BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakanng
Sebagaimana disebutkan dalam Al-Qur’an, manusia merupakan makhluk
Allah yang dikaruniai sejumlah karamah (kemuliaan) serta bentuk fisik yang
melebihi makhluk lain, sebagaimana firman Allah dalam Q.S al-Isra: 70 yang artinya:
“Dan sungguh telah kami muliakan anak-anak Adam, kami angkat mereka di
daratan dan lautan”. Kemuliaan ini terutama ditandai dengan pemberian akal
(rasio), dengan kemampuan akal ini manusia bisa berkembang dengan pesat jauh
meninggalkan makhluk lain. Namun, disamping kelebihan-kelebihan ini manusia
juga memiliki keterbatasan atau kelemahan-kelemahan tertentu, sebagaimana
firman Allah dalam Q.S an-Nisaa: 28 yang artinya “Manusia itu diciptakan
dalam kondisi lemah”. Karena itu manusia masih tetap memerlukan petunjuk
dari Allah, baik dalam bentuk pedoman wahyu maupun dalam jawaban terhadap doa
seseorang kepada-Nya.
Dengan modal akal yang diberikan Allah, manusia memiliki kemampuan
untuk merumuskan fenomena yang terdapat dalam kehidupan ini, sebagaimana disebutkan
dalam hadits: “Engkau lebih mengetahui tentang urusan-urusan keduniaanmu”. Namun
demikian hal ini bukan berarti manusia bebas memutuskan apa saja tanpa
menghiraukan norma-norma dan etika Islam.
Dengan kerangka dasar diatas, Islam tidak hanya merupakan sistem
keoercayaan dan sistem ibadah, tetapi juga sistem kemasyarakatan, sehingga ia
lebih tepat disebut sebagai way of life bagi pemeluknya. Hal ini
dibuktikan dengan kenyataan bahwa Nabi Muhammad tidak hanya sebagai nabi,
tetapi juga sebagai seorang kepala negara. Demikian pula empat orang
penggantinya, al-Khulafa ar-Rasyidun, adalah pemimpin agama dan
sekaligus pemimpin negara secara terintegrasi. Ayat Al-Qur’an tentang aspek
kemasyarakatan dan kenegaraan memang terbatas dna hanya dalam garis besar saja.
Para ulamalah yang kemudian berupaya melakukan ijtihad tentang berbagai
persoalan kehidupan bernegara, yang tentu saja banyak juga dipengaruhi oleh
latar belakang sosial dan politik masing-masing, sehingga terdapat perbedaan
diantara satu ulama dengan lainnya, terutama antara masa klasik dengan masa
kontemporer.[1]
Oleh karena itu, kami berusaha mengkaji lebih jauh tentang
kehidupan bermasyarakat khususnya bernegara yang dalam kajian ilmu fiqh disebut
sebagai fiqh siyasah. Hal ini kami harapkan dapat dijadikan acuan bagi
rekan-rekan kami khususnya dan bagi masyarakat pada umumnya.
B.
Rumusan Masalah
Berhubungan pembahsan tentang fiqh
siyasah sangat luas maka dalam tulisan ini kami batasi hanya pada pembahasan
tentang pengertian siyasah syar’iyyah, pengertian fiqh siyasah, ruang lingkup pembahasan
fiqh siyasah dan sejarah perkembangan fiqh siyasah. Maka, kami rumuskan
beberapa masalah yaitu:
1.
Apa
yang dimaksud siyasah syar’iyyah?
2.
Apa
yang dimaksud fiqh siyasah?
3.
Apa
saja ruang lingkup pembahasan fiqh siyasah?
4.
Bagaimana
sejarah perkembangan fiqh siyasah?
C.
Tujuan
Adapun tujuan dari penulisan makalah ini adalah mencoba untuk
memberikan informasi kepada rekan-rekan kami pada khususnya dan kepada
masyarakat pada umumnya tentang pengertian siyasah syar’iyyah dan fiqh siyasah,
serta ruang lingkup dan sejarahnya.
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian Siyasah Syar’iyyah
Siyasah berasal dari bahasa Arab
yaitu:
سَاسَ –
يَسُوْسُ – سِيَاسَةً
“Mengatur kaum; memerintah dan meimpinnya”.
Oleh karena itu, berdasarkan pengertian harfiyah, kata as
siyasah berarti: pemerintahan, pengambilan keputusan, pembuatan kebijakan,
pengurusan, pengawasan, perekayasaan dan arti-arti lainnya.[2] Dalam pengertian harfiah
ini mengisyaratkan bahwa tujuan siyasah adalah mengatur, mengurus, membuat
kebijaksanaan atas sesuatu yang bersifat politis untuk mencakup sesuatu.[3]
Secara tersirat, dalam pengertian al-siyasah, terkandung
dua dimensi yang berkaitan satu sama lain:
a. Tujuan yang hendak dicapai melalui proses pengendalian.
b. Cara pengendalian menuju tujuan tersebut.
Oleh karena itu, al-siyasah
pun diartikan:
وَ
السِّيَاسَةُ الْقِيَامِ عَلَى شَيْءِ بِمَا يُصْلِحُهُ
Al-Maqrizzy
menyatakan, siyasah berasala dari bahasa Mongol, yakni dari kata yasah yang
mendapat imbuhan huruf sin berbaris kasrah diawalnya sehingga dibaca siyasah.
Ibn Taghri
Birdi, siyasah berasal dari campuran tiga bahasa, yakni Persia, Turki,
dan Mongol. Partikel si dalam bahasa Persia berarti 30. Sedangakan yasa
merupakan kosakata bahasa Turki dan Mongol yang berarti larangan, dan
karena itu, ia dapat juga dimaknai sebagai hukum atau aturan.
Ibnu Manzhur
menyatakan, siyasah berasal dari bahasa Arab, yakni bentuk mashdar dari
tashrifan kaya sasa-yasusu-siyasatan, yang semula berarti mengatur,
memelihara, atau melatih binatang, khususnya kuda. Sejalan dengan makna yang
disebut terakhir ini, seseorang yang profesinya sebagai pemelihara kuda, dalam
bahasa Arab disebut sa’is. Kata sa’is yang berarti pemelihara
kuda ini sekarang telah masuk kedalam kosa kata bahasa Inggris yang ditulis syce.
Dalam litelatur Yahudi juga ada penggunaan istilah yang agak mirip dengan
makna awal dari kata sasa itu yakni istilah sus yang berarti
kuda.[5]
Sedangkan secara
terminologis, banyak definisi siyasah yang dikemukakan oleh para yuris
Islam diantaranya:
Abdul Wahab
Khallaf mendefinisikan, bahwa siyasah adalah perundangan yang diciptakan untuk
memelihara ketertiban dan kemaslahatan serata mengatur keadaan.
Louis Ma’luf
memberikan batasan siyasah adalah membuat kemaslahatan manusia dengan
membimbing mereka ke jalan keselamatan.
Ibnu Manzhur
mendefinisikan, siyasah adalah mengatur atau memimpin sesuatu yang mengantarkan
manusia kepada kemaslahatan.[6]
Menurut Abu
al-Wafa Ibnu ‘Aqil: “Siyasah adalah suatu tindakan yang dapat mengantar rakyat
lenih dekat kepada kemaslahatan dan lebih jauh dari kerusakan, sekalipun
Rasulullah tidak menetapkannya dan Allah juga tidak menurunkan wahyu untuk
mengaturnya.[7]
Ibnu ‘Abid
al-Diin, sebagaimana dikurip Ahmad Fathi Bahantsi, memberi batasan: “Siyasah
adalah kemaslahatan untuk manusia dengan menunjukkannya kepada jalan yang
menyelamatkan, baik di dunia maupun di akhirat. Siyasah berasal daripada Nabi
SAW, baik secara khusus maupun secara umum, baik secara lahir maupun secara
batin. Segi lahir siyasah berasal dari para pemegang kekuasaan bukan dari
ulama; sedangkan secara bathin siyasah berasal dari ulama pewaris Nabi bukan
dari pemegang kekuasaan.[8]
Dalam redaksi
berbeda Husein Fauzy al-Najjar mendefinisikan, siyasah berarti pengaturan
kepentingan dan pemeliharaan rakyat serta pengambilan kebijakan (yang tepat)
demi menjamin terciptanya kebaikan bagi mereka.[9]
Sedangkan syar’iyyah
yang berasal dari kata syariah yang secara etimologis berarti “jalan ke tempat
pengairan” atau “jalan yang harus diikuti”, atau “tempat lalu air di sungai”.
Arti terakhir ini digunakan orang Arab sampai sekarang.[10]
Asy-Syatibi
dalam al-Muwafaqaat menulis: “Syariah adalah ketentuan ketentuan yang membuat
batasan-batasan bagi para mukallaf baik mengenai perbuatan, perkataan, dan
i’tiqad mereka. Itulah kandungan syari’at Islam”.[11]
Mahmud Syaltut
dalam Islam, Akidah dan Syariah menulis: “Syariah adalah sebutan bagi berbagai
peraturan dan hukum yang telah disyariatkan Allah atau disyariatkan
prinsip-prinsipnya, lalu diwajibkan-Nya kepada kaum muslimin agar berpegang
teguh pada syariat tersebut dalam melakukan hubungan dengan Allah dan antar
manusia.[12]
Dari penjelasan
diatas dapat ditarik kesimpulan bahwa syariat adalah hukum-hukum yang bersifat
amaliah, sebagaimana didefinisikan oleh para ulama:
خطاب
الشارع المتعلق بأفعال المكلفين بالإقتضاء او التخيير او الوضع
Ketentuan Allah yang berhubungan dengan
perbuatan mukallaf, berupa perintah melakukan sesuatu perbuatan, pemilihan atau
menentukan sesuatu sebagai syarat, sebab, atau penghalang.
Setelah
diuraikan definisi siyasah dan syariah, baik secara etimologis maupun
terminologis, dapat disimpulkan bahwa siyasah syar’iyyah yaitu ketentuan
kebijaksanaan pengurusan masalah kenegaraan yang berdasarkan syariat.
Abdul Wahab
Khallaf merumuskan siyasah syar’iyyah dengan: “Pengelolaan masalah-masalah umum
bagi pemerintahan Islam yang menjammin terciptanya kemaslahatan dna
terhindarnya kemudharatan dari masyarakat Islam, dengan tidak bertentangan
dengan keputusan syariat Islam dan prinsip-prinsipnya yang umum, meskipun tidak
sejalan dengan pendapat para ulama mujtahid”.
Khallaf
menjelaskan bahwa yang dimaksudkan dengan masalah umum umat Islam adalah segala
hal yang membutuhkan pengaturan dalam kehidupan mereka, baik dibidang perundang-undangan,
keuangan dan moneter, peradilan, eksekutif, masalah dalam negeri maupun
hubungan internasional.
Definisi ini
lebih dipertegas lagi oleh Abdurrahman Taj yang merumuskan siyasah
syar’iyyah sebagai hukum-hukum yang mengatur kepentingan negara,
mengorganisasi permasalahan umat sesuai dengan jiwa syariat dan dasar-dasarnya
yang universal demi terciptanya tujuan-tujuan kemasyarakatan, walaupun
pengaturan tersebut tidak ditegaskan baik oleh Al-Qur’an maupun al-Sunnah.
Bahansi
merumuskan bahwa siyasah syar’iyyah adalah pengaturan kemaslahatan umat manusia
sesuai dengan ketentuan syara’.
Para fuqaha, sebagaimana
dikutip Khallaf, mendefinisikan siyasah syar’iyyah sebagai kewenangan penguasa
/pemerintah untuk melakukan kebijakan-kebijakan politik yang mengacu kepada
kemaslahatan melalui peraturan yang tidak bertentangan dengan dasar-dasar
agama, walaupun tidak terdapat dalil-dalil yang khusus untuk itu.
Dengan
menganalisis definisi-definisi yang dikemukakan para ahli diatas dapat
ditemukan hakikat siyasah syar’iyyah, yaitu:
1.
Siyasah
syar’iyyah berhubungan dengan pengurusan dan pengaturan kehidupan manusia.
2.
Pengurusan
dan pengaturan ini dilakukan oleh pemegang kekuasaan (ulul amri).
3.
Tujuan
pengaturan tersebut adalah untuk menciptakan kemaslahatan dan menolak
kemudharatan (jalb al-mashalih wa daf’ al-mafasid).
4.
Pengaturan
tersebut tidak boleh bertentangan dengan roh atau semangat syariat Islam yang
universal.
Jika diringkas,
maka suatu kebijjaksanaan politik dalam sebuah negara dapat menjadi siyasah syar’iyyah
bila sesuai dengan prinsip-prinsip syariat Islam dan menghargai hak-hak manusia
yang paling asasi. [13]
B. Pengertian Fiqh Siyasah
Fiqh menurut bahasa, berarti paham
atau tahu, atau pemahaman yang mendalam, yang menumbuhkan pengerahan
potensi akal. Pengertian ini dapat ditemukan dalam Q.S Thaha ayat 27-28, yang
berbunyi:
وَٱحۡلُلۡ
عُقۡدَةٗ مِّن لِّسَانِي ٢٧ يَفۡقَهُواْ
قَوۡلِي ٢٨
Dan lepaskanlah kekakuan dari lidahku, supaya mereka mengerti
perkataanku (Q.S Thaha (20) : 27-28)
Pengertiah fiqh secara etimologi,
juga ditemukan dalam sabda Rasulullah SAW, yang berbunyi:
مَنْ
يُرِدِ اللهُ بِهِ خَيْرًا يُفَقِّهُ فِى الدِّيْنٍ ……
Siapa orang yang Allah kehendaki menjadi baik maka Allah akan
memberikan dia pemahaman terhadap agama. (HR.
Bukhari NO 71).[14]
Menurut istilah sebagaimana dikemukakan oleh
Sayyid Al-Jurjany, bahwa fiqh adalah:
الْعِلْمُ
بِالْأَحْكَامِ الشَّرْعِيَّةِ الْعَمَلِيَّةِ مِنْ أَدِلَّةِهَا
التَّفْصِيْلِيَّةِ
Abu
Hanifah mendefinisikannya sebagai: “Pengetahuan diri seseorang tentang apa yang
menjadi hak nya, dan apa yang menjadi kewajibannya –atau dengan kata lain-
pengetahuan seseorang tentang apa yang menguntungkan dan apa yang merugikannya.[16]
Al-Amidi mendefinisikan fiqh yang berbeda dengan definisi
diatas, yaitu : “Ilmu tentang seperangkat hukum-hukum syara’ yang bersifat
furu’iyyah yang berhasil didapatkan melalui penalaran atau istidlal”.
Dengan
menganalisis kedua definisi diatas dapat ditemukan hakikat dari fiqh, yaitu :
a.
Fiqh itu adalah ilmu tentang hukum Allah.
b.
Yang dibicarakan adalah hal-hal yang bersifat
amaliah furu’iyah.
c.
Pengetahuan tentang hukum Allah itu didasarkan
kepada dalil tafsili.
d.
Fiqh itu digali dan ditemukan melalui
penalaran dan istidlal seorang mujtahid atau faqih.
Dengan demikian secara ringkas dapat dikatakan, “Fiqh adalah dugaan kuat
yang dicapai seorang mujtahid dalam usahanya menemukan hukum Allah.”.[17]
Fiqh mencakup berbagai aspek
kehidupan manusia. Di samping mencakup pembahasan tentang hubungan antara
manusia dengan Tuhannya (ibadah), fiqh juga membicarakan aspek hubungan antara
sesama manusia secara luas (muamalah). Aspek muamalah ini pun dapat dibagi lagi
menjadi jinayah, munakahat, mawaris, murafa’at, siyasah, al-ahkam
al-dauliyah.[18]
Adapaun definisi siyasah baik secara
etimologis maupun terminologis sudah kami paparkan secara rinci pada pengertian
siyasah syar’iyyah yang lalu.
Dari paparan pengertian fiqh dan
pengertian siyasah dapat disimpulkan bahwa fiqh siyasah yaitu bagian dari
pemahaman ulama mujtahid tentang hukum syariat yang berhubungan dengan
permasalahan kenegaraan.
Mengenai perbedaan fiqh siyasah
dengan siyasah syar’iyyah, di kalangan para pakar fiqh siyasah terjadi
perbedaan pendapat. Satu pendapat menyatakan fiqh siyasah itu merupakan sinonim
bagi siyasah syar’iyyah. Pendapat lain menyatakan bahwa fiqh siyasah berbeda
dengan atau bukan merupakan sinonim siyasah syar’iyyah karena keduanya memiliki
perbedaan yang kontras. Dari pendapat tersebut yang paling tepat agaknya
pendapat kedua. Argumentasinya, fiqh siyasah merupakan teori-teori politik atau
ketatanegaraan dalam prespektif Islam yang merupakan produk ulama swasta yang
tercantum dalam berbagai macam kitab atau buku fiqh siyasah semisal dalam kitab
al-Ahkam al-Shulthaniyyah buah karya al-Mawardi, dan karena itu, ia
tidak bersifat mengikat dan memaksa selama belum diangkat menjadi sebuah
undang-undang. Dalam kaitan ini, fiqh siyasah sama statusnya dengan fiqh pada
umumnya, yakni sama-sama tidak memiliki kekuatan hukum yang mengikat dan
memaksa untuk dipatuhi atau ditaati selama belum diadopsi menjadi
undang-undang. Sebaliknya, siyasah syar’iyyah merupakan berbagai peraturan yang
dilahirkan oleh umara dan atau ulama negeri dalam bentuk berbagai peraturan
perundang-undangan (qawanin), semisal konstitusi, dan lain-lain, yang bersifat
mengikat dan memaksa, sehingga siapa pun yang melanggar atau tidak mematuhinya
akan dikenakan sanksi sesuai aturan yang berlaku. Dengan kata lain, yang
berwenang menyusun siyasah syar’iyyah adalah umara atau ulama negeri yang duduk
di lembaga legislatif, bukan ulama swasta yang tidak memiliki otoritas politik
untuk menyusun qanun. Hal ini relevan dengan pendapat Abdul Wahab Khallaf yang
menyatakan bahwa pengertian siyasah syar’iyyah adalah sebagai berikut:
“Otoritas pemerintah untuk membuat kebijakan yang dikehendaki kemaslahatan,
melalui aturan yang tidak bertentangan dengan agama, meskipun tidak ada dalil
tertentu”.[19]
C. Ruang Lingkup Fiqh Siyasah
Terjadi perbedaan pendapat di
kalangan ulama dalam menentukan ruang lingkup kajian fiqh siyasah. Diantaranya
ada yang membagi menjadi 5 bidang, ada yang menetaokan 4 bidang atau 3 bidang
pembahsaan. Bahkan ada sebagian ulama yang membagi ruang lingkup kajian fiqh
siyasah menjadi delapan bidang. Namun perbedaan ini tidaklah terlalu prinsip,
karena hanya bersifat teknis.
Menurut Imam al-Mawardi, didalam
kitabnya yang berjudul al-Ahkam al-Shulthaniyyah, ruang lingkup kajian fiqh siyasah
mencakup kebijaksanaan pemerintah tentang siyash dusturiyah (peraturan
perundang-undangan), siyasah maaliyah (ekonomi dan moneter), siyasah
qadhaiyyah (peradilan), siyasah harbiyyah (hukum perang) dan siyasah
iddariyah (administrasi negara).[20]
Menurut Imam Ibn Taimiyyah
meringkasnya menjadi 4 bidang kajian, yaitu siyasah qadhaiyyah (peradilan),
siyasah iddariyah (administrasi negara), siyasah maaliyah (ekonomi
dan moneter), siyasah dauliyah/siyasah kharijiyyah (hubungan
internasional).[21]
Abd al-Wahab Khallaf didalam
kitabnya yang berjudul al-siyasah al-Syar’iyyah lebih mempersempitnya
menjadi 3 bidang kajian saja, yaitu peradilan, hubungan internasional dan
keuangan negara.
Berbeda dengan tiga pemikir diatas,
salah satu ulama terkemuka di Indonesia T.M. Hasbi Ash-Shiddieqy malah membagi
ruang lingkup fiqh siyasah menjadi delapan bidang, yaitu:
1.
Siyasah
Dusturiyyah Syar’iyyah (Politik
Pembuatan Undang-Undang).
2.
Siayash
Tasyri’iyyah Syar’iyyah (Politik
Hukum).
3.
Siyash
Qadha’iyyah Syar’iyyah (Politik
Peradilan).
4.
Siyasah
Maaliyah Syar’iyyah (Politik Ekonomi dan Moneter).
5.
Siyasah
Iddariyah Syar’iyyah (Politik Administrasi Negara).
6.
Siyasah
Dauliyyah/Siyasah Kharijiyyah Syar’iyyah (Politik
Hubungan Internasional).
7.
Siyasah
Tanfidziyyah Syar’iyyah (Politik Pelaksanaan
Perundang-undangan).
8.
Siyasah
Harbiyyah Syar’iyyah (Politik Peperangan).
Berdasarkan perbedaan pendapat diatas, pembagian fiqh siyasah dapat
disederhanakan menjadi 3 bagian pokok. Pertama, politik
perundang-undangan (Siyasah Dusturiyyah). Bagian ini meliputi pengkajian
tentang penetapan hukum (Tasyri’iyyah) oleh lembaga legislatif,
peradilan (Qadhaiyyah) oleh lembaga yudikatif, dan administrasi
pemerintahan (iddariyyah) oleh birokrasi atau eksekutif. Kedua, politik
luar negeri (Siyasah Dauliyyah/Siyasah Kharijiyyah). Bagian ini mencakup
hubungan keperdataan antara warga negara yang Muslin dengan warga negara
non-Muslim yang berbeda kebangsaan (as-Siyasah al-Duali al-Khashsh) atau
disebut juga hukum perdata internasional dan hubungan diplomatik antara negara
Muslim dengan negara non-Muslim (as-Siyasah al-Duali al-amm) atau
disebut juga hubungan internasional. Sedangkan dalam masa perang (Siyasah
Harbiyyah) menyangkut antara lain tentang dasar-dasar diizinkannya
berperang, pengumuman perang, etika berperang, tawanan perang, dan gencatan
senjata. Ketiga, politik keuangan dan moneter (Siyasah Maaliyah), antara
lain membahas sumber-sumber keuangan negara, pos-pos pengeluaran dan belanja
negara, perdaganan internasional, kepentingan/hak-hak publik, pajak, dan
perbankan.[22]
D. Sejarah Perkembangan Fiqh
Siyasah
Pemikiran politik Islam berkembang
secara luas tak lain karena berbagai peristiwa penting sejak Rasulallah hijrah
ke Madinah. Di Madinah berbagai hubungan sosial dijabarkan oleh Rasulallah,
yang menyangkut kehidupan internal umat Islam dan hubungan dengan kelompok
agama dan suku lain dalam membangun Madinah. Praktik kehidupan
Rasulallah,bersama para sahabatnya di Madinah telah membuka jalan baru bagi
umat Islam untuk mengambil substansi ajaran sosial dan politik. Piagam Madinah
merupakan kontrak rasulallah bersama komunitas Madinah, yang berbeda-beda suku
dan agama untuk membangun Madinah dalam pluralitas. Tidak lain, Piagam Madinah
menjadi konstitusi pertama yang secara brilian mampu menempatkan suku dan agama
dinaungi dalam perjnjian bersama.
Setelah wafatnya
Rasulallah SAW, muncul peristiwa penting, yakni pertemuan antara kelompok
Anshar dan Muhajirin yang membicarakan siapa pengganti Rasulallah di saqifah
yang pada gilirannya politik islam tentang siapa yang berhak menggantikan
Rasulullah dalam kepemimpinan agama dan politik. Permasalahan awal setelah
wafatnya Rasulullah tentang siapa pengganti Rasulullah membuktikan bahwa sejak
awal karakter yang diperlihatkan umat Islam begitu serius dalam membicarakan persoalan
politik. Sehingga antara kaum Anshar dan Muhajirin begitu alot berdebat di
saqifah Bani Sai’dah karena masing-masing kelompok merasa layak menjadi
pengganti Rasulullah.
Kemudian berbagai
peristiwa politik dalam proses penggantian kekuasaan yang diperlihatkan oleh
Abu Bakar Siddiq, Umar bin Khattab, Utsman bin Affan, dan Ali bin Abu Thalib
menjadi sejarah penting bagi umat Islam. Proses penggantian kekuasaaan yang
tidak sama masing-masing periode kekuasaan (Abu Bakar dipilih dengan jalan
musyawarah terbatas antara kelompok Muhajirin danAnshar, Umar ditunjuk oleh Abu
Bakar Siddiq, Utsman bin Affan menjadi khalifah berdasarkan musyawarah tim
formatur, dan Ali bin Abi Thalib menjadi khalifah dalam situasi politik yang
terpecah-pecah dan hanya dibaiat oleh sebagaian kelompok umat Islam) telah
memunculkan perdebatan tentang mekanisme apa yang harusnya dilakukan untuk
menggani penguasa. Perdebatan ini menyangkut mekanisme dan system politik yang
dipraktikkan oleh Islam.
Yang paling menegangkan
dalam sejarah Islam adalah peristiwa tahkim yang terjadi antara Ali bin
Abi Thalib dengan Muawwiyah bin Abi Sufyan yang menjadi puncak perdebatan
politik dikalangan umat Islam. Perebutan kekuasaan antara Ali bin Abi Thalib
dengan Muawwiyah bin Abi Sufyan telah melahirkan pesoalan teologis yang sangat
kuat (kafir dan mengkafirkan). Lahirlah aliran aliran teologi yang sebelumnya
tidak pernah ada di masa Rasulullah dan al-khulafa al-rasidin, seperti
Khawarij, Mu’tazilah, Ahlussunnah wal jama’ah dan Murji’ah.
Peristiwa-peristiwa
penting yang terjadi di kalangan umat Islam telah melahirkan
pemikiran-pemikiran politik di masa-masa selanjutnya, yang merupakn respons
terhadap peristiwa dan hasil refleksi para pemikir politik. Munculnya sejumlah
pemikir politik Islam seperti Ibn Abi Rabi’, al-Mawardi, al-Ghazali, al-Farabi,
ibn Taymiyah, Ibn-Khaldun, dan Syan Waliyullah al-Dahlawi.
Pemikiran politik Islam
terbagi dalam tiga periode besar, yakni periode klasik, pertengahan, dan
modern. Periode klasik berlangsung sejak abad ke-7 hingga abad ke-13 (1258M),
periode pertengahan yang berlngsung sejak abad ke-14 hingga abad ke-19 (periode
kejatuhan Abasiyah hingga zaman kolonialisme), dan periode modern yang
berlangsung sejak abad ke-19 (kolonialisme) hingga sekarang.
1.
Periode
Klasik
Masa ini merupakan masa ekpensi,
integrasi dan keemasan Islam. Masa awal pada periode ini, yang dimulai di masa
Nabi Muhammad SAW merupakan masa di masa seluruh semenanjung Arabia telah
tunduk di bawah kekuasaan Islam. Ekspensi ke daerah-daerah luar Arabia dimulai
di zaman khalifah pertama Abu Bakar Ash-Shiddiq hingga masa kekuasaan Bani
Umayyah dan Dinasti Abbasiyyah sebagai pucak kejayaan Islam. Penting pula
dicatat bahwa di periode ini disintegrasi Islam di bidang politik sebenarnya
telah terjadi pada akhir zaman Bani
Umayyah dan memuncak di zaman Bani Abbasiyyah, terutama setelah
khalifah-khalifah menjadi boneka ditangan tentara pengawal. Daerah-daerah yang
jauh letaknya dari pusat pemerintahan Damaskus dan kemudia Baghdad melepaskan
diri dari kekuasaan khalifah di pusat pemerintahan dan bemunculan
dinasti-dinasti kecil.
Pada masa awal-awal Islam hingga
Dinasti Umayyah (661-750 M), pemikiran politik islam belum begitu kuat muncul
dikalangan intelektual Islam, meskipun sudah ada gerakan oposisi dari kelompok
Khawarij dan Syi’ah. Hal ini disebabkan oleh konsentrasi Dinasti Umayyah yang
lebih banyak berorientasi pada pengembangan kekuasaan, Brulah pada masa Dinasti
Abbasiyah, pemikiran politik Islam dikembangkan oleh sejumlah pemikiran politik
Islam seiring dengan prestasi intelektual Dinasti Abbasiyah yang telah berhasil
mengemba ngkan ilmu pengetahuan dan berbagai bidang.
Dibawah Dinasti Abbasiyah, ilmu
pengetahuan mengalami keeasan sastra, terkumpulnya Shahih Bukhari dan Muslim,
munculnya empat imam madzab fiqh. Periode ini merupakan puncak peradaban
Islam yang tertinggi dan mempunyai pengaruh
bagi perdaban di Barat.
Para intelektual yang muncul di periode klasik ini adalah:
1.
Ibn
Abi Rabi’ (833-842 M) yang menulis suluk al- Malik fi Tadbir al-Mamalik (perilaku
Raja dalam pengelolahan Kerajaan-Kerajaan).
2.
Al-Farabi
i (870-950 M) yang menulis Ara Ahl al-Madinah al-fadhilah (pandangan-pandangan
para penghuni Negara Utama).
3.
A-Mawardi
(975-1059 M ) yang menulis Al-Ahkam al-sulthaniyah fi al-wilayah al-Diniyah (peraturan-peraturan
pemerintahan).
4.
Al-ghazali
(1058-1111 M) menulis Ihya Ulum al-Din (menghidupkan kembali Ilmu-Ilmu Agama),
Al-Tibr al-Masbuk fi Nashihah al-Mulk (Batangan Logam Mulia tentang Nasihat
untuk Raja), Al-Iqtishad fi al-I’tiqad (Moderasi dalam Kepercayaan), dan
Kimiya-yi sa’adah.
Ada beberapa yang menonjol dari
pemikiran politik Islam di zaman klasik. Pertama, adanya pengaruh alam
pikiran Yunanni, terutama pandangan Plato tentang asal-usul Negara, meskipun
kadar pengaruhnya tidak sama. Kedua, pemikiran politik yang berkembang
lebih banyak berpijak kondisi real (realistic) sosial-politik.
2.
Periode
Pertengahan
Periode pertengahan dibagi dalam dua
masa, masa kemunduran pertama dan masa tiga kerajaan besar (Utsmai di Turki,
Safawi di Persia, dan Mughal di India). Periode pertengahan ditandai dengan
hancurnya dinasti Abbasiyah di tangan tentara Mongol 1258 M. yang pada gerak
selanjutnya kemudian kekuatan politik Islam mengalami kemunduran, sehingga
orientasi pemikiran politiknya pun berrubah. Islam mengalami perpecahan politik
dengan munculnya banyak dinasti-dinasti kecil dalam kekhalifahan Islam.
Jatuhnya Dinasti Abbasiyah sebagai dinasti yang banyak melahirkan ilmu
pengetahuan, mengakibatkan dunia Islam semakin terpuruk. Sementara di luar
dunia Islam, ada ancaman dari Negara-negara Barat yang sudah mulai bangkit dari
kegelapannya. Dlam kondisi sosial-politik yang carut-marut, pemikiran politik
Islam pada Periode ini mencerminkan kecenderungan responsiif-realis tehadap
dunia Islam. Beberapa intelektual yang muncul adalah:
1.
Ibn
Taimiyah (1263-1328 M) yang menulis al-siyasah al-syar’iyah fi Ishlah al-Ra’I wa
al- Ra’iyah (politik yang berdasarkan Syariah bagi perbaikan penguasa dan
Rakyat).
2.
Ibn
Khaldun (1332-1406 M) yang menulis Muqaddimah. Ibn Khaldun mewakili
kecenderungan sosiologis dalam mengemukakan pemikiran politiknya, terutama
tentang pembahasan teori solidaritas kelompok (ashabiyyah).
3.
Syah
Waliyullah al-Dahlawi (1702-1762 M).
3.
Periode
Modern
Periode modern
ditandai kolonialisme yang melanda negri-negri muslim. Hampir seluruh dunia
Islam berada di bawah penjajahan Barat. Dunia Islam tidak mampu bangkit dari
kemunduran yang berkepanjangan. Singkatnya, ada tiga hal yang melatarbelakangi
pemikiran Islam modern atau kontemporer. Pertama, kemunduran dan
kerapuhan dunia Islam yang disebabkan oleh factor-faktor internal dan yang
berakibat munculnya gerakan-gerakan pembharuan dan pemurnian. Kedua, rongrongan
Barat terhadap keutuhan kekuasaan politik dan wilayah dunia islam yang berakhir
dengan dominasi atau penjajahan oleh Negara-negara Barat atas sebagian besar
wilayah dunia Islam dan berkembangnya di kalngan umat Islam semangat permusuhan
dan sikap anti Barat. Ketiga, keunggulang Barat dalam bidang ilmu,
teknologi, dan organisasi.
Kecenderungan yang seperti itu
membuat sebagian pemikir ada yang mencoba yang menyeru Barat, ada juga menolak
Barat dan menghendaki kembali kepada kemurnian Islam. Maka, dalam periode ini
ada tiga kecenderungn pemikiran politik Islam, yaitu integralisme,
interseksion, sekularisme.
Kelompok pertama memiliki pandangan
bahwa agama dan politik adalah menyatu, tak terpisahkan. Dalam pandangan kelompok
ini Negara tidak bisa dipisahkan dari agama, karena tugas Negara adalah
menegakkan agama sehingga Negara Islam atau khilafah Islamiyyah menjadi
cita-cita bersama. Karena itulah, syariat Islam menjadi hukum Negara yang
dirpraktikkan untuk seluruh umat Islam. Kelompok ini diwakili oleh:
1.
Muhammad
Rasyid Ridha (1865-1935 M) yang menulis Al-Khilahaf wa al-Imamah al-Udzhmah
(Kekhalifahan atau Kepemimimpinan Agung) dan tafsir Al-Manar.
2.
Hasan
bin Ahmad bin Abdurrahman Al-Banna atau lebih dikenal dengan nama Hasan
Al-Banna (1906-1949 M) pendiri gerakan Ikhwanul Muslimin.
3.
Abu
al-A’la al-Maududi (1903-1979 M) yang menulis Al-Khilafah wal-Mulk (Khilafah
dan Kerajaan) dan Islamic Law and Contitution. Ia juga pendiri gerakan Jamaat
Islam dan Pakistan.
4.
Sayyid
Quthb (1906-1966 M) ideology gerakan Ikhwanul Muslimin yang menulis Al-A’dalah
al-Ijtima’iyah fi al-Islam ( Keadilan Sosial dalam Islam) dan Ma’alim al Thariq
(Petunjuk Jalan).
5.
Imam
Khamaini (1900-1989 M) pemimpin Revolusi Islam Iran 1979 dan penggagas konsep
wilayatul faqih yang menulik Hokumt-i Islami (system pemerintahan Islam).
Kelompok kedua memiliki pandangan
bahwa agama dengan politik melakukan simbiosis atau hubungan timbal balik yang
saling bergantung agama membutuhkan Negara untuk menegakkan aturan-aturan syariat.
Sementara Negara membutuhkan Negara
untuk mendapatkan legitimasi. Para pemikir ini menunjukan garis pemkiran
politik yang moderat dengan tidak mengabaikan pentingnya Negara tehadap agama.
Kelompok ini diwakili oleh:
1.
Muhammad
Abduh (1849-1905 M) tokoh pembaru Mesir.
2.
Muhammad
Iqbal (1873-1938 M) bapak pendiri Negara Pakistan.
3.
Muhammad
Husain Haikal (1888-1945 M) yang menulis Hayatu Muhammad (sejarah hidup
Muhammad), Fi Manzil Al Wahyu (Kedudukan Wahyu), dan Al-Humumat Al-islamiyat
(pemerintahan Islam).
4.
Fazlur
Rahman (1919-1988 M) bapak pembaharu Pakistan yang menulis Islam, Islam and
Modernity, dan Major Themes of the Qur’an.
Kelompok ketiga memiliki pandangan
bahwa agama harus dipisahkan dengan Negara dengan argumen Nabi Muhammad Saw
tidak memerintahkan untuk mendirikan Negara. Terbentuknya Negara dalam masa
awal Islam hanya faktor alamiyah dan historis dalam kehidupan masyarakat,
sehingga tidak perlu umat Islam mendirikan Negara Islam atau Khilafah
Islamiyah. Kelompok ini diwakili oleh:
1.
Ali
abd Al-Raziq (1888-1966 M) yang menulis Al-Islam wa-Ushul al-Hukum: Ba’ts fi
al-Khilafah wa al-Hukumah fi al-Islam (islam dan pemerintahan:kajian tentang
khilafah dan pemerintahan dalam Islam).
2.
Thaha
Husein (1889-1973 M) yang menulis Mustaqbal al-Tsakafah fi Mishar (Masa Deepan
Kebudayaan Mesir).
3.
Mustafa
Kemal Attaturk (1881-1928 M) pendiri Republik Turki modern.
BAB III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
-
Siyasah
berasal dari bahasa Arab yaitu: سَاسَ – يَسُوْسُ –
سِيَاسَةً yang artinya “Mengatur
kaum; memerintah dan meimpinnya”.
-
Siyasah
adalah mengatur atau memimpin sesuatu yang mengantarkan manusia kepada
kemaslahatan.
-
Syar’iyyah
yang berasal dari kata syariah yang secara etimologis berarti “jalan ke tempat
pengairan” atau “jalan yang harus diikuti”, atau “tempat lalu air di sungai”.
-
Siyasah
syar’iyyah sebagai kewenangan penguasa /pemerintah untuk melakukan
kebijakan-kebijakan politik yang mengacu kepada kemaslahatan melalui peraturan
yang tidak bertentangan dengan dasar-dasar agama, walaupun tidak terdapat
dalil-dalil yang khusus untuk itu.
-
Fiqh
siyasah yaitu bagian dari pemahaman ulama mujtahid tentang hukum syariat yang
berhubungan dengan permasalahan kenegaraan.
-
Ruang
lingkup kajian fiqh siyasah mencakup kebijaksanaan pemerintah tentang siyash
dusturiyah (peraturan perundang-undangan), siyasah maaliyah (ekonomi dan
moneter), siyasah qadhaiyyah (peradilan), siyasah harbiyyah (hukum perang) dan
siyasah iddariyah (administrasi negara).
-
Sejarah
perkembangan fiqh siyasah terbagi menjadi tiga yaitu: (1) masa klasik; (2) masa
pertengahan; (3) masa modern.
DAFTAR PUSTAKA
Abdillah, Masykuri. 2011. Islam dan Dinamika Sosial Politik di
Indonesia, Jakarta: Gramedia.
Djazuli, A. 2003. Fiqh Siyasah, Jakarta: Kencana.
Effendi, Satria. 2005. Ushul Fiqh, Jakarta: Kencana.
Iqbal, Muhammad. 2014. Fiqh Siyasah, Jakarta: Kencana.
Jumantoro, Totok. 2009. Kamus Ilmu Ushul Fiqh, Jakarta:
Amzah.
Syaltut, Mahmud. 1998. al-Islaam ‘Aqiidatun wa Syarii’atun, Penterjemah.
Abdurrahman Zein, Islam Akidah dan Syariah, Jakarta: Pustaka Amani.
Syarif, Mujar Ibnu. 2008. Fiqh Siyasah, Jakarta: Erlangga.
Syarifuddin, Amir. 2014. Ushul Fiqh, Jakarta: Kencana.
[1]
Masykuri Abdillah, Islam dan Dinamika Sosial Politik di Indonesia, (Jakarta:
Gramedia, 2011), h. 1-3
[2] A. Djazuli, Fiqh Siyasah, (Jakarta:
Kencana, 2003), h. 40
[3] Muhammad Iqbal, Fiqh Siyasah, (Jakarta:
Kencana, 2014), h. 3
[4] A.
Djazuli, Fiqh Siyasah, h. 41
[5]
Mujar Ibnu Syarif, Fiqh Siyasah, (Jakarta: Erlangga, 2008), h. 2-4
[6]
Muhammad Iqbal, Fiqh Siyasah, h. 4
[7]
Mujar Ibnu Syarif, Fiqh Siyasah, h. 9
[8] A.
Djazuli, Fiqh Siyasah, h. 43
[9]
Mujar Ibnu Syarif, Fiqh Siyasah, h. 9
[10]
Amir Syarifuddin, Ushul Fiqh, (Jakarta: Kencana, 2014), jilid 1, h. 1
[11]
Totok Jumantoro dkk, Kamus Ilmu Ushul Fiqh, (Jakarta: Amzah, 2009), h.
307
[12]
Mahmud Syaltut, al-Islaam ‘Aqiidatun wa Syarii’atun, Terj. Abdurrahman
Zein, Islam Akidah dan Syariah, (Jakarta: Pustaka Amani, 1998), jilid 1,
h. 109.
[13]
Muhammad Iqbal, Fiqh Siyasah, h. 5-6
[14]
Muhammad bin Isma’il al-Bukhari, Shahih Bukhari, (Beirut: Darul Kutub
al-Ilmiyah, 1997), h. 43.
[16] Satria
Effendi, Ushul Fiqh, (Jakarta: Kencana, 2005), h. 3
[18]
Muhammad Iqbal, Fiqh Siyasah, h. 3
[19]
Mujar Ibnu Syarif, Fiqh Siyasah, h. 19-20
[20]
Al-Mawardi, al-Ahkam as-Shulthaniyyah, Terj. Fadli Bahri, al-Ahkam
al-Shulthaniyyah: Hukum-hukum penyelenggraan Negara dalam Syariat Islam, (Bekasi:
Darul Falah, 2014)
[21]
Muhammad bin Shalih al-‘Utsaimin, at-Ta’liq ‘ala Siyasah asy-Syar’iyyah fi
Ishlah ar-Ra’I wa ar-Ra’iyyah li Syaikh al-Islam Ibni Taimiyah, Terj. Ajmal
Arif, Politik Islam: Ta’liq siyasah Syar’iyyah Ibnu Taimiyyah, (Jakrta:
Griya Ilmu, 2015)
[22]
Muhammad Iqbal, Fiqh Siyasah, h. 14-16
Tidak ada komentar:
Posting Komentar