Rabu, 04 April 2018

Makalah Tarikh Tasyri': Pembukuan Fiqh dan Ushul Fiqh


BAB I
PENDAHULUAN

A.   Latar Belakang

Dahulu sebelum Nabi SAW wafat masalah hukum syari’at tidak bermasalah. Secara esensial, fiqih sudah ada pada masa Nabi SAW, walaupun belum menjadi sebuah disiplin ilmu tersendiri. Karena Semua persoalan keagamaan yang muncul waktu itu, langsung ditanyakan kepada Nabi SAW. Maka seketika itu solusi permasalahan bisa terobati, dengan bersumber pada Al Qur’an dan sunnah sebagai alwahyu. Baru sepeninggal Nabi SAW, ilmu fiqh ini mulai muncul, seiring dengan timbulnya permasalahan-permasalahan yang muncul dan membutuhkan sebuah hukum melalui jalan istinbat.
Penerus Nabi Muhammad SAW tidak hanya berhenti pada masa khulafa ar-rasyidin, namun masih diteruskan oleh para tabi’in dan ulama’ hingga sampai pada zaman kita sekarang ini. Para sahabat melakukan ijtihad dalam mentukan hukum. Pada masa tabi’in ijtihad semakin berkembang. Seiring dengan semakin luasnya wilayah Islam dan tersebarnya fuqoha ke berbagai wilayah. Maka ditemukan kasus-kasus baru dalam hukum syari’at.
Dari fatwa-fatwa para sahabat dan tabi’in dan Islam yang semakin luas, sedang setiap hukum yang di fatwakan tidak terlalu mudah untuk di ingat, maka para mujtahid mulai membukukan hukum fiqih dan ushul fiqih.

B.    Rumusan Masalah

1.      Apa yang dimaksud fiqh dan ushul fiqh ?
2.      Bagaimana sejarah perkembangan dan pembukuan fiqh dan ushul fiqh ?
3.      Bagaimana perbedaan fuqaha sebelum dan sesudah pembukuan fiqh dan ushul fiqh dan pengaruhnya terhadap perkembangan hukum Islam ?

C.   Tujuan

1.      Untuk mengetahui pengertian fiqh dan ushul fiqh.
2.      Untuk mengetahui sejarah perkembangan dan pembukuan fiqh dan ushul fiqh.
3.      Untuk mengetahui perbedaan fuqaha sebelum dan sesudah pembukuan fiqh dan pengaruhnya terhadap perkembangan hukum Islam.
BAB II
PEMBAHASAN

A.   Pengertian Fiqh

Fiqh menurut bahasa, berarti paham atau tahu, atau pemahaman yang mendalam, yang menumbuhkan pengerahan potensi akal. Pengertian ini dapat ditemukan dalam Q.S Thaha ayat 27-28, yang berbunyi:
وَٱحۡلُلۡ عُقۡدَةٗ مِّن لِّسَانِي ٢٧  يَفۡقَهُواْ قَوۡلِي ٢٨
Dan lepaskanlah kekakuan dari lidahku, supaya mereka mengerti perkataanku (Q.S Thaha (20) : 27-28)
     Pengertiah fiqh secara etimologi, juga ditemukan dalam sabda Rasulullah SAW, yang berbunyi    :

مَنْ يُرِدِ اللهُ بِهِ خَيْرًا يُفَقِّهُ فِى الدِّيْنٍ ……

Siapa orang yang Allah kehendaki menjadi baik maka Allah akan memberikan dia pemahaman terhadap agama. (HR. Bukhari NO 71).[1]
     Menurut istilah sebagaimana dikemukakan oleh Sayyid Al-Jurjany, bahwa fiqh adalah      :

الْعِلْمُ بِالْأَحْكَامِ الشَّرْعِيَّةِ الْعَمَلِيَّةِ مِنْ أَدِلَّةِهَا التَّفْصِيْلِيَّةِ

Ilmu tentang hukum-hukum syara’ mengenai perbuatan-perbuatan dari dalil-dalil yang terperinci.[2]
     Al-Amidi mendefinisikan fiqh yang berbeda dengan definisi diatas, yaitu : “Ilmu tentang seperangkat hukum-hukum syara’ yang bersifat furu’iyyah yang berhasil didapatkan melalui penalaran atau istidlal”.
     Dengan menganalisis kedua definisi diatas dapat ditemukan hakikat dari fiqh, yaitu :
a.       Fiqh itu adalah ilmu tentang hukum Allah.
b.      Yang dibicarakan adalah hal-hal yang bersifat amaliah furu’iyah.
c.       Pengetahuan tentang hukum Allah itu didasarkan kepada dalil tafsili.
d.      Fiqh itu digali dan ditemukan melalui penalaran dan istidlal seorang mujtahid atau faqih.
Dengan demikian secara ringkas dapat dikatakan, “Fiqh adalah dugaan kuat yang dicapai seorang mujtahid dalam usahanya menemukan hukum Allah.”.[3]

B.    Pengertian Ushul Fiqh

Kata al-ushul, adalah jama­­­k (plural) dari kata al-ashl, menurut bahasa berarti landasan tempat membangun sesuatu. Menurut istilah, seperti dikemukakan Wahbah az-Zuhaili yaitu bermakna dalil, bermakna kaidah, bermakna ar-rajih, bermakna asal, bermakna sesuatu yang diyakini.
Pengertian al-ashlu bila dihubungkan dengan kata fiqh maka bermakna al-dalil. Dalam pengertian ini, maka kata Ushul al-Fiqh berarti dalil-dalil fiqh, seperti Al-Qur’an, sunnah, ijma’, qiyas dan lain-lain.[4] Dari arti etimologi ini dirumuskanlah defini dari ushul fiqh menjadi “Ilmu tentang sumber-sumber hukum Islam”. Dalam bentuk yang lebih lengap dikatakan “Ilmu tentang sumber hukum syara’ dan cara penunjukkannya terhadap hukum syara’”. Inilah definisi yang biasa digunakan ahli ushul masa-masa awal atau al-mutaqaddimin seperti Ibnu Subki dal al-Ghazali. Abu Husein al-Bashriy dari ahli ushul fiqh ulama kalam Mu’tazilah melihat ushul fiqh itu bukan dari sumber fiqh tetapi dari segi cara mendapatkan fiqh itu. Oleh karena itu, dia mengartikan uahul fiqh itu dengan thurq al-fiqh yang diartinkannya dengan “pemikiran sahih yang membawa keapada fiqh”. Pengertian ini diikuti oleh ulama dan penulis ushul fiqh kontemporer yang mengartikan ushul fiqh dengan metodologi fiqh.[5]
Adapun ilmu ushul fiqh menurut Abdul Wahab Khallaf dan Abu Zahrah    :
الْعِلْمُ بِالْقَوَاعِدِ وَ البُحُوْثِ الَّتِى يُتَوَصَّلُ بِهَا إلَى إِسْتِفَادَةِ الْأَحْكَامِ الشَّرْعِيَّةِ العَمَلِيَّةِ مِنْ أَدِلَّةِهَا التَّفْصِيْلِيَّةِ
Ilmu tentang kaidah-kaidah dan pembahsan-pembahasan yang dijadikan sarana untuk memperoleh hukum-hukum syara' mengenai perbuatan dari dalil-dalilnya yang terperinci.[6]
Dari penjelasan sederhana diatas dapat diketahui perbedaan antara ushul fiqh dengan fiqh. Ushul fiqh adalah pedoman atau aturan-aturan yang membatasi dan menjelaskan cara-cara yang harus diikuti seorang fakih dalam usahanya menggali dan mengeluarkan hukum syara’ dari dalilnya; sedangkan fiqh ialah hukum-hukum syara’ yang telah digali dan dirumuskan dari dalil-dalil menurut aturan yang sudah ditentukan itu.[7]

C.   Sejarah Perkembangan Fiqh

Hukum fiqh tumbuh bersamaan dengan pertumbuhan agama Islam, karena sebenarnya agama Islam merupakan himpunan dari akidah akhlak dan hukum amaliah.
Pada masa Raslullah SAW, terbentuk hukum-hukum didalam Al-Qur’an dan berbagai hukum yang berasal dari Rasulullah, sebagai suatu fatwa terhadap suatu kasus. Pada masa sahabat, mereka dihadapkan pada berbagai berbagai peristiwa dan munculnya berbagai hal baru yang hal itu tidak pernah dihadapi kaum muslimin sebelumnya dan tidak pernah muncul pada masa Rasulullah SAW, maka berijtihadlah orang yang ahli berijtihad diantara mereka dengan memberikan putusan hukum , menetapkan hukum syari’at dan menambahkan sejumlah hukum yang pertama itu. Pada periode ini, kompilasi hukum fiqh terbentuk dari hukum-hukum Allah dan Rasul-Nya, serta fatwa sahabat dan putusan mereka. Sedangkan sumbernya adalah Al-Qur’an, sunnah, dan ijtihad para sahabat.
Masa tabi’in dan tabi’it tabi’in serta para imam mujtahid, yaitu sekitar abad kedua dan ketiga, umat Islam meluas dan banyak dari orang non-Arab yang memeluk agama Islam. Kaum muslimin dihadapkan pada berbagai kejadian baru, berbagai kesulitan, bermacam-macam kajian, aneka ragam teori dan gerakan pembangunan fisik dan intelektual yang membawa para mujtahid untuk memperluas dalam ijtihad dan pembentukan hukum Islam terhadap banyak kasus, dan membukakan pintu pengkajian dan analisis terhadap mereka, sehingga semakin luas pula lapangan pembentukan hukum fiqh, dan ditetapkan sejumlah hukum untuk kasus-kasus yang fiktif, kemudian ditambahkan kepada dua kompilasi hukum yang terdahulu maka himpunan hukum fiqh pada periode ketiga ini terbentuk dari hukum Allah dan Rasul-Nya, fatwa-fatwa sahabat dan putusan hukum mereka, sedangkan sumber hukumnya Al-Qur’an, sunnah, dan ijtihad para sahabat dan para imam mujtahid.[8]

D.   Sejarah Perkembangan Ushul Fiqh

Secara implisit, ushul fiqh telah timbul bersamaan dengan timbulnya fiqh, karena ushul fiqh adalah metode istinbat fiqh. Pada masa sahabat dan tabi’in, metode istinbat itu belum tampak jelas dan belum merupakan kaidah. Setelah lahir sejumlah tokoh dan berkembangnnya masalah fiqh, metode istinbat itu menjadi tampak dan masing-masing mujtahid mempunyai metode tersendiri. Pertentangan masalah fiqh itu merupakan sebab kesibukan ulama untuk menyusun ushul fiqh, yaitu kaidah-kaidah yang wajib diikuti oleh mujtahid dalam beristinbat. Abu Yusuf dan Muhammad bin Hasan telah menulis tentang ushul fiqh, tetapi tidak sampai kepada kita.
Setelah as-Syafi’i memerhatikan dan membandingkan kaidah-kaidah yang digunakan fuqaha, ia menyusun buku ushul fiqh pertama, yaitu kitab ar-Risalah. Semula buku yang menjadi mukadimah kitab al-Umm ini ia diktekan kepada muridnya, al-Rabi’. Kitab ar-Risalah ditulis dua kali, pertama pada saat ia di Irak dan kedua pada saat ia di Mesir.
Setelah itu, barulah ulama lain memberi perhatian terhadap penghimpunan ushul fiqh. Ulama Hanabilah mulai menulis ilmu ini, demikian juga ulama Hanafiyyah dan Malikiyyah. Ulama Hanafiyyah memiliki ciri khas tersendiri dalam menyusun kaidah-kaidah fiqhnya. Mereka mengambil kaidah ushuliyyah dari furu’ fiqhiyyah, sedangkan ulama lain menetapkan kaidah dari dalil-dalil yang kuat.[9]

E.    Sejarah Pembukuan Fiqh

Kaum muslimin banyak yang minta fatwa dari fuqaha, karena ingin menyelesaikan segala permasalahan sesuai dengan syari’at. Oleh karena itu, fuqaha beristinbat dengan syari’at. Oleh karena itu, fuqaha beristinbat dengan sejumlah kaidah untuk menetapkan hukum yang diperlukan, baik yang sedang terjadi maupun yang sudah terjadi. Perkembangan berikutnya membuat objek pembahasan fiqh bertambah luas. Dengan bertambah luasnya objek pembahasan fiqh, maka bertambah luas pula polemik yang terjadi.
Fiqh pada mulanya merupakan fatwa para sahabat dan hokum peristiwa yang terjadi pada masa itu. Mereka berfatwa karena adanya pertanyaan atau kasus yang dihadapi, bukan bermaksud untuk diikuti oleh masyarakat berikutnya. Mereka memahami nash Al-Qur’an dan hadits sesuai dengan perkembangan zamannya.
Pada masa Mu’awiyah, ada desakan dari pada hakim dari berbagai daerah yang merasa perlu dikodifikasikannya putusan-putusan yang mereka berikan. Permulaan hukum yang dibukukan adalah tentang pusaka yang diputuskan oleh seorang hakim di Mesir. Fiqh pada masa ini belum mempunyai guru-guru khusus. Fiqh diajarkan di masjid-masjid atau tempat-tempat tertentu. Masjid pada waktu itu merupakan perguruan untuk belajar Al-Qur’an, hadits, fiqh, dan bahasa. Mayoritas pelajar hanya menghafal pelajaran yang diberikan gurunya.
Selanjutnya, usaha pembukuan fiqh mulai berkembang. Di Madinah, ulama mengumpulkan fatwa para sahabat seperti Abdullah bin Umar, Aisyah, Ibnu ‘Abbas, dan fatwa tabi’in. Kitab Al-Muwaththa’ disusun selama 40 tahun oleh Imam Malik yang berisikan fatwa-fatwa para sahabat.
Ulama Irak juga mengumpulkan fatwa-fatwa Ibnu Mas’ud dan Ali, sekaligus putusan-putusan hukum dari Hakim Syuraih. Sementara itu, Ibrahim al-Nukha’I menghimpun fatwa guru-gurunya menjadi sebuah buku. Demikian pula Hammad yang mengumpulkan fatwa-fatwa gurunya. Selain itu, Muhammad bin Hasan juga mengumpulkan atsar dari ‘ulama kedalam bukunya yang disebut al-Atsar.
Setetah itu barulah setiap ustadz membukukan fiqhnya dan didiktekan kepada murid-muridnya. Kemudian tulisan itu dibaca murid-muridnya, seperti Habib yang membaca tulisan Malik. Habib membaca dihadapan Malik dan murid-murid yang lain (metode srogan atau al-qira’ah ‘ala al-syaikh). Kerap kali seorang murid mencatat dalam bukunya apa yang diterima dari gurunya, tetapi kerap kali juga seorang guru mengubah pendapatnya di tempat lain. Oleh karena itu, bias jadi ada dua periwayatan. Masing-masing penulis menyandarkan apa yang didengar dari seorang imam kepada imam lain.
Buku fiqh pada masa Umayyah yang bercampur antara hadits dan atsar adalah Al-Muwaththa’ yang ditulis oleh Malik. Adapun kitab fiqh yang tidak bercampur antara hadits dan atsar adalah kitab-kitab ulama Hanafiyah termasuk buku enam buah yang dikenal dengan Zhahir Al-Riwayah. Sesudah kitab ini berkembang dan menjadi pegangan penganutnya, muncullah kitab-kitab mukhtashar, seperti Mukhtashar Al-Thahaqi, Mukhtashar Al-Qaduri. Kitab-kitab mukhtashar itu kemudian disyarahkan dan dikritisi oleh ulama lain, seperti Al-Samarqandi yang menulis Al-Tuhfah.
Kitab fiqh lain yang tidak menyebut hadits dan atsar dalam madzhab Malik adalah Al-Mudawwanah. Buku ini merupakan percakapan antara Asad bin Al-Furat dan Ibnu Al-Qasim Al-Mishri yang sudah dikoreksi oleh Sahnun. Sementara itu kitab mukhtashar-nya, seperti Mukhtashar Ibn Al-Hajib dan Mukhtashar Khalil. Kemudian buku ini diringkas lagi oleh Al-Dardidi dalam Aqrab Al-Masalik dan Al-Amir dalam Al-Majmu’.
Kitab fiqh berikutnya, fiqh yang disertai dalil-dalilnya yaitu kitab Al-Mabsuth yang didiktekan oleh Al-Syafi'’ yang kemudian disebut Al-Umm. Kemudian muncullah beberapa muktashar yang mengikuti sistem ini dari berbagai golongan, yaitu Hanafiyyah, Malikiyyah, Syafi’iyyah, dan Hanabilah. Misalnya, Mukhtashar Al-Muzani, Al-Wajiz karya Al-Ghazali, dan Mukhtashar Al-Nawawi yang dikenal Al-Minhaj.[10]
Tujuan dari kodifikasi ini adalah untuk merealisasikan dua tujuan sebagai berikut.
Pertama, menyatukan semua hukum dalam setiap masalah yang memiliki kemiripan sehingga tidak terjadi tumpang tindih, masing-masing hakim memberi keputusan sendiri, tetapi seharusnya mereka sepakat dengan materi undang-undang tertentu, dan tidak boleh dilanggar untuk menghindari keputusan yang kontradiktif.
Kedua, memudahkan para hakim untuk merujuk semua hukum fiqh dengan susunan yang sistematik, ada bab-bab yang teratur sehingga mudah untuk dibaca.[11]

F.    Sejarah Pembukuan Ushul Fiqh

Dalam Tarikh Islam ditemukan beberapa perbedaan pendapat tentang siapa yang pertama kali menyusun kaidah-kaidah ushul fiqh. Kalangan pendukung Imam Abu Hanifah berpendapat bahwa yang pertama kali menyusun kitab ushul fiqh adalah Abu Hanifah, Abu Yusuf, dan Muhammad ibn Hasan. Menurut mereka, Imam Abu Hanifah yang pertama-tama menjelaskan metode istinbat dalam bukunya Ar-Ra’yu, sedangkan Abu Yusuf, sebagai penyusun kitab ushul fiqh dalam mazhab Hanafi.
Golongan Malikiyah mengakui bahwa Imam Malik adalah orang yang pertama berbicara tentang ushul fiqh. Namun mereka tidak menganggap Imam Malik sebagai penyusun pertama kali kitab ushul fiqh.
Dalam A History of Islamic Law, NJ. Coulson menyatakan bahwa ushul fiqh dibukukan pada abad ke-3 Hijriah atau pada masa awal Imam Syafi’I (w. 204 H) dan ia dianggap sebagai periuntis atau bapak yurisprudensi dalam Islam bukan berarti masa-masa sebelumnya tidak ada upaya-upaya istinbath atau apapun pemikiran-pemikiran hukum Islam. [12]
Pada penghujung abad kedua dan awal abad ketiga Imam Muhammad bin Idris al-Syafi’I (150 H – 204 H) tampil berperan dalam meramu, mensistematisasi dan membukuakn ushul fiqh. Upaya pembukuan ushul fiqh ini, seperti disimpulkan Abdul Wahab Abu Sulaiman, sejalan dengan perkembangan ilmu pengetahuan keislaman pada masa itu. Perkembangan pesat ilmu-ilmu keislaman dimulai dari masa Harun Ar-Rasyid (145 H – 193 H), khalifah kelima Dinasti Abbasiyah yang memerintah selama 23 tahun (170 H – 193 H) dan dilanjutkan dalam perkembangan yang lebih pesat lagi pada masa putranya Al-Ma’mun (170 H – 218 H) khalifah ketujuh yang memerintah selama 20 tahun (198 H – 218 H).
Pada masa ini ditandai oleh pesatnya perkembangn ilmu pengetahuan keislaman, bahkan dikenal sebagai masa keemasan Islam. Dengan didirikannya “Baitul Hikmah”, yaitu sebuah perpustakaan terbesar dimasanya, Kota Baghdad menjadi menara ilmu yang didatangi dari berbagai penjuru wilayah Islam.
Dalam suasana pesatnya perkembangan ilmu-ilmu keislaman tersebut, ushul fiqh muncul menjadi satu disiplin ilmu tersendiri. Sebagai ulama yang datang kemudian, Imam Syafi’i banyak mengetahui tentang metologi istinbat para imam mujtahid sebelumnya, seperti Imam Abu Hanifah, Imam Malik, dan metode istinbat para sahabat, dan mengetahui dimana kelemahan dan dimana keunggulannya. Ushul fiqh dirumuskannya disamping untuk mewujudkan metode istinbat yang jelas dan dapat dipedomani oleh peminat hukum Islam juga dengan itu ia ukur kebenaran hasil ijtihad di masa sebelumnya. Maka oleh Imam Syafi’i disusunlah sebuah buku yang diberinya judul Al-Kitab dan kemudian dikenal dengan sebutan Al-Risalah yang berarti sepucuk surat. Dikenal demikian karena buku itu pada mulanya merupakan lembaran-lembaran surat yang dikirimkannya kepada Abdurrahman al-Mahdi (w. 198 H), seorang pembesar dan ahli hadits ketika itu. Munculnya buku Ar-Risalah merupakan fase awal dari perkembangan ushul fiqh sebagai satu disiplin ilmu. Secara umum pembicaraan dalam buku ini berkisar pada landasan-landasan pembentukan fiqh, yaitu Al-Qur’an, Sunnah Rasulullah SAW, ijma’, fatwa sahabat, dan qiyas.[13]
Sepeninggal Imam Syafi’i pembicaraan tentang ushul fiqh semakin menarik, dan ushul fiqh itu sendiri semakin berkembang. Pada dasarnya ulama fiqh pengikut imam mujtahid yang datang kemudian mengikuti dasar-dasar yang sudah disusun Imam Syafi’i. Dalam perkembangannya terlihat adanya perbedaan arah yang menyebabkan perbedaan dalam ushul fiqh.
Sepeninggalnya imam-imam mujtahid yang empat dinyatakan bahwa kegiatan ijtihad terhenti, namun sebenarnya yang terhenti adalah kegiatan ijtihad mutlaq sedangkan ijtihad terhadap ushul mazhab yang tertentu masih tetap berlangsuung yang masing-masing mengarah kepada menguatnya uhsul fiqh yang dirintis para imam pendahulunya.
Sesudah melembaganya mazhab-mazhab fiqh, maka arah pengembangan ushul fiqh terlihat dalam dua bentuk yang masing-masing disebut aliran ushul fiqh.
Pertama, penyusunan kaidah uhsul tidak terpengaruh pada furu’ mazhab manapun. Pengembangan ushul fiqh dalam bentuk ini disebut aliran Mutakallimun. Karena yan banyak berperan dalam pengembangannya adalah ulama Syafi’iyyah, aliran ushul ini disebut juga aliran Syafi’iyyah. Diantara kitab uhsul fiqh yang dihasilkan dalam aliran ini adalah:
1.      Kitab al-Mu’tamad fi Ushul al-Fiqh karangan Abu Husein al-Bashri (w. 415 H) dari aliran kalam Mu’tazilah
2.      Kitab al-Burhan fi Ushul al-Fiqh karangan Imam Haramain al-Juwaini (w. 478 H)
3.      Kitab al-Mustashfa fi ‘Ilm al-Ushul karangan Abu Hamid al-Ghazali (w. 505 H)
Kedua, penyusunan ushul fiqh yang terpengaruh pada furu’ dan menyesuaikannya dengan kepentingan furu’ dan berusaha mengembangkan ijtihad yang telah berlangsung sebelumnya. Hal ini berarti bahwa fuqaha pengikut mazhab melakukan ijtihad untuk kepentingan memelihara hukum fiqh yang telah dicapai ulama mujtahid sebelumnya. Ushul fiqh dalam bentuk ini disebut ushul fiqh aliran fuqaha. Karena yang banyak berperan dalam pengembangan ushul dalam bentuk ini adalah dari kalangan mazhab Hanafiyyah, aliran ushul bentuk ini disebut juga dengan aliran Hanafiyyah. Diantara kitab yang dihasilkan aliran ini adalah:
1.      Kitab al-Ushul karangan al-Karakhiy
2.      Kitab al-Ushul karangan Abu Bakar al-Raziy
3.      Kitab Ta’sis al-Nazhar karangan Abu Zaid al-Dabbusi (w. 430 H)
4.      Kitab Ushul al-Bazdawi karangan ‘Ali ibn Muhammad al-Bazdawi (w. 483 H)
5.      Kitab Ushul al-Syarakhshi karangan Abu Bakar Syams al-Aimmah al-Syarakhshi (w. 483 H).
Sesudah dua metode ini berjalan mapan dan berkembang menurut aliran masing-masing, ditemukan pula kitab-kitab ushul fiqh yang merupakan gabungan dari dua aliran tersebut diatas, sebagian ditulis oleh ulama dari mazhab Syafi’i seperti kitab Jami’ al-Jawami’ dan sebagian ditulis oleh ulama Hanafi seperti kitab at-Tahrir yang ditulis oleh Ibnu al-Humam[14]. Pada penghujung abad kedelapan Abu Ishaq al-Syatibi 9w. 780 H) ahli ushul fiqh dari kalangan Malikiyah, mengaraang sebuah buku yang berjudul al-Muwafaqat fi Ushul al-Syar’iyyah.
Karya –karya dalam bidang ushul fiqh kami simpulkan sebagai berikut       :
     Kitab-kitab Ushul Fiqh yang disusun menurut aliran Jumhur diantaranya adalah    :
·         Ar-Risalah, disusun oleh Muhammad bin Idris al-Syafi’I (w. 204 H).
·         Al-Burhan fi Ushul al-Fiqh, disusun oleh Abu al-Ma’ali Abd Malik ibn Abdillah al-Juwaini yang bergelar Imam al-Haramain.
·         Al-Mughni fi Ahwab al-Tawhud wa al-‘adl, disusun oleh al-Qadli Abdul Jabbar (w. 415 H).
·         Al-Mu’tamad fi Ushul al-Fiqh, oleh Abu al-Husein al-Bashri (w. 436 H).
·         Al-Mustashfa min ‘Ilm al-Ushul, oleh Abu Hamid al-Ghazali (w. 505 H).
·         Al-Mahsul fi ‘Ilm al-Ushul, oleh Fakhr al-Dien al-Razi (w. 606 H).
·         Al-Ihkam fi Ushul al-Ahkam, oleh Saif al-Dien al-Amidi (w. 631 H).
·         Minhaj al-Wusul fi ‘Ilm al-Ushul, oleh al-Qadi al-Baidawi (w. 685 H).
·         Al-‘Uddah fi Ushul al-Fiqh, oleh Abu Ya’la al-Farra (w. 458 H).
·         Raudhah al-Nazir wa Jannah al-Munazir, oleh Muwaffaq al-Dien ibn Qudamah al-Maqdisi (w. 620 H).
·         Al Musawwadah fi Ushul al-Fiqh, oleh Majd al-Dien Abu al-Barakat al-Harrani (w. 652 H).
·         A’lam al-Muwaqqi’in ‘an Rabb al-‘Alamin, oleh Syams al-Dien Abu Bakr yang terkenal dengan Ibnu Qayyin al0Jawziyah (w. 751 H).
·         Mukhtashar Muntaha al-Sul wa al-Amal, Oleh Jamal al-Dien Ibnu al-Hajib (w. 646 H).
Sedangkan kitab-kitab Ushul Fiqh yang disusun menurut aliran Hanfiyah antara lain :
  1. Taqwim al-Adillah, karya Imam Abu Zaid al-Dabbusi (w. 432 H).
  2. Ushul al-Syarakhshi, karya Imam Muhammad ibn Ahmad Syams al-Aimmah al-Sarakhsi (w. 483 H).
  3. Kanz al-Wushul ila Ma’rifat al-Ushul, karya Fakhr al-Islam al-Bazdawi (w. 482 H).
  4. Manar al-Anwar, Oleh Abu al-Barakat Abdullah Ibnu Muhammad al-Nasafi (w. 710 H)
Kitab-kitab ushul fiqh yang disusun dengan menggabungkan aliran Jumhur dengan aliran Hanafiyah antara lain :
  1. Jami’u al-Jawami’, karya Taj al-Dien Ibnu al-Sibki (w. 771 H).
  2. Al-Tahrir fi Ushul al-Fiqh, karya Kamal al-Dien Ibn al-Humam (w. 861 H).
  3. Musallam al-Subut, karya Muhibbullah Ibn Abd al-Syukur (w. 1119 H).
  4. Al-Muwafaqat fi Ushul al-Syari’ah, karya Abu Ishaq al-Syatibi (w. 790 H).[15]

G.   Perbedan Fuqaha Sebelum dan Sesdudah Pembukuan Fiqh dan Ushul Fiqh

Para sahabat pada umumnya sangat hati-hati dalam memberikan fatwa dan menerangkan hukum kepada masyarakat. Mereka membatasi diri dengan memberi fatwa mengenai permasalahan yang telah terjadi saja. Mereka adalah paham Al-Qur’an dan sunnah, karena melihat turunnya ayat dan datangnya sunnah. Meskipun demikian, terjadi perbedaan dalam menetapkan suatu hukum secara kolektif dan individu, baik disesuaikan dengan qiyas, istihsan, maupun maslahah mursalah. Pada waktu itu memang belum ada istilah-istilah tersebut, tetapi dasar-dasarnya sudah ada.
Pada periode berikutnya terjadi perdebatan dikalangan fuqaha. Dengan meluasnya wilayah kekuasaan Islam, meluas pula permasalahan yang dihadapi. Para ahli ra’yu membicarakan segala masalah yang dikemukakan dari berbagai segi. Merke membahas secara panjang lebar, bahkan membahas hal-hal yang belum terjadi. Mereka sering berkata “Bagaimana hukumnya, apabila begini dan begini.” Pembahasan fiqh seperti ini disebut fiqh iftiradhi (fiqh pengandaian).
Perbedaan juga semakin berkembang dalam memahami Al-Qur’an dan hadits, karena mereka tidak menyaksikan turunnya ayat dan datangnya riwayat. Mereka pun datang dari berbagai bangsa dan membawa permasalahan yang berbeda-beda. Dengan banyaknya masalah, menyababkan istinbat mereka pun bertambah. Demikian pula dasar-dasar istinbatnya. Perdebatan mereka tidak hanya dalam memahami Al-Qur’an dan meneliti keautentikan hadits. Ulama pun memiliki kebebasan dalam berijtihad dan membuat perumpamaan yang mungkin akan terjadi pada masa depan.
Ada perbedaan yang mencolok antara sebelum dan sesudah pembukuan fiqh. Berikut ini adalah keadaan sebelum pembukuan        :
1.      Para sahabat membatasi fatwa.
2.      Menerangkan hukum yang telah terjadi.
3.      Lebih banyak mengetahui Al-Qur’an dan sunnah beserta sebab nuzul dan sebab wurud.
4.      Diantara mereka terjadi perbedaan pendapat dalam menetapkan hukum secara kolektif atau individu; baik sesuatu dengan qiyas, istihsa, maupun ishtislah. Akan tetapi, istilah-istilah itu belum dikenal.
Sementara itu, berikut ini adalah keadaan sesudah pembukuan.
1.      Lahir fiqh iftiradhi.
2.      Fuqaha terdiri atas berbagai suku bangsa.
3.      Tidak menyaksikan sabab nuzul dan sabab wurud.
4.      Tidak sama dalam menerima hadits.
5.      Meluasnya wilayah Islam menimbulkan permasalahan baru.
6.      Istinbat menjadi bertambah dengan adanya dasar yang berbeda.
7.      Hasil ijtihad diperdebatkan, sehinggga tersusunlah kaidah-kaidah ushul fiqh dan mencegah pengikutnya untuk taqlid buta.[16]













BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
·         Apa yang dikemukakan diatas menunjukkan bahwa sejak zaman Rasulullah SAW, Sahabat, tabi’in dan sesudahnya, pemikiran hukum Islam mengalami perkembangan. Namun demikian, corak atau metode pemikiran belum terbukukan dalam tulisan yang sistematis. Dengan kata lain, belum terbentuk sebagai suatu disiplin ilmu tersendiri.
·         Karena timbulnya berbagai persoalan yang belum diketahui hukumnya. Untuk itu, para ulama Islam sangat membutuhkan kaidah-kaidah hukum yang sudah dibukukan untuk dijadikan rujukan dalam menggali dan menetapkan hukum maka disusunlah kitab Ushul Fiqh.
·         Bahwa kegiatan ulama dalam penulisan Ushul Fiqh merupakan salah satu upaya dalam menjaga keasrian hukum syara. Dan menjabarkanya kehidupan sosial yang berubah-ubah itu, kegiatan tersebut dimuali  pada abad ketiga hijriyah. Ushul Fiqh terus berkembang menuju kesempurnaanya hingga abad kelima dan awal abad 6 H abad tersbut.Merupakan abad keemasan penulisan ilmu Ushul Fiqh karena banyak ulama yang memusatkan perhatianya pada bidang Ushul Fiqh dan  juga muncul kitab-kitab Fiqh yang menjadi standar dan rujukan untuk Ushul Fiqh selanjutnya.















DAFTAR PUSTAKA

Muhammad bin Isma’il al-Bukhari. 1997. Shahih Bukhari. Beirut: Darul Kutub al-Ilmiyah.
Drs. Totok Jumantoro, M.A dkk. 2009. Kamus Ilmu Ushul Fiqh. Jakarta: Amzah.
Syarifuddin, Amir. 2014. Ushul Fiqh 1. Jakarta: Kencana.
Effendi, Satria. 2015. Ushul Fiqh. Jakarta: Kencana.
Khon, Abdul Majid. 2013. Ikhtisar Tarikh Tasyri’. Jakarta: Amzah.
Khalil, Rasyad Hasan. 2009. Tarikh Tasyri’ Al-Islamy. Jakarta: Amzah.


[1] Muhammad bin Isma’il al-Bukhari, Shahih Bukhari, (Beirut: Darul Kutub al-Ilmiyah, 1997), hlm 43.
[2] Drs. Totok Jumantoro, M.A dkk, Kamus Ilmu Ushul Fiqh, (Jakarta: Amzah, 2009), hlm 63-64.
[3] Prof. Dr. Amir Syarifuddin, Ushul Fiqh 1, (Jakarta: Kencana, 2014), hlm 4
[4] Prof. Dr. Satria Effendi, M.Zein, M.A, Ushul Fiqh, (Jakarta: Kencana, 2015), hlm 1
[5] Prof. Dr. Amir Syarifuddin, op.cit, hlm 41
[6] Drs. Totok Jumantoro, M.A dkk, Kamus Ilmu Ushul Fiqh, hlm 342
[7] Prof. Dr. Amir Syarifuddin, op.cit, hlm 42
[8] Drs. Totok Jumantoro, M.A dkk, op.cit, hlm 67
[9] Dr. H. Abdul Majid Khon, M.Ag, Ikhtisar Tarikh Tasyri’, (Jakarta: Amzah, 2013), hlm 127
[10] Dr. H. Abdul Majid Khon, M.Ag, op. cit, hlm 125-126
[11] Dr. Rasyad Hasan Khalil, Tarikh Tasyri’ Al-Islamy, (Jakarta: Amzah, 2009), hlm 135
[12] Drs. Totok Jumantoro, M.A dkk, op. cit, hlm 350
[13] Prof. Dr. Satria Effendi, M.Zein, M.A, op. cit. hlm 20
[14] Prof. Dr. Amir Syarifuddin, Ushul Fiqh 1, hlm 47
[15] Prof. Dr. Satria Effendi, M. Zein, M.A, op. cit. hlm 23-33
[16] Dr. H. Abdul Majid Khon, M.Ag,  op. cit. hlm 138

Tidak ada komentar:

Posting Komentar