BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Dahulu sebelum Nabi SAW wafat
masalah hukum syari’at tidak bermasalah. Secara esensial, fiqih sudah ada pada
masa Nabi SAW, walaupun belum menjadi sebuah disiplin ilmu tersendiri. Karena
Semua persoalan keagamaan yang muncul waktu itu, langsung ditanyakan kepada
Nabi SAW. Maka seketika itu solusi permasalahan bisa terobati, dengan bersumber
pada Al Qur’an dan sunnah sebagai alwahyu. Baru sepeninggal Nabi SAW, ilmu fiqh
ini mulai muncul, seiring dengan timbulnya permasalahan-permasalahan yang
muncul dan membutuhkan sebuah hukum melalui jalan istinbat.
Penerus Nabi Muhammad
SAW tidak hanya berhenti pada masa khulafa ar-rasyidin, namun masih diteruskan
oleh para tabi’in dan ulama’ hingga sampai pada zaman kita sekarang ini. Para
sahabat melakukan ijtihad dalam mentukan hukum. Pada masa tabi’in ijtihad
semakin berkembang. Seiring dengan semakin luasnya wilayah Islam dan
tersebarnya fuqoha ke berbagai wilayah. Maka ditemukan kasus-kasus baru dalam
hukum syari’at.
Dari
fatwa-fatwa para sahabat dan tabi’in dan Islam yang semakin luas, sedang setiap
hukum yang di fatwakan tidak terlalu mudah untuk di ingat, maka para mujtahid
mulai membukukan hukum fiqih dan ushul fiqih.
B.
Rumusan Masalah
1.
Apa
yang dimaksud fiqh dan ushul fiqh ?
2.
Bagaimana
sejarah perkembangan dan pembukuan fiqh dan ushul fiqh ?
3.
Bagaimana
perbedaan fuqaha sebelum dan sesudah pembukuan fiqh dan ushul fiqh dan
pengaruhnya terhadap perkembangan hukum Islam ?
C.
Tujuan
1.
Untuk
mengetahui pengertian fiqh dan ushul fiqh.
2.
Untuk
mengetahui sejarah perkembangan dan pembukuan fiqh dan ushul fiqh.
3.
Untuk
mengetahui perbedaan fuqaha sebelum dan sesudah pembukuan fiqh dan pengaruhnya
terhadap perkembangan hukum Islam.
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Pengertian Fiqh
Fiqh menurut bahasa, berarti paham
atau tahu, atau pemahaman yang mendalam, yang menumbuhkan pengerahan
potensi akal. Pengertian ini dapat ditemukan dalam Q.S Thaha ayat 27-28, yang
berbunyi:
وَٱحۡلُلۡ
عُقۡدَةٗ مِّن لِّسَانِي ٢٧ يَفۡقَهُواْ
قَوۡلِي ٢٨
Dan lepaskanlah kekakuan dari lidahku, supaya mereka mengerti
perkataanku (Q.S Thaha (20) : 27-28)
Pengertiah fiqh secara etimologi,
juga ditemukan dalam sabda Rasulullah SAW, yang berbunyi :
مَنْ يُرِدِ اللهُ بِهِ خَيْرًا يُفَقِّهُ فِى
الدِّيْنٍ ……
Siapa orang yang Allah kehendaki menjadi baik maka Allah akan
memberikan dia pemahaman terhadap agama. (HR.
Bukhari NO 71).[1]
Menurut
istilah sebagaimana dikemukakan oleh Sayyid Al-Jurjany, bahwa fiqh adalah :
الْعِلْمُ بِالْأَحْكَامِ الشَّرْعِيَّةِ الْعَمَلِيَّةِ
مِنْ أَدِلَّةِهَا التَّفْصِيْلِيَّةِ
Ilmu tentang
hukum-hukum syara’ mengenai perbuatan-perbuatan dari dalil-dalil yang
terperinci.[2]
Al-Amidi mendefinisikan fiqh yang berbeda dengan definisi
diatas, yaitu : “Ilmu tentang seperangkat hukum-hukum syara’ yang bersifat
furu’iyyah yang berhasil didapatkan melalui penalaran atau istidlal”.
Dengan menganalisis kedua definisi diatas
dapat ditemukan hakikat dari fiqh, yaitu :
a. Fiqh itu adalah
ilmu tentang hukum Allah.
b. Yang
dibicarakan adalah hal-hal yang bersifat amaliah furu’iyah.
c. Pengetahuan
tentang hukum Allah itu didasarkan kepada dalil tafsili.
d. Fiqh itu digali
dan ditemukan melalui penalaran dan istidlal seorang mujtahid atau faqih.
Dengan demikian secara ringkas dapat
dikatakan, “Fiqh adalah dugaan kuat yang dicapai seorang mujtahid dalam
usahanya menemukan hukum Allah.”.[3]
B.
Pengertian Ushul
Fiqh
Kata al-ushul, adalah jamak
(plural) dari kata al-ashl, menurut bahasa berarti landasan tempat
membangun sesuatu. Menurut istilah, seperti dikemukakan Wahbah az-Zuhaili
yaitu bermakna dalil, bermakna kaidah, bermakna ar-rajih, bermakna asal,
bermakna sesuatu yang diyakini.
Pengertian
al-ashlu bila dihubungkan dengan kata fiqh maka bermakna al-dalil. Dalam
pengertian ini, maka kata Ushul al-Fiqh berarti dalil-dalil fiqh, seperti
Al-Qur’an, sunnah, ijma’, qiyas dan lain-lain.[4]
Dari arti etimologi ini dirumuskanlah defini dari ushul fiqh menjadi “Ilmu
tentang sumber-sumber hukum Islam”. Dalam bentuk yang lebih lengap dikatakan
“Ilmu tentang sumber hukum syara’ dan cara penunjukkannya terhadap hukum
syara’”. Inilah definisi yang biasa digunakan ahli ushul masa-masa awal
atau al-mutaqaddimin seperti Ibnu Subki dal al-Ghazali. Abu Husein al-Bashriy
dari ahli ushul fiqh ulama kalam Mu’tazilah melihat ushul fiqh itu bukan dari
sumber fiqh tetapi dari segi cara mendapatkan fiqh itu. Oleh karena itu, dia
mengartikan uahul fiqh itu dengan thurq al-fiqh yang diartinkannya
dengan “pemikiran sahih yang membawa keapada fiqh”. Pengertian ini diikuti oleh
ulama dan penulis ushul fiqh kontemporer yang mengartikan ushul fiqh dengan
metodologi fiqh.[5]
Adapun
ilmu ushul fiqh menurut Abdul Wahab Khallaf dan Abu Zahrah :
الْعِلْمُ
بِالْقَوَاعِدِ وَ البُحُوْثِ الَّتِى يُتَوَصَّلُ بِهَا إلَى إِسْتِفَادَةِ
الْأَحْكَامِ الشَّرْعِيَّةِ العَمَلِيَّةِ مِنْ أَدِلَّةِهَا التَّفْصِيْلِيَّةِ
Ilmu tentang kaidah-kaidah dan
pembahsan-pembahasan yang dijadikan sarana untuk memperoleh hukum-hukum syara'
mengenai perbuatan dari dalil-dalilnya yang terperinci.[6]
Dari
penjelasan sederhana diatas dapat diketahui perbedaan antara ushul fiqh dengan
fiqh. Ushul fiqh adalah pedoman atau aturan-aturan yang membatasi dan
menjelaskan cara-cara yang harus diikuti seorang fakih dalam usahanya menggali
dan mengeluarkan hukum syara’
dari dalilnya; sedangkan fiqh ialah hukum-hukum syara’ yang telah digali dan
dirumuskan dari dalil-dalil menurut aturan yang sudah ditentukan itu.[7]
C.
Sejarah Perkembangan
Fiqh
Hukum fiqh tumbuh bersamaan dengan
pertumbuhan agama Islam, karena sebenarnya agama Islam merupakan himpunan dari
akidah akhlak dan hukum amaliah.
Pada masa Raslullah SAW, terbentuk
hukum-hukum didalam Al-Qur’an dan berbagai hukum yang berasal dari Rasulullah,
sebagai suatu fatwa terhadap suatu kasus. Pada masa sahabat, mereka dihadapkan
pada berbagai berbagai peristiwa dan munculnya berbagai hal baru yang hal itu
tidak pernah dihadapi kaum muslimin sebelumnya dan tidak pernah muncul pada
masa Rasulullah SAW, maka berijtihadlah orang yang ahli berijtihad diantara
mereka dengan memberikan putusan hukum , menetapkan hukum syari’at dan
menambahkan sejumlah hukum yang pertama itu. Pada periode ini, kompilasi hukum
fiqh terbentuk dari hukum-hukum Allah dan Rasul-Nya, serta fatwa sahabat dan
putusan mereka. Sedangkan sumbernya adalah Al-Qur’an, sunnah, dan ijtihad para
sahabat.
Masa tabi’in dan tabi’it tabi’in
serta para imam mujtahid, yaitu sekitar abad kedua dan ketiga, umat Islam
meluas dan banyak dari orang non-Arab yang memeluk agama Islam. Kaum muslimin
dihadapkan pada berbagai kejadian baru, berbagai kesulitan, bermacam-macam
kajian, aneka ragam teori dan gerakan pembangunan fisik dan intelektual yang
membawa para mujtahid untuk memperluas dalam ijtihad dan pembentukan hukum
Islam terhadap banyak kasus, dan membukakan pintu pengkajian dan analisis
terhadap mereka, sehingga semakin luas pula lapangan pembentukan hukum fiqh,
dan ditetapkan sejumlah hukum untuk kasus-kasus yang fiktif, kemudian
ditambahkan kepada dua kompilasi hukum yang terdahulu maka himpunan hukum fiqh
pada periode ketiga ini terbentuk dari hukum Allah dan Rasul-Nya, fatwa-fatwa
sahabat dan putusan hukum mereka, sedangkan sumber hukumnya Al-Qur’an, sunnah,
dan ijtihad para sahabat dan para imam mujtahid.[8]
D.
Sejarah Perkembangan
Ushul Fiqh
Secara implisit, ushul fiqh telah
timbul bersamaan dengan timbulnya fiqh, karena ushul fiqh adalah metode
istinbat fiqh. Pada masa sahabat dan tabi’in, metode istinbat itu belum tampak
jelas dan belum merupakan kaidah. Setelah lahir sejumlah tokoh dan
berkembangnnya masalah fiqh, metode istinbat itu menjadi tampak dan
masing-masing mujtahid mempunyai metode tersendiri. Pertentangan masalah fiqh
itu merupakan sebab kesibukan ulama untuk menyusun ushul fiqh, yaitu
kaidah-kaidah yang wajib diikuti oleh mujtahid dalam beristinbat. Abu Yusuf dan
Muhammad bin Hasan telah menulis tentang ushul fiqh, tetapi tidak sampai kepada
kita.
Setelah as-Syafi’i memerhatikan dan
membandingkan kaidah-kaidah yang digunakan fuqaha, ia menyusun buku ushul fiqh
pertama, yaitu kitab ar-Risalah. Semula buku yang menjadi mukadimah kitab
al-Umm ini ia diktekan kepada muridnya, al-Rabi’. Kitab ar-Risalah ditulis dua
kali, pertama pada saat ia di Irak dan kedua pada saat ia di Mesir.
Setelah itu, barulah ulama lain
memberi perhatian terhadap penghimpunan ushul fiqh. Ulama Hanabilah mulai
menulis ilmu ini, demikian juga ulama Hanafiyyah dan Malikiyyah. Ulama
Hanafiyyah memiliki ciri khas tersendiri dalam menyusun kaidah-kaidah fiqhnya.
Mereka mengambil kaidah ushuliyyah dari furu’ fiqhiyyah, sedangkan ulama lain menetapkan
kaidah dari dalil-dalil yang kuat.[9]
E. Sejarah Pembukuan Fiqh
Kaum muslimin banyak yang
minta fatwa dari fuqaha, karena ingin menyelesaikan segala permasalahan sesuai
dengan syari’at. Oleh karena itu, fuqaha beristinbat dengan syari’at. Oleh
karena itu, fuqaha beristinbat dengan sejumlah kaidah untuk menetapkan hukum
yang diperlukan, baik yang sedang terjadi maupun yang sudah terjadi.
Perkembangan berikutnya membuat objek pembahasan fiqh bertambah luas. Dengan
bertambah luasnya objek pembahasan fiqh, maka bertambah luas pula polemik yang
terjadi.
Fiqh pada mulanya
merupakan fatwa para sahabat dan hokum peristiwa yang terjadi pada masa itu.
Mereka berfatwa karena adanya pertanyaan atau kasus yang dihadapi, bukan
bermaksud untuk diikuti oleh masyarakat berikutnya. Mereka memahami nash
Al-Qur’an dan hadits sesuai dengan perkembangan zamannya.
Pada masa Mu’awiyah, ada
desakan dari pada hakim dari berbagai daerah yang merasa perlu
dikodifikasikannya putusan-putusan yang mereka berikan. Permulaan hukum yang dibukukan adalah tentang pusaka yang
diputuskan oleh seorang hakim di Mesir. Fiqh pada masa ini belum mempunyai
guru-guru khusus. Fiqh diajarkan di masjid-masjid atau tempat-tempat tertentu.
Masjid pada waktu itu merupakan perguruan untuk belajar Al-Qur’an, hadits,
fiqh, dan bahasa. Mayoritas pelajar hanya menghafal pelajaran yang diberikan
gurunya.
Selanjutnya, usaha
pembukuan fiqh mulai berkembang. Di Madinah, ulama mengumpulkan fatwa para
sahabat seperti Abdullah bin Umar, Aisyah, Ibnu ‘Abbas, dan fatwa tabi’in.
Kitab Al-Muwaththa’ disusun selama 40 tahun oleh Imam Malik yang berisikan
fatwa-fatwa para sahabat.
Ulama Irak juga
mengumpulkan fatwa-fatwa Ibnu Mas’ud dan Ali, sekaligus putusan-putusan hukum dari Hakim Syuraih. Sementara itu, Ibrahim
al-Nukha’I menghimpun fatwa guru-gurunya menjadi sebuah buku. Demikian pula
Hammad yang mengumpulkan fatwa-fatwa gurunya. Selain itu, Muhammad bin Hasan
juga mengumpulkan atsar dari ‘ulama kedalam bukunya yang disebut al-Atsar.
Setetah itu barulah
setiap ustadz membukukan fiqhnya dan didiktekan kepada murid-muridnya. Kemudian
tulisan itu dibaca murid-muridnya, seperti Habib yang membaca tulisan Malik. Habib
membaca dihadapan Malik dan murid-murid yang lain (metode srogan atau
al-qira’ah ‘ala al-syaikh). Kerap kali seorang murid mencatat dalam bukunya apa
yang diterima dari gurunya, tetapi kerap kali juga seorang guru mengubah
pendapatnya di tempat lain. Oleh karena itu, bias jadi ada dua periwayatan.
Masing-masing penulis menyandarkan apa yang didengar dari seorang imam kepada
imam lain.
Buku fiqh pada masa
Umayyah yang bercampur antara hadits dan atsar adalah Al-Muwaththa’ yang
ditulis oleh Malik. Adapun kitab fiqh yang tidak bercampur antara hadits dan
atsar adalah kitab-kitab ulama Hanafiyah termasuk buku enam buah yang dikenal
dengan Zhahir Al-Riwayah. Sesudah kitab ini berkembang dan menjadi pegangan
penganutnya, muncullah kitab-kitab mukhtashar, seperti Mukhtashar Al-Thahaqi,
Mukhtashar Al-Qaduri. Kitab-kitab mukhtashar itu kemudian disyarahkan dan
dikritisi oleh ulama lain, seperti Al-Samarqandi yang menulis Al-Tuhfah.
Kitab fiqh lain yang
tidak menyebut hadits dan atsar dalam madzhab Malik adalah Al-Mudawwanah. Buku
ini merupakan percakapan antara Asad bin Al-Furat dan Ibnu Al-Qasim Al-Mishri
yang sudah dikoreksi oleh Sahnun. Sementara itu kitab mukhtashar-nya, seperti
Mukhtashar Ibn Al-Hajib dan Mukhtashar Khalil. Kemudian buku ini diringkas lagi
oleh Al-Dardidi dalam Aqrab Al-Masalik dan Al-Amir dalam Al-Majmu’.
Kitab fiqh berikutnya,
fiqh yang disertai dalil-dalilnya yaitu kitab Al-Mabsuth yang didiktekan oleh
Al-Syafi'’ yang kemudian disebut Al-Umm. Kemudian muncullah beberapa muktashar
yang mengikuti sistem ini dari berbagai golongan, yaitu Hanafiyyah, Malikiyyah,
Syafi’iyyah, dan Hanabilah. Misalnya, Mukhtashar Al-Muzani, Al-Wajiz karya
Al-Ghazali, dan Mukhtashar Al-Nawawi yang dikenal Al-Minhaj.[10]
Tujuan dari kodifikasi
ini adalah untuk merealisasikan dua tujuan sebagai berikut.
Pertama, menyatukan
semua hukum dalam setiap masalah yang memiliki kemiripan sehingga tidak terjadi
tumpang tindih, masing-masing hakim memberi keputusan sendiri, tetapi
seharusnya mereka sepakat dengan materi undang-undang tertentu, dan tidak boleh dilanggar untuk menghindari keputusan
yang kontradiktif.
Kedua, memudahkan
para hakim untuk merujuk semua hukum fiqh dengan susunan yang sistematik, ada
bab-bab yang teratur sehingga mudah untuk dibaca.[11]
F. Sejarah Pembukuan Ushul
Fiqh
Dalam Tarikh Islam
ditemukan beberapa perbedaan pendapat tentang siapa yang pertama kali menyusun kaidah-kaidah
ushul fiqh. Kalangan pendukung Imam Abu Hanifah berpendapat bahwa yang pertama
kali menyusun kitab ushul fiqh adalah Abu Hanifah, Abu Yusuf, dan Muhammad ibn
Hasan. Menurut mereka, Imam Abu Hanifah yang pertama-tama
menjelaskan metode istinbat dalam bukunya Ar-Ra’yu,
sedangkan Abu Yusuf, sebagai penyusun kitab ushul fiqh dalam mazhab Hanafi.
Golongan Malikiyah
mengakui bahwa Imam Malik adalah orang yang pertama berbicara tentang ushul
fiqh. Namun mereka tidak menganggap Imam Malik sebagai penyusun pertama kali
kitab ushul fiqh.
Dalam A History of Islamic Law, NJ. Coulson
menyatakan bahwa ushul fiqh dibukukan pada abad ke-3 Hijriah atau pada masa
awal Imam Syafi’I (w. 204 H) dan ia dianggap sebagai periuntis atau bapak yurisprudensi dalam Islam bukan berarti
masa-masa sebelumnya tidak ada upaya-upaya istinbath atau apapun
pemikiran-pemikiran hukum Islam. [12]
Pada penghujung abad
kedua dan awal abad ketiga Imam Muhammad bin Idris al-Syafi’I (150 H – 204 H)
tampil berperan dalam meramu, mensistematisasi dan membukuakn ushul fiqh. Upaya
pembukuan ushul fiqh ini, seperti disimpulkan Abdul Wahab Abu Sulaiman, sejalan
dengan perkembangan ilmu pengetahuan keislaman pada masa itu. Perkembangan
pesat ilmu-ilmu keislaman dimulai dari masa Harun Ar-Rasyid (145 H – 193 H),
khalifah kelima Dinasti Abbasiyah yang memerintah selama 23 tahun (170 H – 193
H) dan dilanjutkan dalam perkembangan yang lebih pesat lagi pada masa putranya
Al-Ma’mun (170 H – 218 H) khalifah ketujuh yang memerintah selama 20 tahun (198
H – 218 H).
Pada masa ini ditandai
oleh pesatnya perkembangn ilmu pengetahuan keislaman, bahkan dikenal sebagai
masa keemasan Islam. Dengan didirikannya “Baitul
Hikmah”, yaitu sebuah perpustakaan terbesar dimasanya, Kota Baghdad menjadi
menara ilmu yang didatangi dari berbagai penjuru wilayah Islam.
Dalam suasana pesatnya
perkembangan ilmu-ilmu keislaman tersebut, ushul fiqh muncul menjadi satu
disiplin ilmu tersendiri. Sebagai ulama yang datang kemudian, Imam Syafi’i
banyak mengetahui tentang metologi istinbat para imam mujtahid sebelumnya,
seperti Imam Abu Hanifah, Imam Malik, dan metode istinbat para sahabat, dan
mengetahui dimana kelemahan dan dimana keunggulannya. Ushul fiqh dirumuskannya
disamping untuk mewujudkan metode istinbat yang jelas dan dapat dipedomani oleh
peminat hukum Islam juga dengan itu ia ukur kebenaran hasil ijtihad di masa
sebelumnya. Maka oleh Imam Syafi’i disusunlah sebuah buku yang diberinya judul
Al-Kitab dan kemudian dikenal dengan sebutan Al-Risalah yang berarti sepucuk
surat. Dikenal demikian karena buku itu pada mulanya merupakan
lembaran-lembaran surat yang dikirimkannya kepada Abdurrahman al-Mahdi (w. 198
H), seorang pembesar dan ahli hadits ketika itu. Munculnya buku Ar-Risalah
merupakan fase awal dari perkembangan ushul fiqh sebagai satu disiplin ilmu.
Secara umum pembicaraan dalam buku ini berkisar pada landasan-landasan
pembentukan fiqh, yaitu Al-Qur’an, Sunnah Rasulullah SAW, ijma’, fatwa sahabat,
dan qiyas.[13]
Sepeninggal Imam Syafi’i
pembicaraan tentang ushul fiqh semakin menarik, dan ushul fiqh itu sendiri
semakin berkembang. Pada dasarnya ulama fiqh pengikut imam mujtahid yang datang
kemudian mengikuti dasar-dasar yang sudah disusun Imam Syafi’i. Dalam
perkembangannya terlihat adanya perbedaan arah yang menyebabkan perbedaan dalam
ushul fiqh.
Sepeninggalnya imam-imam
mujtahid yang empat dinyatakan bahwa kegiatan ijtihad terhenti, namun sebenarnya
yang terhenti adalah kegiatan ijtihad mutlaq sedangkan ijtihad terhadap ushul
mazhab yang tertentu masih tetap berlangsuung yang masing-masing mengarah
kepada menguatnya uhsul fiqh yang dirintis para imam pendahulunya.
Sesudah melembaganya
mazhab-mazhab fiqh, maka arah pengembangan ushul fiqh terlihat dalam dua bentuk
yang masing-masing disebut aliran ushul fiqh.
Pertama, penyusunan
kaidah uhsul tidak terpengaruh pada furu’ mazhab manapun. Pengembangan ushul
fiqh dalam bentuk ini disebut aliran Mutakallimun. Karena yan banyak berperan
dalam pengembangannya adalah ulama Syafi’iyyah, aliran ushul ini disebut juga
aliran Syafi’iyyah. Diantara kitab uhsul fiqh yang dihasilkan dalam aliran ini
adalah:
1.
Kitab
al-Mu’tamad fi Ushul al-Fiqh karangan Abu Husein al-Bashri (w. 415 H) dari
aliran kalam Mu’tazilah
2.
Kitab
al-Burhan fi Ushul al-Fiqh karangan Imam Haramain al-Juwaini (w. 478 H)
3.
Kitab
al-Mustashfa fi ‘Ilm al-Ushul karangan Abu Hamid al-Ghazali (w. 505 H)
Kedua, penyusunan
ushul fiqh yang terpengaruh pada furu’ dan menyesuaikannya dengan kepentingan
furu’ dan berusaha mengembangkan ijtihad yang telah berlangsung sebelumnya. Hal
ini berarti bahwa fuqaha pengikut mazhab melakukan ijtihad untuk kepentingan
memelihara hukum fiqh yang telah dicapai ulama mujtahid sebelumnya. Ushul fiqh
dalam bentuk ini disebut ushul fiqh aliran fuqaha. Karena yang banyak berperan
dalam pengembangan ushul dalam bentuk ini adalah dari kalangan mazhab
Hanafiyyah, aliran ushul bentuk ini disebut juga dengan aliran Hanafiyyah.
Diantara kitab yang dihasilkan aliran ini adalah:
1.
Kitab
al-Ushul karangan al-Karakhiy
2.
Kitab
al-Ushul karangan Abu Bakar al-Raziy
3.
Kitab
Ta’sis al-Nazhar karangan Abu Zaid al-Dabbusi (w. 430 H)
4.
Kitab
Ushul al-Bazdawi karangan ‘Ali ibn Muhammad al-Bazdawi (w. 483 H)
5.
Kitab
Ushul al-Syarakhshi karangan Abu Bakar Syams al-Aimmah al-Syarakhshi (w. 483
H).
Sesudah dua metode ini
berjalan mapan dan berkembang menurut aliran masing-masing, ditemukan pula
kitab-kitab ushul fiqh yang merupakan gabungan dari dua aliran tersebut diatas,
sebagian ditulis oleh ulama dari mazhab Syafi’i seperti kitab Jami’ al-Jawami’
dan sebagian ditulis oleh ulama Hanafi seperti kitab at-Tahrir yang ditulis
oleh Ibnu al-Humam[14].
Pada penghujung abad kedelapan Abu Ishaq al-Syatibi 9w. 780 H) ahli ushul fiqh
dari kalangan Malikiyah, mengaraang sebuah buku yang berjudul al-Muwafaqat fi
Ushul al-Syar’iyyah.
Karya –karya dalam bidang
ushul fiqh kami simpulkan sebagai berikut :
Kitab-kitab Ushul Fiqh yang disusun menurut aliran Jumhur
diantaranya adalah :
·
Ar-Risalah, disusun oleh Muhammad bin Idris al-Syafi’I (w. 204 H).
·
Al-Burhan
fi Ushul al-Fiqh, disusun oleh Abu al-Ma’ali Abd
Malik ibn Abdillah al-Juwaini yang bergelar Imam al-Haramain.
·
Al-Mughni
fi Ahwab al-Tawhud wa al-‘adl, disusun oleh
al-Qadli Abdul Jabbar (w. 415 H).
·
Al-Mu’tamad
fi Ushul al-Fiqh, oleh Abu al-Husein al-Bashri (w. 436
H).
·
Al-Mustashfa
min ‘Ilm al-Ushul, oleh Abu Hamid al-Ghazali (w. 505
H).
·
Al-Mahsul
fi ‘Ilm al-Ushul, oleh Fakhr al-Dien al-Razi (w. 606
H).
·
Al-Ihkam
fi Ushul al-Ahkam, oleh Saif al-Dien al-Amidi (w. 631
H).
·
Minhaj
al-Wusul fi ‘Ilm al-Ushul, oleh al-Qadi
al-Baidawi (w. 685 H).
·
Al-‘Uddah
fi Ushul al-Fiqh, oleh Abu Ya’la al-Farra (w. 458 H).
·
Raudhah
al-Nazir wa Jannah al-Munazir, oleh Muwaffaq
al-Dien ibn Qudamah al-Maqdisi (w. 620 H).
·
Al
Musawwadah fi Ushul al-Fiqh, oleh Majd
al-Dien Abu al-Barakat al-Harrani (w. 652 H).
·
A’lam
al-Muwaqqi’in ‘an Rabb al-‘Alamin, oleh Syams
al-Dien Abu Bakr yang terkenal dengan Ibnu Qayyin al0Jawziyah (w. 751 H).
·
Mukhtashar
Muntaha al-Sul wa al-Amal, Oleh Jamal
al-Dien Ibnu al-Hajib (w. 646 H).
Sedangkan kitab-kitab Ushul Fiqh
yang disusun menurut aliran Hanfiyah antara lain :
- Taqwim al-Adillah, karya Imam Abu Zaid al-Dabbusi (w. 432 H).
- Ushul al-Syarakhshi, karya Imam Muhammad ibn Ahmad Syams
al-Aimmah al-Sarakhsi (w. 483 H).
- Kanz al-Wushul ila Ma’rifat al-Ushul, karya Fakhr al-Islam al-Bazdawi (w. 482
H).
- Manar al-Anwar, Oleh Abu al-Barakat Abdullah Ibnu Muhammad
al-Nasafi (w. 710 H)
Kitab-kitab ushul fiqh yang disusun
dengan menggabungkan aliran Jumhur dengan aliran Hanafiyah antara lain :
- Jami’u al-Jawami’, karya Taj al-Dien Ibnu al-Sibki (w. 771
H).
- Al-Tahrir fi Ushul al-Fiqh, karya Kamal al-Dien Ibn al-Humam (w. 861
H).
- Musallam al-Subut, karya Muhibbullah Ibn Abd al-Syukur (w.
1119 H).
- Al-Muwafaqat fi Ushul al-Syari’ah, karya Abu Ishaq al-Syatibi (w. 790 H).[15]
G.
Perbedan Fuqaha Sebelum dan Sesdudah Pembukuan Fiqh dan Ushul Fiqh
Para sahabat pada umumnya
sangat hati-hati dalam memberikan fatwa dan menerangkan hukum kepada
masyarakat. Mereka membatasi diri dengan memberi fatwa mengenai permasalahan
yang telah terjadi saja. Mereka adalah paham Al-Qur’an dan sunnah, karena
melihat turunnya ayat dan datangnya sunnah. Meskipun demikian, terjadi
perbedaan dalam menetapkan suatu hukum secara kolektif dan individu, baik
disesuaikan dengan qiyas, istihsan, maupun maslahah mursalah. Pada waktu itu
memang belum ada istilah-istilah tersebut, tetapi dasar-dasarnya sudah ada.
Pada periode berikutnya
terjadi perdebatan dikalangan fuqaha. Dengan meluasnya wilayah kekuasaan Islam,
meluas pula permasalahan yang dihadapi. Para ahli ra’yu membicarakan segala
masalah yang dikemukakan dari berbagai segi. Merke membahas secara panjang
lebar, bahkan membahas hal-hal yang belum terjadi. Mereka sering berkata
“Bagaimana hukumnya, apabila begini dan begini.” Pembahasan fiqh seperti ini
disebut fiqh iftiradhi (fiqh pengandaian).
Perbedaan juga semakin
berkembang dalam memahami Al-Qur’an dan hadits, karena mereka tidak menyaksikan
turunnya ayat dan datangnya riwayat. Mereka pun datang dari berbagai bangsa dan
membawa permasalahan yang berbeda-beda. Dengan banyaknya masalah, menyababkan
istinbat mereka pun bertambah. Demikian pula dasar-dasar istinbatnya.
Perdebatan mereka tidak hanya dalam memahami Al-Qur’an dan meneliti
keautentikan hadits. Ulama pun memiliki kebebasan dalam berijtihad dan membuat
perumpamaan yang mungkin akan terjadi pada masa depan.
Ada perbedaan yang
mencolok antara sebelum dan sesudah pembukuan fiqh. Berikut ini adalah keadaan
sebelum pembukuan :
1.
Para
sahabat membatasi fatwa.
2.
Menerangkan
hukum yang telah terjadi.
3.
Lebih
banyak mengetahui Al-Qur’an dan sunnah beserta sebab nuzul dan sebab wurud.
4.
Diantara
mereka terjadi perbedaan pendapat dalam menetapkan hukum secara kolektif atau
individu; baik sesuatu dengan qiyas, istihsa, maupun ishtislah. Akan tetapi,
istilah-istilah itu belum dikenal.
Sementara
itu, berikut ini adalah keadaan sesudah pembukuan.
1.
Lahir
fiqh iftiradhi.
2.
Fuqaha
terdiri atas berbagai suku bangsa.
3.
Tidak
menyaksikan sabab nuzul dan sabab wurud.
4.
Tidak
sama dalam menerima hadits.
5.
Meluasnya
wilayah Islam menimbulkan permasalahan baru.
6.
Istinbat
menjadi bertambah dengan adanya dasar yang berbeda.
7.
Hasil
ijtihad diperdebatkan, sehinggga tersusunlah kaidah-kaidah ushul fiqh dan
mencegah pengikutnya untuk taqlid buta.[16]
BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
·
Apa yang dikemukakan diatas menunjukkan bahwa sejak zaman
Rasulullah SAW, Sahabat, tabi’in dan sesudahnya, pemikiran hukum Islam
mengalami perkembangan. Namun demikian, corak atau metode pemikiran belum
terbukukan dalam tulisan yang sistematis. Dengan kata lain, belum terbentuk
sebagai suatu disiplin ilmu tersendiri.
·
Karena timbulnya berbagai persoalan yang belum diketahui
hukumnya. Untuk itu, para ulama Islam sangat membutuhkan kaidah-kaidah hukum
yang sudah dibukukan untuk dijadikan rujukan dalam menggali dan menetapkan
hukum maka disusunlah kitab Ushul Fiqh.
·
Bahwa kegiatan ulama dalam penulisan Ushul Fiqh merupakan
salah satu upaya dalam menjaga keasrian hukum syara. Dan menjabarkanya
kehidupan sosial yang berubah-ubah itu, kegiatan tersebut dimuali pada
abad ketiga hijriyah. Ushul Fiqh terus berkembang menuju kesempurnaanya hingga
abad kelima dan awal abad 6 H abad tersbut.Merupakan abad keemasan penulisan
ilmu Ushul Fiqh karena banyak ulama yang memusatkan perhatianya pada bidang
Ushul Fiqh dan juga muncul kitab-kitab Fiqh yang menjadi standar dan
rujukan untuk Ushul Fiqh selanjutnya.
DAFTAR PUSTAKA
Muhammad bin
Isma’il al-Bukhari. 1997. Shahih Bukhari. Beirut: Darul Kutub al-Ilmiyah.
Drs. Totok Jumantoro, M.A dkk. 2009. Kamus Ilmu Ushul Fiqh. Jakarta: Amzah.
Syarifuddin, Amir. 2014. Ushul Fiqh 1. Jakarta: Kencana.
Effendi, Satria. 2015. Ushul Fiqh. Jakarta:
Kencana.
Khon, Abdul Majid. 2013. Ikhtisar Tarikh Tasyri’. Jakarta: Amzah.
Khalil, Rasyad Hasan.
2009. Tarikh Tasyri’ Al-Islamy. Jakarta: Amzah.
[1]
Muhammad bin Isma’il al-Bukhari, Shahih Bukhari, (Beirut: Darul Kutub
al-Ilmiyah, 1997), hlm 43.
[2] Drs. Totok Jumantoro, M.A dkk, Kamus
Ilmu Ushul Fiqh, (Jakarta: Amzah, 2009), hlm 63-64.
[3] Prof. Dr. Amir Syarifuddin, Ushul Fiqh
1, (Jakarta: Kencana, 2014), hlm 4
[4]
Prof. Dr. Satria Effendi, M.Zein, M.A, Ushul Fiqh, (Jakarta: Kencana,
2015), hlm 1
[6] Drs. Totok Jumantoro, M.A dkk, Kamus
Ilmu Ushul Fiqh, hlm 342
[9]
Dr. H. Abdul Majid Khon, M.Ag, Ikhtisar Tarikh Tasyri’, (Jakarta: Amzah,
2013), hlm 127
[11]
Dr. Rasyad Hasan Khalil, Tarikh Tasyri’
Al-Islamy, (Jakarta: Amzah, 2009), hlm 135
[13]
Prof. Dr. Satria Effendi, M.Zein, M.A, op. cit. hlm 20
[14]
Prof. Dr. Amir Syarifuddin, Ushul Fiqh 1,
hlm 47
[15]
Prof. Dr. Satria Effendi, M. Zein, M.A, op.
cit. hlm 23-33
Tidak ada komentar:
Posting Komentar