Minggu, 08 April 2018

Rigkasan Pembahasan Amr dan Nahi


RESUME AMR dan NAHI
A.    Definisi Amr
  1. Ulama Mu’tazilah mendefinisikan:

هُوَ طَلَبُ الْفِعْلِ مِنَ الْاَعْلَى اِلَى الْاَدْنَى

“Amar adalah perintah mengerjakan yang datang dari pihak yang lebih tinggi kepada pihak yang lebih rendah”.
2.      Qadhi Abu Husein mendefinisikan:

الْاَمْرُ هُوَ طَلَبُ الْفِعْلِ عَلَى جِهَةِ الْإسْتِعْلَاءِ

“Amar adalah perintah mengerjakan suatu perbuatan dengan meningkatkan aksen suara”
3.      Qadhi Abu Bakar dan Imam Haramain mendefinisikan:

هُوَ الْقَوْلُ الْمُقْتَضِى طَاعَةَ الْمَأْمُوْرِ بِفِعْلِ الْمَأْمُوْرِ بِهِ

“Suatu ucapan yang menuntut kepatuhan dari yang disuruh untuk mengerjakan suatu perbuatan yang disuruhnya”
4.      Ibnu Subki mendefinisikan:

هُوَ إقْتِضَاءُ فِعْلِ غَيْرِ كَفٍّ مَدْلُوْلٌ عَلَيْهِ بِغَيْرِ نَهْوِ كَفٍّ

“tuntutan untuk berbuat, bukan meninggalkan yang tidak memakai lafadz tinggalkanlah atau sejenisnya”.
B.     Sighat Amar
  1. Kebanyakan ulama Ushul Fiqh berpendapat bahwa utnuk tujuan menyuruh (amar) itu ada ucapan tertentu dalam penggunaan bahasa sehingga tanpa ada qarinah apapun kita mengetahui bahwa maksudnya adalah perintah.
            Shighat Amar ada yang sharih atau jelas dan ada pula yang dzahir dalam arti digunakan untuk bukan amar. Bentuk yang sharih untuk amar itu adalah fi’il amar seperti firman Allah dalam surat an-Nisa ayat 77:
ٓ وَأَقِيمُواْ ٱلصَّلَوٰةَ وَءَاتُواْ ٱلزَّكَوٰةَ
“dirikanlah sembahyang dan tunaikanlah zakat!”.
            Adapun lafaz yang secara dzahir berarti amar diantaranya adalah:
a.       Lafadz khabar yang berarti insya. Umpamanya firman Allah:
وَالْوَالِدَاتُ يُرْضِعْنَ أَوْلَادَهُنَّ حَوْلَيْنِ كَامِلَيْنِ
b.      Isim fi’il amar, seperti firman Allah:
وَ لِلَّهِ عَلَى النَّاسِ حِجُّ الْبَيْتِ مَنِ اسْتَطَاعَ عَلَيْهِ سَبِيْلًا
c.       Mashdar, seperti firman Allah:
وَ بِا لْوَالِدَيْنِ إِحْسَانًا
d.      Menggunakan lafadz amar itu sendiri, seperti firman Allah:
اِنَّ اللّهَ يَأْ مُرُكُمْ اَنْ تُؤَدُّالْآمَنَتِ
2.      Abu al-Hasan (dari kalangan Mu’tazilah) berpendapat bahwa amar itu tidak dinamakan amar dengan semata melihat kepada lafadznya, tetapi dapat dinamakan amar karena ada kehendak dari orang yang menyuruh untuk melakukan perbuatan itu.
3.      Abul Hasan al-Asy’ari berpendapat bahwa amar itu tidak mempunyai sighat tertentu. Ia memiliki makna yang berdiri sendiri dan tidak berbeda dari zatnya.
C.    Amar dari Segi Dilalahnya
            Setiap lafadz amar menunjuk dan menuntut kepada suatu maksud tertentu. Berikut adalah diantara bentuk tuntutan dari kata amar:
1.      Ijab (Wajib)
Contoh: 

اَقِيْمُوا الصَّلاَةَ

        Artinya: “Dirikanlah Shalat”. (QS. Al baqarah: 43)
2.      Nadb (anjuran)

وَآتُوْهُمْ مِّنْ مَّالِ اللّهِ الَّذِي أتكُمْ

Artinya: “dan berikanlah kepada mereka sebagian dari harta Allah yang dikaruniakan Nya kepadamu”. (QS. An Nur : 33)
3.      Irsyad (membimbing atau Menunjukkan)
Contoh firman Allah:

وَاسْتَشْهِدُوا شَهِيْدَيْنِ مِنْ رِجَالِكُمْ

Artinya: “dan persaksikanlah dengan dua orang saksi dari orang laki-laki (diantaramu). (QS. Al Baqarah : 282)
4.      Ibahah (kebolehan)

وَكُلُوْا وَاشْرَبُوْا حَتَّى يَتَبَيَّنَ لَكُمُ الْخَيْطُ الأَبْيَضُ مِنَ الْخَيْطِ الأَسْوَدِ مِنَ الْفَجْرِ

Artinya: “makan dan minumlah hingga jelas bagimu beng putih dan benang hitam bagimu”. (QS. Al Baqarah : 187) 
5.      Tahdid (Ancaman)

اِعْمَلُوْا مَاشِئْتُمْ اِنَّهُ بِمَا تَعْمَلُوْنَ بَصِيْرٌ

Artinya: “kerjakanlah apa yang kamu kehendaki. Sesungguhnya Dia maha melihat apa yang kamu kerjakan”. (QS. Fusshilat : 40)
6.      Imtinan (merangasng keinginan)
فَكُلُوْا مِمَّا رَزَقَكُمُ اللّه
Artinya: “Makanlah apa yang direzekikan kapadamu”. (QS. An Nahl :114)
7.      Ikram (memuliakan)
 ٱدۡخُلُوهَا بِسَلَٰمٍ ءَامِنِينَ ٤٦
"Masuklah ke dalamnya dengan sejahtera lagi aman (Q.S. al-Hijr [15]:46)
8.      Taskhir (penghinaan)

كُوْنُوْا قِرَدَةً خَاسِئِيْنَ

Artinya: “Jadilah kamu sekalian kera yang hina”. (QS. Al Baqarah : 65)
9.      Ta’jiz (melemahkan)

فَأْتُوْا بِسُوْرَةٍ مِنْ مِثْلِهِ

Artinya: “datangkanlah satu surat (saja) yang seumpama )Al Qur’an( itu”. (QS. Al Baqarah : 23)
10.  Ihanah (meremehkan)
ذُقْ إِنَّكَ اَنْتَ الْعَزِيْزُ
Artinya: “Rasakanlah, sesungguhnya kamu orang yang perkasa lagi mulia”. (QS. Ad Dukhan : 49)
11.  Taswiyah (mempersamakan)

فَاصْبِرُوا اَوْلاَتَصْبِرُوا

Artinya: “maka bersabar atau tidak”. (QS. At Thur: 16)
12.  Tamanni (angan-angan)
Contoh Syi’ir Arab:

يَا لَيْلُ طُلْ يَا نَوْمُ زُلْ    يَاصُبْحُ قِفْ لَاتَطْلَعُ

Artinya: “wahai sang malam, memanjanglah wahai kantuk menghilanglah. Wahai waktu subuh berhentilah dahulu, jangan segera dating.
13.    Do’a

رَبِّ اغْفِرْلِى

Artinya: “Ya Allah ampunilah aku”. (QS. Shad : 35)
14.  Ihtiqar (menganggap enteng terhadap yang disuruh)
قَالَ لَهُم مُّوسَىٰٓ أَلۡقُواْ مَآ أَنتُم مُّلۡقُونَ ٤٣

Berkatalah Musa kepada mereka: "Lemparkanlah apa yang hendak kamu lemparkan" (Q.S. asy-Syu’araa [26]: 43)

15.   Takwin (Penciptaan)
إِنَّمَآ أَمۡرُهُۥٓ إِذَآ أَرَادَ شَيۡ‍ًٔا أَن يَقُولَ لَهُۥ كُن فَيَكُونُ ٨٢
Sesungguhnya keadaan-Nya apabila Dia menghendaki sesuatu hanyalah berkata kepadanya: "Jadilah!" maka terjadilah ia (Q.S. Yaasin [36]: 82)
16.  Takhyir (pilihan)
Nabi SAW bersabda:
إِذَا تضسْتَحِ فَاصْنَعْ مخَ شِئْتَ
Bila kamu tidak malu, perbuatlah sekehendak hatimu.
D.    Asal Penggunaan Lafadz Amar
                Jika dalam suatu lafadz amar tidak ada qarinah yang menyertainya maka ulama ushul fiqh mengambil salah satu cara dari 2 kemungkinan yatiu:
    1. Menetapkan prinsip asal (الأصل فى الامر …….)
    2. Memahami lafadz amar menurut artinya yang hakiki, yang biasa diibaratkan dengan ungkapan (حقيق المر ……………….)
            Dalam menetapkan hukum apa yang menjadi prinsip asalitu menurut yang pertama atau untuk apa secara hakiki atau sebenarnya amar itu, ulama ushul fiqh berbeda pendapat:
  1. Jumhur ulama berpendapat bahwa lafadz amar itu menurut asalnya menunjukkan wajib.
  2. Kalangan ulama Mu’tazilah berpendapat bahwa amar itu menurut asalanya adalah untuk nadb secara mutlak, sehingga ada dalil-dalai yang menunjukkn bahwa amar itu untuk wajib.
  3. Kalangan ulama Asy’ariyah dan Imam al-Ghazali beserta pengikutnya memilih tawaquf.
  4. Ada golongan kaum yang berpendapat bahwa asal fi’il amar itu adalah ibahah.
E.     Amar Setelah Larangan
            Dalam beberaoa ayat al-Qur’an terdapat lafadz amar yang terletak sesudah adanya larangan yang berarti disuruh melakukan perbuatan sebelumnya dilarang melakukannya. Umpamanya firman Allah dalam Q.S al-Maidah [05]: 2:
إذَا حَلَلْتُمْ فَصْطَادُوا
“Bila kamu selesai mengerjaikan haji maka berburulah”.
            Suruhan berburu itu datang setelah dilarang dalam Q.S. [05]: 1
غَيْرِ مُحِلِّي الصَّيْدِ وَ أَنْتُمْ حُرُمٌ
“Tidak menghalalkan berburu ketika kamu ihram haji”.
            Perbedaan pendapat tentang larangan yang mendahului amar itu berpengaruh terhadap kedudukan amar atau tidak. Disini ada beberapa pendapat, diantaranya:
  1. Jumhur ulama berpendapat bahwa amar yang didahului oleh larangan itu tidak lagi berfungsi sebagaimana asalnya, tetapi telah berubah menjadi ibahah, bagaimanapun bentuk amar sebelum adanya larangan itu.
  2. Ulama golongan Mu’tazilah berpendapat bahwa amar yang terdapat sesudah larangan adalah tetap pada posisi asalnya, baik dalam bentuk wujub atau nadb dan kedudukan amar sesudah larangan, tidak berpengaruh teradap amar tersebut.
  3. Muhammad al-Khudari beik berpendapat bahwa bila larangan yang mendahului amar itu disebabkan oleh suatu illat atau alasan tertentu.
F.     Amar untuk Tuntutan yang Harus Dipenuhi Berulangkali
            Dalam al-Qur’an terdapat beberapa bentuk lafadz amar yang menuntut seseorang melakukan suatu perbuatan yang harus dilkaukan berulang kali, untuk sepanjang waktu, tanpa batas, umpamanya firman Allah yang menyuruh shalat dalam Q.S al-Baqarah [02]: 43:
وَأَقِيمُواْ ٱلصَّلَوٰةَ وَءَاتُواْ ٱلزَّكَوٰةَ وَٱرۡكَعُواْ مَعَ ٱلرَّٰكِعِينَ ٤٣
43. Dan dirikanlah shalat, tunaikanlah zakat dan ruku´lah beserta orang-orang yang ruku´
            Selain itu, dalam al-Qur’an juga ada amar yang mneuntut melakukan suatu perbuatan hanya untuk satu kali dan tidak harus berulang-ulang. Umpamanya kewajiban Haji dalam Q.S. Ali Imran [03]: 97:
وَلِلَّهِ عَلَى ٱلنَّاسِ حِجُّ ٱلۡبَيۡتِ مَنِ ٱسۡتَطَاعَ إِلَيۡهِ سَبِيلٗاۚ
mengerjakan haji adalah kewajiban manusia terhadap Allah, yaitu (bagi) orang yang sanggup mengadakan perjalanan ke Baitullah.
G.    Tuntutan Amar yang Dihubungkan kepada Syarat
            Lafadz amar terkadang terkait pada sebuah syarat seperti ucapan: “Bila telah terfelincir matahari, tunaikanlah shalat” atau dikaitkan pada sifat, seperti firman Allah dalam Q.S. an-nuur [24]: 2:
ٱلزَّانِيَةُ وَٱلزَّانِي فَٱجۡلِدُواْ كُلَّ وَٰحِدٖ مِّنۡهُمَا مِاْئَةَ جَلۡدَةٖۖ
2. Perempuan yang berzina dan laki-laki yang berzina, maka deralah tiap-tiap seorang dari keduanya seratus dali dera
H.    Tuntutan Lafadz Amar Secara Berulang
            Lafadz amar bila disebutkan lebih dari sekali  ada perbedaan pendapat tentang pemenuhan tuntutan lafadz amar tersebut, diantaranya
1.      Kalangan ulama yang berpendapat amar yang mutlak tidak menuntut dipenuhi berulang kali, perbedaan pendapat dalah hal ini:
a)      Abu Hanifah berpendapat: “Jika pada amar yang kedua adalah berupa penjelasan terhadap yang pertama, maka tidak harus ada tuntutan untuk melaksanakan perintah secara berulang kali, tetapi hanya mengerjakan perintah yang pertama saja”. Atau “Jika amar yang kedua berbeda dengan yang pertama, maka perintah yang kedua bukanlah penjelasan perintah yang pertama”.
b)      Di kalangan ulama Syafi’iyyah terdapat perbedaan pendapat, ada yang mengatakan bahwa tuntutan untuk melakukan berulang kali ada pada amar yang kedua dan ada juga yang mengatakan perulangan amar hanya untuk menguatkan dan juga ada yang mengatakan bersikap tawaquf hingga ada dalil yang menjelaskannya.
    1. Kalangan ulama Hanbali berpendapat bahwa amar pertama itu menuntut untuk perulangan.
I.       Tuntutan Amar Mutlak atas Kesegeraan Pelaksanaan
            Dalam hal amar yang pelaksanaannya dihubungkan kepada suatu waktu tertentu, apakah pelaksanaannya harus segera atau bisa ditangguhkan, dalam hal ini ada perbedaan pendapat, yaitu:
1.      Ulama Hanbali berpendapat bahwa amar mutlak menghendaki segera dilaksanakan setelah adanya amar itu.
2.      Kebanyakan ulama Syafi’iyah, Mu’tazilah, sebagian ulama Hanafiyah berpendapat bahwa amar mutlak tidak menuntut segera dilaksanakan, jadi dapat ditangguhkan pelaksanaannya.
3.      Ulama kalam Asy’ariyah memilih bersikap tawaquf.
J.      Amar yang Dihubungkan dengan Waktu
            Adakalanya amar dihubungkan kepada waktu tertentu. Jika waktunya telah berlalu sedangkan tuntutan amar itu belum dilaksanakan, apakah amar itu gugur? Dalam menghadapi masalah ini ulama berbeda pendapat:
1.      Kalangan ulama Hanbali berpendapat bahwa amar yang dikaitkan kepada waktu dan tidak dilaksanakan pada waktunya, maka amar itu tidak gugur dengan berlalunya waktu tersebut.
2.      Kebanyakan ulama fiqh dan ulama kalam berpendapat bahwa amar yang dikaitkan dengan waktu yang telah kadaluwarsa itu tidak gugur meskipun waktunya telah lewat, tetapi harus mengqadhanya berdasarkan amar yang kedua yang datang setelah waktu tersebut lewat.
K.    Hubungan Amar dengan Perbuatan
            Lafadz amar menghendaki orang yang dikenai amar untuk mengerjakan perbuatan yang dikenai amar untuk mengerjakan perbuatan yang dikehendaki oleh amar itu. Bila amar itu telah dilaksanakan, apakah perbuatan yang disuruh itu telah memadai dan memenuhi tuntutan? Persoalan ini menjadi perbincangan kalangan ulama ushul:
    1. Kebanyakan ulama fiqh dan ulama kalam golongan asy’ari berpendapat bahwa jika amar telah dilaksanakan sesuai dengan yang dikehendaki, maka berarti telah memadai dan memenuhi tuntutan.
    2. Golongan Mu’tazilah dan para pengikutnya berpendapat bahwa terlaksananya amar itu tidaklah menunujukkan telah memadainya pelaksanaan perbuatan itu dan telah terpenuhinya perintah dengan hanya semata-mata melihat pada amar tersebut, tetapi pada dalil lain.
L.     Amar dalam Bentuk Pilihan
            Amar seperti ini disebut amar mukhayyar. Umpamanya firman Allah dalam Q.S. al-Maidah [05]: 89:
فَكَفَّٰرَتُهُۥٓ إِطۡعَامُ عَشَرَةِ مَسَٰكِينَ مِنۡ أَوۡسَطِ مَا تُطۡعِمُونَ أَهۡلِيكُمۡ أَوۡ كِسۡوَتُهُمۡ أَوۡ تَحۡرِيرُ رَقَبَةٖۖ
maka kaffarat (melanggar) sumpah itu, ialah memberi makan sepuluh orang miskin, yaitu dari makanan yang biasa kamu berikan kepada keluargamu, atau memberi pakaian kepada mereka atau memerdekakan seorang budak
            Amar dalam ayat ini menuntut melaksanakan satu diantara tiga pilihan, yaitu: memberi makan sepuluh orang fakir miskin atau memberi pakaian terhadap sepuluh orang miskin atau memerdekakan hamba sahaya.
M.   Amar yang Berkaitan dengan Tuntutan Terhadap Orang Lain
            Ada beberapa bentuk kemungkinan amar ini, yaitu:
1.      Orang yang disuruh pertama hanyalah sebagai penyampai suruhan dan perantara bagi yang menyuruh.
2.      Orang yang disuruh pertama tidak dalam kedudukan sebagai penyampai berita; bahkan ia disuruh secara mandiri untuk mengarahkan amar kepada pihak kedua.
Amar dalam bentuk ini juga diperselisihkan oleh ulama ushul:
1.      Jumhur ulama berpendapat bahwa amar tersebut bukanlah bagi pihak kedua untuk melakukan perbuatan tersebut.
2.      Ridha Mudhaffar dari Syi’ah berpendapat bahwa amar itu berlaku bagi pihak kedua untuk melakukan suatu perbuatan.

NAHI
1.      Pengertian Nahi
            Nahi menurut bahasa artinya mencegah, melarang (al-man’u), sedangkan Menurut istilah adalah lafadz yang meminta untuk meninggalkan sesuatu perbuatan kepada orang lain dengan menggunakan ucapan yang sifatnya mengharuskan, atau  lafadz yang menyuruh kita untuk meninggalkan suatu pekerjaan yang diperintahkan oleh orang yang lebih tinggi dari kita. Akal juga disebut nuhyah (nahyu), karena dia dapat mencegah orang yang berakal itu untuk tidak berbuat salah.
            Menurut Abdul Hamid Hakim menyebutkan bahwa nahi adalah perintah untuk meninggalkan sesuatu dari atasan kepada bawahan. Jadi Nahi adalah suatu larangan yang harus ditaati yang datangnya dari atasan kepada bawahan, yakni dari Allah SWT kepada hamba-Nya.
Adapun maksud nahi yang sebenarnya adalah menunjukkan haram, seperti dalam firman Allah:
وَلَاتَأْكُلُوا الرِّبَا أَضْعَافًا مُضَاعَفَةً
Artinya: “dan janganlah kamu memakan riba dengan berlipat ganda”. (QS. Ali Imran: 130)
            Karena La ta’kulu berbentuk nahi, sedangkan ketentuan nahi adalah haram, maka makan harta riba hukumnya haram, karena tidak diridlai Allah swt. Inilah hukum asli dari nahi.
            Kecuali apabila ada qarinah yang memengaruhinya, maka nahi tersebut tidak lagi menunjukkan hukum haram, tetapi menunjukkan hukum makruh, mubah, dan sebagainya. Sesuai dengan qarinah yang memengaruhinya itu. Ada ulama yang berpendapat bahwa nahi yang masih asli itu menunjukkan hukum makruh. Namun, pendapat yang lebih kuat, bahwa nahi adalah haram.
2.      Sighat (bentuk kata) Nahi
            Kalimat larangan yang tidak memiliki qarinah menunjukkan hakikat larangan yang mutlak. Seperti firman Allah:
يَاأَيُّهَا الَّذِيْنَ امَنُوا لَاتَقْرَبُ الصَّلاَةَ وَأَنْتُمْ سُكَارَى
Artinya: “hai orang-orang yang beriman, jangan kamu kerjakan shalat dalam keadaan mabuk”. (QS.An Nisa : 43)
            Ungkapan yang menunjukkan kepada nahi (larangan) itu ada beberapa bentuk diantaranya:
a)            Fi’il Mudhari’ yang disertai dengan la nahi, seperti:
لَا تُفْسِدُوْا فِى الْاَرْضِ
Artinya: “janganlah kamu membuat kerusakan di muka bumi”. (QS. Al Baqarah: 11).
b)            Lafadz-lafadz yang member pengertian haram atau perintah meninggalkan sesuatu perbuatan, seperti:
وَاَحَلَّ اللّهَ وَحَرَّمَ الرِّبَوا
Artinya: “dan Allah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba”. (QS. Al Baqarah: 275).
3.      Kaidah-kaidah Nahi
1.      Kaidah pertama, pada dasarnya larangan itu menunjukkan haram, seperti:
وَلَاتَقْرَ بُوا الزِّنَى
            Artinya: “dan janganlah kalian mendekati zina”. (QS. Al Isra: 32).
            Sighat Nahi mengandung beberapa pengertian, antara lain sebagai berikut:
a.            Untuk do’a
رَبَّنَا لَاتُؤَاخِذْنَا اِنْ نَسِيْنَااَوْاَخْطَأْنَا
hai Tuhan kami, janganlah engkau hukum kami, bila kami lupa atau salah”.
b.            Untuk pelajaran
لَاتَسْئَلُوْاعَنْ اَشْيَاءَ اِنْ تُبْدَلَكُمْ تَسُؤْكُمْ
janganlah kamu menanyakan hal-hal yang jika diterangkan kepadamu, niscaya menyusahkan kamu”.
c.            Putus asa
لَاتَعْتَذِرُوا الْيَوْمَ
janganlah kamu cari-cari alasan hari ini”
d.            Untuk menyenangkan (menghibur)
لَاتَحْزَنْ إِنَّ اللّهَ مَعَنَا
jangan bersedih kamu, bahwa sesungguhnya Allah bersama kita”
2.      Kaidah kedua: larangan terhadap sesuatu berarti perintah akan kebalikannya, seperti:
لَا تُشْرِكْ بِاللّه
Artinya: “janganlah kamu mempersekutukan Allah”.
3.      Kaidah ketiga: pada dasarnya larangan yang mutlak menghendaki pengulangan larangan dalam setiap waktu. Seperti:
لَاتَقْرَبُوا الصَّلَواةَ وَاَنْتُمْ سُكَارَى
Artinya: “janganlah shalat sedang kamu dalam keadaan mabuk”. (QS. An Nisa’:43).
Nahi terbagi kedalam 4 bagian yakni:
1.               Nahi yang menunjukkan perbuatan itu sendiri sebagaimana contoh di atas yang menyebabkan perbuatan yang dilarang itu hukumnya fasid (rusak) haram.
2.               Nahi yang menunjukkan juz’I dari perbuatan (bagian dari perbuatan). Misalnya, larangan jual beli anak binatang yang masih dalam kandungan ibunya.
3.               Nahi yang menunjukkan sifat perbuatan yang tidak dapat dipisahkan, misalnya larangan berpuasa pada hari raya karena hikmah di hari raya ialah agar semua umat Islam dapat menikmati kegembiraan makan minum di hari tersebut.
4.               Nahi yang menunjukkan hal-hal di luar perbuatan yang tidak mesti berhubungan dengan perbuatan tersebut. Misalnya, larangan dalam jual beli sewaktu shalat jum’at yang akibatnya akan meninggalkan shalat jum’at.
4.      Dilalah dan Tuntutan Nahi
            Dalam melarang suatu perbuatan, menurut pendapat Muhammad Khudhari Beik, Allah juga memakai beragam gaya bahasa diantaranya:
  1. Larangan secara tegas dengan memakai kata naha atau yang searti dengannya yang  secara bahasa berarti melarang. Misalnya surat An-Nahl ayat 90 yang artinya:
وَيَنْهَى عَنِ الْفَحْشَاءِوَالْمُنْكَرِوَالْبَغْيِ
 “Dan Allah melarang dari perbuatan keji, kemungkaran dan permusuhan”.
  1. Larangan dengan menjelaskan bahwa suatu perbuatan diharamkan, misalnya ayat 33 surat Al-A’raf:
قُلْ إِنَّمَاحَرَّمَ رَبِّيَ الْفَوَاحِشَ مَا ظَهَرَمِنْهَاوَمَابَطَنَ وَالْإِثْمَ وَالْبَغْيَ بِغَيْرِالْحَقِّ
 Artinya: “Katakanlah : "Tuhanku Hanya mengharamkan perbuatan yang keji, baik yang nampak ataupun yang tersembunyi, dan perbuatan dosa, melanggar hak manusia tanpa alasan yang benar”.
  1. Larangan dengan menegaskan bahwa perbuatan itu tidak halal dilakukan, contoh surat An-Nisa’ ayat 19:
يَا اَيُّهَاالَّذِيْنَ امَنُوا لَايَحِلُّ لَكُمْ اَنْ تَرِثُوا انِّسَاءَكَرْهَا
Artinya : “Hai orang-orang yang beriman, tidak halal bagi kamu mempusakai wanita dengan jalan paksa”.
  1. Larangan dengan menggunakan kata kerja Mudhari’ (kata kerja untuk sekarang atau mendatang) yang disertai huruf lam yang menunjukkan larangan, misal surat Al-An’am ayat 152:
وَلَاتَقْرَبُوْا مَالَ اليَتِيْمِ اِلَّابِالَّتِيْ هِيَ اَحْسَنُ حَتَّى يَبْلُغَ اَشُدَّهُ
Artinya: “Dan janganlah kamu dekati harta anak yatim, kecuali dengan cara yang lebih bermanfaat, hingga sampai ia dewasa”.
  1. Larangan dengan memakai kata perintah namun bermakna tuntutan untuk meninggalkan misalnya, surat Al-An’am ayat 120 artinya:
 وَذَرُوْاظَاهِرَالْإِثْمِ وَبَاطِنَهُ
Dan tinggalkanlah dosa yang Nampak dan yang tersembunyi”.
  1. Larangan dengan cara mengancam pelakunya dengan siksaan pedih, misalnya surat Al-Taubah: 34.
وَالَّذِيْنَ يَكْنِزُوْنَ الذَّهَبَ وَالْفِضَّةَ وَلَا يُنْفِقُوْنَهَا فِي سَبِيْلِ اللّه فَبَشِّرْهُمْ بِعَذَابٍ اَلِيْمٍ
            Artinya: “Dan orang-orang yang menyimpan emas dan perak dan tidak menafkahkannya pada jalan Allah, Maka beritahukanlah kepada mereka, (bahwa mereka akan mendapat) siksa yang pedih”.
  1. Larangan dengan mensifati perbuatan itu dengan keburukan, misalnya surat Ali Imran : 180
وَلَايَحْسَبَنَّ الَّذِيْنَ يَبْخَلُوْنَ بِمَا أتهُمُ اللّهُ مِنْ فَضْلِهِ هُوَ خَيْرًا لَّهُمْ
Artinya: “Sekali-kali janganlah orang-orang yang bakhil dengan harta yang Allah berikan kepada mereka dari karuniaNya menyangka, bahwa kebakhilan itu baik bagi mereka”.
  1. Larangan dengan meniadakan wujud perbuatan itu sendiri, misalnya surat al-Baqarah: 193
فَإِنِ انْتَهَوافَلَا عُدْوَانَ اَلَّا عَلَى الظَّالِمِيْنَ
Artinya: “Jika mereka berhenti (dari memusuhi kamu), Maka tidak ada permusuhan (lagi), kecuali terhadap orang-orang yang zalim”[13]
5.      Syarat-syarat Nahi
Bentuk nahi hanya satu saja, yaitu fiil mudhari’ yang disertai la nahi.
Arti nahi yang pokok:
a.              Menunjukkan haram
Artinya: “ larangan itu menunjukkan haram (haramnya perbuatan yang dilarang)”.
Alasannya, apabila ada kata-kata larangan yang tidak disertai qarinah, akal kita dapat mengerti keharusan yang diminta larangan itu,  yang segera dapat dimengerti menunjukkan pengertian yang sebenarnya. Demikian pula pemahaman lama salaf.
Qarinah ialah kata-kata yang menyerupai larangan, yang menyebabkan larangan itu tidak menyebabkan haram.
b.              Menunjukan makruh
Artinya:  “Bermula larangan menunjukkan makruh”. (makruhnya perbuatan yang dilarang).
Alasannya, larangan itu hanya menunjukkan buruknya (tidak baiknya) perbuatan yang dilarang. Keburukan ini tidak berarti haram atau larangan menunjukkan rusaknya perbuatan yang dilarang.
c.              Melarang sesuatu mengakibatkan perbuatan yang dilarang hukumnya menjadi rusak dan tidak sah.
Artinya, larangan melakukan suatu perbuatan itu akan mengakibatkan perbuatan yang dilarang tadi apabila dilakukan hukumnya menjadi tidak sah. Contoh zina. Sebagian ulama termasuk imam Ghazali dan ar Razi berpendapat bahwa “nahi itu tidak menyebabkan tidak sahnya suatu perbuatan yang dilakukan, kecuali hanya dalam soal ibadah saja, tidak dalam muamalah”. Sebagian ulama Syafi’iyyah, hanafiah, dan muktazilah berpendapat bahwa “nahi itu tidak menyebabkan tidak sahnya perbuatan yang dilarang, tidak pada lughah / bahasanya, tidak pada syara’, dan tidak pula dalam soal-soal ibadah dan muamalah”. Sementara Imam Syaukani berkata di dalam kitab shulnya Irsyadul Fuhul bahwa “tiap-tiap nahi yang tidak membedakan antara ibadah dan muamalah menyebabkan perbuatan yang dilarang itu haram hukumnya, dan tidak sahnya hukum menurut syara’ berarti batal (tidak sah).


Sumber: Prof. Dr. Amir Syarifuddin dalam bukunya yang berjudul Ushul Fiqh