BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakanng
Suatu
perkawinan dapat putus dan berakhir karena beberapa hal, yaitu karena
terjadinya talak yang dijatuhkan terhadap isterinya, atau karena perceraian
yang terjadi antara keduanya, atau karena sebab-sebab lain. Hal-hal yang
menyebabkan putusnya perkawinan itu akan dijelaskan secara transparan dan jelas
pada makalah kami ini mengenai “talak” sebagaimana kami membuat makalah ini
dengan maksud memenuhi tugas mata kuliah hadis ahkam.
Makalah
ini kami buat juga dengan maksud untuk menjawab problematika yang ada di
masyarakat sekitar terutama mengenai talak, semoga pembaca dapat memahami dan
mengamalkan ilmu ini kepada seluruh umat manusia karena Nabi kita mengajarkan
bahwa ilmu itu penting dan alangkah lebih baiknya lagi kita membagikan ilmu
yang kita punya kepada orang lain.
Di makalah kali ini kita akan membahas pengertian talak, hukum
talak, rukun dan syarat talak, macam-macam talak, talak dalam UU No 1 tahun
1974, dan talak dalam kompilasi hukum Islam.
Oleh karena itu, kami
berusaha mengkaji lebih jauh tentang talak dan berbagai macam pembahasannya. Hal ini kami harapkan dapat dijadikan acuan bagi rekan-rekan kami
khususnya dan bagi masyarakat pada umumnya.
B.
Rumusan Masalah
Berhubungan
pembahsan tentang talak sangat luas maka dalam
tulisan ini kami batasi hanya pada beberapa pembahasan yang kami rumuskan beberapa masalah yaitu:
1.
Apa
yang dimaksud dengan talak?
2.
Bagaimana
Hukum Talak?
3.
Apa
saja rukun dan syarat talak?
4.
Apa
saja macam-macam talak?
5.
Bagaimana
talak ditinjau dari UU No 1 tahun 1974?
6.
Bagaimana
talak ditinjau dari Kompilasi Hukum Islam?
C.
Tujuan
Adapun tujuan dari penulisan makalah ini adalah mencoba untuk
memberikan informasi kepada rekan-rekan kami pada khususnya dan kepada
masyarakat pada umumnya tentang hadits yang berkaitan dengan talak.
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Pengertian Talak
Talak terambil
dari kata “ithlaq” yang menurut bahasa artinya “melepaskan atau meninggalkan”.[1] Termasuk diantara kalimat talak adalah kalimat naaqatun
thaaliqun, maksudnya dilepaskan dengan tanpa kekangan. Juga dengan kalimat asiirun
muththaliqun, yang artinya terlepas ikatannya dan terbatas darinya. Akan
tetapi, tradisi mengkhususkan talak dengan pengertian lepasnya ikatan secara
inderawi pada orang yang selain perempuan.[2]
Menurut istilah syara’, talak yaitu:
حل
رابطة الزواج وإنهاء العلاقة الزوجية
Al-Jaziry mendefinisikan:
إزالة
النكاح أو نقصان حله بلفظ مخصوص
“Menghilangkan
ikatan perkawinan atau mengurangi pelepasan ikatannya dengan menggunakan
kata-kata tertentu”.[4]
Menurut Syamsuddin al-Syarbini, talak yaitu:
حَلُّ
عَقْدِ النِّكَاحِ بِلَفْظِ الطَّلَاقِ وَنَحْوِهِ
Dari rumusan yang dikemukakan diatas terdapat
3 kunci yang menunjukkan hakikat dari talak.
Pertama:
kata “melepaskan” atau membuka atau menanggalkan mengandung arti bahwa
talak itu melepaskan sesuatu yang selama ini telah terikat, yaitu ikatan
perkawinan.
Kedua:
kata “ikatan perkawinan”, yang mengandung arti bahwa talak itu mengakhiri
hubungan perkawinan yang terjadi selama ini. Bila ikatan perkawinan itu
memperbolehkan hubungan antara suami dan istri, maka dengan telah dibuka ikatan
itu status suami dan istri kembali kepada keadaan smeula, yaitu haram.
Ketiga:
kata “dengan lafadz tha-la-qa dan sama maksudnya dengan itu”
mengandung arti bahwa putusnya perkawinan itu melalui suatu ucapan yang
digunakan itu adalah kata-kata talak tidak disebut dengan: putus perkawinan
bila tidak dengan cara pengucapan tersebut, seperti putus karena kematian.[6]
B.
Hukum Talak
- Wajib. Apabila terjadi perselisihan atara
suami istri, sedangkan dua hakim yang mengurus perkara keduanya sudah
memandang perlu supaya keduanya bercerai.[7] Dan juga apabila dia mengetahui bahwa
keberadaan istrinya membuatnya jatuh kedalam perbuatan yang diharamkan yang
terdiri dari nafkah dan perkara lainnya. Dan cerai orang yang melakukan
sumpah iila’ adalah wajib, setelah menunggu masa empat bulan sejak
dia ucapkan sumpah jika dia tidak memenuhinnya, atau dia tidak pergauli
istrinya.[8]
- Sunnah.
Sebagaimana Nabi SAW bersabda:
روي عن
ابن عباس رضي الله عنهما قال: أنَّ رَجُلًا قَالَ: يَا رَسُوْلَ اللَّهِ إِنَّ تَحْتِي
امْرَأَةً لاَ تَرُدُّ يَدَ لاَمِسٍ قَالَ : طَلِّقْهَا قَالَ : إِنِّي لاَ أَصْبِرُ عَنْهَا قَالَ : فَأَمْسِكْهَا
. (رواه النسائي).
“Diriwayatkan dair Ibnu Abbas
RA, ia berkata: Sesungguhnya
seorang laki-laki berkata: “wahai Rasulullah, aku mempunyai seorang istri yang
tidak pernah menolak tangan orang yang menyentuhnya”. Maka Rasul bersabda: “ceraikan
dia”. Orang tersebut berkata: “aku tidak dapat bersabar darinya (masih
cinta). Maka Rasul bersabda:”maka pertahankanlah”.”. (HR. An-Nasa’i
[5629][9]).
Jika
istri lalai untuk memenuhi hak-hak Allah yang wajib, seperti shalat dan perkara
lain yang sejenisnya. Dan juga disunnahkan apabila
kemudharatan yang diderita istri dengan terus menjaga ikatan pernikahan dengan
suaminya akibat rasa benci suami atau yang lainnya.[10] Dan juga apabila suami tidak sanggup lagi membayar dan mencukupi
kewajibannya (nafkahnya), atau perempuan tidak menjaga kehormatan dirinya. [11]
- Makruh. Hukum asal
dari talak adalah makruh. Rasulullah
SAW bersabda:
عَنِ اِبْنِ عُمَرَ - رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا- قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ
- صلى الله عليه وسلم: «أَبْغَضُ الْحَلَالِ عِنْدَ اللَّهِ الطَّلَاقُ». (رَوَاهُ أَبُو دَاوُدَ, وَابْنُ مَاجَهْ)
“Riwayat dari Ibnu ‘Umar RA, ia berkata: Rasulullah SAW
bersabda: “Perkara halal yang paling dibenci Allah adalah menjatuhkan talak”. (HR.
Abu Dawud [2178][12] dan
Ibnu Majah [2018][13]).
Apabila perselisihan suami istri itu menimbulkan permusuhan, menanam bibit
kebencian antara keduanya atau terhadap kaum kerabat mereka, sehingga tidak ada
jalan lain, sedangkan ikhtiar untuk perdamaian tidak dapat disambung lagi dan
hanya talak jalan satu-satunya maka hukum talak itu makruh. [14]
- Haram. Rasulullah SAW bersabda:
عَنِ ابْنِ
عُمَرَ أَنَّهُ طَلَّقَ امْرَأَتَهُ وَهِيَ حَائِضٌ فِي عَهْدِ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى
اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَسَأَلَ عُمَرُ بْنُ الْخَطَّابِ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى
اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَنْ ذَلِكَ فَقَالَ لَهُ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ : " مُرْهُ فَلْيُرَاجِعْهَا ثُمَّ لِيَتْرُكْهَا حَتَّى تَطْهُرَ
ثُمَّ تَحِيضَ ثُمَّ تَطْهُرَ ثُمَّ إِنْ شَاءَ
أَمْسَكَ بَعْدُ وَإِنْ شَاءَ طَلَّقَ قَبْلَ
أَنْ يَمَسَّ فَتِلْكَ الْعِدَّةُ الَّتِي أَمَرَ اللَّهُ أَنْ تُطَلَّقَ لَهَا النِّسَاءُ
" . (متفق عليه)
“Riwayat
dari Ibnu ‘Umar bahwasannya ia mentalak istrinya pada masa Nabi Muhammad SAW
dan istrinya dalam keadaan haid. Maka ‘Umar bin Khattab bertanyay kepada
Rasulullah SAW tentang hal itu, maka Rasulullah SAW bersabda kepadanya: “Suruhlah
olehmu supaya ia rujuk kepada istrinya itu, kemudian hendaklah dia teruskan
pernikahan itu sehingga ia suci dari haid, kemudian haid kembali kemudian suci
pula dari haid yang kedua itu. Kemudian jika ia menghendaki, ceraikan ia
sebelum dicampuri. Demikian iddah yang diperintahkan Allah supaya perempuan
ditalak ketika itu.”.”. (HR. al-Bukhari [5251][15] dan
Muslim [1471][16]).
Hadis diatas menjelaskan bahwa haram melakukan talak ketika berada
dalam dua keadaan: Pertama, menjatuhkan talak sewaktu si istri dalam
keadaan haid. Kedua, menjatuhkan talak sewaktu suci yang telah
dicampurinya dalam waktu suci itu.[17]
C.
Rukun dan Syarat Talaq
Rukun talak ialah unsur pokok yang harus ada dalam talak
dan terwujudnya talak bergantung ada dan lengkapnya unsur-unsur dimaksud. Rukun
talak ada 4, sebagai berikut:
a.
Suami.
Suami adalah yang memiliki hak talak dan yang berhak menjatuhkannya. Oleh
karena itu bersifat menghilangkan ikatan perkawinan, maka talak tidak mungkin
terwujud kecuali setelah nyata adanya akad perkawinan yang sah.[18] Karena ada sebuah hadits:
عَنْ عَمْرِو بْنِ شُعَيْبٍ
عنْ أَبِيْهِ عَنْ جَدِّهِ أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَ سَلَّمَ
قَالَ لَا طَلَاقَ إلَّا فِيْمَا تَمْلِكُ وَ لَا عِتْقَ إلَّا فِيْمَا تَمْلِكُ
وَ لَا بَيْعَ إلَّا فِيْمَا تَمْلِكُ (رَوَاهُ أبو داود و ابن ماجه)
“Riwayat dari ‘Amr bin Syu’aib dari bapaknya dari kakeknya bahwasannya Nabi
SAW bersabda: “Tidak ada talak dalam hal yang tidak dimiliki dan tidak ada
pemerdekaan budak dalam hal yang tidak dimiliki dan tidak ada jual beli dalam
hal yang tidak dimiiliki”. (HR. Abu Dawud [2190][19] dan Ibnu Majah [2043][20]).
عَنْ
المِسْوَرِ بْنِ مَخْرَمَةَ عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَ سَلَّمَ
قَالَ لَا طَلَاقَ قَبْلَ نِكَاحٍ وَ لَا عِتْقَ قَبْلَ مِلْكٍ (رَوَاهُ ابن ماجه)
“Riwayat dari Miswar bin
Makhramah, Nabi SAW bersabda: “Tidak ada talak kecuali setelah nikah dan
tidak ada pemerdekaan kecuali setelah ada kepemelikan”. (HR. Ibnu Majah
[2048][21]).
Untuk sahnya talak, suami yang menjatuhkan talak disyaratkan:
1.
Berakal.
Suami yang gila tidak sah menjatuhkan talak. Yang dimaksud dengan gila dalam
hal ini ialah hilang akal atau rusak akal karena sakit, termasuk kedalamnya sakit
pitam, hilang akal karena sakit panas, atau sakit ingatan karena rusak syaraf
otaknya.
2.
Baligh.
Tidak dipandang jatuh talak yang dinyatakan oleh orang yang belum dewasa. Dalam
hal ini ulama Hanabilah membolehkan anak mumayyiz yang berumur 10 tahuun
asalkan ia mengerti arti talak dan mengetahui akibatnya, talaknya dipandang
jatuh.
3.
Atas
kemauan sendiri. Yaitu kehendak pada diri suami untuk menjatuhkan talak itu dan
dijatuhkan atas pilihan sendiri bukan paksaan orang lain.[22]
- Istri. Istri yang ditalak itu berada
dibawah wilayah atau kekuasaan laki-laki yang mentalak yaitu istri masih
terikat dalam tali perkawinan dengannya.
Tentang mentalak
perempuan yang belum dikawininya namun dengan syarat terjatuhnya talak setelah
dikawininya menjadi perbincangan di kalangan ulama. Ini masalah menggantungkan
talak setelah dikawini. Cara ini ada dua bentuk. Pertama, secara umum
terhadap perempuan mana saja, seperti ucapannya: “Siapa perempuan yang ada di
daerah ini bila saya kawini dia akan saya talak”. Kedua, secara khusus,
seperti ucapannya: “Bila saya kawin dengan si Fulanah ia akan saya talak”.[23]
- Shigat atau Ucapan Talak
Dalam talak tidak terdapat ijab dan qabul karena perbuatan talak
itu merupakan tindakan sepihak, yaitu dari suami dan tidak ada tindakan istri
untuk itu.
Masalah ucapan atau shighat talaq itu menjadi pembicaraan luas di
kalangan ulama dan menyangkut beberapa hal:
1.
Ucapan
Talak Secara Mutlak. Yaitu suami mengucapkan talak dengan tidak mengaitkan
kepada sesuatu pun, seperti ucapannya: “engkau saya talaq”. Dalam hal ini
dibicarakan tentang lafaz atau ucapan apa yang digunakan. Dari segi ucapan
talak itu ulama membaginya menjadi dua yaitu lafaz sharih dan lafaz
kinayah. Yang dimaksud dengan sharih itu adalah ucapan yang secara jelas
digunakan untuk ucapan talak, sedang yang dimaksud dengan lafaz kinayah atau
sindiran itu adalah lafaz atau ucapan yang sebenarnya tidak digunakan untuk
ucapan talak, tetapi dapat dipakai untuk menceraikan istri.[24]
Ulama
sepakat mengatakan bahwa ucapan talak yang menggunakan lafaz sharih tidak perlu
diiringi dengan niat, artinya dengan telah keluar ucapan itu jatuhlah talak
meskipun dia tidak meniatkan apa-apa atau meniatkan lain dari talak, karena ada
hadis:
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ - صَلَّى
اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ -: «ثَلَاثٌ جِدُّهُنَّ جِدٌّ وَهَزْلُهُنَّ
جِدٌّ: النِّكَاحُ وَالطَّلَاقُ وَالرَّجْعَةُ» (رَوَاهُ ابو داود و الترميذي و ابن ماجه)
“Riwayat dari Abu Hurairah ia berkata, Nabi
SAW bersabda: “Tiga hal yang kesungguhannya adalah sungguhan dan candanya
adalah sungguhan yaitu: Nikah, Talak, Rujuk”.” (HR. Abu
Dawud [2194][25]
Tirmidzi [1183][26] Ibnu
Majah [2039][27]).
Ulama berbeda pendapat dalam
menetapkan lafaz-lafaz mana yang sharih dan lafaz-lafaz apa yang termasuk
kinayah. Menurut ulama Syafi’iyah yang termasuk lafaz sharih itu ada tiga
yaitu: Thalaq, Firaq, dan Saraha atau yang berakar pada tiga lafaz tersebut.
Alasan yang digunakan ulama ini ialah bahwa ketiga lafaz tersebut digunakan
Al-Qur’an untuk tujuan talaj. Contoh penggunaan lafaz talak adalah firman Allah
dalam surat at-Thalaq [65] ayat 1:
يَٰٓأَيُّهَا
ٱلنَّبِيُّ إِذَا طَلَّقۡتُمُ ٱلنِّسَآءَ فَطَلِّقُوهُنَّ لِعِدَّتِهِنَّ
Hai Nabi, apabila kamu menceraikan isteri-isterimu maka hendaklah
kamu ceraikan mereka pada waktu mereka dapat (menghadapi) iddahnya (yang
wajar).
Contoh penggunaan lafaz
firaq adalah firman Allah dalam surat an-Nisa [04] ayat 130:
وَإِن
يَتَفَرَّقَا يُغۡنِ ٱللَّهُ كُلّٗا مِّن سَعَتِهِۦۚ
Jika keduanya bercerai, maka Allah akan memberi kecukupan kepada
masing-masingnya dari limpahan karunia-Nya.
Contoh penggunaan lafaz
saraha dalam ucapan talak adalah firman Allah dalam surat al-Baqarah [02] ayat
229:
ٱلطَّلَٰقُ
مَرَّتَانِۖ فَإِمۡسَاكُۢ بِمَعۡرُوفٍ أَوۡ تَسۡرِيحُۢ بِإِحۡسَٰنٖۗ
Talak (yang dapat dirujuki) dua kali. Setelah itu boleh rujuk lagi
dengan cara yang ma´ruf atau menceraikan dengan cara yang baik.
Jumhur ulama
termasuk Imam Malik, ulama Hanabilah, Hanafiyah, dan lainnya berpendapat bahwa
lafaz yang sharih untuk maksud thalaq hanyalah satu yaitu lafaz talaq dan yang
berakar kepadanya. Alasan mereka ialah bahwa lafaz yang berlaku untuk lainnya
hanyalah lafaz talaq sedangkan ladfaz faraqa dan saraha, meskipun dalam
Al-Qur’an utnuk tujuan talak, namun digunakan pula bukan untuk keperluan talaq.[28]
Adapun lafaz kinayah
adalah lafaz yang selain talak atau selain tiga lafaz yang dikemukakan oleh
Syafi’iyah adalah lafaz kinayah, selama lafaz itu ada kemungkinan menjangkau
kepada makna perceraian.[29] Lafaz kinayah juga bermakna talak dengan menggunakan kata-kata
sindiran, atau samar-samar.[30] Bila sama sekali tidak menjangkau kepada maksud perceraian tidak
dapat dijadikan ucapan talak meskipun diniatkan untuk maksud talak, seperti
ucapan: “makanlah kamu”.
Lebih lanjut Imam Malik
membagi kinayah itu kepada dua, yaitu: zhahirah yang berarti menurut lahirnya
untuk tujuan perceraian, seperti lafaz faraqa dan lafaz saraha. Dan kinayah
yang muhtamilah dengan arti ada kemungkinan digunakan untuk perceraian. Terhadap
kinayah yang zhahirah tidak diperlukan adanya niat, sedangkan untuk yang
muhtamilah diperlukan niat.[31]
عَنْ عَائِشَةَ رَضِيَ اللَّهُ
عَنْهَا أَنَّ ابْنَةَالْجَوْنِ لَمَّا أُدْخِلَتْ عَلَى رَسُوْلِ اللَّهِ - صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ – وَ دَنَا مِنْهَا قَالَتْ: أَعُوْذُ بِاللَّهِ مِنْكَ. فَقَالَ لَهَا: لَقَدْ
عُذْتِ بِعَظِيْمٍ, اِلْحَقِيْ بِأَهْلِكِ. (رَوَاهُ الْبُخَارِيُّ وَ اِبْنُ
مَاجَه وَ النَّسَائِيُّ).
Dari
Aisyah RA, bahwa putri Al Jaun, ketika dimasukkan ke tempat Rasulullah SAW
(setelah beliau nikahi), dan beliau
mendekatinya, ia berkata “Aku berlindung kepada Allah darimu”. Maka beliau
berkata kepadanya, “Engkau telah mengucapkan perlindungan yang besar.
Kembalilah kepada keluargamu”. (HR. al-Bukhari [5254][32]
Ibnu Majah [2050][33])
Hadits ini dijadikan
dalil oleh mereka yang berpendapat bahwa redaksi ini untuk memberi hak memilih
dan ucapan “kembalilah kepada keluargamu” sebagai talak satu, bukan tiga. Dan
yang tampak adalah Nabi SAW tidak melakukannya.[34]
2.
Ucapan
talak yang digantungkan kepada sesuatu.
Talak dalam bentuk ini
dinamai talak al-mu’allaq, atau talak yang digantungkan. Talak yang
digantungkan itu ada dua bentuknya, yaitu digantungkan kepada syarat tertentu
atau digantungkan kepada pengecualian.[35]
Talak yang digantungkan
kepada syarat ada dalam beberapa kemungkinan:
a.
Talak
digantungkan kepada kehendak Allah dan terkadang kepada kehendak makhluk.
Seperti: “Engkau tertalak, in sya Allah”, atau dalam bentuk kalimat
pengecualian, seperti: “engkau tertalak, kecuali Allah menghendaki”. Imam Malik
berpendapat bahwa pengecualian tersebut tidak menimbulkan pengaruh sama sekali
pada talak, dan terjadi atau jatuh talak. Menurut Imam Abu Hanifah dan Imam
Syafi’i berpendapat bahwa apabila orang yang menjatuhkan talak itu membuat
pengecualian dengan kehendak Allah, maka talak tidak terjadi.[36]
Dan seperti: “engkau saya talak bila dikehendaki direktur”, tidak
ada beda pendapat pada mazhab Maliki bahwa talak jatuh bila direktur
menghendakinya. Hal ini berarti jatuhnya talak berlaku saat syarat yang
disebutkan terlaksana.[37]
b.
Talak
digantungkan kepada terjadinya sesuatu dimasa yang akan datang. Seperti: “enkau
saya talak bila terbit matahari besok pagi”. Dalam hal kapan jatuh talaknya,
menurut Imam Malik talaknya jatuh secara langsung. Sedangkan menurut Imam
Syafi’i dan Abu Hanifah, talak jatuh setelah syarat yang diucapkan
terjadi,yaitu sewaktu terbitnya matahari esok harinya.[38]
c.
Talak
digantungkan kepada suatu kejadian yang menurut biasanya terjadi dan kadang
tidak terjadi. Seperti: “engkau saya talak jika engkau tidak lulus ujian”.
Talak dengan ucapan seperti ini menurut sebagian ulama Maliki jatuh talak
setelah terjadinya apa yang disyaratkan dan sebagian berpendapat terjatuh talak
secara langsung setelah ucapan talak diucapkan.[39]
Talak yang
digantungkan kepada pengecualian berlaku dalam ucapan talak yang menggunakan
angka-angka atau bilangan. Bilangan yang dikecualikan dalam hal ini mengurangi
bilangan yang lebih dahulu. Bila seeorang mengucapkan: “saya talak engkau
dengan talak tiga kecuali satu” maka talak yang jatuh hanyalah satu.[40]
Ucapan
talak dapat dilakukan dengan lisan dan dapat pula dengan tulisan, karena
kekuatan penyampaian kehendak dengan menggunakan tulisan mempunyai kekuatan
yang sama dengan lisan. Bedanya adalah ucapan lisan segera dapat diketahui
langsung sesudah ucapan itu diucapkan, sedangkan pemberitahuan kehendak dengan
tulisan baru diketahui setelah selesainya membaca tulisan itu.[41]
d.
Qashdu (sengaja), artinya
bahwa dengan ucapan talak itu memang dimaksudkan oleh yang mnegucapkannya untuk
talak, bukan untuk maksud lain. Oleh karena itu, salah ucap yang dimaksud untuk
talak dipandang tidak jatuh talak, seperti suami memberikan sebuah salak kepada
istrinya, semestinya ia mengatakan: “ini sebuah salak untukmu”, tetapi keliru
ucapan, berbunyi: “ini secuah talak untukmu”, maka talak tidak dipandang jatuh.[42]
D.
Macam-macam Talak
Ditinjau dari segi waktu dijatuhkannya talak itu, maka
talak dibagi menjadi tiga macam:
1)
Talak
Sunni. Yang dimaksud dengan talak sunni yaitu talak yang pelaksanaannya telah
sesuai dengan petunjuk agama dalam al-Qur’an atau sunnah Nabi SAW.[43] Bentuk talak sunni adalah talak yang dijatuhkan oleh suami yang
mana si istri waktu itu tidak dalam keadaan haid atau dalam masa suci yang pada
masa itu belum pernah dicampuri oleh suaminya. Diantara ketentuan menjatuhkan
talak itu adalah masa si istru yang di talak langsung memasuki masa iddah. Hal
ini sesuai dengan firman Allah SWT:
يَٰٓأَيُّهَا
ٱلنَّبِيُّ إِذَا طَلَّقۡتُمُ ٱلنِّسَآءَ فَطَلِّقُوهُنَّ لِعِدَّتِهِنَّ
Hai Nabi, apabila kamu menceraikan isteri-isterimu maka hendaklah
kamu ceraikan mereka pada waktu mereka dapat (menghadapi) iddahnya (yang
wajar). (Q.S. at-Thalaq [65]: 01).
Yang dimaksud dengan
masa iddah disini adalah dalam masa suci yang belum digauli oleh suami.
Berkenaan dengan talak
tiga yang dijatuhkan sekaligus menurut Imam Malik adalah buka talak sunni
sedangkan Imam asy-Syafi’i dan juga menurut Daud adz-Dzahiri memandang yang
demikian itu adalah talak sunni. Alasannya adalah bahwa selama talak yang
diucapkannya itu berada sewaktu masa
suci yang belum dicampuri adalah talak sunni.[44]
Menurut ulama Hanafiyah
talak tiga termasuk talak sunni itu adalah talak tiga yang setiap talak
dilakukan dalam masa suci dalam arti talak tiga tidak dengan satu ucapan.[45]
2)
Talak
Bid’i. yaitu talak yang dijatuhkan tidak menurut ketentuan sunnah dan tidak
masuk kriteria talak sunni[46] atau talak tiga yang diucapkan sekali.[47] Bentuk talakk yang masuk kategori talak bid’i adalah talak yang
dijatuhkan sewaktu istri dalam keadaan haid atau dalam keadaan suci, namun
telah diguali oleh suaminya.[48]
Yang menjadi dalil
termasuknya talak dalam bentuk ini kedalam talak bid’i adalah sabda Nabi SAW
dalam sebuah hadits yang berbunyi:
عَنِ ابْنِ
عُمَرَ أَنَّهُ طَلَّقَ امْرَأَتَهُ وَهِيَ حَائِضٌ فِي عَهْدِ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى
اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَسَأَلَ عُمَرُ بْنُ الْخَطَّابِ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى
اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَنْ ذَلِكَ فَقَالَ لَهُ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ : " مُرْهُ فَلْيُرَاجِعْهَا ثُمَّ لِيَتْرُكْهَا حَتَّى تَطْهُرَ
ثُمَّ تَحِيضَ ثُمَّ تَطْهُرَ ثُمَّ إِنْ شَاءَ
أَمْسَكَ بَعْدُ وَإِنْ شَاءَ طَلَّقَ قَبْلَ
أَنْ يَمَسَّ فَتِلْكَ الْعِدَّةُ الَّتِي أَمَرَ اللَّهُ أَنْ تُطَلَّقَ لَهَا النِّسَاءُ
" . (متفق عليه)
“Riwayat
dari Ibnu ‘Umar bahwasannya ia mentalak istrinya pada masa Nabi Muhammad SAW
dan istrinya dalam keadaan haid. Maka ‘Umar bin Khattab bertanyay kepada
Rasulullah SAW tentang hal itu, maka Rasulullah SAW bersabda kepadanya: “Suruhlah
olehmu supaya ia rujuk kepada istrinya itu, kemudian hendaklah dia teruskan
pernikahan itu sehingga ia suci dari haid, kemudian haid kembali kemudian suci
pula dari haid yang kedua itu. Kemudian jika ia menghendaki, ceraikan ia
sebelum dicampuri. Demikian iddah yang diperintahkan Allah supaya perempuan
ditalak ketika itu.”.”. (HR. al-Bukhari [5251][49] dan
Muslim [1471][50]).
3)
Talak
la sunni wala bid’i. Yaitu talak yang tidak termasuk kategori talak sunni dan
tidak pula talak bid’i. Karena talak dijaatuhkan kepada istri yang belum pernah
digauli atau istri yang belum pernah haid atau telah lepas haid atau talak yang
dijatuhkan terhadap istri yang sedang hamil.[51]
Ditinjau dari kemungkinan bolehnya suami kembali kepada
mantan istrinya, talak itu ada dua macam:
1)
Talak
Raj’iy, yaitu talak yang si suami diberi hak untuk kembali kepada istrinya
tanpa melalui nikah baru, selama istrinya itu masih dalam masa iddah. Talak
raj’iy itu adalah talak satu atau talak dua tanpa didahului tebusan dari pihak
istri. Boleh ruju’ dalam talak satu atau dua itu dapat dilihat dari firman
Allah SWT pada surat al-Baqarah [02] ayat 229:
ٱلطَّلَٰقُ
مَرَّتَانِۖ فَإِمۡسَاكُۢ بِمَعۡرُوفٍ أَوۡ تَسۡرِيحُۢ بِإِحۡسَٰنٖۗ
229. Talak (yang dapat dirujuki) dua kali. Setelah itu boleh rujuk
lagi dengan cara yang ma´ruf atau menceraikan dengan cara yang baik.
Status hukum perempuan
dalam masa talak raj’iy itu sama dengan istri dalam masa pernikahan dalam semua
keadaannya, kecuali dalam satu hal, menurut sebagian ulama, yaitu tidak boleh
bergaul dengan mantan suaminya. Bila dia berkehendak untuk kembali kepada
mantan suaminya atau laki-laki yang ingin kembali kepada mantan istrinya dalam
bentuk talak ini cukup mengucapkan rujuk kepada mantan istrinya itu. Dengan
demikian talak raj’iy tidak dapat dikatakan putus perkawinan dalam arati
sebenarnya.[52]
2)
Talak
Bain, yaitu talak yang tidak memberikan hak merujuk bagi mantan suami terhadap
mantan istrinya kecuali dengan nikah baru.[53]
Talak bain terbagi menjadi dua macam yaitu:
a.
Bain
Sughro. Ialah talak yang suami tidak boleh ruju’ kepada mantan istrinya, tetapi
ia dapat kawin lagi dengan nikah baru tanpa melalui muhallil. Yang termasuk
bain sughro adalah sebagai berikut:
Pertama: talak yang dilakukan sebelum istri
digauli oleh suami. Talak dalam bentuk ini tidak memerlukan iddah. Oleh karena
tidak ada iddah, maka tidak ada kesempatan untuk ruju’, sebab ruju’ hanya
dilakukan dalam masa iddah. Hal ini sesuai dengan firman Allah dalam surat
al-Ahzab [33] ayat 49:
يَٰٓأَيُّهَا
ٱلَّذِينَ ءَامَنُوٓاْ إِذَا نَكَحۡتُمُ ٱلۡمُؤۡمِنَٰتِ ثُمَّ طَلَّقۡتُمُوهُنَّ
مِن قَبۡلِ أَن تَمَسُّوهُنَّ فَمَا لَكُمۡ عَلَيۡهِنَّ مِنۡ عِدَّةٖ
تَعۡتَدُّونَهَاۖ
49. Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu menikahi
perempuan-perempuan yang beriman, kemudian kamu ceraikan mereka sebelum kamu
mencampurinya maka sekali-sekali tidak wajib atas mereka ´iddah bagimu yang
kamu minta menyempurnakannya.
Kedua: talak yang dilakukan dengan cara
tebusan dari pihak istri atau yang disebut khulu’.
b.
Bain
Kubra. Yaitu talak yang tidak memungkinkan suami ruju’ kepada mantan istrinya.
Dia hanya boleh kembali kepada istrinya setelah istrinya itu kawin dengan
laki-laki lain dan bercerai dengan laki-laki itu dan habis masa iddahnya. Yang
termasuk dalam talak bain kubra adalah sebagai berikut:
Pertama: istri yang telah ditalak tiga kali
atau talak tiga. Talak tiga dalam pengertian talak bain adalah talak tiga yang
diucapkan secara terpisah dalam kesempatan yang berbeda antara satu dengan
lainnya diselingi oleh masa iddah. Termasuknya talak tiga itu kedalam kelompok
bain kubra itu adalah sebagaimana yang difirmankan Allah dalam surat al-Baqarah
[02] ayat 230:
فَإِن
طَلَّقَهَا فَلَا تَحِلُّ لَهُۥ مِنۢ بَعۡدُ حَتَّىٰ تَنكِحَ زَوۡجًا غَيۡرَهُۥۗ
فَإِن طَلَّقَهَا فَلَا جُنَاحَ عَلَيۡهِمَآ أَن يَتَرَاجَعَآ إِن ظَنَّآ أَن
يُقِيمَا حُدُودَ ٱللَّهِۗ
230. Kemudian jika si suami mentalaknya (sesudah talak yang kedua),
maka perempuan itu tidak lagi halal baginya hingga dia kawin dengan suami yang
lain. Kemudian jika suami yang lain itu menceraikannya, maka tidak ada dosa
bagi keduanya (bekas suami pertama dan isteri) untuk kawin kembali jika
keduanya berpendapat akan dapat menjalankan hukum-hukum Allah.
Tentang talak tiga
yang diucapkan sekaligus dalam satu kesempatan, menjadi perbincangan di
kalangan ulama. Dalam hal ini terdapat empat pendapat di kalangan ulama:
Pendapat pertama: talak tiga dalam satu ucapan itu tidak jatuh. Alasannya adalah
karena dimasukkannya talak seperti ini kedalam talak bid’iy yang menurut
kebanyakan ulama tidak jatuh sebagaimana keadaan talak dalam masa haid. Adapun
yang menjadi alasan dimasukkannya ke dalam kategori talak bid’iy adalah
kemarahan Nabi atas pelakunya, sebagai mana dalam hadits:
مَحْمُودَ
بْنَ لَبِيدٍ قَالَ: أُخْبِرَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَنْ
رَجُلٍ طَلَّقَ امْرَأَتَهُ ثَلَاثَ تَطْلِيقَاتٍ جَمِيعًا فَقَامَ غَضْبَانًا ثُمَّ
قَالَ: «أَيُلْعَبُ
بِكِتَابِ اللَّهِ وَأَنَا بَيْنَ أَظْهُرِكُمْ» حَتَّى قَامَ رَجُلٌ وَقَالَ: يَا رَسُولَ اللَّهِ
أَلَا أَقْتُلُهُ (رؤاه النسائي)
Mahmud bin Labid berkata:
Nabi SAW telah memberitakan kepada saya tentang seorang laki-laki yang mentalak
istrinya tiga kali dalam satu ucapan maka Nabi berdiri dalam keadaan marah
kemudian bersabda: “Apakah kamu mempermainkan Kitabullah, sedangkan saya
masih berada diantaramu”. Seorang laki-laki berdiri dan berkata: “ya
Rasulullah kenapa tidak saya bunuh saja orang itu?”. (HR. al-Nasa’i [5564][56]).
Pendapat kedua: Jumhur ulama mengatakan
bahwa talak tiga sekaligus itu jatuh talak tiga, dan dengan sendirinya termasuk
talak bain. Alasan yang digunakan golongan ini adalah ayat al-Qur’an yang
disebutkan diatas. Mereka tidak memisahkan antara talak tiga dalam satu ucapan
atau dilakukan secara terpisah.
Pendapat ketiga: yang dipegang oleh ulama
Zhahiriyah dan Syi’ah Imamiyah. Menurut golongan ini talak tiga dalam satu
ucapan jatuh talak satu dalam kategori talak sunni. Ulama ini berdalil dengan
hadis Nabi yang bunyinya:
عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ قَالَ: " كَانَ الطَّلَاقُ عَلَى
عَهْدِ رَسُولِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَأَبِي بَكْرٍ
وَسَنَتَيْنِ مِنْ خِلَافَةِ عُمَرَ طَلَاقُ الثَّلَاثِ وَاحِدَةً
Riwayat dari Ibnu Abbas ia
berkata: “talak pada masa Nabi SAW, masa Abu Bakar, dan dua tahun masa Umar
talak tiga itu yang jatuh adalah satu. (HR. Muslim [1472][57]).
Pendapat keempat: merupakan pendapat sahabat
Ibnu Abbas yang mengatakan bahwa seandainya talak tiga dalam satu ucapan itu
dilakukan setelah terjadi pergaulan antara suami istri, mka yang jatuh adalah
talak tiga, dan oleh karenanya termasuk talak bain kubra, namun bila diucapkan
sebelum diantara keduanya terjadi hubungan kelamin yang jatuh hanyalah talak
satu. Mereka berdalil dengan hadis riwayat Ibnu Abbas:
قَالَ ابْنُ عَبَّاسٍ: بَلَى " كَانَ الرَّجُلُ إِذَا طَلَّقَ
امْرَأَتَهُ ثَلَاثًا قَبْلَ أَنْ يَدْخُلَ بِهَا جَعَلُوهَا وَاحِدَةً عَلَى عَهْدِ
رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَأَبِي بَكْرٍ وَصَدْرًا مِنْ إِمَارَةِ
عُمَرَ فَلَمَّا رَأَى النَّاسَ قَدْ تَتَابَعُوا فِيهَا قَالَ: أَجِيزُوهُنَّ عَلَيْهِمْ
"
Ibnu Abbas berkata: “menurut sepengetahuanku
bila seorang laki-laki mentalak istrinya talak tiga sebelum digaulinya yang
jatuh adalah talak saati pada masa Nabi SAW, dan Abu Bakar, dan permulaan
kepemimpinan Umar, kemudian tatkala orang-orang melihat sering melakukan hal
tersebut maka Umar berkata: terapkan talak tiga atas mereka”. (HR.
Abu Dawud [2199][58]).
Kedua:
istri yang bercerai dari suaminya melalui proses li’an. Berbeda dengan bentuk
pertama mantan istri yang di-li’an itu tidak boleh sama sekali dinikahi,
meskipun sesudah diselingi oleh adanya muhallil, menurut jumhur ulama. Hal ini
secara lengkap akan dijelaskan pada tempatnya.[59]
Talak
ditinjau dari segi ucapan yang digunakan terbagi menjadi dua macam:
1)
Talak
Tanjiz, yaitu talak yang dijatuhkan suami dengan menggunakan ucapan langsung
tanpa dikaitkan kepada waktu, baik mengucapkan secara sharih atau kinayah,
sebagaimana telah dijelaskan pada masalah shighat akad diatas.
2)
Talak
ta’liq, yaitu talak yang dijatuhkan suami dengan menggunakan ucapan yang
pelaksanaannya digantungkan kepada sesuatu yang terjadi kemudian. Baik
menggunakan lafaz sharih maupun kinayah, sebagaimana telah dijelaskan pada
masalah shighat akad diatas.
Talak ta’liq ini berbeda dengan taklik talak
yang berlaku di beberpa tempat yang diucapkan oleh suami segera setelah ijab
qabul dilaksanakan. Taklik talak itu adalah sebentuk perjanjian dalam
perkawinan yang didalamnya disebutkan beberapa syarat yang harus dipenuhi oleh
suami. Jika suami tidak memenuhinya, maka si istri yang tidak rela dengan itu
dapat mengajukannya ke pengadilan sebagai alasan untuk perceraian.[60]
Ditinjau
dari segi siapa yang secara langsung mengucapkan talak itu, dibagi menjadi dua
macam:
1)
Talak
mubasyir, yaitu talak yang diucapkan sendiri oleh suami yang menjatuhkan talak,
tanpa melalui perantara atau wakil.
2)
Talak
tawkil, yaitu talak yang pengucapannya tidak dilakukan sendiri oleh suami,
tetapi dilakukan oleh orang lain atas nama suami. Bila talak itu diwakilkan
pengucapannya oleh suami kepada istrinya, seperti ucapan suami: “Saya serahkan
kepadamu untuk mentalak dirimu”, secara khusus disebut talak tafwidh.[61]
E.
Talak Dalam UU No. 1 Tahun
1974
Talak atau putusnya
perkawinan dijelaskan dalam pasal:
Pasal 38
Perkawinan putus karena: a.
Kematian. b. perceraian. c. atas keputusan pengadilan.
Pasal 39
(1)
Perceraian
hanya dapat dilakukan dalam sidang Pengadilan setelah pengadilan yang
bersangkutan berusaha dan tidak berhasil mendamaikan kedua belah pihak.
(2)
Untuk
melakukan perceraian harus ada cukup alasan, bahwa antara suami dan istri itu
tidak akan dapat dalam peratutran.
(3)
Tata
cara perceraian di depan sidang Pengadilan diatur dalam peraturan perundangan
sendiri.
Pasal 40
(1) Gugatan perceraian diajukan
kepada Pengadilan.
(2) Tatacara mengajukan gugatan
tersebut pada ayat (1) pasal ini diatur dalam peraturan perundangan tersendiri.
Pasal 41
Akibat putusnya perkawinan karena
perceraian ialah :
a. Baik ibu atau bapak tetap berkewajiban memelihara dan mendidik
anak-anaknya, semata-mata berdasarkan kepentingan anak; bilamana ada
perselisihan mengenai penguasaan anak-anak, Pengadilan memberi keputusannya;
b. Bapak yang bertanggung-jawab atas semua biaya pemeliharaan dan
pendidikan yang diperlukan anak itu; bilamana bapak dalam kenyataan tidak dapat
memenuhi kewajiban tersebut, Pengadilan dapat menentukan bahwa ibu ikut memikul
biaya tersebut;
c. Pengadilan dapat mewajibkan kepada bekas suami untuk memberikan
biaya penghidupan dan/atau menentukan sesuatu kewajiban bagi bekas isteri.[62]
F.
Talak Dalam Kompilasi Hukum
Islam
Talak atau putusnya
perkawinan dijelaskan dalam pasal:
Pasal 113
Perkawinan dapat
putus karena : a. Kematian, b. Perceraian, dan c. atas putusan Pengadilan.
Pasal 114
Putusnya
perkawinan yang disebabkan karena perceraian dapat terjadi karena talak atau berdasarkan
gugatan perceraian.
Pasal 115
Perceraian hanya
dapat dilakukan di depan sidang Pengadilan Agama setelah Pengadilan Agama tersebut
berusaha dan tidak berhasil mendamaikan kedua belah pihak.
Pasal 116
Perceraian dapat terjadi karena
alasan atau alasan-alasan:
a. Salah satu pihak berbuat zina atau menjadi pemabuk, pemadat,
penjudi dan lain sebagainya yang sukar disembuhkan;
b. Salah satu pihak mninggalkan pihak lain selama 2 (dua) tahun berturut-turut
tanpa izin pihak lain dan tanpa alasan yang sah atau karena hal lain diluar
kemampuannya;
c. Salah satu pihak mendapat hukuman penjara 5 (lima) tahun atau
hukuman yang lebih berat setelah perkawinan berlangsung;
d. Salah satu pihak melakukan kekejaman atau penganiayaan berat yang
membahayakan pihak lain;
e. Salah satu pihak mendapat cacat badab atau penyakit dengan akibat
tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai suami atau isteri;
f.
Antara suami dan isteri terus
menerus terjadi perselisihan dan pertengkaran dan tidak ada harapan akan hidup
rukun lagi dalam rumah tangga;
g. Suami menlanggar taklik talak;
h. Peralihan agama tau murtad yang menyebabkan terjadinya ketidak
rukunan dalam rumah tangga.
Pasal 117
Talak adalah
ikrar suami di hadapan sidang Pengadilan Agama yang menjadi salah satu sebab putusnya
perkawinan, dengan cara sebagaimana dimaksud dalam pasal 129, 130, dan 131.
Pasal 118
Talak Raj`I
adalah talak kesatu atau kedua, di mana suami berhak rujuk selamaisteri dalam
masa iddah.
Pasal 119
(1) Talak Ba`in Shughraa adalah talak yang tidak boleh dirujuk tapi
boleh akad nikah baru dengan bekas suaminya meskipun dalam iddah.
(2) Talak Ba`in Shughraa sebagaimana tersebut pada ayat (1) adalah :
a. Talak yang terjadi qabla al dukhul
b. Talak dengan tebusan atau khuluk;
c. Talak yang dijatuhkan oleh Pengadilan Agama.
Pasal 120
Talak Ba`in
Kubraa adalah talak yang terjadi untuk ketiga kalinya. Talak jenis ini tidak
dapat dirujuk dan tidak dapat dinikahkan kembali, kecuali apabila pernikahan
itu dilakukan setelah bekas isteri, menikah degan orang lain dan kemudian
terjadi perceraian ba`da al dukhul dan hadis masa iddahnya.
Pasal 121
Talak sunny
adalah talak yang dibolehkan yaitu talak yang dijatuhkan terhadap isteri yang
sedang suci dan tidak dicampuri dalam waktu suci tersebut.
Pasal 122
Talak bid`I
adalah talak yang dilarang, yaitu talak yang dijatuhkan pada waktu isteri dalam
keadaan haid atau isteri dalam keadaan suci tapi sudah dicampuri pada waktu
suci tersebut.
Pasal 123
Perceraian itu
terjadi terhitung pada saat perceraian itu dinyatakan di depan sidang
pengadilan.[63]
BAB III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
-
Talak
secara bahasa artinya melepaskan atau meninggalkan, secara terminologi Menghilangkan
ikatan perkawinan atau mengurangi pelepasan ikatannya dengan menggunakan kata-kata
tertentu.
-
Hukum
melakukan talak yaitu: Wajib, apabila terjadi perselisihan atara suami istri,
sedangkan dua hakim yang mengurus perkara keduanya sudah memandang perlu supaya
keduanya bercerai. Sunnah, apabila suami tidak sanggup lagi membayar dan
mencukupi kewajibannya (nafkahnya), atau perempuan tidak menjaga kehormatan
dirinya. Makruh, apabila perselisihan suami istri itu menimbulkan permusuhan, menanam bibit
kebencian antara keduanya atau terhadap kaum kerabat mereka, sehingga tidak ada
jalan lain, sedangkan ikhtiar untuk perdamaian tidak dapat disambung lagi dan
hanya talak jalan satu-satunya. Haram,
apabila istri dalam keadaan haid.
-
Rukun
talak yaitu: Suami, istri dan shighat talak.
-
Macam-macam
talak yaitu:
a.
Ditinjau
dari segi waktu dijatuhkannya talak itu, maka talak dibagi menjadi tiga macam:
Talak Sunni, Talak Bid’i, dan Talak la Sunni wala Bid’i
b.
Ditinjau dari kemungkinan
bolehnya suami kembali kepada mantan istrinya, talak itu ada dua macam: Talak
Raj’i dan Talak Ba’in
c.
Talak
ditinjau dari segi ucapan yang digunakan terbagi menjadi dua macam: Talak
Tanjiz dan Talak Ta’liq.
d.
Ditinjau dari segi siapa yang secara langsung
mengucapkan talak itu, dibagi menjadi dua macam: Talak Mubasyir dan Talak
Tawkil.
-
Talak dalam UU No. 1 Tahun 1974 dijelaskan dalam
pasal 38 sampai dengan pasal 41 dan dalam Kompilasi Hukum Islam dijelaskan
dalam pasal 113 sampai dengan pasal 123.
DAFTAR PUSTAKA
Abdurrahman. 2010.
Kompilasi Hukum Islam di Indonesia. cet.IV. Jakarta: Akademika Pressindo.
Alu Mubarak,
Faishal bin Abdul Aziz. 2006. Bustanul Ahbar Mukhtashar Nail al Authar. Penterjemah:
Amir Hamzah Fachruddin. Jakarta: Pustaka Azzam.
Amsar, M. Muhajirin. 2014. Mishbah
adz-Dzalam syarh Bulugh al-Maram min Adillah al-Ahkam. Jakarta: Darul Hadits.
Bukhari, Al, Muhammad bin Isma’il.
1998. Shahih Bukhari. Beirut: Dar al-Kotob al-Ilmiyah.
Ghazi, Al, Muhammad bin Qasim. 2003. Fath al-Qarib al-Mujib fi Syarh Alfad al-Taqriib. Jakarta: Dar al-Kutub al-Islamiyah.
Ghozali, Abdul
Rahman. 2003. Fiqh Munakahat. Jakarta: Kencana.
Jaziry,
Al, Abdul Rahman. 2003. al-Fiqh ‘ala Madzahib al-Arba’ah. Beirut: Dar al-Kotob al-Ilmiyah.
Muslim, Abi Hasan.
2008. Shahih Muslim. Beirut: Dar al-Kotob al-Ilmiyah.
Nasa’I, Al, Abi Abdul Rahman Ahmad
bin Syua’ib. 2001. as-Sunan al-Kubra. Beirut: ar-Risalah.
Quzwaini, Al, Abu
Abdillah Muhammad bin Yazid. 1996. Sunan Ibnu Majah. Riyadh: Maktabah
lilnatsir wa tauri’.
Rasjid, Sulaiman.
2016. Fiqh Islam (Hukum Fiqh Lengkap). cet.LXXIII. Bandung: Sinar Baru
Algesindo.
Redaksi Sinar
Grafika. 2006. Undang-undang Pokok Perkawinan. cet.VI .Jakarta: Sinar
Grafika.
Rusyd, Abul Wahid
Muhammad bin Ahmad Ibnu. 2007. Bidayatul Mujtahid wa Nihayatul Muqtasid. Penterjemah:
Imam Ghazali Sa’id. cet.III. Jakarta: Pustaka Amani.
Sabiq, Sayyid. 2009. Fiqh as-Sunnah. Kairo: Dar El Hadits.
Sijistani, Al, Abu
Dawud. 2011. Sunan Abu Dawud. Beirut: Dar al-Kotob al-Ilmiyah.
Syarbini,
Al, Syamsuddin Muhammad bin Ahmad al-Khatib. 2010. Mughnil Muhtaj ila Ma’rifati Ma’anil Alfadz al-Minhaj. Kairo: al-Quds.
Syarifuddin, Amir. 2014. Hukum Perkawinan Islam di Indonesia. cet.V. Jakarta: Kencana.
Tirmidzi, Al, Abi
‘Isa Muhammad bin Muhammad. al-Jami’ al-Kabir. Beirut: Dar al-Gharb
al-Islamy.
Zuhaili, Al, Wahbah.
2011. Fiqh Islam Wa Adillatuhu. Penerjemah: Abdul Hayyie al-Kattani dkk.
Jakarta: Gema Insani.
[5]Syamsuddin
Muhammad bin Ahmad al-Khatib al-Syarbini, Mughnil Muhtaj ila Ma’rifati
Ma’anil Alfadz al-Minhaj, (Kairo: al-Quds, 2010, Jilid 5, h. 443. Lihat pula Muhammad bin Qasim al-Ghazi, Fath
al-Qarib al-Mujib fi Syarh Alfad al-Taqriib, (Jakarta: Dar al-Kutub
al-Islamiyah, 2003), h. 62. Lihat pula M. Muhajirin Amsar, Mishbah
adz-Dzalam syarh Bulugh al-Maram min Adillah al-Ahkam, (Jakarta: Darul Hadits,
2014), jilid 3, h.239.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar