Rabu, 04 April 2018

Ringkasan Buku Ushul Fiqh karya Prof. Dr. Satria Effendi



BAB I
PENDAHULUAN

A.   Pengertian Ushul Fiqh

1.      Definisi Ushul Fiqh Dilihat dari Sisi Dua Kata yang Membentuknya
Kata al-ushul, adalah jama­­­k (plural) dari kata al-ashl, menurut bahasa berarti landasan tempat membangun sesuatu. Menurut istilah, seperti dikemukakan Wahbah az-Zuhaili yaitu bermakna dalil, bermakna kaidah, bermakna ar-rajih, bermakna asal, bermakna sesuatu yang diyakini.
Pengertian al-ashlu bila dihubungkan dengan kata fiqh maka bermakna al-dalil. Dalam pengertian ini, maka kata Ushul al-Fiqh berarti dalil-dalil fiqh, seperti Al-Qur’an, sunnah, ijma’, qiyas dan lain-lain.
Kata al-Fiqh menurut bahasa berarti pemahaman. Secara istilah kata al-Fiqh berarti “Pengetahuan diri seseorang tentang hak dan kewajiban dari segi amal dan perbuatan”.
Demikianlah pengertian dari masing-masing kata tersebut. Seperti dikemukakan diatas, yang dimaksud dengan kata al-ashl disini adalah dengan makna dalil. Atas dasar itu, istilah Ushul Fiqh berarti dalil-dalil fiqh, seperti Al-Qur’an, Sunnah, ijma’, qiyas dan lain-lain.
2.      Definisi Ushul al-Fiqh sebagai Satu Disiplin Ilmu
Abdullah bin Umar al-Baidawi (w. 685 H) mendefinisikan ushul al-fiqh sebagai “Pengetahuan tentang dalil-dalil fiqh secara global, cara mengistinbatkann hukum dari dalil-dalil itu, dan tentang hal ihwal pelaku istinbat”.
Berbagai hal yang menjadi pembahasan seperti yang ditunjukkan oleh definisi tersebut adalah      :
a.       Tentang dalil-dalil fiqh secara global
Kata al-dalil secara etimologis berarti “sesuatu yang memberi petunjuk kepada suatu hal lain”.
Dalil itu sendiri terdiri dari dua macam, dalil ijmali (global) dan dalil tafsili (terinci).
Pengertian dalil ijmali dalam konteks ayat-ayat hukum dalam Al-Qur’an dari segi terinci dan tidak terincinya; Sementara dalam konteks pembicaraan tentang kaidah-kaidah umum ushul fiqh adalah dalil atau kaidah yang bersifat umum yang tidak menunjukkan sesuatu hukum pada masalah tertentu secara langsung.
Pengertian dalil tafsili yaitu tentang dalil-dalil yang disepakati, seperti Al-Qur’an, Sunnah, ijma’, qiyas dan dalil-dalil yang tidak disepakati, misalnya: istihsan, istislah (maslahah mursalah), syar’u man qoblana, fartwa sahabat dan ‘urf.
b.      Tentang cara mengistinbatkan hukum dari dalil-dalilnya
Metode ini khusus membicarakan metode istinbat bilamana dalam pandangan mujtahid terjadi pertentangan antara satu dalil dengan dalil yang lain.
c.       Tentang syarat-syarat yang harus dipenuhi oleh seorang yang akan melakukan ijtihad, tentang ijtihad itu sendiri dan hal-hal yang menjadi lapangannya.

B.    Objek Kajian Ushul Fiqh dan Fiqh

1.       Objek Kajian Ushul Fiqh
Abdullah bin Umar al-Baidlawi mengemukakan 3 hal pokok dalam pembahasan ushul fiqh yaitu tentang sumber dan dalil hukum, tentang metode istinbat, dan tentang ijtihad. Al-Ghazali menyebutkan 4 bagian objek pembahasan ushul fiqh yaitu: Pembahasan tentang hukum syara dan yang berhubungan dengannya, pembahasan tentang sumber-sumber dan dalil-dalil hukum, pembahasan tentang cara mengistinbatkan hukum dari sumber-sumber dan dalil-dalil itu, pembahasan tentang ijtihad; Wahbah az-Zuhaili menjelaskan bahwa inti dari objek kajian ushul fiqh ada 2 hal, yaitu dalil-dalil secara global dan tentang al-ahkam.
2.      Objek Kajian Fiqh
Objek kajian fiqh adalah satu persatu dalil dalam Al-Qur’an dan Sunnah dalam kaitannya dengan perbuatan mukalaf, dengan menggunakan kaidah-kaidah.

C.   Manfaat Mempelajari Ushul Fiqh

Di bawah ini dikemukakan beberapa kegunaan penting bagi studi ushul fiqh :
1.      Memungkinkan untuk mengetahui dasar-dasar para mujtahid masa silam dalam membentuk pendapat fiqhnya.
2.      Memperoleh kemampuan untuk memahami ayat-ayat hukum dalam al-Qur’an dan hadits-hadits hukum dalam Sunnah Rasulullah, kemudian mengistinbatkan hukum dari dua sumber tersebut.
3.      Seseorang akan mampu secara benar dan lebih baik melakukan muqaranat al-mazahib al-fiqhiyah, studi komparatif antar pendapat ulama fiqh dari berbagai madzhab.

D.   Sejarah Perkembangan Ushul Fiqh

  1. Ushul Fiqh Sebelum Dibukukan
a.       Masa Sahabat
Menurut Abu Zahrah, ushul fiqh telah muncul berbarengan dengan fiqh karena fiqh tidak akan terwujud tanpa ada metode istinbat, dan metode istinbat itulah sebagai inti dari ushul fiqh. Fiqh sebagai produk ijtihad mulai muncul pada masa sahabat. Meskipun ushul fiqh belum dirumuskan dalam satu disiplin ilmu merelka telah menggunakan kaidah-kaidahnya karena mereka mengikuti langsung praktik-praktik tasyri’ secara langsung dari Rasulullah dan kemampuan mereka berbahasa arab membuat mereka memahami teks-teks al-Qur’an dan melakukan qiyas sebagai pengembangan hukum lewat subtansinya. Jika mereka tidak menemukan pada kedua sumber itu maka mereka melakukan ijtihad, baik perorangan maupun mengumpulkan sahabat lain untuk bermusyawarah dan hasil kesepakatan mereka dikenal dengan ijma sahabat. Disamping berijtihad menggunakan metode qiyas mereka juga menggunakan mashlahah mursalah seperti mengumpulkan al-Qur’an dalam satu mushaf.
b.      Masa Tabiin
Pada masa ini banyak para tabi’in hasil didikan para sahabat yang mengkhususkan diri untuk berijtihad, antara lain Said ibn Musayyab (15H – 94H) di Madinah, dan Alqamah ibn Qays (w. 62 H), serta Ibrahim al-Nakha’I (w. 96 H) di Irak.
c.       Masa Imam-imam Mujtahid sebelum Imam Syafi’i
Pada masa ini terdapat dua Mujtahid ternama yaitu Imam Abu Hanifah an-Nu’man (w. 150 H), instinbatnya berpegang kepada Kitabullah, Sunnah Rasulullah, Ijma’ Sahabat. Dan dalam berijtihad Imam Abu Hanifah terkenal banyak melakukan qiyas dan istihsan; kedua Imam Malik bin Anas (w. 178 H), dalam berijtihad ia tetap mempertahankan praktik penduduk Madinah sebgai sumber hukum. Sampai masa Imam Malik ushul fiqh belum dibukukan secara lebih lengkap dan sistematis.
2.      Pembukuan Ushul Fiqh
Pada penghujung abad kedua dan awal abad ketiga Imam Muhammad bin Idris al-Syafi’I (150 H – 204 H) tampil berperan dalam meramu, mensistemisasi dan membukukan Ushul Fiqh. Munculnya buku ar-Risalah karya Imam as-Syafi’I merupakan fase awal dari perkembangan ushul fiqh sebagai satu disiplin ilmu.
3.      Ushul Fiqh Pasca Syafi’i
Setelah kitab ar-Risalah, masih pada abad ketiga bermunculan karya-karya ilmiah bidang ini seperti khabar al-wahid karya Isa ibnu Aban ibnu Shadaqah (w. 220 H) dari kalangan Hanafiyah, al-Nasikh wa al-Mansukh oleh Ahmad bin Hambal (w.241 H), dan Ibtal al-qiyas oleh Daud al-zahiri (w. 270 H).
Selanjutnya, pertengahan abad keempat bermunculan buku ushul fiqh seperti Itsbat al-qiyas oleh Abu al-Hasan al-Asy’ari (w. 324 H) dan buku al-Jadal fi ushul al-fiqh oleh Abu Mansur al-Maturidi (w. 334 H).
4.      Aliran-aliran Ushul Fiqh
Beberapa aliran yang dikenal dalam ushul fiqh yaitu aliran Jumhur, aliran Fuqaha, dan aliran yang menggabungkan keduanya. Pembagian kepada tiga aliran ini lebih banyak berkonotasi kepada sistem penulisan Ushul Fiqh, bukan kepada perbedaan-perbedaan secara substansial
a.       Aliran Jumhur Ulama Ushul Fiqh
Aliran ini disebut juga aliran Syafi’iyah atau aliran mutakallimin. Disebut aliran Syafi’iyah karena yang pertama mewujudkan cara penulisan ushul fiqh seperti ini adalah Imam Syafi’i. Dikenal dengan aliran mutakallimin karena para pakar dibidang ini adalah kalangan ahli ilmu kalam seperti Imam al-Juwaini, al-Qadi Abdul Jabbar dan al-Imam al-Ghazali.
Beberapa ciri aliran ini antara lain adalah bahwa pembahasan ushul fiqh disajikan secara rasional, filosofis, teoritis, tanpa disertai contoh, dan murni tanpa mengacu kepada madzhab fiqh tertentu yang sudah ada.
b.      Aliran Fuqaha atau Aliran Hanafiyah
Disebut aliran fuqaha karena dalam sistem penulisannya banyak diwarnai oleh contoh-contoh fiqh. Dalam merumuskan kaidah ushul fiqh mereka berpedoman kepada pendapat-pendapat fiqh Imam Abu Hanifah dan pendapat para muridnya serta melengkapinya dengan contoh-contoh.
c.       Aliran yang Menggabungkan antara Dua Aliran di Atas
Aliran ini muncul karena dalam penulisan ushul fiqh mereka menggabungkan antara dua aliran diatas. Misalnya buku Badi’ al-Nizam karya Ahmad bin ‘Ali al-Sa’ati (w. 694 H) ahli ushul fiqh dari kalangan Hanafiyah yang menggabungkan buku Ushul al-Bazdawi dari aliran Hanafiyah dan al-Ihkam fi Ushul al-Ahkam dari aliran Syafi’iyah.

E.    Karya-Karya Dalam Bidang Ushul Fiqh

Kitab-kitab Ushul Fiqh yang disusun menurut aliran Jumhur diantaranya adalah         :
1.      Ar-Risalah, disusun oleh Muhammad bin Idris al-Syafi’I (w. 204 H).
2.      Al-Burhan fi Ushul al-Fiqh, disusun oleh Abu al-Ma’ali Abd Malik ibn Abdillah al-Juwaini yang bergelar Imam al-Haramain.
3.      Al-Mughni fi Ahwab al-Tawhud wa al-‘adl, disusun oleh al-Qadli Abdul Jabbar (w. 415 H).
4.      Al-Mu’tamad fi Ushul al-Fiqh, oleh Abu al-Husein al-Bashri (w. 436 H).
5.      Al-Mustashfa min ‘Ilm al-Ushul, oleh Abu Hamid al-Ghazali (w. 505 H).
6.      Al-Mahsul fi ‘Ilm al-Ushul, oleh Fakhr al-Dien al-Razi (w. 606 H).
7.      Al-Ihkam fi Ushul al-Ahkam, oleh Saif al-Dien al-Amidi (w. 631 H).
8.      Minhaj al-Wusul fi ‘Ilm al-Ushul, oleh al-Qadi al-Baidawi (w. 685 H).
9.      Al-‘Uddah fi Ushul al-Fiqh, oleh Abu Ya’la al-Farra (w. 458 H).
10.  Raudhah al-Nazir wa Jannah al-Munazir, oleh Muwaffaq al-Dien ibn Qudamah al-Maqdisi (w. 620 H).
11.  Al Musawwah fi Ushul al-Fiqh, oleh Majd al-Dien Abu al-Barakat al-Harrani (w. 652 H).
12.  A’lam al-Muwaqqi’in ‘an Rabb al-‘Alamin, oleh Syams al-Dien Abu Bakr yang terkenal dengan Ibnu Qayyin al0Jawziyah (w. 751 H).
13.  Mukhtashar Muntaha al-Sul wa al-Amal, Oleh Jamal al-Dien Ibnu al-Hajib (w. 646 H).
Sedangkan kitab-kitab Ushul Fiqh yang disusun menurut aliran Hanfiyah antara lain :
  1. Taqwim al-Adillah, karya Imam Abu Zaid al-Dabbusi (w. 432 H).
  2. Ushul al-Syarakhshi, karya Imam Muhammad ibn Ahmad Syams al-Aimmah al-Sarakhsi (w. 483 H).
  3. Kanz al-Wushul ila Ma’rifat al-Ushul, karya Fakhr al-Islam al-Bazdawi (w. 482 H).
  4. Manar al-Anwar, Oleh Abu al-Barakat Abdullah Ibnu Muhammad al-Nasafi (w. 710 H)
Kitab-kitab ushul fiqh yang disusun dengan menggabungkan aliran Jumhur dengan aliran Hanafiyah antara lain :
  1. Jami’u al-Jawami’, karya Taj al-Dien Ibnu al-Sibki (w. 771 H).
  2. Al-Tahrir fi Ushul al-Fiqh, karya Kamal al-Dien Ibn al-Humam (w. 861 H).
  3. Musallam al-Subut, karya Muhibbullah Ibn Abd al-Syukur (w. 1119 H).
  4. Al-Muwafaqat fi Ushul al-Syari’ah, karya Abu Ishaq al-Syatibi (w. 790 H).





BAB II
HUKUM SYARA’

A.   Hukum Syara’

1.      Pengertian Hukum Syara’
Secara etimologi kata hukum berarti “mencegah” atau “memutuskan”. Menurut terminologi Ushul Fiqh hukum berarti “Kalam Allah yang mengatur amal perbuatan orang mukallaf, baik berupa iqtidla atau takhyir atau wad’I”.
            Ayat-ayat atau hadits-hadits hukum dapat dikategorikan kepada beberapa macam;
a.       Perintah untuk melakukan suatu perbuatan.
b.      Larangan untuk melakukan suatu perbuatan.
c.       Anjuran untuk melakukan suatu perbuatan.
d.      Anjuran untuk meninggalkan suatu perbuatan.
e.       Memberi kebebasan untuk memilih antara melakukan atau  meninggalkan perbuatan yang mubah.
f.        Menetapkan sesuatu sebagai sebab.
g.      Menetapkan sesuatu sebagai syarat.
h.      Menetapkan sesuatu sebagai mani’.
i.        Menetapkan sesuatu sebagai kriteria sah dan batal
j.        Menetapkan sesuatu sebagai kriteria ‘azimah dan rukhsah
Dalam pembagian diatas, perbuatan yang diperintahkan sifatnya wajib, perbuatan yang dilarang sifatnya haram, yang dianjurkan sifatnya mandub, yang dianjurkan untuk ditinggalkan sifatnya makruh dan yang dibebaskan untuk memilih sifatnya mubah.
2.      Pembagian Hukum Syara’
Secara garis besar para ulama ushul fiqh membagi hukum kepada dua macam, yaitu hukum taklifi dan hukum wadh’i. Hukum taklifi menurut ahli ushul fiqh adalah “Ketentuan-ketentuan Allah dan Rasul-Nya yang berhubungan langsung dengan perbuatan mukallaf, baik dalam bentuk perintah, anjuran untuk melakukan, larangan, anjuran untuk tidak melakukan, atau dalam bentuk memberi kebebasan memilih untuk berbuat atau tidak berbuat”. Sedangkan yang dimaksud wadh’I adalah “Ketentuan-ketentuan hukum yang mengatur sebab, syarat, mani’”.
a.       Hukum Taklifi
Teks ayat hukum dan hadits hukum yang berhubungan dengan hukum taklifi terbagi menjadi lima bentuk yaitu Wajib, Mandub, Haram, Makruh, Mubah.
1)      Wajib
a.       Pembagian Wajib
Secara etimologi kata wajib berarti tetap atau pasti. Secara terminologi menurut Abdul Karim Zaidan berarti “Sesuatu yang diperintahkan oleh Allah dan Rasul-Nya untuk dilaksanakan akan mendapat pahala dari Allah dan bila tidak dilaksanakan diancam dengan dosa.
b.      Pembagian Wajib
Dilihat dari segi orang yang dibebani kewajiban hukum wajib dapat dibagi menjadi dua macam yaitu :
(1)   Wajib ‘Aini
Yaitu kewajiban yang dibebankan kepada setiap orang yang sudah baligh berakal, tanpa kecuali.
(2)   Wajib Kifayah
Yaitu kewajiban yang dibebankan kepada seluruh mukalaf, namun bilamana sudah dilakukan oleh sebagian umat Islam maka kewajiban itu sudah dianggap terpenuhi sehingga orang yang tidak ikut melaksanakannya tidak lagi diwajibkan mengerjakannya.
Dilihat dari segi kandungan perintah, hukum wajib dapat dibagi menjadi dua macam :
(1)   Wajib Mu’ayyan
Yaitu suatu kewajiban dimana yang menjadi objeknya adalah tertentu tanpa pilihan.
(2)   Wajib Mukhayyar
Yaitu kewajiban dimana yang menjadi objeknya boleh dipilih antara beberapa alternatif.
Bila dilihat dari segi waktu pelaksanaannya, hukum wajib terbagi menjadi dua macam :
(1)   Wajib Mutlaq
Yaitu kewajiban yang pelaksanaanya tidak dibatasi dengan waktu tertentu.
(2)   Wajib Muaqqat
Yaitu kewajiban yang pelaksanaannya dibatasi dengan waktu tertentu.
2)      Mandub
a.       Pengertian Mandub
Kata mandub dari segi bahasa berarti “sesuatu yang dianjurkan”. Sedangkan menurut istilah, seperti yang dikemukakan oleh Abdul Karim Zaidan, adalah suatu perbuatan yang dianjurkan oleh Allah dan Rasul-Nya, dimana akan diberi pahala bagi yang melaksanakannya, namun tidak dicela orang yang tidak melaksanakannya.
b.      Pembagian Mandub
(1)   Sunnah Muakkad (yang sangat dianjurkan)
(2)   Sunnah Ghair al-Muakkad (sunnah biasa)
(3)   Sunnah al-Zawaid yaitu mengikuti kebiasaan sehari-hari Rasulullah sebagai manusia.
3)      Haram
a.       Pengertian Haram
Kata Haram secara etimologi berarti “Sesuatu yang dilarang mengerjakannya”. Secara terminologi ushul fiqh kata haram berarti sesuatu yang dilarang oleh Allah dan Rasul-Nya, dimana orang yang melanggarnya dianggap durhaka dan diancam dengan dosa, dan orang yang meninggalkannya karena menaati Allah, diberi pahala.
b.      Pembagian Haram
(1)   Al-Muharram li Dzatihi, yaitu sesuatu yang diharamkan oleh syariat karena esensinya mengandung kemudharatan bagi kehidupan manusia, dan kemudharatan itu tidak bisa terpisah dari dzatnya.
(2)   Al-Muharram li Ghairihi, yaitu sesuatu yang dilarang bukan esensinya karena secara esensial tidak mengandung kemudharatan, namun dalam kondisi tertentu, sesuatu itu dilarang karena ada pertimbangan eksternal yang akan membawa kepada sesuatu yang dilarang secara esensial.
4)      Makruh
a.       Pengertian makruh
Secara bahasa makruh berarti “Sesuatu yang dibenci”. Dalam istilah ushul fiqh kata makruh berarti sesuatu yang dianjurkan syariat untuk meninggalkannya, dimana bila ditinggalkan mendapat pujian dan apabila dilanggar tidak berdosa.
b.      Pembagian Makruh
(1)   Makruh Tahrim, yaitu sesuatu yang dilarang oleh syariat tetapi dalil yang melarang itu bersifat zhani al-wurud, tidak bersifat pasti.
(2)   Makruh Tanzih, yaitu sesuatu yang dianjurkan oleh syariat untuk meninggalkannya.
5)      Mubah
a.       Pengertian Mubah
Secara bahasa kata mubah berarti “Sesuatu yang dibolehkan atau diiziinkan. Menurut isltilah ushul fiqh, berarti “Sesuatu yang diberi pilih oleh syariat apakah seorang mukallaf akan melakukannya atau tidak melakukannya, dan tidak ada hubungannya dengan dosa dan pahala.
b.      Pembagian Mubah
(1)   Mubah yang berfungsi untuk mengantarkan seseorang kepada sesuatu hal yang wajib dilakukan.
(2)   Sesuatu baru dianggap mubah hukumnya bilamana dilakukan sekali-kali, tetapi haram bila terus menerus.
(3)   Sesuatu yang mubah berfungsi sebagai sarana untuk mencapai sesuatu yang mubah pula.
b.      Hukum Wadh’i
Hukum Wadh’i adalah ketentuan syariat dalam bentuk menetapkan sesuatu sebagai sebab, sebab syarat, atau sebagai mani’. Dengan demikian maka hukum wadhi’i ada tiga, yaitu    :
1)      Sebab
a.       Pengertian Sebab
Sebab menurut bahasa berarti “Sesuatu yang bisa menyampaikan seseorang kepada sesuatu yang lain”. Menurut istilah ushul fiqh, sebab berarti “Sesuatu yang dijadikan oleh syariat sebagai tanda bagi adanya hukum, dan tidak adanya sebab sebagai tanda tidak adanya hukum”.
b.      Pembagian Sebab
(1)   Sebab yang bukan merupakan perbuatan mukallaf dan ada diluar kemampuannya.
(2)   Sebab yang merupakan perbuatan mukallaf dan dalam batas kemampuannya.
2)      Syarat
a.       Pengertian Syarat
Menurut bahasa kata syarat berarti “Sesuatu yang menghendaki adanya sesuatu yang lain” atau “Sebagai tanda”. Menurut istilah ushul fiqh, syarat adalah “Sesuatu yang tergantung kepadanya ada sesuatu yang lain, dan berada diluar hakikat sesuatu itu”.
b.      Pembagian Syarat
(1)   Syarat Syar’i, yaitu syarat yang datang langsung dari syariat sendiri.
(2)   Syarat Ja’ly, yaitu syarat yang datang dari kemauan orang mukallaf itu sendiri.
3)      Mani’
a.       Pengertian Mani’
Kata mani’ secara etimologi berarti “penghalang dari sesuatu”. Secara terminologi, kata mani’ berarti “Sesuatu yang ditetapkan syariat sebagai penghalang bagi adanya hukum atau penghalang bagi berfungsinya suatu sebab”.
b.      Pembagian Mani’
(1)   Mani’ al-Hukum, yaitu sesuatu yang ditetapkan syarat sebagai penghalang bagi adanya hukum.
(2)   Mani’ al-Sabab, yaitu sesuatu yang ditetapkan syariat sebagai penghalang bagi berfungsinya suatu sebab sehingga sebab itu tidak lagi mempunyai akibat hukum.

B.    Hakim

  1. Pengertian Hakim’
Kata hakim secara etimologi berarti “Orang yang memutuskan hukum”. Dan dalam istilah fiqh kata hakim juga dipakai sebagai orang yang memutuskan hukum di pengadilan yang sama maknanya dengan qadhi. Dalam kajain ushul fiqh, kata hakim beerarti pihak penentu dan pembuat hukum syariat secara hakiki.
  1. Baik dan Buruk
Perbedaan pendapat tentang baik dan buruk dalam kajian ushul fiqh berasal dari perbedaan pendapat dikalangan ahli ilmu kalam. Hal yang dibedakan adalah tentang apakah nilai baik dan buruk suatu benda merupakan sifat esensi dari benda itu. Berikut beberapa pendapat       :
a.       Kalangan Mu’tazilah berpendapat bahwa perbuatan dapat dibagi kepada dua kategori:
(1)   Perbuatan yang sifat baik atu buruknya bersifat esensial. Menurut aliran ini, fungsi akal untuk mengetahui mana yang esensinya baik dan mana yang buruk, bukan untuk menetapkan baik dan buruk, dan fungsi wahyu untuk menginformasikan mana yang baiak dan mana yang buruk sehingga dapat memastikan apa yang telah ditemukan oleh akal.
(2)   Perbuatan-perbuatan yang tidak dapat diketahui oleh akal nilai baik dan buruknya, seperti ibadah dan cara-caranya.
b.      Kalangan mathuridiyah berpendapat bahwa sesuatu itu ada yang baik dan adapula yang buruk menurut esensinya. Menurut aliran ini, masalah dosa dan pahala mutlak hanya dapat diketahui oleh wahyu.
c.       Kalangan Asy’ariyah berpendapat bahwa tidak ada yang bersifat baik dan buruk menurut esensinya. Baik dan buruk sesuatu adalah sifat yang datang kemudian, bukan bersifat esensial. Sesuatu dikatakan baik apabila wahyu menilainya baik, begitupun sebaliknya.

C.   Mahkum Fih

1.      Pengertian Mahkum Fih
Mahkum Fih berarti “Perbuatan orang mukallaf sebagai tempat menghubungkan hukum syara’”.
2.      Syarat-syarat Mahkum Fih
a.       Perbuatan itu diketahui secara sempurna dan rinci oleh orang mukallaf sehingga dengan demikian suatu perintah, misalnya, dapat dilaksanakan secara lengkap seperti yang dikehendaki oleh Allah atau Rasul-Nya.
b.      Diketahui secara pasti oleh orang mukallaf bahwa perintah itu datang dari pihak yang berwenang membuat perintah yang dalam hal ini adalah Allah dan Rasul-Nya.
c.       Perbuatan  yang diperintahkan atau dilarang haruslah berupa perbuatan yang dalam batas kemampuan manusia untuk melakukan atau meninggalkannya.

D.   Mahkum ‘Alaih

1.      Pengertian Mahkum ‘Alaih
Mahkum ‘Alaih berarti “Orang mukallaf”.
2.      Persyaratan Mahkum A’laih
a.       Mampu memahami dalil-dalil hukum baik secara mandiri atau dengan bantuan orang lain minimal sebatas memungkinkannya untuk mengamalkan isi dari ayat atau hadits Rasulullah.
b.      Mempunyai ahliyat al-ada’, yaitu kecakapan untuk bertindak secara hukum atau memikul beban taklif.






BAB III
SUMBER dan DALIL HUKUM ISLAM

A.   Sumber dan Dalil Hukum yang Disepakati

1.      Al-Qur’an
a.       Pengertian Al-Qur’an
Al-Qur’an dalam kajian ushul fiqh merupakan objek pertama dan utama pada kegiatan penelitian dalam memecahkan suatu hukum. Al-Qur’an menurut bahasa artinya “bacaan” dan menurut istilah ushul fiqh berarti “kalam Allah yang diturunkan-Nya dengan perantaraan malaikat Jibril kepada Nabi Muhammad SAW dengan bahasa Arab serta dianggap beribadah membacanya”.
          Al-Qur’an diturunkan di Makkah, tepatnya di gua Hira pada tahun 611 M, dan berakhir di Madinah pada tahun 633 M, dalam jarak waktu kurang lebih 22 tahun beberapa bulan. Ayat yang pertama kali turun yaitu Q.S al-‘Alaq 1-5 dan yang terakhir turun yaitu Q.S al-Baqarah ayat 281.
  1. Ayat Makkiyah dan Madaniyah
Ayat-ayat yang diturunkan di Mekkah umumnya yg menjadi inti pembicaaraanya adalah masalah akidah karena tanpa itu syariat islam tidak akan diterima oleh umat yang baru saja masuk Islam seperti firman Allah dalam Q.S al-Anbiya/21 ayat 25; untuk sampai kepada akidah ayat makiyah mendorong untuk memikirkan alam nyata. Misalnya firman Allah dalam Q.S al-Ghasiyah/88 ayat 17-20; disamping itu ayat makiyah juga berbicara tentang kisah umat-umat masa lampau, seperti firman Allah dalam Q.S al-Mukminun/23 ayat 5-7; diharamkan memakan harta anak yatim, seoerti firma Allah dalam Q.S an-Nisa/4 ayat 10; larangan mubazzir seperti dalam Q.S al-Isra’/17 ayat 26; larangan mengurangi timbangan atau takaran sebagaimana firman Allah dalam Q.S Hud/11 ayat 85; larangan membuat kerusakan di Bumi, seperti dalam Q.S al-A’raf/7 ayat 56; dan ayat tentang kewajiban sholat sepeerti dalam Q.S Hud/11 ayat 114.
Ayat-ayat madaniyah yang banyak terkait dengan hukum dari berbagai aspeknya. Misalnya tentang perintah zakat, Allah berfirman dalam Q.S al-Baqarah/2 ayat 43; tentang puasa, Allah berfirman dalam Q.S al-Baqarah/2 ayat 43; tentang pengharaman riba, Allah berfirman dalam Q.S al-Baqarah/2 ayat 275; larangan memakan harta orang lain secara tidak sah, Allah berfirman dalam Q.S al-Baqarah/2 ayat 188; tentang wanita-wanita yang haram dinikahi, Allah berfirman dalam Q.S an-Nisa/4 ayat 23; mengenai talak, Allah berfirman dalam Q.S at-Thalaq/65 ayat 1; tentang warisan, Allah berfirman dalam Q.S an-Nisa/4 ayat 11-12; mengenai cara pembagian harta rampasan perang, Allah berfirman dalam Q.S al-Anfal/8 ayat 1; tentang ayat-ayat ‘uqubat, Allah berfirman dalam Q.S al-Baqaqah/2 ayat 178; tentang larangan merampok dan mengacau keamanan, Allah berfirman dalam Q.S al-Maidah/5 ayat 33; tentang peradilan, Allah berfirman dalam Q.S an-Nisa/4 ayat 58; tentang berhukum dengan hukum Allah, Allah berfirman dalam Q.S al-Maidah/5 ayat 44.
  1. Hukum-hukum yang Terkandung dalam Al-Qur’an
Al-Qur’an secara umum mengandung 3 ajaran pokok     :
1.      Ajaran-ajaran yang berhubungan dengan akidah.
2.      Ajaran-ajaran yang berhubungan dengan akhlak.
3.      Hukum-hukum amaliyah.
Abdul Wahab Khallaf memerinci macam hukum-hukum bidang mu’amalat dan jumlah ayatnya sebagai berikut            :
1.      Hukum keluarga terdiri dari 70 ayat
2.      Hukum Muamalat terdiri dari 70 ayat
3.      Hukum Jinayat terdiri dari 30 ayat
4.      Hukum al-Murafa’at (acara) terdiri dair 13 ayat
5.      Hukum ketatanegaraan terdiri dari 10 ayat
6.      Hukum antar bangsa (internasional) terdiri dari 25 ayat
7.      Hukum Ekonomi terdiri dari 10 ayat.
Dari segi rinci atau tidaknya, ayat-ayat hukum dalam Al-Qur’an, Muhammad Abu Zahrah menjelaskan sebagai berikut:
1.      Ibadah, ayat-ayat hukum mengenai ibadah dikemukakan dalam Al-Qur’an dalam bentuk mujmal (global) tanpa merinci kaifiyatnya.
2.      Kafarat, kafarat adalah semacam denda yang bermakna ibadah karena merupakan penghapus bagi sebagian dosa.
3.      Hukum Mu’amalat, dalam bidang ini Al-Qur’an hany memberikan prinsip-prinsip dasar, seperti larangan memakan harta orang lain secara tidak sah dan keharusan adanya rela sama rela dan larangan memakan riba.
4.      Hukum Keluarga, dalam bidang ini mencakup bidang rumah tangga dan mawaris.
5.      Hukum Pidana, disamping ada larangan melakukan kejahatan secara umum, bidang ini juga secara khusus menjelaskan hukum berbagai tindakan kejahatan yang bisa mengguncang bangunan masyarakat.
6.      Hukum yang mengatur hubungan penguasa dengan rakyatnya.
7.      Hukum yang mengatur tentang hubungan orang-orang islam dengan non-muslim.
2.      Sunnah Rasullah
a.       Pengertian Sunnah
Kata Sunnah secara bahasa berarti “perilaku seseorang tertentu, baik perilaku yang baik atau perilaku yang buruk”. Menurut istilah ushul fiqh, Sunnah Rasulullah berarti “Segala perilaku Rasulullah yang berhubungan dengan hukum, baik berupa ucapan, perbuatan, atau pengakuan”.
b.      Dalil Keabsahan Sunnah sebagai Sumber Hukum
Al-Qur’an memerintahkan kaum muslimin untuk menaati Rasulullah seperti dalam Q.S an-Nisa/4 ayat 59; ada juga menjelaskan bahwa pada diri Rasulullah terdapat keteladanan yang baik, sebagaimana firman Allah dalam Q.S al-Ahzab/33 ayat 21; Allah memuji Rasulullah sebaga orang yang agung akhlaknya, firman Allah dalam Q.S al-Qalam/68 ayat 4; Allah menilai orang yang menati Rasul adalah sama dengan menaati Allah, seperti dalam Q.S an-Nisa/4 ayat 80; Allah menganggap tidak ideal iman seseorang yang tidak menyerah terhadap putusan Rasulullah, sebagaimana dalam Q.S an-Nisa/4 ayat 65.
c.       Pembagian Sunnah atau Hadits
Sunnah atau hadits dari segi sanadnya atau periwatannya dalalm kajian ushul fiqh dibagi kepada dua macam, yaitu      :
1.      Hadits mutawatir ialah hadits yang diriwayatkan dari Rasulullah oleh sekelompok perawi yang menurut kebiasaan individu-individunya jauh dari kemungkinan berbuat bohong karena banyak jumlah mereka dan diketahui sifat mereka masing-masing jujur serta berjauhan tempat antara satu dan yang lainnya.
2.      Hadits ahad ialah hadits yang diriwayatkan oleh seorang atau lebih tetapi tidak sampai kebatas mutawatir. Hadits ahad terbagi atas tiga macam, yaitu  :
a.       Hadits masyhur, yaitu hadits yang pada masa sahabat diriwayatkan oleh 3 orang perawi.
b.      Hadits ‘aziz yaitu hadits yang pada satu periode diriwayatkan oleh dua orang.
c.       Hadits gharib yaitu hadits yang diriwayatkan orang perorangan pada setiap periode hadits itu dibukukan.
d.      Fungsi Sunnah Terhadap Ayat-ayat Hukum
1.      Menjelaskan isi al-Qur’an, antara lain dengan merinci ayat-ayat global.
2.      Membuat aturan tambahan yang bersifat teknis atas sesuatu kewajiban yang disebutkan pokok-pokoknya didalam al-Qur’an.
3.      Menetapkan hukum yang belum ditanggung dalam al-Qur’an.
3. Ijma’
a.       Pengertian Ijma’
Kata Ijma’ secara bahasa berarti “kebulatan tekad terhadap suatu persoalan” atau “kesepakatan tentang sesuatu masalah”. Menurut istilah ushul fiqh adalah “kesepakatan para mujtahid dari kalangan umat Islam tentang hukum syara’ pada satu masa setelah Rasulullah wafat”.
b.      Dalil Keabsahan Ijma’ Sebagai Landasan Hukum
1.      Q.S An-Nisa ayat 115. Dari ayat ini dipahami, kata Muhammad Abu Zahrah, bahwa wajib hukumnya mengikuti jalan orang-orang yang mukmin yaitu mengikuti kesepakatan mereka.
2.      Hadits Rasulullah, riwayat Abu Daud dan Tirmidzi yang artinya “Dari Ibnu Umar, Rasulullah SAW. Bersabda “Sesungguhnya Allah tidak akam mengumpulkan umatku, atau beliau berkata umat Muhammad SAW atas kesesatan”.
c.       Landasan Sanad Ijma’
1.      Ijma’ atas landasan Al-Qur’an
2.      Ijma’ atas landasan Sunnah
3.      Ijma’ atas landasan qiyas (menurut mayoritas ulama)
d.      Macam-macam Ijma’
1.      Ijma’ Sharih, yaitu kesepakatan tegas dari para mujtahid dimana masing-masing mujtahid menyatakan persetujuannya secara tegas terhadap kesimpulan itu.
2.      Ijma’ Sukuti, yaitu sebagian ulama mujtahid menyampaikan pendapatmnya, sedangkan ulama mujtahid lainnya hanya diam tanpa komentar.
4. Qiyas
a.       Pengertian Qiyas
Menurut bahasa qiyas berarti “mengukur sesuatu dengan sesuatu yang lain untuk diketahui adanya persamaan antara keduanya”. Menurut istilah ushul fiqh adalah “menghubungkan sesuatu yang tidak ada ketentuan hukumnya dengan sesuatu yang ada ketentuan hukumnya karena ada persamaan illat antara keduanya”.
b.      Dalil Keabsahan Qiyas Sebagai Landasan Hukum
1.      Q.S An-Nisa ayat 59, ayat ini menunjukkan bahwa jika ada perselisihan pendapat diantara ulama tentang hukum suatu masalah, maka jalan keluarnya dengan mengembalikannya kepada Al-Qur’an dan Sunnah Rasulullah. cara mengembalikannya dengan melakukan qiyas.
2.      Hadits yang berisi dialog antara Rasulullah dengan Mu’az bin Jabal ketika yang disebut terakhir ini dikirim menjadi hakim di Yaman.
c.       Rukun Qiyas
1.      Ashal (pokok tempat mengqiyaskan sesuatu). Beberapa syarat ashal yaitu:
a.       Hukum yang hendak dipindahkan kepada cabang masih ada pada pokok (ashal).
b.      Hukum yang terdapat pada ashal itu hendaklah hukum syara’.
c.       Hukum ashal bukan merupakan hukum pengecualian.
2.      Adanya Hukum Ashal. Syarat-syarat hukum ashal yaitu     :
a.       Hukum ashal hendanya hukum syara’ yang berhubungan dengan amal perbuatan.
b.      Hukum ashal dapat ditelusuri illat hukumnya.
c.       Hukum ashal itu bukan merupakan kekhususan Nabi Muhammad.
3.      Adanya Cabang (Far’u). Syarat-syaratnya yaitu      :
a.       Cabang tidak mempunyai ketentuan tersendiri.
b.      Illat yang terdapat pada cabang terdapat sama dengan yang terdapat pada ashal.
c.       Hukum cabang harus sama dengan hukum pokok.
4.      Adanya Illat. Syarat-syaratnya yaitu :
a.       Illat harus berupa sesuatu yang ada kesesuaiannya dengan tujuan pembentukan suatu hukum.
b.      Illat harus bersifat jelas.
c.       Illat harus berupa sesuatu yang bisa dipastikan bentuk, jarak, atau kadar timbangannya jika berupa barang yang ditimbang.
d.      Macam-macam Qiyas
Dilihat dari segi perbandingan antar illat yang terdapat ashal dan yang terdapat pada cabang illat dibagi menjadi tiga macam yaitu :
1.      Qiyas Awla, yaitu bahwa illat yang terdapat pada far’u lebih utama daripada illat yang terdapat pada ashal.
2.      Qiyas Musawi, yaitu qiyas dimana illat yang terdapat pada far’u sama bobotnya dengan yang terdapat pada ashal
3.      Qiyas al-Ada, yaitu qiyas dimana illat yang terdapat pada far’u lebih rendah bobotnya dibandingkan illat pada ashal.
Dilihat dari segi jelas atau tidak jelasnya illat sebagai landasan hukum, dibagi menjadi dua macam yaitu       :
1.      Qiyas Jali, yaitu qiyas yang didasarkan atas illat yang ditegaskan dalam Al-Qur’an dan Sunnah atau tidak disebutkan secara tegas sumbernya tetapi berdasarkan penelitian, kuat dugaan bahwa tidak ada illatnya.
2.      Qiyas Khafi, yaitu qiyas yang didasarkan atas illat yang diistinbatkan dari hukum ashal.

B.    Dalil-dalil yang Tidak Disepakati

  1. Istihsan
a.       Pengertian Istihsan
Dari segi bahasa istihsan berarti menganggap sesuatu baik, yang terambil dari kata al-husnu. Sedangkan menurut istilah ushul fiqh, terdiri dari dua definisi, pertama “memakai qiyas khafi dan meninggalkan qiyas jali karena ada petunjuk itu”. Kedua “hukum pengecualian dari kaidah-kaidah yang berlaku umum karena ada petunjuk untuk hal tersebut”.
b.      Perbedaan Pendapat Ulama Mengenai Istihsan
1)      Mazhab Hanafi, Maliki, dan Mazhab Hanbali berpendapat bahwa istihsan dapat dijadikan landasan dalam menetapkan hukum dengan beberapa pendapat diantaranya firman Allah dalam Q.S az-Zumar/39 ayat 18 dan sabda Rasulullah yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad, yang artinya “Apa yang dianggap baik oleh orang-orang muslim, adalah juga baik disisi Allah.
2)      Imam Muhammad bin Idris al-Syafi’I (w. 204 H), tidak menerima istihsan sebagai landasan hukum. Menurutnya, barangsiapa yang menetapkan hukum berlandaskan istihsan sama dengan membuat syariat baru dengan hawa nafsu.
  1. Maslahah Mursalah
a.       Pengertian Maslahah Mursalah
Kata maslahah menurut bahasa berarti “manfaat”, dan kata mursalah berarti “lepas”. Gabungan dari dua kata tersebut yaitu maslahah mursalah menurut istilah berarti “sesuatu yang dianggap maslahat namun tidak ada ketegasan hukum untuk merealisasikannya dan tidak pula ada dalil tertentu baik yang mendukung maupun menolaknya”.
b.      Macam-macam Maslahah Mursalah
1)      Al-maslahah al-Mu’tabaroh, yaitu maslahah yang secara tegas diakui syariat dan telah ditetapkan ketentuan-ketentuan hukum unutk merealisasikannya.
2)      Al-Maslahah al-Mulgah, yaitu sesuatu yang dianggap maslahah oleh akal pikiran, tetapi dianggap palsu karena kenyataannya bertentangan dengan syariat.
3)      Al-Maslahah al-Mursalah
c.       Perbedaan Pendapat Ulama Mengenai Maslahah Mursalah
Para ulama ushul fiqh sepakat bahwa maslahah mursalah tidak sah menjadi landasan hukum dalam bidang ibadah, karena bidang ibadah harus diamalkan sebagaimana adanya diwariskan oleh Rasulullah.
Mereka berbeda pendapat dalam bidang muamalat. Kalangan Dzahiriyah dan kalangan Syafi’iyah dan Hanafiyah tidak menggunakan maslahah mursalah sebagai landasan hukum; Berbeda dengan kalangan Malikiyah dan Hanabilah yang berpendapat bahwa maslahah mursalah secara sah dapat dijadikan landasan penetapan hukum.
d.      Syarat-syarat Maslahah Mursalah
1)      Sesuatu yang dianggap maslahat itu haruslah berupa maslahat hakiki, bukan berupa dugaan dengan hanya mempertimbangkan adanya kemanfaatan tanpa melihat kepada akibat negatif yang ditimbulkannya.
2)      Sesuatu yang dianggap maslahat itu hendaklah berupa kepentingan umum, bukan kepentingan pribadi.
3)      Sesuatu yang dianggap maslahah tidak bertentangan dengan nash atau ijma’.
  1. ‘Urf
a.       Pengertian ‘Urf
Kata ‘urf secara etimologi berarti “sesuatu yang dipandang baik dan diterima oleh akal sehat”. Sedangkan secara terminologi ‘urf berarti “sesuatu yang tidak asing lagi bagi satu masyarakat karena telah menjadi kebiasaan dan menyatu dengan kehidupan mereka baik berupa perbuatan atau perkataan”.
b.      Macam-macam ‘Urf
1)      Al-‘Urf al-‘Am, yaitu adat kebiasaan mayoritas dari berbagai negeri di satu masa.
2)      Al-‘Urf al-Khas, yaitu adat istiadat yang berlaku pada masyarakat atau negeri tertentu.
Disamping pembagian diatas ‘urf dibagi pula kepada:
1)      Adat kebiasaan yang benar, yaitu seluruh hal baik yang menjadi kebiasaan masyarakat.
2)      Adat kebiasaan yang fasid, yaitu sesuatu yang menjadi adat kebiasaan yang sampai menghalalkan yang diharamkan Allah.
c.       Keabsahan ‘Urf Menjadi Landasan Hukum
‘Urf mereka terima sebagai landasan hukum dengan beberapa alasan:
1)      Q.S al-A’raf ayat 199, kata al-‘urfi dalam ayat tersebut, dimana umat manusia disuruh mengerjakannya, oleh ulama ushul fiqh dipahami sebagai sesuatu yang baik dan telah menjadi kebiasaan masyarakat.
2)      Pada dasarnya, syariat Islam dari masa awal banyak menampung dan mengakui adat atau tradisi yang baik dalam masyarakat selama tradisi itu tidak bertentangan dengan Al-Qur’an dan Sunnah.
d.      Syarat-syarat ‘Urf Untuk Dapat Dijadikan Landasan Hukum
1)      ‘Urf itu harus termasuk ‘urf yang sahih.
2)      ‘Urf itu harus bersifat umum.
3)      ‘Urf itu harus sudah ada ketika terjadinya suatu peristiwa yang akan dilandaskan kepada ‘urf itu.
4)      Tidak ada ketegasan dari pihak-pihak terkait yang berlainan dengan kehendak ‘urf tersebut.
  1. Istishab
a.       Pengertian Istishab
Kata istishab secara etimologi berarti “meminta ikut serta secara terus menerus”. Menurut Abdul Karim Zaidan, istishab berarti “menganggap tetapnya status sesuatu seperti keadaanya semula selama belum terbukti ada sesuatu yang mengubahnya”.
b.      Macam-macam Istishab
1)      Istishab al-Ibahah al-Ashliyah, yaitu istishab yang didasarkan atas hukum asal dari sesuatu yaitu mubah.
2)      Istishab al-Baraah al-Ashliyah, yaitu istishab yang didasarkan atas prinsip bahwa pada dasarnya setiap orang bebas dari tuntutan beban taklif sampai ada dalil yang mengubah statusnya itu.
3)      Istishab al-Hukm, yaitu ishtishab yang didasarkan atas tetapnya status hukum yang sudah ada selama tidak ada bukti yang mengubahnya.
4)      Istishab al-Wasf, yaitu istishab yang didasarkan atas anggapan masih tetapnya sifat yang diketahui ada sebelumnya sampai ada bukti yang mengubahnya.
  1. Syar’u Man Qablana
a.       Pengertian Syar’u Man Qablana
Syar’u man qablana adalah syariat atau ajaran-ajaran nabi-nabi sebelum Islam yang berhubungan dengan hukum.
b.      Pendapat Ulama Tentang Syar’u Man Qablana
Menurut kalangan Hanafiyah, Malikiyah, mayoritas kalangan Syafi’iyah, dan satu riwayat dari Ahmad bin Hanbal, syar’u man qablana berlaku bagi umat Islam. Diantara alasan mereka:
1)      Pada dasarnya syariat itu adalah satu karena datang dari Allah juga.
2)      Terdapat beberapa ayat yang menyuruh mengikuti para nabi terdahulu.
Menurut para ulama Mu’tazilah, Syi’ah, sebagian kalangan Syafi’iyah, dan salah satu pendapat Imam Ahmad bin Hambal, syariat sebelum Islam yang disebut dalam Al-Qur’an, tidak menjadi syariat bagi umat Islam.
  1. Mazhab Sahabi
a.       Pengertian Mazhab Sahabi
Mazhabb sahabi ialah “pendapat sahabat Rasulullah SAW tentang suatu kasus dimana hukumnya tidak dijelaskan secara tegas dalam Al-Qur’an dan Sunnah Rasulullah.
Abdul Karim Zaidan membagi pendapat sahabat dalam empat kategori:
1)      Fatwa sahabat yang bukan merupakan hasil Ijtihad.
2)      Fatwa sahabat yang disepakati secara tegas dikalangan mereka.
3)      Fatwa sahabat secara perorangan yang tidak mengikat sahabat yang lain.
4)      Fatwa sahabat secara perorangan yang didasarkan oleh ra’yu dan ijtihad.
  1. Sadd az-Zari’ah
a.       Pengertian Sadd az-Zari’ah
Secara bahasa sadd az-zariah berarti “menutup jalan kepada suatu tujuan”. Menurut istilah ushul fiqh sadd az-zari’ah berarti “menutup jalan yang membawa kepada kebinasaan atau kejahatan”.
b.      Macam-macam Sadd az-Zaria’ah
1)      Perbuatan yang keharamannya bukan saja karena ia sebagai wasilah bagi sesuatu yang diharamkan, tetapi esensi perbuatan itu sendiri adalah haram.
2)      Perbuatan yang secara esensial dibolehkan, namun perbuatan itu memungkinkan untuk digunakan sebagai wasilah kepada sesuatu yang diharamkan.






BAB IV
METODE ISTINBAT

A.   Metode Istinbat Dari Segi Bahasa

1.      Amar (Perintah), Nahi, dan Takhyir
1.      Amar
a.       Pengertian Amar
Menurut mayoritas ulama Ushul Fiqh, amar adalah “suatu tuntutan untuk melakukan sesuatu untuk melakukan sesuatu dari pihak yang lebih tinggi kepada pihak yang lebih rendah”.
     Perintah untuk melakukan suatu perbuatan disampaikan dalam berbagai gaya atau redaksi, antara lain:
1)      Perintah tegas dengan menggunakan kata amara امر dan yang seakar dengannya.
2)      Perintah dalam bentuk pemberitaan bahwa perbuatan itu diwajibkan atas seorang dengan memakai kata كتب /diwajibkan.
3)      Perintah dengan memakai redaksi pemberitaan (jumlah khabariyah), namun yang dimaksud adalah perintah.
4)      Perintah dengan memakai kata kerja perintah secara langsung.
5)      Perintah dengan menggunakan kata kerja mudhari’ yang disertai oleh lam amr.
6)      Perintah dengan menggunakan kata faradha/mewajibkan.
7)      Perintah dalam bentuk penilaian bahwa perbuatan itu adalah baik.
8)      Perintah dalam bentuk menjanjikan kebaikan yang banyak atas pelakunya.
b.      Hukum-hukum yang Mungkin Ditunjukkan Oleh Bentuk Amar
1)      Menunjukkan hukum wajib.
2)      Untuk menjelaskan bahwa sesuatu itu boleh dilakukan.
3)      Sebagai anjuran.
4)      Untuk melemahkan.
5)      Sebagai ejekan dan penghinaan.
c.       Kaidah-kaidah yang Berhubungan dengan Amar
1)      الأصل فى الأمر للوجوب , pada dasarnya suatu perintah menunjukkan hukum wajib dilaksanakan.
2)      دلالة الأمر على التكرار أو الوحده , suatu perintah haruskah dilakukan berulang kali atau cukup dilakukan sekali saja ?.
3)      دلالة الأمر على الفور أو التراخى , suatu perintah haruskah dilakukan segera mungkin atau ditunda-tunda ?.
2.      Nahi
a.       Pengertian dan bentuk-bentuk nahi
Mayoritas ulama ushul fiwh mendefinisikan nahi sebagai “larangan melakukan suatu perbuatan dari pihak yang lebih tinggi kedudukannya kepada pihak yang lebih rendah tingkatannya dengan kalimat yang menunjukkan atas hal itu.
     Dalam melarang suatu perbuatan, Allah juga memakai bahasa ragam gaya bahasa. Diantaranya adalah:
1)      Larangan secara tegas dengan menggunakan kata نهي atau yang seakar dengannya yang secara bahasa berarti melarang.
2)      Larangan dengan menjelaskan bahwa suatu perbuatan diharamkan.
3)      Larangan dengan menegaskan bahwa perbuatan itu tidak halal.
4)      Larangan dengan menggunakan kata kerja mudhari’ yang disertai huruf la nahiyah.
5)      Larangan dengan memakai kata perintah namun bermakna tuntutan untuk meninggalkan.
6)      Larangan dengan mengancam pelakunya dengan siksaan pedih.
7)      Larangan dengan mensifati perbuatan itu dengan keburukan.
8)      Larangan dengan cara meniadakan wujud perbuatan itu.
b.      Beberapa Kemungkinan Hukum yang Ditunjukkan Bentuk Nahi
1)      Untuk menunjukkan hukum haram.
2)      Sebagai anjuran untuk meninggalkan.
3)      Penghinaan.
4)      Untuk menyatakan permohonan.
c.       Kaidah-kaidah yang Berhubungan dengan Nahi
1)      الأصل فى النهي التحريم , pada dasarnya suatu larangan menunjukan hukum haram.
2)      الأصل فى النهي يطلق الفساد مطلق , suatu larangan menunjukkan fasad perbuatan dilarang itu jika dikerjakan.
3)      النهي عن الشيء أمر بضده   , suatu larangan terhadap suatu perbuatan berarti perintah terhadap kebalikannya.
3.      Takhyir
Menurut Abdul Karim Zaidan yang dimaksud dengan takhyir adalah “bahwa Syar’i (Allah dan Rasul-Nya) memberi pilihan kepada hambanya antara melakukan atau tidak melakukan suatu perbuatan”.
           Untuk memberikan hak pilih antara melakukan atau tidak melakukan dalam Al-Qur’an terdapat berbagai cara, antara lain:
1)      Menyatakan bahwa suatu perbuatan halal dilakukan.
2)      Pembolehan dengan menafikan dosa dari suatu perbuatan.
3)      Pembolehan dengan menafikan kesalahan dari melakukan suatu perbuatan.
2.      Lafal Umum (‘Am) dan Lafal Khusus (Khas)
1.      Lafal Umum (‘Am)
a.       Pengertian dan Bentuk-bentuk Lafal Umum
Lafal umum ialah lafal yang diciptakan untuk pengertian umu sesuai dengan pengertian lafal itu sendiri tanpa dibatasi dengan jumlah tertentu.
Banyak kata yang menunjukkan makna umum, seperti:
1)      Kata kull (كل / setiap) dan jami’ (جميع / semua).
2)      Kata jama’ yang disertai alif dan lam diawalnya.
3)      Kata benda tunggal dan dima’rifahkan dengan alif lam.
4)      Isim syarat (kata benda untuk mensyaratkan).
5)      Isim nakirah yang dinafikan.
6)      Isim maushul (kata ganti penghubung).
b.      Pembagian Lafal Umum
1)      Lafal umum yang dikehendaki keumumannya karena ada dalil atau indikasi yang menunjukkan tertutupnya kemungkinan ada takhsis (pengkhususan).
2)      Lafal umum pada hal yang dimaksud adalah makna khusus karena ada indikasi yang menunjukkan makna seperti itu.
3)      Lafal umum yang terbebas dari indikasi baik menunjukkan bahwa yang dimaksud adalah makna umumnya atau adalah sebagian cakupannya.
2.      Lafal Khusus (Khas)
Lafal khas adalah lafal yang mengandung satu pengertian secara tunggal atau beberpa pengertian yang terbatas. Para ulamaa ushul fiqh sepakat bahwa lafal khas dalam nash syara’ menunjuk kepada pengertiannya yang khas secara qath’i dan hukum yang dikandungnya bersifat qath’i selama tidak ada indikasi yang menunjukkan pengertian lain.
3.      Mutlaq dan Muqayyad
Secara bahasa kata mutlaq berarti bebas tanpa ikatan, dan kata muqayyad berarti terikat. Kata mutlaq menurut istilah adalah “lafal yang menunjukkan suatu satuan tanpa dibatasi secara harfiah dengan suatu ketentuan”.
Ayat-ayat hukum dalam Al-Qur’an ada yang bersifat mutlaq dan adapula yang bersifat muqayyad. Kaidah ushul fiqh yang berlaku disini adalah bahwa ayat yang bersifat mutlaq harus dipahami secara mutlaq selama tidak ada dalil yang membatasinya, sebaliknya ayat yang bersifat muqayyad harus dilakukan sesuai dengan batasannya.
4.      Mantuq dan Mafhum
a.       Pengertian dan Pembagian Mantuq
Mantuq secara bahasa berarti “sesuatu yang diucapkan”. Sedangkan menurut istilah ushul fiqh berarti pengertian harfiah dari suatu lafal yang diucapkan.
Menurut ulama ushul fiqh, mantuq dibagi kepada mantuq sharih dan mantuq ghairu sharih. Mantuq sharih secara bahasa berarti “sesuatu yang diucapkan secara tegas”. Sedangkan mantuq ghairu sharih, yaitu pengertian yang ditarik bukan dari makna asli suatu lafal, tetapi sebagai konsekuensi dari suatu ucapan. Mantuq ghairu sharih terbagi kepada tiga bagian, yaitu: Dalalat al-Ima’, Dalalat al-Isyarat, dan Dalalat al-Iqtida’.
b.      Pengertian dan Pembagian Mafhum
Mafhum secara bahasa ialah “sesuatu yang dipahami dari suatu teks”. Dan menurut istilah dalah “pengertian tersirat dari suatu lafal atau pengertian kebalikan dari pengertian lafal yang diucapkan”. Mafhum, seperti tergambar dalam definisi diatas daoat dibagi kepada dua macam, yaitu:
1)      Mafhum Muwafaqah, ialah penunjukkan hukum melalui motivasi tersirat atau alasan logis dimana rumusan hukum dalam mantuq dilandaskan.
2)      Mafhum mukhalafah, adalah penunjukkan lafal atas tetapnya hukum kebalikan dari yang tersurat ketika ternafinya suatu persyaratan.
5.      Lafal dai Segi Jelas ( واضح  ) dan Tidak Jelas (غير واضح  ) Maknanya
Jumhur ulama ushul fiqh seperti dijelaskan Adib Shalih membagi lafal dari segi jelas dan tidak jelasnya kepada tiga tingkatan, yaitu :
a.       Nash
Secara etimologi, nash berarti az-zuhur (jelas). Dan menurut istilah nash secara umum yaitu teks Al-Qur’an dan Sunnah Rasulullah, baik tegas maupun tidak tegas. Nash dalam pengertian khusus adalah yang menunjukkan suatu pengertian yang sama sekali tidak ada kebolehjadian pengertian lain baik jauh maupun dekat kecuali pengertian yang cepat ditangkap ketika mendengan bunyi lafal itu.
b.      Dzahir
Secara bahasa dzahir berarti al-wudhuh (jelas). Sedangkan menurut istilah dzahir berarti lafal yang menunjukkan suatu pengertian yang hanya sampai tingkat zhanny (dugaan keras).
c.       Mujmal
Secara etimologi berarti “sekumpulan sesuatu tanpa memerhatikan satu per satunya”. Sedangkan menurut istilah mujmal berarti lafal yang tidak jelas pengertiannya sehingga untuk memahaminya memerlukan penjelasan dari luar (al-bayan).
Kalangan Hanafiyah, seperti dijelaskan Adib Shalih, membagi lafal dari segi kejelasannya kepada empat tingkatan, yaitu:
a.         Zhahir
Zhahir yaitu pengertian yang ditunjukkan oleh redaksi tersebut tetapi bukan merupakan tujuan utama dari pengucapannya.
b.      Nash
Nash, yaitu lafla yang menunjukkan pengertiannya secara jelas dan memang pengertian itulah yang dimaksudkan oleh konteksnya.
c.       Mufassar
Mufassar adalah lafal yang menunjukkan kepada maknanya secara jelas dan rinci tanpa ada kemungkinan untuk dipalingkan kepada pengertian lain (ta’wil).
d.      Muhkam
Muhkam adalah lafal yang menunjukkan kepada maknanya secara jelas sehingga tertutup kemungkinan untuk dita’wil.
Lafal dari segi tidak jelas pengertiannya oleh kalangan Hanafiyah dibagi kepada empat tingkatan yaitu:
a.       Khafi
Khafi adalah lafal yang dari segi penunjukannya kepada makna adalah jelas, namun ketidakjelasan timbul ketika menerapkan pengertian itu kepada kasus tertentu. Ketidakjelasan itu disebabkan karena bentuk kasus itu tidak persis sama denga kasus yang ditunjukkan oleh suatu dalil.
b.      Musykil
Musykil adalah lafal yang tidak jelas pengertiannya, dan ketidakjelasan itu disebabkan oleh lafal itu diciptakan untuk beberapa pengertian yang berbeda sehingga untuk mengetahui pengertian mana yang dimaksud dalam sebuah redaksi memerlukan indikasi atau dalil dari luar.
c.       Mujmal
Mujmal menurut kalangan Hanafiyah adalah lafal yang mengandung makna secara global dimana kejelasan maksud dan rinciannya tidak dapat diketahui dari pengertian lafal itu sendiri.
d.      Mutasyabih
Kalangan Hanafiyah mendefinisikan mutasyabih dengan suatu lafal yang tidak menunjukkan kejelasan maknanya, dan tidak pula ada tanda-tanda atau dalil-dalil yang menjelaskannya.
6.      Lafal Ditinjau dari Segi Pemakainya
Ali Hasabalah membagi lafal dari segi pemakainya kepada hakikat dan majaz. Lafal Hakikat adalah lafal yang digunakan kepada pengertian aslinya sesuai dengan maksud penciptaannya. Sedangkan majaz adalah menggunakan lafal kepada selain pengertian aslinya itu serat ada qarinah yang menunjukkan untuk itu.
7.      Ta’wil
Ta’wil berasal dari kata dasar al-awlu yang menurut bahasa berarti ar-ruju’ ila al-ashl, dan dalam bentuk kata ta’wil berarti mengembalikan sesuatu kepada asal. Ta’wil menurut ulama-ulama ushul fiqh berarti pemaligan suatu lafal dari makna zhahir kepada makna lain yang tidak cepat ditangkap, karena ada dalil yang menunjukkan bahwa makna itulah yang dimaksud oleh lafal tersebut.
Adib Shalih mengemukakan beberapa persyaratan untuk ta’wil yaitu:
1)      Lafal yang hendak dita’wilkan itu mengandung beberapa pengertian, baik ditinjau dari segi bahasa seperti makna hakikat dan makna majazinya.
2)      Ada dalil atau indikasi yang menunjukkan bahwa yang dimaksud oleh sipembicara bukan makna zhahirnya, tetapi makna yang tidak zhahir, dan dalil atau indikasi itu lebih kuat dibandingkan dengan alasan menetapkan suatu lafal pada makna hakikatnya.

B.    Metode Penetapan Hukum Melalui Maqasid Syari’ah

1)      Pengertian Maqasid Syari’ah
Maqasid Syari’ah berarti tujuan Allah dan Rasul-Nya dalam merumuskan hukum-hukum Islam. Kemaslahatan yang akan diwujudkan itu menurut al-Syatibi terbagi kepada tiga tingkatan yaitu:
a.       Kebutuhan Dharuriyat
Kebutuhan Dharuriyat adalah tingkat kebutuhan yang harus ada atau disebut dengan kebutuhan primer. Menurut al-Syatibi ada lima hal yang termasuk dalam kategori ini, yaitu memelihara agama, memelihara jiwa, memelihara akal, memelihara kehormatan dan keturunan, serta memelihara harta.
b.      Kebutuhan Hajiyat
Kebutuhan hajiyat adalah kebutuhan-kebutuhan sekunder dimana tidak terwujudkan tidak sampai mengancam keselamatannya, namun akan mengalami kesulitan. Syariat Islam menghilangkan segala kesulitan itu. Adanya hukum rukhsoh adalah sebuah contoh dari kepedulian Syariat Islam terhadap kebutuhan ini.
c.       Kebutuhan Tahsiniyst
Kebutuhan tahsiniyat ialah tingkatan kebutuhan yang apabila tidak terpenuhi tidak mengancam eksistensi salah satu dari lima pokok diatas dan tidak pula menimbulkan kesulitan.
2)      Peranan Maqasid Syari’ah dalam Pengembangan Hukum
Pengetahuan tentang maqashid syari’ah, seperti ditegaskan oleh Abd al-Wahhab Khalaf, adalah hal sangat penting yang dapat dijadikan alat bantu untuk memahami redaksi Al-Qur’an dan Sunnah, menyelesaikan dalil-dalil yang bertentangan dan yang sangat penting lagi adalah menetapkan hukum terhadap kasus yang tidak tertampung oleh Al-Qur’an dan Sunnah secara kajian kebahasaan.
           Metode istinbat seperti qiyas, istihsan, dan maslahah mursalah adalah metode-metode pengembangan hukum Islam yang didasarkan atas maqasid syari’ah.

C.   Ta’arud dan Tarjih

1.      Ta’arud
Kata ta’arud secara bahasa berarti pertentangan antara dua hal. Sedangkan menurut istilah bahwa satu dari dua dalil menghendaki hukum yang berbeda dengan hukum yang dikehendaki oleh dalil yang lain.
Bilamana dalam pandangan seorang mujtahid terjadi ta’arud antara dua dalil, maka perlu dicarikan jalan keluarnya, dan disini terdapat perbedaan pendapat antara kalangan Hanafiyah dan kalangan Syafi’iyah.
Menurut kalangan Hanafiyah, jalan yang ditempuh bilamana terjadi ta’arud secara global adalah:
i.                    Dengan meneliti mana yang lebih dahulu turunnya ayat atau diucapkannya hadits, dan bila diketahui, maka dalil yang terdahulu dianggap dinasakh.
ii.                  Jika tidak diketahui mana yang lebih dulu, maka cara selanjutnya adalah dengan tarjih, yaitu meneliti mana yang lebih kuat diantara dalil-dalil yang bertentangan itu.
iii.                Jika tidak bisa ditarjih karena ternyata sama-sama kuat, maka jalan keluarnya dengan mengkompromikan antara dua dalil itu.
iv.                Jika tidak ada peluang untuk mengkompromikannya maka jalan keluarnya adalah dengan tidak memakai kedua dalil itu.
Menurut kalangan Syafi’iyah, jika terjadi antara dua dalil, langkah-langkah yang bisa ditempuh adalah:
i.                    Dengan mengkompromikan antara dua dalil itu selama ada peluang untuk itu, karena mengamalkan kedua dalil itu lebih baik dari hanya memfungsikan satu dalil saja.
ii.                  Jika tidak dapat dikompromikan, maka jalan keluarnya adalah dengan jalan tarjih.
iii.                Selanjutnya, jika tidak ada peluang untuk mentarjih salah satu dari keduanya, maka langkah selanjutnya adalah dengan meneliti mana diantara dua dalil itu yang lebih dulu datangnya.
iv.                Jika tidak mungkin mengetahui mana yang terdahulu, maka jalan keluarnya tidak memakai dua dalil itu.
2.      Tarjih
a.       Pengertian Tarjih
Tarjih menurut bahasa berarti membuat sesuatu cenderung atau mengalahkan. Menurut istilah tarjih adalah menguatkan salah satu dari dua dalil yang zhanni untuk dapat diamalkan.
b.      Cara Mentarjih
Metode tarjih yang berhubungan dengan pertentangan antara dua nash atau lebih antara lain secara global adalah:
1)      Tarjih dari segi sanad.
2)      Tarjih dari segi matan.
3)      Tarjih dari segi adanya faktor luar yang mendukung salah satu dari dua dalil yang bertentangan.















BAB V
IJTIHAD

A.   PENGERTIAN IJTIHAD

Kata Ijtihad secara etimologi berarti bersungguh-sungguh dalam menggunakan tenaga baik fisik maupun pikiran. Al-Baidawi mendefinisikan ijtihad sebagai “pengerahan seluruh kemampuan dalam upaya menemukan hukum-hukum syara’”.

B.    DASAR HUKUM IJTIHAD

Banyak alasan yang menunjukkan kebolehan melakukan ijtihad. Antara lain:
1)      Ayat 59 Surat An-Nisa, perintah mengembalikan sesuatu yang diperbedakan kepada Al-Qur’an dan Sunnah, menurut Ali Hasaballah, adalah peringatan agar orang tidak mengikuti hawa nafsunya, dan mewajibkan untuk kembali kepada Allah dan Rasul-Nya dengan jalan ijtihad.
2)      Hadits yang diriwayatkan dari Mu’az bin Jabal. Ketika ia akan diutus ke Yaman, menjawab pertanyaan Rasulullah dengan apa ia memutuskan hukum, ia menjelaskan secara berurutan, yaitu dengan Al-Qur’an, kemudian dengan Sunnah Rasulullah, dan kemudian dengan melakukan ijtihad.

C.   FUNGSI IJTIHAD

Ijtihad berfungsi baik untuk menguji kebenaran riwayat hadits yang tidak sampai ke tingkat hadits mutawatir seperti hadits ahad, atau sebagai upaya memahami redaksi ayat atau hadits yang tidak tegas pengertiannya sehingga tidak langsung dapat dipahami kecuali ijitihad, dan berfungsi untuk mengembangkan prinsip-prinsip hukum yang terdapat dalam Al-Qur’an dan Sunnah seperti qiyas, istihsan, dan maslahah mursalah.

D.   LAPANGAN IJTIHAD

Hal-hal yang menjadi lapangan ijtihad adalah masalah-masalah yang tidak pasti (zhanni) baik dari segi datangnya dari Rasulullah, atau dari segi pengertiannya, yang dapat dikategorikan kepada tiga macam:
1)      Hadits Ahad, yaitu hadits yang diriwayatkan oleh orang seorang atau beberapa orang tidak sampai ke tingkat Hadits Mutawatir.
2)      Lafal-lafal atau redaksi Al-Qur’an atau Hadits yang menunjukkan pengertiannya secara tidak tegas (zhanni) sehingga ada kemungkinan pengertian lain selain yang cepat ditangkap ketika mendengar bunyi lafal atau redaksi itu.
3)      Masalah-masalah yang tidak ada teks ayat atau hadits dan tidak pula ada ijma’ yang menjelaskan hukumnya.

E.    SYARAT-SYARAT SEORANG MUJTAHID

1)      Mengerti dengan makna-makna yang dikandung oleh ayat-ayat hukum dalam Al-Qur’an baik secara bahasa maupun menurut istilah syariat.
2)      Mengetahui tentang hadits-hadits hukum baik secara bahasa maupun dalam pemakaian syara’.
3)      Mengetahui tentang mana ayat atau hadits yang telah dimansukh, dan mana ayat atau hadits yang menasakh atau sebagai penggantinya.
4)      Mempunyai pengetahuan tentang masalah-masalah yang sudah terjadi ijma’ tentang hukumnya dan mengetahui tempat-tempatnya.
5)      Mengetahui tentang seluk-beluk qiyas, seperti syarat-syaratnya, rukun-rukunnya, tentang illat hukum dan cara menemukannya.
6)      Menguasai bahasa Arab serta ilmu-ilmu bantu yang berhubungan dengannya.
7)      Menguasai ilmu ushul fiqh, seperti tentang hukum dan macam-macamnya, tentang sumber-sumber hukum atau dalil-dalilnya, tentang kaidah-kaidah dan cara mengistinbatkan hukum dari sumber tersebut.
8)      Mampu menangkap tujuan syariat dalam merumuskan suatu hukum.

F.    HUKUM BERIJTIHAD

Jika syarat-syarat diatas telah cukup pada diri seseorang, hukum melakukan ijtihad baginya bisa fardhu ‘ain, bisa fardhu kifayah, bisa mandub (sunat), dan bisa pula haram.
Hukum melakukan ijtihad adalah fardhu ‘ain jika terjadi pada diri sesuatu yang membutuhkan jawaban hukumnya.
Melakukan ijtihad menjadi wajib kifayah jika disampingnya ada lagi mujtahid lain yang akan menjelaskan hukumnya.
Berijtihad hukumya sunnah dalam dua hal:
1)      Melakukan ijtihad dalam hal-hal yang belum terjadi tanpa ditanya.
2)      Melkakukan ijtihad pada masalah-masalah yang belum terjadi berdasarkan pertanyaan seseorang.
Berijtihad haram hukumnya dalam dua hal, yaitu:
1)      Berijtihad dalam hal-hal yang ada nash yang tegas (qath’iy) baik berupa ayat atau hadits Rasulullah.
2)      Berijtihad bagi seseorang yang tidak melengkapi syarat-syarat mujtahid.

G.   TINGKATAN-TINGKATAN MUJTAHID

1)      Mujtahid Mustaqil (independen) adalah tingkat tertinggi atau disebut juga Mujtahid Mutlaq.
2)      Mujtahid Muntasib, yaitu mujtahid yang dalam masalah ushul fiqh, meskipun dari segi kemampuannya ia mampu merumuskannya, namun tetap berpegang kepada ushul fiqh salah seorang imam mujtahid mustaqil.
3)      Mujtahid fi al-Mazhab, yaitu tingkat mujtahid yang dalam ushul fiqh dan furu’ bertaklid kepada imam mujtahid tertentu.
4)      Mujtahid fi at-Tarjih, yaitu mujtahid yang kegiatannya bukan mengistinbatkan hukum tetapi terbatas memperbandingkan berbagai mazhab atau pendapat, dan mempunyai kemampuan untuk mentarjih dan memilih salah satu pendapat terkuat dari pendapat-pendapat yang ada.

H.   MACAM-MACAM IJTIHAD

Ijtihad dilihat dari sisi jumlah pelakunya dibagi menjadi dua: Ijtihad Fardi dan Ijtihad Jama’i. Ijtihad Fardi adalah ijtihad yang dilakukan perorangan atau hanya beberapa orang mujtahid. Sedangkan Ijtihad Jama’I adalah apa yang dikenal dengan ijma’ dalam kitab-kitab ushul fiqh, yaitu kesepakatan para mujtahid dari umat Muhammad SAW setelah Rasulullah wafat dalam masalah tertentu.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar