Minggu, 08 April 2018

Makalah Fiqh Munakahat Tentang Pernikahan


BAB I
PENDAHULUAN
A.    Latar Belakanng
Pernikahan merupakan bagian dari ajaran Islam. Barang siapa menghindari pernikahan berarti ia meninggalkan sebagian dari ajaran agamanya. Disamping itu, pernikahan dapat menghindarkan diri dari perbuatan maksiat/zina.[1]
Jika keluarga itu bagaikan sebuah batu dari batu-batu bangunan suatu bangsa, maka pernikahan itu merupakan asal usul suatu keluarga. Karena dari pernikahan itulah terbentuk suatu keluarga, yang selanjutnya tumbuh dan berkembang.
Karena itu, pernikahan juga harus mendapatkan perhatian yang semestinya, seperti hal nya perhatian yang dicurahkan kepada keluarga, bahkan sebaiknya memperoleh perhatian yang lebih kuat.
Pada hakikatnya, pernikahan merupakan salah satu fenomena penataan fitrah yang tersimpan dalam diri manusia, sebagaimana fitrah itu ada pada jenis binatang. Jika bukan karena pernikahan yang merupakan pengaturan bagi fitrah yang sama-sama dimiliki oleh manusia dan binatang, maka manusia tidak akan berbeda dengan berbagai jenis binatang yang dalam memenuhi tuntutan fitrahnya menempuh cara-cara yang anarkis dan tanpa aturan. Sebab, jika demikian keadaannya, ia tentu bukan manusia sebagai makhluk yang disesuaikan Allah keadaannya dan dihembuskan-Nya roh kedalam tubuhnya. Kemudian, diberi-Nya akal dan pikiran kepadanya dan dilebihkan-Nya derajat manusia dari sekalian makhluk yang lain. Seterusnya, manusia pun diberi-Nya kekuasaan di bumi dan ditundukkan-Nya seluruh alam kepadanya. Kemudian, dieprsiapkan-Nya bagi manusia prinsip-prinsip hubungan yang tinggi, yang bisa mengangkat derajatnya dari lingkup sifat kebinatangannya, dan diseru-Nya manusia untuk tolong-menolong dengan sesamanya dalam upaya menciptakan kemakmuran dunia, pengaturan kemaslahatan dan pertukaran kemanfaatan. [2]
Oleh karena itu, kami berusaha mengkaji lebih jauh tentang pernikahan khususnya pengertian, hukum, tujuan dan hikmah pernikahan. Hal ini kami harapkan dapat dijadikan acuan bagi rekan-rekan kami khususnya dan bagi masyarakat pada umumnya.
B.     Rumusan Masalah
Berhubungan pembahsan tentang pernikahan sangat luas maka dalam tulisan ini kami batasi hanya pada pembahasan tentang pengertian, hukum, tujuan, dan hikmah pernikahan. Maka, kami rumuskan beberapa masalah yaitu:
1.      Apa yang dimaksud pernikahan?
2.      Apa hukum dari sebuah pernikahan?
3.      Apa tujuan dari sebuah pernikahan?
4.      Apa hikamh yang dapat diambil dari sebuah pernikahan?
C.    Tujuan
Adapun tujuan dari penulisan makalah ini adalah mencoba untuk memberikan informasi kepada rekan-rekan kami pada khususnya dan kepada masyarakat pada umumnya tentang pengertian, hukum, tujuan, dan hikmah pernikahan.






BAB II
PEMBAHASAN

A.    Pengertian Pernikahan

Secara bahasa kata nikah berarti mengumpulkan, saling memasukkan, bersetubuh, atau sebuah pengibaratan akan sebuah hubungan intim dan akad sekaligus, yang didalam syariat dikenal dengan akad nikah.[3]
Kamus Besar Bahasa Indonesia mengartikan kata “nikah” sebagai (1) perjanjian antara laki-laki dan perempuan untuk bersuami istri (dengan resmi); (2) perkawinan.
Al-Qur’an menggunakan kata ini untuk makna tersebut, disamping –secara majazi-diartikannya dengan “hubungan seks”. Kata ini dalam berbagai bentuknya ditemukan sebanyak 23 kali. Secara bahasa pada mulanya kata nikah digunakan dalam arti “berhimpun”.
Al-Quran juga menggunakan kata zawwaja dari kata zauwj yang berarti “pasangan” untuk makna diatas. Ini karena perikahan menjadikan seorang memiliki pasangan. Kata tersebut dalam berbagai bentuk dan maknanya terulang tidak kurang dari 80 kali.
Secara umum Al-Quran hanya menggunakan dua kata ini untuk menggambarkan terjalinnya hubungan suami istri secara sah. Memang ada juga kata wahabat (yang berarti “memberi”) digunakan oleh Al-Quran untuk melukiskan kedatangan seorang wanita kepada Nabi SAW., dan menyerahkan dirinya untuk dijadikan istri. Tetapi agaknya kata ini hanya berlaku bagi Nabi SAW. (Q.S Al-Ahzab [33]: 50).
Kata-kata ini mempunyai implikasi hukum dalam kaitannya dengan ijab kabul (serah terima) pernikhan, sebagaimana akan dijelaskan kemudian.
Pernikahan, atau tepatnya “keberpasangan” merupakan ketetapan Ilahi atas segala makhluk. Berulang-ulang hakikat ini ditegaskan oleh Al-Quran antara lain dengan firman-Nya:
وَمِن كُلِّ شَيۡءٍ خَلَقۡنَا زَوۡجَيۡنِ لَعَلَّكُمۡ تَذَكَّرُونَ ٤٩
49. Dan segala sesuatu Kami ciptakan berpasang-pasangan supaya kamu mengingat kebesaran Allah. (Q,S Adz-Dzariyat [51]: 49).
سُبۡحَٰنَ ٱلَّذِي خَلَقَ ٱلۡأَزۡوَٰجَ كُلَّهَا مِمَّا تُنۢبِتُ ٱلۡأَرۡضُ وَمِنۡ أَنفُسِهِمۡ وَمِمَّا لَا يَعۡلَمُونَ ٣٦
36. Maha Suci Tuhan yang telah menciptakan pasangan-pasangan semuanya, baik dari apa yang ditumbuhkan oleh bumi dan dari diri mereka maupun dari apa yang tidak mereka ketahui. (Q,S Ya Sin [36]: 36). [4]
Sedangkan secara syariat berarti sebuah akad yang mengandung pembolehan bersenang-senang dengan perempuan, dengan berhuhbungan intim, menyentuh, mencium, memeluk, dan sebagainya, jika perempuan tersebut bukan termasuk mahram dari segi nasab, sesusuan, dan keluarga.
Atau bisa juga diartikan bahwa nikah adalah sebuah akad yang telah ditetapkan oleh syariat yang berfungsi untuk memberikan hak kepemilikan bagi lelaki untuk bersenang-senang dengan perempuan, dan menghalalkan seorang perempuan bersenang-senang dengan lelaki.
Para ulama Hanafiah mendefinisikan bahwa nikah adalah sebuah akad yang memberikan hak kepemilikan untuk bersenang-senang secara sengaja. Artinya, kehalalan seorang lelaki bersenang-senang dengan seorang perempuan yang tidak dilarang untuk dinikahi secara syariat, dengan kesengajaan. Dengan adanya kata “perempuan” maka tidka termasuk didalamnya laki-laki dan banci musykil. Demikian juga, dengan kalimat “yang tidak dilarang untuk dinikahi secara syariat” maka tidak termasuk didalamnya perempuan pagan, mahram, jin perempuan, dan manusia air.
Itu karena perbedaan jenis, sebab Allah SWT berfirman:
وَٱللَّهُ جَعَلَ لَكُم مِّنۡ أَنفُسِكُمۡ أَزۡوَٰجٗا وَجَعَلَ لَكُم مِّنۡ أَزۡوَٰجِكُم بَنِينَ وَحَفَدَةٗ وَرَزَقَكُم مِّنَ ٱلطَّيِّبَٰتِۚ أَفَبِٱلۡبَٰطِلِ يُؤۡمِنُونَ وَبِنِعۡمَتِ ٱللَّهِ هُمۡ يَكۡفُرُونَ ٧٢
72. Allah menjadikan bagi kamu isteri-isteri dari jenis kamu sendiri dan menjadikan bagimu dari isteri-isteri kamu itu, anak-anak dan cucu-cucu, dan memberimu rezeki dari yang baik-baik. Maka mengapakah mereka beriman kepada yang bathil dan mengingkari nikmat Allah? (An-Nahl [16]: 72).
Ayat tersebut menjelaskan maksud dari firman Allah SWT:
وَإِنۡ خِفۡتُمۡ أَلَّا تُقۡسِطُواْ فِي ٱلۡيَتَٰمَىٰ فَٱنكِحُواْ مَا طَابَ لَكُم مِّنَ ٱلنِّسَآءِ مَثۡنَىٰ وَثُلَٰثَ وَرُبَٰعَۖ فَإِنۡ خِفۡتُمۡ أَلَّا تَعۡدِلُواْ فَوَٰحِدَةً أَوۡ مَا مَلَكَتۡ أَيۡمَٰنُكُمۡۚ ذَٰلِكَ أَدۡنَىٰٓ أَلَّا تَعُولُواْ ٣
3. Dan jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil terhadap (hak-hak) perempuan yang yatim (bilamana kamu mengawininya), maka kawinilah wanita-wanita (lain) yang kamu senangi: dua, tiga atau empat. Kemudian jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil, maka (kawinilah) seorang saja, atau budak-budak yang kamu miliki. Yang demikian itu adalah lebih dekat kepada tidak berbuat aniaya. (An-Nisa [04]: 3).
Yaitu wanita dari kalangan manusia. Oleh karenanya tidak halal menikahi dari jenis yang lain tanpa dalil. Juga karena jin dapat berubah-ubah dengan berbagai macam bentuk. Kadang lelaki jin dapat berubah-ubah dengan berbagai macam bentuk. Kadang lelaki jin berubah bentuk menjadi perempuan. Dan dengan kata “sengaja” maka tidak termasuk didalamnya kehalalan bersenang-senang dengan cara membeli budak untuk perseliran. Para ulama yang lain menggunakan kalimat “bi thariqi ashaalah” (dengan cara original) sebagaii ganti dari kata “sengaja”. Sebagian ulama Hanafiah juga mendefinisikan bahwa nikah adalah akad yang dilakukan untuk memberikan hak milik segala manfaat dari kemaluan.
Menurut para ahli ilmu ushul fiqh dan bahasa, kata nikah digunakan secara haqiqoh (arti sebenarnya) untuk arti hubungan intim, dan secara majaz (kiasan) untuk arti akad. Sekiranya kata nikah tertera didalam Al-Quran dan sunnah tanpa adanya indikasi lain maka yang dimaksud adalah hubungan intim, sebagaimana dalam firman Allah:
وَلَا تَنكِحُواْ مَا نَكَحَ ءَابَآؤُكُم مِّنَ ٱلنِّسَآءِ إِلَّا مَا قَدۡ سَلَفَۚ إِنَّهُۥ كَانَ فَٰحِشَةٗ وَمَقۡتٗا وَسَآءَ سَبِيلًا ٢٢
22. Dan janganlah kamu nikahi wanita-wanita yang telah dinikahi oleh ayahmu, terkecuali pada masa yang telah lampau. Sesungguhnya perbuatan itu amat keji dan dibenci Allah dan seburuk-buruk jalan (yang ditempuh). (Q.S An-Nisa [04]: 22).
Oleh karena itu, perempuan yang dizinahi oleh seorang ayah diharamkan dinikahi oleh seorang anak. Maksudnya semua keturunannya. Pengharaman atas semua keturunan ini telah ditetapkan oleh teks Al-Quran. Adapun pengharaman perempuan yang dinikahi dengan akad yang benar atas semua keturunan merupakan ijma’ para ulama. Seandainya dia berkata kepada istrinya “Jika aku menikahimu maka kamu aku ceraikan.” Syarat dalam kalimat tersebut berkaitan dengan hubungan intim. Demikian juga jika ia menalaq ba’in istrinya tersebut sebelum berhubungan intim, kemudian ia menikahinya lagi, maka si istri secara otomatis terceraikan setelah terjadi hubungan intim, bukan sekedar terjadinya akad nikah.
Adapun nikah dengan perempuan asing maka yang dimaksud dengan kata “nikah” tersebut adalah akad nikah, karena berhubungan intim dengannya diharamkan secara syariat. Dengan demikian maka nikah disitu bukanlah hakikat, maelainkan majaz.
Kata “nikah” didalam bahsa Arab, menurut para ahli fiqih, dari para senior empat madzhab merupakan kata yang digunakan secara haqiqah (sebenarnya) dalam mengungkapkan makna akad, sedangkan digunakan secara majaz (kiasan) ketika mengungkapkan makna hubungan intim. Karena itu sudah masyhur didalam Al-Quran dan hadits. Az-Zamakhsyari dari kalangan ulama madzhab Hanafi berkata, “Didalam Al-Quran tidak ada kata nikah yang berarti hubungan intim, kecuali firman Allah SWT :
حَتَّىٰ تَنكِحَ زَوۡجًا غَيۡرَهُۥۗ
230. hingga dia kawin dengan suami yang lain. (Al-Baqarah [02]: 230) itu karena ada hadits sahih yang berbunyi:
حَتَّى تَذُوْقِيْ عُسَيْلَتَهُ.
“Hingga kamu merasakan air spermanya”.
Maksudnya adalah akad nikah. Sedangkan makna hubungan intim diambil dari hadits diatas.[5]
Dalam UU RI No 01 tahun 1974 tentang perkawinan BAB I pasal 1 yang berbunyi: “Perkawinan ialah ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan ketuhanan Yang Maha Esa.[6]
Sayyid Sabiq, lebih lanjut mengomentari: Perkawinan merupakan salah satu sunnatullah yang berlaku pada semua makhluk Tuhan, baik pada manusia, hewan maupun tumbuh-tumbuhan. Perkawinan merupakan cara yang dipilih Allah sebagai jalan bagi manusia untuk beranak-pinak, berkembang biak, dan melestarikan hidupnya setelah masing-masing pasangan siap melakukan perannya yang positif dalam mewujudkan tujuan perkawinan. Allah tidak menjadikan manusia seperti makhluk yang lainnya yang hidup bebas mengikuti nalurinya dan berhubungan secara anarki tanpa aturan. Demi menjaga kehormatan dan martabat kemuliaan manusia, Allah mengadakan hukum sesuai dengan martabatnya, sehingga hubungan antara laki-laki dan perempuan diatur secara terhormat dan berdasarkan rasa saling meridhai, dengan upacara ijab dan kabul sebagai lambang adanya rasa ridha-meridhai, dan dengan dihadiri dengan para saksi yang menyaksikan bahwa pasangan laki-laki dan perempuan itu telah saling terikat. Bentuk perkawinan ini telah memberikan jalan yang aman pada naluri seks, memelihara keturunan dengan baik, dan menjaga kaum perempuan agar tidak laksana rumput yang bisa dimakan oleh binatang ternak dengan seenaknya. Pergaulan suami istri menurut ajaran Islam diletakkan dibawah naluri keibuan dan kebapaan sebagaimana ladang yang baik yang nantinya menumbuhkan tumbuh-tumbuhan yang baik dan menghasilkan buah yang baik pula.[7]

B.     Hukum Pernikahan

Berkenaan dengan hukum pernikahan, Ibnu Rusyd menjelaskan: Segolongan fuqaha’, yakni jumhur (mayoritas ulama) berpendapat bahwa nikah itu hukumnya sunnat. Golongan Zhahiriyyah berpendapat bahwa nikah itu wajib. Para ulama Malikiyah mutaakhirin berpendapat bahwa nikah itu wajib untuk sebagian orang, sunnat untuk sebagian lainnya dan mubah untuk segolongan yang lain. Demikian itu menurut mereka ditinjau berdasarkan kekhawatiran dirinya.
Perbedaan pendapat ini kata Ibnu Rusyd disebabkan adanya penafsiran apakah bentuk kalimat perintah dalam ayat dan hadis-hadis yang berkenaan dengan masalah ini, harus diartikan wajib, sunnat ataukah mungkin mubah? Ayat tersebut adalah:
وَإِنۡ خِفۡتُمۡ أَلَّا تُقۡسِطُواْ فِي ٱلۡيَتَٰمَىٰ فَٱنكِحُواْ مَا طَابَ لَكُم مِّنَ ٱلنِّسَآءِ مَثۡنَىٰ وَثُلَٰثَ وَرُبَٰعَ….
Artinya:… Maka kawinilah wanita-wanita (lain) yang kamu senangi : dua, tiga atau empat …. (Q.S. An-Nisa [04]; 03).
Sedangkan hadis yang berkenaan dengan nikah adalah:
تَناَكَحُوا فَإِنِّي مَكَاثِرٌ بِكُمْ الْلأُمَم ...
Artrinya: Nikahlah kamu, karena sesungguhnya dengan kamu nikah, aku akan berlomba-lomba dengan umat yang lain…
Bagi fuqaha’ yang berpendapat bahwa nikah itu wajib bagi sebagian orang, sunnat untuk sebagian yang lain, dan mubah untuk yang lain, maka pendapat ini didasarkan atas pertimbangan kemaslahatan. Qiyas seperti inilah yang disebut qiyas mursal, yakni suatu qiyas yang tidak mempunyai dasar penyandaran. Kebanyakan ulama mengingkari qiyas tersebut, akan tetapi mazhab Maliki tampak jelas dipegangi.[8]
Al Jaziry mengatakan bahwa sesuai dengan keadaan orang yang melakukan perkawinan, hukum nikah berlaku untuk hukum-hukum syara’ yang lima, adakalanya wajib, haram, makruh, sunnat (mandub) dan adakalanya mubah.[9]
Ulama Syafi’iyah mengatakan bahwa hukum asal nikah adalah mubah, disamping ada yang sunnat, wajib, haram dan yang makruh.[10]
Terlepas dari pendapat imam-imam mazhab berdasarkan nash-nash, baik Al Quran maupun As Sunnah, Islam sangat menganjurkan kaum muslimin yang mampu melangsungkan pernikahan. Namun demikian, kalau dilihat berdasarkan keadaan orang yang melaksanakan serta tujuannya, maka hukum pernikahan itu dapat dikenakan hukum wajib, sunnat, mubah, makruh ataupun haram.[11]
1.      Melakukan Pernikahan Yang Hukumnya Wajib
Bagi seseorang yang telah memiliki keinginan dan memiliki kemampuan untuk nikah dan dikhawatirkan terjerumus dalam perbuatan zina seandainya tidak menikah, maka hukum melakukan pernikahan bagi seorang tersebut adalah wajib. Hal ini didasarkan pada pemikiran hukum bahwa setiap muslim wajib menjaga diri untuk tidak melakukan perbuatan tercela dan terlarang. Sebagaimana dengan kaidah:
مَا لَا يَتِمُّ الوَاجِبُ إِلَّا بِهِ فَهُوَ وَاجِبٌ
Artinya: Sesuatu yang wajib tidak sempurna kecuali dengannya, maka sesuatu itu hukumnya wajib juga.
Sedangkan kaidah yang lainnya juga mengatakan:
لِلْوَسَائِلِ حُكْمُ الْمٌقَاصِدِ
Artinya: Sarana itu hukumnya sama dengan hukum yang dituju.
2.      Melakukan Pernikahan Yang Hukumnya Sunnat
Orang yang telah mempunyai kemauan dan kemampuan untuk melangsungkan pernikahan, tetapi kalau tidak menikah tidak dikhawatirkan akan berbuat zina, maka hukum pernikahan yang dikenakan kepada yang bersangkutan adalah sunnat. Alasan menetapkan hukum sunnat ialah dari anjuran Al Quran seperti tersebut dalam surat AnNur ayat 32:
وَأَنكِحُواْ ٱلۡأَيَٰمَىٰ مِنكُمۡ وَٱلصَّٰلِحِينَ مِنۡ عِبَادِكُمۡ وَإِمَآئِكُمۡۚ إِن يَكُونُواْ فُقَرَآءَ يُغۡنِهِمُ ٱللَّهُ مِن فَضۡلِهِۦۗ وَٱللَّهُ وَٰسِعٌ عَلِيمٞ ٣٢
Artinya: Dan kawinkanlah orang-orang yang sedirian diantara kamu, dan orang-orang yang layak (berkawin) dari hamba-hamba sahayamu yang lelaki dan hamba-hamba sahayamu yang perempuan. jika mereka miskin Allah akan memampukan mereka dengan kurnia-Nya. dan Allah Maha Luas (pemberian-Nya) lagi Maha mengetahui. (Q.S. An-Nur [24]: 32).
Serta hadis Nabi yang diriwayatkan Bukhari dan Muslim dari Abdullah Bin Mas’ud yang dikemukakan dalam menerangkan sikap agama Islam dalam masalah pernikahan. Baik ayat Al-Qur’an maupun as-Sunnah tersebut berbentuk perintah, tetapi berdasarkan qorinah-qorinah yang ada, perintah Nabi tidak memfaedahkan hukum wajib, tetapi hukum sunnat saja.
3.      Melakukan Pernikahan Yang Hukumnya Haram
Bagi seorang yang tidak mempunyai keinginan dan tidak memiliki kemampuan serta tanggung jawab dalam hal menikah untuk melaksanakan kewajiban-kewajiban yang ada dalam rumah tangga sehingga apabila melangsungkan pernikahan akan terlantarlah diri dan isterinya. Maka hukum melakukan pernikahan bagi seorang tersebut ialah haram. Al Quran telah menjelaskan dalam surat Al Baqarah ayat 195 berkenaan dengan larangan bagi orang melakukan hal yang akan menimbulkan kerusakan:
وَلَا تُلۡقُواْ بِأَيۡدِيكُمۡ إِلَى ٱلتَّهۡلُكَةِ.  .. 
Artinya: ….Dan janganlah kamu menjatuhkan dirimu sendiri ke dalam kebinasaan….. (Q.S. Al-Baqarah [02]: 195)
Bahkan hukumnya haram juga bagi seorang yang melakukan pernikahan dengan tujuan menelantarkan pasangannya. Dikarenakan pasangan yang dinikahi tidak diurus agar pasangannya itu tidak dapat menikah dengan orang lain.
4.      Melakukan Pernikahan Yang Hukumnya Makruh
Bagi orang yang mempunyai kemampuan untuk melakukan pernikahan juga cukup memiliki kemampuan menahan diri sehingga tidak memungkinkan dirinya terjerumus dan tergelincir pada perbuatan zina jikalau seorang tersebut tidak menikah, maka hukum melakukan pernikahan bagi orang tersebut ialah Makruh. Hanya saja orang ini tidak mempunyai keinginan yang kuat untuk dapat memenuhi kewajiban suami isteri dengan baik.
5.      Melakukan Pernikahan Yang Hukumnya Mubah
Sedangkan bagi seseorang yang mempunyai kemampuan untuk melakukann ya, tetapi pabila tidak melakukannya tidak khawatir akan berbuat zina dan apabila melakukannya juga tidak akan menelantarkan istrinya. Pernikahan orang tersebut hanya didasarkan untuk memenuhi kesenangan bukan dengan tujuan menjaga kehormatan agamanya dan membina keluarga sejahtera. Hukum mubah ini ditujukan bagi orang yang antara pendorong dan penghambatnya untuk kawin itu sama, sehingga menimbulkan keraguan orang yang akan melakukan kawin, seperti mempunyai keinginan tetapi belum mempunyai kemampuan , mempunyai kemampuan untuk melakukan tetapi belum mempunyai kemauan yang kuat.[12]

C.    Tujuan Pernikahan

Tujuan pernikahan menurut agama Islam ialah untuk memenuhi petunjuk agama dalam rangka mendirikan keluarga yang harmonis, sejahtera dan bahagia. Harmonis dalam menggunakan hak dan kewajiban anggota keluarga: sejahtera artinya terciptanya ketenangan lahir dan batin disebabkan terpenuhinya keperluan hidup lahir dan batinnya, sehingga timbullah kebahagiaan, yakni kasih sayang antar anggota keluarga.
Manusia diciptakan Allah SWT mempunyai naluri manusiawi yang perlu mendapat pemenuhan. Dalam pada itu manusia diciptakan oleh Allah SWT untuk mengabdikan dirinya kepada Khaliq penciptanya dengan segala aktivitas hidup, agar manusia menuruti tujuan kejadiaannya, Allah SWT mengatur hidup manusia dengan aturan perkawinan.
Jadi aturan perkawinan menurut Islam merupakan tuntutan agama yang perlu mendapat perhatian, sehingga kalau diringkas ada dua tujuan orang melangsungkan perkawinan ialah memenuhi nalurinya dan memenuhi petunjuk agama.
Mengenai naluri manusia seperti tersebut pada ayat 14 surat Ali Imran:
زُيِّنَ لِلنَّاسِ حُبُّ ٱلشَّهَوَٰتِ مِنَ ٱلنِّسَآءِ وَٱلۡبَنِينَ وَٱلۡقَنَٰطِيرِ…..
14. Dijadikan indah pada (pandangan) manusia kecintaan kepada apa-apa yang diingini, yaitu: wanita-wanita, anak-anak, harta yang banyak….. (Q.S. Ali Imran [03]: 14).
Dari ayat ini jelas bahwa manusia mempunyai kecenderungan terhadap cinta wanita, cinta anak keturunan dan cinta harta kekayaan. Dalam pada itu manusia mempunyai fitrah mengenal kepada Tuhan sebagaimana tersebut pada surat Ar-Rum ayat 30:
فَأَقِمۡ وَجۡهَكَ لِلدِّينِ حَنِيفٗاۚ فِطۡرَتَ ٱللَّهِ ٱلَّتِي فَطَرَ ٱلنَّاسَ عَلَيۡهَاۚ لَا تَبۡدِيلَ لِخَلۡقِ ٱللَّهِۚ ذَٰلِكَ ٱلدِّينُ ٱلۡقَيِّمُ وَلَٰكِنَّ أَكۡثَرَ ٱلنَّاسِ لَا يَعۡلَمُونَ ٣٠
30. Maka hadapkanlah wajahmu dengan lurus kepada agama Allah; (tetaplah atas) fitrah Allah yang telah menciptakan manusia menurut fitrah itu. Tidak ada peubahan pada fitrah Allah. (Itulah) agama yang lurus; tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui. (Q.S. Ar-Rum [30]: 30).
Dan perlulah mengenal terhadap Allah itu dalam bentuk pengamalan agama.
Melihat dua tujuan diatas, dan memperhatikan uraian Imam Al-Ghazali dalam Ihyanya tentang faedah melangsungkan perkawinan, maka tujuan perkawinan itu dapat dikembangkan menjadi lima yaitu:
1.      Mendapatkan dan melangsungkan keturunan.
Seperti telah diungkapkan di muka bahwa naluri manusia mempunyai kecenderungan untuk mempunyai keturunan yang sah keabsahan anak keturunan yang diakui oleh dirinya sendiri, masyarakat, negara dan kebenaran keyakinan agama Islam memberi jalan untuk itu. Agama memberi jalan hidup manusia agar hidup bahagia di dunia dan akhirat dicapai dengan hidup berbakti kepada Tuhan secara sendiri-sendiri, berkeluarga dan bermasyarakat. Kehidupan keluarga bahagia, umumnya antara lain ditentukan oleh kehadiran anak-anak. Anak merupakan buah hati dan belahan jiwa. Banyak hidup rumah tangga kandas karena tidak mendapat karunia anak.
Nabi memberi petunjuk agar dalam memilih jodoh mengutamakan istri yang tidak mandul:
سَوْدَآءُ وَلُوْدٍ خَيْرٌ مِن حَسنَآءَ عَقِيْمٍ (روا ابن حبان)
            Perempuan hitam yang beranakan lebih baik daripada perempuam cantik tetapi mandu (HR. Ibnu Hibban).
            Al-Qur’an juga menganjurkan agar manusia selalu berdoa agar dianugerahi putera yang menjadi mutiara dari istrinya, sebagaimana tercantum dalam surat Al-Furqan ayat 74:
وَٱلَّذِينَ يَقُولُونَ رَبَّنَا هَبۡ لَنَا مِنۡ أَزۡوَٰجِنَا وَذُرِّيَّٰتِنَا قُرَّةَ أَعۡيُنٖ….
74. Dan orang orang yang berkata: "Ya Tuhan kami, anugrahkanlah kepada kami isteri-isteri kami dan keturunan kami sebagai penyenang hati (kami), dan jadikanlah kami imam bagi orang-orang yang bertakwa. (Q.S. Al-Furqon [25]: 74).
            Anak sebagai keturunan bukan saja menjadi buah hati, tetapi juga sebagai pembantu-pembantu dalam hidup di dunia bahkan akan memberikan tambahan amal kebajikan di akhirat nanti, manakala dapat mendidiknya menjadi anak yang shaleh, sebagaimana sabda Nabi SAW yang diriwayatkan Muslin dari Abu Hurairah:
إِذَا مَاتَ الْإِنْسَانُ إِنْقَطَعَ عَمَلُهُ إِلَّا مِنْ ثَلَاثٍ: صَدَقَةٍ جَارِيَةٍ أَوْ عِلْمٍ يُنْتَفَعُ بِهِ أَوْ وَلَدٍ صَالِحٍ يَدْعُوْلَهُ
Apabila manusia meninggal dunia maka putuslah amalnya kecuali tiga hal: shadaqah jariyah, atau ilmu yang bermanfaat, atau anak yang shaleh yang selalu mendo’akannya (HR. Muslim [1631][13] dan Abu Dawud [2880][14] dari Abu Hurairah).
            Begitu besarnya peran seorang anak terhadap amal orang tuanya, sehingga dijelaskan dalam hadis Nabi Muhammad SAW bahwa orang tua yang kehilangan anaknya yang masih kecil akan dimasukkan ke dalam surga dan akan terlepas dari api neraka, sebagaimana hadis yang diriwayatkan oleh Bukhari dari Anas:
مَا مِنَ النَّاسِ مُسْلِمٌ يَمُوْتُ لَهُ ثَلَاثَةٌ مِنَ الْوَلَدِ لَمْ يَبْلُغُوا الْحِنْثَ إِلَّا أَدْخَلَهُ اللَّهُ الْجَنَّةَ بِفَضْلِ رَحْمَتِهِ إِيَّاهُمْ
Tiada kematian seorang muslim yang kematian anak yang belum baligh, melaainkan Allah SWT akan memasukkan ke dalam surga karena karunia rahmat Allah SWT terhadap anak-anak itu. (HR. Bukhari [1381][15] dari Anas).
            Juga hadis riwayat Bukhari Muslim dari Abu Hurairah:
لَا يَمُوْتُ لِأَحَدٍ مِنَ الْمُسْلِمِيْنَ ثَلَاثَةٌ مِنَ الْوَلْدِ لَا يَمَسُّهُ النَّارُ إِلَّا تَحِلَّةُ الْقَسَمِ
Tiada seorang muslim kematian tiga anak lalu akan tersentuh oleh api neraka, kecuali untuk sekedar menempati sumpah Tuhan. (HR. Bukhari [6656][16] dan Muslim [2632][17] dari Abu Hurairah).
2.      Penyaluran Syahwat dan Penumpahan Kasih Sayang Berdasarkan Tanggung Jawab.
Al-Qur’an telah melukiskan bahwa pria dan wanita bagaikan pakaian, artinya yang satu memerlukan yang lain, sebagaimana tersebut pada surat Al-Baqarah ayat 187 yang menyatakan:
أُحِلَّ لَكُمۡ لَيۡلَةَ ٱلصِّيَامِ ٱلرَّفَثُ إِلَىٰ نِسَآئِكُمۡۚ هُنَّ لِبَاسٞ لَّكُمۡ وَأَنتُمۡ لِبَاسٞ لَّهُنَّ….
187. Dihalalkan bagi kamu pada malam hari bulan puasa bercampur dengan isteri-isteri kamu; mereka adalah pakaian bagimu, dan kamupun adalah pakaian bagi mereka….. (Q.S. Al-Baqarah [02]: 187)
Dalam pada itu Allah SWT mengetahui bahwa kalau saja wanita dan pria tidak diberi kesempatan untuk menyalurkan nalurinya itu akan berbuat pelanggaran, seperti dinyatakan ayat selanjutnya.
Di samping perkawinan untuk pengaturan naluri seksual juga untuk menyalurkan cinta dan kasih saying di kalangan pria dan wanita secara harmonis dan bertanggung jawab.
Penyaluran cinta dan kasih sayang yang diluar perkawinan tidak akan menghasilkan keharmonisan dan tanggung jawab yang layak, karena didasarkan atas kebebasan yang tidak terikat oleh suatu norma. Satu-satunya norma ialah yang ada pada dirinya masing-masing, sedangkan masing-masing orang mempunyai kebebasan. Perkawinan mengikat adanya kebebasan menumpahkan cinta dan kasih sayang secara harmonis dan bertanggung jawab melaksanakan kewajiban.
3.      Memelihara Diri dari Kerusakan.
Sesuai dengan surat Ar-Rum ayat 21 diatas yang lalu, bahwa ketenangan hidup dan cinta serta kasih saying keluarga dapat ditunjukkan melalui perkawinan. Orang-orang yang tidak melakukan penyalurannya dengan perkawinan akan mengalami ketidakwajarandan dapat menimbulkan kerusakan, entah kerusakan dirinya sendiri ataupun orang lain bahkan masyaraka, karena manusia mempunyai nafsu, sedangkan nafsu itu condong mengajak kepada perbuatan yang tidak baik, sebagaimana dinyatakan dalam Al-Quran surat Yusuf ayat 53:
إِنَّ ٱلنَّفۡسَ لَأَمَّارَةُۢ بِٱلسُّوٓءِ
… sesungguhnya nafsu itu selalu menyuruh kepada kejahatan.. (QS. Yusuf 53).
            Dorongan nafsu yang utama ialah nafsu seksual, karenanya perlulah menyalurkannya dengan baik, yakni perkawinan. Perkawinan dapat mengurangi dorongan yang kuat atau dapat mengembalikan gejolak nafsu seksual; seperti tersebut dalam hadis Nabi SWT:
فَإِ نَّهُ أَغَضُّ لِلْبَصَرِ وَاَحْصَنُ لِلْفَرْجِ
… Sesungguhnya perkawinan itu dapat mengurangi liarnya pandangan dan dapat menjaga kehormatan…
4.      Menimbulkan Kesungguhan Bertanggung Jawab dan Mencari Harta yang Halal.
Hidup sehari-hari menunjukkan bahwa orang-orang yang belim berkeluarga tindakannya sering masih dipengaruhi oleh emosinya sehingga kurang mantap dan kurang bertanggungjawab. Kita lihat sopir yang sudah berkeluarga dalam cara mengendalikan kendaraannya lebih tertib, para pekerja yang sudah berkeluarga lebih rajin dibandibg dengan para pekerja bujangan. Demikian pula dalam menggunakan hartanya, orang-orang yang telah berkeluarga lebih efektif dan hemat, karena mengingat kebutuhan keluarga dirumah. Jarang pemuda pemudi yang belum berkeluarga memikirkan hari kedepannya, mereka berpikir untuk hari ini, barulah setelah mereka kawin, memikirkan bagaimana caranya mendapatkan bekal untuk memenuhi kebutuhan keluarganya. Demikian pula calon ibu setelah memasuki jenjang perkawinan mengetaui bagaimana cara penggunaan uang agar dapat untuk mencukupi kebutuhan rumah tangganya. Rasa tanggung jawab akan kebutuhan itu mendorong semangat untuk mencari rejeki sebagai bekal hidup sekeluarga dan hidupnya tidak hanya untuk dirinya, tetapi untuk diri dan keluarganya.
Suami istri yang perkawinannya di dasarkan pada pengalaman agama, jerih payah dalam usahanya dan upaya mencari keperluan hidupnya dan keluarga yang dibinanya dapat digolongkan ibadah dalam arti luas. Dengan demikian, melalui rumah tangga dapat ditimbulkan gairah bekerja dan bertanggung jawab serta berusaha mencari harta yang halal.
5.      Membangun Rumah Tangga yang dalam Rangka Membentuk Masyarakat yang Sejahtera Berdasarkan Cinta dan Kasih Sayang.
Suatu kenyataan bahwa manusia di dunia tidaklah berdiri sendiri melainkan bermasyarakat yang terdiri dari unit-unit yang terkecil yaitu keluarga yang terbentuk melalui perkawinan, seperti tersebut dalam surat An-Nahl ayat 72:
وَٱللَّهُ جَعَلَ لَكُم مِّنۡ أَنفُسِكُمۡ أَزۡوَٰجٗا وَجَعَلَ لَكُم مِّنۡ أَزۡوَٰجِكُم بَنِينَ وَحَفَدَةٗ وَرَزَقَكُم مِّنَ ٱلطَّيِّبَٰتِۚ أَفَبِٱلۡبَٰطِلِ يُؤۡمِنُونَ وَبِنِعۡمَتِ ٱللَّهِ هُمۡ يَكۡفُرُونَ ٧٢
72. Allah menjadikan bagi kamu isteri-isteri dari jenis kamu sendiri dan menjadikan bagimu dari isteri-isteri kamu itu, anak-anak dan cucu-cucu, dan memberimu rezeki dari yang baik-baik. Maka mengapakah mereka beriman kepada yang bathil dan mengingkari nikmat Allah? (Q.S. An-Nahl [16]: 72).
Dalam hidupnya manusia memerlukan ketenangan dan ketentraman hidup. Ketenangan dan ketentraman untuk mencapai kebahagiaan. Kebahagiaan masyarakat dapat dicapai dengan ketenangan dan ketentraman anggota keluarga dalam keluarganya. Keluarga merupakan bagian masyarakat menjadi faktor terpenting dalam penentuan ketenangan dan ketentraman masyarakat. Ketenangan dan ketentraman keluarga tergantung dari keberhasilan pembinaan yang harmonis yang diciptakan oleh suami dan istri dalam suatu rumah tangga. Keharmonisan diciptakan oleh adanya kesadaran anggota keluarga dalam menggunakan hak dan pemenuhan kewajiban. Allah menjadikan unit keluarga yang dibina dengan perkawinan antara suami istri dalam membentuk ketenangan dan ketentraman serta mengembangkan cinta dan kasih sayang sesama warganya. Sebagaimana dalam Al-Quran surat Ar-Rum ayat 21:
وَمِنۡ ءَايَٰتِهِۦٓ أَنۡ خَلَقَ لَكُم مِّنۡ أَنفُسِكُمۡ أَزۡوَٰجٗا لِّتَسۡكُنُوٓاْ إِلَيۡهَا وَجَعَلَ بَيۡنَكُم مَّوَدَّةٗ وَرَحۡمَةًۚ إِنَّ فِي ذَٰلِكَ لَأٓيَٰتٖ لِّقَوۡمٖ يَتَفَكَّرُونَ ٢١
21. Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan untukmu isteri-isteri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan dijadikan-Nya diantaramu rasa kasih dan sayang. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berfikir[18]

D.    Hikmah Pernikahan

Sayyid Sabiq menyebutkan hikmah-hikmah pernikahan sebagai berikut:
1.      Sesungguhnya naluri seks merupakan naluri yang paling kuat, yang selamanya menuntut adanya jalan keluar. Bilamana jalan keluar tidak dapat memuaskannya, maka banyaklah manusia yang mengalami kegincangan, kacau dan menerobos jalan yang jahat. Kawin merupakan jalan alami dan biologis yang paling baik dan sesuai untuk menyalurkan dan memuaskan naluri seks ini. Dengan kawin, badan jadi segar, jiwa jadi tenang, mata terpelihara dari melihat yang haram, perasaan tenang menikmati barang yang halal.
Keadaan seperti inilah yang diisyaratkan oleh firman Allah dalam surat Ar-Rum ayat 21:
وَمِنۡ ءَايَٰتِهِۦٓ أَنۡ خَلَقَ لَكُم مِّنۡ أَنفُسِكُمۡ أَزۡوَٰجٗا لِّتَسۡكُنُوٓاْ إِلَيۡهَا وَجَعَلَ بَيۡنَكُم مَّوَدَّةٗ وَرَحۡمَةًۚ إِنَّ فِي ذَٰلِكَ لَأٓيَٰتٖ لِّقَوۡمٖ يَتَفَكَّرُونَ ٢١
21. Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan untukmu isteri-isteri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan dijadikan-Nya diantaramu rasa kasih dan sayang. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berfikir.
Dari Jabir bin Abdillah, Nabi SAW bersabda:
إِنَّ الْمَرْأَةَ تُقبِلُ فِى صُوْرَةِ شَيْطَانٍ وَ تُدْبِرُ فِى صُوْرَةِ شَيْطَانٍ فَإِذَا رَأَى أَحَدُكُمْ مِنْ إِمْرَأَةٍ مَا يُعْجِبُهُ فَلْيَأتِ أَهْلَهُ فَإِنَّ ذَلِكَ يَرُدُّ مَا فِى نَفْسِهِ.
          Sesungguhnya perempuan itu menghadap dengan rupa syetan dan membelakangi diantara kamu tertarik kepada seorang perempuan, hendaklah ia datangi istrinya, agar nafsunya dapat tersalurkan.  (HR. Muslim [1403][19] dan Abi Dawud [2047][20] dari Jabir)
2.      Kawin merupakan jalan terbaik untuk menciptakan anak-anak menjadi mulia, memperbanyak keturunan, melestarikan hidup manusia serta memelihara nasab yang oleh Islam sangat diperhatikan. Dan dalam penjelasan yang lalu telah dikemukakan sabda Nabi SAW tentang hal ini yang artinya sebagai berikut:
Kawinlah dengan perempuan yang penuh kasih sayang (pencinta) lagi bisa banyak anak, agar aku nanti dapat membanggakan jumlahmu yang banyak dihadapan para nabi pada Hari Kiamat nanti.
3.      Naluri kebapaan dan keibuan akan tumbuh saling melengkapi dalam suasana hidup dengan anak-anak dan akan tumbuh pula perasaan-perasaan ramah, cinta dan sayang yang merupakan sifat-sifat baik yang menyempurnakan kemanusiaan seseorang.
4.      Menyadari tanggung jawab beristri dan menanggung anak-anak akan menimbulkan sikap rajin dan sungguh-sungguh dalam memperkuat bakat dan pembawaan seseorang. Ia akan cekatan bekerja karena dorongan tanggung jawab dan memikul kewajibannya, sehingga ia akan banyak bekerja dan mencari penghasilan yang dapat memperbesar jumlah kekayaan dan memperbanyak produksi.
5.      Adanya pembagian tugas, dimana yang satu mengurusi dan mengatur rumah tangga, sedangkan yang lain bekerja diluar, sesuai dengan batas-batas tanggung jawab antara suami istri dalam menangani tugas-tugasnya.
Perempuan bertugas mengatur dan mengurusi rumah tangga, memelihara dan mendidik anak-anak, menyiapkan suasana yang sehat dan menyenangkan bagi suaminya untuk istirahat guna melepaskan lelah dan memperoleh kesegaran badan kembali. Sementara itu suami bekerja dan berusaha mendapatkan harta dan belanja untuk keperluan rumah tangga. Dengan pembagian tugas yang adil ini, masing-masing pasangan menunaikan tugasnya yang alami sesuai dengan keridhaan Ilahi, dihormati oleh umat manusia dan membuahkan hasil yang menguntungkan.
6.      Dengan perkawinan, diantaranya dapat membuahkan tali kekelargaan, memperteguh kelanggengan rasa cinta antara keluarga, dan memperkuat hubungan kemasyarakatan yang oleh  Islam direstui, ditopang dan ditunjang. Karena masyarakat yang saling menunjang lagi saling menyayangi akan terbentuk masyarkat yang kuat dan bahagia.[21]








BAB III
PENUTUP

A.    Kesimpulan

-          Nikah secara bahasa berarti mengumpulkan, saling memasukkan, bersetubuh atau pengibaratan dari sebuah hubungan intim yang dibarengi akad. Sedangkan secara syariat nikah yaitu sebuah akad yang telah ditetapkan oleh syariat yang berfungsi untuk memberikan hak kepemilikan bagi lelaki untuk bersenang-senang dengan perempuan, dan menghalalkan seorang perempuan bersenang-senang dengan lelaki.
-          Hukum nikah yaitu:
a.       Wajib, jika sesorang telah mempunyai kemauan dan kemampuan untuk nikah dan dikhawatirkan akan memperbuat zina jika tidak nikah.
b.      Sunnah, jika sesorang telah mempunyai kemauan dan kemampuan untuk nikah dan tidak dikhawatirkan akan memperbuat zina.
c.       Haram, jika seseorang tidak mempunyai keinginan dan tidak mempunyai kemampuan serta tanggung jawab untuk melaksanakan kewajiban-kewajiban dalam rumah tangga.
d.      Makruh, jika sesorang telah mempunyai kemauan dan kemampuan untuk nikah dan tidak dikhawatirkan akan memperbuat zina. Hanya saja orang ini tidak mempunyai keinginan yang kuat untuk dapat memenuhi kewajiban suami istri dengan baik.
e.       Mubah, jika sesorang telah mempunyai kemauan dan kemampuan untuk nikah dan tidak dikhawatirkan akan memperbuat zina dan apabila dia nikah dia tidak menerlantarkan istrinya
-          Tujuan nikah yaitu:
a.       Mendapatkan dan melangsungkan keturunan.
b.      Memenuhi hajaat manusia untuk menyalurkan syahwatnya dan menumpahkan kasih sayangnya.
c.       Memenuhi panggilan agama, memelihara diri dari kejahatan dan kerusakan.
d.      Menumbuhkan kesungguhan untuk bertanggung jawab menerima hak serta kewajiban, juga bersungguh-sungguh untuk memperoleh harta kekayaan yang halal.
e.       Membangun rumah tanga untuk membentuk masyarakat yang tentram atas dasar cinta dan kasih sayang.
-          Hikmah nikah yaitu: menyalurkan naluri seks, jalan mendapatkan keturunan yang sah, penyaluran naluri kebapaan dan keibuan, dorongan untuk bekerja keras, pengaturan hak dan kewajiban dalam rumah tangga dan menjalin silaturrahmi antara dua keluarga, yaitu keluarga dari pihak suami dan keluarga dari pihak istri.









DAFTAR PUSTAKA

Al Zuhaili, Wahbah. 2007. Fiqh Islam wa Adillatuhu, Penerjemah: Abdul Hayyie al-Kattani dkk, Penyunting: Arif Muhajir, Depok: Gema Insani.
Al-Bukhari, Muhammad bin Isma’il. 1998. Shahih Bukhari, Beirut: Dar Al-Kotob Al-Ilmiyah.
Al-Jazary, Abdurrahman. 2003. Kitab al-Fiqh ‘ala al-Madzahib al-Arba’ah, Beirut: Dar Al-Kotob Al-Ilmiyah.
Ghozali, Abdul Rahman. 2012. Fiqh Munakahat, Jakarta: Kencana.
Ibnu Rusyd, Abul Wahid Muhammad bin Ahmad bin Muhammad. 2007. Bidayah al Mujtahid wa Nihayah al Muqtashid, Terj. Imam Ghazali Said dkk, Sunt. Achmad Ma’ruf Asrori, Jakarta: Pustaka Amani.
Mahkamah Agung. 2006. Undang-undang Pokok Perkawinan, Jakarta: Sinar Grafika.
Muslim, Abi Hasan. 2008. Shahih Muslim, Beirut: Dar Al-Kotob Al-Ilmiyah.
Rusyd, Ibnu. Bidayah al Mujtahid wa Nihayah al Muqtashid, (Beirut: Dar al Fikr), Jilid II, h. 2.
Sabiq, Sayyid. 2009. Fiqh al-Sunnah, Kairo: Dar El-Hadith.
Shihab, M. Quraisy. 2004. Wawasan Al Quran, Bandung: Mizan.
Sulaiman, Abu Dawud. 2011. Sunan Abi Dawud, Beirut: Dar Al-Kotob Al-Ilmiyah.
Syaltut, Mahmud. 1998. Islam Akidah dan Syari’ah, Penerjemah: Ir Abdurrahman Zain, Penyunting: Ainul Ghoerry Soechaimi, Jakarta: Pustaka Amani.
Yanggo, Huzaemah Tahido. 2005. Masail Fiqhiyah, Bandung: Angkasa.


[1] Huzaemah Tahido Yanggo, Masail Fiqhiyah (Bandung: Angkasa, 2005), h. 133
[2] Mahmud Syaltut, Islam Akidah dan Syari’ah, Terj. Ir Abdurrahman Zain, Sunt. Ainul Ghoerry Soechaimi (Jakarta: Pustaka Amani, 1998), h. 206
[3] Wahbah Al Zuhaili, Fiqh Islam wa Adillatuhu, Terj. Abdul Hayyie al-Kattani dkk, Sunt. Arif Muhajir (Depok: Gema Insani, 2007), jilid 9, h.20. Lihat juga Abdul Rahman Ghozali, Fiqh Munakahat, (Jakarta: Kencana, 2012), h.7
[4] M. Quraisy Shihab, Wawasan Al Quran, (Bandung: Mizan, 2004) h. 253
[5] Wahbah Zuhaili, Op. Cit., h. 20-21. Lihat pula Abdurrahman Al-Jazary, Kitab al-Fiqh ‘ala al-Madzahib al-Arba’ah, (Beirut: Dar Al-Kotob Al-Ilmiyah, 2003), h.7-10.
[6] Mahkamah Agung, Undang-undang Pokok Perkawinan, (Jakarta: Sinar Grafika, 2006), h. 01
[7] Sayyid Sabiq, Fiqh al-Sunnah, (Kairo: Dar El-Hadith, 2009), jilid 2, h.5. Lihat pula Abdul Rahman Ghozali, Op. Cit., h.10-11.
[8] Abdul Rahman Ghozaly, Op. Cit., h. 16. Lihat pula Abul Wahid Muhammad bin Ahmad bin Muhammad Ibnu Rusyd, Bidayah al Mujtahid wa Nihayah al Muqtashid, Terj. Imam Ghazali Said dkk, Sunt. Achmad Ma’ruf Asrori, (Jakarta: Pustaka Amani, 2007), Jilid II, h. 394.
[9] Abdurrahman Al Jaziry, Op. Cit., h.10
[10] Abdul Rahman Ghozaly, Op. Cit., h.18
[11] Wahbah Al Zuhaily, Op. Cit., h.41
[12] Abdul Rahman Ghozali, Op. Cit,. H. 18-22. Lihat pula Sayyid Sabiq, Op. Cit., h.10-12
[13] Abi Hasan Muslim, Shahih Muslim, (Beirut: Dar Al-Kotob Al-Ilmiyah, 2008), Jilid 3, h. 84
[14] Abu Dawud Sulaiman, Sunan Abi Dawud, (Beirut: Dar Al-Kotob Al-Ilmiyah, 2011), Jilid 2, h. 325
[15] Muhammad bin Isma’il al-Bukhari, Shahih Bukhari, (Beirut: Dar Al-Kotob Al-Ilmiyah, 1998), Jilid 1, h. 465
[16]Ibid, Jilid 4, h. 290
[17] Abi Hasan Muslim, Op. Cit., Jilid 4, h. 199
[18] Abdul Rahman Ghozali, Op. Cit.,  h.22-31
[19] Abi Hasan Muslim, Op. Cit., h. 329
[20] Abu Dawud Sulaiman, Op. Cit., h.85
[21] Sayyid Sabiq, Op. Cit., h.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar