RESUME AMR dan NAHI
A.
Definisi Amr
- Ulama Mu’tazilah mendefinisikan:
هُوَ
طَلَبُ الْفِعْلِ مِنَ الْاَعْلَى اِلَى الْاَدْنَى
“Amar adalah perintah mengerjakan yang
datang dari pihak yang lebih tinggi kepada pihak yang lebih rendah”.
2.
Qadhi Abu Husein mendefinisikan:
الْاَمْرُ
هُوَ طَلَبُ الْفِعْلِ عَلَى جِهَةِ الْإسْتِعْلَاءِ
“Amar adalah perintah mengerjakan suatu
perbuatan dengan meningkatkan aksen suara”
3.
Qadhi Abu Bakar dan Imam Haramain mendefinisikan:
هُوَ
الْقَوْلُ الْمُقْتَضِى طَاعَةَ الْمَأْمُوْرِ بِفِعْلِ الْمَأْمُوْرِ بِهِ
“Suatu ucapan yang menuntut kepatuhan dari
yang disuruh untuk mengerjakan suatu perbuatan yang disuruhnya”
4.
Ibnu Subki mendefinisikan:
هُوَ
إقْتِضَاءُ فِعْلِ غَيْرِ كَفٍّ مَدْلُوْلٌ عَلَيْهِ بِغَيْرِ نَهْوِ كَفٍّ
“tuntutan untuk berbuat, bukan meninggalkan
yang tidak memakai lafadz tinggalkanlah atau sejenisnya”.
B.
Sighat Amar
- Kebanyakan ulama Ushul Fiqh berpendapat
bahwa utnuk tujuan menyuruh (amar) itu ada ucapan tertentu dalam
penggunaan bahasa sehingga tanpa ada qarinah apapun kita mengetahui bahwa
maksudnya adalah perintah.
Shighat Amar ada yang sharih atau
jelas dan ada pula yang dzahir dalam arti digunakan untuk bukan amar. Bentuk
yang sharih untuk amar itu adalah fi’il amar seperti firman Allah dalam surat
an-Nisa ayat 77:
ٓ وَأَقِيمُواْ ٱلصَّلَوٰةَ
وَءَاتُواْ ٱلزَّكَوٰةَ
“dirikanlah sembahyang dan tunaikanlah zakat!”.
Adapun lafaz yang secara dzahir berarti amar diantaranya
adalah:
a. Lafadz khabar yang berarti insya. Umpamanya
firman Allah:
وَالْوَالِدَاتُ
يُرْضِعْنَ أَوْلَادَهُنَّ حَوْلَيْنِ كَامِلَيْنِ
b. Isim fi’il amar, seperti firman Allah:
وَ لِلَّهِ عَلَى
النَّاسِ حِجُّ الْبَيْتِ مَنِ اسْتَطَاعَ عَلَيْهِ سَبِيْلًا
c. Mashdar, seperti firman Allah:
وَ بِا
لْوَالِدَيْنِ إِحْسَانًا
d. Menggunakan lafadz amar itu sendiri, seperti
firman Allah:
اِنَّ اللّهَ يَأْ مُرُكُمْ
اَنْ تُؤَدُّالْآمَنَتِ
2.
Abu al-Hasan (dari kalangan Mu’tazilah) berpendapat bahwa amar itu
tidak dinamakan amar dengan semata melihat kepada lafadznya, tetapi dapat
dinamakan amar karena ada kehendak dari orang yang menyuruh untuk melakukan
perbuatan itu.
3.
Abul Hasan al-Asy’ari berpendapat bahwa amar itu tidak mempunyai sighat
tertentu. Ia memiliki makna yang berdiri sendiri dan tidak berbeda dari zatnya.
C.
Amar dari Segi Dilalahnya
Setiap
lafadz amar menunjuk dan menuntut kepada suatu maksud tertentu. Berikut adalah
diantara bentuk tuntutan dari kata amar:
1. Ijab (Wajib)
Contoh:
اَقِيْمُوا الصَّلاَةَ
Artinya: “Dirikanlah
Shalat”. (QS. Al baqarah: 43)
2.
Nadb
(anjuran)
وَآتُوْهُمْ مِّنْ
مَّالِ اللّهِ الَّذِي أتكُمْ
Artinya: “dan berikanlah kepada mereka sebagian dari harta
Allah yang dikaruniakan Nya kepadamu”. (QS. An Nur : 33)
3.
Irsyad
(membimbing atau Menunjukkan)
Contoh firman Allah:
وَاسْتَشْهِدُوا
شَهِيْدَيْنِ مِنْ رِجَالِكُمْ
Artinya: “dan persaksikanlah dengan dua orang saksi dari
orang laki-laki (diantaramu). (QS. Al Baqarah : 282)
4.
Ibahah
(kebolehan)
وَكُلُوْا
وَاشْرَبُوْا حَتَّى يَتَبَيَّنَ لَكُمُ الْخَيْطُ الأَبْيَضُ مِنَ الْخَيْطِ
الأَسْوَدِ مِنَ الْفَجْرِ
Artinya: “makan dan minumlah hingga jelas bagimu beng putih
dan benang hitam bagimu”. (QS. Al Baqarah : 187)
5.
Tahdid
(Ancaman)
اِعْمَلُوْا
مَاشِئْتُمْ اِنَّهُ بِمَا تَعْمَلُوْنَ بَصِيْرٌ
Artinya: “kerjakanlah apa yang kamu kehendaki. Sesungguhnya
Dia maha melihat apa yang kamu kerjakan”. (QS. Fusshilat : 40)
6.
Imtinan
(merangasng keinginan)
فَكُلُوْا مِمَّا رَزَقَكُمُ اللّه
Artinya: “Makanlah apa yang direzekikan kapadamu”. (QS. An
Nahl :114)
7. Ikram (memuliakan)
ٱدۡخُلُوهَا
بِسَلَٰمٍ ءَامِنِينَ ٤٦
"Masuklah ke dalamnya dengan sejahtera lagi aman (Q.S.
al-Hijr [15]:46)
8.
Taskhir
(penghinaan)
كُوْنُوْا
قِرَدَةً خَاسِئِيْنَ
Artinya: “Jadilah kamu sekalian kera yang hina”. (QS.
Al Baqarah : 65)
9.
Ta’jiz
(melemahkan)
فَأْتُوْا
بِسُوْرَةٍ مِنْ مِثْلِهِ
Artinya: “datangkanlah satu surat (saja) yang
seumpama )Al Qur’an( itu”. (QS. Al Baqarah : 23)
10. Ihanah (meremehkan)
ذُقْ إِنَّكَ اَنْتَ الْعَزِيْزُ
Artinya: “Rasakanlah, sesungguhnya kamu orang yang perkasa lagi
mulia”. (QS. Ad Dukhan : 49)
11.
Taswiyah
(mempersamakan)
فَاصْبِرُوا
اَوْلاَتَصْبِرُوا
Artinya: “maka bersabar atau tidak”. (QS. At Thur:
16)
12.
Tamanni
(angan-angan)
Contoh Syi’ir Arab:
يَا لَيْلُ طُلْ
يَا نَوْمُ زُلْ يَاصُبْحُ قِفْ لَاتَطْلَعُ
Artinya: “wahai sang malam, memanjanglah wahai kantuk
menghilanglah. Wahai waktu subuh berhentilah dahulu, jangan segera dating.
13.
Do’a
رَبِّ اغْفِرْلِى
Artinya: “Ya Allah ampunilah aku”. (QS. Shad : 35)
14.
Ihtiqar
(menganggap enteng terhadap yang disuruh)
قَالَ
لَهُم مُّوسَىٰٓ أَلۡقُواْ مَآ أَنتُم مُّلۡقُونَ ٤٣
Berkatalah Musa kepada mereka: "Lemparkanlah apa yang hendak kamu
lemparkan" (Q.S. asy-Syu’araa [26]: 43)
15. Takwin (Penciptaan)
إِنَّمَآ
أَمۡرُهُۥٓ إِذَآ أَرَادَ شَيًۡٔا أَن يَقُولَ لَهُۥ كُن فَيَكُونُ ٨٢
Sesungguhnya
keadaan-Nya apabila Dia menghendaki sesuatu hanyalah berkata kepadanya:
"Jadilah!" maka terjadilah ia (Q.S. Yaasin [36]: 82)
16. Takhyir
(pilihan)
Nabi SAW bersabda:
إِذَا تضسْتَحِ
فَاصْنَعْ مخَ شِئْتَ
Bila kamu tidak
malu, perbuatlah sekehendak hatimu.
D.
Asal Penggunaan Lafadz Amar
Jika dalam suatu lafadz amar tidak ada qarinah yang menyertainya
maka ulama ushul fiqh mengambil salah satu cara dari 2 kemungkinan yatiu:
- Menetapkan prinsip asal (الأصل فى الامر …….)
- Memahami lafadz amar menurut artinya yang
hakiki, yang biasa diibaratkan dengan ungkapan (حقيق
المر ……………….)
Dalam menetapkan
hukum apa yang menjadi prinsip asalitu menurut yang pertama atau untuk apa
secara hakiki atau sebenarnya amar itu, ulama ushul fiqh berbeda pendapat:
- Jumhur ulama berpendapat bahwa lafadz amar
itu menurut asalnya menunjukkan wajib.
- Kalangan ulama Mu’tazilah berpendapat
bahwa amar itu menurut asalanya adalah untuk nadb secara mutlak, sehingga
ada dalil-dalai yang menunjukkn bahwa amar itu untuk wajib.
- Kalangan ulama Asy’ariyah dan Imam
al-Ghazali beserta pengikutnya memilih tawaquf.
- Ada golongan kaum yang berpendapat bahwa
asal fi’il amar itu adalah ibahah.
E.
Amar Setelah Larangan
Dalam
beberaoa ayat al-Qur’an terdapat lafadz amar yang terletak sesudah adanya
larangan yang berarti disuruh melakukan perbuatan sebelumnya dilarang melakukannya.
Umpamanya firman Allah dalam Q.S al-Maidah [05]: 2:
إذَا
حَلَلْتُمْ فَصْطَادُوا
“Bila kamu selesai
mengerjaikan haji maka berburulah”.
Suruhan berburu itu datang setelah
dilarang dalam Q.S. [05]: 1
غَيْرِ
مُحِلِّي الصَّيْدِ وَ أَنْتُمْ حُرُمٌ
“Tidak
menghalalkan berburu ketika kamu ihram haji”.
Perbedaan
pendapat tentang larangan yang mendahului amar itu berpengaruh terhadap
kedudukan amar atau tidak. Disini ada beberapa pendapat, diantaranya:
- Jumhur ulama berpendapat bahwa amar yang
didahului oleh larangan itu tidak lagi berfungsi sebagaimana asalnya,
tetapi telah berubah menjadi ibahah, bagaimanapun bentuk amar sebelum
adanya larangan itu.
- Ulama golongan Mu’tazilah berpendapat bahwa
amar yang terdapat sesudah larangan adalah tetap pada posisi asalnya, baik
dalam bentuk wujub atau nadb dan kedudukan amar sesudah larangan, tidak
berpengaruh teradap amar tersebut.
- Muhammad al-Khudari beik berpendapat bahwa
bila larangan yang mendahului amar itu disebabkan oleh suatu illat atau
alasan tertentu.
F.
Amar untuk Tuntutan yang
Harus Dipenuhi Berulangkali
Dalam
al-Qur’an terdapat beberapa bentuk lafadz amar yang menuntut seseorang
melakukan suatu perbuatan yang harus dilkaukan berulang kali, untuk sepanjang
waktu, tanpa batas, umpamanya firman Allah yang menyuruh shalat dalam Q.S
al-Baqarah [02]: 43:
وَأَقِيمُواْ
ٱلصَّلَوٰةَ وَءَاتُواْ ٱلزَّكَوٰةَ وَٱرۡكَعُواْ مَعَ ٱلرَّٰكِعِينَ ٤٣
43.
Dan dirikanlah shalat, tunaikanlah zakat dan ruku´lah beserta orang-orang yang
ruku´
Selain itu,
dalam al-Qur’an juga ada amar yang mneuntut melakukan suatu perbuatan hanya
untuk satu kali dan tidak harus berulang-ulang. Umpamanya kewajiban Haji dalam
Q.S. Ali Imran [03]: 97:
وَلِلَّهِ
عَلَى ٱلنَّاسِ حِجُّ ٱلۡبَيۡتِ مَنِ ٱسۡتَطَاعَ إِلَيۡهِ سَبِيلٗاۚ
mengerjakan
haji adalah kewajiban manusia terhadap Allah, yaitu (bagi) orang yang sanggup
mengadakan perjalanan ke Baitullah.
G.
Tuntutan Amar yang
Dihubungkan kepada Syarat
Lafadz
amar terkadang terkait pada sebuah syarat seperti ucapan: “Bila telah
terfelincir matahari, tunaikanlah shalat” atau dikaitkan pada sifat, seperti
firman Allah dalam Q.S. an-nuur [24]: 2:
ٱلزَّانِيَةُ
وَٱلزَّانِي فَٱجۡلِدُواْ كُلَّ وَٰحِدٖ مِّنۡهُمَا مِاْئَةَ جَلۡدَةٖۖ
2. Perempuan
yang berzina dan laki-laki yang berzina, maka deralah tiap-tiap seorang dari
keduanya seratus dali dera
H.
Tuntutan Lafadz Amar Secara
Berulang
Lafadz amar
bila disebutkan lebih dari sekali ada
perbedaan pendapat tentang pemenuhan tuntutan lafadz amar tersebut, diantaranya
1.
Kalangan
ulama yang berpendapat amar yang mutlak tidak menuntut dipenuhi berulang kali,
perbedaan pendapat dalah hal ini:
a)
Abu
Hanifah berpendapat: “Jika pada amar yang kedua adalah berupa penjelasan
terhadap yang pertama, maka tidak harus ada tuntutan untuk melaksanakan
perintah secara berulang kali, tetapi hanya mengerjakan perintah yang pertama
saja”. Atau “Jika amar yang kedua berbeda dengan yang pertama, maka perintah
yang kedua bukanlah penjelasan perintah yang pertama”.
b)
Di
kalangan ulama Syafi’iyyah terdapat perbedaan pendapat, ada yang mengatakan
bahwa tuntutan untuk melakukan berulang kali ada pada amar yang kedua dan ada
juga yang mengatakan perulangan amar hanya untuk menguatkan dan juga ada yang
mengatakan bersikap tawaquf hingga ada dalil yang menjelaskannya.
- Kalangan ulama Hanbali berpendapat bahwa
amar pertama itu menuntut untuk perulangan.
I.
Tuntutan Amar Mutlak atas
Kesegeraan Pelaksanaan
Dalam hal
amar yang pelaksanaannya dihubungkan kepada suatu waktu tertentu, apakah
pelaksanaannya harus segera atau bisa ditangguhkan, dalam hal ini ada perbedaan
pendapat, yaitu:
1.
Ulama
Hanbali berpendapat bahwa amar mutlak menghendaki segera dilaksanakan setelah
adanya amar itu.
2.
Kebanyakan
ulama Syafi’iyah, Mu’tazilah, sebagian ulama Hanafiyah berpendapat bahwa amar
mutlak tidak menuntut segera dilaksanakan, jadi dapat ditangguhkan
pelaksanaannya.
3.
Ulama
kalam Asy’ariyah memilih bersikap tawaquf.
J.
Amar yang Dihubungkan
dengan Waktu
Adakalanya
amar dihubungkan kepada waktu tertentu. Jika waktunya telah berlalu sedangkan
tuntutan amar itu belum dilaksanakan, apakah amar itu gugur? Dalam menghadapi
masalah ini ulama berbeda pendapat:
1.
Kalangan
ulama Hanbali berpendapat bahwa amar yang dikaitkan kepada waktu dan tidak
dilaksanakan pada waktunya, maka amar itu tidak gugur dengan berlalunya waktu
tersebut.
2.
Kebanyakan
ulama fiqh dan ulama kalam berpendapat bahwa amar yang dikaitkan dengan waktu
yang telah kadaluwarsa itu tidak gugur meskipun waktunya telah lewat, tetapi
harus mengqadhanya berdasarkan amar yang kedua yang datang setelah waktu
tersebut lewat.
K.
Hubungan Amar dengan
Perbuatan
Lafadz amar
menghendaki orang yang dikenai amar untuk mengerjakan perbuatan yang dikenai
amar untuk mengerjakan perbuatan yang dikehendaki oleh amar itu. Bila amar itu
telah dilaksanakan, apakah perbuatan yang disuruh itu telah memadai dan
memenuhi tuntutan? Persoalan ini menjadi perbincangan kalangan ulama ushul:
- Kebanyakan ulama fiqh dan ulama kalam
golongan asy’ari berpendapat bahwa jika amar telah dilaksanakan sesuai
dengan yang dikehendaki, maka berarti telah memadai dan memenuhi
tuntutan.
- Golongan Mu’tazilah dan para pengikutnya
berpendapat bahwa terlaksananya amar itu tidaklah menunujukkan telah
memadainya pelaksanaan perbuatan itu dan telah terpenuhinya perintah
dengan hanya semata-mata melihat pada amar tersebut, tetapi pada dalil
lain.
L.
Amar dalam Bentuk Pilihan
Amar
seperti ini disebut amar mukhayyar. Umpamanya firman Allah dalam Q.S. al-Maidah
[05]: 89:
فَكَفَّٰرَتُهُۥٓ
إِطۡعَامُ عَشَرَةِ مَسَٰكِينَ مِنۡ أَوۡسَطِ مَا تُطۡعِمُونَ أَهۡلِيكُمۡ أَوۡ
كِسۡوَتُهُمۡ أَوۡ تَحۡرِيرُ رَقَبَةٖۖ
maka
kaffarat (melanggar) sumpah itu, ialah memberi makan sepuluh orang miskin,
yaitu dari makanan yang biasa kamu berikan kepada keluargamu, atau memberi
pakaian kepada mereka atau memerdekakan seorang budak
Amar
dalam ayat ini menuntut melaksanakan satu diantara tiga pilihan, yaitu: memberi
makan sepuluh orang fakir miskin atau memberi pakaian terhadap sepuluh orang
miskin atau memerdekakan hamba sahaya.
M.
Amar yang Berkaitan dengan
Tuntutan Terhadap Orang Lain
Ada
beberapa bentuk kemungkinan amar ini, yaitu:
1.
Orang
yang disuruh pertama hanyalah sebagai penyampai suruhan dan perantara bagi yang
menyuruh.
2.
Orang
yang disuruh pertama tidak dalam kedudukan sebagai penyampai berita; bahkan ia
disuruh secara mandiri untuk mengarahkan amar kepada pihak kedua.
Amar dalam bentuk ini juga diperselisihkan oleh ulama ushul:
1.
Jumhur
ulama berpendapat bahwa amar tersebut bukanlah bagi pihak kedua untuk melakukan
perbuatan tersebut.
2.
Ridha
Mudhaffar dari Syi’ah berpendapat bahwa amar itu berlaku bagi pihak kedua untuk
melakukan suatu perbuatan.
NAHI
1.
Pengertian Nahi
Nahi
menurut bahasa artinya mencegah, melarang (al-man’u), sedangkan Menurut istilah
adalah lafadz yang meminta untuk meninggalkan sesuatu perbuatan kepada orang
lain dengan menggunakan ucapan yang sifatnya mengharuskan, atau lafadz yang menyuruh kita untuk meninggalkan
suatu pekerjaan yang diperintahkan oleh orang yang lebih tinggi dari kita. Akal
juga disebut nuhyah (nahyu), karena dia dapat mencegah orang yang berakal itu
untuk tidak berbuat salah.
Menurut
Abdul Hamid Hakim menyebutkan bahwa nahi adalah perintah untuk meninggalkan
sesuatu dari atasan kepada bawahan. Jadi Nahi adalah suatu larangan yang harus
ditaati yang datangnya dari atasan kepada bawahan, yakni dari Allah SWT kepada
hamba-Nya.
Adapun maksud nahi yang sebenarnya adalah menunjukkan
haram, seperti dalam firman Allah:
وَلَاتَأْكُلُوا الرِّبَا أَضْعَافًا مُضَاعَفَةً
Artinya: “dan
janganlah kamu memakan riba dengan berlipat ganda”. (QS. Ali Imran: 130)
Karena La
ta’kulu berbentuk nahi, sedangkan ketentuan nahi adalah haram, maka makan harta
riba hukumnya haram, karena tidak diridlai Allah swt. Inilah hukum asli dari
nahi.
Kecuali
apabila ada qarinah yang memengaruhinya, maka nahi tersebut tidak lagi
menunjukkan hukum haram, tetapi menunjukkan hukum makruh, mubah, dan
sebagainya. Sesuai dengan qarinah yang memengaruhinya itu. Ada ulama yang
berpendapat bahwa nahi yang masih asli itu menunjukkan hukum makruh. Namun,
pendapat yang lebih kuat, bahwa nahi adalah haram.
2.
Sighat (bentuk kata) Nahi
Kalimat
larangan yang tidak memiliki qarinah menunjukkan hakikat larangan yang mutlak.
Seperti firman Allah:
يَاأَيُّهَا الَّذِيْنَ امَنُوا لَاتَقْرَبُ الصَّلاَةَ
وَأَنْتُمْ سُكَارَى
Artinya: “hai orang-orang yang beriman, jangan kamu kerjakan
shalat dalam keadaan mabuk”. (QS.An Nisa : 43)
Ungkapan yang
menunjukkan kepada nahi (larangan) itu ada beberapa bentuk diantaranya:
a)
Fi’il
Mudhari’ yang disertai dengan la nahi, seperti:
لَا تُفْسِدُوْا فِى الْاَرْضِ
Artinya: “janganlah kamu membuat kerusakan di muka bumi”. (QS. Al
Baqarah: 11).
b)
Lafadz-lafadz
yang member pengertian haram atau perintah meninggalkan sesuatu perbuatan,
seperti:
وَاَحَلَّ اللّهَ وَحَرَّمَ الرِّبَوا
Artinya: “dan Allah menghalalkan jual beli dan
mengharamkan riba”. (QS. Al Baqarah: 275).
3.
Kaidah-kaidah Nahi
1.
Kaidah
pertama, pada dasarnya larangan itu menunjukkan haram, seperti:
وَلَاتَقْرَ بُوا الزِّنَى
Artinya: “dan janganlah
kalian mendekati zina”. (QS. Al Isra: 32).
Sighat Nahi
mengandung beberapa pengertian, antara lain sebagai berikut:
a.
Untuk
do’a
رَبَّنَا لَاتُؤَاخِذْنَا اِنْ نَسِيْنَااَوْاَخْطَأْنَا
“hai Tuhan kami,
janganlah engkau hukum kami, bila kami lupa atau salah”.
b.
Untuk
pelajaran
لَاتَسْئَلُوْاعَنْ اَشْيَاءَ اِنْ تُبْدَلَكُمْ
تَسُؤْكُمْ
“janganlah kamu
menanyakan hal-hal yang jika diterangkan kepadamu, niscaya menyusahkan kamu”.
c.
Putus
asa
لَاتَعْتَذِرُوا الْيَوْمَ
“janganlah kamu
cari-cari alasan hari ini”
d.
Untuk
menyenangkan (menghibur)
لَاتَحْزَنْ إِنَّ اللّهَ مَعَنَا
“jangan bersedih
kamu, bahwa sesungguhnya Allah bersama kita”
2.
Kaidah
kedua: larangan terhadap sesuatu berarti perintah akan kebalikannya, seperti:
لَا تُشْرِكْ بِاللّه
Artinya: “janganlah kamu mempersekutukan Allah”.
3.
Kaidah
ketiga: pada dasarnya larangan yang mutlak menghendaki pengulangan larangan
dalam setiap waktu. Seperti:
لَاتَقْرَبُوا الصَّلَواةَ وَاَنْتُمْ سُكَارَى
Artinya: “janganlah shalat sedang kamu dalam keadaan mabuk”. (QS.
An Nisa’:43).
Nahi terbagi kedalam 4 bagian yakni:
1.
Nahi
yang menunjukkan perbuatan itu sendiri sebagaimana contoh di atas yang
menyebabkan perbuatan yang dilarang itu hukumnya fasid (rusak) haram.
2.
Nahi
yang menunjukkan juz’I dari perbuatan (bagian dari perbuatan). Misalnya,
larangan jual beli anak binatang yang masih dalam kandungan ibunya.
3.
Nahi
yang menunjukkan sifat perbuatan yang tidak dapat dipisahkan, misalnya larangan
berpuasa pada hari raya karena hikmah di hari raya ialah agar semua umat Islam
dapat menikmati kegembiraan makan minum di hari tersebut.
4.
Nahi
yang menunjukkan hal-hal di luar perbuatan yang tidak mesti berhubungan dengan
perbuatan tersebut. Misalnya, larangan dalam jual beli sewaktu shalat jum’at
yang akibatnya akan meninggalkan shalat jum’at.
4.
Dilalah dan Tuntutan Nahi
Dalam melarang
suatu perbuatan, menurut pendapat Muhammad Khudhari Beik, Allah juga memakai
beragam gaya bahasa diantaranya:
- Larangan secara tegas dengan memakai kata
naha atau yang searti dengannya yang
secara bahasa berarti melarang. Misalnya surat An-Nahl ayat 90 yang
artinya:
وَيَنْهَى عَنِ الْفَحْشَاءِوَالْمُنْكَرِوَالْبَغْيِ
“Dan Allah melarang dari
perbuatan keji, kemungkaran dan permusuhan”.
- Larangan dengan menjelaskan bahwa suatu
perbuatan diharamkan, misalnya ayat 33 surat Al-A’raf:
قُلْ إِنَّمَاحَرَّمَ رَبِّيَ الْفَوَاحِشَ مَا ظَهَرَمِنْهَاوَمَابَطَنَ
وَالْإِثْمَ وَالْبَغْيَ بِغَيْرِالْحَقِّ
Artinya:
“Katakanlah : "Tuhanku Hanya mengharamkan perbuatan yang keji, baik yang
nampak ataupun yang tersembunyi, dan perbuatan dosa, melanggar hak manusia
tanpa alasan yang benar”.
- Larangan dengan menegaskan bahwa perbuatan
itu tidak halal dilakukan, contoh surat An-Nisa’ ayat 19:
يَا اَيُّهَاالَّذِيْنَ امَنُوا لَايَحِلُّ لَكُمْ
اَنْ تَرِثُوا انِّسَاءَكَرْهَا
Artinya : “Hai orang-orang yang beriman, tidak
halal bagi kamu mempusakai wanita dengan jalan paksa”.
- Larangan dengan menggunakan kata kerja
Mudhari’ (kata kerja untuk sekarang atau mendatang) yang disertai huruf
lam yang menunjukkan larangan, misal surat Al-An’am ayat 152:
وَلَاتَقْرَبُوْا مَالَ اليَتِيْمِ اِلَّابِالَّتِيْ
هِيَ اَحْسَنُ حَتَّى يَبْلُغَ اَشُدَّهُ
Artinya: “Dan janganlah kamu dekati harta anak
yatim, kecuali dengan cara yang lebih bermanfaat, hingga sampai ia dewasa”.
- Larangan dengan memakai kata perintah
namun bermakna tuntutan untuk meninggalkan misalnya, surat Al-An’am ayat
120 artinya:
وَذَرُوْاظَاهِرَالْإِثْمِ وَبَاطِنَهُ
“Dan
tinggalkanlah dosa yang Nampak dan yang tersembunyi”.
- Larangan dengan cara mengancam pelakunya
dengan siksaan pedih, misalnya surat Al-Taubah: 34.
وَالَّذِيْنَ يَكْنِزُوْنَ الذَّهَبَ وَالْفِضَّةَ
وَلَا يُنْفِقُوْنَهَا فِي سَبِيْلِ اللّه فَبَشِّرْهُمْ بِعَذَابٍ اَلِيْمٍ
Artinya: “Dan orang-orang yang menyimpan emas dan perak dan tidak
menafkahkannya pada jalan Allah, Maka beritahukanlah kepada mereka, (bahwa
mereka akan mendapat) siksa yang pedih”.
- Larangan dengan mensifati perbuatan itu
dengan keburukan, misalnya surat Ali Imran : 180
وَلَايَحْسَبَنَّ الَّذِيْنَ يَبْخَلُوْنَ بِمَا
أتهُمُ اللّهُ مِنْ فَضْلِهِ هُوَ خَيْرًا لَّهُمْ
Artinya: “Sekali-kali janganlah orang-orang yang
bakhil dengan harta yang Allah berikan kepada mereka dari karuniaNya menyangka,
bahwa kebakhilan itu baik bagi mereka”.
- Larangan dengan meniadakan wujud perbuatan
itu sendiri, misalnya surat al-Baqarah: 193
فَإِنِ انْتَهَوافَلَا عُدْوَانَ اَلَّا عَلَى الظَّالِمِيْنَ
Artinya: “Jika mereka berhenti (dari memusuhi
kamu), Maka tidak ada permusuhan (lagi), kecuali terhadap orang-orang yang
zalim”[13]
5.
Syarat-syarat Nahi
Bentuk nahi hanya satu saja, yaitu fiil mudhari’ yang disertai la
nahi.
Arti nahi yang pokok:
a.
Menunjukkan
haram
Artinya: “ larangan itu menunjukkan haram (haramnya perbuatan yang
dilarang)”.
Alasannya, apabila ada kata-kata larangan yang tidak disertai
qarinah, akal kita dapat mengerti keharusan yang diminta larangan itu, yang segera dapat dimengerti menunjukkan
pengertian yang sebenarnya. Demikian pula pemahaman lama salaf.
Qarinah ialah kata-kata yang menyerupai larangan, yang menyebabkan
larangan itu tidak menyebabkan haram.
b.
Menunjukan
makruh
Artinya: “Bermula larangan
menunjukkan makruh”. (makruhnya perbuatan yang dilarang).
Alasannya, larangan itu hanya menunjukkan buruknya (tidak baiknya)
perbuatan yang dilarang. Keburukan ini tidak berarti haram atau larangan
menunjukkan rusaknya perbuatan yang dilarang.
c.
Melarang
sesuatu mengakibatkan perbuatan yang dilarang hukumnya menjadi rusak dan tidak
sah.
Artinya, larangan melakukan suatu perbuatan itu akan mengakibatkan
perbuatan yang dilarang tadi apabila dilakukan hukumnya menjadi tidak sah.
Contoh zina. Sebagian ulama termasuk imam Ghazali dan ar Razi berpendapat bahwa
“nahi itu tidak menyebabkan tidak sahnya suatu perbuatan yang dilakukan,
kecuali hanya dalam soal ibadah saja, tidak dalam muamalah”. Sebagian ulama
Syafi’iyyah, hanafiah, dan muktazilah berpendapat bahwa “nahi itu tidak
menyebabkan tidak sahnya perbuatan yang dilarang, tidak pada lughah /
bahasanya, tidak pada syara’, dan tidak pula dalam soal-soal ibadah dan
muamalah”. Sementara Imam Syaukani berkata di dalam kitab shulnya Irsyadul
Fuhul bahwa “tiap-tiap nahi yang tidak membedakan antara ibadah dan muamalah
menyebabkan perbuatan yang dilarang itu haram hukumnya, dan tidak sahnya hukum
menurut syara’ berarti batal (tidak sah).
Sumber: Prof. Dr. Amir Syarifuddin dalam bukunya yang berjudul Ushul Fiqh