Minggu, 08 April 2018

Makalah Hadis Ahkam Tentang Talak


BAB I
PENDAHULUAN
A.    Latar Belakanng
            Suatu perkawinan dapat putus dan berakhir karena beberapa hal, yaitu karena terjadinya talak yang dijatuhkan terhadap isterinya, atau karena perceraian yang terjadi antara keduanya, atau karena sebab-sebab lain. Hal-hal yang menyebabkan putusnya perkawinan itu akan dijelaskan secara transparan dan jelas pada makalah kami ini mengenai “talak” sebagaimana kami membuat makalah ini dengan maksud memenuhi tugas mata kuliah hadis ahkam.
            Makalah ini kami buat juga dengan maksud untuk menjawab problematika yang ada di masyarakat sekitar terutama mengenai talak, semoga pembaca dapat memahami dan mengamalkan ilmu ini kepada seluruh umat manusia karena Nabi kita mengajarkan bahwa ilmu itu penting dan alangkah lebih baiknya lagi kita membagikan ilmu yang kita punya kepada orang lain.
            Di makalah kali ini kita akan membahas pengertian talak, hukum talak, rukun dan syarat talak, macam-macam talak, talak dalam UU No 1 tahun 1974, dan talak dalam kompilasi hukum Islam.
       Oleh karena itu, kami berusaha mengkaji lebih jauh tentang talak dan berbagai macam pembahasannya. Hal ini kami harapkan dapat dijadikan acuan bagi rekan-rekan kami khususnya dan bagi masyarakat pada umumnya.

B.     Rumusan Masalah

            Berhubungan pembahsan tentang talak sangat luas maka dalam tulisan ini kami batasi hanya pada beberapa pembahasan yang kami rumuskan beberapa masalah yaitu:

1.      Apa yang dimaksud dengan talak?
2.      Bagaimana Hukum Talak?
3.      Apa saja rukun dan syarat talak?
4.      Apa saja macam-macam talak?
5.      Bagaimana talak ditinjau dari UU No 1 tahun 1974?
6.      Bagaimana talak ditinjau dari Kompilasi Hukum Islam?
C.    Tujuan
Adapun tujuan dari penulisan makalah ini adalah mencoba untuk memberikan informasi kepada rekan-rekan kami pada khususnya dan kepada masyarakat pada umumnya tentang hadits yang berkaitan dengan talak.












BAB II
PEMBAHASAN

A.    Pengertian Talak

            Talak terambil dari kata “ithlaq” yang menurut bahasa artinya “melepaskan atau meninggalkan”.[1] Termasuk diantara kalimat talak adalah kalimat naaqatun thaaliqun, maksudnya dilepaskan dengan tanpa kekangan. Juga dengan kalimat asiirun muththaliqun, yang artinya terlepas ikatannya dan terbatas darinya. Akan tetapi, tradisi mengkhususkan talak dengan pengertian lepasnya ikatan secara inderawi pada orang yang selain perempuan.[2]
            Menurut istilah syara’, talak yaitu:
حل رابطة الزواج وإنهاء العلاقة الزوجية
“Melepas tali perkawinan dan mengakhiri hubungan suamii istri”.[3]
Al-Jaziry mendefinisikan:
إزالة النكاح أو نقصان حله بلفظ مخصوص
“Menghilangkan ikatan perkawinan atau mengurangi pelepasan ikatannya dengan menggunakan kata-kata tertentu”.[4]
Menurut Syamsuddin al-Syarbini, talak yaitu:
حَلُّ عَقْدِ النِّكَاحِ بِلَفْظِ الطَّلَاقِ وَنَحْوِهِ
Melepas tali akad nikah dengan kata talak dan yang semacamnya”.[5]
            Dari rumusan yang dikemukakan diatas terdapat 3 kunci yang menunjukkan hakikat dari talak.
            Pertama: kata “melepaskan” atau membuka atau menanggalkan mengandung arti bahwa talak itu melepaskan sesuatu yang selama ini telah terikat, yaitu ikatan perkawinan.
            Kedua: kata “ikatan perkawinan”, yang mengandung arti bahwa talak itu mengakhiri hubungan perkawinan yang terjadi selama ini. Bila ikatan perkawinan itu memperbolehkan hubungan antara suami dan istri, maka dengan telah dibuka ikatan itu status suami dan istri kembali kepada keadaan smeula, yaitu haram.
            Ketiga: kata “dengan lafadz tha-la-qa dan sama maksudnya dengan itu” mengandung arti bahwa putusnya perkawinan itu melalui suatu ucapan yang digunakan itu adalah kata-kata talak tidak disebut dengan: putus perkawinan bila tidak dengan cara pengucapan tersebut, seperti putus karena kematian.[6]

B.     Hukum Talak

  1. Wajib. Apabila terjadi perselisihan atara suami istri, sedangkan dua hakim yang mengurus perkara keduanya sudah memandang perlu supaya keduanya bercerai.[7] Dan juga apabila dia mengetahui bahwa keberadaan istrinya membuatnya jatuh kedalam perbuatan yang diharamkan yang terdiri dari nafkah dan perkara lainnya. Dan cerai orang yang melakukan sumpah iila’ adalah wajib, setelah menunggu masa empat bulan sejak dia ucapkan sumpah jika dia tidak memenuhinnya, atau dia tidak pergauli istrinya.[8]
  2. Sunnah.
Sebagaimana Nabi SAW bersabda:
روي عن ابن عباس رضي الله عنهما قال: أنَّ رَجُلًا قَالَ: يَا رَسُوْلَ اللَّهِ إِنَّ تَحْتِي امْرَأَةً لاَ تَرُدُّ يَدَ لاَمِسٍ قَالَ : طَلِّقْهَا  قَالَ : إِنِّي لاَ أَصْبِرُ عَنْهَا قَالَ : فَأَمْسِكْهَا . (رواه النسائي).
“Diriwayatkan dair Ibnu Abbas RA, ia berkata: Sesungguhnya seorang laki-laki berkata: “wahai Rasulullah, aku mempunyai seorang istri yang tidak pernah menolak tangan orang yang menyentuhnya”. Maka Rasul bersabda: “ceraikan dia”. Orang tersebut berkata: “aku tidak dapat bersabar darinya (masih cinta). Maka Rasul bersabda:”maka pertahankanlah”.”. (HR. An-Nasa’i [5629][9]).
            Jika istri lalai untuk memenuhi hak-hak Allah yang wajib, seperti shalat dan perkara lain yang sejenisnya. Dan juga disunnahkan apabila kemudharatan yang diderita istri dengan terus menjaga ikatan pernikahan dengan suaminya akibat rasa benci suami atau yang lainnya.[10] Dan juga apabila suami tidak sanggup lagi membayar dan mencukupi kewajibannya (nafkahnya), atau perempuan tidak menjaga kehormatan dirinya. [11]
  1. Makruh. Hukum asal dari talak adalah makruh. Rasulullah SAW bersabda:
عَنِ اِبْنِ عُمَرَ - رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا- قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ - صلى الله عليه وسلم: «أَبْغَضُ الْحَلَالِ عِنْدَ اللَّهِ الطَّلَاقُ». (رَوَاهُ أَبُو دَاوُدَ, وَابْنُ مَاجَهْ)
“Riwayat dari Ibnu ‘Umar RA, ia berkata: Rasulullah SAW bersabda: “Perkara halal yang paling dibenci Allah adalah menjatuhkan talak”. (HR. Abu Dawud [2178][12] dan Ibnu Majah [2018][13]).
            Apabila perselisihan suami istri itu menimbulkan permusuhan, menanam bibit kebencian antara keduanya atau terhadap kaum kerabat mereka, sehingga tidak ada jalan lain, sedangkan ikhtiar untuk perdamaian tidak dapat disambung lagi dan hanya talak jalan satu-satunya maka hukum talak itu makruh. [14]
  1. Haram. Rasulullah SAW bersabda:
عَنِ ابْنِ عُمَرَ أَنَّهُ طَلَّقَ امْرَأَتَهُ وَهِيَ حَائِضٌ فِي عَهْدِ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَسَأَلَ عُمَرُ بْنُ الْخَطَّابِ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَنْ ذَلِكَ فَقَالَ لَهُ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ : " مُرْهُ فَلْيُرَاجِعْهَا ثُمَّ لِيَتْرُكْهَا حَتَّى تَطْهُرَ ثُمَّ تَحِيضَ ثُمَّ تَطْهُرَ  ثُمَّ إِنْ شَاءَ أَمْسَكَ بَعْدُ  وَإِنْ شَاءَ طَلَّقَ قَبْلَ أَنْ يَمَسَّ فَتِلْكَ الْعِدَّةُ الَّتِي أَمَرَ اللَّهُ أَنْ تُطَلَّقَ لَهَا النِّسَاءُ " . (متفق عليه)
“Riwayat dari Ibnu ‘Umar bahwasannya ia mentalak istrinya pada masa Nabi Muhammad SAW dan istrinya dalam keadaan haid. Maka ‘Umar bin Khattab bertanyay kepada Rasulullah SAW tentang hal itu, maka Rasulullah SAW bersabda kepadanya: “Suruhlah olehmu supaya ia rujuk kepada istrinya itu, kemudian hendaklah dia teruskan pernikahan itu sehingga ia suci dari haid, kemudian haid kembali kemudian suci pula dari haid yang kedua itu. Kemudian jika ia menghendaki, ceraikan ia sebelum dicampuri. Demikian iddah yang diperintahkan Allah supaya perempuan ditalak ketika itu.”.”. (HR. al-Bukhari [5251][15] dan Muslim [1471][16]).
Hadis diatas menjelaskan bahwa haram melakukan talak ketika berada dalam dua keadaan: Pertama, menjatuhkan talak sewaktu si istri dalam keadaan haid. Kedua, menjatuhkan talak sewaktu suci yang telah dicampurinya dalam waktu suci itu.[17]
C.    Rukun dan Syarat Talaq
            Rukun talak ialah unsur pokok yang harus ada dalam talak dan terwujudnya talak bergantung ada dan lengkapnya unsur-unsur dimaksud. Rukun talak ada 4, sebagai berikut:
a.       Suami. Suami adalah yang memiliki hak talak dan yang berhak menjatuhkannya. Oleh karena itu bersifat menghilangkan ikatan perkawinan, maka talak tidak mungkin terwujud kecuali setelah nyata adanya akad perkawinan yang sah.[18] Karena ada sebuah hadits:
عَنْ عَمْرِو بْنِ شُعَيْبٍ عنْ أَبِيْهِ عَنْ جَدِّهِ أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَ سَلَّمَ قَالَ لَا طَلَاقَ إلَّا فِيْمَا تَمْلِكُ وَ لَا عِتْقَ إلَّا فِيْمَا تَمْلِكُ وَ لَا بَيْعَ إلَّا فِيْمَا تَمْلِكُ (رَوَاهُ أبو داود و ابن ماجه)
Riwayat dari ‘Amr bin Syu’aib dari bapaknya dari kakeknya bahwasannya Nabi SAW bersabda: “Tidak ada talak dalam hal yang tidak dimiliki dan tidak ada pemerdekaan budak dalam hal yang tidak dimiliki dan tidak ada jual beli dalam hal yang tidak dimiiliki”. (HR. Abu Dawud [2190][19] dan Ibnu Majah [2043][20]).
عَنْ المِسْوَرِ بْنِ مَخْرَمَةَ عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَ سَلَّمَ قَالَ لَا طَلَاقَ قَبْلَ نِكَاحٍ وَ لَا عِتْقَ قَبْلَ مِلْكٍ (رَوَاهُ ابن ماجه)
“Riwayat dari Miswar bin Makhramah, Nabi SAW bersabda: “Tidak ada talak kecuali setelah nikah dan tidak ada pemerdekaan kecuali setelah ada kepemelikan”. (HR. Ibnu Majah [2048][21]).
Untuk sahnya talak, suami yang menjatuhkan talak disyaratkan:
1.      Berakal. Suami yang gila tidak sah menjatuhkan talak. Yang dimaksud dengan gila dalam hal ini ialah hilang akal atau rusak akal karena sakit, termasuk kedalamnya sakit pitam, hilang akal karena sakit panas, atau sakit ingatan karena rusak syaraf otaknya.
2.      Baligh. Tidak dipandang jatuh talak yang dinyatakan oleh orang yang belum dewasa. Dalam hal ini ulama Hanabilah membolehkan anak mumayyiz yang berumur 10 tahuun asalkan ia mengerti arti talak dan mengetahui akibatnya, talaknya dipandang jatuh.
3.      Atas kemauan sendiri. Yaitu kehendak pada diri suami untuk menjatuhkan talak itu dan dijatuhkan atas pilihan sendiri bukan paksaan orang lain.[22]
  1. Istri. Istri yang ditalak itu berada dibawah wilayah atau kekuasaan laki-laki yang mentalak yaitu istri masih terikat dalam tali perkawinan dengannya.
            Tentang mentalak perempuan yang belum dikawininya namun dengan syarat terjatuhnya talak setelah dikawininya menjadi perbincangan di kalangan ulama. Ini masalah menggantungkan talak setelah dikawini. Cara ini ada dua bentuk. Pertama, secara umum terhadap perempuan mana saja, seperti ucapannya: “Siapa perempuan yang ada di daerah ini bila saya kawini dia akan saya talak”. Kedua, secara khusus, seperti ucapannya: “Bila saya kawin dengan si Fulanah ia akan saya talak”.[23]
  1. Shigat atau Ucapan Talak
Dalam talak tidak terdapat ijab dan qabul karena perbuatan talak itu merupakan tindakan sepihak, yaitu dari suami dan tidak ada tindakan istri untuk itu.
Masalah ucapan atau shighat talaq itu menjadi pembicaraan luas di kalangan ulama dan menyangkut beberapa hal:
1.      Ucapan Talak Secara Mutlak. Yaitu suami mengucapkan talak dengan tidak mengaitkan kepada sesuatu pun, seperti ucapannya: “engkau saya talaq”. Dalam hal ini dibicarakan tentang lafaz atau ucapan apa yang digunakan. Dari segi ucapan talak itu ulama membaginya menjadi dua yaitu lafaz sharih dan lafaz kinayah. Yang dimaksud dengan sharih itu adalah ucapan yang secara jelas digunakan untuk ucapan talak, sedang yang dimaksud dengan lafaz kinayah atau sindiran itu adalah lafaz atau ucapan yang sebenarnya tidak digunakan untuk ucapan talak, tetapi dapat dipakai untuk menceraikan istri.[24]
     Ulama sepakat mengatakan bahwa ucapan talak yang menggunakan lafaz sharih tidak perlu diiringi dengan niat, artinya dengan telah keluar ucapan itu jatuhlah talak meskipun dia tidak meniatkan apa-apa atau meniatkan lain dari talak, karena ada hadis:
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ - صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ -: «ثَلَاثٌ جِدُّهُنَّ جِدٌّ وَهَزْلُهُنَّ جِدٌّ: النِّكَاحُ وَالطَّلَاقُ وَالرَّجْعَةُ» (رَوَاهُ ابو داود و  الترميذي و ابن ماجه)
    “Riwayat dari Abu Hurairah ia berkata, Nabi SAW bersabda: “Tiga hal yang kesungguhannya adalah sungguhan dan candanya adalah sungguhan yaitu: Nikah, Talak, Rujuk”.(HR. Abu Dawud [2194][25] Tirmidzi [1183][26] Ibnu Majah [2039][27]).
     Ulama berbeda pendapat dalam menetapkan lafaz-lafaz mana yang sharih dan lafaz-lafaz apa yang termasuk kinayah. Menurut ulama Syafi’iyah yang termasuk lafaz sharih itu ada tiga yaitu: Thalaq, Firaq, dan Saraha atau yang berakar pada tiga lafaz tersebut. Alasan yang digunakan ulama ini ialah bahwa ketiga lafaz tersebut digunakan Al-Qur’an untuk tujuan talaj. Contoh penggunaan lafaz talak adalah firman Allah dalam surat at-Thalaq [65] ayat 1:
يَٰٓأَيُّهَا ٱلنَّبِيُّ إِذَا طَلَّقۡتُمُ ٱلنِّسَآءَ فَطَلِّقُوهُنَّ لِعِدَّتِهِنَّ
Hai Nabi, apabila kamu menceraikan isteri-isterimu maka hendaklah kamu ceraikan mereka pada waktu mereka dapat (menghadapi) iddahnya (yang wajar).
     Contoh penggunaan lafaz firaq adalah firman Allah dalam surat an-Nisa [04] ayat 130:
وَإِن يَتَفَرَّقَا يُغۡنِ ٱللَّهُ كُلّٗا مِّن سَعَتِهِۦۚ
Jika keduanya bercerai, maka Allah akan memberi kecukupan kepada masing-masingnya dari limpahan karunia-Nya.
      Contoh penggunaan lafaz saraha dalam ucapan talak adalah firman Allah dalam surat al-Baqarah [02] ayat 229:
ٱلطَّلَٰقُ مَرَّتَانِۖ فَإِمۡسَاكُۢ بِمَعۡرُوفٍ أَوۡ تَسۡرِيحُۢ بِإِحۡسَٰنٖۗ
Talak (yang dapat dirujuki) dua kali. Setelah itu boleh rujuk lagi dengan cara yang ma´ruf atau menceraikan dengan cara yang baik.
      Jumhur ulama termasuk Imam Malik, ulama Hanabilah, Hanafiyah, dan lainnya berpendapat bahwa lafaz yang sharih untuk maksud thalaq hanyalah satu yaitu lafaz talaq dan yang berakar kepadanya. Alasan mereka ialah bahwa lafaz yang berlaku untuk lainnya hanyalah lafaz talaq sedangkan ladfaz faraqa dan saraha, meskipun dalam Al-Qur’an utnuk tujuan talak, namun digunakan pula bukan untuk keperluan talaq.[28]
      Adapun lafaz kinayah adalah lafaz yang selain talak atau selain tiga lafaz yang dikemukakan oleh Syafi’iyah adalah lafaz kinayah, selama lafaz itu ada kemungkinan menjangkau kepada makna perceraian.[29] Lafaz kinayah juga bermakna talak dengan menggunakan kata-kata sindiran, atau samar-samar.[30] Bila sama sekali tidak menjangkau kepada maksud perceraian tidak dapat dijadikan ucapan talak meskipun diniatkan untuk maksud talak, seperti ucapan: “makanlah kamu”.
      Lebih lanjut Imam Malik membagi kinayah itu kepada dua, yaitu: zhahirah yang berarti menurut lahirnya untuk tujuan perceraian, seperti lafaz faraqa dan lafaz saraha. Dan kinayah yang muhtamilah dengan arti ada kemungkinan digunakan untuk perceraian. Terhadap kinayah yang zhahirah tidak diperlukan adanya niat, sedangkan untuk yang muhtamilah diperlukan niat.[31]
عَنْ عَائِشَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهَا أَنَّ ابْنَةَالْجَوْنِ لَمَّا أُدْخِلَتْ عَلَى رَسُوْلِ اللَّهِ - صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَ دَنَا مِنْهَا قَالَتْ: أَعُوْذُ بِاللَّهِ مِنْكَ. فَقَالَ لَهَا: لَقَدْ عُذْتِ بِعَظِيْمٍ, اِلْحَقِيْ بِأَهْلِكِ. (رَوَاهُ الْبُخَارِيُّ وَ اِبْنُ مَاجَه وَ النَّسَائِيُّ).
Dari Aisyah RA, bahwa putri Al Jaun, ketika dimasukkan ke tempat Rasulullah SAW (setelah beliau  nikahi), dan beliau mendekatinya, ia berkata “Aku berlindung kepada Allah darimu”. Maka beliau berkata kepadanya, “Engkau telah mengucapkan perlindungan yang besar. Kembalilah kepada keluargamu”. (HR. al-Bukhari [5254][32] Ibnu Majah [2050][33])
     Hadits ini dijadikan dalil oleh mereka yang berpendapat bahwa redaksi ini untuk memberi hak memilih dan ucapan “kembalilah kepada keluargamu” sebagai talak satu, bukan tiga. Dan yang tampak adalah Nabi SAW tidak melakukannya.[34]
2.      Ucapan talak yang digantungkan kepada sesuatu.
      Talak dalam bentuk ini dinamai talak al-mu’allaq, atau talak yang digantungkan. Talak yang digantungkan itu ada dua bentuknya, yaitu digantungkan kepada syarat tertentu atau digantungkan kepada pengecualian.[35]
      Talak yang digantungkan kepada syarat ada dalam beberapa kemungkinan:
a.       Talak digantungkan kepada kehendak Allah dan terkadang kepada kehendak makhluk. Seperti: “Engkau tertalak, in sya Allah”, atau dalam bentuk kalimat pengecualian, seperti: “engkau tertalak, kecuali Allah menghendaki”. Imam Malik berpendapat bahwa pengecualian tersebut tidak menimbulkan pengaruh sama sekali pada talak, dan terjadi atau jatuh talak. Menurut Imam Abu Hanifah dan Imam Syafi’i berpendapat bahwa apabila orang yang menjatuhkan talak itu membuat pengecualian dengan kehendak Allah, maka talak tidak terjadi.[36]
Dan seperti: “engkau saya talak bila dikehendaki direktur”, tidak ada beda pendapat pada mazhab Maliki bahwa talak jatuh bila direktur menghendakinya. Hal ini berarti jatuhnya talak berlaku saat syarat yang disebutkan terlaksana.[37]
b.      Talak digantungkan kepada terjadinya sesuatu dimasa yang akan datang. Seperti: “enkau saya talak bila terbit matahari besok pagi”. Dalam hal kapan jatuh talaknya, menurut Imam Malik talaknya jatuh secara langsung. Sedangkan menurut Imam Syafi’i dan Abu Hanifah, talak jatuh setelah syarat yang diucapkan terjadi,yaitu sewaktu terbitnya matahari esok harinya.[38]
c.       Talak digantungkan kepada suatu kejadian yang menurut biasanya terjadi dan kadang tidak terjadi. Seperti: “engkau saya talak jika engkau tidak lulus ujian”. Talak dengan ucapan seperti ini menurut sebagian ulama Maliki jatuh talak setelah terjadinya apa yang disyaratkan dan sebagian berpendapat terjatuh talak secara langsung setelah ucapan talak diucapkan.[39]
        Talak yang digantungkan kepada pengecualian berlaku dalam ucapan talak yang menggunakan angka-angka atau bilangan. Bilangan yang dikecualikan dalam hal ini mengurangi bilangan yang lebih dahulu. Bila seeorang mengucapkan: “saya talak engkau dengan talak tiga kecuali satu” maka talak yang jatuh hanyalah satu.[40]
               Ucapan talak dapat dilakukan dengan lisan dan dapat pula dengan tulisan, karena kekuatan penyampaian kehendak dengan menggunakan tulisan mempunyai kekuatan yang sama dengan lisan. Bedanya adalah ucapan lisan segera dapat diketahui langsung sesudah ucapan itu diucapkan, sedangkan pemberitahuan kehendak dengan tulisan baru diketahui setelah selesainya membaca tulisan itu.[41]
d.      Qashdu (sengaja), artinya bahwa dengan ucapan talak itu memang dimaksudkan oleh yang mnegucapkannya untuk talak, bukan untuk maksud lain. Oleh karena itu, salah ucap yang dimaksud untuk talak dipandang tidak jatuh talak, seperti suami memberikan sebuah salak kepada istrinya, semestinya ia mengatakan: “ini sebuah salak untukmu”, tetapi keliru ucapan, berbunyi: “ini secuah talak untukmu”, maka talak tidak dipandang jatuh.[42]
D.    Macam-macam Talak
            Ditinjau dari segi waktu dijatuhkannya talak itu, maka talak dibagi menjadi tiga macam:
1)      Talak Sunni. Yang dimaksud dengan talak sunni yaitu talak yang pelaksanaannya telah sesuai dengan petunjuk agama dalam al-Qur’an atau sunnah Nabi SAW.[43] Bentuk talak sunni adalah talak yang dijatuhkan oleh suami yang mana si istri waktu itu tidak dalam keadaan haid atau dalam masa suci yang pada masa itu belum pernah dicampuri oleh suaminya. Diantara ketentuan menjatuhkan talak itu adalah masa si istru yang di talak langsung memasuki masa iddah. Hal ini sesuai dengan firman Allah SWT:
يَٰٓأَيُّهَا ٱلنَّبِيُّ إِذَا طَلَّقۡتُمُ ٱلنِّسَآءَ فَطَلِّقُوهُنَّ لِعِدَّتِهِنَّ
Hai Nabi, apabila kamu menceraikan isteri-isterimu maka hendaklah kamu ceraikan mereka pada waktu mereka dapat (menghadapi) iddahnya (yang wajar). (Q.S. at-Thalaq [65]: 01).
       Yang dimaksud dengan masa iddah disini adalah dalam masa suci yang belum digauli oleh suami.
       Berkenaan dengan talak tiga yang dijatuhkan sekaligus menurut Imam Malik adalah buka talak sunni sedangkan Imam asy-Syafi’i dan juga menurut Daud adz-Dzahiri memandang yang demikian itu adalah talak sunni. Alasannya adalah bahwa selama talak yang diucapkannya itu  berada sewaktu masa suci yang belum dicampuri adalah talak sunni.[44]
       Menurut ulama Hanafiyah talak tiga termasuk talak sunni itu adalah talak tiga yang setiap talak dilakukan dalam masa suci dalam arti talak tiga tidak dengan satu ucapan.[45]
2)      Talak Bid’i. yaitu talak yang dijatuhkan tidak menurut ketentuan sunnah dan tidak masuk kriteria talak sunni[46] atau talak tiga yang diucapkan sekali.[47] Bentuk talakk yang masuk kategori talak bid’i adalah talak yang dijatuhkan sewaktu istri dalam keadaan haid atau dalam keadaan suci, namun telah diguali oleh suaminya.[48]
     Yang menjadi dalil termasuknya talak dalam bentuk ini kedalam talak bid’i adalah sabda Nabi SAW dalam sebuah hadits yang berbunyi:
عَنِ ابْنِ عُمَرَ أَنَّهُ طَلَّقَ امْرَأَتَهُ وَهِيَ حَائِضٌ فِي عَهْدِ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَسَأَلَ عُمَرُ بْنُ الْخَطَّابِ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَنْ ذَلِكَ فَقَالَ لَهُ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ : " مُرْهُ فَلْيُرَاجِعْهَا ثُمَّ لِيَتْرُكْهَا حَتَّى تَطْهُرَ ثُمَّ تَحِيضَ ثُمَّ تَطْهُرَ  ثُمَّ إِنْ شَاءَ أَمْسَكَ بَعْدُ  وَإِنْ شَاءَ طَلَّقَ قَبْلَ أَنْ يَمَسَّ فَتِلْكَ الْعِدَّةُ الَّتِي أَمَرَ اللَّهُ أَنْ تُطَلَّقَ لَهَا النِّسَاءُ " . (متفق عليه)
      “Riwayat dari Ibnu ‘Umar bahwasannya ia mentalak istrinya pada masa Nabi Muhammad SAW dan istrinya dalam keadaan haid. Maka ‘Umar bin Khattab bertanyay kepada Rasulullah SAW tentang hal itu, maka Rasulullah SAW bersabda kepadanya: “Suruhlah olehmu supaya ia rujuk kepada istrinya itu, kemudian hendaklah dia teruskan pernikahan itu sehingga ia suci dari haid, kemudian haid kembali kemudian suci pula dari haid yang kedua itu. Kemudian jika ia menghendaki, ceraikan ia sebelum dicampuri. Demikian iddah yang diperintahkan Allah supaya perempuan ditalak ketika itu.”.”. (HR. al-Bukhari [5251][49] dan Muslim [1471][50]).
3)      Talak la sunni wala bid’i. Yaitu talak yang tidak termasuk kategori talak sunni dan tidak pula talak bid’i. Karena talak dijaatuhkan kepada istri yang belum pernah digauli atau istri yang belum pernah haid atau telah lepas haid atau talak yang dijatuhkan terhadap istri yang sedang hamil.[51]
            Ditinjau dari kemungkinan bolehnya suami kembali kepada mantan istrinya, talak itu ada dua macam:
1)      Talak Raj’iy, yaitu talak yang si suami diberi hak untuk kembali kepada istrinya tanpa melalui nikah baru, selama istrinya itu masih dalam masa iddah. Talak raj’iy itu adalah talak satu atau talak dua tanpa didahului tebusan dari pihak istri. Boleh ruju’ dalam talak satu atau dua itu dapat dilihat dari firman Allah SWT pada surat al-Baqarah [02] ayat 229:
ٱلطَّلَٰقُ مَرَّتَانِۖ فَإِمۡسَاكُۢ بِمَعۡرُوفٍ أَوۡ تَسۡرِيحُۢ بِإِحۡسَٰنٖۗ
229. Talak (yang dapat dirujuki) dua kali. Setelah itu boleh rujuk lagi dengan cara yang ma´ruf atau menceraikan dengan cara yang baik.
     Status hukum perempuan dalam masa talak raj’iy itu sama dengan istri dalam masa pernikahan dalam semua keadaannya, kecuali dalam satu hal, menurut sebagian ulama, yaitu tidak boleh bergaul dengan mantan suaminya. Bila dia berkehendak untuk kembali kepada mantan suaminya atau laki-laki yang ingin kembali kepada mantan istrinya dalam bentuk talak ini cukup mengucapkan rujuk kepada mantan istrinya itu. Dengan demikian talak raj’iy tidak dapat dikatakan putus perkawinan dalam arati sebenarnya.[52]
2)      Talak Bain, yaitu talak yang tidak memberikan hak merujuk bagi mantan suami terhadap mantan istrinya kecuali dengan nikah baru.[53]
Talak bain terbagi menjadi dua macam yaitu:
a.       Bain Sughro. Ialah talak yang suami tidak boleh ruju’ kepada mantan istrinya, tetapi ia dapat kawin lagi dengan nikah baru tanpa melalui muhallil. Yang termasuk bain sughro adalah sebagai berikut:
Pertama: talak yang dilakukan sebelum istri digauli oleh suami. Talak dalam bentuk ini tidak memerlukan iddah. Oleh karena tidak ada iddah, maka tidak ada kesempatan untuk ruju’, sebab ruju’ hanya dilakukan dalam masa iddah. Hal ini sesuai dengan firman Allah dalam surat al-Ahzab [33] ayat 49:
يَٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُوٓاْ إِذَا نَكَحۡتُمُ ٱلۡمُؤۡمِنَٰتِ ثُمَّ طَلَّقۡتُمُوهُنَّ مِن قَبۡلِ أَن تَمَسُّوهُنَّ فَمَا لَكُمۡ عَلَيۡهِنَّ مِنۡ عِدَّةٖ تَعۡتَدُّونَهَاۖ
49. Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu menikahi perempuan-perempuan yang beriman, kemudian kamu ceraikan mereka sebelum kamu mencampurinya maka sekali-sekali tidak wajib atas mereka ´iddah bagimu yang kamu minta menyempurnakannya.
Kedua: talak yang dilakukan dengan cara tebusan dari pihak istri atau yang disebut khulu’.
Ketiga: perceraian melalui putusan hakim di pengadilan atau yang disebut fasakh.[54]
Keempat: Talak karena aib (cacat badan), talak karena penganiayaan atau yang semacamnya.[55]
b.      Bain Kubra. Yaitu talak yang tidak memungkinkan suami ruju’ kepada mantan istrinya. Dia hanya boleh kembali kepada istrinya setelah istrinya itu kawin dengan laki-laki lain dan bercerai dengan laki-laki itu dan habis masa iddahnya. Yang termasuk dalam talak bain kubra adalah sebagai berikut:
Pertama: istri yang telah ditalak tiga kali atau talak tiga. Talak tiga dalam pengertian talak bain adalah talak tiga yang diucapkan secara terpisah dalam kesempatan yang berbeda antara satu dengan lainnya diselingi oleh masa iddah. Termasuknya talak tiga itu kedalam kelompok bain kubra itu adalah sebagaimana yang difirmankan Allah dalam surat al-Baqarah [02] ayat 230:
فَإِن طَلَّقَهَا فَلَا تَحِلُّ لَهُۥ مِنۢ بَعۡدُ حَتَّىٰ تَنكِحَ زَوۡجًا غَيۡرَهُۥۗ فَإِن طَلَّقَهَا فَلَا جُنَاحَ عَلَيۡهِمَآ أَن يَتَرَاجَعَآ إِن ظَنَّآ أَن يُقِيمَا حُدُودَ ٱللَّهِۗ
230. Kemudian jika si suami mentalaknya (sesudah talak yang kedua), maka perempuan itu tidak lagi halal baginya hingga dia kawin dengan suami yang lain. Kemudian jika suami yang lain itu menceraikannya, maka tidak ada dosa bagi keduanya (bekas suami pertama dan isteri) untuk kawin kembali jika keduanya berpendapat akan dapat menjalankan hukum-hukum Allah.
           Tentang talak tiga yang diucapkan sekaligus dalam satu kesempatan, menjadi perbincangan di kalangan ulama. Dalam hal ini terdapat empat pendapat di kalangan ulama:
           Pendapat pertama: talak tiga dalam satu ucapan itu tidak jatuh. Alasannya adalah karena dimasukkannya talak seperti ini kedalam talak bid’iy yang menurut kebanyakan ulama tidak jatuh sebagaimana keadaan talak dalam masa haid. Adapun yang menjadi alasan dimasukkannya ke dalam kategori talak bid’iy adalah kemarahan Nabi atas pelakunya, sebagai mana dalam hadits:
مَحْمُودَ بْنَ لَبِيدٍ قَالَ: أُخْبِرَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَنْ رَجُلٍ طَلَّقَ امْرَأَتَهُ ثَلَاثَ تَطْلِيقَاتٍ جَمِيعًا فَقَامَ غَضْبَانًا ثُمَّ قَالَ: «أَيُلْعَبُ بِكِتَابِ اللَّهِ وَأَنَا بَيْنَ أَظْهُرِكُمْ» حَتَّى قَامَ رَجُلٌ وَقَالَ: يَا رَسُولَ اللَّهِ أَلَا أَقْتُلُهُ  (رؤاه النسائي)
Mahmud bin Labid berkata: Nabi SAW telah memberitakan kepada saya tentang seorang laki-laki yang mentalak istrinya tiga kali dalam satu ucapan maka Nabi berdiri dalam keadaan marah kemudian bersabda: “Apakah kamu mempermainkan Kitabullah, sedangkan saya masih berada diantaramu”. Seorang laki-laki berdiri dan berkata: “ya Rasulullah kenapa tidak saya bunuh saja orang itu?”. (HR. al-Nasa’i [5564][56]).
            Pendapat kedua: Jumhur ulama mengatakan bahwa talak tiga sekaligus itu jatuh talak tiga, dan dengan sendirinya termasuk talak bain. Alasan yang digunakan golongan ini adalah ayat al-Qur’an yang disebutkan diatas. Mereka tidak memisahkan antara talak tiga dalam satu ucapan atau dilakukan secara terpisah.
            Pendapat ketiga: yang dipegang oleh ulama Zhahiriyah dan Syi’ah Imamiyah. Menurut golongan ini talak tiga dalam satu ucapan jatuh talak satu dalam kategori talak sunni. Ulama ini berdalil dengan hadis Nabi yang bunyinya:
عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ قَالَ: " كَانَ الطَّلَاقُ عَلَى عَهْدِ رَسُولِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَأَبِي بَكْرٍ وَسَنَتَيْنِ مِنْ خِلَافَةِ عُمَرَ طَلَاقُ الثَّلَاثِ وَاحِدَةً
Riwayat dari Ibnu Abbas ia berkata: “talak pada masa Nabi SAW, masa Abu Bakar, dan dua tahun masa Umar talak tiga itu yang jatuh adalah satu. (HR. Muslim [1472][57]).
            Pendapat keempat: merupakan pendapat sahabat Ibnu Abbas yang mengatakan bahwa seandainya talak tiga dalam satu ucapan itu dilakukan setelah terjadi pergaulan antara suami istri, mka yang jatuh adalah talak tiga, dan oleh karenanya termasuk talak bain kubra, namun bila diucapkan sebelum diantara keduanya terjadi hubungan kelamin yang jatuh hanyalah talak satu. Mereka berdalil dengan hadis riwayat Ibnu Abbas:
قَالَ ابْنُ عَبَّاسٍ: بَلَى " كَانَ الرَّجُلُ إِذَا طَلَّقَ امْرَأَتَهُ ثَلَاثًا قَبْلَ أَنْ يَدْخُلَ بِهَا جَعَلُوهَا وَاحِدَةً عَلَى عَهْدِ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَأَبِي بَكْرٍ وَصَدْرًا مِنْ إِمَارَةِ عُمَرَ فَلَمَّا رَأَى النَّاسَ قَدْ تَتَابَعُوا فِيهَا قَالَ: أَجِيزُوهُنَّ عَلَيْهِمْ "
Ibnu Abbas berkata: “menurut sepengetahuanku bila seorang laki-laki mentalak istrinya talak tiga sebelum digaulinya yang jatuh adalah talak saati pada masa Nabi SAW, dan Abu Bakar, dan permulaan kepemimpinan Umar, kemudian tatkala orang-orang melihat sering melakukan hal tersebut maka Umar berkata: terapkan talak tiga atas mereka”. (HR. Abu Dawud [2199][58]).
Kedua: istri yang bercerai dari suaminya melalui proses li’an. Berbeda dengan bentuk pertama mantan istri yang di-li’an itu tidak boleh sama sekali dinikahi, meskipun sesudah diselingi oleh adanya muhallil, menurut jumhur ulama. Hal ini secara lengkap akan dijelaskan pada tempatnya.[59]
            Talak ditinjau dari segi ucapan yang digunakan terbagi menjadi dua macam:
1)      Talak Tanjiz, yaitu talak yang dijatuhkan suami dengan menggunakan ucapan langsung tanpa dikaitkan kepada waktu, baik mengucapkan secara sharih atau kinayah, sebagaimana telah dijelaskan pada masalah shighat akad diatas.
2)      Talak ta’liq, yaitu talak yang dijatuhkan suami dengan menggunakan ucapan yang pelaksanaannya digantungkan kepada sesuatu yang terjadi kemudian. Baik menggunakan lafaz sharih maupun kinayah, sebagaimana telah dijelaskan pada masalah shighat akad diatas.
Talak ta’liq ini berbeda dengan taklik talak yang berlaku di beberpa tempat yang diucapkan oleh suami segera setelah ijab qabul dilaksanakan. Taklik talak itu adalah sebentuk perjanjian dalam perkawinan yang didalamnya disebutkan beberapa syarat yang harus dipenuhi oleh suami. Jika suami tidak memenuhinya, maka si istri yang tidak rela dengan itu dapat mengajukannya ke pengadilan sebagai alasan untuk perceraian.[60]
            Ditinjau dari segi siapa yang secara langsung mengucapkan talak itu, dibagi menjadi dua macam:
1)      Talak mubasyir, yaitu talak yang diucapkan sendiri oleh suami yang menjatuhkan talak, tanpa melalui perantara atau wakil.
2)      Talak tawkil, yaitu talak yang pengucapannya tidak dilakukan sendiri oleh suami, tetapi dilakukan oleh orang lain atas nama suami. Bila talak itu diwakilkan pengucapannya oleh suami kepada istrinya, seperti ucapan suami: “Saya serahkan kepadamu untuk mentalak dirimu”, secara khusus disebut talak tafwidh.[61]
E.     Talak Dalam UU No. 1 Tahun 1974
Talak atau putusnya perkawinan dijelaskan dalam pasal:
Pasal 38
Perkawinan putus karena: a. Kematian. b. perceraian. c. atas keputusan pengadilan.
Pasal 39
(1)   Perceraian hanya dapat dilakukan dalam sidang Pengadilan setelah pengadilan yang bersangkutan berusaha dan tidak berhasil mendamaikan kedua belah pihak.
(2)   Untuk melakukan perceraian harus ada cukup alasan, bahwa antara suami dan istri itu tidak akan dapat dalam peratutran.
(3)   Tata cara perceraian di depan sidang Pengadilan diatur dalam peraturan perundangan sendiri.
Pasal 40
(1) Gugatan perceraian diajukan kepada Pengadilan.
(2) Tatacara mengajukan gugatan tersebut pada ayat (1) pasal ini diatur dalam peraturan perundangan tersendiri.
Pasal 41
Akibat putusnya perkawinan karena perceraian ialah :
a. Baik ibu atau bapak tetap berkewajiban memelihara dan mendidik anak-anaknya, semata-mata berdasarkan kepentingan anak; bilamana ada perselisihan mengenai penguasaan anak-anak, Pengadilan memberi keputusannya;
b. Bapak yang bertanggung-jawab atas semua biaya pemeliharaan dan pendidikan yang diperlukan anak itu; bilamana bapak dalam kenyataan tidak dapat memenuhi kewajiban tersebut, Pengadilan dapat menentukan bahwa ibu ikut memikul biaya tersebut;
c. Pengadilan dapat mewajibkan kepada bekas suami untuk memberikan biaya penghidupan dan/atau menentukan sesuatu kewajiban bagi bekas isteri.[62]
F.     Talak Dalam Kompilasi Hukum Islam
Talak atau putusnya perkawinan dijelaskan dalam pasal:
Pasal 113
            Perkawinan dapat putus karena : a. Kematian, b. Perceraian, dan c. atas putusan Pengadilan.
Pasal 114
            Putusnya perkawinan yang disebabkan karena perceraian dapat terjadi karena talak atau berdasarkan gugatan perceraian.
Pasal 115
            Perceraian hanya dapat dilakukan di depan sidang Pengadilan Agama setelah Pengadilan Agama tersebut berusaha dan tidak berhasil mendamaikan kedua belah pihak.
Pasal 116
Perceraian dapat terjadi karena alasan atau alasan-alasan:
a.       Salah satu pihak berbuat zina atau menjadi pemabuk, pemadat, penjudi dan lain sebagainya yang sukar disembuhkan;
b.      Salah satu pihak mninggalkan pihak lain selama 2 (dua) tahun berturut-turut tanpa izin pihak lain dan tanpa alasan yang sah atau karena hal lain diluar kemampuannya;
c.       Salah satu pihak mendapat hukuman penjara 5 (lima) tahun atau hukuman yang lebih berat setelah perkawinan berlangsung;
d.      Salah satu pihak melakukan kekejaman atau penganiayaan berat yang membahayakan pihak lain;
e.       Salah satu pihak mendapat cacat badab atau penyakit dengan akibat tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai suami atau isteri;
f.        Antara suami dan isteri terus menerus terjadi perselisihan dan pertengkaran dan tidak ada harapan akan hidup rukun lagi dalam rumah tangga;
g.      Suami menlanggar taklik talak;
h.      Peralihan agama tau murtad yang menyebabkan terjadinya ketidak rukunan dalam rumah tangga.
Pasal 117
            Talak adalah ikrar suami di hadapan sidang Pengadilan Agama yang menjadi salah satu sebab putusnya perkawinan, dengan cara sebagaimana dimaksud dalam pasal 129, 130, dan 131.
Pasal 118
            Talak Raj`I adalah talak kesatu atau kedua, di mana suami berhak rujuk selamaisteri dalam masa iddah.
Pasal 119
(1)   Talak Ba`in Shughraa adalah talak yang tidak boleh dirujuk tapi boleh akad nikah baru dengan bekas suaminya meskipun dalam iddah.
(2)   Talak Ba`in Shughraa sebagaimana tersebut pada ayat (1) adalah :
a.       Talak yang terjadi qabla al dukhul
b.      Talak dengan tebusan atau khuluk;
c.       Talak yang dijatuhkan oleh Pengadilan Agama.
Pasal 120
            Talak Ba`in Kubraa adalah talak yang terjadi untuk ketiga kalinya. Talak jenis ini tidak dapat dirujuk dan tidak dapat dinikahkan kembali, kecuali apabila pernikahan itu dilakukan setelah bekas isteri, menikah degan orang lain dan kemudian terjadi perceraian ba`da al dukhul dan hadis masa iddahnya.
Pasal 121
            Talak sunny adalah talak yang dibolehkan yaitu talak yang dijatuhkan terhadap isteri yang sedang suci dan tidak dicampuri dalam waktu suci tersebut.
Pasal 122
            Talak bid`I adalah talak yang dilarang, yaitu talak yang dijatuhkan pada waktu isteri dalam keadaan haid atau isteri dalam keadaan suci tapi sudah dicampuri pada waktu suci tersebut.
Pasal 123
            Perceraian itu terjadi terhitung pada saat perceraian itu dinyatakan di depan sidang pengadilan.[63]










BAB III
PENUTUP
A.    Kesimpulan
-          Talak secara bahasa artinya melepaskan atau meninggalkan, secara terminologi Menghilangkan ikatan perkawinan atau mengurangi pelepasan ikatannya dengan menggunakan kata-kata tertentu.
-          Hukum melakukan talak yaitu: Wajib, apabila terjadi perselisihan atara suami istri, sedangkan dua hakim yang mengurus perkara keduanya sudah memandang perlu supaya keduanya bercerai. Sunnah, apabila suami tidak sanggup lagi membayar dan mencukupi kewajibannya (nafkahnya), atau perempuan tidak menjaga kehormatan dirinya. Makruh, apabila perselisihan suami istri itu menimbulkan permusuhan, menanam bibit kebencian antara keduanya atau terhadap kaum kerabat mereka, sehingga tidak ada jalan lain, sedangkan ikhtiar untuk perdamaian tidak dapat disambung lagi dan hanya talak jalan satu-satunya. Haram, apabila istri dalam keadaan haid.
-          Rukun talak yaitu: Suami, istri dan shighat talak.
-          Macam-macam talak yaitu:
a.       Ditinjau dari segi waktu dijatuhkannya talak itu, maka talak dibagi menjadi tiga macam: Talak Sunni, Talak Bid’i, dan Talak la Sunni wala Bid’i
b.      Ditinjau dari kemungkinan bolehnya suami kembali kepada mantan istrinya, talak itu ada dua macam: Talak Raj’i dan Talak Ba’in
c.       Talak ditinjau dari segi ucapan yang digunakan terbagi menjadi dua macam: Talak Tanjiz dan Talak Ta’liq.
d.      Ditinjau dari segi siapa yang secara langsung mengucapkan talak itu, dibagi menjadi dua macam: Talak Mubasyir dan Talak Tawkil.
-          Talak dalam UU No. 1 Tahun 1974 dijelaskan dalam pasal 38 sampai dengan pasal 41 dan dalam Kompilasi Hukum Islam dijelaskan dalam pasal 113 sampai dengan pasal 123.















DAFTAR PUSTAKA

            Abdurrahman. 2010. Kompilasi Hukum Islam di Indonesia. cet.IV. Jakarta: Akademika Pressindo.
            Alu Mubarak, Faishal bin Abdul Aziz. 2006. Bustanul Ahbar Mukhtashar Nail al Authar. Penterjemah: Amir Hamzah Fachruddin. Jakarta: Pustaka Azzam.
             Amsar, M. Muhajirin. 2014. Mishbah adz-Dzalam syarh Bulugh al-Maram min Adillah al-Ahkam. Jakarta: Darul Hadits.
            Bukhari, Al, Muhammad bin Isma’il. 1998. Shahih Bukhari. Beirut: Dar al-Kotob al-Ilmiyah.
            Ghazi, Al, Muhammad bin Qasim. 2003. Fath al-Qarib al-Mujib fi Syarh Alfad al-Taqriib. Jakarta: Dar al-Kutub al-Islamiyah.
            Ghozali, Abdul Rahman. 2003. Fiqh Munakahat. Jakarta: Kencana.
            Jaziry, Al, Abdul Rahman. 2003. al-Fiqh ‘ala Madzahib al-Arba’ah. Beirut: Dar al-Kotob al-Ilmiyah.
            Muslim, Abi Hasan. 2008. Shahih Muslim. Beirut: Dar al-Kotob al-Ilmiyah.
            Nasa’I, Al, Abi Abdul Rahman Ahmad bin Syua’ib. 2001. as-Sunan al-Kubra. Beirut: ar-Risalah.
            Quzwaini, Al, Abu Abdillah Muhammad bin Yazid. 1996. Sunan Ibnu Majah. Riyadh: Maktabah lilnatsir wa tauri’.
            Rasjid, Sulaiman. 2016. Fiqh Islam (Hukum Fiqh Lengkap). cet.LXXIII. Bandung: Sinar Baru Algesindo.
            Redaksi Sinar Grafika. 2006. Undang-undang Pokok Perkawinan. cet.VI .Jakarta: Sinar Grafika.
            Rusyd, Abul Wahid Muhammad bin Ahmad Ibnu. 2007. Bidayatul Mujtahid wa Nihayatul Muqtasid. Penterjemah: Imam Ghazali Sa’id. cet.III. Jakarta: Pustaka Amani.
            Sabiq, Sayyid. 2009. Fiqh as-Sunnah. Kairo: Dar El Hadits.
            Sijistani, Al, Abu Dawud. 2011. Sunan Abu Dawud. Beirut: Dar al-Kotob al-Ilmiyah.
            Syarbini, Al, Syamsuddin Muhammad bin Ahmad al-Khatib. 2010.  Mughnil Muhtaj ila Ma’rifati Ma’anil Alfadz al-Minhaj. Kairo: al-Quds.
            Syarifuddin, Amir. 2014. Hukum Perkawinan Islam di Indonesia. cet.V. Jakarta: Kencana.
            Tirmidzi, Al, Abi ‘Isa Muhammad bin Muhammad. al-Jami’ al-Kabir. Beirut: Dar al-Gharb al-Islamy.
            Zuhaili, Al, Wahbah. 2011. Fiqh Islam Wa Adillatuhu. Penerjemah: Abdul Hayyie al-Kattani dkk. Jakarta: Gema Insani.


                [1] Abdul Rahman Ghozali, Fiqh Munakahat, (Jakarta: Kencana, 2003), h.191
                [2] Wahbah Al Zuhaili, Fiqh Islam Wa Adillatuhu, Penerjemah: Abdul Hayyie al-Kattani dkk, (Jakarta: Gema Insani, 2011), Jilid 9, h. 318
                [3] Sayyid Sabiq, Fiqh as-Sunnah, (Kairo: Dar El Hadits, 2009), Jilid 2, h. 155
                [4] Abdul Rahman Al Jaziry, al-Fiqh ‘ala Madzahib al-Arba’ah, (Beirut: Dar al-Kotob al-Ilmiyah, 2003), Jilid 4, h. 248
                [5]Syamsuddin Muhammad bin Ahmad al-Khatib al-Syarbini, Mughnil Muhtaj ila Ma’rifati Ma’anil Alfadz al-Minhaj, (Kairo: al-Quds, 2010, Jilid 5, h. 443. Lihat pula Muhammad bin Qasim al-Ghazi, Fath al-Qarib al-Mujib fi Syarh Alfad al-Taqriib, (Jakarta: Dar al-Kutub al-Islamiyah, 2003), h. 62. Lihat pula M. Muhajirin Amsar, Mishbah adz-Dzalam syarh Bulugh al-Maram min Adillah al-Ahkam, (Jakarta: Darul Hadits, 2014), jilid 3, h.239.
                [6] Amir Syarifuddin, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia, cet. V, (Jakarta: Kencana, 2014), h. 198.
                [7] Sulaiman Rasjid, Fiqh Islam (Hukum Fiqh Lengkap), cet.LXXIII, (Bandung: Sinar Baru Algesindo, 2016), h. 402.
                [8] Wahbah Al Zuhaili, Fiqh Islam Wa Adillatuhu, Jilid 9, h. 323
                [9] Abi Abdul Rahman Ahmad bin Syua’ib an-Nasa’I, as-Sunan al-Kubra, (Beirut: ar-Risalah, 2001), jilid 5, h. 278.
                [10] Wahbah Al Zuhaili, Fiqh Islam Wa Adillatuhu, Jilid 9, h. 323
                [11] Sulaiman Rasjid, Fiqh Islam (Hukum Fiqh Lengkap), h. 402.
                [12] Abu Dawud as-Sijistani, Sunan Abu Dawud, (Beirut: Dar al-Kotob al-Ilmiyah, 2011), jilid 2, h.120.
                [13] Abu Abdillah Muhammad bin Yazid al-Quzwaini, Sunan Ibnu Majah, (Riyadh: Maktabah lilnatsir wa tauri’, 1996), h. 349.
                [14] Sulaiman Rasjid, Fiqh Islam (Hukum Fiqh Lengkap), h. 401.
                [15] Muhammad bin Isma’il al-Bukhari, Shahih Bukhari, (Beirut: Dar al-Kotob al-Ilmiyah, 1998), jilid 3, h. 478.
                [16] Abi Hasan Muslim, Shahih Muslim, (Beirut: Dar al-Kotob al-Ilmiyah, 2008), Jilid 2, h.384
                [17] Sulaiman Rasjid, Fiqh Islam (Hukum Fiqh Lengkap), h. 402.
                [18] Abdul Rahman Ghozali, Fiqh Munakahat, h. 201.
                [19] Abu Dawud as-Sijistani, Sunan Abu Dawud, jilid 2, h. 124.
                [20] Abu Abdillah Muhammad bin Yazid al-Quzwaini, Sunan Ibnu Majah, h. 353.
                [21] Abu Abdillah Muhammad bin Yazid al-Quzwaini, Sunan Ibnu Majah, h. 353.
                [22] Abdul Rahman Ghozali, Fiqh Munakahat, h. 202.
                [23] Abul Wahid Muhammad bin Ahmad Ibnu Rusyd, Bidayatul Mujtahid wa Nihayatul Muqtasid, Penterjemah: Imam Ghazali Sa’id, cet.III (Jakarta: Pustaka Amani, 2007), Jilid 2, h. 588-589
                [24] Amir Syarifuddin, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia, h. 209.
                [25] Abu Dawud as-Sijistani, Sunan Abu Dawud, jilid 2, h.125.
                [26] Abi ‘Isa Muhammad bin Muhammad at-Tirmidzi, al-Jami’ al-Kabir, (Beirut: Dar al-Gharb al-Islamy, 1996), Jilid 2, h. 476.
                [27] Abu Abdillah Muhammad bin Yazid al-Quzwaini, Sunan Ibnu Majah, h. 352
                [28] Amir Syarifuddin, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia, h.209-210.
                [29] Abul Wahid Muhammad bin Ahmad Ibnu Rusyd, Bidayatul Mujtahid wa Nihayatul Muqtasid, Penterjemah: Imam Ghazali Sa’id, Jilid 2, h. 588-589.
                [30] Abdul Rahman Ghozali, Fiqh Munakahat, h. 195.
                [31] Abul Wahid Muhammad bin Ahmad Ibnu Rusyd, Bidayatul Mujtahid wa Nihayatul Muqtasid, Penterjemah: Imam Ghazali Sa’id, Jilid 2, h. 589.
                [32] Muhammad bin Isma’il al-Bukhari, Shahih Bukhari, jilid 3, h. 479.
                [33] Abu Abdillah Muhammad bin Yazid al-Quzwaini, Sunan Ibnu Majah, h. 354.
                [34] Faishal bin Abdul Aziz Alu Mubarak, Bustanul Ahbar Mukhtashar Nail al Authar, Penterjemah: Amir Hamzah Fachruddin (Jakarta: Pustaka Azzam, 2006) Jilid 3, h. 578.
                [35] Amir Syarifuddin, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia, h. 211.
                [36] Abul Wahid Muhammad bin Ahmad Ibnu Rusyd, Bidayatul Mujtahid wa Nihayatul Muqtasid, Penterjemah: Imam Ghazali Sa’id, Jilid 2, h. 578.
                [37] Amir Syarifuddin, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia, h. 212.
                [38] Amir Syarifuddin, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia, h. 212.
                [39] Amir Syarifuddin, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia, h. 213.
                [40] Abul Wahid Muhammad bin Ahmad Ibnu Rusyd, Bidayatul Mujtahid wa Nihayatul Muqtasid, Penterjemah: Imam Ghazali Sa’id, Jilid 2, h. 582.
                [41] Amir Syarifuddin, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia, h. 213.
                [42] Abdul Rahman Ghozali, Fiqh Munakahat, h. 205.
                [43] Sayyid Sabiq, Fiqh Sunnah, Jilid 2, h. 170
                [44] Amir Syarifuddin, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia, h. 218.
                [45] Abul Wahid Muhammad bin Ahmad Ibnu Rusyd, Bidayatul Mujtahid wa Nihayatul Muqtasid, Penterjemah: Imam Ghazali Sa’id, Jilid 2, h. 546.
                [46] Abdul Rahman Ghozali, Fiqh Munakahat, h. 194.
                [47] Sayyid Sabiq, Fiqh Sunnah, Jilid 2, h. 171.
                [48] Amir Syarifuddin, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia, h. 218.
                [49] Muhammad bin Isma’il al-Bukhari, Shahih Bukhari, Jilid 3, h. 478.
                [50] Abi Hasan Muslim, Shahih Muslim, Jilid 2, h.384
                [51] Abdul Rahman Ghozali, Fiqh Munakahat, h. 194
                [52] Amir Syarifuddin, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia, h. 221.
                [53] Abdul Rahman Ghozali, Fiqh Munakahat, h. 198.
                [54] Amir Syarifuddin, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia, h. 222.
                [55] Abdul Rahman Ghozali, Fiqh Munakahat, h. 198.
                [56] Abi Abdul Rahman Ahmad bin Syua’ib an-Nasa’I, as-Sunan al-Kubra, jilid 5, h. 252.
                [57] Abi Hasan Muslim, Shahih Muslim, Jilid 2, h. 388.
                [58] Abu Dawud as-Sijistani, Sunan Abu Dawud, jilid 2, h.127
                [59] Amir Syariuddin, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia, h. 225.
                [60] Amir Syariuddin, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia, h. 226.
                [61] Amir Syarifuddin, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia, h. 226.
                [62] Redaksi Sinar Grafika, Undang-undang Pokok Perkawinan, cet.VI (Jakarta: Sinar Grafika, 2006) h. 12-13.
                [63] Abdurrahman, Kompilasi Hukum Islam, cet. IV, (Jakarta: CV Akademika Pressindo, 2010), h. 140-142

Tidak ada komentar:

Posting Komentar