Rabu, 04 April 2018

Makalah Ushul Fiqh Mashlahah Mursalah


BAB I
PENDAHULUAN
A.    Latar Belakangan
Sejak wafatnya Nabi Muhammad SAW., hingga masa Imam Syafi’i terdapat kelompok fuqaha yang masyhur dengan pendapatnya. Di sisi lain, ada sekelompok fuqaha yang populer dengan periwayatan hadisnya. Di antara para fuqaha dari kalangan sahabat, terdapat mereka yang terkenal dengan pendapatnya, sebagaimana sahabat lain yang masyhur dengan hadis dan periwayatannya.Demikian pula dengan generasi tabi’in dan tabi’ tabi’in, para imam mujtahid seperti Abu Hanifah, Malik dan para fuqaha lain di berbagai negeri Islam yang terkenal dengan pendapatnya sebagaimana banyak dari mereka yang dikenal dengan periwayatan hadisnya.
Al-Syahrastani dalam kitabnya yang berjudul al-Milal wa al-Nihalmengatakan: “sesungguhnya berbagai peristiwa dan kasus dalam masalah ibadah dan kehidupan sehari-hari banyak sekali. Kita juga mengetahui dengan pasti bahwa tidak setiap kejadian atau permasalahan terdapat keterangannya di dalam nash. Bahkan dapat dikatakan ada kejadian-kejadian yang tidak pernah terpikirkan sebelumnya. Jika nash-nash yang ada terbatas jumlahnya, sementara peristiwa-peristiwa yang terjadi tidak terbatas dan sesuatu yang terbatas tidak dapat dihukumi oleh sesuatu yang terbatas. Maka dapat diambil satu kesimpulan dengan pasti bahwa ijtihad dan qiyas merupakan sesuatu yang harus ditempuh, sehingga setiap permasalahan selalu dapat ditemukan solusinya.”
Sementara itu, terbentuknya hukum syar’i tidak lain dan tidak bukan hanyalah dengan mempertimbangkan terwujudnya kemaslahatan umat manusia. Musthofa Dib al-Bugho mengatakan dalam karyanya Ushul al-Tasyri’ al-Islamiy: Atsar al-Adillah al-Mukhtalif Fiha: “pada dasarnya hukum Islam dibentuk berdasarkan kemaslahatan manusia. Setiap segala sesuatu yang mengandung maslahah, maka terdapat dalil yang mendukungnya, dan setiap ada kemadharatan yang membahayakan, maka terdapat pula dalil yang mencegahnya. Para ulama sepakat bahwa semua hukum-huum Allah dipenuhi kemaslahatan hamba-Nya di dunia dan di akhirat. Dan sesungguhnya maqshid al-syari’ah itu hanya ditujukan untuk merealisasikan kebahagiaan yang haiki bagi mereka.
Mayoritas ulama sepakat bahwa al-Syari’ (yang menetapkan syari’at) tidak akan menetapkan hukum atas kenyataan yang dihadapi oleh manusia dan tidak akan memberikan petunjuk pada jalan yang akan mengantarkan kepada penetapan hukum kecuali untuk merealisasikan kemaslahatan bagi umat manusia.
Dalam penetapan hukum Islam sumber rujukan utamanya adalah al-Qur’an dan Sunnah. Sedang sumber sekundernya adalah ijtihad para ulama. Setiap istinbath (pengambilan hukum) dalam syari’at Islam harus berpijak atas al-Qur’an dan Sunnah Nabi. Ini berarti dalil-dalil syara’ ada dua macam, yaitu: nash dan goiru al-nash. Dalam menetapkan suatu hukum, seorang ahli hukum harus mengetahui prosedur cara penggalian hukum (thuruq al-istinbath) dari nash. Cara penggalian hukum (thuruq al-istinbath) dari nash ada dua macam pendekatan, yaitu: pendekatan makna (thuruq al-ma’nawiyah) dan pendekatan lafazh (thuruq al-lafzhiyah). Pendekatan makna adalah (istidlal) penarikan kesimpulan hukum bukan kepada nash langsung, seperti menggunakan qiyas, istihsan, istislah (mashalih al-mursalah), dan lain sebagainya.
Dari latar belakang diatas kami mengambil kesimpulan yang telah kami rumuskan dalam beberapa rumusan masalah, yaitu pertama; pengertian maslahah mursalah, kedua; dasar hukum  mashlahah mursalah, ketiga; kedudukan mashlahah mursalah dalam hukum Islam.
B.     Rumusan Masalah
1.      Apa pengertian mashlahah mursalah ?
2.      Bagaimana mashlahah mursalah digunakan sebagai metode Ijtihad ?
3.      Apa saja syarat-syarat berijtihad dengan mashlahah mursalah ?
4.      Bagaimana argumentasi ulama tentang mashlahah mursalah ?
5.      Bagaimana Relevansi mashlahah mursalah di masa kini dan mendatang ?
C.    Tujuan
1.      Menjelaskan tentang pengertian mashlahah mursalah.
2.      Menjelaskan tentang mashlahah mursalah digunakan sebagai metode Ijtihad
3.      Menjelaskan tentang syarat-syarat berijtihad dengan mashlahah mursalah.
4.      Menjelaskan tentang argumentasi ulama tentang mashlahah mursalah.
5.      Menjelaskan tentang relevansi mashlahah mursalah di masa kini dan mendatang.





BAB II
PEMBAHASAN

A.    Penegertian Maslahah Mursalah

Mashlahah (مصلحة) berasal dari kata (صلح) dengan penambahan alif diawalnya yang secara arti kata berarti “baik” lawan dari kata “buruk” atau “rusak”. Ia adalah mashdar dengan arti kata shalah (صلاح), yaitu “manfaat” atau “terlepas daripadanya kerusakan”.
     Pengertian mashlahah dalam bahasa Arab berarti “perbuatan-perbuatan yang mendorong kepada kebaikan manusia.” Dalam artinya yang umum adlaah setiap segala sesuatu yang bermanfaat bagi manusia, baik dalam arti menarik atu menghasilkan seperti menghasilkan keuntungan atau kesengangan; atau dalam arti menolak atau menghindarkan sepertti menolak kemudharatan atau kerusakan. Jadi setiap yang mengandung manfaat patut disebut mashlahah. Dengan begitu mashlahah itu mempunyai dua sisi yaitu: menarik atau mendatangkan kemaslahatan dan menolak atau menghindarkan kemudaratan.[1]
Berdasarkan istiqra’ (penelitian empiris) dan nash-nash al-Qur’an maupun hadits diketahui bahwa hukum-hukum syari’at Islam mencakup diantaranya pertimbangan kemaslahatan manusia. Allah SWT berfirman:
وَمَآ أَرۡسَلۡنَٰكَ إِلَّا رَحۡمَةٗ لِّلۡعَٰلَمِينَ ١٠٧
107. Dan tiadalah Kami mengutus kamu, melainkan untuk (menjadi) rahmat bagi semesta alam (Q.S al-Anbiya [21]: 107)
Dan firman Allah SWT lagi:
يَٰٓأَيُّهَا ٱلنَّاسُ قَدۡ جَآءَتۡكُم مَّوۡعِظَةٞ مِّن رَّبِّكُمۡ وَشِفَآءٞ لِّمَا فِي ٱلصُّدُورِ وَهُدٗى وَرَحۡمَةٞ لِّلۡمُؤۡمِنِينَ ٥٧
57. Hai manusia, sesungguhnya telah datang kepadamu pelajaran dari Tuhanmu dan penyembuh bagi penyakit-penyakit (yang berada) dalam dada dan petunjuk serta rahmat bagi orang-orang yang beriman (Q.S Yunus [10]: 57)
Maslahat ini dapat ditangkap jelas oleh orang yang mempunyai kemauan berfikir (intelektual), meskipun bagi sebagian orang masih dirasa samar atau mereka berbeda pendapat mengenai hakekat maslahat tersebut. Perbedaan persepsi tentang maslahat itu sebenarnya bermula dari perbedaan kemampuan intelektualitas orang-perorang sehingga tidak dikemukakan hakekat maslahat yang esensial yang terdapat dalam hukum Islam, atau terpengaruh oleh keadaan yang bersifat lokalistik atau personal, sebagaimana sebagian orang yang menganggap adanya maslahat tentang diperbolehkannya mengambil “bunga” (tambahan atas pinjaman). Akibatnya, kebolehan mengambil bunga itu dilakukan secara berlebihan (melampaui batas) dan menjadi gejala fenomenal di tengah masyarakat. Mereka beranggapan bahwa bungan tidak termasuk kedalam pengertian umum tentang riba yang diharamkan berdasarkan Al-Qur’an.[2]
Adapun mashlahah secara definitif antara lain yang dikemukakan AL-Ghazali sebagai berikut:

أَلْمُحَافَظَةُ عَلَى مَقْصُوْدِ الشَّرْعِ

Memelihara tujuan syara’ (dalam menetapkan hukum)
Adapun Al-Khawarizmi mendefinisikan:

أَلْمُحَافَظَةُ عَلَى مَقْصُوْدِ الشَّرْعِ بِدَفَعِ الْمَفَاسِدِ عَنِ الْخَلْقِ

Memelihara tujuan syara’ (dalam menetapkan hukum) dengan cara menghindarkan kerusakan dari manusia.
Adapun Asy-Syalabi mengatakan Mashlahah dengan:
مَا يَرْجِعُ اِلَى قِيَامِ حَيَاةِ الْإِنْسَانِ وَ تَمَامِ عِيْشَتِهِ وَ نَيْلِهِ مَا تَقْتَضِيْهِ أَوْ صَافَهُ الشَّهْوَاتِيْهِ وَ الْعَقْلِيَةِ عَلَى الإِطْلاَقِ
Sesuatu yang kembali kepada tegaknya kehidupan manusia, sempurna hidupnya, tercapai apa  yang dikehendaki oleh sifat syahwati dan aklinya secara mutlak.
            Ath-Thufi menurut yang dinukil Yusuf Hamid Al-Alim dalam karyanya Al-Maqashid Al-‘Ammah li Asy-Syari’ati Al-Islamiyyah mendefinisikan mashlahah dengan:
عِبَارَةٌ عَنِ السَّبَبِ الْمُؤَدِّى اِلَى مَقْصُوْرِ الشَّارِعِ عِبَارَةٌ اَوْ عَادَةٌ
Ungkapan dari sebab yang membawa kepada tujuan syara’ dalam bentuk ibadat atau adat.[3]
Dari berbagai definisi tentang mashlahah dengan rumusan berbeda tersebut dapat disimpulkan bahwa mashlahah itu adalah sesuatu yang dipandang baik oleh akal sehat karena mendatangkan kebaikan dan menghindarkan keburukan (kerusakan) bagi manusia, sejalan dengan tujuan syara’ dalam menetapkan hukum.
Dari kesimpulan tersebut terlihat adanya perbedaan antara mashlahah dalam pengertian bahasa (umum) dengan mashlahah dalam pengertian hukum atau syara’. Perbedaannya terlihat dari segi tujuan syara’ yang dijadikan rujukan. Mashlahah dalam pengertian bahasa merujuk pada tujuan pemenuhan kebutuhan manusia dan karenanya mengandung pengertian untuk mengikuti syahwat atau hawa nafsu. Sedangkan pada mashlahah dalam artian syara’ yang menjadi ukuran dan rujukannya adalah syara’ yaiut memelihara agama, jiwa, akal, keturunan, dan harta benda, tanpa melepaskan tujuan pemenuhan kebutuhan manusia, yaitu mendapatkan kesenangan dan menghindarkan ketidaksenangan.[4]
Al-Mursalah (المرسلة) adalah isim maf’ul (objek) dari fiil madhi (kata dasar) dalam bentuk tsulatsi (kata dasar yang tiga huruf) yaitu (رسل) dengan penambahan huruf alif dipangkalnya sehingga menjadi (ارسل). Seara etimologi (bahasa) artinya “terlepas” atau dalam arti مطلقة (bebas) Kata terlepas dan bebas disini jika dihubungkan dengan kata mashlahah maksudnya adalah terlepas atau bebas dari keterangan yang menunjukkan boleh atau tidak bolehnya dilakukan.
            Ada beberapa rumusan definisi yang berbeda tentang mashlahah mursalah ini, namun masing-masing memiliki kesamaan dan berdekatan pengertiannya. Diantara definisi tersebut adalah:
  1. Al-Ghazali dalam kitab al-Mustasyfa merumuskan mashlahah mursalah sebagai berikut:
مَالَمْ يَشْهَدْ لَهُ مِنَ الشَّرْعِ بِالْبُطْلَانِ وَلَا بِا الْإعْتِبَارِ نَصٍّ مُعَيَّنٍ
Apa apa (mashlahah) yang tidak ada bukti baginya dari syara’ dalam bentuk nash tertentu yang membatallkannyay dan tidak ada yang memerhatikannya.
  1. Al-Syaukani dalam kitab Irsyadu al-Fuhul memberikan definisi:
المُنَاسَبُ الَّذِى لَا يَعْلَمُ اَنَّ الشَّارِعَ اِلْغَاهُ اَوِ اعْتَبَرَهُ
Mashlahah yang tidak diketahui apakah Syar’i menolaknya atau memperhitungkannya.
3.      Ibnu Qudamah daru ulama Hanbali memberi rumusan:
مَا لَمْ يَشْهَدْ لَهُ اِبْطَالٌ وَلاَ اِعْتِبَارٌ مُعَيَّنٌ
Mashlahat tidak ada bukti petunjuk tertentu yang membatalkannya dan tidak pula yang memerhatikannya.
4.      Abd al-Wahab al-Khallaf memberi rumusan berikut:
اِنَّهَا مَصْلَحَةٌ لَمْ يَرِدْ عَنِ الشَّارِعِ دَليْلٌ لِإ عْتِبَارِهَا اَوْ لِإ لْغَاءِهَا
Mashlahah mursalah ialah mashlahat  yang tidak ada dalil syara’ datang untuk mengakuinya atau menolaknya.
  1. Muhammad Abu Zahrah memberi definisi:
هِيَ  الْمَصَالِحُ الْمَلَا ئِمَةُ لِمَقَاصِدِ الشَّارِعِ الْإٍسْلَامِيِّ وَ لَا يَشْهَدُ لَهَا اَصْلٌ خَاصٌّ بِالْاِعْتِبَارِ اَوْ بِالْإلْغَاءِ
Mashlahah yang selaras dengan tujuan syariat Islam dan tidak ada petunjuk yang membuktikan tentang pengakuannya atau penolakannya.
            Dari berberapa rumusan definisi diatas, dapat ditarik kesimpulan tentang hakikat dari mashlahah mursalah tersebut, sebagai berikut:
  1. Ia adalah sesutau yang baik menurut akal dengan pertimbangan dapat mewujudkan kebaikan atau menghindarkan keburukan;
  2. Apa yang baik menurut akal itu, juga selaras dan sejalan dengan tujuan syara’ dalam menetapkan hukum;
  3. Apa yang baik menurut akal dan selaras pula dengan tujuan syara’ tersebut tidak ada petunjuk syara’ secara khusus yang menolaknya, juga tidak ada petunjuk syara’ yang mengakuinya.
Mashlahah mursalah tersebut dalam beberapa literatur disebut dengan “mashlahah muthlawah”. Ada pula yang menyebutnya dengan “Munasib mursal”, juga ada yang menamainya dengan al-Istishlah. Perbedaan penamaan ini tidak membawa perbedaan pada hakikat pengertiannya.

B.     Mashlahah Mursalah Sebagai Metode Ijtihad

Al-Thufi (dinukilkan oleh al-Khallaf) berpendapat, bahwa bila nash dan Ijma’ sejalan dengan pertimbangan untuk memelihara mashlahah, maka mashlahah tersebut dapat diamalkan karena dalam hal ini ada tiga unsur yang mendukungnya untuk dijadikan ketetapan hukum, yaitu: nash, ijma’, dan mashlahah. Namun bila nash dan Iijma’ menyalahi pertimbangan mashlahah tersebut, maka harus didahulukan pertimbangan untuk mashlahah daripada nash dan ijma’. Tentunya yang dimaksud nash disini adalah nash yang lemah atua zhanni dari segi wurud-nya dan dari segi dilalah-nya. Demikian pula yang dimaksud dengan ijma’ disini kiranya adalah ijma’ yang lemah.
Adanya perbedaan pendapat dikalangan ulama mengenai penggunaan mashlahah mursalah sebagai metode ijtihad adalah karena tidak adanya dalil khusus yang menyatakan diterimanya mashlahah mursalah sebagai metode ijtihad adalah karena tidak adanya dalil khusus yang menyatakan diterimanya mashlahah itu oleh syar’i baik secara langsung maupun tidak langsung, karena diamalkannya mashlahah itu oleh jumhur ‘ulama adalah karena adanya dukungan syar’i, meskipun secara tidak langsung. Digunakannya mashlahah itu bukan karena semata ia adalah mashlahah, tetapi karena adanya dalil syara’ yang mendukungnya.
Opini yang menyatakan perbedaan pendapat dalam penggunaan mashlahah mursalah itu disebabkan pula oleh perbedaan ‘ulama dan penulis ushul fiqh dalam menukilkan pendapat imam madzhab. Ada yang menukilkan Imam Malik sebagai mempopulerkan mashlahah mursalah yang diikuti oleh para pengikutnya, serhingga menjadi pendapat bahwa mashlahah mursalah itu dalilnya mazhab Maliki. Ibnu al-Hajib dalam kitab nya al-Muntaha sebagai ulama senior mazhab Maliki meluruskan bahwa menghubungkan pendapat ini kepada Imam Malik adalah tidak  benar bahkan ia menukilkan pendapat kebanyakan ulama Maliki bahwa mashlahah mursalah ini tidak punya dasar yang kuat hingga harus ditolak. Yang dimaksud dengan dasar yang kuat itu adalah adanya I’tibar syar’i untuk dapat diterimanya suatu yang bernama mashlahat itu. Inilah pendapat umum yang digunakan oleh jumhur ulama’.
Tentang pandangan ualam Hanafi tentang mashlahah mursalah ini terdapat penukilan yang berbeda. Menurut al-Amidi, banyak ulama yang beranggapan bahwa ulama Hanafi tidak mengamalkannya. Namun menurut Ibnu Qudamah, sebagian ulama Hanafi menggunakan mashlahah mursalah. Tampaknya ulama yang beranggapan bahwa sebagin ulama Hanafiah menggunakan mashlahah mursalah ini lebih tepat, karena kedekatan metode ini dengan istihsan yang populer dikalangan ulama Hanafiah.
Ulama Syafi’iyyah tampaknya tidak menggunakan mashlahah mursalah ini dalam berijtihad. Pendapat ini didukung oleh al-Amidi dan Ibn al-Hajib dalam kitabnya al-Muntaha. Imam Syafi’I sendiri tidak menyinggung metode ini dalam kitab standarnya, ar-Risalah. Ibnu Subki sebagai pengikut Syafi’i tidak membahah mashlahah mursalah dalam pembahasan tersendiri tetapi hanya menyinggungnya dalam bahasan tentang persyaratan al-‘illah, dia sendiri menggunakan istilah al-munasib al-mursal sebagai pengganti istilah mashlahah mursalah.
Namun ada pula ulama yang beranggapan bahwa mashlahah mursalah ini berlaku dikalangan ulama Syafi’i. al-Syatibi dari kalangan ulama Maliki menukilkan tentang digunakannya metode ini oleh ulama Syafi’i. Bahkan al-Ghazali senidiri sebagai pengikut Syafi’i ada, menukilkan satu versi pendapat yang mengatakan bahwa Imam Syafi’i yang menggunakan mashlahah mursalah tersebut. Ibnu Qudamah dari ulama Hanafiah juga menukilkan digunakannya mashlahah mursalah oleh sebagian ulama Syafi’iyah.
Ulama yang menukilkan digunakannya mashlahah mursalah dikalangan ulama Hanafiyah dan Syafi’iyah berpendapat bahwa penggunaan itu tidaklah secara mutlak, tetapi dengan suatu catatan bahwa meskipun mashlahah ini tidak didukung oleh syara’ secara langsung atau tidak, namun setidaknya mashlahah itu dekat dengan prinsip pokok hukum syara’ yang sudah ditetapkan.
Al-Ghazali sebagai pengikut Imam Syafi’i secara tegas dalam dua kitabnya (al-Madikul dan al-Mushtasfa) menyatakan bahwa ia menerima penggunaan mashlahah mursalah dengan syarat bahwa mashlahah mursalah itu bersifat dharuri (menyangkut kebutuhan pokok dalam kehidupan), Qath’i (pasti) dan kulli (menyeluruh) secara kumulatif. Ibnu Subki dan al-Razi membenarkan pendapat al-Ghazali seperti itu.
Pendapat shahih yang mewakili pandangan ulama Hanbali menyatakan bahwa mashlahah mursalah itu tidak memiliki kekuatan hujah dan tidak boleh melakukan ijtihad dengan menggunakan metode ini.
Kalangan ulama yang menolak menggunakan qiyas seperti al-Zhahiri, ulama Syi’ah dan sebagian ulama kalam Mu’tazilah, begitu pula Qadhi al-Baidhawi menolak penggunaan mashlahah mursalah dalam berijtihad.
Dari uraian diatas dapat disimpulkan bahwa sikap ulama mengenai penggunaan mashlahah mursalah dalam berijtihad terbagi dalam dua kelompok. Pertama kelompok yang menolak penggunaan mashlahah mursaah, yang oleh al-Amidi digolongkan kepada mayoritas (jumhur) ulama. Kedua, kelompok yang menerima kemungkinan melakukan ijtihad dengan menggunakan mashlahah mursalah.
Kalau diperhatikan perbedaan pendapat mazhab dalam mengamalkan mashlahah mursalah itu sejatinya disebabkan oleh beda pemahaman tentang hakikat dari pengertian I’tibar yang menjadi syarat penerimaan mashlahat itu. Ulama sepakat bahwa bila mashlahat itu sudah ada padanya i’tibar syar’iy maka mashlahat itu dapat diterima berdaya hujjah dan dapat dijadikan dalil dalam berijtihad. Namun I’tibar syar’i itu ada dua bentuknya yaitu i’tibar secara langung yang disebut juga al-mu’tsir dan i’tibar tidak secara langsung ynag dinamakan al-mualaim. Ulama yang diperkirakan mengamalkan mashlahah mursalah itu, seprti ulam Malikiyah, ditolak ulama lain karena adanya anggapan mashlahat yang digunakannya tidak ada i’tibar syar’i-nya. Golongan ini akan membela dirinya dengan mengatakan bahwa mashlahah yang digunakannya itu ada i’tibar syar’i-nya, walaupun hanya dalam bentuk tidak langsung atau dalam bentuk mulaim. Sedangkan ulama Syafi’iyah yang dituding juga mengamalkan mashlahah mursalah itu akan menjawab bahwa mereka mengamalkan mash;ahah mursalah karena padanya ada i’tibar-nya walaupun dalam bentuk tidak langsung atau mulaim. Dengan demikian, melihat perbedaan ini tidak mungkin hanya secara hitam putih.[5]

C.     Syarat-syarat Berijtihad Dengan Mashlahah Mursalah

Kelompok yang mneggunakan mashlahah mursalah ini tidaklah menggunakan tanpa syarat dengan arti harus terpenuhi padanya beberapa syarat. Yang merupakan syarat umum adalah bahwa mashlahah mursalah itu hanya digunakan pada saat tidak ditemukan nash sebagai bahan rujukan.
Adpun syarat-syarat khusus untuk dapat berijtihad dengan menggunakan mashlahah mursalah, diantaranya:
1.      Mashlahah mursalah itu adalah mashlahah yang hakiki dan bersifat umum, dalam arti dapat diterima oleh akal sehat bahwa ia betul-betul mendatangkan manfaat bagi manusia dan menghindarkan mudarat dari manusia secara utuh.[6]
Contohnya, pencabutan hak suami untuk mentalak istrinya dan menjadikan hak tlak tersebut sebagai hak hakim dalam segala situasi dan kondisi.[7]
2.      Yang dinilai akal sehat sebagai suatu mashlahah yang hakiki betul-betul telah sejalan dengan maksud dan tujuan syara’ dalam menetapkan setiap hukum, yaitu mewujudkan kemashlahatan bagi umat manusia.
3.      Yang dinilai akal sehat sebagai suatu mashlahah yang hakiki dan telah sejalan dengan tujuan syara’ dalam menetapkan hukum itu tidak berbenturan dengan dalil syara’ yang telah ada, baik dalam bentuk nash Al-Qur’an dan Sunah, maupun ijma’ ulama terdahulu.[8]
Oleh karena itu, tidak benar mengakui kemaslahatan yang menuntut persamaan antara anak lkai-laki dan perempuan dalam bagian warisan. Sebab mashlahah yang demikian itu batal, karena bertentangan dengan nash Al-Qur’an. Dalam hal ini, fatwa Yahya bin Yahya Al-Laitsi Al Maliki, ulama fiqh Andalusia dan murid Imam Malik bin Anas, adalah salah, yaitutentang seorang raja Andalusia berbuka puasa dengan sengaja pada siang hari bulan Ramadhan, kemudian Imam Yahya memberikan fatwa, bahwa tidak perlu membayar kafarat namun berpuasa dua bulan berturut-turut. Dia mendasarkan fatwanya, bahwa kemashlahatan menghendaki demikian, karena maksud kafarat adalah mencegah orang yang berbuat dosa dan menahannya sehingga tidak mengulangi dosa serupa, dan cara inilah yang bisa menahan raja agar tidak mengulangi perbuatannya lagi. Adapun memerdekakan budak, maka hal ini sengat mudah bagi sang raja dan tidak ada unsur prevensi didalamnya.[9]
4.      Mashlahah mursalah itu diamalkan dalam kondisi yang memerlukan, yang seandainya masalahnya tidak diselesaikan dengan cara ini, maka umat akan berada dalam kesempitan hidup, dengan arti harus ditempuh untuk menghindarkan umat dari kesulitan.
Dari persyaratan diatas terlihat bahwa ulama yang menggunakan mashlahah mursalah dalam berijtihad cukup berhati-hati dalam menggunakannya, karena meski bagaimana juga apa yang dilakukan ulama ini adalah keberanian menetapkan dalam hal-hal yang pada waktu itu tidak ditemukan petunjuk hukum.[10]

D.    Argumentasi Ulama Tentang Mashlahah Mursalah

Untuk menguatkan pendapatnya atas boleh tidaknya menggunakan mashlahah mursalah, masing-masing kelompok ini mengemukakan argumentasi, yang kebanyakan berbentuk argumen rasional. Dalam hal ini sulit menggunakan argument nash secara langsung, karena seandainya ada dalil untuk itu, tentu metode ini pun tidak aka nada, karena mashlahah mursalah itu baru diamalkan ketika dalam keadaan tidak ada nash.
Argumentasi kalangan ulama yang menggunakan mashlahah mursalah, diantaranya adalah sebagai berikut:
  1. Syariaat Islam diturunkan, seperti disimpulkan para ulama berdasarkan petunjuk-petunjuk Al-Qur’an dan Sunnah, bertujuan untuk merealisasikan kemashlahatan dan kebutuhan umat manusia. Kebutuhan umat manusia itu selalu berkembang, yang tidak mungkin semuanya dirinci dalam Al-Qur’an dan Sunnah Rasulullah. Namun secara umum syariat Islam telah memberikan petunjuk bahwa tujuannya adalah untuk memenuhi kebutuhan umat manusia. Oleh sebab itu, apa-apa yang dianggap mashlahah, selama tidak bertentangan dengan Al-Qur’an dan Sunnah Rasulullah, sah dijadikan landasan hukum.[11]
2.      Adanya takrir (engakuan) Nabi atas penjelasan Mu’adz ibn Jabal yang akan menggunakan ijtihad bi al-ra’yi bila tidak menemukan ayat Qur’an dan Sunnah Nabi untuk menyelesaikan sebuah kasus hukum. Penggunaan ijtihad ini mengacu pada penggunaan daya nalar atau suatu yang dianggap mashlahah. Nabi sendiri waktu itu tidak membebaninya untuk mencari dukungan nash.
3.      Adanya amaliah dan praktik yang begitu meluas di kalangan sahabat Nabi tentang penggunaan mashlahah mursalah sebagai suatu keadaan yang sudaj diterima bersama oleh para sahabat tanpa saling menyalahkan. Umpamanya: pemilihan Abu Bakar sebagai khalifah yang dilakukan oleh sahabat-sahabat Nabi; pembentukan dewan-dewan dan percetakan mata uang di masa Umar ibn Khattab; penyatuan car abaca Al-Qur’an (qiraat) pad masa ‘Utsman, dan lainnya. Bahkan banyak terlihat mashlahah yang dipakai sahabat itu berlainan (membentur) dalil nash yang ada, seperti memerangi orang yang tidak mau berzakat pada masa Abu Bakar; keputusan tidak memberikan hak zakat untuk mualaf pada masa ‘Umar ibn Khattab; dan diberlakukannya azan dua kali pada waktu ‘Utsman ibn ‘Affan.
4.      Suatu mashlahah bila telah nyata kemashlahatannya dan telah sejalan dengan maksud Pembuat Hukum (syar’i), maka menggunakan mashlahah tersebut berarti telah memenuhi tujuan syar’i, meskipun idak ada dalil khusus yang mendukungnya. Sebaliknya bila tidak digunakan untuk menetapkan suatu kemashlahatan dalam kebijaksanaan hukum akan berarti melalaikan tujuan yang dimaksud oleh syar’i (pembuat hukum). Malalikan tujuan syar’i adalah suatu perbuatan yang batal. Karena itu dalam menggunakan mashlahah itu sendiri keluar dari prinsip-prinsip syara’, bahkan telah sejalan dengan prinsip-prinsip syara’.
5.      Boleh dalam keadaan tertentu untuk menetapkan hukum tidak boleh menggunakan mashlahah mursalah, maka akan mendapatkan umat dalam kesulitan. Padahal Allah sendiri menghendaki kemudahan untuk hamba-Nya dan menjauhkan kesulitan, seperti ditegaskan dalam surat al-Baqarah [2]: 185
 شَهۡرُ رَمَضَانَ ٱلَّذِيٓ أُنزِلَ فِيهِ ٱلۡقُرۡءَانُ هُدٗى لِّلنَّاسِ وَبَيِّنَٰتٖ مِّنَ ٱلۡهُدَىٰ وَٱلۡفُرۡقَانِۚ فَمَن شَهِدَ مِنكُمُ ٱلشَّهۡرَ فَلۡيَصُمۡهُۖ وَمَن كَانَ مَرِيضًا أَوۡ عَلَىٰ سَفَرٖ فَعِدَّةٞ مِّنۡ أَيَّامٍ أُخَرَۗ يُرِيدُ ٱللَّهُ بِكُمُ ٱلۡيُسۡرَ وَلَا يُرِيدُ بِكُمُ ٱلۡعُسۡرَ وَلِتُكۡمِلُواْ ٱلۡعِدَّةَ وَلِتُكَبِّرُواْ ٱللَّهَ عَلَىٰ مَا هَدَىٰكُمۡ وَلَعَلَّكُمۡ تَشۡكُرُونَ ١٨٥
185. (Beberapa hari yang ditentukan itu ialah) bulan Ramadhan, bulan yang di dalamnya diturunkan (permulaan) Al Quran sebagai petunjuk bagi manusia dan penjelasan-penjelasan mengenai petunjuk itu dan pembeda (antara yang hak dan yang bathil). Karena itu, barangsiapa di antara kamu hadir (di negeri tempat tinggalnya) di bulan itu, maka hendaklah ia berpuasa pada bulan itu, dan barangsiapa sakit atau dalam perjalanan (lalu ia berbuka), maka (wajiblah baginya berpuasa), sebanyak hari yang ditinggalkannya itu, pada hari-hari yang lain. Allah menghendaki kemudahan bagimu, dan tidak menghendaki kesukaran bagimu. Dan hendaklah kamu mencukupkan bilangannya dan hendaklah kamu mengagungkan Allah atas petunjuk-Nya yang diberikan kepadamu, supaya kamu bersyukur.
Dan Nabi pun menghendaki umatnya menempuh cara yang lebih mudah dalam kehidupannya.
Kelompok ulama yang menolak mashlahah mursalah sebagai metode ijtihad mengemukakan argumentasi yang diantaranya adalah:
1.      Bila suatu mashlahah ada petunjuk syar’i yang membenarkannya atau yang disebut mu’tabarah, maka ia telah termasuk dalam umumnya qiyas. Seandainya tidak ada petunjuk syara’ yang membenarkannya, maka ia tidak mungkin disebut sebagai suatu mashlahah. Mengamalkan sesuatu yang diluar petunjuk syara’ berarti mengakui akan kurang lengkapnya Al-Qur’an maupun sunnah Nabi. Hal ini juga berarti tidak mengakui kesempurnaan risalah Nabi. Padahal Al-Qur’an dan Sunnah Nabi menyatakan bahwa keduanya telah sempurna dan meliputi semua hal.[12] Hal seperti itu bertentangan dengan ayat 36 Surat al-Qiyamah:
أَيَحۡسَبُ ٱلۡإِنسَٰنُ أَن يُتۡرَكَ سُدًى ٣٦
36. Apakah manusia mengira, bahwa ia akan dibiarkan begitu saja (tanpa pertanggung jawaban). (Q.S al-Qiyamah [75]: 36)[13]
2.      Beramal dengan mashlahah yang tidak mendapat pengakuan tersendiri dari nash akan membawa kepada pengamalan hukum yang berlandaskan kepada sekedar hati dan menurut hawa nafsu. Cara seperti ini tidaklah lazim dalam prinsip-prinsip Islami. Keberatan al-Ghazali untuk menggunakan istihsan dan mashlahah mursalah sebenarnya karena tidak ingin melaksanakan hukum secara seenaknya (talazzuz) dan beliau menetapkan syarat yang berat untuk penetapan hukum.
3.      Menggunakan mashlahah dalam ijtihad tanpa berpegang pada nash akan mengakibatkan munculnya sikap bebas dalam menetapkan hukum yang dapat mengakibatkan seorang teraniaya atas nama huku. Hal yang demikian menyalahi peinsip penetapan hukum dalam Islam, yaitu “tidak boleh merusak, juga tidak ada yang dirusak”.
4.      Seandainya dibolehkan berijtihad dengan mashlahah yang tidak mendapat dukungan dari nash, maka akan memberi kemungkinan untuk berubahnya hukum syara’ karena alasan berubahnya waktu dan berlainannya tempat berlakunya huku, syara’, juga karena berlainan antara seseorang dengan orang lain. Dalam keadaan demikian, tidak aka nada kepastian hukum. Hal ini tidak sejalan dengan prinsip hukum syara’ yang universal dan lestari serta meliputi semua umat Islam.
Bila diperhatikan perbedaan pendapat dengan argument masing-masing ulama yang menerima dan menolak metode mashlahah mursalah dalam ijtihad, tampaknya tidak ada perbedaan secara prinsip. Kelompok yang menerima, ternyata tidak menerimanya secara mutlak bahkan menetapklan beberapa persyaratan yang berat. Begitu pula juga kelompok yang menolak, ternyata dasar penolakannya adalah karena kekhawatiran dari kemungkinan tergelincir pada kesalahan jika sampai menetapkan hukum dengan sekehendak hati dan berdasarkan hawa nafsu. Seandainya kekhawatiran ini dapat dihindarkan, umpamanya telah ditemukan garis kesamaan dengan prinsip asal, mereka juga akan menggunakan mashlahah mursalah dalam berijtihad, sebagaimana Imam al-Syafi’i sendiri melakukannya.
Selanjutnya terlihat bahwa ulama yang menggunakan mashlahah mursalah itu menetapkan batas wilayah penggunaannya, yaitu hanya untuk masalah diluar wilayah ibadah, seperti mu’amalah dan adat. Dalam masalah ibadah (dalam arti khusus) sama sekali mashlahah tidak dapat digunakan secara keseluruhan. Alasannya karena mashlahah itu didasarkan pada pertimbangan akal tentang baik buruk suatu masalah, sedangkan akal tidak dapat melakukan hal itu untuk masalah ibadat.
Segala bentuk perbuatan ibadat bersifat ta’abbudi dan tawqifi artinya kita hanya mengikuti secraa apa adanya sesuai dengan petunjuk syar’i dalam nash dan akal sama sekali tidak dapat mengetahui kenapa demikian. Umpamanya mengenai shalat Dzuhur empat rakaat dan dilakuakan sesudah tergelincir matahari, tidak dapat dinilai akal apakah itu baik atau buruk.
Diluar wilayah ibadat, meskipun diantaranya ada yang tidak dapat diketahui alas an hukumnya, namun secara umum bersifat ta’aqquli atau rasional dan oleh karenanya dapat dinilai baik atau buruknya oleh akal. Umpamanya minum khamar itu adalah buruk karena merusak akal; penetapan sanksi atas pelanggar hukum itu baik karena dengan begitu umat bebas dari kerusakan akal yang dapat mengarah pada tindak kekerasan.[14]
Abdul Wahhab Khalaf mendasarkan pembentukan hukum pada mashlahah mursalah itu benar, karena apabila pintu tersebut tidak dibuka, maka akan terjadi stagnasi pembentukan hukum Islam, dan hukum Islam akan berhenti tidak bisa mengikuti perkembangan situasi, kondisi dan lingkungan. Orang yang mengatakan: “Sesungguhnya setiap bagian dari kemashlahatan manusia pada masa dan lingkungan apapun telah dipelihara oleh syar’i, serta melalui nash-nash dna berbagai prinsip umumnya. Dia telah mensyariatkan segala sesuatu yang sesuai dengannya”. Sesungguhnya perkataan itu tidak didukung oleh fakta, karena tidak ada keraguan lagi bahwasannya sebgaian kemashlahatan baru yang muncul tidak dijelaskan, dan tidak ada bukti syar’i yang mengakui esensinya.
Barang siapa yang khawatir dengan permainan hukum, kezhaliman, dan menuruti hawa nafsu dengan mengatasnamakan kemashlahatan umum, maka kekhawatiran itu dapat ditolak. Hal tersebut dikarenakan bahwa kemashlahatan umum dapat dijadikan dasar pembentukan hukum jika memenuhi tiga syarat yang telah kami jelaskan.
Ibnu Qayyim berkata: “Diantara kaum muslimin ada sekelompok orang yang berlebih-lebihan dalam memelihara mashlahah mursalah, sehingga mereka menganggap syarita sebagai aturan yang terbatas, dan tidak bisa berlaku begi kemashlahatan hamba yang membutuhkan kepada lainnya. Mereka telah menutup dirinya untuk menempuh jalan kebenaran dan keadilan. Dan diantara mereka ada pula orang-orang yang melampaui batas, sehingga mereka memperbolehlkan sesuatu yang menafikan syariat Allah, akibatmya kejahatan dan kerusakan merajalela.[15]

E.     Relevansi Mashlahah Mursalah di Masa Kini dan Mendatang

Dewasa ini dan lebih-lebih pada masa yang akan datang permaslahan kehidupan manusia akan semakin cepat berkembang dan semakin kompleks. Permasalahan itu harus dihadapi umat Islam yang menuntut adanya jawaban penyelesaiannya dari segi hukum. Semua persoalan tersebut, tidak akan dapat dihadapi kalau hanya semata mengandalkan pendekatan dengan cara atau metode lama (konvensional) yang digunakan ulama terdahulu.
Kita akan menghadapi kesulitan menemukan dalil nash atau petunjuk syara’ untuk mendudukan hukum dari kasus (permasalahan) yang muncul. Untuk kasus tertentu kemungkinan kita akan kesulitan untuk menggunakan metode qiyas dalam menetapkan hukumnya, karena tidak dapat ditemukan padanya dalam nash atau ijma’ ulama, sebab jarak waktunya sudah begitu jauh. Selain itu, mungkin ada beberapa persyaratan qiyas yang sulit terpenuhi.
Dalam kondidsi demikian, kita akan berhadapan dengan beberapa kasus (masalah) yang secara rasional (‘aqliyah) dapat dinilai baik buruknya untuk menetapkan hukumnya, tetapi tidak (sulit) menemukan dukungan hukumnya dari nash. Dalam upaya untuk mencari solusi agar tindak tanduk umat Islam dapat ditempatkan dalam tatanan hukum agama, mashlahah mursalah itu dapat dijadikan salah satu alternative sebagai dasar dalam berijtihad. Untuk mengeliminasi (mengurangi) atau menghilangkan kekhawatiran akan tergelincir pada sikap semaunya dan sekehendak nafsu, maka dalam berijtihad dengan menggunakan mashlahah mursalah itu sebaiknya dilakukan secara bersama-sama.[16]











BAB III
PENUTUP
A.    Kesimpulan
-          Mashlahah adalah adalah sesuatu yang dipandang baik oleh akal sehat karena mendatangkan kebaikan dan menghindarkan keburukan (kerusakan) bagi manusia, sejalan dengan tujuan syara’ dalam menetapkan hukum.
-          Mashlahah Mursalah adalah Ia adalah sesutau yang baik menurut akal dengan pertimbangan dapat mewujudkan kebaikan atau menghindarkan keburukan, sejalan dengan syara’ dalam menetapkan hukum, tidak ada petunjuk syara’ secara khusus yang menolaknya, juga tidak ada petunjuk syara’ yang mengakuinya.
-          Mashlahah dapat digunakan sebagai metode ijtihad bila nash dan Ijma’ sejalan dengan pertimbangan untuk memelihara mashlahah, maka mashlahah tersebut dapat diamalkan karena dalam hal ini ada tiga unsur yang mendukungnya untuk dijadikan ketetapan hukum, yaitu: nash, ijma’, dan mashlahah. Namun bila nash dan Iijma’ menyalahi pertimbangan mashlahah tersebut, maka harus didahulukan pertimbangan untuk mashlahah daripada nash dan ijma’.
-          Syarat-syarat berijtihad dengan mashlahah mursalah yaitu; Mashlahah mursalah itu adalah mashlahah yang hakiki dan bersifat umum, dalam arti dapat diterima oleh akal sehat bahwa ia betul-betul mendatangkan manfaat bagi manusia dan menghindarkan mudarat dari manusia secara utuh. Yang dinilai akal sehat sebagai suatu mashlahah yang hakiki betul-betul telah sejalan dengan maksud dan tujuan syara’ dalam menetapkan setiap hukum, yaitu mewujudkan kemashlahatan bagi umat manusia. Tidak berbenturan dengan dalil syara’ yang telah ada, baik dalam bentuk nash Al-Qur’an dan Sunah, maupun ijma’ ulama terdahulu.
-          Ulama berbeda pendapat dalam menggunakan mashlahah mursalah sebagai metode ijtihad dan mereka saling berargumentasi dalam alasan menggunakan atau tidak mashlahah mursalah itu.
-          Di masa kini terlalu banyak masakah muamalah yang tidak dijelaskan dalam nash untuk itu mashlahah mursalah sangat diperlukan untuk kehidupan masa kini dan yang akan datang asalkan tidak bertentangan dengan syari’ah.


DAFTAR PUSTAKA


Drs. Totok Jumantoro, M.A dkk. 2009. Kamus Ilmu Ushul Fiqh. Jakarta: Amzah.
Effendi, Satria. 2015. Ushul Fiqh. Jakarta: Kencana.
Khalaf, Abdul Wahhab. 2014. Ushul Fiqh. Semarang: Toha Putra.
Syarifuddin, Amir. 2014. Ushul Fiqh 2. Jakarta: Kencana.
Zahrah,Muhammad Abu. 1994. Ushul Fiqih. Jakarta: Pustaka Firdaus.


[1] Prof. Dr. Amir Syarifuddin, Ushul Fiqh 2, (Jakarta: Kencana, 2014), hlm 367-368
[2] Prof. Muhammad Abu Zahrah, Ushul Fiqih, (Jakarta: Pustaka Firdaus, 1994), hlm 424
[3] Drs Totok Jumantoro, M.A dkk, Kamus Ilmu Ushul Fikih, (Jakarta: Amzah, 2009), hlm 200
[4] Prof. Dr. Amir Syarifuddin, Op. Cit. Hlm 370
[5] Prof. Dr. Amir Syarifuddin, Op. Cit., hlm 379
[6] Ibid. hlm 383
[7] Prof. Abdul Wahhab Khalaf, Ushul Fiqh, (Semarang: Toha Putra, 2014), hlm 143
[8] Prof. Dr. Amir Syarifuddin, Op. Cit., hlm 383
[9] Prof. Dr. Abdul Wahhab Khalaf, Op. Cit., hlm 144
[10] Prof. Dr. Amir Syarifuddin, Op. Cit., hlm 383
[11] Prof. Dr. H. Satria Effendi, M.Zein, M.A, Ushul Fiqh, (Jakarta: Kencana, 2015), hlm 151
[12] Prof. Dr. Amir Syarifuddin, Op. Cit., hlm 385
[13] Prof. Dr. H. Satria Effendi, M.Zein, M.A, Op. Cit., hlm 150
[14] Prof. Dr. Amir Syarifuddin, Op. Cit., hlm 387
[15] Prof. Dr. Abdul Wahhab Khalaf, Op. Cit., hlm 147
[16] Prof. Dr. Amir Syarifuddin, Op. Cit., hlm 387

Tidak ada komentar:

Posting Komentar