) terhadap kalian dan meremehkan suami dengan tanda atau indikasi yang nyata,  وَٱهۡجُرُوهُنَّ فِي ٱلۡمَضَاجِعِ = memisahkan mereka dari tempat tidur jika nyata nusyuznya, وَٱضۡرِبُوهُنَّ = pukulan yang tidak melukai jika mereka (istri) tidak kembali jika sudah dipisahkan dari tempat tidur, فَلَا تَبۡغُواْ = jangan mencari عَلَيۡهِنَّ سَبِيلًاۗ = cara lain untuk memukul mereka (istri) dengan cara dzalim.[2]
C.    Tafsiran Ayat
            Makna kata Nusyuz pada firman Allah نشوزهن “Nusyuznya” adalah kecongkakan mereka terhadap suami mereka, penghindaran mereka dari tempat tidur suami mereka dengan melakukan kemaksiatan, menyalahi suami mereka pada hal-hal yang diwajibkan oleh Allah kepada mereka untuk taat kepada suami mereka, kebencian mereka, dan keberpalingan mereka dari suami-suami mereka.
            Makna asal an-nusyuz adalah al-irtifaa’ (meninggi). Oleh karena itu, tempat yang tinggi disebutkan dengan nasyz dan nasyaaz.[3]
            Firman Allah SWT, (نشوزهن) “wanita-wanita yang kamu khawatirkan nusyuznya”. Allaati adalah jamak (plural) dari allati. Ibnu Abbas berkata,”Takhafuuna bermakna ta’lamuuna (kamu tahu) dan tataqayanuun (kamu yakin).” An-nusyuz adalah durhaka, terambil dari kata an-nasyz, yaitu sesuatu yang tinggi dipermukaan bumi.
            Berkata Abu Mansyur al-Lughawi: “Nusyuz adalah bencinya salah seorang dari dua pasangan terhadap pasangannya”.[4]
            Firman Allah SWT وَٱلَّٰتِي تَخَافُونَ نُشُوزَهُنَّ Yakni wanita-wanita yang kalian khawatirkan bersikap membangkang terhadap suaminya. An-Nusyuz artinya tinggi diri, wanita yang nusyuz ialah wanita yang bersikap sombong terhadap suaminya, tidak mau melakukan perintah suaminya, tidak mau melakukan perintah suaminya, berpaling darinya, dan membenci suaminya. Apabila timbul tanda-tanda nusyuz pada diri si istri, hendaklah si suami menasihati dna menakutinya dengan siksa Allah bila ia durhaka terhadap dirinya. Karena sesungguhnya Allah SWT telah mewajibkan kepadanya agar taat kepada suaminya dan haram berbuat durhaka terhadap suami, karena suami mempunyai keutamaan dan memikul tanggung jawab terhadap dirinya. Sungguh Nabi Muhammad SAW bersabda:
لَوْ كُنْتُ آمِرًا أحَدًا أَنْ يَسْجُدَ لِاَحَدٍ لَاَمَرْتُ الْمَرْأَةَ أنْ تَسْجُدَ لِزَوجِهَا مِنْ عِظَمِ حَقِّهِ عَلَيْهَا
Seandainya aku diberi wewenang untuk memerintah seorang agar bersujud terhadap orang lain, niscaya aku perintahkan kepada wanita untuk bersujud kepada suaminya, karena hak suami yang besar terhadapnya.
Diriwayatkan Imam Bukhari dari Abu Hurairah R.A ia berkata, Rasulullah SAW bersabda:
إِذَا دَعَا الرَّجُلُ امْرَأَتَهُ إِلَى فِرَاشِهِ فَأَبَتْ فَبَاتَ غَضْبَانَ عَلَيْهَا لَعَنَتْهَا المَلاَئِكَةُ حَتَّى تُصْبِحَ
Apabila seorang laki-laki mengajak istrinya ke tempat tidurnya, lalu si istri menolaknya, maka para malaikat melaknatnya sampai pagi hari.
Menurut riwayat Imam Muslim disebutkan seperti berikut:
إِذَا بَاتَتِ الْمَرْأَةُ هَاجِرَةً فِرَاشَ زَوْجِهَا لَعَنَتْهَا الْمَلَائِكَةُ حَتَّى تُصْبِحَ
Jka seorang istri tidur semalam dalam keadaan memisahkan diri dari tempat tidur dengan suaminya, maka  para malaikat melaknatnya sampai pagi hari.[5]
            Berkata Imam asy-Syawkani dalam menafsirkan ayat وَٱلَّٰتِي تَخَافُونَ نُشُوزَهُنَّ : yaitu perempuan yang durhaka dan meremehkan dengan hak suaminya dan tidak mentaati perintah suaminya, maka Allah memerintahkan untuk menasihatinya dan mengingatkannya kepada Allah dan memuliakan hak suaminya atasnya, maka jika diterima (menerima nasihat dari suaminya) jika tidak maka pisahkan dari tempat tidur dan jangan ajak bicara selain membicarakan pernikahannya, dan yang demikian itu adalah keras baginya, maka jika ia kembali (kembali tidak durhaka) jika tidak maka pukullah dengan pukulan yang tidak melukai dan jangan patahkan tulang-tulangnya dan jangan juga menyakiti dia dengan suatu kesakitan.[6]
                Maka firman-Nya, فَعِظُوهُنَّ “Maka nasihatikah mereka”, adalah, ingatkanlah mereka (kaum perempuan atau para istri) kepada Allah dan takutilah mereka dengan ancaman Allah bila mereka melakukan hal-hal yang telah diharamkan Allah kepada mereka, yaitu bermaksiat kepada suami mereka, padahal Allah telah mewajibkan mereka untuk taat kepada suami mereka.[7]
            Firman Allah SWT,( فَعِظُوهُنَّ) “Maka nasehatilah mereka,” yaitu berdasarkan Al-quran, nasehatilah mereka apa saja yang Allah wajibkan kepada mereka apa saja yang Allah wajibkan kepada mereka berupa pergaulan yang baik kepada suami, dan pengakuan kedudukannya terhadap istri.[8]
            Hendaknya suami menasihati istrinya: “bertaqwalah kepada Allah karena sesungguhnya aku ada hak atasmu, dan kembalilah dari apa yang kamu kerjakan, dan ketahuilah bahwa taat kepadaku adalah wajib bagimu” dan contoh lain yang sesuai dengan menakuti terhadap Allah dan ancamlah dengan siksaan Allah, dan berikan peringatan tentang buruknya hukuman dan akibat dan kekurangan nikmat kehidupan berumah tangga yang bahagia. Dan inilah ancaman dan peringatan yang sungguh dapat mengembalikan dia (istri) dari nusyuz.[9]
            Riwayat-riwayat yang sesuai dengan pendapat diatas adalah:
            Dari Ibnu Abi Najihdari Mujahid, tentang firman Allah, (وَٱلَّٰتِي تَخَافُونَ نُشُوزَهُنَّ فَعِظُوهُنَّ) “Wanita-wanita yang kamu khawatirkan nusyuznya, maka nasihatilah mereka.”ia berkata, “ jika seorang istri enggan menyentuh tempat tidur suaminya, maka suaminya harus berkata kepadanya, “Takutlah engkau kepada Allah dan kembalilah ke tempat tidurmu.’ Jika dia taat kepada suaminya, maka janganlah mencari-cari jalan untuk menyusahkannya.”.
            Dari Muhamad bin Ka’ab Al-Qurazhi, ia berkata. Apabila seseorang melihat istrinya berteriak enteng, baik saat masuk maupun keluar, maka katakanlah kepada istrinya,’ Aku sudah melihatmu begini dan begitu. Berhentilah.’ Jika istrinya menurut, maka tidak ada alasan baginya untuk menceraikan istrinya. Tapi jika istrinya menolak, maka dia harus memisahkannya ditempat tidurnya.”.
            Dari Ibnu Juraij, tentang firman Allah, فعظوهMaka nasihatilah mereka,” ia berkata, “ (Maknanya adalah, nasihatilah) dengan ucapan.”.[10]
            Firman Allah (وَٱهۡجُرُوهُنَّ فِي ٱلۡمَضَاجِعِ) “dan pisahkanlah mereka di tempat tidur mereka”. Yaitu memisahkannya dan membelakangi punggungnya serta tidak mencampurinya.[11] Dan ini sebuah kiasan untuk tidak berhubungan suami-istri, atau bermalam di satu ranjang, dan tidak boleh tidak berbicara lebih dari tiga hari.[12]
            Sebagian berpendapat bahwa firman Allah tersebut adalah, “wahai para suami, nasihatilah mereka (istri-istri kalian) terkait dengan nusyuz yang mereka lakukan terhadap kalian. Jika mereka enggan kembali kepada kebenaran dalam hal itu, sementara telah diwajibkan terhadap mereka atas kalian, maka pisahkanlah mereka dengan tidak menggauli mereka ditempat tidur kalian”.
            Riwayat-riwayat yang sesuai dengan pendapat tersebut adalah :
            Dari Ibnu Abbas, tentang firman Allah, (وَٱهۡجُرُوهُنَّ فِي ٱلۡمَضَاجِعِ) “Dan pisahkanlah mereka ditempat tidur mereka,” bahwa maknanya adalah, nasihatilah mereka. Jika mereka tidak menaati kalian maka pisahkanlah mereka (di tempat tidur mereka).
            Dari Ibnu Abbas, tentang firman Allah, (وَٱهۡجُرُوهُنَّ فِي ٱلۡمَضَاجِعِ) “Dan pisahkanlah mereka dari tempat tidur mereka” ia berkata, “Dia tidak boleh menggauli istrinya”.[13]
            Sebagian ahli takwil lainnya berpendapat bahwa maknanya adalah,“Pisahkanlah mereka. Acuhkanlah mereka karena mereka tidak bersedia tidur bersama kalian, hingga mereka kembali ke tempat tidur kalian”.
            Riwayat-riwayat yang sesuai dengan pendapat tersebut adalah :
            Dari Ibnu Abbas, tentang firman Allah, (وَٱهۡجُرُوهُنَّ فِي ٱلۡمَضَاجِعِ) : Dan pisahkanlah mereka dari tempat tidur mereka,” ia berkata: (Maknanya adalah), suami harus menasihatinya. Jika dia menolak maka suami harus memisahkannya di tempat tidurnya dan tidak boleh berbicara dengannya, tapi tidak boleh tidak menggaulinya. Hal itu merupakan suatu perkara yang berat baginya.[14]
            Ahli takwil lainnya berpendapat bahwa maknanya adalah: “katakanlah perkataan (yang keras) kepada mereka, sebab mereka meninggalkan tempat tidur kalian”.
            Riwayat-riwayat yang sesuai dengan pendapat tersebut adalah:
            Al-Mutsanna menceritakan kepadaku, ia berkata: Ishaq menceritakan kepada kami, ia berkata: Ya’la menceritakan kepadaku dari Sufyan, tentang firman Allah, (وَٱهۡجُرُوهُنَّ فِي ٱلۡمَضَاجِعِ) “ Dan pisahkanlah dari tempat tidur mereka,” ia berkata, “(Maknanya) adalah (pemisahan) dalam hal menggaulinya. Akan tetapi suami harus berkata kepada istrinya.’ Kemarilah, lakukanlah (anu)’, dengan ucapan yang keras. Apabila istrinya melakukan hal tersebut, maka janganlah dia menuntut istrinya untuk  menyukai hal itu, sebab hati istrinya tidak berada dalam kekuasaan istrinya.[15]
            Abu Ja’far berkata : Al hajr dalam bahasa Arab hanya memiliki salah satu dari tiga makna (berikut ini):
  1.  Hajara ar-arajul kalaama ar-rajuli wa hadiiitsahu (seseorang menolak dan tidak berbicara dengan orang lain). Dikatakan, hafara fulaanun ahlahu yahrujuhaa hajran wa hujraanan (fulan tidak berbicara dengan istrinya).
  2. Banyak berbicara dengan mengulang-ngulang (pembicaraan tersebut), seperti perkataan orang yang mengejek,
Dikatakan, Hajara fulaanu fi kalaamihi hajran (fulan berbicara tidak karuan), jika dia berbicara tidak karuan dan memanjangkan kalimatnya.
  1.  Hajara al ba’iira ( seseorang mengikat unta ). Maksudnya, pemiliknya mengikatnya dengan hijar, yaitu tali yang dikatakan dikedua pahanya dan pergelangan kaki depannya.
Perkataan yang keras atau kasar dan menyakitkan adalah al ihjaar. Dikatakan, ahjaara fuulanun fi manthiqihi yahjuru ihjaaran wa hujran (fulan kotor dalam bicaranya), jika dia mengatakan al-hujr , yakni perkataan yang kotor.
            Dalam  bahasa Arab, al hajr hanya memiliki salah satu dari tiga makna tersebut –sementara suami dari seorang istri yang dikhawatirkan berbuat berbuat nusyuz hanya diperintahkan untuk mengingatkan istrinya agar taat kepada dirinya dalam hal-hal yang telah Allah wajibkan kepada istrinya, yaitu menyetujuinya bila dia mengjak istrinya itu ke tempat tidurnya,- maka jika istrinya itu memamtuhi peringatan atau nasihat suaminya, merupakan suatu perkara yang tidak mungkin bila sang suami kemudian diperintahkan untuk mengacuhkan istrinya pada perkara yang dinasihatkannya itu (menyetujuinya saat dia mengajak istrinya ke tempat tidur).
            Jika demikian, batallah pendapat orang-orang yang mengatakan bahwa makna firman Allah tersebut adalah,” Tolaklah (oleh kalian) berbicara dengan mereka, karena mereka telah meninggalkan tempat tidur kalian”. Itu karena pendapat ini juga tidak memiliki alasan yang dapat dimengerti. Pasalnya, Allah telah memberitahukan melalui lisan Nabinya, bahwa seorang muslim tidak halal untuk mengacuhkan saudaranya lebih dari tiga hari, Kalaupun hal ini memang perkara yang dihalalkan, namun mengacuhkan atau tidak berbicara dengan istri, tidak memiliki makna atau alasan yang di mengerti, sebab jika istrinya berpaling dan berbuat nusyuz kepadanya maka istrinya itu akan merasa lebih senang jika suaminya tidak berbicara dengannya dan tidak melihat darinya.[16]
            Al Qhurtubi mengatakan: Ini pendapat yang bagus, karena suami apabila berpaling dari ranjang istrinya (tidak menggaulinya ), maka jika istri itu mencintai suaminya, hal itu akan membuat dia susah sehingga dia akan kembali untuk berkebaikan. Dan jika dia membencinya maka akan muncul penentangan dari istri, hingga akan nampak bahwa penentangan datang dari pihak istri.
            Dikatakan, Syadduuhunna watsaaqan fi buyutuhinna: (kurunglah mereka dirumah) berasal dari perkataan mereka hajara al ba’ir yaitu mengikat unta dengan tali.[17]
            Ibnu ‘Arabi mengatakan: “Alangkah kelirunya jika dia mendasarkan pendapat ini kepada al-Qur’an dan Sunnah. Penafsiran ini dilandasi hadits gharib yang diriwayatkan oleh Ibnu Wahab dari Malik: bahwa Asma binti Abu Bakar ash-Shiddiq istri zubair bin Awwam pernah keluar rumah sehingga Zubair menegurnya, begitu juga dengan istri keduanya, lalu Zubair mengikaat rambut kedua istri satu dengan yang lain, lalu memukul keduanya. Sementara istri keduanya lebih menjaga diri, adapun Asma mengadu kepada bapaknya yakni Abu Bakar, lalu Abu Bakar berkata: “wahai anakku bersabarlah karena Zubair adalah laki-laki yang shalih, dan barangkalil dia akan menjadi suamimu di surga nanti, aku mendapat informasi bahwa seseorang apabila melakukakn seperti itu ia akan menikahinya disurga”.”.
            Dari hadits ini ia memahami pengikatan Zubair sebagai tafsiran ayat yang dimaksud.[18]
            Firman Allah SWT (وَٱضۡرِبُوهُنَّ) “dan pukullah mereka” Allah memerintahkan agar memulainya dengan nasihat dulu kemudian pisah ranjang, bila belum berhasil maka pukullah, karena itulah yang dapat memperbaikinya dan yang dapat mendorongnya untuk memenuhi hak suaminya. Sedangkan pukulan disini adalah pukulan pendidikan bukan pukulan yang menyakitkan, tidak mematahkan tulang dan tidak menyebabkan luka seperti meninju dan yang semisalnya, karena tujuannya untuk memperbaiki bukan yang lain.[19]
            Abu Ja’far berkata: Maknanya adalah, “Wahai para suami, nasihatilah istri kalian tentang perbuatan nusyuz mereka. Jika mereka menolak untuk kembali kepada kewajiban mereka, maka ikatlah mereka dengan tali dirumah mereka, dan pukullah mereka agar mereka kembali kepada kewajiban mereka, yaitu taat kepada Allah dalm kewajiban mereka terkait dengan hak kalian.”
            Ahli takwil berkata, “Sifat pukulan yang dibolehkan Allah kepada suami adalah pukulan yang tidak melukai”.[20]
            Wahbah al-Zuhaili mengatakan: “Pukulan yang tidak menyakitkan yaitu memukul yang tidak terlalu sakit seperti pukulan ringan dengan tangan yang dipukulkan ke paha sebanyak tiga kali, atau memukul dengan siwak atau kayu yang ringan karena tujuannya untuk memperbaiki bukan yang lain.[21]
            Riwayat-riwayat yang sesuai dengan oendapat tersebut adalah :
اتّقوا الله في النساء فإنكم أخذتموهنّ بأمانة الله واستحللتم فروجهنّ بكلمة الله وإن لكم عليهنّ أن لا يوطئن فرشكم أحدا تكرهونه فإن فعلن فاضربوهنّ ضربا غير مبرح ولهنّ عليكم رزقهنّ وكسوتهنّ بالمعروف
Bertakwalah kepada Allah tentang urusan wanita sesungguhnya engkau dititipkan mereka dengan amanat Allah dan menghalalkan kelamin mereka dengan kalimat Allah. Kalian mempunyai hak terhadap mereka. Yaitu, mereka tidak boleh membiarkan seorangpun yang kalian benci menginjak hamparan kalian (masuk ke rumah kalian). Jika mereka melakukannya, pukullah mereka dengan pukulan yang tidak melukai dan mereka memiliki hak untuk mendapatkan rizki dan pakaian dengan cara yang ma’ruf”.[22]
            Dari Sa’id bin Jubair, tentang firman Allah, (وَٱضۡرِبُوهُنَّۖ) “Dan pukullah mereka,” ia berkata,” Dengan pukulan yang tidak mencinderai.”
Al Mutsama menceritakan kepadaku, ia berklata: Abu Shalih menceritakn kepada kami, ia berkata: Mu’awiyah menceritakan kepadaku dari Ali bin Abi Thalhah, dari Ibnu Abbas, tentang firman Allah (وَٱهۡجُرُوهُنَّ فِي ٱلۡمَضَاجِعِ وَٱضۡرِبُوهُنَّۖ) “Dan pisahkanlah dari tempat tidur mereka, dan pukullah mereka,” ia berkata,” Engkau harus memisahkan di tempat tidurnya. Jika dia tidak terima maka Allah telah mengizinkanmu untuk memukulnya dengan pukulan yang tidak melukai, dan janganlah engkau mematahkan tulangnya. Jika dia tidak terima maka halal bagimu untuk untuk menerima tebusan (khulu’) darinya.[23]
            Takwil firman Allah : (فَإِنۡ أَطَعۡنَكُمۡ فَلَا تَبۡغُواْ عَلَيۡهِنَّ سَبِيلًاۗ) (Kemudian jika mereka mentaatimu, maka janganlah kamu mencari-cari jalan untuk menyusahkannya).
            Abu Ja’far berkata: Maknanya adalah,Wahai manusia, jika mereka—yakni istri-istrimu yang kalian khawatirkan nusyuznya ketika kalian menasihati mereka– menaatimu, maka janganlah kamu memisahkan mereka ditempat tidur mereka dan pukullah mereka. Jika ketika itu mereka kembali menaati kalian dan kembali kepada kewajiban mereka, maka janganlah kalian mencari-cari jaln untuk menyakiti dan menyusahkan mereka, dan janganlah kalian mencari-cari cara untuk meraih sesuatu yang tidak halal bagi klaian dari tubuh dan harta metreka dengan suatu alasan”.
            Hal itu dapat dilakukan jika salah seorang dintara kalian berkata pada wanita itu taat kepadanya, “Engkau tidak mencintaiku dan engkau benci kepadaku. Lalu dia memukul wanita itu karena hal itu. Allah Ta’ala berfirman kepada kaum laki-laki, (فَإِنۡ أَطَعۡنَكُمۡ)” Kemudian jika mereka mentaatimu,” yakni dapat menghilangkan kebencian mereka terhadap kalian, maka janganlah kalian berbuat jahat kepada mereka, dan janganlah kalian menuntut mereka mencintai kalian, sebab itu bukanlah kekuasaan mereka, sehingga kalian hanya akan memukuli mereka atau menyakiti mereka.
            Maka firman Allah (فَلَا تَبۡغُواْ) “Maka janganlah kamu mencari cari” adalah “janganlah kamu mencari-cari”.
            Kata ini diambil dari ucapan seseorang, “Baghaitu adh-dhaalah” (aku mencari sesuatu yang hilang).[24]
            Riwayat-riwayat yang sesuai dengan pendapat tersebut adalah :
عَنْ سُلَيْمَانَ بْنِ عَمْرِو بْنِ الْأَحْوَصِ قَالَ: حَدَّثَنِي أَبِي أَنَّهُ شَهِدَ حَجَّةَ الْوَدَاعِ مَعَ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَحَمِدَ اللَّهَ وَأَثْنَى عَلَيْهِ وَذَكَّرَ وَوَعَظَ ثُمَّ قَالَ: «اسْتَوْصُوا بِالنِّسَاءِ خَيْرًا فَإِنَّهُنَّ عِنْدَكُمْ عَوَانٍ لَيْسَ تَمْلِكُونَ مِنْهُنَّ شَيْئًا غَيْرَ ذَلِكَ إِلَّا أَنْ يَأْتِينَ بِفَاحِشَةٍ مُبَيِّنَةٍ فَإِنْ فَعَلْنَ فَاهْجُرُوهُنَّ فِي الْمَضَاجِعِ وَاضْرِبُوهُنَّ ضَرْبًا غَيْرَ مُبَرِّحٍ فَإِنْ أَطَعْنَكُمْ فَلَا تَبْغُوا عَلَيْهِنَّ سَبِيلًا
Riwayat dari Sulaiman bin ‘Amr bin al-Ahwash ia berkata:menceritakan kepada oleh bapakku bahwasannya ia menyaksikan haji wada’ bersama Rasulullah SAW, maka Rasul memuji Allah dan memuji Allah, kemudian mengingatkan (taat kepada Allah) dan menasihati, kemudian bersabda: “berbuat baiklah terhadap perempuan, karena mereka adalah tawanan kalian. Kalian tidak berhak atas mereka lebih dari itu, kecuali jika mereka melakukan perbutan yang keji dan nyata. Jika mereka melakukannya, jauhilah mereka dari tempat tidur dan pukullah mereka dengan yang tidak menyakitkan. Jika mereka mentaatimu maka janganlah kamu mencari-cari jalan untuk menyusahkannya.[25]
            Dari Ibnu Abbas, tentang firman Allah (فَإِنۡ أَطَعۡنَكُمۡ فَلَا تَبۡغُواْ عَلَيۡهِنَّ سَبِيلًاۗ) “kemudian jika mereka menaatimu, maka janganlah kamu mencari-cari jalan untuk menyusahkannya” ia berkata “Jika istrimu taat kepadamu maka janganlah kamu mencari-cari alasan untuk menyusahkannya”.[26]
D.    Istinbat Hukum dari Ayat Tersebut
            Melihat ayat dan penafsiran diatas maka dapat diistinbatkan bahwa:
1.      Langkah-langkah menyelesaikan perselisihan antara suami dan istri yaitu dengan: nasihat dan petunjuk, jika tidak kembali (taat) maka pisahkanlah dari tempat tidur, jika tidak kembali (taat) maka pukullah dengan pukulan yang tidak menyakiti, kemudian jika tidak kembali (taat) maka utuslah dua hakim baik dari kerabat dekat maupun kerabat jauh. Dan Allah tidak menyebutkan tugas kedua hakim melainkan untuk mendamaikan dan tidak menyebutkan pemisahan yang mengisyaratkan kepada keinginan untuk damai (antara suami istri) selain maksud memisahkan kepada kehancuran rumah tangga.
2.      Menahan diri dari kedzaliman, beristidlal dengan firman Allah فَإِنۡ أَطَعۡنَكُمۡ  maka jika mereka mentaatimu, artinya setelah mereka meniggalkan nusyuznya فَلَا تَبۡغُواْ عَلَيۡهِنَّ سَبِيلًاۗ maka jangnlah kamu mencari jalan lain untuk menyakitinya, ayat ini menunjukkan keharaman suami berbuat dzalim terhadap istri. Yaitu janganlah kamu marahi mereka dengan perkataan atau perbuatan. Dan dilarang mendzalimi mereka setelah mereka mematuhi hukuman mereka.[27]

2.      An-Nisa [04] ayat 128

وَإِنِ ٱمۡرَأَةٌ خَافَتۡ مِنۢ بَعۡلِهَا نُشُوزًا أَوۡ إِعۡرَاضٗا فَلَا جُنَاحَ عَلَيۡهِمَآ أَن يُصۡلِحَا بَيۡنَهُمَا صُلۡحٗاۚ وَٱلصُّلۡحُ خَيۡرٞۗ وَأُحۡضِرَتِ ٱلۡأَنفُسُ ٱلشُّحَّۚ وَإِن تُحۡسِنُواْ وَتَتَّقُواْ فَإِنَّ ٱللَّهَ كَانَ بِمَا تَعۡمَلُونَ خَبِيرٗا ١٢٨
128. Dan jika seorang wanita khawatir akan nusyuz atau sikap tidak acuh dari suaminya, maka tidak mengapa bagi keduanya mengadakan perdamaian yang sebenar-benarnya, dan perdamaian itu lebih baik (bagi mereka) walaupun manusia itu menurut tabiatnya kikir. Dan jika kamu bergaul dengan isterimu secara baik dan memelihara dirimu (dari nusyuz dan sikap tak acuh), maka sesungguhnya Allah adalah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan.

A.    Asbabun Nuzul

            At-Tirmidzi meriwayatkan, dari Ibnu Abbas, ia berkata: “Saudah khawatir akan diceraikan oleh Rasulullah SAW, kemudian ia berkata, ‘Janganlah engkau menceraikanku dan biarkan aku ini tetap menjadi istrimu, dan berikanlah jatah hariku untuk Aisyah’, Nabi punn melakukan permintaannya, sehingga turunlah ayat ini فَلَا جُنَاحَ عَلَيۡهِمَآ أَن يُصۡلِحَا بَيۡنَهُمَا صُلۡحٗاۚ وَٱلصُّلۡحُ خَيۡرٞۗ dan apa saja yang dijadikan oleh keduanya sebagai media untuk berdamai, maka hal itu diperbolehkan”.
            Ibnu Uyainah meriwayatkan dari az-Zuhri dari Sa’id bin al-Musayyab bahwa Rafi’ bin Khadij mempunyai istri yang bernama Khaulah binti Muhammad bin Maslamah, ia tidak suka pada istrinya, entah karena ia sudah tua atau karena hal yang lainnya, lalu ia ingin menceraikannya, istrinya berkata: “janganlah engaku menceraikanku dan berikanlah jatah hariku semaumu” dan hal yang seperti ini banyak terjadi sehingga turunlah ayat فَلَا جُنَاحَ عَلَيۡهِمَآ أَن يُصۡلِحَا بَيۡنَهُمَا صُلۡحٗاۚ وَٱلصُّلۡحُ خَيۡرٞۗ .[28]
  1. Tafsir Mufrodat
            خَافَتۡ مِنۢ بَعۡلِهَا Khawatir suaminya melakukan hal yang ia (istri) tidak sukai, نُشُوزًا merasa tinggi dan merasa sombong darinya dengan meninggalkan tempat tidurnya dan mengurangi sebagian nafkahnya dan ambisius mata suaminya kepada kecantikannya. أَوۡ إِعۡرَاضٗا atau tidak acuh terhadap wajahnya (istri) yaitu kecenderungannya dan menyimpang فَلَا جُنَاحَ عَلَيۡهِمَآ أَن يُصۡلِحَا بَيۡنَهُمَا صُلۡحٗاۚ damai dalam pembagian jatah dan nafkah dengan kau tinggalkan baginya sesuatu yang ia cari kekalan persahaban, jika kau ridha dengan demikian itu, jika tidak maka hak suami untuk memberikan sepenuhnya hak nya (istri) atau memisahkannya (istri). وَٱلصُّلۡحُ خَيۡرٞۗ damai dari pemisahan dan nusyuz dan tak acuh. وَأُحۡضِرَتِ ٱلۡأَنفُسُ ٱلشُّحَّۚ sangat pelit yaitu jika kikir itu hadir pada dirinya (istri) tidak menghilang darinya yaitu menjadi tabi’at atas dirinya.[29]
وَإِن تُحۡسِنُواْ وَتَتَّقُواْ فَإِنَّ ٱللَّهَ كَانَ بِمَا تَعۡمَلُونَ خَبِيرٗا

C.    Tafsir Ayat

            Takwil Firman Allah: وَإِنِ ٱمۡرَأَةٌ خَافَتۡ مِنۢ بَعۡلِهَا نُشُوزًا أَوۡ إِعۡرَاضٗا فَلَا جُنَاحَ عَلَيۡهِمَآ أَن يُصۡلِحَا بَيۡنَهُمَا صُلۡحٗاۚ وَٱلصُّلۡحُ خَيۡرٞۗ Dan jika seorang wanita khawatir akan nusyuz atau sikap tidak acuh dari suaminya, maka tidak mengapa bagi keduanya mengadakan perdamaian yang sebenar-benarnya, dan perdamaian itu lebih baik (bagi mereka).
            Allah memberitahukan serta mengisyaratkan ketetapan hukum-hukumnya menyangkut berbagai kondisi yang dialami oleh sepasang suami istri. Adakalanya pihak suami bersikap tidak senang kepada istrinya, adakalanya pihak suami serasi dengan istrinya, dan adakalanya pihak suami ingin bercerai dengan istrinya.
            Keadaan pertama terjadi apabila pihak istri merasa khawatir terhadap suaminya, bila si suami merasa tidak senang kepadanya dan bersikap tidak acuh kepada dirinya. Maka dalam keadaan seperti ini pihak istri boleh menggugurkan diri dari kewajiban suaminya seluruh hak atau sebagian haknya yang menjadi tanggungn suami, seperti sandang, pangan, dan tempat tinggal serta lain-lainnya yang termasuk hak istri atas suaminya. Pihak suami boleh menerima hal tersebut dari pihak istrinya, tiada dosa bagi pihak istri memberikan hal itu kepada suaminya, tidak (pula) penerimaan pihak suami dari pihak istrinya akan itu.[30]
            Firman Allah وَإِنِ ٱمۡرَأَةٌ  dalam bentuk rafa’ (dhammah), oleh fi’il (kata kerja) setelahnya, dan kata خَافَتۡ berarti khawatir, adapun yang bermakna yakin adalah salah. Az-Zajjaj berkata, “Artinya adalah apabila seorang wanita khawatir akan nusyuz dari suaminya” ia melanjutkan “perbedaan antara nusyuz dan sikap tidak acuh adalah dengan cara tidak mengajaknya bicara dan tidak menemaninya”.[31]
            Abu Ja’far berkata: maksud ayat وَإِنِ ٱمۡرَأَةٌ خَافَتۡ مِنۢ بَعۡلِهَا adalah, memahami benar suaminya نُشُوزًا nusyuz, yakni bersikap egois, diktator, dan sombong. Adapun dikarenakan kebencian, adakalanya karena ketidaksukaannya terhadap beberapa faktor, diantaranya tidak cantik dan tua. أَوۡ إِعۡرَاضٗا “atau sikap tidak acuh” memalingkan wajahnya atau berpaling dari sebagian manfaat yang dimiliki istri darinya فَلَا جُنَاحَ عَلَيۡهِمَآ أَن يُصۡلِحَا بَيۡنَهُمَا صُلۡحٗاۚ “maka tidak mengapa bagi keduanya mengadakan perdamaian yang sebenar-benarnya”. Jadi, tidak berdosa atas keduanya, yakni seorang perempuan yang khawatir akan nusyuz dan sikap acuh tak acuh dari suaminya, untuk mengadakan perdamaian yang sebenar-benarnya –karena suaminya telah melewati hari-harinya, menyia-nyiakan sebagian kewajiban istri yang sudah menjadi hak suami- meminta perdamaian atas kejadian tersebut, untuk tetap berada dalam ikatan pernikahan, menahan diri dari akad pernikahan yang mengikat keduanya. [32]
            Dalam ayat ini terdapat permasalahan fiqh, yaitu tentang pendapat orang-orang bodoh yang megatakan bahwa seorang laki-laki yang mengambil masa muda sorang wanita (kawin dengannya disaat wanita, itu masih muda), ketika telah tua, maka lelaki tersebut tidak dibolehkan menceraikannya.[33]
            Ulama berkata: “semua bentuk perdamaian dalam kejadian ini dibolehkan, yaitu dalam bentuk suami memberikan sebagian hartanya dengan konsekwensi istri harus bersabar, atau istri memberikan sebagian hartanya dengan konsekwensi suami mengutamakannya, atau suami mengutamakan dan tetap menjadikannya sebagai istrinya, atau perdamaian ini terjadi dengan kesabaran atau pengutamaan dengan tanpa memberi (sesuatupun), semua bentuk perdamaian ini boleh, dan dibolehkan juga bagi para isrti berdamai, dalam bentuk salah satu diantara keduanya memberikan sesuatu kepada yang lainnya, untuk ditukarkan dengan jatah harinya, seperti yang dilakukan oleh para istri Nabi SAW dimana pada saat itu Rasulullah SAW sedang marah kepada Shafiyah, kemudian ia (Shafiyah) berkata kepada Aisyah: “perbaikilah hubunganku dengan Rasulullah SAW, dan aku akan memberikan jatah hariku untukmu”, cerita ini disebutkan oleh Ibnu Khuwaizimandad dalam kitab al-Ahkamnya. Aisyah, ia berkata: Rasulullah SAW menemukan pada diri Shafiyyah sesuatu yang membuat Beliau marah, lalu Shafiyah berkata kepadaku (Aisyah): “Apakah engkau mau memperbaiki hubunganku dengan Rasulullah dengan imbalan aku akan memberikan jatah hariku padamu?” Aisyah berkata “kemudian aku memakai kerudung milikku yang telah dicelupkan dengan za’faran dan telah aku perciki dengan za’faran tersebut, lalu aku datang dan duduk disamping Nabi SAW, Rasul pun bersabda: “Menjauhlah dariku, sebab sekarang bukan harimu”, aku menjawab, “itulah pemberian Allah yang diberikan kepada siapa saja yang Dia kehendaki” lalu aku menceritakan tentang apa yang terjadi, dan Nabi pun rela dengan hal ini”. Dalam kejadian ini terdapat sebuah pelajaran, yaitu tidak memberikan hak yang sama terhadap para istri dan mengutamakan yang satu dengan yang lainnya itu tidak diperbolehkan kecuali dengan izin dan kerelaan dari orang yang dikalahkan dalam pengutamaan ini.[34]
            Berkata Nuhas: “Perbedaan antar nusyuz dengan i’radh yaitu bahwasannya nusyuz itu menyimpang sedangkan i’radh tidak bicara kepadanya (istri) dan tidak ramah kepadanya.[35]
            Abu Ja’far berkata, “Lafaz وَٱلصُّلۡحُ خَيۡرٞۗ dan perdamaian itu lebih baik, maksudnya melakukan perdamaian karena telah meninggalkan sebagian haknya, terus menerus melakukan hal-hal yang diharamkan, dan menahan diri dari akad pernikahan, lebih baik daripada meminta cerai dan perpisahan.[36]
            Firman Allah وَٱلصُّلۡحُ خَيۡرٞۗ adalah lafaz umum yang mempunyai pengertian perdamaian sebenarnya yang mententramkan jiwa, dan menghilangkan perselisihan secara keseluruhan, termasuk dalam pengertian ini adalah sesuatu yang dijadikan media perdamaian antara suami dan istri, yang bisa berupa harta, jima’, atau yang lainnya. Kata خَيۡرٞۗ artinya lebih baik daripada berpisah, sebab memperuncing perselisihan dan permusuhan, serta saling membenci merupakan pilar-pilar kejelekan, Rasulullah SAW bersabda tentang kebencian: “Sesungguhnya ia merupakan pengikat” yang dimaksud adalah pengikat agama dan bukan pengikat rambut. Maksudnya bahwa sesuatu yang dapat memperbaiki hubungan diantara dua orang yang berseteru adalah dengan meninggalkan kebencian.[37]
            Riwayat-riwayat yang sesuai dengan pendapat tersebut adalah:
            Dari Ibnu Sirin, ia berkata: “seorang laki-laki datang kepada Umar untuk menanyakan tentang satu ayat, lalu laki-laki itu membenci ayat tersebut. Orang lain lalu bertanya tentang ayat ini وَإِنِ ٱمۡرَأَةٌ خَافَتۡ مِنۢ بَعۡلِهَا نُشُوزًا أَوۡ إِعۡرَاضٗا Umar lalu berkata: “tentang ayat yang serupa dengan ayat ini, maka tanyakanlah” ia lalu berkata lagi: “Wanita ini mempunyai suami dan suaminya telah meninggalkannya, kemudian suaminya menikah dengan seorang gadis demi mendapatkan keturunan. Selama keduanya mengadakan perdamaian, hal itu diperbolehkan.
            Dari Ibnu Abbas, tentang firman Allah وَإِنِ ٱمۡرَأَةٌ خَافَتۡ مِنۢ بَعۡلِهَا نُشُوزًا أَوۡ إِعۡرَاضٗا ia berkata: “Seorang wanita berada disamping suaminya hingga usianya tua, lalu suaminya ingin menikah lagi, maka keduanya mengadakan perdamaian yang sebenar-benarnya, meluangkan satu hari untuk istrinya, sedangkan dua atau tiga hari untuk istri mudanya.
            Dari Aisyah, tentang firman Allah وَإِنِ ٱمۡرَأَةٌ خَافَتۡ مِنۢ بَعۡلِهَا نُشُوزًا أَوۡ إِعۡرَاضٗا فَلَا جُنَاحَ عَلَيۡهِمَآ أَن يُصۡلِحَا بَيۡنَهُمَا صُلۡحٗاۚ وَٱلصُّلۡحُ خَيۡرٞ ia berkata: “Tentang seorang wanita yang telah lama berada disisi suaminya, kemudian suaminya berlaku sombong terhadapnya, dan perempuan itu tidak mempunyai anak yang dapat menemeninya, kemudian perempuaun itu berkata: “Jangan kamu ceraikan aku, sekalipun kau halal untuk menceraikanku”.[38]
            Takwil firman Allah وَأُحۡضِرَتِ ٱلۡأَنفُسُ ٱلشُّحَّۚ وَإِن تُحۡسِنُواْ وَتَتَّقُواْ فَإِنَّ ٱللَّهَ كَانَ بِمَا تَعۡمَلُونَ خَبِيرٗا ١٢٨ walaupun manusia itu menurut tabiatnya kikir. Dan jika kamu bergaul dengan isterimu secara baik dan memelihara dirimu (dari nusyuz dan sikap tak acuh), maka sesungguhnya Allah adalah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan.
            Firman Allah وَأُحۡضِرَتِ ٱلۡأَنفُسُ ٱلشُّحَّۚ pernyataan ini merupakan berita yang mengabarkan bahwa kikir terdapat pada setiap orang, sebab manusia diciptakan dengan tabiat kikir sehingga seorang mampu mengatasi sifat kikir dalam dirinya. Ibnu Jubair berkata: “Kekikiran disini berasal dari pihak suami dan juga dari pihak istri”. Ibnu Athiyyah berkata: “Ini lebih bagus karena biasanya seorang istri kikir (untuk memberikan) bagian yang didapatkan dari suaminya dan biasanya seorang suami kikir untuk memberikan bagian itu kepada istri tuanya jika ia kawin lagi dengan wanita muda. Kata asy-Syuhhu lebih tepat diartikan kepada suatu kepercayaan, keinginan, harta dan lain sebagainya, sedangkan kikir dalam urusan agama dengan artian tidak melebih-lebihkannya merupakan sesuat u yang baik, sedangkan kikir dalam urusan lain maka hal itu tercela, inilah yang dikatakan oleh Allah dalam firman-Nya وَمَن يُوقَ شُحَّ نَفۡسِهِۦ  Dan siapa yang dipelihara dari kekikiran dirinya, (Q.S. al-Hasyr [59]: 09) adapun kikir dalam bentuk melarang untuk memberikan hak-hak, yang telah diatur dalam syara’, atau sesuatu yang berhubungan dengan masalah perangai, maka hal ini dinamakan dengan bakhil, dan itu tercela, jadi kebakhilan yang berujung pada akhlak yang jelek dan tanda-tanda ketercelaan adalah tidak mendatangkan apapun kecuali kehinaan.[39]
            Sebagian ahli tafsir berpendapat bahwa maksudnya adalah: “Para wanita itu kikir terhadap bagian mereka, baik bagian pada diri suami mereka maupun harta mereka”
            Riwayat yang sesuai dengan pendapat tersebut adalah:
            Dari sa’id bin Jubair, tentang ayat ini وَأُحۡضِرَتِ ٱلۡأَنفُسُ ٱلشُّحَّۚ ia berkata: “Perempuan yang kikir atas bagian yang telah diberikan suaminya, baik bagian diri suaminya maupun bagian hartanya”.[40]
            Sebagian lain berpendapat bahwa maksudnya adalah: “Setiap individu, baik laki-laki maupun perempuan, pasti bersikap kikir dengan hak yang menjadi miliknya”.
            Riwayat yang sesuai dengan pendapat tersebut adalah:
            Ibnu Wahab berkata: Aku mendengar Zaid berkata tentang firman Allah وَأُحۡضِرَتِ ٱلۡأَنفُسُ ٱلشُّحَّۚ ia berkata: “tidaklah senang untuk memberikan sedikit pun, lalu dibolehkan, dan tidak senang untuk membagi harta dengan orang lian, lalu bersimpati terhadapnya”.[41]
            Firman Allah وَإِن تُحۡسِنُواْ وَتَتَّقُواْ فَإِنَّ ٱللَّهَ كَانَ بِمَا تَعۡمَلُونَ خَبِيرٗا Dan jika kamu bergaul dengan isterimu secara baik dan memelihara dirimu (dari nusyuz dan sikap tak acuh), maka sesungguhnya Allah adalah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan.
            Jika kalian sabar menahan apa yang tidak kalian sukai dari mereka dan kalian tetap membagi giliran kepada mereka sama dengan istri kalian yang lainnya, maka sesungguhnya Allah maha mengetahui hal tersebut, dan kelak Dia akan memberikan kepada kalian balasan pahala yang berlimpah atas sikap kalian yang bijak ini.[42]

D.    Istinbat Hukum dari Ayat Tersebut

            Pada ayat ini, Allah mengkabarkan hukum-hukum yang dapat dijadikan fatwa bagi perempuan, yaitu:
  1. Perbaikan keadaan nusyuz atau i’rad suami terhadap istri. I’rad yaitu suami memalingkan wajahnya atau memalingkan manfaat-manfaat yang dahulu didapatkan istri seperti mengurangi berbicara dengan istri atau kurang tertarik karena tua atau cacat atau cacat dari lahir atau bosan.
  2. Perbaikan keadaan dengan berdamai dengan cara meninggalkannya beberapa hari, sebagaimana yang dikerjakan Saudah kepada Rasulullah SAW. Atau meletakkan sebagian kewajibannya dari nafkah atau sandang atau hibahkan untuknya sebagian dari maharnya atau berikan dia harta agar tetap bersamanya.
            Firman Allah وَٱلصُّلۡحُ خَيۡرٞۗ , menunjukkan bahwa segala perdamaian pada masalah ini hukumnya mubah dengan mengasihi salah seorang dari keduanya akan harta atau meniggalkan hak istri dari haknya pada istirahat malamnya secara mutlak atau meniggalkan haknya dalam waktu yang lama.
            Firman Allah وَإِن تُحۡسِنُواْ وَتَتَّقُواْ , menunjukkan bahwa ketetapan bagi para suami atas istrinya yang kikir sebagai akibat karena tidak bergaul dengan baik, jika para suami bergaul dan memelihara diri (dari nusyuz dan i’rad) dalam bergaul dengan istri pada pendirinamu atas kalian bersama kebencianmu bagi sahabatnya (sifat yang tidak disukai) dan waspada kedzaliman mereka maka yang demikian itu lebih baik bagimu.[43]






BAB III
PENUTUP

A.    Kesimpulan

-          Berdasarkan keterangan para Mufasir diatas mengenai surah An-Nisa ayat 34 dapat ditarik kesimpulan bahwasanya melalui firman-Nya Allah telah memberikan solusi atau perintah terhadap para suami  jika sang istri mulai menampakkan nusyuznya dengan tiga tahap atau cara dalam menghadapi ketidaktaatannya tersebut. Tahap pertama yakni dengan menasehatinya agar kembali taat kepada perintah Allah dengan memenuhi dan memuliakan hak suaminya serta mengingatkannya untuk menunaikan kewajibannya sebagai istri dan apabila istrinya telah kembali taat kepada Allah maka suami dilarang mencari-cari kesalahan istri dan melarang suami menzhalimi istrinya. Akan tetapi jika istri masih belum taat kepada Allah ketika telah dinasehati, maka pisahkan dari tempat tidurnya. Akan tetapi ketika cara ini sudah dilakukan namun istri masih membangkang terhadap suaminya, maka Allah mempersilahkan suami untuk memukul istrinya dengan catatan memukul dengan tidak menyebabkan luka atau meninggalkan bekas, hal itu dikarenakan pukulan tersebut dalam rangka mendidik atau memberi peringatan dengan tujuan agar istri sadar dan kembali taat kepada Allah dan suaminya.
-          Kesimpulan dari penafsiran surah An-Nisa ayat 128 ialah jika istri khawatir akan nusyuz yang datang dari suaminya maka Allah membolehkan salah satu diantara mereka untuk melakukan perdamaian dengan cara mengikhlaskan atau salah satu diantara mereka agar mengalah akan sebagian hak dan kewajiban salah satu diantara keduanya untuk digugurkan dengan tujuan untuk mempertahankan keutuhan rumah tangga, atau demi menghindari terjadinya perceraian. Karena perdamaian dengan cara apapun dibolehkan demi menghindari terjadinya perceraian.

 

 

DAFTAR PUSTAKA

            ‘Arabi, Abu Bakar Muhammad bin Abdillah Ibnu. T.th.t. Ahkam al-Qur’an. Beirut: Dar Al Kotob al-Ilmiyah.
            Katsir, ‘Amaduddin Abul Fida’ Isma’il bin ‘Umar Ibnu. 2012.  Tafsir al-Qur’an al-‘Adzim. Beirut: Dar Al Kotob al-Ilmiyah.
            Qurthuby, Al, Abi Abdillah Muhammad bin Ahmad al-Anshori. 1994.  al-Jami’ li Ahkam al-Qur’an. Kairo: Dar El Hadits.
            Syawkani, Al, Muhammad bin ‘Ali. 2007. Fath-hul Qadiir al-Jaami’ Bayna Fannay ar-Riwaayah Wa ad-Diraayah Min ‘Ilm at-Tafsiir. Kairo: Dar El Hadits.
            Thabari, Al, Abi Ja’far Muhammad bin Jarir. 2001. Tafsir al-Thabari: Jami’ al-Bayan ‘an Ta’wil Ayi al-Qur’an. Kairo: Dar El Hijr.
            Zuhaily, Al, Wahbah. 2009. al-Tafsir al-Munir fi al-Aqidah wa al-Syari’ah wa al-Minhaj. Beirut: Dar El Fikr.


                [1] Wahbah al-Zuhaily, al-Tafsir al-Munir fi al-Aqidah wa al-Syari’ah wa al-Minhaj, (Beirut: Dar El Fikr, 2009), Jilid 3, h. 57.
                [2] Wahbah al-Zuhaily, al-Tafsir al-Munir fi al-Aqidah wa al-Syari’ah wa al-Minhaj, Jilid 3, h. 56.
                [3] Abi Ja’far Muhammad bin Jarir al-Thabari, Tafsir al-Thabari: Jami’ al-Bayan ‘an Ta’wil Ayi al-Qur’an, (Kairo: Dar El Hijr, 2001), Jilid 6, h. 697.
                [4] Abi Abdillah Muhammad bin Ahmad al-Anshori al-Qurthuby, al-Jami’ li Ahkam al-Qur’an, (Kairo: Dar El Hadits, 2010), Jilid 3, h. 154.
                [5] ‘Amaduddin Abul Fida’ Isma’il bin ‘Umar Ibnu Katsir, Tafsir al-Qur’an al-‘Adzim, (Beirut: Dar Al Kotob al-Ilmiyah, 2012), Jilid 1, h. 446. Lihat pula Abu Bakar Muhammad bin Abdillah Ibnu ‘Arabi, Ahkam al-Qur’an, (Beirut: Dar Al Kotob al-Ilmiyah, t.th.t), Jilid 1, h. 532.
                [6] Muhammad bin ‘Ali al-Syawkani, Fath-hul Qadiir al-Jaami’ Bayna Fannay ar-Riwaayah Wa ad-Diraayah Min ‘Ilm at-Tafsiir, (Kairo: Dar El Hadits, 2007), Jilid 1, h. 618.
                [7] Abi Ja’far Muhammad bin Jarir al-Thabari, Tafsir al-Thabari: Jami’ al-Bayan ‘an Ta’wil Ayi al-Qur’an, Jilid 6, h. 697.
                [8] Abi Abdillah Muhammad bin Ahmad al-Anshori al-Qurthuby, al-Jami’ li Ahkam al-Qur’an, Jilid 3, h. 154.
                [9] Wahbah al-Zuhaily, al-Tafsir al-Munir fi al-Aqidah wa al-Syari’ah wa al-Minhaj, Jilid 3, h. 59.
                [10] Abi Ja’far Muhammad bin Jarir al-Thabari, Tafsir al-Thabari: Jami’ al-Bayan ‘an Ta’wil Ayi al-Qur’an, Jilid 6, h. 698-699.
                [11] Abu Bakar Muhammad bin Abdillah Ibnu ‘Arabi, Ahkam al-Qur’an, Jilid 1, h. 532.
                [12] Wahbah al-Zuhaily, al-Tafsir al-Munir fi al-Aqidah wa al-Syari’ah wa al-Minhaj, Jilid 3, h. 59.
                [13] Abi Ja’far Muhammad bin Jarir al-Thabari, Tafsir al-Thabari: Jami’ al-Bayan ‘an Ta’wil Ayi al-Qur’an, Jilid 6, h. 700-701. Lihat pula Abu Bakar Muhammad bin Abdillah Ibnu ‘Arabi, Ahkam al-Qur’an, Jilid 1, h. 535.
                [14] Abi Ja’far Muhammad bin Jarir al-Thabari, Tafsir al-Thabari: Jami’ al-Bayan ‘an Ta’wil Ayi al-Qur’an, Jilid 6, h. 702. Lihat pula ‘Amaduddin Abul Fida’ Isma’il bin ‘Umar Ibnu Katsir, Tafsir al-Qur’an al-‘Adzim), Jilid 1, h. 447.
                [15] Abi Ja’far Muhammad bin Jarir al-Thabari, Tafsir al-Thabari: Jami’ al-Bayan ‘an Ta’wil Ayi al-Qur’an, Jilid 6, h. 704-705.
                [16] Abi Ja’far Muhammad bin Jarir al-Thabari, Tafsir al-Thabari: Jami’ al-Bayan ‘an Ta’wil Ayi al-Qur’an, Jilid 6, h. 705-706.
                [17] Abi Abdillah Muhammad bin Ahmad al-Anshori al-Qurthuby, al-Jami’ li Ahkam al-Qur’an, Jilid 3, h. 155
                [18] Abu Bakar Muhammad bin Abdillah Ibnu ‘Arabi, Ahkam al-Qur’an, Jilid 1, h. 533.
                [19] Abi Abdillah Muhammad bin Ahmad al-Anshori al-Qurthuby, al-Jami’ li Ahkam al-Qur’an, Jilid 3, h. 156. Lihat pula ‘Amaduddin Abul Fida’ Isma’il bin ‘Umar Ibnu Katsir, Tafsir al-Qur’an al-‘Adzim), Jilid 1, h. 447.
                [20] Abi Ja’far Muhammad bin Jarir al-Thabari, Tafsir al-Thabari: Jami’ al-Bayan ‘an Ta’wil Ayi al-Qur’an, Jilid 6, h. 710.
                [21] Wahbah al-Zuhaily, al-Tafsir al-Munir fi al-Aqidah wa al-Syari’ah wa al-Minhaj, Jilid 3, h. 60.
                [22] Abi Abdillah Muhammad bin Ahmad al-Anshori al-Qurthuby, al-Jami’ li Ahkam al-Qur’an, Jilid 3, h. 156. Lihat pula ‘Amaduddin Abul Fida’ Isma’il bin ‘Umar Ibnu Katsir, Tafsir al-Qur’an al-‘Adzim), Jilid 1, h. 447. Lihat pula Wahbah al-Zuhaily, al-Tafsir al-Munir fi al-Aqidah wa al-Syari’ah wa al-Minhaj, Jilid 3, h. 60. Lihat pula Abu Bakar Muhammad bin Abdillah Ibnu ‘Arabi, Ahkam al-Qur’an, Jilid 1, h. 535.
                [23] Abi Ja’far Muhammad bin Jarir al-Thabari, Tafsir al-Thabari: Jami’ al-Bayan ‘an Ta’wil Ayi al-Qur’an, Jilid 6, h. 710-711.
                [24] Abi Ja’far Muhammad bin Jarir al-Thabari, Tafsir al-Thabari: Jami’ al-Bayan ‘an Ta’wil Ayi al-Qur’an, Jilid 6, h. 713.
                [25] Muhammad bin ‘Ali al-Syawkani, Fath-hul Qadiir al-Jaami’ Bayna Fannay ar-Riwaayah Wa ad-Diraayah Min ‘Ilm at-Tafsiir, Jilid 1, h. 618.
                [26] Abi Ja’far Muhammad bin Jarir al-Thabari, Tafsir al-Thabari: Jami’ al-Bayan ‘an Ta’wil Ayi al-Qur’an, Jilid 6, h. 714.
                [27] Wahbah al-Zuhaily, al-Tafsir al-Munir fi al-Aqidah wa al-Syari’ah wa al-Minhaj, Jilid 3, h. 64.
                [28] Abi Abdillah Muhammad bin Ahmad al-Anshori al-Qurthuby, al-Jami’ li Ahkam al-Qur’an, Jilid 3, h. 351. Lihat pula Wahbah al-Zuhaily, al-Tafsir al-Munir fi al-Aqidah wa al-Syari’ah wa al-Minhaj, Jilid 3, h. 303. Lihat pula ‘Amaduddin Abul Fida’ Isma’il bin ‘Umar Ibnu Katsir, Tafsir al-Qur’an al-‘Adzim), Jilid 1, h. 510. Lihat pula Muhammad bin ‘Ali al-Syawkani, Fath-hul Qadiir al-Jaami’ Bayna Fannay ar-Riwaayah Wa ad-Diraayah Min ‘Ilm at-Tafsiir, Jilid 1, h. 696.
                [29] Wahbah al-Zuhaily, al-Tafsir al-Munir fi al-Aqidah wa al-Syari’ah wa al-Minhaj, Jilid 3, h. 301.
                [30] ‘Amaduddin Abul Fida’ Isma’il bin ‘Umar Ibnu Katsir, Tafsir al-Qur’an al-‘Adzim), Jilid 1, h. 510.
                [31] Abi Abdillah Muhammad bin Ahmad al-Anshori al-Qurthuby, al-Jami’ li Ahkam al-Qur’an, Jilid 3, h. 350
                [32] Abi Ja’far Muhammad bin Jarir al-Thabari, Tafsir al-Thabari: Jami’ al-Bayan ‘an Ta’wil Ayi al-Qur’an, Jilid 7, h. 548-549.
                [33] Abi Abdillah Muhammad bin Ahmad al-Anshori al-Qurthuby, al-Jami’ li Ahkam al-Qur’an, Jilid 3, h. 351
                [34] Abi Abdillah Muhammad bin Ahmad al-Anshori al-Qurthuby, al-Jami’ li Ahkam al-Qur’an, Jilid 3, h. 352.
                [35] Muhammad bin ‘Ali al-Syawkani, Fath-hul Qadiir al-Jaami’ Bayna Fannay ar-Riwaayah Wa ad-Diraayah Min ‘Ilm at-Tafsiir, Jilid 1, h. 694.
                [36] Abi Ja’far Muhammad bin Jarir al-Thabari, Tafsir al-Thabari: Jami’ al-Bayan ‘an Ta’wil Ayi al-Qur’an, Jilid 7, h. 549.
                [37] Abi Abdillah Muhammad bin Ahmad al-Anshori al-Qurthuby, al-Jami’ li Ahkam al-Qur’an, Jilid 3, h. 353.
                [38] Abi Ja’far Muhammad bin Jarir al-Thabari, Tafsir al-Thabari: Jami’ al-Bayan ‘an Ta’wil Ayi al-Qur’an, Jilid 7, h. 550-552.
                [39] Abi Abdillah Muhammad bin Ahmad al-Anshori al-Qurthuby, al-Jami’ li Ahkam al-Qur’an, Jilid 3, h. 353.
                [40] Abi Ja’far Muhammad bin Jarir al-Thabari, Tafsir al-Thabari: Jami’ al-Bayan ‘an Ta’wil Ayi al-Qur’an, Jilid 7, h. 561-562.
                [41] Abi Ja’far Muhammad bin Jarir al-Thabari, Tafsir al-Thabari: Jami’ al-Bayan ‘an Ta’wil Ayi al-Qur’an, Jilid 7, h. 564.
                [42] ‘Amaduddin Abul Fida’ Isma’il bin ‘Umar Ibnu Katsir, Tafsir al-Qur’an al-‘Adzim), Jilid 1, h. 512.
                [43] Wahbah al-Zuhaily, al-Tafsir al-Munir fi al-Aqidah wa al-Syari’ah wa al-Minhaj, Jilid 3, h. 310-312.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar