Minggu, 08 April 2018

Makalah Fiqh Siyasah Tentang Siyasah Syar'iyyah


BAB I
PENDAHULUAN
A.    Latar Belakanng
Sebagaimana disebutkan dalam Al-Qur’an, manusia merupakan makhluk Allah yang dikaruniai sejumlah karamah (kemuliaan) serta bentuk fisik yang melebihi makhluk lain, sebagaimana firman Allah dalam Q.S al-Isra: 70 yang artinya: “Dan sungguh telah kami muliakan anak-anak Adam, kami angkat mereka di daratan dan lautan”. Kemuliaan ini terutama ditandai dengan pemberian akal (rasio), dengan kemampuan akal ini manusia bisa berkembang dengan pesat jauh meninggalkan makhluk lain. Namun, disamping kelebihan-kelebihan ini manusia juga memiliki keterbatasan atau kelemahan-kelemahan tertentu, sebagaimana firman Allah dalam Q.S an-Nisaa: 28 yang artinya “Manusia itu diciptakan dalam kondisi lemah”. Karena itu manusia masih tetap memerlukan petunjuk dari Allah, baik dalam bentuk pedoman wahyu maupun dalam jawaban terhadap doa seseorang kepada-Nya.
Dengan modal akal yang diberikan Allah, manusia memiliki kemampuan untuk merumuskan fenomena yang terdapat dalam kehidupan ini, sebagaimana disebutkan dalam hadits: “Engkau lebih mengetahui tentang urusan-urusan keduniaanmu”. Namun demikian hal ini bukan berarti manusia bebas memutuskan apa saja tanpa menghiraukan norma-norma dan etika Islam.
Dengan kerangka dasar diatas, Islam tidak hanya merupakan sistem keoercayaan dan sistem ibadah, tetapi juga sistem kemasyarakatan, sehingga ia lebih tepat disebut sebagai way of life bagi pemeluknya. Hal ini dibuktikan dengan kenyataan bahwa Nabi Muhammad tidak hanya sebagai nabi, tetapi juga sebagai seorang kepala negara. Demikian pula empat orang penggantinya, al-Khulafa ar-Rasyidun, adalah pemimpin agama dan sekaligus pemimpin negara secara terintegrasi. Ayat Al-Qur’an tentang aspek kemasyarakatan dan kenegaraan memang terbatas dna hanya dalam garis besar saja. Para ulamalah yang kemudian berupaya melakukan ijtihad tentang berbagai persoalan kehidupan bernegara, yang tentu saja banyak juga dipengaruhi oleh latar belakang sosial dan politik masing-masing, sehingga terdapat perbedaan diantara satu ulama dengan lainnya, terutama antara masa klasik dengan masa kontemporer.[1]
Oleh karena itu, kami berusaha mengkaji lebih jauh tentang kehidupan bermasyarakat khususnya bernegara yang dalam kajian ilmu fiqh disebut sebagai fiqh siyasah. Hal ini kami harapkan dapat dijadikan acuan bagi rekan-rekan kami khususnya dan bagi masyarakat pada umumnya.
B.     Rumusan Masalah
Berhubungan pembahsan tentang fiqh siyasah sangat luas maka dalam tulisan ini kami batasi hanya pada pembahasan tentang pengertian siyasah syar’iyyah, pengertian fiqh siyasah, ruang lingkup pembahasan fiqh siyasah dan sejarah perkembangan fiqh siyasah. Maka, kami rumuskan beberapa masalah yaitu:
1.      Apa yang dimaksud siyasah syar’iyyah?
2.      Apa yang dimaksud fiqh siyasah?
3.      Apa saja ruang lingkup pembahasan fiqh siyasah?
4.      Bagaimana sejarah perkembangan fiqh siyasah?

C.    Tujuan
Adapun tujuan dari penulisan makalah ini adalah mencoba untuk memberikan informasi kepada rekan-rekan kami pada khususnya dan kepada masyarakat pada umumnya tentang pengertian siyasah syar’iyyah dan fiqh siyasah, serta ruang lingkup dan sejarahnya.

BAB II
PEMBAHASAN

A.    Pengertian Siyasah Syar’iyyah

Siyasah berasal dari bahasa Arab yaitu:
سَاسَ يَسُوْسُ سِيَاسَةً
“Mengatur kaum; memerintah dan meimpinnya”.
Oleh karena itu, berdasarkan pengertian harfiyah, kata as siyasah berarti: pemerintahan, pengambilan keputusan, pembuatan kebijakan, pengurusan, pengawasan, perekayasaan dan arti-arti lainnya.[2] Dalam pengertian harfiah ini mengisyaratkan bahwa tujuan siyasah adalah mengatur, mengurus, membuat kebijaksanaan atas sesuatu yang bersifat politis untuk mencakup sesuatu.[3]
Secara tersirat, dalam pengertian al-siyasah, terkandung dua dimensi yang berkaitan satu sama lain:
a.       Tujuan yang hendak dicapai melalui proses pengendalian.
b.      Cara pengendalian menuju tujuan tersebut.
Oleh karena itu, al-siyasah pun diartikan:

وَ السِّيَاسَةُ الْقِيَامِ عَلَى شَيْءِ بِمَا يُصْلِحُهُ

            “Memimpin sesuatu dengan cara yang membawa kemaslahatan”.[4]
Al-Maqrizzy menyatakan, siyasah berasala dari bahasa Mongol, yakni dari kata yasah yang mendapat imbuhan huruf sin berbaris kasrah diawalnya sehingga dibaca siyasah.
Ibn Taghri Birdi, siyasah berasal dari campuran tiga bahasa, yakni Persia, Turki, dan Mongol. Partikel si dalam bahasa Persia berarti 30. Sedangakan yasa merupakan kosakata bahasa Turki dan Mongol yang berarti larangan, dan karena itu, ia dapat juga dimaknai sebagai hukum atau aturan.
Ibnu Manzhur menyatakan, siyasah berasal dari bahasa Arab, yakni bentuk mashdar dari tashrifan kaya sasa-yasusu-siyasatan, yang semula berarti mengatur, memelihara, atau melatih binatang, khususnya kuda. Sejalan dengan makna yang disebut terakhir ini, seseorang yang profesinya sebagai pemelihara kuda, dalam bahasa Arab disebut sa’is. Kata sa’is yang berarti pemelihara kuda ini sekarang telah masuk kedalam kosa kata bahasa Inggris yang ditulis syce. Dalam litelatur Yahudi juga ada penggunaan istilah yang agak mirip dengan makna awal dari kata sasa itu yakni istilah sus yang berarti kuda.[5]
Sedangkan secara terminologis, banyak definisi siyasah yang dikemukakan oleh para yuris Islam diantaranya:
Abdul Wahab Khallaf mendefinisikan, bahwa siyasah adalah perundangan yang diciptakan untuk memelihara ketertiban dan kemaslahatan serata mengatur keadaan.
Louis Ma’luf memberikan batasan siyasah adalah membuat kemaslahatan manusia dengan membimbing mereka ke jalan keselamatan.
Ibnu Manzhur mendefinisikan, siyasah adalah mengatur atau memimpin sesuatu yang mengantarkan manusia kepada kemaslahatan.[6]
Menurut Abu al-Wafa Ibnu ‘Aqil: “Siyasah adalah suatu tindakan yang dapat mengantar rakyat lenih dekat kepada kemaslahatan dan lebih jauh dari kerusakan, sekalipun Rasulullah tidak menetapkannya dan Allah juga tidak menurunkan wahyu untuk mengaturnya.[7]
Ibnu ‘Abid al-Diin, sebagaimana dikurip Ahmad Fathi Bahantsi, memberi batasan: “Siyasah adalah kemaslahatan untuk manusia dengan menunjukkannya kepada jalan yang menyelamatkan, baik di dunia maupun di akhirat. Siyasah berasal daripada Nabi SAW, baik secara khusus maupun secara umum, baik secara lahir maupun secara batin. Segi lahir siyasah berasal dari para pemegang kekuasaan bukan dari ulama; sedangkan secara bathin siyasah berasal dari ulama pewaris Nabi bukan dari pemegang kekuasaan.[8]
Dalam redaksi berbeda Husein Fauzy al-Najjar mendefinisikan, siyasah berarti pengaturan kepentingan dan pemeliharaan rakyat serta pengambilan kebijakan (yang tepat) demi menjamin terciptanya kebaikan bagi mereka.[9]
Sedangkan syar’iyyah yang berasal dari kata syariah yang secara etimologis berarti “jalan ke tempat pengairan” atau “jalan yang harus diikuti”, atau “tempat lalu air di sungai”. Arti terakhir ini digunakan orang Arab sampai sekarang.[10]
Asy-Syatibi dalam al-Muwafaqaat menulis: “Syariah adalah ketentuan ketentuan yang membuat batasan-batasan bagi para mukallaf baik mengenai perbuatan, perkataan, dan i’tiqad mereka. Itulah kandungan syari’at Islam”.[11]
Mahmud Syaltut dalam Islam, Akidah dan Syariah menulis: “Syariah adalah sebutan bagi berbagai peraturan dan hukum yang telah disyariatkan Allah atau disyariatkan prinsip-prinsipnya, lalu diwajibkan-Nya kepada kaum muslimin agar berpegang teguh pada syariat tersebut dalam melakukan hubungan dengan Allah dan antar manusia.[12]
Dari penjelasan diatas dapat ditarik kesimpulan bahwa syariat adalah hukum-hukum yang bersifat amaliah, sebagaimana didefinisikan oleh para ulama:

خطاب الشارع المتعلق بأفعال المكلفين بالإقتضاء او التخيير او الوضع

Ketentuan Allah yang berhubungan dengan perbuatan mukallaf, berupa perintah melakukan sesuatu perbuatan, pemilihan atau menentukan sesuatu sebagai syarat, sebab, atau penghalang.
Setelah diuraikan definisi siyasah dan syariah, baik secara etimologis maupun terminologis, dapat disimpulkan bahwa siyasah syar’iyyah yaitu ketentuan kebijaksanaan pengurusan masalah kenegaraan yang berdasarkan syariat.
Abdul Wahab Khallaf merumuskan siyasah syar’iyyah dengan: “Pengelolaan masalah-masalah umum bagi pemerintahan Islam yang menjammin terciptanya kemaslahatan dna terhindarnya kemudharatan dari masyarakat Islam, dengan tidak bertentangan dengan keputusan syariat Islam dan prinsip-prinsipnya yang umum, meskipun tidak sejalan dengan pendapat para ulama mujtahid”.
Khallaf menjelaskan bahwa yang dimaksudkan dengan masalah umum umat Islam adalah segala hal yang membutuhkan pengaturan dalam kehidupan mereka, baik dibidang perundang-undangan, keuangan dan moneter, peradilan, eksekutif, masalah dalam negeri maupun hubungan internasional.
Definisi ini lebih dipertegas lagi oleh Abdurrahman Taj yang merumuskan siyasah syar’iyyah sebagai hukum-hukum yang mengatur kepentingan negara, mengorganisasi permasalahan umat sesuai dengan jiwa syariat dan dasar-dasarnya yang universal demi terciptanya tujuan-tujuan kemasyarakatan, walaupun pengaturan tersebut tidak ditegaskan baik oleh Al-Qur’an maupun al-Sunnah.
Bahansi merumuskan bahwa siyasah syar’iyyah adalah pengaturan kemaslahatan umat manusia sesuai dengan ketentuan syara’.
Para fuqaha, sebagaimana dikutip Khallaf, mendefinisikan siyasah syar’iyyah sebagai kewenangan penguasa /pemerintah untuk melakukan kebijakan-kebijakan politik yang mengacu kepada kemaslahatan melalui peraturan yang tidak bertentangan dengan dasar-dasar agama, walaupun tidak terdapat dalil-dalil yang khusus untuk itu.
Dengan menganalisis definisi-definisi yang dikemukakan para ahli diatas dapat ditemukan hakikat siyasah syar’iyyah, yaitu:
1.      Siyasah syar’iyyah berhubungan dengan pengurusan dan pengaturan kehidupan manusia.
2.      Pengurusan dan pengaturan ini dilakukan oleh pemegang kekuasaan (ulul amri).
3.      Tujuan pengaturan tersebut adalah untuk menciptakan kemaslahatan dan menolak kemudharatan (jalb al-mashalih wa daf’ al-mafasid).
4.      Pengaturan tersebut tidak boleh bertentangan dengan roh atau semangat syariat Islam yang universal.
Jika diringkas, maka suatu kebijjaksanaan politik dalam sebuah negara dapat menjadi siyasah syar’iyyah bila sesuai dengan prinsip-prinsip syariat Islam dan menghargai hak-hak manusia yang paling asasi. [13]

B.     Pengertian Fiqh Siyasah

Fiqh menurut bahasa, berarti paham atau tahu, atau pemahaman yang mendalam, yang menumbuhkan pengerahan potensi akal. Pengertian ini dapat ditemukan dalam Q.S Thaha ayat 27-28, yang berbunyi:
وَٱحۡلُلۡ عُقۡدَةٗ مِّن لِّسَانِي ٢٧  يَفۡقَهُواْ قَوۡلِي ٢٨
Dan lepaskanlah kekakuan dari lidahku, supaya mereka mengerti perkataanku (Q.S Thaha (20) : 27-28)
     Pengertiah fiqh secara etimologi, juga ditemukan dalam sabda Rasulullah SAW, yang berbunyi:

مَنْ يُرِدِ اللهُ بِهِ خَيْرًا يُفَقِّهُ فِى الدِّيْنٍ ……

Siapa orang yang Allah kehendaki menjadi baik maka Allah akan memberikan dia pemahaman terhadap agama. (HR. Bukhari NO 71).[14]
Menurut istilah sebagaimana dikemukakan oleh Sayyid Al-Jurjany, bahwa fiqh adalah:

الْعِلْمُ بِالْأَحْكَامِ الشَّرْعِيَّةِ الْعَمَلِيَّةِ مِنْ أَدِلَّةِهَا التَّفْصِيْلِيَّةِ

Ilmu tentang hukum-hukum syara’ mengenai perbuatan-perbuatan dari dalil-dalil yang terperinci.[15]
     Abu Hanifah mendefinisikannya sebagai: “Pengetahuan diri seseorang tentang apa yang menjadi hak nya, dan apa yang menjadi kewajibannya –atau dengan kata lain- pengetahuan seseorang tentang apa yang menguntungkan dan apa yang merugikannya.[16]
     Al-Amidi mendefinisikan fiqh yang berbeda dengan definisi diatas, yaitu : “Ilmu tentang seperangkat hukum-hukum syara’ yang bersifat furu’iyyah yang berhasil didapatkan melalui penalaran atau istidlal”.
     Dengan menganalisis kedua definisi diatas dapat ditemukan hakikat dari fiqh, yaitu :
a.       Fiqh itu adalah ilmu tentang hukum Allah.
b.      Yang dibicarakan adalah hal-hal yang bersifat amaliah furu’iyah.
c.       Pengetahuan tentang hukum Allah itu didasarkan kepada dalil tafsili.
d.      Fiqh itu digali dan ditemukan melalui penalaran dan istidlal seorang mujtahid atau faqih.
Dengan demikian secara ringkas dapat dikatakan, “Fiqh adalah dugaan kuat yang dicapai seorang mujtahid dalam usahanya menemukan hukum Allah.”.[17]
Fiqh mencakup berbagai aspek kehidupan manusia. Di samping mencakup pembahasan tentang hubungan antara manusia dengan Tuhannya (ibadah), fiqh juga membicarakan aspek hubungan antara sesama manusia secara luas (muamalah). Aspek muamalah ini pun dapat dibagi lagi menjadi jinayah, munakahat, mawaris, murafa’at, siyasah, al-ahkam al-dauliyah.[18]
Adapaun definisi siyasah baik secara etimologis maupun terminologis sudah kami paparkan secara rinci pada pengertian siyasah syar’iyyah yang lalu.
Dari paparan pengertian fiqh dan pengertian siyasah dapat disimpulkan bahwa fiqh siyasah yaitu bagian dari pemahaman ulama mujtahid tentang hukum syariat yang berhubungan dengan permasalahan kenegaraan.
Mengenai perbedaan fiqh siyasah dengan siyasah syar’iyyah, di kalangan para pakar fiqh siyasah terjadi perbedaan pendapat. Satu pendapat menyatakan fiqh siyasah itu merupakan sinonim bagi siyasah syar’iyyah. Pendapat lain menyatakan bahwa fiqh siyasah berbeda dengan atau bukan merupakan sinonim siyasah syar’iyyah karena keduanya memiliki perbedaan yang kontras. Dari pendapat tersebut yang paling tepat agaknya pendapat kedua. Argumentasinya, fiqh siyasah merupakan teori-teori politik atau ketatanegaraan dalam prespektif Islam yang merupakan produk ulama swasta yang tercantum dalam berbagai macam kitab atau buku fiqh siyasah semisal dalam kitab al-Ahkam al-Shulthaniyyah buah karya al-Mawardi, dan karena itu, ia tidak bersifat mengikat dan memaksa selama belum diangkat menjadi sebuah undang-undang. Dalam kaitan ini, fiqh siyasah sama statusnya dengan fiqh pada umumnya, yakni sama-sama tidak memiliki kekuatan hukum yang mengikat dan memaksa untuk dipatuhi atau ditaati selama belum diadopsi menjadi undang-undang. Sebaliknya, siyasah syar’iyyah merupakan berbagai peraturan yang dilahirkan oleh umara dan atau ulama negeri dalam bentuk berbagai peraturan perundang-undangan (qawanin), semisal konstitusi, dan lain-lain, yang bersifat mengikat dan memaksa, sehingga siapa pun yang melanggar atau tidak mematuhinya akan dikenakan sanksi sesuai aturan yang berlaku. Dengan kata lain, yang berwenang menyusun siyasah syar’iyyah adalah umara atau ulama negeri yang duduk di lembaga legislatif, bukan ulama swasta yang tidak memiliki otoritas politik untuk menyusun qanun. Hal ini relevan dengan pendapat Abdul Wahab Khallaf yang menyatakan bahwa pengertian siyasah syar’iyyah adalah sebagai berikut: “Otoritas pemerintah untuk membuat kebijakan yang dikehendaki kemaslahatan, melalui aturan yang tidak bertentangan dengan agama, meskipun tidak ada dalil tertentu”.[19]

C.    Ruang Lingkup Fiqh Siyasah

Terjadi perbedaan pendapat di kalangan ulama dalam menentukan ruang lingkup kajian fiqh siyasah. Diantaranya ada yang membagi menjadi 5 bidang, ada yang menetaokan 4 bidang atau 3 bidang pembahsaan. Bahkan ada sebagian ulama yang membagi ruang lingkup kajian fiqh siyasah menjadi delapan bidang. Namun perbedaan ini tidaklah terlalu prinsip, karena hanya bersifat teknis.
Menurut Imam al-Mawardi, didalam kitabnya yang berjudul al-Ahkam al-Shulthaniyyah, ruang lingkup kajian fiqh siyasah mencakup kebijaksanaan pemerintah tentang siyash dusturiyah (peraturan perundang-undangan), siyasah maaliyah (ekonomi dan moneter), siyasah qadhaiyyah (peradilan), siyasah harbiyyah (hukum perang) dan siyasah iddariyah (administrasi negara).[20]
Menurut Imam Ibn Taimiyyah meringkasnya menjadi 4 bidang kajian, yaitu siyasah qadhaiyyah (peradilan), siyasah iddariyah (administrasi negara), siyasah maaliyah (ekonomi dan moneter), siyasah dauliyah/siyasah kharijiyyah (hubungan internasional).[21]
Abd al-Wahab Khallaf didalam kitabnya yang berjudul al-siyasah al-Syar’iyyah lebih mempersempitnya menjadi 3 bidang kajian saja, yaitu peradilan, hubungan internasional dan keuangan negara.
Berbeda dengan tiga pemikir diatas, salah satu ulama terkemuka di Indonesia T.M. Hasbi Ash-Shiddieqy malah membagi ruang lingkup fiqh siyasah menjadi delapan bidang, yaitu:
1.      Siyasah Dusturiyyah Syar’iyyah (Politik Pembuatan Undang-Undang).
2.      Siayash Tasyri’iyyah Syar’iyyah (Politik Hukum).
3.      Siyash Qadha’iyyah Syar’iyyah (Politik Peradilan).
4.      Siyasah Maaliyah Syar’iyyah (Politik Ekonomi dan Moneter).
5.      Siyasah Iddariyah Syar’iyyah (Politik Administrasi Negara).
6.      Siyasah Dauliyyah/Siyasah Kharijiyyah Syar’iyyah (Politik Hubungan Internasional).
7.      Siyasah Tanfidziyyah Syar’iyyah (Politik Pelaksanaan Perundang-undangan).
8.      Siyasah Harbiyyah Syar’iyyah (Politik Peperangan).
Berdasarkan perbedaan pendapat diatas, pembagian fiqh siyasah dapat disederhanakan menjadi 3 bagian pokok. Pertama, politik perundang-undangan (Siyasah Dusturiyyah). Bagian ini meliputi pengkajian tentang penetapan hukum (Tasyri’iyyah) oleh lembaga legislatif, peradilan (Qadhaiyyah) oleh lembaga yudikatif, dan administrasi pemerintahan (iddariyyah) oleh birokrasi atau eksekutif. Kedua, politik luar negeri (Siyasah Dauliyyah/Siyasah Kharijiyyah). Bagian ini mencakup hubungan keperdataan antara warga negara yang Muslin dengan warga negara non-Muslim yang berbeda kebangsaan (as-Siyasah al-Duali al-Khashsh) atau disebut juga hukum perdata internasional dan hubungan diplomatik antara negara Muslim dengan negara non-Muslim (as-Siyasah al-Duali al-amm) atau disebut juga hubungan internasional. Sedangkan dalam masa perang (Siyasah Harbiyyah) menyangkut antara lain tentang dasar-dasar diizinkannya berperang, pengumuman perang, etika berperang, tawanan perang, dan gencatan senjata. Ketiga, politik keuangan dan moneter (Siyasah Maaliyah), antara lain membahas sumber-sumber keuangan negara, pos-pos pengeluaran dan belanja negara, perdaganan internasional, kepentingan/hak-hak publik, pajak, dan perbankan.[22]

D.    Sejarah Perkembangan Fiqh Siyasah

Pemikiran politik Islam berkembang secara luas tak lain karena berbagai peristiwa penting sejak Rasulallah hijrah ke Madinah. Di Madinah berbagai hubungan sosial dijabarkan oleh Rasulallah, yang menyangkut kehidupan internal umat Islam dan hubungan dengan kelompok agama dan suku lain dalam membangun Madinah. Praktik kehidupan Rasulallah,bersama para sahabatnya di Madinah telah membuka jalan baru bagi umat Islam untuk mengambil substansi ajaran sosial dan politik. Piagam Madinah merupakan kontrak rasulallah bersama komunitas Madinah, yang berbeda-beda suku dan agama untuk membangun Madinah dalam pluralitas. Tidak lain, Piagam Madinah menjadi konstitusi pertama yang secara brilian mampu menempatkan suku dan agama dinaungi dalam perjnjian bersama.
     Setelah wafatnya Rasulallah SAW, muncul peristiwa penting, yakni pertemuan antara kelompok Anshar dan Muhajirin yang membicarakan siapa pengganti Rasulallah di saqifah yang pada gilirannya politik islam tentang siapa yang berhak menggantikan Rasulullah dalam kepemimpinan agama dan politik. Permasalahan awal setelah wafatnya Rasulullah tentang siapa pengganti Rasulullah membuktikan bahwa sejak awal karakter yang diperlihatkan umat Islam begitu serius dalam membicarakan persoalan politik. Sehingga antara kaum Anshar dan Muhajirin begitu alot berdebat di saqifah Bani Sai’dah karena masing-masing kelompok merasa layak menjadi pengganti Rasulullah.
     Kemudian berbagai peristiwa politik dalam proses penggantian kekuasaan yang diperlihatkan oleh Abu Bakar Siddiq, Umar bin Khattab, Utsman bin Affan, dan Ali bin Abu Thalib menjadi sejarah penting bagi umat Islam. Proses penggantian kekuasaaan yang tidak sama masing-masing periode kekuasaan (Abu Bakar dipilih dengan jalan musyawarah terbatas antara kelompok Muhajirin danAnshar, Umar ditunjuk oleh Abu Bakar Siddiq, Utsman bin Affan menjadi khalifah berdasarkan musyawarah tim formatur, dan Ali bin Abi Thalib menjadi khalifah dalam situasi politik yang terpecah-pecah dan hanya dibaiat oleh sebagaian kelompok umat Islam) telah memunculkan perdebatan tentang mekanisme apa yang harusnya dilakukan untuk menggani penguasa. Perdebatan ini menyangkut mekanisme dan system politik yang dipraktikkan oleh Islam.
     Yang paling menegangkan dalam sejarah Islam adalah peristiwa tahkim yang terjadi antara Ali bin Abi Thalib dengan Muawwiyah bin Abi Sufyan yang menjadi puncak perdebatan politik dikalangan umat Islam. Perebutan kekuasaan antara Ali bin Abi Thalib dengan Muawwiyah bin Abi Sufyan telah melahirkan pesoalan teologis yang sangat kuat (kafir dan mengkafirkan). Lahirlah aliran aliran teologi yang sebelumnya tidak pernah ada di masa Rasulullah dan al-khulafa al-rasidin, seperti Khawarij, Mu’tazilah, Ahlussunnah wal jama’ah dan Murji’ah.
     Peristiwa-peristiwa penting yang terjadi di kalangan umat Islam telah melahirkan pemikiran-pemikiran politik di masa-masa selanjutnya, yang merupakn respons terhadap peristiwa dan hasil refleksi para pemikir politik. Munculnya sejumlah pemikir politik Islam seperti Ibn Abi Rabi’, al-Mawardi, al-Ghazali, al-Farabi, ibn Taymiyah, Ibn-Khaldun, dan Syan Waliyullah al-Dahlawi.
     Pemikiran politik Islam terbagi dalam tiga periode besar, yakni periode klasik, pertengahan, dan modern. Periode klasik berlangsung sejak abad ke-7 hingga abad ke-13 (1258M), periode pertengahan yang berlngsung sejak abad ke-14 hingga abad ke-19 (periode kejatuhan Abasiyah hingga zaman kolonialisme), dan periode modern yang berlangsung sejak abad ke-19 (kolonialisme) hingga sekarang.
1.      Periode Klasik
Masa ini merupakan masa ekpensi, integrasi dan keemasan Islam. Masa awal pada periode ini, yang dimulai di masa Nabi Muhammad SAW merupakan masa di masa seluruh semenanjung Arabia telah tunduk di bawah kekuasaan Islam. Ekspensi ke daerah-daerah luar Arabia dimulai di zaman khalifah pertama Abu Bakar Ash-Shiddiq hingga masa kekuasaan Bani Umayyah dan Dinasti Abbasiyyah sebagai pucak kejayaan Islam. Penting pula dicatat bahwa di periode ini disintegrasi Islam di bidang politik sebenarnya telah terjadi pada akhir  zaman Bani Umayyah dan memuncak di zaman Bani Abbasiyyah, terutama setelah khalifah-khalifah menjadi boneka ditangan tentara pengawal. Daerah-daerah yang jauh letaknya dari pusat pemerintahan Damaskus dan kemudia Baghdad melepaskan diri dari kekuasaan khalifah di pusat pemerintahan dan bemunculan dinasti-dinasti kecil.
Pada masa awal-awal Islam hingga Dinasti Umayyah (661-750 M), pemikiran politik islam belum begitu kuat muncul dikalangan intelektual Islam, meskipun sudah ada gerakan oposisi dari kelompok Khawarij dan Syi’ah. Hal ini disebabkan oleh konsentrasi Dinasti Umayyah yang lebih banyak berorientasi pada pengembangan kekuasaan, Brulah pada masa Dinasti Abbasiyah, pemikiran politik Islam dikembangkan oleh sejumlah pemikiran politik Islam seiring dengan prestasi intelektual Dinasti Abbasiyah yang telah berhasil mengemba ngkan ilmu pengetahuan dan berbagai bidang.
Dibawah Dinasti Abbasiyah, ilmu pengetahuan mengalami keeasan sastra, terkumpulnya Shahih Bukhari dan Muslim, munculnya empat imam madzab fiqh. Periode ini merupakan puncak peradaban Islam yang tertinggi dan mempunyai pengaruh  bagi perdaban di Barat.
Para intelektual yang muncul di periode klasik ini adalah:
1.      Ibn Abi Rabi’ (833-842 M) yang menulis suluk al- Malik fi Tadbir al-Mamalik (perilaku Raja dalam pengelolahan Kerajaan-Kerajaan).
2.      Al-Farabi i (870-950 M) yang menulis Ara Ahl al-Madinah al-fadhilah (pandangan-pandangan para penghuni Negara Utama).
3.      A-Mawardi (975-1059 M ) yang menulis Al-Ahkam al-sulthaniyah fi al-wilayah al-Diniyah (peraturan-peraturan pemerintahan).
4.      Al-ghazali (1058-1111 M) menulis Ihya Ulum al-Din (menghidupkan kembali Ilmu-Ilmu Agama), Al-Tibr al-Masbuk fi Nashihah al-Mulk (Batangan Logam Mulia tentang Nasihat untuk Raja), Al-Iqtishad fi al-I’tiqad (Moderasi dalam Kepercayaan), dan Kimiya-yi sa’adah.
Ada beberapa yang menonjol dari pemikiran politik Islam di zaman klasik. Pertama, adanya pengaruh alam pikiran Yunanni, terutama pandangan Plato tentang asal-usul Negara, meskipun kadar pengaruhnya tidak sama. Kedua, pemikiran politik yang berkembang lebih banyak berpijak kondisi real (realistic) sosial-politik.
2.      Periode Pertengahan
Periode pertengahan dibagi dalam dua masa, masa kemunduran pertama dan masa tiga kerajaan besar (Utsmai di Turki, Safawi di Persia, dan Mughal di India). Periode pertengahan ditandai dengan hancurnya dinasti Abbasiyah di tangan tentara Mongol 1258 M. yang pada gerak selanjutnya kemudian kekuatan politik Islam mengalami kemunduran, sehingga orientasi pemikiran politiknya pun berrubah. Islam mengalami perpecahan politik dengan munculnya banyak dinasti-dinasti kecil dalam kekhalifahan Islam. Jatuhnya Dinasti Abbasiyah sebagai dinasti yang banyak melahirkan ilmu pengetahuan, mengakibatkan dunia Islam semakin terpuruk. Sementara di luar dunia Islam, ada ancaman dari Negara-negara Barat yang sudah mulai bangkit dari kegelapannya. Dlam kondisi sosial-politik yang carut-marut, pemikiran politik Islam pada Periode ini mencerminkan kecenderungan responsiif-realis tehadap dunia Islam. Beberapa intelektual yang muncul adalah:
1.      Ibn Taimiyah (1263-1328 M) yang menulis  al-siyasah al-syar’iyah fi Ishlah al-Ra’I wa al- Ra’iyah (politik yang berdasarkan Syariah bagi perbaikan penguasa dan Rakyat).
2.      Ibn Khaldun (1332-1406 M) yang menulis Muqaddimah. Ibn Khaldun mewakili kecenderungan sosiologis dalam mengemukakan pemikiran politiknya, terutama tentang pembahasan teori solidaritas kelompok (ashabiyyah).
3.      Syah Waliyullah al-Dahlawi (1702-1762 M).
3.      Periode Modern
          Periode modern ditandai kolonialisme yang melanda negri-negri muslim. Hampir seluruh dunia Islam berada di bawah penjajahan Barat. Dunia Islam tidak mampu bangkit dari kemunduran yang berkepanjangan. Singkatnya, ada tiga hal yang melatarbelakangi pemikiran Islam modern atau kontemporer. Pertama, kemunduran dan kerapuhan dunia Islam yang disebabkan oleh factor-faktor internal dan yang berakibat munculnya gerakan-gerakan pembharuan dan pemurnian. Kedua, rongrongan Barat terhadap keutuhan kekuasaan politik dan wilayah dunia islam yang berakhir dengan dominasi atau penjajahan oleh Negara-negara Barat atas sebagian besar wilayah dunia Islam dan berkembangnya di kalngan umat Islam semangat permusuhan dan sikap anti Barat. Ketiga, keunggulang Barat dalam bidang ilmu, teknologi, dan organisasi.
Kecenderungan yang seperti itu membuat sebagian pemikir ada yang mencoba yang menyeru Barat, ada juga menolak Barat dan menghendaki kembali kepada kemurnian Islam. Maka, dalam periode ini ada tiga kecenderungn pemikiran politik Islam, yaitu integralisme, interseksion, sekularisme.
Kelompok pertama memiliki pandangan bahwa agama dan politik adalah menyatu, tak terpisahkan. Dalam pandangan kelompok ini Negara tidak bisa dipisahkan dari agama, karena tugas Negara adalah menegakkan agama sehingga Negara Islam atau khilafah Islamiyyah menjadi cita-cita bersama. Karena itulah, syariat Islam menjadi hukum Negara yang dirpraktikkan untuk seluruh umat Islam. Kelompok ini diwakili oleh:
1.      Muhammad Rasyid Ridha (1865-1935 M) yang menulis Al-Khilahaf wa al-Imamah al-Udzhmah (Kekhalifahan atau Kepemimimpinan Agung) dan tafsir Al-Manar.
2.      Hasan bin Ahmad bin Abdurrahman Al-Banna atau lebih dikenal dengan nama Hasan Al-Banna (1906-1949 M) pendiri gerakan Ikhwanul Muslimin.
3.      Abu al-A’la al-Maududi (1903-1979 M) yang menulis Al-Khilafah wal-Mulk (Khilafah dan Kerajaan) dan Islamic Law and Contitution. Ia juga pendiri gerakan Jamaat Islam dan Pakistan.
4.      Sayyid Quthb (1906-1966 M) ideology gerakan Ikhwanul Muslimin yang menulis Al-A’dalah al-Ijtima’iyah fi al-Islam ( Keadilan Sosial dalam Islam) dan Ma’alim al Thariq (Petunjuk Jalan).
5.      Imam Khamaini (1900-1989 M) pemimpin Revolusi Islam Iran 1979 dan penggagas konsep wilayatul faqih yang menulik Hokumt-i Islami (system pemerintahan Islam).
Kelompok kedua memiliki pandangan bahwa agama dengan politik melakukan simbiosis atau hubungan timbal balik yang saling bergantung agama membutuhkan Negara untuk menegakkan aturan-aturan syariat.
Sementara Negara membutuhkan Negara untuk mendapatkan legitimasi. Para pemikir ini menunjukan garis pemkiran politik yang moderat dengan tidak mengabaikan pentingnya Negara tehadap agama. Kelompok ini diwakili oleh:
1.      Muhammad Abduh (1849-1905 M) tokoh pembaru Mesir.
2.      Muhammad Iqbal (1873-1938 M) bapak pendiri Negara Pakistan.
3.      Muhammad Husain Haikal (1888-1945 M) yang menulis Hayatu Muhammad (sejarah hidup Muhammad), Fi Manzil Al Wahyu (Kedudukan Wahyu), dan Al-Humumat Al-islamiyat (pemerintahan Islam).
4.      Fazlur Rahman (1919-1988 M) bapak pembaharu Pakistan yang menulis Islam, Islam and Modernity, dan Major Themes of the Qur’an.
Kelompok ketiga memiliki pandangan bahwa agama harus dipisahkan dengan Negara dengan argumen Nabi Muhammad Saw tidak memerintahkan untuk mendirikan Negara. Terbentuknya Negara dalam masa awal Islam hanya faktor alamiyah dan historis dalam kehidupan masyarakat, sehingga tidak perlu umat Islam mendirikan Negara Islam atau Khilafah Islamiyah. Kelompok ini diwakili oleh:
1.      Ali abd Al-Raziq (1888-1966 M) yang menulis Al-Islam wa-Ushul al-Hukum: Ba’ts fi al-Khilafah wa al-Hukumah fi al-Islam (islam dan pemerintahan:kajian tentang khilafah dan pemerintahan dalam Islam).
2.      Thaha Husein (1889-1973 M) yang menulis Mustaqbal al-Tsakafah fi Mishar (Masa Deepan Kebudayaan Mesir).
3.      Mustafa Kemal Attaturk (1881-1928 M) pendiri Republik Turki modern.
BAB III
PENUTUP

A.    Kesimpulan

-        Siyasah berasal dari bahasa Arab yaitu: سَاسَ – يَسُوْسُ – سِيَاسَةً  yang artinya “Mengatur kaum; memerintah dan meimpinnya”.
-        Siyasah adalah mengatur atau memimpin sesuatu yang mengantarkan manusia kepada kemaslahatan.
-        Syar’iyyah yang berasal dari kata syariah yang secara etimologis berarti “jalan ke tempat pengairan” atau “jalan yang harus diikuti”, atau “tempat lalu air di sungai”.
-        Siyasah syar’iyyah sebagai kewenangan penguasa /pemerintah untuk melakukan kebijakan-kebijakan politik yang mengacu kepada kemaslahatan melalui peraturan yang tidak bertentangan dengan dasar-dasar agama, walaupun tidak terdapat dalil-dalil yang khusus untuk itu.
-        Fiqh siyasah yaitu bagian dari pemahaman ulama mujtahid tentang hukum syariat yang berhubungan dengan permasalahan kenegaraan.
-        Ruang lingkup kajian fiqh siyasah mencakup kebijaksanaan pemerintah tentang siyash dusturiyah (peraturan perundang-undangan), siyasah maaliyah (ekonomi dan moneter), siyasah qadhaiyyah (peradilan), siyasah harbiyyah (hukum perang) dan siyasah iddariyah (administrasi negara).
-        Sejarah perkembangan fiqh siyasah terbagi menjadi tiga yaitu: (1) masa klasik; (2) masa pertengahan; (3)  masa modern.

DAFTAR PUSTAKA

Abdillah, Masykuri. 2011. Islam dan Dinamika Sosial Politik di Indonesia, Jakarta: Gramedia.
Djazuli, A. 2003. Fiqh Siyasah, Jakarta: Kencana.
Effendi, Satria. 2005. Ushul Fiqh, Jakarta: Kencana.
Iqbal, Muhammad. 2014. Fiqh Siyasah, Jakarta: Kencana.
Jumantoro, Totok. 2009. Kamus Ilmu Ushul Fiqh, Jakarta: Amzah.
Syaltut, Mahmud. 1998. al-Islaam ‘Aqiidatun wa Syarii’atun, Penterjemah. Abdurrahman Zein, Islam Akidah dan Syariah, Jakarta: Pustaka Amani.
Syarif, Mujar Ibnu. 2008. Fiqh Siyasah, Jakarta: Erlangga.
Syarifuddin, Amir. 2014. Ushul Fiqh, Jakarta: Kencana.


[1] Masykuri Abdillah, Islam dan Dinamika Sosial Politik di Indonesia, (Jakarta: Gramedia, 2011), h. 1-3
[2] A. Djazuli, Fiqh Siyasah, (Jakarta: Kencana, 2003), h. 40
[3] Muhammad Iqbal, Fiqh Siyasah, (Jakarta: Kencana, 2014), h. 3
[4] A. Djazuli, Fiqh Siyasah, h. 41
[5] Mujar Ibnu Syarif, Fiqh Siyasah, (Jakarta: Erlangga, 2008), h. 2-4
[6] Muhammad Iqbal, Fiqh Siyasah, h. 4
[7] Mujar Ibnu Syarif, Fiqh Siyasah, h. 9
[8] A. Djazuli, Fiqh Siyasah, h. 43
[9] Mujar Ibnu Syarif, Fiqh Siyasah, h. 9
[10] Amir Syarifuddin, Ushul Fiqh, (Jakarta: Kencana, 2014), jilid 1, h. 1
[11] Totok Jumantoro dkk, Kamus Ilmu Ushul Fiqh, (Jakarta: Amzah, 2009), h. 307
[12] Mahmud Syaltut, al-Islaam ‘Aqiidatun wa Syarii’atun, Terj. Abdurrahman Zein, Islam Akidah dan Syariah, (Jakarta: Pustaka Amani, 1998), jilid 1, h. 109.
[13] Muhammad Iqbal, Fiqh Siyasah, h. 5-6
[14] Muhammad bin Isma’il al-Bukhari, Shahih Bukhari, (Beirut: Darul Kutub al-Ilmiyah, 1997), h. 43.
[15] Totok Jumantoro dkk, Kamus Ilmu Ushul Fiqh, h. 63-64.
[16] Satria Effendi, Ushul Fiqh, (Jakarta: Kencana, 2005), h. 3
[17] Amir Syarifuddin, Ushul Fiqh, jilid 1, hlm 4
[18] Muhammad Iqbal, Fiqh Siyasah, h. 3
[19] Mujar Ibnu Syarif, Fiqh Siyasah, h. 19-20
[20] Al-Mawardi, al-Ahkam as-Shulthaniyyah, Terj. Fadli Bahri, al-Ahkam al-Shulthaniyyah: Hukum-hukum penyelenggraan Negara dalam Syariat Islam, (Bekasi: Darul Falah, 2014)
[21] Muhammad bin Shalih al-‘Utsaimin, at-Ta’liq ‘ala Siyasah asy-Syar’iyyah fi Ishlah ar-Ra’I wa ar-Ra’iyyah li Syaikh al-Islam Ibni Taimiyah, Terj. Ajmal Arif, Politik Islam: Ta’liq siyasah Syar’iyyah Ibnu Taimiyyah, (Jakrta: Griya Ilmu, 2015)
[22] Muhammad Iqbal, Fiqh Siyasah, h. 14-16

Tidak ada komentar:

Posting Komentar