BAB I
PENDAHULUAN
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakangan
Sejak wafatnya
Nabi Muhammad SAW., hingga masa Imam Syafi’i terdapat kelompok fuqaha yang
masyhur dengan pendapatnya. Di sisi lain, ada sekelompok fuqaha yang populer
dengan periwayatan hadisnya. Di antara para fuqaha dari kalangan sahabat,
terdapat mereka yang terkenal dengan pendapatnya, sebagaimana sahabat lain yang
masyhur dengan hadis dan periwayatannya.Demikian pula dengan generasi tabi’in
dan tabi’ tabi’in, para imam mujtahid seperti Abu Hanifah, Malik dan para fuqaha
lain di berbagai negeri Islam yang terkenal dengan pendapatnya sebagaimana
banyak dari mereka yang dikenal dengan periwayatan hadisnya.
Al-Syahrastani
dalam kitabnya yang berjudul al-Milal wa al-Nihalmengatakan: “sesungguhnya
berbagai peristiwa dan kasus dalam masalah ibadah dan kehidupan sehari-hari
banyak sekali. Kita juga mengetahui dengan pasti bahwa tidak setiap kejadian
atau permasalahan terdapat keterangannya di dalam nash. Bahkan dapat dikatakan
ada kejadian-kejadian yang tidak pernah terpikirkan sebelumnya. Jika nash-nash
yang ada terbatas jumlahnya, sementara peristiwa-peristiwa yang terjadi tidak
terbatas dan sesuatu yang terbatas tidak dapat dihukumi oleh sesuatu yang
terbatas. Maka dapat diambil satu kesimpulan dengan pasti bahwa ijtihad dan
qiyas merupakan sesuatu yang harus ditempuh, sehingga setiap permasalahan selalu
dapat ditemukan solusinya.”
Sementara itu,
terbentuknya hukum syar’i tidak lain dan tidak bukan hanyalah dengan
mempertimbangkan terwujudnya kemaslahatan umat manusia. Musthofa Dib al-Bugho
mengatakan dalam karyanya Ushul al-Tasyri’ al-Islamiy: Atsar al-Adillah
al-Mukhtalif Fiha: “pada dasarnya hukum Islam dibentuk berdasarkan kemaslahatan
manusia. Setiap segala sesuatu yang mengandung maslahah, maka terdapat dalil
yang mendukungnya, dan setiap ada kemadharatan yang membahayakan, maka terdapat
pula dalil yang mencegahnya. Para ulama sepakat bahwa semua hukum-huum Allah
dipenuhi kemaslahatan hamba-Nya di dunia dan di akhirat. Dan sesungguhnya
maqshid al-syari’ah itu hanya ditujukan untuk merealisasikan kebahagiaan yang
haiki bagi mereka.
Mayoritas ulama
sepakat bahwa al-Syari’ (yang menetapkan syari’at) tidak akan menetapkan hukum
atas kenyataan yang dihadapi oleh manusia dan tidak akan memberikan petunjuk
pada jalan yang akan mengantarkan kepada penetapan hukum kecuali untuk
merealisasikan kemaslahatan bagi umat manusia.
Dalam penetapan
hukum Islam sumber rujukan utamanya adalah al-Qur’an dan Sunnah. Sedang sumber
sekundernya adalah ijtihad para ulama. Setiap istinbath (pengambilan hukum)
dalam syari’at Islam harus berpijak atas al-Qur’an dan Sunnah Nabi. Ini berarti
dalil-dalil syara’ ada dua macam, yaitu: nash dan goiru al-nash. Dalam
menetapkan suatu hukum, seorang ahli hukum harus mengetahui prosedur cara
penggalian hukum (thuruq al-istinbath) dari nash. Cara penggalian hukum (thuruq
al-istinbath) dari nash ada dua macam pendekatan, yaitu: pendekatan makna
(thuruq al-ma’nawiyah) dan pendekatan lafazh (thuruq al-lafzhiyah). Pendekatan
makna adalah (istidlal) penarikan kesimpulan hukum bukan kepada nash langsung,
seperti menggunakan qiyas, istihsan, istislah (mashalih al-mursalah), dan lain
sebagainya.
Dari latar
belakang diatas kami mengambil kesimpulan yang telah kami rumuskan dalam
beberapa rumusan masalah, yaitu pertama; pengertian maslahah mursalah, kedua;
dasar hukum mashlahah mursalah, ketiga;
kedudukan mashlahah mursalah dalam hukum Islam.
B.
Rumusan Masalah
1. Apa
pengertian mashlahah mursalah ?
2. Bagaimana
mashlahah mursalah digunakan sebagai metode Ijtihad ?
3. Apa
saja syarat-syarat berijtihad dengan mashlahah mursalah ?
4. Bagaimana
argumentasi ulama tentang mashlahah mursalah ?
5. Bagaimana
Relevansi mashlahah mursalah di masa kini dan mendatang ?
C.
Tujuan
1. Menjelaskan
tentang pengertian mashlahah mursalah.
2. Menjelaskan
tentang mashlahah mursalah digunakan sebagai metode Ijtihad
3. Menjelaskan
tentang syarat-syarat berijtihad dengan mashlahah mursalah.
4. Menjelaskan
tentang argumentasi ulama tentang mashlahah mursalah.
5. Menjelaskan
tentang relevansi mashlahah mursalah di masa kini dan mendatang.
BAB II
PEMBAHASAN
PEMBAHASAN
A.
Penegertian Maslahah
Mursalah
Mashlahah (مصلحة) berasal dari
kata (صلح) dengan penambahan alif diawalnya yang secara arti kata berarti
“baik” lawan dari kata “buruk” atau “rusak”. Ia adalah mashdar dengan arti kata
shalah (صلاح), yaitu “manfaat” atau “terlepas daripadanya kerusakan”.
Pengertian mashlahah dalam bahasa Arab berarti
“perbuatan-perbuatan yang mendorong kepada kebaikan manusia.” Dalam artinya
yang umum adlaah setiap segala sesuatu yang bermanfaat bagi manusia, baik dalam
arti menarik atu menghasilkan seperti menghasilkan keuntungan atau kesengangan;
atau dalam arti menolak atau menghindarkan sepertti menolak kemudharatan atau
kerusakan. Jadi setiap yang mengandung manfaat patut disebut mashlahah. Dengan
begitu mashlahah itu mempunyai dua sisi yaitu: menarik atau mendatangkan
kemaslahatan dan menolak atau menghindarkan kemudaratan.[1]
Berdasarkan istiqra’ (penelitian
empiris) dan nash-nash al-Qur’an maupun hadits diketahui bahwa hukum-hukum
syari’at Islam mencakup diantaranya pertimbangan kemaslahatan manusia. Allah
SWT berfirman:
وَمَآ
أَرۡسَلۡنَٰكَ إِلَّا رَحۡمَةٗ لِّلۡعَٰلَمِينَ ١٠٧
107. Dan tiadalah Kami mengutus kamu, melainkan untuk (menjadi)
rahmat bagi semesta alam (Q.S al-Anbiya
[21]: 107)
Dan firman Allah SWT lagi:
يَٰٓأَيُّهَا
ٱلنَّاسُ قَدۡ جَآءَتۡكُم مَّوۡعِظَةٞ مِّن رَّبِّكُمۡ وَشِفَآءٞ لِّمَا فِي ٱلصُّدُورِ
وَهُدٗى وَرَحۡمَةٞ لِّلۡمُؤۡمِنِينَ ٥٧
57. Hai
manusia, sesungguhnya telah datang kepadamu pelajaran dari Tuhanmu dan
penyembuh bagi penyakit-penyakit (yang berada) dalam dada dan petunjuk serta
rahmat bagi orang-orang yang beriman (Q.S Yunus [10]: 57)
Maslahat ini dapat ditangkap jelas oleh orang
yang mempunyai kemauan berfikir (intelektual), meskipun bagi sebagian orang masih
dirasa samar atau mereka berbeda pendapat mengenai hakekat maslahat tersebut.
Perbedaan persepsi tentang maslahat itu sebenarnya bermula dari perbedaan
kemampuan intelektualitas orang-perorang sehingga tidak dikemukakan hakekat
maslahat yang esensial yang terdapat dalam hukum Islam, atau terpengaruh oleh
keadaan yang bersifat lokalistik atau personal, sebagaimana sebagian orang yang
menganggap adanya maslahat tentang diperbolehkannya mengambil “bunga” (tambahan
atas pinjaman). Akibatnya, kebolehan mengambil bunga itu dilakukan secara
berlebihan (melampaui batas) dan menjadi gejala fenomenal di tengah masyarakat.
Mereka beranggapan bahwa bungan tidak termasuk kedalam pengertian umum tentang
riba yang diharamkan berdasarkan Al-Qur’an.[2]
Adapun mashlahah secara definitif antara lain
yang dikemukakan AL-Ghazali sebagai berikut:
أَلْمُحَافَظَةُ
عَلَى مَقْصُوْدِ الشَّرْعِ
Memelihara
tujuan syara’ (dalam menetapkan hukum)
Adapun Al-Khawarizmi mendefinisikan:
أَلْمُحَافَظَةُ
عَلَى مَقْصُوْدِ الشَّرْعِ بِدَفَعِ الْمَفَاسِدِ عَنِ الْخَلْقِ
Memelihara tujuan syara’ (dalam menetapkan hukum) dengan cara menghindarkan
kerusakan dari manusia.
Adapun Asy-Syalabi
mengatakan Mashlahah dengan:
مَا
يَرْجِعُ اِلَى قِيَامِ حَيَاةِ الْإِنْسَانِ وَ تَمَامِ عِيْشَتِهِ وَ نَيْلِهِ
مَا تَقْتَضِيْهِ أَوْ صَافَهُ الشَّهْوَاتِيْهِ وَ الْعَقْلِيَةِ عَلَى
الإِطْلاَقِ
Sesuatu yang
kembali kepada tegaknya kehidupan manusia, sempurna hidupnya, tercapai apa yang dikehendaki oleh sifat syahwati dan
aklinya secara mutlak.
Ath-Thufi menurut yang dinukil Yusuf
Hamid Al-Alim dalam karyanya Al-Maqashid Al-‘Ammah li Asy-Syari’ati
Al-Islamiyyah mendefinisikan mashlahah dengan:
عِبَارَةٌ عَنِ السَّبَبِ الْمُؤَدِّى اِلَى مَقْصُوْرِ
الشَّارِعِ عِبَارَةٌ اَوْ عَادَةٌ
Ungkapan dari sebab yang membawa kepada tujuan syara’ dalam bentuk ibadat
atau adat.[3]
Dari berbagai definisi
tentang mashlahah dengan rumusan berbeda tersebut dapat disimpulkan
bahwa mashlahah itu adalah sesuatu yang dipandang baik oleh akal sehat
karena mendatangkan kebaikan dan menghindarkan keburukan (kerusakan) bagi
manusia, sejalan dengan tujuan syara’ dalam menetapkan hukum.
Dari kesimpulan tersebut
terlihat adanya perbedaan antara mashlahah dalam pengertian bahasa
(umum) dengan mashlahah dalam pengertian hukum atau syara’. Perbedaannya
terlihat dari segi tujuan syara’ yang dijadikan rujukan. Mashlahah dalam
pengertian bahasa merujuk pada tujuan pemenuhan kebutuhan manusia dan karenanya
mengandung pengertian untuk mengikuti syahwat atau hawa nafsu. Sedangkan pada mashlahah
dalam artian syara’ yang menjadi ukuran dan rujukannya adalah syara’
yaiut memelihara agama, jiwa, akal, keturunan, dan harta benda, tanpa
melepaskan tujuan pemenuhan kebutuhan manusia, yaitu mendapatkan kesenangan dan
menghindarkan ketidaksenangan.[4]
Al-Mursalah (المرسلة) adalah isim maf’ul (objek)
dari fiil madhi (kata dasar) dalam bentuk tsulatsi (kata dasar
yang tiga huruf) yaitu (رسل) dengan penambahan huruf alif
dipangkalnya sehingga menjadi (ارسل). Seara etimologi (bahasa) artinya “terlepas” atau dalam arti مطلقة (bebas) Kata terlepas dan bebas disini jika dihubungkan dengan kata mashlahah
maksudnya adalah terlepas atau bebas dari keterangan yang menunjukkan boleh
atau tidak bolehnya dilakukan.
Ada beberapa rumusan definisi yang berbeda tentang mashlahah
mursalah ini, namun masing-masing memiliki kesamaan dan berdekatan
pengertiannya. Diantara definisi tersebut adalah:
- Al-Ghazali
dalam kitab al-Mustasyfa merumuskan mashlahah mursalah sebagai
berikut:
مَالَمْ يَشْهَدْ لَهُ
مِنَ الشَّرْعِ بِالْبُطْلَانِ وَلَا بِا الْإعْتِبَارِ نَصٍّ مُعَيَّنٍ
Apa apa
(mashlahah) yang tidak ada bukti baginya dari syara’ dalam bentuk nash tertentu
yang membatallkannyay dan tidak ada yang memerhatikannya.
- Al-Syaukani
dalam kitab Irsyadu al-Fuhul memberikan definisi:
المُنَاسَبُ الَّذِى لَا
يَعْلَمُ اَنَّ الشَّارِعَ اِلْغَاهُ اَوِ اعْتَبَرَهُ
Mashlahah yang
tidak diketahui apakah Syar’i menolaknya atau memperhitungkannya.
3. Ibnu Qudamah daru ulama
Hanbali memberi rumusan:
مَا لَمْ يَشْهَدْ لَهُ
اِبْطَالٌ وَلاَ اِعْتِبَارٌ مُعَيَّنٌ
Mashlahat tidak ada bukti petunjuk
tertentu yang membatalkannya dan tidak pula yang memerhatikannya.
4. Abd al-Wahab al-Khallaf
memberi rumusan berikut:
اِنَّهَا مَصْلَحَةٌ لَمْ
يَرِدْ عَنِ الشَّارِعِ دَليْلٌ لِإ عْتِبَارِهَا اَوْ لِإ لْغَاءِهَا
Mashlahah mursalah ialah mashlahat yang tidak ada dalil syara’ datang untuk
mengakuinya atau menolaknya.
- Muhammad
Abu Zahrah memberi definisi:
هِيَ الْمَصَالِحُ
الْمَلَا ئِمَةُ لِمَقَاصِدِ الشَّارِعِ الْإٍسْلَامِيِّ وَ لَا يَشْهَدُ لَهَا
اَصْلٌ خَاصٌّ بِالْاِعْتِبَارِ اَوْ بِالْإلْغَاءِ
Mashlahah yang selaras dengan tujuan
syariat Islam dan tidak ada petunjuk yang membuktikan tentang pengakuannya atau
penolakannya.
Dari berberapa rumusan definisi diatas, dapat ditarik
kesimpulan tentang hakikat dari mashlahah mursalah tersebut, sebagai
berikut:
- Ia
adalah sesutau yang baik menurut akal dengan pertimbangan dapat mewujudkan
kebaikan atau menghindarkan
keburukan;
- Apa
yang baik menurut akal itu, juga selaras dan sejalan dengan tujuan syara’
dalam menetapkan hukum;
- Apa
yang baik menurut akal dan selaras pula dengan tujuan syara’ tersebut
tidak ada petunjuk syara’ secara khusus yang menolaknya, juga tidak ada
petunjuk syara’ yang mengakuinya.
Mashlahah mursalah tersebut dalam beberapa literatur disebut dengan “mashlahah
muthlawah”. Ada pula yang menyebutnya dengan “Munasib mursal”, juga
ada yang menamainya dengan al-Istishlah. Perbedaan penamaan ini tidak
membawa perbedaan pada hakikat pengertiannya.
B.
Mashlahah Mursalah Sebagai
Metode Ijtihad
Al-Thufi (dinukilkan oleh al-Khallaf) berpendapat, bahwa bila nash
dan Ijma’ sejalan dengan pertimbangan untuk memelihara mashlahah,
maka mashlahah tersebut dapat diamalkan karena dalam hal ini ada
tiga unsur yang mendukungnya untuk dijadikan ketetapan hukum, yaitu: nash,
ijma’, dan mashlahah. Namun bila nash dan Iijma’ menyalahi
pertimbangan mashlahah tersebut, maka harus didahulukan pertimbangan
untuk mashlahah daripada nash dan ijma’. Tentunya yang
dimaksud nash disini adalah nash yang lemah atua zhanni dari
segi wurud-nya dan dari segi dilalah-nya. Demikian pula yang
dimaksud dengan ijma’ disini kiranya adalah ijma’ yang lemah.
Adanya perbedaan pendapat dikalangan ulama mengenai penggunaan mashlahah
mursalah sebagai metode ijtihad adalah karena tidak adanya dalil khusus
yang menyatakan diterimanya mashlahah mursalah sebagai metode ijtihad
adalah karena tidak adanya dalil khusus yang menyatakan diterimanya mashlahah
itu oleh syar’i baik secara langsung maupun tidak langsung, karena
diamalkannya mashlahah itu oleh jumhur ‘ulama adalah karena adanya
dukungan syar’i, meskipun secara tidak langsung. Digunakannya mashlahah
itu bukan karena semata ia adalah mashlahah, tetapi karena adanya
dalil syara’ yang mendukungnya.
Opini yang menyatakan perbedaan pendapat dalam penggunaan mashlahah
mursalah itu disebabkan pula oleh perbedaan ‘ulama dan penulis ushul fiqh
dalam menukilkan pendapat imam madzhab. Ada yang menukilkan Imam Malik sebagai
mempopulerkan mashlahah mursalah yang diikuti oleh para pengikutnya,
serhingga menjadi pendapat bahwa mashlahah mursalah itu dalilnya mazhab
Maliki. Ibnu al-Hajib dalam kitab nya al-Muntaha sebagai ulama senior
mazhab Maliki meluruskan bahwa menghubungkan pendapat ini kepada Imam Malik
adalah tidak benar bahkan ia menukilkan
pendapat kebanyakan ulama Maliki bahwa mashlahah mursalah ini tidak
punya dasar yang kuat hingga harus ditolak. Yang dimaksud dengan dasar yang
kuat itu adalah adanya I’tibar syar’i untuk dapat diterimanya suatu yang
bernama mashlahat itu. Inilah pendapat umum yang digunakan oleh jumhur ulama’.
Tentang pandangan ualam Hanafi tentang mashlahah mursalah ini
terdapat penukilan yang berbeda. Menurut al-Amidi, banyak ulama yang
beranggapan bahwa ulama Hanafi tidak mengamalkannya. Namun menurut Ibnu
Qudamah, sebagian ulama Hanafi menggunakan mashlahah mursalah. Tampaknya
ulama yang beranggapan bahwa sebagin ulama Hanafiah menggunakan mashlahah
mursalah ini lebih tepat, karena kedekatan metode ini dengan istihsan yang
populer dikalangan ulama Hanafiah.
Ulama Syafi’iyyah tampaknya tidak menggunakan mashlahah mursalah
ini dalam berijtihad. Pendapat ini didukung oleh al-Amidi dan Ibn al-Hajib
dalam kitabnya al-Muntaha. Imam Syafi’I sendiri tidak menyinggung metode
ini dalam kitab standarnya, ar-Risalah. Ibnu Subki sebagai pengikut
Syafi’i tidak membahah mashlahah mursalah dalam pembahasan tersendiri
tetapi hanya menyinggungnya dalam bahasan tentang persyaratan al-‘illah, dia
sendiri menggunakan istilah al-munasib al-mursal sebagai pengganti
istilah mashlahah mursalah.
Namun ada pula ulama yang beranggapan bahwa mashlahah mursalah ini
berlaku dikalangan ulama Syafi’i. al-Syatibi dari kalangan ulama Maliki
menukilkan tentang digunakannya metode ini oleh ulama Syafi’i. Bahkan
al-Ghazali senidiri sebagai pengikut Syafi’i ada, menukilkan satu versi
pendapat yang mengatakan bahwa Imam Syafi’i yang menggunakan mashlahah
mursalah tersebut. Ibnu Qudamah dari ulama Hanafiah juga menukilkan
digunakannya mashlahah mursalah oleh sebagian ulama Syafi’iyah.
Ulama yang menukilkan digunakannya mashlahah mursalah dikalangan
ulama Hanafiyah dan Syafi’iyah berpendapat bahwa penggunaan itu tidaklah secara
mutlak, tetapi dengan suatu catatan bahwa meskipun mashlahah ini tidak
didukung oleh syara’ secara langsung atau tidak, namun setidaknya mashlahah
itu dekat dengan prinsip pokok hukum syara’ yang sudah ditetapkan.
Al-Ghazali sebagai pengikut Imam Syafi’i secara tegas dalam dua
kitabnya (al-Madikul dan al-Mushtasfa) menyatakan bahwa ia
menerima penggunaan mashlahah mursalah dengan syarat bahwa mashlahah
mursalah itu bersifat dharuri (menyangkut kebutuhan pokok dalam
kehidupan), Qath’i (pasti) dan kulli (menyeluruh) secara kumulatif. Ibnu
Subki dan al-Razi membenarkan pendapat al-Ghazali seperti itu.
Pendapat shahih yang mewakili pandangan ulama Hanbali menyatakan
bahwa mashlahah mursalah itu tidak memiliki kekuatan hujah dan tidak
boleh melakukan ijtihad dengan menggunakan metode ini.
Kalangan ulama yang menolak menggunakan qiyas seperti
al-Zhahiri, ulama Syi’ah dan sebagian ulama kalam Mu’tazilah, begitu pula Qadhi
al-Baidhawi menolak penggunaan mashlahah mursalah dalam berijtihad.
Dari uraian diatas dapat disimpulkan bahwa sikap ulama mengenai
penggunaan mashlahah mursalah dalam berijtihad terbagi dalam dua
kelompok. Pertama kelompok yang menolak penggunaan mashlahah mursaah,
yang oleh al-Amidi digolongkan kepada mayoritas (jumhur) ulama. Kedua, kelompok
yang menerima kemungkinan melakukan ijtihad dengan menggunakan mashlahah
mursalah.
Kalau diperhatikan perbedaan pendapat mazhab dalam mengamalkan mashlahah
mursalah itu sejatinya disebabkan oleh beda pemahaman tentang hakikat dari
pengertian I’tibar yang menjadi syarat penerimaan mashlahat itu. Ulama
sepakat bahwa bila mashlahat itu sudah ada padanya i’tibar syar’iy maka mashlahat
itu dapat diterima berdaya hujjah dan dapat dijadikan dalil dalam
berijtihad. Namun I’tibar syar’i itu ada dua bentuknya yaitu i’tibar
secara langung yang disebut juga al-mu’tsir dan i’tibar tidak
secara langsung ynag dinamakan al-mualaim. Ulama yang diperkirakan
mengamalkan mashlahah mursalah itu, seprti ulam Malikiyah, ditolak ulama
lain karena adanya anggapan mashlahat yang digunakannya tidak ada i’tibar
syar’i-nya. Golongan ini akan membela dirinya dengan mengatakan bahwa mashlahah
yang digunakannya itu ada i’tibar syar’i-nya, walaupun hanya dalam
bentuk tidak langsung atau dalam bentuk mulaim. Sedangkan ulama
Syafi’iyah yang dituding juga mengamalkan mashlahah mursalah itu akan
menjawab bahwa mereka mengamalkan mash;ahah mursalah karena padanya ada i’tibar-nya
walaupun dalam bentuk tidak langsung atau mulaim. Dengan demikian, melihat
perbedaan ini tidak mungkin hanya secara hitam putih.[5]
C.
Syarat-syarat Berijtihad
Dengan Mashlahah Mursalah
Kelompok yang mneggunakan mashlahah mursalah ini tidaklah
menggunakan tanpa syarat dengan arti harus terpenuhi padanya beberapa syarat.
Yang merupakan syarat umum adalah bahwa mashlahah mursalah itu hanya
digunakan pada saat tidak ditemukan nash sebagai bahan rujukan.
Adpun syarat-syarat khusus untuk dapat berijtihad dengan
menggunakan mashlahah mursalah, diantaranya:
1.
Mashlahah
mursalah itu adalah mashlahah yang
hakiki dan bersifat umum, dalam arti dapat diterima oleh akal sehat bahwa ia
betul-betul mendatangkan manfaat bagi manusia dan menghindarkan mudarat dari
manusia secara utuh.[6]
Contohnya, pencabutan hak suami untuk mentalak istrinya dan
menjadikan hak tlak tersebut sebagai hak hakim dalam segala situasi dan
kondisi.[7]
2.
Yang
dinilai akal sehat sebagai suatu mashlahah yang hakiki betul-betul telah
sejalan dengan maksud dan tujuan syara’ dalam menetapkan setiap hukum,
yaitu mewujudkan kemashlahatan bagi umat manusia.
3.
Yang
dinilai akal sehat sebagai suatu mashlahah yang hakiki dan telah sejalan
dengan tujuan syara’ dalam menetapkan hukum itu tidak berbenturan dengan
dalil syara’ yang telah ada, baik dalam bentuk nash Al-Qur’an dan
Sunah, maupun ijma’ ulama terdahulu.[8]
Oleh karena itu, tidak benar
mengakui kemaslahatan yang menuntut persamaan antara anak lkai-laki dan
perempuan dalam bagian warisan. Sebab mashlahah yang demikian itu batal, karena
bertentangan dengan nash Al-Qur’an. Dalam hal ini, fatwa Yahya bin Yahya
Al-Laitsi Al Maliki, ulama fiqh Andalusia dan murid Imam Malik bin Anas, adalah
salah, yaitutentang seorang raja Andalusia berbuka puasa dengan sengaja pada
siang hari bulan Ramadhan, kemudian Imam Yahya memberikan fatwa, bahwa tidak
perlu membayar kafarat namun berpuasa dua bulan berturut-turut. Dia mendasarkan
fatwanya, bahwa kemashlahatan menghendaki demikian, karena maksud kafarat
adalah mencegah orang yang berbuat dosa dan menahannya sehingga tidak
mengulangi dosa serupa, dan cara inilah yang bisa menahan raja agar tidak
mengulangi perbuatannya lagi. Adapun memerdekakan budak, maka hal ini sengat
mudah bagi sang raja dan tidak ada unsur prevensi didalamnya.[9]
4.
Mashlahah
mursalah itu diamalkan dalam kondisi yang
memerlukan, yang seandainya masalahnya tidak diselesaikan dengan cara ini, maka
umat akan berada dalam kesempitan hidup, dengan arti harus ditempuh untuk
menghindarkan umat dari kesulitan.
Dari persyaratan diatas terlihat bahwa ulama yang menggunakan mashlahah
mursalah dalam berijtihad cukup berhati-hati dalam menggunakannya, karena
meski bagaimana juga apa yang dilakukan ulama ini adalah keberanian menetapkan
dalam hal-hal yang pada waktu itu tidak ditemukan petunjuk hukum.[10]
D.
Argumentasi Ulama Tentang
Mashlahah Mursalah
Untuk menguatkan pendapatnya atas boleh tidaknya menggunakan mashlahah
mursalah, masing-masing kelompok ini mengemukakan argumentasi, yang
kebanyakan berbentuk argumen rasional. Dalam hal ini sulit menggunakan argument
nash secara langsung, karena seandainya ada dalil untuk itu, tentu
metode ini pun tidak aka nada, karena mashlahah mursalah itu baru
diamalkan ketika dalam keadaan tidak ada nash.
Argumentasi kalangan ulama yang menggunakan mashlahah mursalah, diantaranya
adalah sebagai berikut:
- Syariaat Islam diturunkan, seperti
disimpulkan para ulama berdasarkan petunjuk-petunjuk Al-Qur’an dan Sunnah,
bertujuan untuk merealisasikan kemashlahatan dan kebutuhan umat manusia.
Kebutuhan umat manusia itu selalu berkembang, yang tidak mungkin semuanya
dirinci dalam Al-Qur’an dan Sunnah Rasulullah. Namun secara umum syariat
Islam telah memberikan petunjuk bahwa tujuannya adalah untuk memenuhi
kebutuhan umat manusia. Oleh sebab itu, apa-apa yang dianggap mashlahah,
selama tidak bertentangan dengan Al-Qur’an dan Sunnah Rasulullah, sah
dijadikan landasan hukum.[11]
2. Adanya takrir (engakuan) Nabi atas penjelasan Mu’adz ibn
Jabal yang akan menggunakan ijtihad bi al-ra’yi bila tidak menemukan
ayat Qur’an dan Sunnah Nabi untuk menyelesaikan sebuah kasus hukum. Penggunaan
ijtihad ini mengacu pada penggunaan daya nalar atau suatu yang dianggap mashlahah.
Nabi sendiri waktu itu tidak membebaninya untuk mencari dukungan nash.
3. Adanya amaliah dan praktik yang begitu meluas di kalangan sahabat
Nabi tentang penggunaan mashlahah mursalah sebagai suatu keadaan yang
sudaj diterima bersama oleh para sahabat tanpa saling menyalahkan. Umpamanya:
pemilihan Abu Bakar sebagai khalifah yang dilakukan oleh sahabat-sahabat Nabi;
pembentukan dewan-dewan dan percetakan mata uang di masa Umar ibn Khattab;
penyatuan car abaca Al-Qur’an (qiraat) pad masa ‘Utsman, dan lainnya.
Bahkan banyak terlihat mashlahah yang dipakai sahabat itu berlainan
(membentur) dalil nash yang ada, seperti memerangi orang yang tidak mau
berzakat pada masa Abu Bakar; keputusan tidak memberikan hak zakat untuk mualaf
pada masa ‘Umar ibn Khattab; dan diberlakukannya azan dua kali pada waktu
‘Utsman ibn ‘Affan.
4. Suatu mashlahah bila telah nyata kemashlahatannya dan telah
sejalan dengan maksud Pembuat Hukum (syar’i), maka menggunakan mashlahah
tersebut berarti telah memenuhi tujuan syar’i, meskipun idak ada
dalil khusus yang mendukungnya. Sebaliknya bila tidak digunakan untuk
menetapkan suatu kemashlahatan dalam kebijaksanaan hukum akan berarti
melalaikan tujuan yang dimaksud oleh syar’i (pembuat hukum). Malalikan
tujuan syar’i adalah suatu perbuatan yang batal. Karena itu dalam
menggunakan mashlahah itu sendiri keluar dari prinsip-prinsip syara’,
bahkan telah sejalan dengan prinsip-prinsip syara’.
5. Boleh dalam keadaan tertentu untuk menetapkan hukum tidak boleh
menggunakan mashlahah mursalah, maka akan mendapatkan umat dalam
kesulitan. Padahal Allah sendiri menghendaki kemudahan untuk hamba-Nya dan
menjauhkan kesulitan, seperti ditegaskan dalam surat al-Baqarah [2]: 185
شَهۡرُ
رَمَضَانَ ٱلَّذِيٓ أُنزِلَ فِيهِ ٱلۡقُرۡءَانُ هُدٗى لِّلنَّاسِ وَبَيِّنَٰتٖ
مِّنَ ٱلۡهُدَىٰ وَٱلۡفُرۡقَانِۚ فَمَن شَهِدَ مِنكُمُ ٱلشَّهۡرَ فَلۡيَصُمۡهُۖ
وَمَن كَانَ مَرِيضًا أَوۡ عَلَىٰ سَفَرٖ فَعِدَّةٞ مِّنۡ أَيَّامٍ أُخَرَۗ يُرِيدُ
ٱللَّهُ بِكُمُ ٱلۡيُسۡرَ وَلَا يُرِيدُ بِكُمُ ٱلۡعُسۡرَ وَلِتُكۡمِلُواْ ٱلۡعِدَّةَ
وَلِتُكَبِّرُواْ ٱللَّهَ عَلَىٰ مَا هَدَىٰكُمۡ وَلَعَلَّكُمۡ تَشۡكُرُونَ ١٨٥
185. (Beberapa hari yang ditentukan itu
ialah) bulan Ramadhan, bulan yang di dalamnya diturunkan (permulaan) Al Quran
sebagai petunjuk bagi manusia dan penjelasan-penjelasan mengenai petunjuk itu
dan pembeda (antara yang hak dan yang bathil). Karena itu, barangsiapa di
antara kamu hadir (di negeri tempat tinggalnya) di bulan itu, maka hendaklah ia
berpuasa pada bulan itu, dan barangsiapa sakit atau dalam perjalanan (lalu ia
berbuka), maka (wajiblah baginya berpuasa), sebanyak hari yang ditinggalkannya
itu, pada hari-hari yang lain. Allah menghendaki kemudahan bagimu, dan tidak
menghendaki kesukaran bagimu. Dan hendaklah kamu mencukupkan bilangannya dan
hendaklah kamu mengagungkan Allah atas petunjuk-Nya yang diberikan kepadamu,
supaya kamu bersyukur.
Dan
Nabi pun menghendaki umatnya menempuh cara yang lebih mudah dalam kehidupannya.
Kelompok ulama yang menolak mashlahah
mursalah sebagai metode ijtihad mengemukakan argumentasi yang diantaranya
adalah:
1.
Bila
suatu mashlahah ada petunjuk syar’i yang membenarkannya atau yang
disebut mu’tabarah, maka ia telah termasuk dalam umumnya qiyas.
Seandainya tidak ada petunjuk syara’ yang membenarkannya, maka ia tidak
mungkin disebut sebagai suatu mashlahah. Mengamalkan sesuatu yang diluar
petunjuk syara’ berarti mengakui akan kurang lengkapnya Al-Qur’an maupun
sunnah Nabi. Hal ini juga berarti tidak mengakui kesempurnaan risalah Nabi.
Padahal Al-Qur’an dan Sunnah Nabi menyatakan bahwa keduanya telah sempurna dan
meliputi semua hal.[12]
Hal seperti itu bertentangan dengan ayat 36 Surat al-Qiyamah:
أَيَحۡسَبُ
ٱلۡإِنسَٰنُ أَن يُتۡرَكَ سُدًى ٣٦
36. Apakah manusia mengira, bahwa ia akan dibiarkan begitu saja
(tanpa pertanggung jawaban). (Q.S al-Qiyamah [75]: 36)[13]
2.
Beramal
dengan mashlahah yang tidak mendapat pengakuan tersendiri dari nash akan
membawa kepada pengamalan hukum yang berlandaskan kepada sekedar hati dan
menurut hawa nafsu. Cara seperti ini tidaklah lazim dalam prinsip-prinsip
Islami. Keberatan al-Ghazali untuk menggunakan istihsan dan mashlahah
mursalah sebenarnya karena tidak ingin melaksanakan hukum secara seenaknya
(talazzuz) dan beliau menetapkan syarat yang berat untuk penetapan
hukum.
3.
Menggunakan
mashlahah dalam ijtihad tanpa berpegang pada nash akan
mengakibatkan munculnya sikap bebas dalam menetapkan hukum yang dapat
mengakibatkan seorang teraniaya atas nama huku. Hal yang demikian menyalahi
peinsip penetapan hukum dalam Islam, yaitu “tidak boleh merusak, juga tidak ada
yang dirusak”.
4.
Seandainya
dibolehkan berijtihad dengan mashlahah yang tidak mendapat dukungan dari
nash, maka akan memberi kemungkinan untuk berubahnya hukum syara’ karena
alasan berubahnya waktu dan berlainannya tempat berlakunya huku, syara’, juga
karena berlainan antara seseorang dengan orang lain. Dalam keadaan demikian,
tidak aka nada kepastian hukum. Hal ini tidak sejalan dengan prinsip hukum syara’
yang universal dan lestari serta meliputi semua umat Islam.
Bila diperhatikan perbedaan pendapat dengan argument masing-masing
ulama yang menerima dan menolak metode mashlahah mursalah dalam ijtihad,
tampaknya tidak ada perbedaan secara prinsip. Kelompok yang menerima, ternyata
tidak menerimanya secara mutlak bahkan menetapklan beberapa persyaratan yang
berat. Begitu pula juga kelompok yang menolak, ternyata dasar penolakannya
adalah karena kekhawatiran dari kemungkinan tergelincir pada kesalahan jika
sampai menetapkan hukum dengan sekehendak hati dan berdasarkan hawa nafsu.
Seandainya kekhawatiran ini dapat dihindarkan, umpamanya telah ditemukan garis
kesamaan dengan prinsip asal, mereka juga akan menggunakan mashlahah
mursalah dalam berijtihad, sebagaimana Imam al-Syafi’i sendiri
melakukannya.
Selanjutnya terlihat bahwa ulama yang menggunakan mashlahah
mursalah itu menetapkan batas wilayah penggunaannya, yaitu hanya untuk
masalah diluar wilayah ibadah, seperti mu’amalah dan adat. Dalam masalah ibadah
(dalam arti khusus) sama sekali mashlahah tidak dapat digunakan secara
keseluruhan. Alasannya karena mashlahah itu didasarkan pada pertimbangan
akal tentang baik buruk suatu masalah, sedangkan akal tidak dapat melakukan hal
itu untuk masalah ibadat.
Segala bentuk perbuatan ibadat bersifat ta’abbudi dan tawqifi
artinya kita hanya mengikuti secraa apa adanya sesuai dengan petunjuk syar’i
dalam nash dan akal sama sekali tidak dapat mengetahui kenapa
demikian. Umpamanya mengenai shalat Dzuhur empat rakaat dan dilakuakan sesudah
tergelincir matahari, tidak dapat dinilai akal apakah itu baik atau buruk.
Diluar wilayah ibadat, meskipun diantaranya ada yang tidak dapat
diketahui alas an hukumnya, namun secara umum bersifat ta’aqquli atau
rasional dan oleh karenanya dapat dinilai baik atau buruknya oleh akal.
Umpamanya minum khamar itu adalah buruk karena merusak akal; penetapan sanksi
atas pelanggar hukum itu baik karena dengan begitu umat bebas dari kerusakan
akal yang dapat mengarah pada tindak kekerasan.[14]
Abdul Wahhab Khalaf mendasarkan pembentukan hukum pada mashlahah
mursalah itu benar, karena apabila pintu tersebut tidak dibuka, maka akan
terjadi stagnasi pembentukan hukum Islam, dan hukum Islam akan berhenti tidak
bisa mengikuti perkembangan situasi, kondisi dan lingkungan. Orang yang
mengatakan: “Sesungguhnya setiap bagian dari kemashlahatan manusia pada masa
dan lingkungan apapun telah dipelihara oleh syar’i, serta melalui
nash-nash dna berbagai prinsip umumnya. Dia telah mensyariatkan segala sesuatu
yang sesuai dengannya”. Sesungguhnya perkataan itu tidak didukung oleh fakta,
karena tidak ada keraguan lagi bahwasannya sebgaian kemashlahatan baru yang
muncul tidak dijelaskan, dan tidak ada bukti syar’i yang mengakui esensinya.
Barang siapa yang khawatir dengan permainan hukum, kezhaliman, dan
menuruti hawa nafsu dengan mengatasnamakan kemashlahatan umum, maka
kekhawatiran itu dapat ditolak. Hal tersebut dikarenakan bahwa kemashlahatan
umum dapat dijadikan dasar pembentukan hukum jika memenuhi tiga syarat yang
telah kami jelaskan.
Ibnu Qayyim berkata: “Diantara kaum muslimin ada sekelompok orang
yang berlebih-lebihan dalam memelihara mashlahah mursalah, sehingga
mereka menganggap syarita sebagai aturan yang terbatas, dan tidak bisa berlaku
begi kemashlahatan hamba yang membutuhkan kepada lainnya. Mereka telah menutup
dirinya untuk menempuh jalan kebenaran dan keadilan. Dan diantara mereka ada
pula orang-orang yang melampaui batas, sehingga mereka memperbolehlkan sesuatu
yang menafikan syariat Allah, akibatmya kejahatan dan kerusakan merajalela.[15]
E.
Relevansi Mashlahah
Mursalah di Masa Kini dan Mendatang
Dewasa ini dan lebih-lebih pada masa yang akan datang permaslahan
kehidupan manusia akan semakin cepat berkembang dan semakin kompleks.
Permasalahan itu harus dihadapi umat Islam yang menuntut adanya jawaban
penyelesaiannya dari segi hukum. Semua persoalan tersebut, tidak akan dapat
dihadapi kalau hanya semata mengandalkan pendekatan dengan cara atau metode
lama (konvensional) yang digunakan ulama terdahulu.
Kita akan menghadapi kesulitan menemukan dalil nash atau
petunjuk syara’ untuk mendudukan hukum dari kasus (permasalahan) yang
muncul. Untuk kasus tertentu kemungkinan kita akan kesulitan untuk menggunakan
metode qiyas dalam menetapkan hukumnya, karena tidak dapat ditemukan
padanya dalam nash atau ijma’ ulama, sebab jarak waktunya sudah
begitu jauh. Selain itu, mungkin ada beberapa persyaratan qiyas yang
sulit terpenuhi.
Dalam kondidsi demikian, kita akan berhadapan dengan beberapa kasus
(masalah) yang secara rasional (‘aqliyah) dapat dinilai baik buruknya
untuk menetapkan hukumnya, tetapi tidak (sulit) menemukan dukungan hukumnya
dari nash. Dalam upaya untuk mencari solusi agar tindak tanduk umat
Islam dapat ditempatkan dalam tatanan hukum agama, mashlahah mursalah itu
dapat dijadikan salah satu alternative sebagai dasar dalam berijtihad. Untuk
mengeliminasi (mengurangi) atau menghilangkan kekhawatiran akan tergelincir
pada sikap semaunya dan sekehendak nafsu, maka dalam berijtihad dengan
menggunakan mashlahah mursalah itu sebaiknya dilakukan secara
bersama-sama.[16]
BAB III
PENUTUP
PENUTUP
A.
Kesimpulan
-
Mashlahah
adalah adalah sesuatu yang dipandang baik oleh akal sehat karena mendatangkan
kebaikan dan menghindarkan keburukan (kerusakan) bagi manusia, sejalan dengan
tujuan syara’ dalam menetapkan hukum.
-
Mashlahah
Mursalah adalah Ia adalah sesutau yang baik menurut akal dengan pertimbangan dapat
mewujudkan kebaikan atau menghindarkan keburukan, sejalan dengan syara’ dalam menetapkan hukum,
tidak ada petunjuk syara’ secara khusus yang menolaknya, juga tidak ada
petunjuk syara’ yang mengakuinya.
-
Mashlahah dapat digunakan
sebagai metode ijtihad bila nash dan Ijma’ sejalan dengan pertimbangan untuk
memelihara mashlahah, maka mashlahah tersebut dapat diamalkan
karena dalam hal ini ada tiga unsur yang mendukungnya untuk dijadikan ketetapan
hukum, yaitu: nash, ijma’, dan mashlahah. Namun bila nash dan Iijma’ menyalahi pertimbangan mashlahah
tersebut, maka harus didahulukan pertimbangan untuk mashlahah daripada
nash dan ijma’.
-
Syarat-syarat
berijtihad dengan mashlahah mursalah yaitu; Mashlahah mursalah itu
adalah mashlahah yang hakiki dan bersifat umum, dalam arti dapat
diterima oleh akal sehat bahwa ia betul-betul mendatangkan manfaat bagi manusia
dan menghindarkan mudarat dari manusia secara utuh. Yang dinilai akal sehat
sebagai suatu mashlahah yang hakiki betul-betul telah sejalan dengan
maksud dan tujuan syara’ dalam menetapkan setiap hukum, yaitu mewujudkan
kemashlahatan bagi umat manusia. Tidak berbenturan dengan dalil syara’ yang
telah ada, baik dalam bentuk nash Al-Qur’an dan Sunah, maupun ijma’ ulama
terdahulu.
-
Ulama
berbeda pendapat dalam menggunakan mashlahah mursalah sebagai metode
ijtihad dan mereka saling berargumentasi dalam alasan menggunakan atau tidak
mashlahah mursalah itu.
-
Di
masa kini terlalu banyak masakah muamalah yang tidak dijelaskan dalam nash untuk
itu mashlahah mursalah sangat diperlukan untuk kehidupan masa kini dan yang
akan datang asalkan tidak bertentangan dengan syari’ah.
DAFTAR PUSTAKA
Drs. Totok Jumantoro, M.A dkk. 2009. Kamus Ilmu Ushul Fiqh. Jakarta: Amzah.
Effendi, Satria. 2015. Ushul Fiqh. Jakarta:
Kencana.
Khalaf, Abdul
Wahhab. 2014. Ushul Fiqh. Semarang: Toha Putra.
Syarifuddin, Amir. 2014. Ushul Fiqh 2. Jakarta:
Kencana.
Zahrah,Muhammad Abu. 1994. Ushul Fiqih. Jakarta: Pustaka Firdaus.
[1] Prof. Dr. Amir Syarifuddin, Ushul Fiqh
2, (Jakarta: Kencana, 2014), hlm 367-368
[2] Prof. Muhammad Abu Zahrah, Ushul Fiqih,
(Jakarta: Pustaka Firdaus, 1994), hlm 424
[3] Drs Totok Jumantoro, M.A dkk, Kamus
Ilmu Ushul Fikih, (Jakarta: Amzah, 2009), hlm 200
[4] Prof. Dr. Amir Syarifuddin, Op. Cit. Hlm
370
[5]
Prof. Dr. Amir Syarifuddin, Op. Cit., hlm 379
[6] Ibid.
hlm 383
[7]
Prof. Abdul Wahhab Khalaf, Ushul Fiqh, (Semarang: Toha Putra, 2014), hlm
143
[8] Prof.
Dr. Amir Syarifuddin, Op. Cit., hlm 383
[9]
Prof. Dr. Abdul Wahhab Khalaf, Op. Cit., hlm 144
[10]
Prof. Dr. Amir Syarifuddin, Op. Cit., hlm 383
[11]
Prof. Dr. H. Satria Effendi, M.Zein, M.A, Ushul Fiqh, (Jakarta: Kencana,
2015), hlm 151
[12] Prof.
Dr. Amir Syarifuddin, Op. Cit., hlm 385
[13]
Prof. Dr. H. Satria Effendi, M.Zein, M.A, Op. Cit., hlm 150
[14] Prof.
Dr. Amir Syarifuddin, Op. Cit., hlm 387
[15]
Prof. Dr. Abdul Wahhab Khalaf, Op. Cit., hlm 147
[16]
Prof. Dr. Amir Syarifuddin, Op. Cit., hlm 387
Tidak ada komentar:
Posting Komentar