BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakanng
Pernikahan merupakan bagian dari ajaran Islam. Barang siapa
menghindari pernikahan berarti ia meninggalkan sebagian dari ajaran agamanya.
Disamping itu, pernikahan dapat menghindarkan diri dari perbuatan maksiat/zina.[1]
Jika keluarga itu bagaikan sebuah batu dari batu-batu bangunan
suatu bangsa, maka pernikahan itu merupakan asal usul suatu keluarga. Karena
dari pernikahan itulah terbentuk suatu keluarga, yang selanjutnya tumbuh dan
berkembang.
Karena itu, pernikahan juga harus mendapatkan perhatian yang
semestinya, seperti hal nya perhatian yang dicurahkan kepada keluarga, bahkan
sebaiknya memperoleh perhatian yang lebih kuat.
Pada hakikatnya, pernikahan merupakan salah satu fenomena penataan
fitrah yang tersimpan dalam diri manusia, sebagaimana fitrah itu ada pada jenis
binatang. Jika bukan karena pernikahan yang merupakan pengaturan bagi fitrah
yang sama-sama dimiliki oleh manusia dan binatang, maka manusia tidak akan
berbeda dengan berbagai jenis binatang yang dalam memenuhi tuntutan fitrahnya
menempuh cara-cara yang anarkis dan tanpa aturan. Sebab, jika demikian
keadaannya, ia tentu bukan manusia sebagai makhluk yang disesuaikan Allah
keadaannya dan dihembuskan-Nya roh kedalam tubuhnya. Kemudian, diberi-Nya akal
dan pikiran kepadanya dan dilebihkan-Nya derajat manusia dari sekalian makhluk
yang lain. Seterusnya, manusia pun diberi-Nya kekuasaan di bumi dan
ditundukkan-Nya seluruh alam kepadanya. Kemudian, dieprsiapkan-Nya bagi manusia
prinsip-prinsip hubungan yang tinggi, yang bisa mengangkat derajatnya dari
lingkup sifat kebinatangannya, dan diseru-Nya manusia untuk tolong-menolong
dengan sesamanya dalam upaya menciptakan kemakmuran dunia, pengaturan
kemaslahatan dan pertukaran kemanfaatan. [2]
Oleh karena itu, kami berusaha mengkaji lebih jauh tentang
pernikahan khususnya pengertian, hukum, tujuan dan hikmah pernikahan. Hal ini
kami harapkan dapat dijadikan acuan bagi rekan-rekan kami khususnya dan bagi
masyarakat pada umumnya.
B.
Rumusan Masalah
Berhubungan pembahsan tentang pernikahan sangat luas maka dalam
tulisan ini kami batasi hanya pada pembahasan tentang pengertian, hukum,
tujuan, dan hikmah pernikahan. Maka, kami rumuskan beberapa masalah yaitu:
1.
Apa
yang dimaksud pernikahan?
2.
Apa
hukum dari sebuah pernikahan?
3.
Apa
tujuan dari sebuah pernikahan?
4.
Apa
hikamh yang dapat diambil dari sebuah pernikahan?
C.
Tujuan
Adapun tujuan dari penulisan makalah ini adalah mencoba untuk
memberikan informasi kepada rekan-rekan kami pada khususnya dan kepada
masyarakat pada umumnya tentang pengertian, hukum, tujuan, dan hikmah
pernikahan.
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Pengertian
Pernikahan
Secara bahasa kata nikah berarti mengumpulkan, saling memasukkan,
bersetubuh, atau sebuah pengibaratan akan sebuah hubungan intim dan akad
sekaligus, yang didalam syariat dikenal dengan akad nikah.[3]
Kamus Besar Bahasa Indonesia mengartikan kata “nikah” sebagai (1)
perjanjian antara laki-laki dan perempuan untuk bersuami istri (dengan resmi);
(2) perkawinan.
Al-Qur’an menggunakan kata ini untuk makna tersebut, disamping
–secara majazi-diartikannya dengan “hubungan seks”. Kata ini dalam berbagai
bentuknya ditemukan sebanyak 23 kali. Secara bahasa pada mulanya kata nikah
digunakan dalam arti “berhimpun”.
Al-Quran juga menggunakan kata zawwaja dari kata zauwj yang
berarti “pasangan” untuk makna diatas. Ini karena perikahan menjadikan seorang
memiliki pasangan. Kata tersebut dalam berbagai bentuk dan maknanya terulang
tidak kurang dari 80 kali.
Secara umum Al-Quran hanya menggunakan dua kata ini untuk
menggambarkan terjalinnya hubungan suami istri secara sah. Memang ada juga kata
wahabat (yang berarti “memberi”) digunakan oleh Al-Quran untuk
melukiskan kedatangan seorang wanita kepada Nabi SAW., dan menyerahkan dirinya
untuk dijadikan istri. Tetapi agaknya kata ini hanya berlaku bagi Nabi SAW.
(Q.S Al-Ahzab [33]: 50).
Kata-kata ini mempunyai implikasi hukum dalam kaitannya dengan ijab
kabul (serah terima) pernikhan, sebagaimana akan dijelaskan kemudian.
Pernikahan, atau tepatnya “keberpasangan” merupakan ketetapan Ilahi
atas segala makhluk. Berulang-ulang hakikat ini ditegaskan oleh Al-Quran antara
lain dengan firman-Nya:
وَمِن
كُلِّ شَيۡءٍ خَلَقۡنَا زَوۡجَيۡنِ لَعَلَّكُمۡ تَذَكَّرُونَ ٤٩
49. Dan segala sesuatu Kami ciptakan berpasang-pasangan
supaya kamu mengingat kebesaran Allah. (Q,S Adz-Dzariyat [51]: 49).
سُبۡحَٰنَ ٱلَّذِي خَلَقَ ٱلۡأَزۡوَٰجَ
كُلَّهَا مِمَّا تُنۢبِتُ ٱلۡأَرۡضُ وَمِنۡ أَنفُسِهِمۡ وَمِمَّا لَا يَعۡلَمُونَ
٣٦
36.
Maha Suci Tuhan yang telah menciptakan pasangan-pasangan semuanya, baik dari
apa yang ditumbuhkan oleh bumi dan dari diri mereka maupun dari apa yang tidak
mereka ketahui. (Q,S Ya Sin [36]: 36). [4]
Sedangkan secara syariat berarti sebuah
akad yang mengandung pembolehan bersenang-senang dengan perempuan, dengan
berhuhbungan intim, menyentuh, mencium, memeluk, dan sebagainya, jika perempuan
tersebut bukan termasuk mahram dari segi nasab, sesusuan, dan keluarga.
Atau bisa juga diartikan bahwa nikah adalah sebuah akad yang telah
ditetapkan oleh syariat yang berfungsi untuk memberikan hak kepemilikan bagi
lelaki untuk bersenang-senang dengan perempuan, dan menghalalkan seorang
perempuan bersenang-senang dengan lelaki.
Para ulama
Hanafiah mendefinisikan bahwa nikah adalah sebuah akad yang memberikan hak
kepemilikan untuk bersenang-senang secara sengaja. Artinya, kehalalan seorang
lelaki bersenang-senang dengan seorang perempuan yang tidak dilarang untuk
dinikahi secara syariat, dengan kesengajaan. Dengan adanya kata “perempuan”
maka tidka termasuk didalamnya laki-laki dan banci musykil. Demikian juga,
dengan kalimat “yang tidak dilarang untuk dinikahi secara syariat” maka tidak
termasuk didalamnya perempuan pagan, mahram, jin perempuan, dan manusia air.
Itu karena
perbedaan jenis, sebab Allah SWT berfirman:
وَٱللَّهُ
جَعَلَ لَكُم مِّنۡ أَنفُسِكُمۡ أَزۡوَٰجٗا وَجَعَلَ لَكُم مِّنۡ أَزۡوَٰجِكُم
بَنِينَ وَحَفَدَةٗ وَرَزَقَكُم مِّنَ ٱلطَّيِّبَٰتِۚ أَفَبِٱلۡبَٰطِلِ
يُؤۡمِنُونَ وَبِنِعۡمَتِ ٱللَّهِ هُمۡ يَكۡفُرُونَ ٧٢
72. Allah menjadikan bagi kamu isteri-isteri
dari jenis kamu sendiri dan menjadikan bagimu dari isteri-isteri kamu itu,
anak-anak dan cucu-cucu, dan memberimu rezeki dari yang baik-baik. Maka
mengapakah mereka beriman kepada yang bathil dan mengingkari nikmat Allah? (An-Nahl
[16]: 72).
Ayat
tersebut menjelaskan maksud dari firman Allah SWT:
وَإِنۡ
خِفۡتُمۡ أَلَّا تُقۡسِطُواْ فِي ٱلۡيَتَٰمَىٰ فَٱنكِحُواْ مَا طَابَ لَكُم مِّنَ ٱلنِّسَآءِ
مَثۡنَىٰ وَثُلَٰثَ وَرُبَٰعَۖ فَإِنۡ خِفۡتُمۡ أَلَّا تَعۡدِلُواْ فَوَٰحِدَةً
أَوۡ مَا مَلَكَتۡ أَيۡمَٰنُكُمۡۚ ذَٰلِكَ أَدۡنَىٰٓ أَلَّا تَعُولُواْ ٣
3. Dan jika kamu takut tidak akan dapat
berlaku adil terhadap (hak-hak) perempuan yang yatim (bilamana kamu
mengawininya), maka kawinilah wanita-wanita (lain) yang kamu senangi: dua, tiga
atau empat. Kemudian jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil, maka
(kawinilah) seorang saja, atau budak-budak yang kamu miliki. Yang demikian itu
adalah lebih dekat kepada tidak berbuat aniaya. (An-Nisa [04]: 3).
Yaitu
wanita dari kalangan manusia. Oleh karenanya tidak halal menikahi dari jenis
yang lain tanpa dalil. Juga karena jin dapat berubah-ubah dengan berbagai macam
bentuk. Kadang lelaki jin dapat berubah-ubah dengan berbagai macam bentuk.
Kadang lelaki jin berubah bentuk menjadi perempuan. Dan dengan kata “sengaja”
maka tidak termasuk didalamnya kehalalan bersenang-senang dengan cara membeli
budak untuk perseliran. Para ulama yang lain menggunakan kalimat “bi thariqi
ashaalah” (dengan cara original) sebagaii ganti dari kata “sengaja”.
Sebagian ulama Hanafiah juga mendefinisikan bahwa nikah adalah akad yang
dilakukan untuk memberikan hak milik segala manfaat dari kemaluan.
Menurut
para ahli ilmu ushul fiqh dan bahasa, kata nikah digunakan secara haqiqoh (arti
sebenarnya) untuk arti hubungan intim, dan secara majaz (kiasan) untuk
arti akad. Sekiranya kata nikah tertera didalam Al-Quran dan sunnah tanpa
adanya indikasi lain maka yang dimaksud adalah hubungan intim, sebagaimana
dalam firman Allah:
وَلَا تَنكِحُواْ
مَا نَكَحَ ءَابَآؤُكُم مِّنَ ٱلنِّسَآءِ إِلَّا مَا قَدۡ سَلَفَۚ إِنَّهُۥ
كَانَ فَٰحِشَةٗ وَمَقۡتٗا وَسَآءَ سَبِيلًا ٢٢
22. Dan
janganlah kamu nikahi wanita-wanita yang telah dinikahi oleh ayahmu, terkecuali
pada masa yang telah lampau. Sesungguhnya perbuatan itu amat keji dan dibenci
Allah dan seburuk-buruk jalan (yang ditempuh). (Q.S An-Nisa [04]: 22).
Oleh
karena itu, perempuan yang dizinahi oleh seorang ayah diharamkan dinikahi oleh
seorang anak. Maksudnya semua keturunannya. Pengharaman atas semua keturunan
ini telah ditetapkan oleh teks Al-Quran. Adapun pengharaman perempuan yang
dinikahi dengan akad yang benar atas semua keturunan merupakan ijma’ para
ulama. Seandainya dia berkata kepada istrinya “Jika aku menikahimu maka kamu aku
ceraikan.” Syarat dalam kalimat tersebut berkaitan dengan hubungan intim.
Demikian juga jika ia menalaq ba’in istrinya tersebut sebelum berhubungan
intim, kemudian ia menikahinya lagi, maka si istri secara otomatis terceraikan
setelah terjadi hubungan intim, bukan sekedar terjadinya akad nikah.
Adapun
nikah dengan perempuan asing maka yang dimaksud dengan kata “nikah” tersebut
adalah akad nikah, karena berhubungan intim dengannya diharamkan secara
syariat. Dengan demikian maka nikah disitu bukanlah hakikat, maelainkan majaz.
Kata
“nikah” didalam bahsa Arab, menurut para ahli fiqih, dari para senior empat
madzhab merupakan kata yang digunakan secara haqiqah (sebenarnya) dalam
mengungkapkan makna akad, sedangkan digunakan secara majaz (kiasan) ketika
mengungkapkan makna hubungan intim. Karena itu sudah masyhur didalam Al-Quran
dan hadits. Az-Zamakhsyari dari kalangan ulama madzhab Hanafi berkata, “Didalam
Al-Quran tidak ada kata nikah yang berarti hubungan intim, kecuali firman Allah
SWT :
حَتَّىٰ
تَنكِحَ زَوۡجًا غَيۡرَهُۥۗ
230.
hingga dia kawin dengan suami yang lain. (Al-Baqarah [02]: 230) itu karena ada
hadits sahih yang berbunyi:
حَتَّى
تَذُوْقِيْ عُسَيْلَتَهُ.
“Hingga kamu
merasakan air spermanya”.
Maksudnya
adalah akad nikah. Sedangkan makna hubungan intim diambil dari hadits diatas.[5]
Dalam
UU RI No 01 tahun 1974 tentang perkawinan BAB I pasal 1 yang berbunyi:
“Perkawinan ialah ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita
sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang
bahagia dan kekal berdasarkan ketuhanan Yang Maha Esa.[6]
Sayyid
Sabiq, lebih lanjut mengomentari: Perkawinan merupakan salah satu sunnatullah
yang berlaku pada semua makhluk Tuhan, baik pada manusia, hewan maupun
tumbuh-tumbuhan. Perkawinan merupakan cara
yang dipilih Allah sebagai jalan bagi manusia untuk beranak-pinak, berkembang
biak, dan melestarikan hidupnya setelah masing-masing pasangan siap melakukan
perannya yang positif dalam mewujudkan tujuan perkawinan. Allah tidak menjadikan
manusia seperti makhluk yang lainnya yang hidup bebas mengikuti nalurinya dan
berhubungan secara anarki tanpa aturan. Demi menjaga kehormatan dan martabat
kemuliaan manusia, Allah mengadakan hukum sesuai dengan martabatnya, sehingga
hubungan antara laki-laki dan perempuan diatur secara terhormat dan berdasarkan
rasa saling meridhai, dengan upacara ijab dan kabul sebagai lambang adanya rasa
ridha-meridhai, dan dengan dihadiri dengan para saksi yang menyaksikan bahwa
pasangan laki-laki dan perempuan itu telah saling terikat. Bentuk perkawinan
ini telah memberikan jalan yang aman pada naluri seks, memelihara keturunan
dengan baik, dan menjaga kaum perempuan agar tidak laksana rumput yang bisa
dimakan oleh binatang ternak dengan seenaknya. Pergaulan suami istri menurut
ajaran Islam diletakkan dibawah naluri keibuan dan kebapaan sebagaimana ladang
yang baik yang nantinya menumbuhkan tumbuh-tumbuhan yang baik dan menghasilkan
buah yang baik pula.[7]
B.
Hukum
Pernikahan
Berkenaan
dengan hukum pernikahan, Ibnu Rusyd menjelaskan: Segolongan fuqaha’, yakni
jumhur (mayoritas ulama) berpendapat bahwa nikah itu hukumnya sunnat. Golongan
Zhahiriyyah berpendapat bahwa nikah itu wajib. Para ulama Malikiyah
mutaakhirin berpendapat bahwa nikah itu wajib untuk sebagian orang, sunnat
untuk sebagian lainnya dan mubah untuk segolongan yang lain. Demikian
itu menurut mereka ditinjau berdasarkan kekhawatiran dirinya.
Perbedaan
pendapat ini kata Ibnu Rusyd disebabkan adanya penafsiran apakah bentuk kalimat
perintah dalam ayat dan hadis-hadis yang berkenaan dengan masalah ini, harus
diartikan wajib, sunnat ataukah mungkin mubah? Ayat tersebut adalah:
وَإِنۡ
خِفۡتُمۡ أَلَّا تُقۡسِطُواْ فِي ٱلۡيَتَٰمَىٰ فَٱنكِحُواْ مَا طَابَ لَكُم مِّنَ ٱلنِّسَآءِ
مَثۡنَىٰ وَثُلَٰثَ وَرُبَٰعَ….
Artinya:… Maka kawinilah
wanita-wanita (lain) yang kamu senangi : dua, tiga atau empat …. (Q.S. An-Nisa [04]; 03).
Sedangkan hadis yang
berkenaan dengan nikah adalah:
تَناَكَحُوا فَإِنِّي مَكَاثِرٌ بِكُمْ الْلأُمَم
...
Artrinya: Nikahlah kamu,
karena sesungguhnya dengan kamu nikah, aku akan berlomba-lomba dengan umat yang
lain…
Bagi fuqaha’ yang
berpendapat bahwa nikah itu wajib bagi sebagian orang, sunnat untuk
sebagian yang lain, dan mubah untuk yang lain, maka pendapat ini
didasarkan atas pertimbangan kemaslahatan. Qiyas seperti inilah yang
disebut qiyas mursal, yakni suatu qiyas yang tidak mempunyai
dasar penyandaran. Kebanyakan ulama mengingkari qiyas tersebut, akan
tetapi mazhab Maliki tampak jelas dipegangi.[8]
Al Jaziry mengatakan bahwa
sesuai dengan keadaan orang yang melakukan perkawinan, hukum nikah berlaku
untuk hukum-hukum syara’ yang lima, adakalanya wajib, haram, makruh, sunnat
(mandub) dan adakalanya mubah.[9]
Ulama Syafi’iyah mengatakan
bahwa hukum asal nikah adalah mubah, disamping ada yang sunnat, wajib, haram
dan yang makruh.[10]
Terlepas dari pendapat
imam-imam mazhab berdasarkan nash-nash, baik Al Quran maupun As Sunnah, Islam
sangat menganjurkan kaum muslimin yang mampu melangsungkan pernikahan. Namun demikian,
kalau dilihat berdasarkan keadaan orang yang melaksanakan serta tujuannya, maka
hukum pernikahan itu dapat dikenakan hukum wajib, sunnat, mubah, makruh ataupun
haram.[11]
1. Melakukan
Pernikahan Yang Hukumnya Wajib
Bagi seseorang yang telah
memiliki keinginan dan memiliki kemampuan untuk nikah dan dikhawatirkan
terjerumus dalam perbuatan zina seandainya tidak menikah, maka hukum melakukan
pernikahan bagi seorang tersebut adalah wajib. Hal ini didasarkan pada pemikiran
hukum bahwa setiap muslim wajib menjaga diri untuk tidak melakukan perbuatan
tercela dan terlarang. Sebagaimana dengan kaidah:
مَا
لَا يَتِمُّ الوَاجِبُ إِلَّا بِهِ فَهُوَ وَاجِبٌ
Artinya: Sesuatu yang wajib
tidak sempurna kecuali dengannya, maka sesuatu itu hukumnya wajib juga.
Sedangkan kaidah yang
lainnya juga mengatakan:
لِلْوَسَائِلِ
حُكْمُ الْمٌقَاصِدِ
Artinya: Sarana itu
hukumnya sama dengan hukum yang dituju.
2. Melakukan
Pernikahan Yang Hukumnya Sunnat
Orang yang telah mempunyai
kemauan dan kemampuan untuk melangsungkan pernikahan, tetapi kalau tidak
menikah tidak dikhawatirkan akan berbuat zina, maka hukum pernikahan yang
dikenakan kepada yang bersangkutan adalah sunnat. Alasan menetapkan hukum
sunnat ialah dari anjuran Al Quran seperti tersebut dalam surat AnNur ayat 32:
وَأَنكِحُواْ
ٱلۡأَيَٰمَىٰ مِنكُمۡ وَٱلصَّٰلِحِينَ مِنۡ عِبَادِكُمۡ وَإِمَآئِكُمۡۚ إِن
يَكُونُواْ فُقَرَآءَ يُغۡنِهِمُ ٱللَّهُ مِن فَضۡلِهِۦۗ وَٱللَّهُ وَٰسِعٌ
عَلِيمٞ ٣٢
Artinya: Dan kawinkanlah
orang-orang yang sedirian diantara kamu, dan orang-orang yang layak (berkawin)
dari hamba-hamba sahayamu yang lelaki dan hamba-hamba sahayamu yang perempuan.
jika mereka miskin Allah akan memampukan mereka dengan kurnia-Nya. dan Allah Maha
Luas (pemberian-Nya) lagi Maha mengetahui. (Q.S. An-Nur [24]: 32).
Serta hadis Nabi yang
diriwayatkan Bukhari dan Muslim dari Abdullah Bin Mas’ud yang dikemukakan dalam
menerangkan sikap agama Islam dalam masalah pernikahan. Baik ayat Al-Qur’an
maupun as-Sunnah tersebut berbentuk perintah, tetapi berdasarkan
qorinah-qorinah yang ada, perintah Nabi tidak memfaedahkan hukum wajib, tetapi
hukum sunnat saja.
3. Melakukan
Pernikahan Yang Hukumnya Haram
Bagi seorang yang tidak
mempunyai keinginan dan tidak memiliki kemampuan serta tanggung jawab dalam hal
menikah untuk melaksanakan kewajiban-kewajiban yang ada dalam rumah tangga
sehingga apabila melangsungkan pernikahan akan terlantarlah diri dan isterinya.
Maka hukum melakukan pernikahan bagi seorang tersebut ialah haram. Al Quran
telah menjelaskan dalam surat Al Baqarah ayat 195 berkenaan dengan larangan
bagi orang melakukan hal yang akan menimbulkan kerusakan:
وَلَا تُلۡقُواْ بِأَيۡدِيكُمۡ إِلَى ٱلتَّهۡلُكَةِ…. …..
Artinya: ….Dan janganlah kamu
menjatuhkan dirimu sendiri ke dalam kebinasaan….. (Q.S.
Al-Baqarah [02]: 195)
Bahkan hukumnya haram juga
bagi seorang yang melakukan pernikahan dengan tujuan menelantarkan pasangannya.
Dikarenakan pasangan yang dinikahi tidak diurus agar pasangannya itu tidak
dapat menikah dengan orang lain.
4. Melakukan
Pernikahan Yang Hukumnya Makruh
Bagi orang yang mempunyai
kemampuan untuk melakukan pernikahan juga cukup memiliki kemampuan menahan diri
sehingga tidak memungkinkan dirinya terjerumus dan tergelincir pada perbuatan
zina jikalau seorang tersebut tidak menikah, maka hukum melakukan pernikahan
bagi orang tersebut ialah Makruh. Hanya saja orang ini tidak mempunyai
keinginan yang kuat untuk dapat memenuhi kewajiban suami isteri dengan baik.
5. Melakukan
Pernikahan Yang Hukumnya Mubah
Sedangkan bagi seseorang
yang mempunyai kemampuan untuk melakukann ya, tetapi pabila tidak melakukannya
tidak khawatir akan berbuat zina dan apabila melakukannya juga tidak akan
menelantarkan istrinya. Pernikahan orang tersebut hanya didasarkan untuk
memenuhi kesenangan bukan dengan tujuan menjaga kehormatan agamanya dan membina
keluarga sejahtera. Hukum
mubah ini ditujukan bagi orang yang antara pendorong dan penghambatnya untuk
kawin itu sama, sehingga menimbulkan keraguan orang yang akan melakukan kawin,
seperti mempunyai keinginan tetapi belum mempunyai kemampuan , mempunyai
kemampuan untuk melakukan tetapi belum mempunyai kemauan yang kuat.[12]
C. Tujuan Pernikahan
Tujuan pernikahan menurut agama Islam
ialah untuk memenuhi petunjuk agama dalam rangka mendirikan keluarga yang
harmonis, sejahtera dan bahagia. Harmonis dalam menggunakan hak dan kewajiban
anggota keluarga: sejahtera artinya terciptanya ketenangan lahir dan batin
disebabkan terpenuhinya keperluan hidup lahir dan batinnya, sehingga timbullah
kebahagiaan, yakni kasih sayang antar anggota keluarga.
Manusia diciptakan Allah SWT
mempunyai naluri manusiawi yang perlu mendapat pemenuhan. Dalam pada itu
manusia diciptakan oleh Allah SWT untuk mengabdikan dirinya kepada Khaliq
penciptanya dengan segala aktivitas hidup, agar manusia menuruti tujuan
kejadiaannya, Allah SWT mengatur hidup manusia dengan aturan perkawinan.
Jadi aturan perkawinan menurut Islam
merupakan tuntutan agama yang perlu mendapat perhatian, sehingga kalau
diringkas ada dua tujuan orang melangsungkan perkawinan ialah memenuhi
nalurinya dan memenuhi petunjuk agama.
Mengenai naluri manusia seperti
tersebut pada ayat 14 surat Ali Imran:
زُيِّنَ
لِلنَّاسِ حُبُّ ٱلشَّهَوَٰتِ مِنَ ٱلنِّسَآءِ وَٱلۡبَنِينَ وَٱلۡقَنَٰطِيرِ…..
14. Dijadikan indah pada (pandangan)
manusia kecintaan kepada apa-apa yang diingini, yaitu: wanita-wanita,
anak-anak, harta yang banyak…..
(Q.S. Ali Imran [03]: 14).
Dari ayat ini jelas bahwa
manusia mempunyai kecenderungan terhadap cinta wanita, cinta anak keturunan dan
cinta harta kekayaan. Dalam pada itu manusia mempunyai fitrah mengenal kepada
Tuhan sebagaimana tersebut pada surat Ar-Rum ayat 30:
فَأَقِمۡ
وَجۡهَكَ لِلدِّينِ حَنِيفٗاۚ فِطۡرَتَ ٱللَّهِ ٱلَّتِي فَطَرَ ٱلنَّاسَ
عَلَيۡهَاۚ لَا تَبۡدِيلَ لِخَلۡقِ ٱللَّهِۚ ذَٰلِكَ ٱلدِّينُ ٱلۡقَيِّمُ
وَلَٰكِنَّ أَكۡثَرَ ٱلنَّاسِ لَا يَعۡلَمُونَ ٣٠
30. Maka hadapkanlah
wajahmu dengan lurus kepada agama Allah; (tetaplah atas) fitrah Allah yang
telah menciptakan manusia menurut fitrah itu. Tidak ada peubahan pada fitrah
Allah. (Itulah) agama yang lurus; tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui. (Q.S. Ar-Rum [30]:
30).
Dan perlulah
mengenal terhadap Allah itu dalam bentuk pengamalan agama.
Melihat dua
tujuan diatas, dan memperhatikan uraian Imam Al-Ghazali dalam Ihyanya tentang
faedah melangsungkan perkawinan, maka tujuan perkawinan itu dapat dikembangkan
menjadi lima yaitu:
1. Mendapatkan dan
melangsungkan keturunan.
Seperti telah diungkapkan di muka
bahwa naluri manusia mempunyai kecenderungan untuk mempunyai keturunan yang sah
keabsahan anak keturunan yang diakui oleh dirinya sendiri, masyarakat, negara
dan kebenaran keyakinan agama Islam memberi jalan untuk itu. Agama memberi
jalan hidup manusia agar hidup bahagia di dunia dan akhirat dicapai dengan
hidup berbakti kepada Tuhan secara sendiri-sendiri, berkeluarga dan
bermasyarakat. Kehidupan keluarga bahagia, umumnya antara lain ditentukan oleh
kehadiran anak-anak. Anak merupakan buah hati dan belahan jiwa. Banyak hidup
rumah tangga kandas karena tidak mendapat karunia anak.
Nabi memberi petunjuk agar dalam
memilih jodoh mengutamakan istri yang tidak mandul:
سَوْدَآءُ وَلُوْدٍ خَيْرٌ مِن حَسنَآءَ
عَقِيْمٍ (روا ابن حبان)
Perempuan hitam yang beranakan lebih baik daripada perempuam cantik
tetapi mandu (HR. Ibnu Hibban).
Al-Qur’an juga
menganjurkan agar manusia selalu berdoa agar dianugerahi putera yang menjadi
mutiara dari istrinya, sebagaimana tercantum dalam surat Al-Furqan ayat 74:
وَٱلَّذِينَ
يَقُولُونَ رَبَّنَا هَبۡ لَنَا مِنۡ أَزۡوَٰجِنَا وَذُرِّيَّٰتِنَا قُرَّةَ
أَعۡيُنٖ….
74. Dan orang orang yang berkata: "Ya Tuhan
kami, anugrahkanlah kepada kami isteri-isteri kami dan keturunan kami sebagai
penyenang hati (kami), dan jadikanlah kami imam bagi orang-orang yang bertakwa. (Q.S. Al-Furqon [25]: 74).
Anak sebagai keturunan
bukan saja menjadi buah hati, tetapi juga sebagai pembantu-pembantu dalam hidup
di dunia bahkan akan memberikan tambahan amal kebajikan di akhirat nanti,
manakala dapat mendidiknya menjadi anak yang shaleh, sebagaimana sabda Nabi SAW
yang diriwayatkan Muslin dari Abu Hurairah:
إِذَا
مَاتَ الْإِنْسَانُ إِنْقَطَعَ عَمَلُهُ إِلَّا مِنْ ثَلَاثٍ: صَدَقَةٍ جَارِيَةٍ
أَوْ عِلْمٍ يُنْتَفَعُ بِهِ أَوْ وَلَدٍ صَالِحٍ يَدْعُوْلَهُ
Apabila manusia meninggal dunia maka
putuslah amalnya kecuali tiga hal: shadaqah jariyah, atau ilmu yang bermanfaat,
atau anak yang shaleh yang selalu mendo’akannya (HR. Muslim [1631][13]
dan Abu Dawud [2880][14]
dari Abu Hurairah).
Begitu
besarnya peran seorang anak terhadap amal orang tuanya, sehingga dijelaskan
dalam hadis Nabi Muhammad SAW bahwa orang tua yang kehilangan anaknya yang
masih kecil akan dimasukkan ke dalam surga dan akan terlepas dari api neraka,
sebagaimana hadis yang diriwayatkan oleh Bukhari dari Anas:
مَا مِنَ
النَّاسِ مُسْلِمٌ يَمُوْتُ لَهُ ثَلَاثَةٌ مِنَ الْوَلَدِ لَمْ يَبْلُغُوا
الْحِنْثَ إِلَّا أَدْخَلَهُ اللَّهُ الْجَنَّةَ بِفَضْلِ رَحْمَتِهِ إِيَّاهُمْ
Tiada kematian seorang muslim yang kematian anak yang belum baligh,
melaainkan Allah SWT akan memasukkan ke dalam surga karena karunia rahmat Allah
SWT terhadap anak-anak itu. (HR. Bukhari [1381][15]
dari Anas).
Juga hadis riwayat
Bukhari Muslim dari Abu Hurairah:
لَا يَمُوْتُ
لِأَحَدٍ مِنَ الْمُسْلِمِيْنَ ثَلَاثَةٌ مِنَ الْوَلْدِ لَا يَمَسُّهُ النَّارُ
إِلَّا تَحِلَّةُ الْقَسَمِ
Tiada seorang muslim kematian tiga anak lalu akan tersentuh oleh api
neraka, kecuali untuk sekedar menempati sumpah Tuhan. (HR. Bukhari [6656][16]
dan Muslim [2632][17]
dari Abu Hurairah).
2. Penyaluran
Syahwat dan Penumpahan Kasih Sayang Berdasarkan Tanggung Jawab.
Al-Qur’an telah
melukiskan bahwa pria dan wanita bagaikan pakaian, artinya yang satu memerlukan
yang lain, sebagaimana tersebut pada surat Al-Baqarah ayat 187 yang menyatakan:
أُحِلَّ لَكُمۡ لَيۡلَةَ ٱلصِّيَامِ
ٱلرَّفَثُ إِلَىٰ نِسَآئِكُمۡۚ هُنَّ لِبَاسٞ لَّكُمۡ وَأَنتُمۡ لِبَاسٞ لَّهُنَّ….
187. Dihalalkan bagi kamu pada malam hari bulan puasa
bercampur dengan isteri-isteri kamu; mereka adalah pakaian bagimu, dan kamupun
adalah pakaian bagi mereka….. (Q.S. Al-Baqarah [02]: 187)
Dalam pada itu
Allah SWT mengetahui bahwa kalau saja wanita dan pria tidak diberi kesempatan
untuk menyalurkan nalurinya itu akan berbuat pelanggaran, seperti dinyatakan
ayat selanjutnya.
Di samping
perkawinan untuk pengaturan naluri seksual juga untuk menyalurkan cinta dan
kasih saying di kalangan pria dan wanita secara harmonis dan bertanggung jawab.
Penyaluran
cinta dan kasih sayang yang diluar perkawinan tidak akan menghasilkan
keharmonisan dan tanggung jawab yang layak, karena didasarkan atas kebebasan
yang tidak terikat oleh suatu norma. Satu-satunya norma ialah yang ada pada
dirinya masing-masing, sedangkan masing-masing orang mempunyai kebebasan.
Perkawinan mengikat adanya kebebasan menumpahkan cinta dan kasih sayang secara
harmonis dan bertanggung jawab melaksanakan kewajiban.
3. Memelihara Diri
dari Kerusakan.
Sesuai dengan
surat Ar-Rum ayat 21 diatas yang lalu, bahwa ketenangan hidup dan cinta serta
kasih saying keluarga dapat ditunjukkan melalui perkawinan. Orang-orang yang
tidak melakukan penyalurannya dengan perkawinan akan mengalami
ketidakwajarandan dapat menimbulkan kerusakan, entah kerusakan dirinya sendiri
ataupun orang lain bahkan masyaraka, karena manusia mempunyai nafsu, sedangkan
nafsu itu condong mengajak kepada perbuatan yang tidak baik, sebagaimana
dinyatakan dalam Al-Quran surat Yusuf ayat 53:
… إِنَّ ٱلنَّفۡسَ لَأَمَّارَةُۢ بِٱلسُّوٓءِ …
… sesungguhnya nafsu itu selalu menyuruh kepada kejahatan.. (QS.
Yusuf 53).
Dorongan nafsu
yang utama ialah nafsu seksual, karenanya perlulah menyalurkannya dengan baik,
yakni perkawinan. Perkawinan dapat mengurangi dorongan yang kuat atau dapat
mengembalikan gejolak nafsu seksual; seperti tersebut dalam hadis Nabi SWT:
… فَإِ نَّهُ أَغَضُّ لِلْبَصَرِ وَاَحْصَنُ
لِلْفَرْجِ…
… Sesungguhnya perkawinan itu dapat mengurangi liarnya pandangan
dan dapat menjaga kehormatan…
4. Menimbulkan
Kesungguhan Bertanggung Jawab dan Mencari Harta yang Halal.
Hidup
sehari-hari menunjukkan bahwa orang-orang yang belim berkeluarga tindakannya
sering masih dipengaruhi oleh emosinya sehingga kurang mantap dan kurang
bertanggungjawab. Kita lihat sopir yang sudah berkeluarga dalam cara
mengendalikan kendaraannya lebih tertib, para pekerja yang sudah berkeluarga
lebih rajin dibandibg dengan para pekerja bujangan. Demikian pula dalam
menggunakan hartanya, orang-orang yang telah berkeluarga lebih efektif dan
hemat, karena mengingat kebutuhan keluarga dirumah. Jarang pemuda pemudi yang
belum berkeluarga memikirkan hari kedepannya, mereka berpikir untuk hari ini,
barulah setelah mereka kawin, memikirkan bagaimana caranya mendapatkan bekal
untuk memenuhi kebutuhan keluarganya. Demikian pula calon ibu setelah memasuki
jenjang perkawinan mengetaui bagaimana cara penggunaan uang agar dapat untuk
mencukupi kebutuhan rumah tangganya. Rasa tanggung jawab akan kebutuhan itu
mendorong semangat untuk mencari rejeki sebagai bekal hidup sekeluarga dan
hidupnya tidak hanya untuk dirinya, tetapi untuk diri dan keluarganya.
Suami istri
yang perkawinannya di dasarkan pada pengalaman agama, jerih payah dalam
usahanya dan upaya mencari keperluan hidupnya dan keluarga yang dibinanya dapat
digolongkan ibadah dalam arti luas. Dengan demikian, melalui rumah tangga dapat
ditimbulkan gairah bekerja dan bertanggung jawab serta berusaha mencari harta
yang halal.
5. Membangun Rumah
Tangga yang dalam Rangka Membentuk Masyarakat yang Sejahtera Berdasarkan Cinta
dan Kasih Sayang.
Suatu kenyataan bahwa manusia di
dunia tidaklah berdiri sendiri melainkan bermasyarakat yang terdiri dari
unit-unit yang terkecil yaitu keluarga yang terbentuk melalui perkawinan,
seperti tersebut dalam surat An-Nahl ayat 72:
وَٱللَّهُ جَعَلَ لَكُم
مِّنۡ أَنفُسِكُمۡ أَزۡوَٰجٗا وَجَعَلَ لَكُم مِّنۡ أَزۡوَٰجِكُم بَنِينَ
وَحَفَدَةٗ وَرَزَقَكُم مِّنَ ٱلطَّيِّبَٰتِۚ أَفَبِٱلۡبَٰطِلِ يُؤۡمِنُونَ
وَبِنِعۡمَتِ ٱللَّهِ هُمۡ يَكۡفُرُونَ ٧٢
72. Allah menjadikan bagi kamu isteri-isteri dari
jenis kamu sendiri dan menjadikan bagimu dari isteri-isteri kamu itu, anak-anak
dan cucu-cucu, dan memberimu rezeki dari yang baik-baik. Maka mengapakah mereka
beriman kepada yang bathil dan mengingkari nikmat Allah? (Q.S. An-Nahl [16]:
72).
Dalam hidupnya manusia
memerlukan ketenangan dan ketentraman hidup. Ketenangan dan ketentraman untuk
mencapai kebahagiaan. Kebahagiaan masyarakat dapat dicapai dengan ketenangan
dan ketentraman anggota keluarga dalam keluarganya. Keluarga merupakan bagian
masyarakat menjadi faktor terpenting dalam penentuan ketenangan dan ketentraman
masyarakat. Ketenangan dan ketentraman keluarga tergantung dari keberhasilan
pembinaan yang harmonis yang diciptakan oleh suami dan istri dalam suatu rumah
tangga. Keharmonisan diciptakan oleh adanya kesadaran anggota keluarga dalam
menggunakan hak dan pemenuhan kewajiban. Allah menjadikan unit keluarga yang
dibina dengan perkawinan antara suami istri dalam membentuk ketenangan dan
ketentraman serta mengembangkan cinta dan kasih sayang sesama warganya.
Sebagaimana dalam Al-Quran surat Ar-Rum ayat 21:
وَمِنۡ ءَايَٰتِهِۦٓ أَنۡ
خَلَقَ لَكُم مِّنۡ أَنفُسِكُمۡ أَزۡوَٰجٗا لِّتَسۡكُنُوٓاْ إِلَيۡهَا وَجَعَلَ
بَيۡنَكُم مَّوَدَّةٗ وَرَحۡمَةًۚ إِنَّ فِي ذَٰلِكَ لَأٓيَٰتٖ لِّقَوۡمٖ
يَتَفَكَّرُونَ ٢١
21. Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia
menciptakan untukmu isteri-isteri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung
dan merasa tenteram kepadanya, dan dijadikan-Nya diantaramu rasa kasih dan
sayang. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda
bagi kaum yang berfikir[18]
D. Hikmah Pernikahan
Sayyid Sabiq menyebutkan hikmah-hikmah pernikahan sebagai berikut:
1.
Sesungguhnya
naluri seks merupakan naluri yang paling kuat, yang selamanya menuntut adanya
jalan keluar. Bilamana jalan keluar tidak dapat memuaskannya, maka banyaklah
manusia yang mengalami kegincangan, kacau dan menerobos jalan yang jahat. Kawin
merupakan jalan alami dan biologis yang paling baik dan sesuai untuk
menyalurkan dan memuaskan naluri seks ini. Dengan kawin, badan jadi segar, jiwa
jadi tenang, mata terpelihara dari melihat yang haram, perasaan tenang
menikmati barang yang halal.
Keadaan seperti inilah yang diisyaratkan oleh firman Allah dalam
surat Ar-Rum ayat 21:
وَمِنۡ
ءَايَٰتِهِۦٓ أَنۡ خَلَقَ لَكُم مِّنۡ أَنفُسِكُمۡ أَزۡوَٰجٗا لِّتَسۡكُنُوٓاْ
إِلَيۡهَا وَجَعَلَ بَيۡنَكُم مَّوَدَّةٗ وَرَحۡمَةًۚ إِنَّ فِي ذَٰلِكَ لَأٓيَٰتٖ
لِّقَوۡمٖ يَتَفَكَّرُونَ ٢١
21.
Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan untukmu
isteri-isteri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tenteram
kepadanya, dan dijadikan-Nya diantaramu rasa kasih dan sayang. Sesungguhnya
pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang
berfikir.
Dari
Jabir bin Abdillah, Nabi SAW bersabda:
إِنَّ
الْمَرْأَةَ تُقبِلُ فِى صُوْرَةِ شَيْطَانٍ وَ تُدْبِرُ فِى صُوْرَةِ شَيْطَانٍ
فَإِذَا رَأَى أَحَدُكُمْ مِنْ إِمْرَأَةٍ مَا يُعْجِبُهُ فَلْيَأتِ أَهْلَهُ
فَإِنَّ ذَلِكَ يَرُدُّ مَا فِى نَفْسِهِ.
Sesungguhnya perempuan itu
menghadap dengan rupa syetan dan membelakangi diantara kamu tertarik kepada
seorang perempuan, hendaklah ia datangi istrinya, agar nafsunya dapat
tersalurkan. (HR. Muslim [1403][19]
dan Abi Dawud [2047][20]
dari Jabir)
2.
Kawin
merupakan jalan terbaik untuk menciptakan anak-anak menjadi mulia, memperbanyak
keturunan, melestarikan hidup manusia serta memelihara nasab yang oleh Islam
sangat diperhatikan. Dan dalam penjelasan yang lalu telah dikemukakan sabda
Nabi SAW tentang hal ini yang artinya sebagai berikut:
Kawinlah dengan perempuan yang penuh kasih sayang
(pencinta) lagi bisa banyak anak, agar aku nanti dapat membanggakan jumlahmu
yang banyak dihadapan para nabi pada Hari Kiamat nanti.
3.
Naluri
kebapaan dan keibuan akan tumbuh saling melengkapi dalam suasana hidup dengan
anak-anak dan akan tumbuh pula perasaan-perasaan ramah, cinta dan sayang yang
merupakan sifat-sifat baik yang menyempurnakan kemanusiaan seseorang.
4.
Menyadari
tanggung jawab beristri dan menanggung anak-anak akan menimbulkan sikap rajin
dan sungguh-sungguh dalam memperkuat bakat dan pembawaan seseorang. Ia akan
cekatan bekerja karena dorongan tanggung jawab dan memikul kewajibannya,
sehingga ia akan banyak bekerja dan mencari penghasilan yang dapat memperbesar
jumlah kekayaan dan memperbanyak produksi.
5.
Adanya
pembagian tugas, dimana yang satu mengurusi dan mengatur rumah tangga,
sedangkan yang lain bekerja diluar, sesuai dengan batas-batas tanggung jawab
antara suami istri dalam menangani tugas-tugasnya.
Perempuan bertugas mengatur dan mengurusi rumah tangga,
memelihara dan mendidik anak-anak, menyiapkan suasana yang sehat dan
menyenangkan bagi suaminya untuk istirahat guna melepaskan lelah dan memperoleh
kesegaran badan kembali. Sementara itu suami bekerja dan berusaha mendapatkan
harta dan belanja untuk keperluan rumah tangga. Dengan pembagian tugas yang
adil ini, masing-masing pasangan menunaikan tugasnya yang alami sesuai dengan
keridhaan Ilahi, dihormati oleh umat manusia dan membuahkan hasil yang
menguntungkan.
6.
Dengan
perkawinan, diantaranya dapat membuahkan tali kekelargaan, memperteguh
kelanggengan rasa cinta antara keluarga, dan memperkuat hubungan kemasyarakatan
yang oleh Islam direstui, ditopang dan ditunjang.
Karena masyarakat yang saling menunjang lagi saling menyayangi akan terbentuk
masyarkat yang kuat dan bahagia.[21]
BAB III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
-
Nikah
secara bahasa berarti mengumpulkan, saling memasukkan, bersetubuh atau
pengibaratan dari sebuah hubungan intim yang dibarengi akad. Sedangkan secara
syariat nikah yaitu sebuah akad yang telah ditetapkan oleh syariat yang berfungsi untuk
memberikan hak kepemilikan bagi lelaki untuk bersenang-senang dengan perempuan,
dan menghalalkan seorang perempuan bersenang-senang dengan lelaki.
-
Hukum
nikah yaitu:
a.
Wajib,
jika sesorang telah mempunyai kemauan dan kemampuan untuk nikah dan
dikhawatirkan akan memperbuat zina jika tidak nikah.
b.
Sunnah,
jika sesorang telah mempunyai kemauan dan kemampuan untuk nikah dan tidak
dikhawatirkan akan memperbuat zina.
c.
Haram,
jika seseorang tidak mempunyai keinginan dan tidak mempunyai kemampuan serta
tanggung jawab untuk melaksanakan kewajiban-kewajiban dalam rumah tangga.
d.
Makruh,
jika sesorang telah mempunyai kemauan dan kemampuan untuk nikah dan tidak
dikhawatirkan akan memperbuat zina. Hanya saja orang ini tidak mempunyai
keinginan yang kuat untuk dapat memenuhi kewajiban suami istri dengan baik.
e.
Mubah,
jika sesorang telah mempunyai kemauan dan kemampuan untuk nikah dan tidak
dikhawatirkan akan memperbuat zina dan apabila dia nikah dia tidak
menerlantarkan istrinya
-
Tujuan
nikah yaitu:
a.
Mendapatkan
dan melangsungkan keturunan.
b.
Memenuhi
hajaat manusia untuk menyalurkan syahwatnya dan menumpahkan kasih sayangnya.
c.
Memenuhi
panggilan agama, memelihara diri dari kejahatan dan kerusakan.
d.
Menumbuhkan
kesungguhan untuk bertanggung jawab menerima hak serta kewajiban, juga bersungguh-sungguh
untuk memperoleh harta kekayaan yang halal.
e.
Membangun
rumah tanga untuk membentuk masyarakat yang tentram atas dasar cinta dan kasih
sayang.
-
Hikmah
nikah yaitu: menyalurkan naluri seks, jalan mendapatkan keturunan yang sah,
penyaluran naluri kebapaan dan keibuan, dorongan untuk bekerja keras,
pengaturan hak dan kewajiban dalam rumah tangga dan menjalin silaturrahmi
antara dua keluarga, yaitu keluarga dari pihak suami dan keluarga dari pihak
istri.
DAFTAR PUSTAKA
Al Zuhaili, Wahbah. 2007. Fiqh Islam wa Adillatuhu, Penerjemah: Abdul Hayyie al-Kattani dkk, Penyunting: Arif Muhajir, Depok:
Gema Insani.
Al-Bukhari, Muhammad bin Isma’il. 1998. Shahih Bukhari, Beirut:
Dar Al-Kotob Al-Ilmiyah.
Al-Jazary, Abdurrahman. 2003. Kitab al-Fiqh ‘ala al-Madzahib
al-Arba’ah, Beirut: Dar Al-Kotob Al-Ilmiyah.
Ghozali, Abdul Rahman.
2012. Fiqh Munakahat, Jakarta: Kencana.
Ibnu Rusyd, Abul Wahid Muhammad bin Ahmad bin Muhammad. 2007. Bidayah
al Mujtahid wa Nihayah al Muqtashid, Terj. Imam Ghazali Said dkk, Sunt.
Achmad Ma’ruf Asrori, Jakarta: Pustaka Amani.
Mahkamah Agung. 2006. Undang-undang Pokok Perkawinan, Jakarta:
Sinar Grafika.
Muslim, Abi
Hasan. 2008. Shahih Muslim, Beirut: Dar Al-Kotob Al-Ilmiyah.
Rusyd, Ibnu. Bidayah al Mujtahid wa Nihayah al Muqtashid,
(Beirut: Dar al Fikr), Jilid II, h. 2.
Sabiq, Sayyid. 2009. Fiqh al-Sunnah, Kairo: Dar El-Hadith.
Shihab, M. Quraisy. 2004. Wawasan Al Quran, Bandung: Mizan.
Sulaiman, Abu
Dawud. 2011. Sunan Abi Dawud, Beirut: Dar Al-Kotob Al-Ilmiyah.
Syaltut, Mahmud. 1998. Islam Akidah dan Syari’ah, Penerjemah:
Ir Abdurrahman Zain, Penyunting: Ainul Ghoerry Soechaimi, Jakarta: Pustaka
Amani.
Yanggo, Huzaemah Tahido. 2005. Masail Fiqhiyah, Bandung:
Angkasa.
[1]
Huzaemah Tahido Yanggo, Masail Fiqhiyah (Bandung: Angkasa, 2005), h. 133
[2]
Mahmud Syaltut, Islam Akidah dan Syari’ah, Terj. Ir Abdurrahman Zain,
Sunt. Ainul Ghoerry Soechaimi (Jakarta: Pustaka Amani, 1998), h. 206
[3] Wahbah Al Zuhaili, Fiqh Islam wa
Adillatuhu, Terj. Abdul Hayyie al-Kattani dkk, Sunt. Arif Muhajir (Depok:
Gema Insani, 2007), jilid 9, h.20. Lihat juga Abdul Rahman Ghozali, Fiqh
Munakahat, (Jakarta: Kencana, 2012), h.7
[5]
Wahbah Zuhaili, Op. Cit., h. 20-21. Lihat pula Abdurrahman Al-Jazary, Kitab
al-Fiqh ‘ala al-Madzahib al-Arba’ah, (Beirut: Dar Al-Kotob Al-Ilmiyah,
2003), h.7-10.
[6] Mahkamah
Agung, Undang-undang Pokok Perkawinan, (Jakarta: Sinar Grafika, 2006),
h. 01
[7]
Sayyid Sabiq, Fiqh al-Sunnah, (Kairo: Dar El-Hadith, 2009), jilid 2, h.5.
Lihat pula Abdul Rahman Ghozali, Op. Cit., h.10-11.
[8] Abdul Rahman
Ghozaly, Op. Cit., h. 16. Lihat pula Abul Wahid Muhammad bin Ahmad bin
Muhammad Ibnu Rusyd, Bidayah al Mujtahid wa Nihayah al Muqtashid, Terj.
Imam Ghazali Said dkk, Sunt. Achmad Ma’ruf Asrori, (Jakarta: Pustaka Amani,
2007), Jilid II, h. 394.
[10] Abdul Rahman
Ghozaly, Op. Cit., h.18
[11]
Wahbah Al Zuhaily, Op. Cit., h.41
[13]
Abi Hasan Muslim, Shahih Muslim, (Beirut: Dar Al-Kotob Al-Ilmiyah,
2008), Jilid 3, h. 84
[14]
Abu Dawud Sulaiman, Sunan Abi Dawud, (Beirut: Dar Al-Kotob Al-Ilmiyah,
2011), Jilid 2, h. 325
[15]
Muhammad bin Isma’il al-Bukhari, Shahih Bukhari, (Beirut: Dar Al-Kotob
Al-Ilmiyah, 1998), Jilid 1, h. 465
[16]Ibid,
Jilid 4, h. 290
[17]
Abi Hasan Muslim, Op. Cit., Jilid 4, h. 199
[19]
Abi Hasan Muslim, Op. Cit., h. 329
[20]
Abu Dawud Sulaiman, Op. Cit., h.85
[21] Sayyid Sabiq, Op. Cit., h.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar