BAB I
PENDAHULUAN
A.
Pengertian Ushul Fiqh
1.
Definisi Ushul Fiqh Dilihat dari Sisi Dua Kata yang Membentuknya
Kata al-ushul, adalah jamak
(plural) dari kata al-ashl, menurut bahasa berarti landasan tempat
membangun sesuatu. Menurut istilah, seperti dikemukakan Wahbah az-Zuhaili
yaitu bermakna dalil, bermakna kaidah, bermakna ar-rajih, bermakna asal,
bermakna sesuatu yang diyakini.
Pengertian al-ashlu bila
dihubungkan dengan kata fiqh maka bermakna al-dalil. Dalam pengertian ini, maka
kata Ushul al-Fiqh berarti dalil-dalil fiqh, seperti Al-Qur’an, sunnah, ijma’,
qiyas dan lain-lain.
Kata al-Fiqh menurut bahasa berarti pemahaman.
Secara istilah kata al-Fiqh berarti “Pengetahuan diri seseorang
tentang hak dan kewajiban dari segi amal dan perbuatan”.
Demikianlah pengertian dari
masing-masing kata tersebut. Seperti dikemukakan diatas, yang dimaksud dengan
kata al-ashl disini adalah dengan makna dalil. Atas dasar itu,
istilah Ushul Fiqh berarti dalil-dalil fiqh, seperti Al-Qur’an, Sunnah, ijma’,
qiyas dan lain-lain.
2.
Definisi Ushul al-Fiqh sebagai Satu Disiplin Ilmu
Abdullah bin Umar al-Baidawi (w. 685
H) mendefinisikan ushul al-fiqh sebagai “Pengetahuan tentang dalil-dalil
fiqh secara global, cara mengistinbatkann hukum dari dalil-dalil itu, dan
tentang hal ihwal pelaku istinbat”.
Berbagai hal yang menjadi pembahasan seperti yang
ditunjukkan oleh definisi tersebut adalah :
a.
Tentang
dalil-dalil fiqh secara global
Kata al-dalil secara
etimologis berarti “sesuatu yang memberi petunjuk kepada suatu hal lain”.
Dalil itu sendiri terdiri dari dua
macam, dalil ijmali (global) dan dalil tafsili (terinci).
Pengertian dalil ijmali dalam
konteks ayat-ayat hukum dalam Al-Qur’an dari segi terinci dan tidak terincinya;
Sementara dalam konteks pembicaraan tentang kaidah-kaidah umum ushul fiqh
adalah dalil atau kaidah yang bersifat umum yang tidak menunjukkan sesuatu
hukum pada masalah tertentu secara langsung.
Pengertian dalil tafsili yaitu
tentang dalil-dalil yang disepakati, seperti Al-Qur’an, Sunnah, ijma’, qiyas
dan dalil-dalil yang tidak disepakati, misalnya: istihsan, istislah (maslahah
mursalah), syar’u man qoblana, fartwa sahabat dan ‘urf.
b.
Tentang
cara mengistinbatkan hukum dari dalil-dalilnya
Metode ini khusus membicarakan metode istinbat
bilamana dalam pandangan mujtahid terjadi pertentangan antara satu dalil dengan
dalil yang lain.
c.
Tentang
syarat-syarat yang harus dipenuhi oleh seorang yang akan melakukan ijtihad,
tentang ijtihad itu sendiri dan hal-hal yang menjadi lapangannya.
B.
Objek Kajian Ushul Fiqh dan
Fiqh
1. Objek
Kajian Ushul Fiqh
Abdullah bin Umar al-Baidlawi
mengemukakan 3 hal pokok dalam pembahasan ushul fiqh yaitu tentang sumber dan
dalil hukum, tentang metode istinbat, dan tentang ijtihad. Al-Ghazali
menyebutkan 4 bagian objek pembahasan ushul fiqh yaitu: Pembahasan tentang
hukum syara dan yang berhubungan dengannya, pembahasan tentang sumber-sumber
dan dalil-dalil hukum, pembahasan tentang cara mengistinbatkan hukum dari
sumber-sumber dan dalil-dalil itu, pembahasan tentang ijtihad; Wahbah
az-Zuhaili menjelaskan bahwa inti dari objek kajian ushul fiqh ada 2 hal, yaitu
dalil-dalil secara global dan tentang al-ahkam.
2.
Objek Kajian Fiqh
Objek kajian fiqh adalah satu
persatu dalil dalam Al-Qur’an dan Sunnah dalam kaitannya dengan perbuatan
mukalaf, dengan menggunakan kaidah-kaidah.
C.
Manfaat Mempelajari Ushul
Fiqh
Di bawah ini dikemukakan beberapa kegunaan penting bagi studi ushul
fiqh :
1.
Memungkinkan
untuk mengetahui dasar-dasar para mujtahid masa silam dalam membentuk pendapat
fiqhnya.
2.
Memperoleh
kemampuan untuk memahami ayat-ayat hukum dalam al-Qur’an dan hadits-hadits
hukum dalam Sunnah Rasulullah, kemudian mengistinbatkan hukum dari dua sumber
tersebut.
3.
Seseorang
akan mampu secara benar dan lebih baik melakukan muqaranat al-mazahib al-fiqhiyah,
studi komparatif antar pendapat ulama fiqh dari berbagai madzhab.
D.
Sejarah Perkembangan Ushul
Fiqh
- Ushul Fiqh Sebelum Dibukukan
a.
Masa
Sahabat
Menurut Abu Zahrah, ushul fiqh telah
muncul berbarengan dengan fiqh karena fiqh tidak akan terwujud tanpa ada metode
istinbat, dan metode istinbat itulah sebagai inti dari ushul fiqh. Fiqh sebagai
produk ijtihad mulai muncul pada masa sahabat. Meskipun ushul fiqh belum
dirumuskan dalam satu disiplin ilmu merelka telah menggunakan kaidah-kaidahnya
karena mereka mengikuti langsung praktik-praktik tasyri’ secara langsung
dari Rasulullah dan kemampuan mereka berbahasa arab membuat mereka memahami
teks-teks al-Qur’an dan melakukan qiyas sebagai pengembangan hukum lewat
subtansinya. Jika mereka tidak menemukan pada kedua sumber itu maka mereka
melakukan ijtihad, baik perorangan maupun mengumpulkan sahabat lain untuk
bermusyawarah dan hasil kesepakatan mereka dikenal dengan ijma sahabat. Disamping
berijtihad menggunakan metode qiyas mereka juga menggunakan mashlahah mursalah
seperti mengumpulkan al-Qur’an dalam satu mushaf.
b.
Masa
Tabiin
Pada masa ini banyak para tabi’in
hasil didikan para sahabat yang mengkhususkan diri untuk berijtihad, antara
lain Said ibn Musayyab (15H – 94H) di Madinah, dan Alqamah ibn Qays (w.
62 H), serta Ibrahim al-Nakha’I (w. 96 H) di Irak.
c.
Masa
Imam-imam Mujtahid sebelum Imam Syafi’i
Pada masa ini terdapat dua Mujtahid
ternama yaitu Imam Abu Hanifah an-Nu’man (w. 150 H), instinbatnya berpegang
kepada Kitabullah, Sunnah Rasulullah, Ijma’ Sahabat. Dan dalam berijtihad Imam
Abu Hanifah terkenal banyak melakukan qiyas dan istihsan; kedua Imam Malik bin
Anas (w. 178 H), dalam berijtihad ia tetap mempertahankan praktik penduduk
Madinah sebgai sumber hukum. Sampai masa Imam Malik ushul fiqh belum dibukukan
secara lebih lengkap dan sistematis.
2.
Pembukuan Ushul Fiqh
Pada penghujung abad kedua dan awal
abad ketiga Imam Muhammad bin Idris al-Syafi’I (150 H – 204 H) tampil berperan
dalam meramu, mensistemisasi dan membukukan Ushul Fiqh. Munculnya buku
ar-Risalah karya Imam as-Syafi’I merupakan fase awal dari perkembangan ushul
fiqh sebagai satu disiplin ilmu.
3.
Ushul Fiqh Pasca Syafi’i
Setelah kitab ar-Risalah, masih pada
abad ketiga bermunculan karya-karya ilmiah bidang ini seperti khabar
al-wahid karya Isa ibnu Aban ibnu Shadaqah (w. 220 H) dari kalangan
Hanafiyah, al-Nasikh wa al-Mansukh oleh Ahmad bin Hambal (w.241 H), dan Ibtal
al-qiyas oleh Daud al-zahiri (w. 270 H).
Selanjutnya, pertengahan abad
keempat bermunculan buku ushul fiqh seperti Itsbat al-qiyas oleh Abu
al-Hasan al-Asy’ari (w. 324 H) dan buku al-Jadal fi ushul al-fiqh oleh
Abu Mansur al-Maturidi (w. 334 H).
4.
Aliran-aliran Ushul Fiqh
Beberapa aliran yang dikenal dalam
ushul fiqh yaitu aliran Jumhur, aliran Fuqaha, dan aliran yang menggabungkan
keduanya. Pembagian kepada tiga aliran ini lebih banyak berkonotasi kepada
sistem penulisan Ushul Fiqh, bukan kepada perbedaan-perbedaan secara substansial
a.
Aliran
Jumhur Ulama Ushul Fiqh
Aliran ini disebut juga aliran
Syafi’iyah atau aliran mutakallimin. Disebut aliran Syafi’iyah karena yang
pertama mewujudkan cara penulisan ushul fiqh seperti ini adalah Imam Syafi’i.
Dikenal dengan aliran mutakallimin karena para pakar dibidang ini adalah
kalangan ahli ilmu kalam seperti Imam al-Juwaini, al-Qadi Abdul Jabbar dan
al-Imam al-Ghazali.
Beberapa ciri aliran ini antara lain
adalah bahwa pembahasan ushul fiqh disajikan secara rasional, filosofis, teoritis,
tanpa disertai contoh, dan murni tanpa mengacu kepada madzhab fiqh tertentu
yang sudah ada.
b.
Aliran
Fuqaha atau Aliran Hanafiyah
Disebut aliran fuqaha karena dalam
sistem penulisannya banyak diwarnai oleh contoh-contoh fiqh. Dalam merumuskan
kaidah ushul fiqh mereka berpedoman kepada pendapat-pendapat fiqh Imam Abu
Hanifah dan pendapat para muridnya serta melengkapinya dengan contoh-contoh.
c.
Aliran
yang Menggabungkan antara Dua Aliran di Atas
Aliran ini muncul karena dalam
penulisan ushul fiqh mereka menggabungkan antara dua aliran diatas. Misalnya
buku Badi’ al-Nizam karya Ahmad bin ‘Ali al-Sa’ati (w. 694 H) ahli ushul
fiqh dari kalangan Hanafiyah yang menggabungkan buku Ushul al-Bazdawi dari
aliran Hanafiyah dan al-Ihkam fi Ushul al-Ahkam dari aliran Syafi’iyah.
E.
Karya-Karya Dalam Bidang
Ushul Fiqh
Kitab-kitab Ushul Fiqh yang disusun menurut aliran Jumhur
diantaranya adalah :
1.
Ar-Risalah, disusun oleh Muhammad bin Idris al-Syafi’I (w. 204 H).
2.
Al-Burhan
fi Ushul al-Fiqh, disusun oleh Abu al-Ma’ali Abd
Malik ibn Abdillah al-Juwaini yang bergelar Imam al-Haramain.
3.
Al-Mughni
fi Ahwab al-Tawhud wa al-‘adl, disusun oleh
al-Qadli Abdul Jabbar (w. 415 H).
4.
Al-Mu’tamad
fi Ushul al-Fiqh, oleh Abu al-Husein al-Bashri (w. 436
H).
5.
Al-Mustashfa
min ‘Ilm al-Ushul, oleh Abu Hamid al-Ghazali (w. 505
H).
6.
Al-Mahsul
fi ‘Ilm al-Ushul, oleh Fakhr al-Dien al-Razi (w. 606
H).
7.
Al-Ihkam
fi Ushul al-Ahkam, oleh Saif al-Dien al-Amidi (w. 631
H).
8.
Minhaj
al-Wusul fi ‘Ilm al-Ushul, oleh al-Qadi
al-Baidawi (w. 685 H).
9.
Al-‘Uddah
fi Ushul al-Fiqh, oleh Abu Ya’la al-Farra (w. 458 H).
10.
Raudhah
al-Nazir wa Jannah al-Munazir, oleh Muwaffaq
al-Dien ibn Qudamah al-Maqdisi (w. 620 H).
11.
Al
Musawwah fi Ushul al-Fiqh, oleh Majd
al-Dien Abu al-Barakat al-Harrani (w. 652 H).
12.
A’lam
al-Muwaqqi’in ‘an Rabb al-‘Alamin, oleh Syams
al-Dien Abu Bakr yang terkenal dengan Ibnu Qayyin al0Jawziyah (w. 751 H).
13.
Mukhtashar
Muntaha al-Sul wa al-Amal, Oleh Jamal
al-Dien Ibnu al-Hajib (w. 646 H).
Sedangkan kitab-kitab Ushul Fiqh yang disusun menurut aliran
Hanfiyah antara lain :
- Taqwim al-Adillah, karya Imam Abu Zaid al-Dabbusi (w. 432 H).
- Ushul al-Syarakhshi, karya Imam Muhammad ibn Ahmad Syams
al-Aimmah al-Sarakhsi (w. 483 H).
- Kanz al-Wushul ila Ma’rifat al-Ushul, karya Fakhr al-Islam al-Bazdawi (w. 482
H).
- Manar al-Anwar, Oleh Abu al-Barakat Abdullah Ibnu Muhammad
al-Nasafi (w. 710 H)
Kitab-kitab ushul fiqh yang disusun dengan menggabungkan aliran
Jumhur dengan aliran Hanafiyah antara lain :
- Jami’u al-Jawami’, karya Taj al-Dien Ibnu al-Sibki (w. 771
H).
- Al-Tahrir fi Ushul al-Fiqh, karya Kamal al-Dien Ibn al-Humam (w. 861
H).
- Musallam al-Subut, karya Muhibbullah Ibn Abd al-Syukur (w.
1119 H).
- Al-Muwafaqat fi Ushul al-Syari’ah, karya Abu Ishaq al-Syatibi (w. 790 H).
BAB II
HUKUM SYARA’
A.
Hukum Syara’
1.
Pengertian Hukum Syara’
Secara etimologi kata hukum berarti
“mencegah” atau “memutuskan”. Menurut terminologi Ushul Fiqh hukum berarti
“Kalam Allah yang mengatur amal perbuatan orang mukallaf, baik berupa iqtidla
atau takhyir atau wad’I”.
Ayat-ayat atau
hadits-hadits hukum dapat dikategorikan kepada beberapa macam;
a.
Perintah
untuk melakukan suatu perbuatan.
b.
Larangan
untuk melakukan suatu perbuatan.
c.
Anjuran
untuk melakukan suatu perbuatan.
d.
Anjuran
untuk meninggalkan suatu perbuatan.
e.
Memberi
kebebasan untuk memilih antara melakukan atau
meninggalkan perbuatan yang mubah.
f.
Menetapkan
sesuatu sebagai sebab.
g.
Menetapkan
sesuatu sebagai syarat.
h.
Menetapkan
sesuatu sebagai mani’.
i.
Menetapkan
sesuatu sebagai kriteria sah dan batal
j.
Menetapkan
sesuatu sebagai kriteria ‘azimah dan rukhsah
Dalam pembagian diatas, perbuatan
yang diperintahkan sifatnya wajib, perbuatan yang dilarang sifatnya haram, yang
dianjurkan sifatnya mandub, yang dianjurkan untuk ditinggalkan sifatnya makruh
dan yang dibebaskan untuk memilih sifatnya mubah.
2.
Pembagian Hukum Syara’
Secara garis besar para ulama ushul
fiqh membagi hukum kepada dua macam, yaitu hukum taklifi dan hukum
wadh’i. Hukum taklifi menurut ahli ushul fiqh adalah “Ketentuan-ketentuan
Allah dan Rasul-Nya yang berhubungan langsung dengan perbuatan mukallaf, baik
dalam bentuk perintah, anjuran untuk melakukan, larangan, anjuran untuk tidak
melakukan, atau dalam bentuk memberi kebebasan memilih untuk berbuat atau tidak
berbuat”. Sedangkan yang dimaksud wadh’I adalah “Ketentuan-ketentuan hukum yang
mengatur sebab, syarat, mani’”.
a.
Hukum
Taklifi
Teks ayat hukum dan hadits hukum
yang berhubungan dengan hukum taklifi terbagi menjadi lima bentuk yaitu Wajib,
Mandub, Haram, Makruh, Mubah.
1)
Wajib
a.
Pembagian
Wajib
Secara etimologi kata wajib berarti
tetap atau pasti. Secara terminologi menurut Abdul Karim Zaidan berarti
“Sesuatu yang diperintahkan oleh Allah dan Rasul-Nya untuk dilaksanakan akan
mendapat pahala dari Allah dan bila tidak dilaksanakan diancam dengan dosa.
b.
Pembagian
Wajib
Dilihat dari segi orang yang dibebani kewajiban hukum wajib dapat
dibagi menjadi dua macam yaitu :
(1)
Wajib
‘Aini
Yaitu kewajiban yang dibebankan kepada setiap orang yang sudah
baligh berakal, tanpa kecuali.
(2)
Wajib
Kifayah
Yaitu kewajiban yang dibebankan kepada seluruh mukalaf, namun
bilamana sudah dilakukan oleh sebagian umat Islam maka kewajiban itu sudah
dianggap terpenuhi sehingga orang yang tidak ikut melaksanakannya tidak lagi
diwajibkan mengerjakannya.
Dilihat dari segi kandungan perintah, hukum wajib dapat dibagi
menjadi dua macam :
(1)
Wajib
Mu’ayyan
Yaitu suatu kewajiban dimana yang menjadi objeknya adalah tertentu
tanpa pilihan.
(2)
Wajib
Mukhayyar
Yaitu kewajiban dimana yang menjadi objeknya boleh dipilih antara
beberapa alternatif.
Bila dilihat dari segi waktu pelaksanaannya, hukum wajib terbagi
menjadi dua macam :
(1)
Wajib
Mutlaq
Yaitu kewajiban yang pelaksanaanya tidak dibatasi dengan waktu
tertentu.
(2)
Wajib
Muaqqat
Yaitu kewajiban yang pelaksanaannya dibatasi dengan waktu tertentu.
2)
Mandub
a.
Pengertian
Mandub
Kata mandub dari segi bahasa berarti
“sesuatu yang dianjurkan”. Sedangkan menurut istilah, seperti yang dikemukakan
oleh Abdul Karim Zaidan, adalah suatu perbuatan yang dianjurkan oleh Allah dan
Rasul-Nya, dimana akan diberi pahala bagi yang melaksanakannya, namun tidak
dicela orang yang tidak melaksanakannya.
b.
Pembagian
Mandub
(1)
Sunnah
Muakkad (yang sangat dianjurkan)
(2)
Sunnah
Ghair al-Muakkad (sunnah biasa)
(3)
Sunnah
al-Zawaid yaitu mengikuti kebiasaan sehari-hari Rasulullah sebagai manusia.
3)
Haram
a.
Pengertian
Haram
Kata Haram secara etimologi berarti
“Sesuatu yang dilarang mengerjakannya”. Secara terminologi ushul fiqh kata
haram berarti sesuatu yang dilarang oleh Allah dan Rasul-Nya, dimana orang yang
melanggarnya dianggap durhaka dan diancam dengan dosa, dan orang yang
meninggalkannya karena menaati Allah, diberi pahala.
b.
Pembagian
Haram
(1)
Al-Muharram
li Dzatihi, yaitu sesuatu yang diharamkan oleh syariat karena esensinya
mengandung kemudharatan bagi kehidupan manusia, dan kemudharatan itu tidak bisa
terpisah dari dzatnya.
(2)
Al-Muharram
li Ghairihi, yaitu sesuatu yang dilarang bukan esensinya karena secara esensial
tidak mengandung kemudharatan, namun dalam kondisi tertentu, sesuatu itu
dilarang karena ada pertimbangan eksternal yang akan membawa kepada sesuatu
yang dilarang secara esensial.
4)
Makruh
a.
Pengertian
makruh
Secara bahasa makruh berarti
“Sesuatu yang dibenci”. Dalam istilah ushul fiqh kata makruh berarti sesuatu
yang dianjurkan syariat untuk meninggalkannya, dimana bila ditinggalkan
mendapat pujian dan apabila dilanggar tidak berdosa.
b.
Pembagian
Makruh
(1)
Makruh
Tahrim, yaitu sesuatu yang dilarang oleh syariat tetapi dalil yang melarang itu
bersifat zhani al-wurud, tidak bersifat pasti.
(2)
Makruh
Tanzih, yaitu sesuatu yang dianjurkan oleh syariat untuk meninggalkannya.
5)
Mubah
a.
Pengertian
Mubah
Secara bahasa kata mubah berarti
“Sesuatu yang dibolehkan atau diiziinkan. Menurut isltilah ushul fiqh, berarti
“Sesuatu yang diberi pilih oleh syariat apakah seorang mukallaf akan
melakukannya atau tidak melakukannya, dan tidak ada hubungannya dengan dosa dan
pahala.
b.
Pembagian
Mubah
(1)
Mubah
yang berfungsi untuk mengantarkan seseorang kepada sesuatu hal yang wajib
dilakukan.
(2)
Sesuatu
baru dianggap mubah hukumnya bilamana dilakukan sekali-kali, tetapi haram bila
terus menerus.
(3)
Sesuatu
yang mubah berfungsi sebagai sarana untuk mencapai sesuatu yang mubah pula.
b.
Hukum
Wadh’i
Hukum Wadh’i adalah ketentuan
syariat dalam bentuk menetapkan sesuatu sebagai sebab, sebab syarat, atau
sebagai mani’. Dengan demikian maka hukum wadhi’i ada tiga, yaitu :
1)
Sebab
a.
Pengertian
Sebab
Sebab menurut bahasa berarti
“Sesuatu yang bisa menyampaikan seseorang kepada sesuatu yang lain”. Menurut
istilah ushul fiqh, sebab berarti “Sesuatu yang dijadikan oleh syariat sebagai
tanda bagi adanya hukum, dan tidak adanya sebab sebagai tanda tidak adanya
hukum”.
b.
Pembagian
Sebab
(1)
Sebab
yang bukan merupakan perbuatan mukallaf dan ada diluar kemampuannya.
(2)
Sebab
yang merupakan perbuatan mukallaf dan dalam batas kemampuannya.
2)
Syarat
a.
Pengertian
Syarat
Menurut bahasa kata syarat berarti
“Sesuatu yang menghendaki adanya sesuatu yang lain” atau “Sebagai tanda”.
Menurut istilah ushul fiqh, syarat adalah “Sesuatu yang tergantung kepadanya
ada sesuatu yang lain, dan berada diluar hakikat sesuatu itu”.
b.
Pembagian
Syarat
(1)
Syarat
Syar’i, yaitu syarat yang datang langsung dari syariat sendiri.
(2)
Syarat
Ja’ly, yaitu syarat yang datang dari kemauan orang mukallaf itu sendiri.
3)
Mani’
a.
Pengertian
Mani’
Kata mani’ secara etimologi berarti
“penghalang dari sesuatu”. Secara terminologi, kata mani’ berarti “Sesuatu yang
ditetapkan syariat sebagai penghalang bagi adanya hukum atau penghalang bagi
berfungsinya suatu sebab”.
b.
Pembagian
Mani’
(1)
Mani’
al-Hukum, yaitu sesuatu yang ditetapkan syarat sebagai penghalang bagi adanya
hukum.
(2)
Mani’
al-Sabab, yaitu sesuatu yang ditetapkan syariat sebagai penghalang bagi
berfungsinya suatu sebab sehingga sebab itu tidak lagi mempunyai akibat hukum.
B.
Hakim
- Pengertian Hakim’
Kata hakim secara etimologi berarti
“Orang yang memutuskan hukum”. Dan dalam istilah fiqh kata hakim juga dipakai
sebagai orang yang memutuskan hukum di pengadilan yang sama maknanya dengan
qadhi. Dalam kajain ushul fiqh, kata hakim beerarti pihak penentu dan pembuat
hukum syariat secara hakiki.
- Baik dan Buruk
Perbedaan pendapat tentang baik dan
buruk dalam kajian ushul fiqh berasal dari perbedaan pendapat dikalangan ahli
ilmu kalam. Hal yang dibedakan adalah tentang apakah nilai baik dan buruk suatu
benda merupakan sifat esensi dari benda itu. Berikut beberapa pendapat :
a.
Kalangan
Mu’tazilah berpendapat bahwa perbuatan dapat dibagi kepada dua kategori:
(1)
Perbuatan
yang sifat baik atu buruknya bersifat esensial. Menurut aliran ini, fungsi akal
untuk mengetahui mana yang esensinya baik dan mana yang buruk, bukan untuk
menetapkan baik dan buruk, dan fungsi wahyu untuk menginformasikan mana yang
baiak dan mana yang buruk sehingga dapat memastikan apa yang telah ditemukan
oleh akal.
(2)
Perbuatan-perbuatan
yang tidak dapat diketahui oleh akal nilai baik dan buruknya, seperti ibadah
dan cara-caranya.
b.
Kalangan
mathuridiyah berpendapat bahwa sesuatu itu ada yang baik dan adapula yang buruk
menurut esensinya. Menurut aliran ini, masalah dosa dan pahala mutlak hanya
dapat diketahui oleh wahyu.
c.
Kalangan
Asy’ariyah berpendapat bahwa tidak ada yang bersifat baik dan buruk menurut
esensinya. Baik dan buruk sesuatu adalah sifat yang datang kemudian, bukan
bersifat esensial. Sesuatu dikatakan baik apabila wahyu menilainya baik,
begitupun sebaliknya.
C.
Mahkum Fih
1.
Pengertian Mahkum Fih
Mahkum Fih berarti “Perbuatan orang
mukallaf sebagai tempat menghubungkan hukum syara’”.
2.
Syarat-syarat Mahkum Fih
a.
Perbuatan
itu diketahui secara sempurna dan rinci oleh orang mukallaf sehingga dengan
demikian suatu perintah, misalnya, dapat dilaksanakan secara lengkap seperti
yang dikehendaki oleh Allah atau Rasul-Nya.
b.
Diketahui
secara pasti oleh orang mukallaf bahwa perintah itu datang dari pihak yang
berwenang membuat perintah yang dalam hal ini adalah Allah dan Rasul-Nya.
c.
Perbuatan yang diperintahkan atau dilarang haruslah
berupa perbuatan yang dalam batas kemampuan manusia untuk melakukan atau
meninggalkannya.
D.
Mahkum ‘Alaih
1.
Pengertian Mahkum ‘Alaih
Mahkum ‘Alaih berarti “Orang mukallaf”.
2.
Persyaratan Mahkum A’laih
a.
Mampu
memahami dalil-dalil hukum baik secara mandiri atau dengan bantuan orang lain
minimal sebatas memungkinkannya untuk mengamalkan isi dari ayat atau hadits
Rasulullah.
b.
Mempunyai
ahliyat al-ada’, yaitu kecakapan untuk bertindak secara hukum atau memikul
beban taklif.
BAB III
SUMBER dan DALIL HUKUM ISLAM
A.
Sumber dan Dalil Hukum yang
Disepakati
1.
Al-Qur’an
a.
Pengertian
Al-Qur’an
Al-Qur’an dalam kajian ushul fiqh
merupakan objek pertama dan utama pada kegiatan penelitian dalam memecahkan
suatu hukum. Al-Qur’an menurut bahasa artinya “bacaan” dan menurut istilah
ushul fiqh berarti “kalam Allah yang diturunkan-Nya dengan perantaraan malaikat
Jibril kepada Nabi Muhammad SAW dengan bahasa Arab serta dianggap beribadah
membacanya”.
Al-Qur’an diturunkan
di Makkah, tepatnya di gua Hira pada tahun 611 M, dan berakhir di Madinah pada
tahun 633 M, dalam jarak waktu kurang lebih 22 tahun beberapa bulan. Ayat yang
pertama kali turun yaitu Q.S al-‘Alaq 1-5 dan yang terakhir turun yaitu Q.S
al-Baqarah ayat 281.
- Ayat Makkiyah dan Madaniyah
Ayat-ayat yang diturunkan di Mekkah
umumnya yg menjadi inti pembicaaraanya adalah masalah akidah karena tanpa itu
syariat islam tidak akan diterima oleh umat yang baru saja masuk Islam seperti
firman Allah dalam Q.S al-Anbiya/21 ayat 25; untuk sampai kepada akidah ayat
makiyah mendorong untuk memikirkan alam nyata. Misalnya firman Allah dalam Q.S
al-Ghasiyah/88 ayat 17-20; disamping itu ayat makiyah juga berbicara tentang
kisah umat-umat masa lampau, seperti firman Allah dalam Q.S al-Mukminun/23 ayat
5-7; diharamkan memakan harta anak yatim, seoerti firma Allah dalam Q.S
an-Nisa/4 ayat 10; larangan mubazzir seperti dalam Q.S al-Isra’/17 ayat 26;
larangan mengurangi timbangan atau takaran sebagaimana firman Allah dalam Q.S
Hud/11 ayat 85; larangan membuat kerusakan di Bumi, seperti dalam Q.S
al-A’raf/7 ayat 56; dan ayat tentang kewajiban sholat sepeerti dalam Q.S Hud/11
ayat 114.
Ayat-ayat madaniyah yang banyak
terkait dengan hukum dari berbagai aspeknya. Misalnya tentang perintah zakat,
Allah berfirman dalam Q.S al-Baqarah/2 ayat 43; tentang puasa, Allah berfirman
dalam Q.S al-Baqarah/2 ayat 43; tentang pengharaman riba, Allah berfirman dalam
Q.S al-Baqarah/2 ayat 275; larangan memakan harta orang lain secara tidak sah,
Allah berfirman dalam Q.S al-Baqarah/2 ayat 188; tentang wanita-wanita yang
haram dinikahi, Allah berfirman dalam Q.S an-Nisa/4 ayat 23; mengenai talak,
Allah berfirman dalam Q.S at-Thalaq/65 ayat 1; tentang warisan, Allah berfirman
dalam Q.S an-Nisa/4 ayat 11-12; mengenai cara pembagian harta rampasan perang,
Allah berfirman dalam Q.S al-Anfal/8 ayat 1; tentang ayat-ayat ‘uqubat, Allah
berfirman dalam Q.S al-Baqaqah/2 ayat 178; tentang larangan merampok dan
mengacau keamanan, Allah berfirman dalam Q.S al-Maidah/5 ayat 33; tentang
peradilan, Allah berfirman dalam Q.S an-Nisa/4 ayat 58; tentang berhukum dengan
hukum Allah, Allah berfirman dalam Q.S al-Maidah/5 ayat 44.
- Hukum-hukum yang Terkandung dalam
Al-Qur’an
Al-Qur’an secara umum mengandung 3
ajaran pokok :
1.
Ajaran-ajaran
yang berhubungan dengan akidah.
2.
Ajaran-ajaran
yang berhubungan dengan akhlak.
3.
Hukum-hukum
amaliyah.
Abdul Wahab Khallaf memerinci macam
hukum-hukum bidang mu’amalat dan jumlah ayatnya sebagai berikut :
1.
Hukum
keluarga terdiri dari 70 ayat
2.
Hukum
Muamalat terdiri dari 70 ayat
3.
Hukum
Jinayat terdiri dari 30 ayat
4.
Hukum
al-Murafa’at (acara) terdiri dair 13 ayat
5.
Hukum
ketatanegaraan terdiri dari 10 ayat
6.
Hukum
antar bangsa (internasional) terdiri dari 25 ayat
7.
Hukum
Ekonomi terdiri dari 10 ayat.
Dari segi rinci atau tidaknya,
ayat-ayat hukum dalam Al-Qur’an, Muhammad Abu Zahrah menjelaskan sebagai
berikut:
1.
Ibadah,
ayat-ayat hukum mengenai ibadah dikemukakan dalam Al-Qur’an dalam bentuk mujmal
(global) tanpa merinci kaifiyatnya.
2.
Kafarat,
kafarat adalah semacam denda yang bermakna ibadah karena merupakan penghapus
bagi sebagian dosa.
3.
Hukum
Mu’amalat, dalam bidang ini Al-Qur’an hany memberikan prinsip-prinsip dasar,
seperti larangan memakan harta orang lain secara tidak sah dan keharusan adanya
rela sama rela dan larangan memakan riba.
4.
Hukum
Keluarga, dalam bidang ini mencakup bidang rumah tangga dan mawaris.
5.
Hukum
Pidana, disamping ada larangan melakukan kejahatan secara umum, bidang ini juga
secara khusus menjelaskan hukum berbagai tindakan kejahatan yang bisa
mengguncang bangunan masyarakat.
6.
Hukum
yang mengatur hubungan penguasa dengan rakyatnya.
7.
Hukum
yang mengatur tentang hubungan orang-orang islam dengan non-muslim.
2.
Sunnah Rasullah
a.
Pengertian
Sunnah
Kata Sunnah secara bahasa berarti
“perilaku seseorang tertentu, baik perilaku yang baik atau perilaku yang
buruk”. Menurut istilah ushul fiqh, Sunnah Rasulullah berarti “Segala perilaku
Rasulullah yang berhubungan dengan hukum, baik berupa ucapan, perbuatan, atau
pengakuan”.
b.
Dalil
Keabsahan Sunnah sebagai Sumber Hukum
Al-Qur’an memerintahkan kaum
muslimin untuk menaati Rasulullah seperti dalam Q.S an-Nisa/4 ayat 59; ada juga
menjelaskan bahwa pada diri Rasulullah terdapat keteladanan yang baik,
sebagaimana firman Allah dalam Q.S al-Ahzab/33 ayat 21; Allah memuji Rasulullah
sebaga orang yang agung akhlaknya, firman Allah dalam Q.S al-Qalam/68 ayat 4;
Allah menilai orang yang menati Rasul adalah sama dengan menaati Allah, seperti
dalam Q.S an-Nisa/4 ayat 80; Allah menganggap tidak ideal iman seseorang yang
tidak menyerah terhadap putusan Rasulullah, sebagaimana dalam Q.S an-Nisa/4
ayat 65.
c.
Pembagian
Sunnah atau Hadits
Sunnah atau hadits dari segi
sanadnya atau periwatannya dalalm kajian ushul fiqh dibagi kepada dua macam,
yaitu :
1.
Hadits
mutawatir ialah hadits yang diriwayatkan dari Rasulullah oleh sekelompok perawi
yang menurut kebiasaan individu-individunya jauh dari kemungkinan berbuat
bohong karena banyak jumlah mereka dan diketahui sifat mereka masing-masing
jujur serta berjauhan tempat antara satu dan yang lainnya.
2.
Hadits
ahad ialah hadits yang diriwayatkan oleh seorang atau lebih tetapi tidak sampai
kebatas mutawatir. Hadits ahad terbagi atas tiga macam, yaitu :
a.
Hadits
masyhur, yaitu hadits yang pada masa sahabat diriwayatkan oleh 3 orang perawi.
b.
Hadits
‘aziz yaitu hadits yang pada satu periode diriwayatkan oleh dua orang.
c.
Hadits
gharib yaitu hadits yang diriwayatkan orang perorangan pada setiap periode
hadits itu dibukukan.
d.
Fungsi
Sunnah Terhadap Ayat-ayat Hukum
1.
Menjelaskan
isi al-Qur’an, antara lain dengan merinci ayat-ayat global.
2.
Membuat
aturan tambahan yang bersifat teknis atas sesuatu kewajiban yang disebutkan
pokok-pokoknya didalam al-Qur’an.
3.
Menetapkan
hukum yang belum ditanggung dalam al-Qur’an.
3. Ijma’
a.
Pengertian
Ijma’
Kata Ijma’ secara bahasa berarti
“kebulatan tekad terhadap suatu persoalan” atau “kesepakatan tentang sesuatu
masalah”. Menurut istilah ushul fiqh adalah “kesepakatan para mujtahid dari
kalangan umat Islam tentang hukum syara’ pada satu masa setelah Rasulullah
wafat”.
b.
Dalil
Keabsahan Ijma’ Sebagai Landasan Hukum
1.
Q.S
An-Nisa ayat 115. Dari ayat ini dipahami, kata Muhammad Abu Zahrah, bahwa wajib
hukumnya mengikuti jalan orang-orang yang mukmin yaitu mengikuti kesepakatan
mereka.
2.
Hadits
Rasulullah, riwayat Abu Daud dan Tirmidzi yang artinya “Dari Ibnu Umar,
Rasulullah SAW. Bersabda “Sesungguhnya Allah tidak akam mengumpulkan umatku,
atau beliau berkata umat Muhammad SAW atas kesesatan”.
c.
Landasan
Sanad Ijma’
1.
Ijma’
atas landasan Al-Qur’an
2.
Ijma’
atas landasan Sunnah
3.
Ijma’
atas landasan qiyas (menurut mayoritas ulama)
d.
Macam-macam
Ijma’
1.
Ijma’
Sharih, yaitu kesepakatan tegas dari para mujtahid dimana masing-masing
mujtahid menyatakan persetujuannya secara tegas terhadap kesimpulan itu.
2.
Ijma’
Sukuti, yaitu sebagian ulama mujtahid menyampaikan pendapatmnya, sedangkan
ulama mujtahid lainnya hanya diam tanpa komentar.
4. Qiyas
a.
Pengertian
Qiyas
Menurut bahasa qiyas berarti
“mengukur sesuatu dengan sesuatu yang lain untuk diketahui adanya persamaan antara
keduanya”. Menurut istilah ushul fiqh adalah “menghubungkan sesuatu yang tidak
ada ketentuan hukumnya dengan sesuatu yang ada ketentuan hukumnya karena ada
persamaan illat antara keduanya”.
b.
Dalil
Keabsahan Qiyas Sebagai Landasan Hukum
1.
Q.S
An-Nisa ayat 59, ayat ini menunjukkan bahwa jika ada perselisihan pendapat
diantara ulama tentang hukum suatu masalah, maka jalan keluarnya dengan
mengembalikannya kepada Al-Qur’an dan Sunnah Rasulullah. cara mengembalikannya
dengan melakukan qiyas.
2.
Hadits
yang berisi dialog antara Rasulullah dengan Mu’az bin Jabal ketika yang disebut
terakhir ini dikirim menjadi hakim di Yaman.
c.
Rukun
Qiyas
1.
Ashal
(pokok tempat mengqiyaskan sesuatu). Beberapa syarat ashal yaitu:
a.
Hukum
yang hendak dipindahkan kepada cabang masih ada pada pokok (ashal).
b.
Hukum
yang terdapat pada ashal itu hendaklah hukum syara’.
c.
Hukum
ashal bukan merupakan hukum pengecualian.
2.
Adanya
Hukum Ashal. Syarat-syarat hukum ashal yaitu :
a.
Hukum
ashal hendanya hukum syara’ yang berhubungan dengan amal perbuatan.
b.
Hukum
ashal dapat ditelusuri illat hukumnya.
c.
Hukum
ashal itu bukan merupakan kekhususan Nabi Muhammad.
3.
Adanya
Cabang (Far’u). Syarat-syaratnya yaitu :
a.
Cabang
tidak mempunyai ketentuan tersendiri.
b.
Illat
yang terdapat pada cabang terdapat sama dengan yang terdapat pada ashal.
c.
Hukum
cabang harus sama dengan hukum pokok.
4.
Adanya
Illat. Syarat-syaratnya yaitu :
a.
Illat
harus berupa sesuatu yang ada kesesuaiannya dengan tujuan pembentukan suatu
hukum.
b.
Illat
harus bersifat jelas.
c.
Illat
harus berupa sesuatu yang bisa dipastikan bentuk, jarak, atau kadar
timbangannya jika berupa barang yang ditimbang.
d.
Macam-macam
Qiyas
Dilihat dari segi perbandingan antar
illat yang terdapat ashal dan yang terdapat pada cabang illat dibagi menjadi
tiga macam yaitu :
1.
Qiyas
Awla, yaitu bahwa illat yang terdapat pada far’u lebih utama daripada illat
yang terdapat pada ashal.
2.
Qiyas
Musawi, yaitu qiyas dimana illat yang terdapat pada far’u sama bobotnya dengan
yang terdapat pada ashal
3.
Qiyas
al-Ada, yaitu qiyas dimana illat yang terdapat pada far’u lebih rendah bobotnya
dibandingkan illat pada ashal.
Dilihat dari segi jelas atau tidak
jelasnya illat sebagai landasan hukum, dibagi menjadi dua macam yaitu :
1.
Qiyas
Jali, yaitu qiyas yang didasarkan atas illat yang ditegaskan dalam Al-Qur’an
dan Sunnah atau tidak disebutkan secara tegas sumbernya tetapi berdasarkan
penelitian, kuat dugaan bahwa tidak ada illatnya.
2.
Qiyas
Khafi, yaitu qiyas yang didasarkan atas illat yang diistinbatkan dari hukum
ashal.
B.
Dalil-dalil yang Tidak
Disepakati
- Istihsan
a.
Pengertian
Istihsan
Dari segi bahasa istihsan berarti
menganggap sesuatu baik, yang terambil dari kata al-husnu. Sedangkan menurut
istilah ushul fiqh, terdiri dari dua definisi, pertama “memakai qiyas
khafi dan meninggalkan qiyas jali karena ada petunjuk itu”. Kedua “hukum
pengecualian dari kaidah-kaidah yang berlaku umum karena ada petunjuk untuk hal
tersebut”.
b.
Perbedaan
Pendapat Ulama Mengenai Istihsan
1)
Mazhab
Hanafi, Maliki, dan Mazhab Hanbali berpendapat bahwa istihsan dapat dijadikan
landasan dalam menetapkan hukum dengan beberapa pendapat diantaranya firman
Allah dalam Q.S az-Zumar/39 ayat 18 dan sabda Rasulullah yang diriwayatkan oleh
Imam Ahmad, yang artinya “Apa yang dianggap baik oleh orang-orang muslim,
adalah juga baik disisi Allah.
2)
Imam
Muhammad bin Idris al-Syafi’I (w. 204 H), tidak menerima istihsan sebagai
landasan hukum. Menurutnya, barangsiapa yang menetapkan hukum berlandaskan
istihsan sama dengan membuat syariat baru dengan hawa nafsu.
- Maslahah Mursalah
a.
Pengertian
Maslahah Mursalah
Kata maslahah menurut bahasa berarti “manfaat”, dan kata mursalah
berarti “lepas”. Gabungan dari dua kata tersebut yaitu maslahah mursalah
menurut istilah berarti “sesuatu yang dianggap maslahat namun tidak ada
ketegasan hukum untuk merealisasikannya dan tidak pula ada dalil tertentu baik
yang mendukung maupun menolaknya”.
b.
Macam-macam
Maslahah Mursalah
1)
Al-maslahah
al-Mu’tabaroh, yaitu maslahah yang secara tegas diakui syariat dan telah
ditetapkan ketentuan-ketentuan hukum unutk merealisasikannya.
2)
Al-Maslahah
al-Mulgah, yaitu sesuatu yang dianggap maslahah oleh akal pikiran, tetapi
dianggap palsu karena kenyataannya bertentangan dengan syariat.
3)
Al-Maslahah
al-Mursalah
c.
Perbedaan
Pendapat Ulama Mengenai Maslahah Mursalah
Para ulama ushul fiqh sepakat bahwa
maslahah mursalah tidak sah menjadi landasan hukum dalam bidang ibadah, karena
bidang ibadah harus diamalkan sebagaimana adanya diwariskan oleh Rasulullah.
Mereka berbeda pendapat dalam bidang
muamalat. Kalangan Dzahiriyah dan kalangan Syafi’iyah dan Hanafiyah tidak
menggunakan maslahah mursalah sebagai landasan hukum; Berbeda dengan kalangan
Malikiyah dan Hanabilah yang berpendapat bahwa maslahah mursalah secara sah
dapat dijadikan landasan penetapan hukum.
d.
Syarat-syarat
Maslahah Mursalah
1)
Sesuatu
yang dianggap maslahat itu haruslah berupa maslahat hakiki, bukan berupa dugaan
dengan hanya mempertimbangkan adanya kemanfaatan tanpa melihat kepada akibat
negatif yang ditimbulkannya.
2)
Sesuatu
yang dianggap maslahat itu hendaklah berupa kepentingan umum, bukan kepentingan
pribadi.
3)
Sesuatu
yang dianggap maslahah tidak bertentangan dengan nash atau ijma’.
- ‘Urf
a.
Pengertian
‘Urf
Kata ‘urf secara etimologi berarti
“sesuatu yang dipandang baik dan diterima oleh akal sehat”. Sedangkan secara
terminologi ‘urf berarti “sesuatu yang tidak asing lagi bagi satu masyarakat
karena telah menjadi kebiasaan dan menyatu dengan kehidupan mereka baik berupa
perbuatan atau perkataan”.
b.
Macam-macam
‘Urf
1)
Al-‘Urf
al-‘Am, yaitu adat kebiasaan mayoritas dari berbagai negeri di satu masa.
2)
Al-‘Urf
al-Khas, yaitu adat istiadat yang berlaku pada masyarakat atau negeri tertentu.
Disamping pembagian diatas ‘urf dibagi pula kepada:
1)
Adat
kebiasaan yang benar, yaitu seluruh hal baik yang menjadi kebiasaan masyarakat.
2)
Adat
kebiasaan yang fasid, yaitu sesuatu yang menjadi adat kebiasaan yang sampai
menghalalkan yang diharamkan Allah.
c.
Keabsahan
‘Urf Menjadi Landasan Hukum
‘Urf mereka terima sebagai landasan hukum dengan beberapa alasan:
1)
Q.S
al-A’raf ayat 199, kata al-‘urfi dalam ayat tersebut, dimana umat manusia
disuruh mengerjakannya, oleh ulama ushul fiqh dipahami sebagai sesuatu yang
baik dan telah menjadi kebiasaan masyarakat.
2)
Pada
dasarnya, syariat Islam dari masa awal banyak menampung dan mengakui adat atau
tradisi yang baik dalam masyarakat selama tradisi itu tidak bertentangan dengan
Al-Qur’an dan Sunnah.
d.
Syarat-syarat
‘Urf Untuk Dapat Dijadikan Landasan Hukum
1)
‘Urf
itu harus termasuk ‘urf yang sahih.
2)
‘Urf
itu harus bersifat umum.
3)
‘Urf
itu harus sudah ada ketika terjadinya suatu peristiwa yang akan dilandaskan
kepada ‘urf itu.
4)
Tidak
ada ketegasan dari pihak-pihak terkait yang berlainan dengan kehendak ‘urf
tersebut.
- Istishab
a.
Pengertian
Istishab
Kata istishab secara etimologi
berarti “meminta ikut serta secara terus menerus”. Menurut Abdul Karim Zaidan, istishab
berarti “menganggap tetapnya status sesuatu seperti keadaanya semula selama
belum terbukti ada sesuatu yang mengubahnya”.
b.
Macam-macam
Istishab
1)
Istishab
al-Ibahah al-Ashliyah, yaitu istishab yang didasarkan atas hukum asal dari
sesuatu yaitu mubah.
2)
Istishab
al-Baraah al-Ashliyah, yaitu istishab yang didasarkan atas prinsip bahwa pada
dasarnya setiap orang bebas dari tuntutan beban taklif sampai ada dalil yang
mengubah statusnya itu.
3)
Istishab
al-Hukm, yaitu ishtishab yang didasarkan atas tetapnya status hukum yang sudah
ada selama tidak ada bukti yang mengubahnya.
4)
Istishab
al-Wasf, yaitu istishab yang didasarkan atas anggapan masih tetapnya sifat yang
diketahui ada sebelumnya sampai ada bukti yang mengubahnya.
- Syar’u Man Qablana
a.
Pengertian
Syar’u Man Qablana
Syar’u man qablana adalah syariat
atau ajaran-ajaran nabi-nabi sebelum Islam yang berhubungan dengan hukum.
b.
Pendapat
Ulama Tentang Syar’u Man Qablana
Menurut kalangan Hanafiyah,
Malikiyah, mayoritas kalangan Syafi’iyah, dan satu riwayat dari Ahmad bin
Hanbal, syar’u man qablana berlaku bagi umat Islam. Diantara alasan mereka:
1)
Pada
dasarnya syariat itu adalah satu karena datang dari Allah juga.
2)
Terdapat
beberapa ayat yang menyuruh mengikuti para nabi terdahulu.
Menurut para ulama Mu’tazilah, Syi’ah, sebagian kalangan
Syafi’iyah, dan salah satu pendapat Imam Ahmad bin Hambal, syariat sebelum
Islam yang disebut dalam Al-Qur’an, tidak menjadi syariat bagi umat Islam.
- Mazhab Sahabi
a.
Pengertian
Mazhab Sahabi
Mazhabb sahabi ialah “pendapat sahabat Rasulullah SAW tentang suatu
kasus dimana hukumnya tidak dijelaskan secara tegas dalam Al-Qur’an dan Sunnah
Rasulullah.
Abdul Karim Zaidan membagi pendapat sahabat dalam empat kategori:
1)
Fatwa
sahabat yang bukan merupakan hasil Ijtihad.
2)
Fatwa
sahabat yang disepakati secara tegas dikalangan mereka.
3)
Fatwa
sahabat secara perorangan yang tidak mengikat sahabat yang lain.
4)
Fatwa
sahabat secara perorangan yang didasarkan oleh ra’yu dan ijtihad.
- Sadd az-Zari’ah
a.
Pengertian
Sadd az-Zari’ah
Secara bahasa sadd az-zariah berarti “menutup jalan kepada suatu
tujuan”. Menurut istilah ushul fiqh sadd az-zari’ah berarti “menutup jalan yang
membawa kepada kebinasaan atau kejahatan”.
b.
Macam-macam
Sadd az-Zaria’ah
1)
Perbuatan
yang keharamannya bukan saja karena ia sebagai wasilah bagi sesuatu yang
diharamkan, tetapi esensi perbuatan itu sendiri adalah haram.
2)
Perbuatan
yang secara esensial dibolehkan, namun perbuatan itu memungkinkan untuk
digunakan sebagai wasilah kepada sesuatu yang diharamkan.
BAB IV
METODE ISTINBAT
A.
Metode Istinbat Dari Segi
Bahasa
1.
Amar (Perintah), Nahi, dan Takhyir
1.
Amar
a.
Pengertian
Amar
Menurut mayoritas ulama Ushul Fiqh,
amar adalah “suatu tuntutan untuk melakukan sesuatu untuk melakukan sesuatu
dari pihak yang lebih tinggi kepada pihak yang lebih rendah”.
Perintah untuk melakukan
suatu perbuatan disampaikan dalam berbagai gaya atau redaksi, antara lain:
1)
Perintah
tegas dengan menggunakan kata amara امر
dan yang seakar dengannya.
2)
Perintah
dalam bentuk pemberitaan bahwa perbuatan itu diwajibkan atas seorang dengan
memakai kata كتب /diwajibkan.
3)
Perintah
dengan memakai redaksi pemberitaan (jumlah khabariyah), namun yang dimaksud
adalah perintah.
4)
Perintah
dengan memakai kata kerja perintah secara langsung.
5)
Perintah
dengan menggunakan kata kerja mudhari’ yang disertai oleh lam amr.
6)
Perintah
dengan menggunakan kata faradha/mewajibkan.
7)
Perintah
dalam bentuk penilaian bahwa perbuatan itu adalah baik.
8)
Perintah
dalam bentuk menjanjikan kebaikan yang banyak atas pelakunya.
b.
Hukum-hukum
yang Mungkin Ditunjukkan Oleh Bentuk Amar
1)
Menunjukkan
hukum wajib.
2)
Untuk
menjelaskan bahwa sesuatu itu boleh dilakukan.
3)
Sebagai
anjuran.
4)
Untuk
melemahkan.
5)
Sebagai
ejekan dan penghinaan.
c.
Kaidah-kaidah
yang Berhubungan dengan Amar
1)
الأصل فى الأمر للوجوب , pada dasarnya suatu
perintah menunjukkan hukum wajib dilaksanakan.
2)
دلالة الأمر على التكرار أو الوحده , suatu perintah
haruskah dilakukan berulang kali atau cukup dilakukan sekali saja ?.
3)
دلالة الأمر على الفور أو التراخى , suatu perintah
haruskah dilakukan segera mungkin atau ditunda-tunda ?.
2.
Nahi
a.
Pengertian
dan bentuk-bentuk nahi
Mayoritas ulama ushul fiwh
mendefinisikan nahi sebagai “larangan melakukan suatu perbuatan dari pihak yang
lebih tinggi kedudukannya kepada pihak yang lebih rendah tingkatannya dengan
kalimat yang menunjukkan atas hal itu.
Dalam melarang suatu
perbuatan, Allah juga memakai bahasa ragam gaya bahasa. Diantaranya adalah:
1)
Larangan
secara tegas dengan menggunakan kata نهي
atau yang seakar dengannya yang secara bahasa berarti melarang.
2)
Larangan
dengan menjelaskan bahwa suatu perbuatan diharamkan.
3)
Larangan
dengan menegaskan bahwa perbuatan itu tidak halal.
4)
Larangan
dengan menggunakan kata kerja mudhari’ yang disertai huruf la nahiyah.
5)
Larangan
dengan memakai kata perintah namun bermakna tuntutan untuk meninggalkan.
6)
Larangan
dengan mengancam pelakunya dengan siksaan pedih.
7)
Larangan
dengan mensifati perbuatan itu dengan keburukan.
8)
Larangan
dengan cara meniadakan wujud perbuatan itu.
b.
Beberapa
Kemungkinan Hukum yang Ditunjukkan Bentuk Nahi
1)
Untuk
menunjukkan hukum haram.
2)
Sebagai
anjuran untuk meninggalkan.
3)
Penghinaan.
4)
Untuk
menyatakan permohonan.
c.
Kaidah-kaidah
yang Berhubungan dengan Nahi
1)
الأصل فى النهي التحريم , pada dasarnya suatu
larangan menunjukan hukum haram.
2)
الأصل فى النهي يطلق الفساد مطلق , suatu larangan menunjukkan fasad perbuatan dilarang itu jika
dikerjakan.
3)
النهي عن الشيء أمر بضده , suatu larangan terhadap suatu perbuatan
berarti perintah terhadap kebalikannya.
3.
Takhyir
Menurut Abdul Karim Zaidan yang
dimaksud dengan takhyir adalah “bahwa Syar’i (Allah dan Rasul-Nya) memberi
pilihan kepada hambanya antara melakukan atau tidak melakukan suatu perbuatan”.
Untuk memberikan
hak pilih antara melakukan atau tidak melakukan dalam Al-Qur’an terdapat
berbagai cara, antara lain:
1)
Menyatakan
bahwa suatu perbuatan halal dilakukan.
2)
Pembolehan
dengan menafikan dosa dari suatu perbuatan.
3)
Pembolehan
dengan menafikan kesalahan dari melakukan suatu perbuatan.
2.
Lafal Umum (‘Am) dan Lafal Khusus (Khas)
1.
Lafal Umum (‘Am)
a.
Pengertian
dan Bentuk-bentuk Lafal Umum
Lafal umum ialah lafal yang
diciptakan untuk pengertian umu sesuai dengan pengertian lafal itu sendiri
tanpa dibatasi dengan jumlah tertentu.
Banyak kata yang menunjukkan makna
umum, seperti:
1)
Kata
kull (كل / setiap) dan jami’ (جميع / semua).
2)
Kata
jama’ yang disertai alif dan lam diawalnya.
3)
Kata
benda tunggal dan dima’rifahkan dengan alif lam.
4)
Isim
syarat (kata benda untuk mensyaratkan).
5)
Isim
nakirah yang dinafikan.
6)
Isim
maushul (kata ganti penghubung).
b.
Pembagian
Lafal Umum
1)
Lafal
umum yang dikehendaki keumumannya karena ada dalil atau indikasi yang
menunjukkan tertutupnya kemungkinan ada takhsis (pengkhususan).
2)
Lafal
umum pada hal yang dimaksud adalah makna khusus karena ada indikasi yang
menunjukkan makna seperti itu.
3)
Lafal
umum yang terbebas dari indikasi baik menunjukkan bahwa yang dimaksud adalah
makna umumnya atau adalah sebagian cakupannya.
2.
Lafal Khusus (Khas)
Lafal khas adalah lafal yang
mengandung satu pengertian secara tunggal atau beberpa pengertian yang
terbatas. Para ulamaa ushul fiqh sepakat bahwa lafal khas dalam nash syara’
menunjuk kepada pengertiannya yang khas secara qath’i dan hukum yang
dikandungnya bersifat qath’i selama tidak ada indikasi yang menunjukkan
pengertian lain.
3.
Mutlaq dan Muqayyad
Secara bahasa kata mutlaq berarti
bebas tanpa ikatan, dan kata muqayyad berarti terikat. Kata mutlaq menurut
istilah adalah “lafal yang menunjukkan suatu satuan tanpa dibatasi secara
harfiah dengan suatu ketentuan”.
Ayat-ayat hukum dalam Al-Qur’an ada
yang bersifat mutlaq dan adapula yang bersifat muqayyad. Kaidah ushul fiqh yang
berlaku disini adalah bahwa ayat yang bersifat mutlaq harus dipahami secara
mutlaq selama tidak ada dalil yang membatasinya, sebaliknya ayat yang bersifat
muqayyad harus dilakukan sesuai dengan batasannya.
4.
Mantuq dan Mafhum
a.
Pengertian
dan Pembagian Mantuq
Mantuq secara bahasa berarti
“sesuatu yang diucapkan”. Sedangkan menurut istilah ushul fiqh berarti
pengertian harfiah dari suatu lafal yang diucapkan.
Menurut ulama ushul fiqh, mantuq
dibagi kepada mantuq sharih dan mantuq ghairu sharih. Mantuq sharih secara
bahasa berarti “sesuatu yang diucapkan secara tegas”. Sedangkan mantuq ghairu
sharih, yaitu pengertian yang ditarik bukan dari makna asli suatu lafal, tetapi
sebagai konsekuensi dari suatu ucapan. Mantuq ghairu sharih terbagi kepada tiga
bagian, yaitu: Dalalat al-Ima’, Dalalat al-Isyarat, dan Dalalat al-Iqtida’.
b.
Pengertian
dan Pembagian Mafhum
Mafhum secara bahasa ialah “sesuatu yang dipahami dari suatu teks”.
Dan menurut istilah dalah “pengertian tersirat dari suatu lafal atau pengertian
kebalikan dari pengertian lafal yang diucapkan”. Mafhum, seperti tergambar
dalam definisi diatas daoat dibagi kepada dua macam, yaitu:
1)
Mafhum
Muwafaqah, ialah penunjukkan hukum melalui motivasi tersirat atau alasan logis
dimana rumusan hukum dalam mantuq dilandaskan.
2)
Mafhum
mukhalafah, adalah penunjukkan lafal atas tetapnya hukum kebalikan dari yang
tersurat ketika ternafinya suatu persyaratan.
5.
Lafal dai Segi Jelas ( واضح ) dan Tidak Jelas (غير
واضح ) Maknanya
Jumhur ulama ushul fiqh seperti
dijelaskan Adib Shalih membagi lafal dari segi jelas dan tidak jelasnya kepada
tiga tingkatan, yaitu :
a.
Nash
Secara etimologi, nash berarti
az-zuhur (jelas). Dan menurut istilah nash secara umum yaitu teks Al-Qur’an dan
Sunnah Rasulullah, baik tegas maupun tidak tegas. Nash dalam pengertian khusus
adalah yang menunjukkan suatu pengertian yang sama sekali tidak ada
kebolehjadian pengertian lain baik jauh maupun dekat kecuali pengertian yang
cepat ditangkap ketika mendengan bunyi lafal itu.
b.
Dzahir
Secara bahasa dzahir berarti
al-wudhuh (jelas). Sedangkan menurut istilah dzahir berarti lafal yang
menunjukkan suatu pengertian yang hanya sampai tingkat zhanny (dugaan keras).
c.
Mujmal
Secara etimologi berarti “sekumpulan
sesuatu tanpa memerhatikan satu per satunya”. Sedangkan menurut istilah mujmal
berarti lafal yang tidak jelas pengertiannya sehingga untuk memahaminya
memerlukan penjelasan dari luar (al-bayan).
Kalangan Hanafiyah, seperti
dijelaskan Adib Shalih, membagi lafal dari segi kejelasannya kepada empat
tingkatan, yaitu:
a.
Zhahir
Zhahir yaitu pengertian yang
ditunjukkan oleh redaksi tersebut tetapi bukan merupakan tujuan utama dari
pengucapannya.
b.
Nash
Nash, yaitu lafla yang menunjukkan
pengertiannya secara jelas dan memang pengertian itulah yang dimaksudkan oleh
konteksnya.
c.
Mufassar
Mufassar adalah lafal yang
menunjukkan kepada maknanya secara jelas dan rinci tanpa ada kemungkinan untuk
dipalingkan kepada pengertian lain (ta’wil).
d.
Muhkam
Muhkam adalah lafal yang menunjukkan
kepada maknanya secara jelas sehingga tertutup kemungkinan untuk dita’wil.
Lafal dari segi tidak jelas
pengertiannya oleh kalangan Hanafiyah dibagi kepada empat tingkatan yaitu:
a.
Khafi
Khafi adalah lafal yang dari segi
penunjukannya kepada makna adalah jelas, namun ketidakjelasan timbul ketika
menerapkan pengertian itu kepada kasus tertentu. Ketidakjelasan itu disebabkan
karena bentuk kasus itu tidak persis sama denga kasus yang ditunjukkan oleh
suatu dalil.
b.
Musykil
Musykil adalah lafal yang tidak
jelas pengertiannya, dan ketidakjelasan itu disebabkan oleh lafal itu
diciptakan untuk beberapa pengertian yang berbeda sehingga untuk mengetahui
pengertian mana yang dimaksud dalam sebuah redaksi memerlukan indikasi atau
dalil dari luar.
c.
Mujmal
Mujmal menurut kalangan Hanafiyah
adalah lafal yang mengandung makna secara global dimana kejelasan maksud dan
rinciannya tidak dapat diketahui dari pengertian lafal itu sendiri.
d.
Mutasyabih
Kalangan Hanafiyah mendefinisikan
mutasyabih dengan suatu lafal yang tidak menunjukkan kejelasan maknanya, dan
tidak pula ada tanda-tanda atau dalil-dalil yang menjelaskannya.
6.
Lafal Ditinjau dari Segi Pemakainya
Ali Hasabalah membagi lafal dari
segi pemakainya kepada hakikat dan majaz. Lafal Hakikat adalah lafal yang
digunakan kepada pengertian aslinya sesuai dengan maksud penciptaannya.
Sedangkan majaz adalah menggunakan lafal kepada selain pengertian aslinya itu
serat ada qarinah yang menunjukkan untuk itu.
7.
Ta’wil
Ta’wil berasal dari kata dasar
al-awlu yang menurut bahasa berarti ar-ruju’ ila al-ashl, dan dalam bentuk kata
ta’wil berarti mengembalikan sesuatu kepada asal. Ta’wil menurut ulama-ulama
ushul fiqh berarti pemaligan suatu lafal dari makna zhahir kepada makna lain
yang tidak cepat ditangkap, karena ada dalil yang menunjukkan bahwa makna
itulah yang dimaksud oleh lafal tersebut.
Adib Shalih mengemukakan beberapa
persyaratan untuk ta’wil yaitu:
1)
Lafal
yang hendak dita’wilkan itu mengandung beberapa pengertian, baik ditinjau dari
segi bahasa seperti makna hakikat dan makna majazinya.
2)
Ada
dalil atau indikasi yang menunjukkan bahwa yang dimaksud oleh sipembicara bukan
makna zhahirnya, tetapi makna yang tidak zhahir, dan dalil atau indikasi itu
lebih kuat dibandingkan dengan alasan menetapkan suatu lafal pada makna
hakikatnya.
B.
Metode Penetapan Hukum
Melalui Maqasid Syari’ah
1)
Pengertian Maqasid Syari’ah
Maqasid Syari’ah berarti tujuan Allah dan Rasul-Nya dalam
merumuskan hukum-hukum Islam. Kemaslahatan yang akan diwujudkan itu menurut
al-Syatibi terbagi kepada tiga tingkatan yaitu:
a.
Kebutuhan
Dharuriyat
Kebutuhan Dharuriyat adalah tingkat
kebutuhan yang harus ada atau disebut dengan kebutuhan primer. Menurut
al-Syatibi ada lima hal yang termasuk dalam kategori ini, yaitu memelihara
agama, memelihara jiwa, memelihara akal, memelihara kehormatan dan keturunan,
serta memelihara harta.
b.
Kebutuhan
Hajiyat
Kebutuhan hajiyat adalah
kebutuhan-kebutuhan sekunder dimana tidak terwujudkan tidak sampai mengancam
keselamatannya, namun akan mengalami kesulitan. Syariat Islam menghilangkan
segala kesulitan itu. Adanya hukum rukhsoh adalah sebuah contoh dari kepedulian
Syariat Islam terhadap kebutuhan ini.
c.
Kebutuhan
Tahsiniyst
Kebutuhan tahsiniyat ialah tingkatan
kebutuhan yang apabila tidak terpenuhi tidak mengancam eksistensi salah satu
dari lima pokok diatas dan tidak pula menimbulkan kesulitan.
2)
Peranan Maqasid Syari’ah dalam Pengembangan Hukum
Pengetahuan tentang maqashid
syari’ah, seperti ditegaskan oleh Abd al-Wahhab Khalaf, adalah hal sangat
penting yang dapat dijadikan alat bantu untuk memahami redaksi Al-Qur’an dan
Sunnah, menyelesaikan dalil-dalil yang bertentangan dan yang sangat penting
lagi adalah menetapkan hukum terhadap kasus yang tidak tertampung oleh
Al-Qur’an dan Sunnah secara kajian kebahasaan.
Metode istinbat
seperti qiyas, istihsan, dan maslahah mursalah adalah metode-metode
pengembangan hukum Islam yang didasarkan atas maqasid syari’ah.
C.
Ta’arud dan Tarjih
1.
Ta’arud
Kata ta’arud secara bahasa berarti
pertentangan antara dua hal. Sedangkan menurut istilah bahwa satu dari dua
dalil menghendaki hukum yang berbeda dengan hukum yang dikehendaki oleh dalil
yang lain.
Bilamana dalam pandangan seorang
mujtahid terjadi ta’arud antara dua dalil, maka perlu dicarikan jalan
keluarnya, dan disini terdapat perbedaan pendapat antara kalangan Hanafiyah dan
kalangan Syafi’iyah.
Menurut kalangan Hanafiyah, jalan
yang ditempuh bilamana terjadi ta’arud secara global adalah:
i.
Dengan
meneliti mana yang lebih dahulu turunnya ayat atau diucapkannya hadits, dan
bila diketahui, maka dalil yang terdahulu dianggap dinasakh.
ii.
Jika
tidak diketahui mana yang lebih dulu, maka cara selanjutnya adalah dengan
tarjih, yaitu meneliti mana yang lebih kuat diantara dalil-dalil yang
bertentangan itu.
iii.
Jika
tidak bisa ditarjih karena ternyata sama-sama kuat, maka jalan keluarnya dengan
mengkompromikan antara dua dalil itu.
iv.
Jika
tidak ada peluang untuk mengkompromikannya maka jalan keluarnya adalah dengan
tidak memakai kedua dalil itu.
Menurut kalangan Syafi’iyah, jika terjadi
antara dua dalil, langkah-langkah yang bisa ditempuh adalah:
i.
Dengan
mengkompromikan antara dua dalil itu selama ada peluang untuk itu, karena
mengamalkan kedua dalil itu lebih baik dari hanya memfungsikan satu dalil saja.
ii.
Jika
tidak dapat dikompromikan, maka jalan keluarnya adalah dengan jalan tarjih.
iii.
Selanjutnya,
jika tidak ada peluang untuk mentarjih salah satu dari keduanya, maka langkah
selanjutnya adalah dengan meneliti mana diantara dua dalil itu yang lebih dulu
datangnya.
iv.
Jika
tidak mungkin mengetahui mana yang terdahulu, maka jalan keluarnya tidak
memakai dua dalil itu.
2.
Tarjih
a.
Pengertian
Tarjih
Tarjih menurut bahasa berarti
membuat sesuatu cenderung atau mengalahkan. Menurut istilah tarjih adalah
menguatkan salah satu dari dua dalil yang zhanni untuk dapat diamalkan.
b.
Cara
Mentarjih
Metode tarjih yang berhubungan
dengan pertentangan antara dua nash atau lebih antara lain secara global
adalah:
1)
Tarjih
dari segi sanad.
2)
Tarjih
dari segi matan.
3)
Tarjih
dari segi adanya faktor luar yang mendukung salah satu dari dua dalil yang
bertentangan.
BAB V
IJTIHAD
A.
PENGERTIAN IJTIHAD
Kata Ijtihad secara etimologi
berarti bersungguh-sungguh dalam menggunakan tenaga baik fisik maupun pikiran.
Al-Baidawi mendefinisikan ijtihad sebagai “pengerahan seluruh kemampuan dalam
upaya menemukan hukum-hukum syara’”.
B.
DASAR HUKUM IJTIHAD
Banyak alasan yang menunjukkan kebolehan melakukan ijtihad. Antara
lain:
1)
Ayat
59 Surat An-Nisa, perintah mengembalikan sesuatu yang diperbedakan kepada
Al-Qur’an dan Sunnah, menurut Ali Hasaballah, adalah peringatan agar orang
tidak mengikuti hawa nafsunya, dan mewajibkan untuk kembali kepada Allah dan
Rasul-Nya dengan jalan ijtihad.
2)
Hadits
yang diriwayatkan dari Mu’az bin Jabal. Ketika ia akan diutus ke Yaman,
menjawab pertanyaan Rasulullah dengan apa ia memutuskan hukum, ia menjelaskan
secara berurutan, yaitu dengan Al-Qur’an, kemudian dengan Sunnah Rasulullah,
dan kemudian dengan melakukan ijtihad.
C.
FUNGSI IJTIHAD
Ijtihad berfungsi baik untuk menguji
kebenaran riwayat hadits yang tidak sampai ke tingkat hadits mutawatir seperti
hadits ahad, atau sebagai upaya memahami redaksi ayat atau hadits yang tidak
tegas pengertiannya sehingga tidak langsung dapat dipahami kecuali ijitihad,
dan berfungsi untuk mengembangkan prinsip-prinsip hukum yang terdapat dalam
Al-Qur’an dan Sunnah seperti qiyas, istihsan, dan maslahah mursalah.
D.
LAPANGAN IJTIHAD
Hal-hal yang menjadi lapangan
ijtihad adalah masalah-masalah yang tidak pasti (zhanni) baik dari segi
datangnya dari Rasulullah, atau dari segi pengertiannya, yang dapat
dikategorikan kepada tiga macam:
1)
Hadits
Ahad, yaitu hadits yang diriwayatkan oleh orang seorang atau beberapa orang
tidak sampai ke tingkat Hadits Mutawatir.
2)
Lafal-lafal
atau redaksi Al-Qur’an atau Hadits yang menunjukkan pengertiannya secara tidak
tegas (zhanni) sehingga ada kemungkinan pengertian lain selain yang cepat
ditangkap ketika mendengar bunyi lafal atau redaksi itu.
3)
Masalah-masalah
yang tidak ada teks ayat atau hadits dan tidak pula ada ijma’ yang menjelaskan
hukumnya.
E.
SYARAT-SYARAT SEORANG
MUJTAHID
1)
Mengerti
dengan makna-makna yang dikandung oleh ayat-ayat hukum dalam Al-Qur’an baik
secara bahasa maupun menurut istilah syariat.
2)
Mengetahui
tentang hadits-hadits hukum baik secara bahasa maupun dalam pemakaian syara’.
3)
Mengetahui
tentang mana ayat atau hadits yang telah dimansukh, dan mana ayat atau hadits
yang menasakh atau sebagai penggantinya.
4)
Mempunyai
pengetahuan tentang masalah-masalah yang sudah terjadi ijma’ tentang hukumnya
dan mengetahui tempat-tempatnya.
5)
Mengetahui
tentang seluk-beluk qiyas, seperti syarat-syaratnya, rukun-rukunnya, tentang
illat hukum dan cara menemukannya.
6)
Menguasai
bahasa Arab serta ilmu-ilmu bantu yang berhubungan dengannya.
7)
Menguasai
ilmu ushul fiqh, seperti tentang hukum dan macam-macamnya, tentang
sumber-sumber hukum atau dalil-dalilnya, tentang kaidah-kaidah dan cara
mengistinbatkan hukum dari sumber tersebut.
8)
Mampu
menangkap tujuan syariat dalam merumuskan suatu hukum.
F.
HUKUM BERIJTIHAD
Jika syarat-syarat diatas telah
cukup pada diri seseorang, hukum melakukan ijtihad baginya bisa fardhu ‘ain,
bisa fardhu kifayah, bisa mandub (sunat), dan bisa pula haram.
Hukum melakukan ijtihad adalah
fardhu ‘ain jika terjadi pada diri sesuatu yang membutuhkan jawaban hukumnya.
Melakukan ijtihad menjadi wajib
kifayah jika disampingnya ada lagi mujtahid lain yang akan menjelaskan
hukumnya.
Berijtihad hukumya sunnah dalam dua
hal:
1)
Melakukan
ijtihad dalam hal-hal yang belum terjadi tanpa ditanya.
2)
Melkakukan
ijtihad pada masalah-masalah yang belum terjadi berdasarkan pertanyaan
seseorang.
Berijtihad haram hukumnya dalam dua hal, yaitu:
1)
Berijtihad
dalam hal-hal yang ada nash yang tegas (qath’iy) baik berupa ayat atau hadits
Rasulullah.
2)
Berijtihad
bagi seseorang yang tidak melengkapi syarat-syarat mujtahid.
G.
TINGKATAN-TINGKATAN
MUJTAHID
1)
Mujtahid
Mustaqil (independen) adalah tingkat tertinggi atau disebut juga Mujtahid
Mutlaq.
2)
Mujtahid
Muntasib, yaitu mujtahid yang dalam masalah ushul fiqh, meskipun dari segi
kemampuannya ia mampu merumuskannya, namun tetap berpegang kepada ushul fiqh
salah seorang imam mujtahid mustaqil.
3)
Mujtahid
fi al-Mazhab, yaitu tingkat mujtahid yang dalam ushul fiqh dan furu’ bertaklid
kepada imam mujtahid tertentu.
4)
Mujtahid
fi at-Tarjih, yaitu mujtahid yang kegiatannya bukan mengistinbatkan hukum
tetapi terbatas memperbandingkan berbagai mazhab atau pendapat, dan mempunyai
kemampuan untuk mentarjih dan memilih salah satu pendapat terkuat dari
pendapat-pendapat yang ada.
H.
MACAM-MACAM IJTIHAD
Ijtihad dilihat dari sisi jumlah
pelakunya dibagi menjadi dua: Ijtihad Fardi dan Ijtihad Jama’i. Ijtihad Fardi
adalah ijtihad yang dilakukan perorangan atau hanya beberapa orang mujtahid.
Sedangkan Ijtihad Jama’I adalah apa yang dikenal dengan ijma’ dalam kitab-kitab
ushul fiqh, yaitu kesepakatan para mujtahid dari umat Muhammad SAW setelah
Rasulullah wafat dalam masalah tertentu.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar