BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Manusia adalah makhluk sosial, yakni tidak
dapat hidup sendiri dan selalu membutuhkan orang lain dalam memenuhi segala
kebutuhan hidupnya. Terutama dalam hal muamalah, seperti jual beli, baik dalam
urusan diri sendiri maupun untuk kemaslahatan umum.
Agama Islam mengatur setiap segi kehidupan
umatnya. Mengatur hubungan seorang hamba dengan Tuhannya yang biasa disebut
dengan muamalah ma’allah dan mengatur pula hubungan dengan sesamanya yang biasa
disebut dengan muamalah ma’annas. Nah, hubungan dengan sesama inilah yang
melahirkan suatu cabang ilmu dalam Islam yang dikenal dengan Fiqih Muamalat.
Aspek kajiannya adalah sesuatu yang berhubungan dengan muamalah atau hubungan
antara umat satu dengan umat yang lainnya. Mulai dari jual beli, sewa menyewa,
hutang piutang dan lain-lain.
Untuk memenuhi kebutuhan hidup setiap hari,
setiap Muslim pasti melaksanakan suatu transaksi yang biasa disebut dengan jual
beli. Si penjual menjual barangnya, dan si pembeli membelinya dengan menukarkan
barang itu dengan sejumlah uang yang telah disepakati oleh kedua belah pihak. Jika
zaman dahulu transaksi ini dilakukan secara langsung dengan bertemunya kedua
belah pihak, maka pada zaman sekarang jual beli sudah tidak terbatas pada satu
ruang saja. Dengan kemajuan teknologi, dan maraknya penggunaan internet, kedua
belah pihak dapat bertransaksi dengan lancar.
Oleh karena itu, kami berusaha mengkaji lebih
dalam mengenai hal-hal yang berkaitan dengan jual beli khususnya pengertian,
rukun dan syarat, dasar hukum dan macam-macam jual beli, juga kami berusaha
mengkaji lebih dalam mengenai jual beli gharar dan jual beli mukhadarah. Kami
harap makalah yang kami tulis ini dapat menjadi acuan bagi pembaca khususnya
dan bagi masyarakat pada umumnya.
B.
Rumusan Masalah
Berhubungan pembahasan tentang jual
beli sangat luas maka dalam tulisan ini kami batasi hanya pada pembahasan
tentang pengertian, rukun dan syarat, dasar hukum, macam-macam jual beli, juga
jual beli gharar dan jual beli mukhadarah. Maka, kami rumuskan beberapa masalah
yaitu:
1.
Apa
yang dimaksud jual beli?
2.
Apa
saja rukun dan syarat jual beli?
3.
Apa
dasar hukum jual beli?
4.
Apa
saja macam-macam jual beli?
5.
Apa
yang dimaksud jual beli gharar?
6.
Apa
yang dimaksud jual beli mukhadarah?
C.
Tujuan
Adapun
tujuan dari penulisan makalah ini adalah mencoba untuk memberikan informasi
kepada rekan-rekan kami pada khususnya dan kepada masyarakat pada umumnya
tentang jual beli dalam bahasan fiqh muamalat.
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian Jual Beli
Kata buyu’ adalah bentuk jama’ dari bai’ artinya Jual-Beli. Sering
dipakai dalam bentuk jama’ karena jual-beli itu beraneka ragam bentuknya.[1]
Secara etimologi, jual beli adalah proses tukar-menukar barang
dengan barang. Kata bai’ yang artinya jual beli termasuk kata bermakna
ganda yang bersebrangan, seperti hal nya kata syiraa yang termaktub
dalam Q.S. Yusuf [12]: 20 dan Q.S. Al-Baqarah [02]: 102:
وَشَرَوۡهُ
بِثَمَنِۢ بَخۡسٖ دَرَٰهِمَ مَعۡدُودَةٖ وَكَانُواْ فِيهِ مِنَ ٱلزَّٰهِدِينَ ٢٠
“Dan mereka menjual Yusuf dengan harga yang murah, yaitu beberapa
dirham saja, dan mereka merasa tidak tertarik hatinya kepada Yusuf”.
….. وَلَبِئۡسَ مَا شَرَوۡاْ بِهِۦٓ
أَنفُسَهُمۡۚ لَوۡ كَانُواْ يَعۡلَمُونَ ١٠٢
“ …. dan amat jahatlah perbuatan mereka menjual dirinya dengan
sihir, kalau mereka mengetahui”
Secara terminologi, jual-beli (bai’) adalah tukar-menukar
barang atau kekayaan (maal), termasuk barter. Sejauh berkaitan
dengan jual beli dalam pengertian sempit, seseorang dapat membedakan sasaran
yang dijual dari harga (tsaman) dan nilai (qimah); masing-masing
adalah pengganti (‘iwadh) atas yang lain, karena harga terdiri dari
barang-barang berharga (biasanya emas dan perak), sedangkan obyek yang dijual
umumnya barang yang tidak dalam keadaan rusak. Aturan-aturan yang dapat
dilaksanakan bagi kedua belah pihak pada hakikatnya tidak sama. Penjual,
umpamanya, dibolehkan menentukan harga tetap, bahkan sebelum ia mengambil
barang.[3]
Sayyid Sabiq mendefinisikan bai’ sebagai berikut:
مبادلة
مال بمال على سبيل التراضى
Ulama Hanafiyah mendefinisikan bai’ sebagai berikut:
تَمْلِيْكُ
مَالٍ مُقَابِلُ مَالٍ عَلَى وَجْهٍ مَخْصُوْصٍ
Kepemilikan harta dengan cara tukar-menukar dengan harta lainnya
pada jalan yang telah ditentukan.[5]
Ulama Hanafiyah mengatakan bahwa bai’ dalam istilah fiqh
mempunyai dua definisi. Pertama, arti yang mencakup segala jenis bentuk
akad jual beli, seperti sharf dan salam. Kedua, arti tertentu
untuk salah satu dari beberapa jenis akad bai’.
Bai’ dengan adanya ganti bisa masuk dalam
kategori akad bai’. Akad ini dinamakan hibah bitstsawab, yaitu
hibah yang diganti dengan harta, sebagaimana akad tauliyah (menjual
barang dengan harga yang dibuat modal), akad syirkah, iqalah, dan syuf’ah.
Semua bentuk akad tersebut masuk dalam akad bai’ karena adanya unsur
penukaran harta. Dari definisi diatas mengecualikan akad ijarah (sewa)
sebab sasaran akad sewa adalah kemanfaatan sebuah benda, bukan murni barangnya,
begitu juga akad nikah karena nikah untuk mencari kenikmatan.[6]
Ulama Malikiyah mendefinisikan bai’ sebagai berikut:
عَقْدٌ
مُعَاوَضَةُ عَلَى غَيْرِ مَنَافِعَ, وَ لَا مُتْعَةُ لَذَةِ, ذُو مُكَايَسَةِ,
أَحَدُ عِوَضَيْهِ غَيْرُ ذَهَبِ وَ لَا فِضَّةِ. مُعَيَّنُ غَيْرُ
العَيْنِ.
Akad saling tukar menukar terhadap
bukan manfaat, bukan termasuk senang-senang, adanya saling tawar-menawar, salah
satu yang dipertukarkan itu bukan termasuk emas dan perak, bendanya tertentu
dan bukan dalam bentuk zat benda.[7]
Ulama Malikiyah membagi bai’ menjadi beberapa bagian dengan
sudut pandang yang berbeda-beda. Secara umum bai’ terbagi menjadi dua
macam. Pertama, jual beli manfaat suatu benda. Kedua, jual beli
barang.[8]
Ulama Syafi’iyah mendefinisikan bai’ sebagai berikut:
عَقْدٌ
يَتَضَمَّنُ مُقَابَلَةَ مَالٍ بِمَالٍ بِشَرْطِهِ لِاِسْتِفَادَةِ مِلْكِ عَيْنِ
أَوْ مَنْفَعَةِ مُؤَبَّدَةِ
Akad yang mengandung saling tukar menukar harta dengan
lainnya dengan syarat-syaratnya, tujuannya untuk memiliki benda atau manfaat
yang bersifat abadi.[9]
Ulama Syafi’iyah berpendapat bahwa yang dimaksud dengan pertukaran
harta adalah masing-masing dair dua belah pihak saling menyerahkan harta yang
ditukarkan, kecuali akad hibah (pemberian) karena tidak ada bentuk pertukaran.
Begitu juga akad nikah karena dalam akad nikah harta ditukar dengan selain
harta.[10]
Ulama Hanabilah mendefinisikan bai’ sebagai berikut:
مُبَادَلَةُ
مَالِ وَ لَوْ فِي الذِّمَّةِ أَوْ مَنْفَعَةِ مُبَاحَةِ عَلَى التَّأْبِيْدِ
غَيْرِ رِبَا وَ قَرْضِ
Saling tukar menukar harta walaupun dalam tanggungan atau manfaat
yang diperbolehkan syara’, bersifat abadi bukan termasuk riba dan pinjaman.[11]
Redaksi “pertukaran harta dengan harta yang lain” adalah akad yang
dilakukan oleh pemilik harta, baik pembeli maupun penjual. Dalam hal ini tidak
dibedakan antara barang yang ada dan bisa dilihat pada waktu akad atau barang
yang dijual dengan menyebutkan ciri-cirinya, sedangkan barangnya dalam
tanggungan penjual. Redaksi “bersifat abadi” mengecualikan akad ijarah (sewa)
dan i’arah (pinjaman).[12]
Imam Nawawi dalam kitab Majmu’ mengatakan bahwa jual beli
adalah tukar menukar barang dengan barang dengan maksud memberi kepemilikan.
Ibnu Qudamah dalam kitab al-Mughni mendefinisikan jual beli
dengan tukar menukar barang dengan barang yang bertujuan memberi kepemilikan
dan menerima hak milik. Kata bai’ adalah pecahan dari kata baa’un (barang),
karena masing-masing pembeli dan penjual menyediakan barangnya dengan maksud memberi
dan menerima. Kemungkinan juga, karena keduanya berjabat tangan dengan yang
lain. Atas dasar itulah, jual beli (bai’) dinamakan shafaqah yang
artinya transaksi yang ditandai dengan jabat tangan.
Maksud dari maal (harta dan barang) itu sendiri, menurut
ulama Hanafi, adalah segala sesuatu yang disukai tabiat manusia dan bisa
disimpan sampai waktu dibutuhkan. Sedangkan standar sesuatu itu disebut maal
adalah ketika semua orang atau sebagian dari mereka memperkaya diri dari
maal tersebut. Prof. Ahmad Musthafa az-Zarqa mengkritik definisi maal diatas,
lalu menggantinya dengan definisi lain, yaitu maal adalah semua barang
yang memiliki nilai material menurut orang. Berdasarkan hal inilah maka menurut
ulama Hanafi, manfaat dan hak-hak tidak termasuk kategori maal (harta),
sementara bagi mayoritas ahli fiqh, hak dan manfaat termasuk harta yang
bernilai. Pasalnya, menurut mayoritas ulama, tujuan akhir dari kepemilikan
barang adalah manfaat yang ditimbulkannya.
B. Rukun Jual Beli dan Syarat
Jual Beli
Rukun jual beli ada tiga: (1)’aqid
(2) sighat (3) ma’qud ‘alaih. Masing-masing terbagi menjadi dua:
- Aqid
terbagi menjadi dua, yaitu ba’i (penjual) dan musytari (pembeli).
- Shigat
terbagi menjadi dau bagian, yaitu ijab (penawaran) dan qabul (penerimaan).
- Ma’qud
‘alaih terbagi menjadi dua bagian, yaitu tsaman (uang pembayaran) dan
mutsman (barang yang dibeli).[14]
Para ulama
berbeda pendapat tentang rukun jual beli. Menurut Ulama Hanafiah mengatakan
bahwa jual beli hanya mempunyai satu rukun, yaitu ijab dan qabul
karena arena ijab qabul merupakan bukti atas pertukaran barang yang dilakukan
penjual dan pembeli, baik dengan ucapan maupun perbuatan. Sebagian Ulama
Hanafiyah mengatakan jual beli mempunyai dua rukun, yaitu ijab qabul,
penyerahan dan penerimaan barang. Dalam hal ini, kedua pendapat di atas
mengandung rukun secara hakiki, yaitu shighat dan ‘aqid.[15]
Sementara menurut Malikiyah, rukun jual beli terbagi menjadi tiga,
yaitu:
- ‘Aqidain (dua orang yang berakad,
yaitu penjual dan pembeli).
- Ma’qud ‘alaih (barang yang diperjualbelikan dan nilai
tukar pengganti barang).
- Shighat (ijab
dan qabul).
Ulama Syafi’iah juga
berpendapat sama dengan Malikiyah diatas sementara ulama Hanabilah berpendapat
sama dengan pendapat Hanafiyah.
Dari penjelasan diatas, nampak jelas para ulama sepakat bahwa
shighat (‘ijab dan qabul) Termasuk ke dalam rukun jual beli. Hal ini karena
shighat termasuk ke dalam hakikat atau esensi jual beli. Adanya perbedaan
pendapat ulama tersebut terletak pada aqidain (penjual dan pembeli) dan ma’qud
alaih (barang yang dibeli dan nilai tukar barang pengganti barang). Tetapi
perbedaan tersebut hanya bersifat lafzhi.
Ulama yang tidak menjadikan
‘aqidain sebagai rukun, maka menjadikannya sebagai syarat jual beli sebagaimana
yang dikemukakan ulama Hanafiyah dan Hanabilah. Begitu juga sebaliknya, ulama
yang menjadikan ‘aqidain sebagai rukun, maka tidak disebutkannya dalam syarat
jual beli sebagaimana yang dikemukakan ulama Malikiyah dan Syafi’iyah.
Berikut penjelasan rukun jual beli beserta syarat yang harus
dipenuhi:
1.
‘Aqidain
(dua orang yang berakad, yaitu penjual dan pembeli) agar transaksi menjadi
sah maka penjual dan pembeli hasur memenuhi beberapa syarat, diantaranya harus
dewasa (orang yang ahli jual beli), maka tidak sah jual belinya anak kecil dan
orang gila. Adapun anak kecil yang mengerti tentang jual beli dan ia mampu
memahami perkataan orang lain maka penjualan dan pembelinya sah setelah
mendapat izin dari walinya.
Mazhab Hanbali mengatakan bahwa jual
beli yang dilakukan anak kecil sah untuk barang-barang yang sedikit walaupun
tamyiz dan tidak mendapatkan izin walinya. Hal ini berdasarkan riwayat yang
menerangkan bahwa Abu Darda’ memebeli burung gereja dari anak kecil lalu ia
melepaskanya. Begitu juga dengan tasharruf orang bodoh tanpa izin walinya,
namun hanya tasharruf yang sifatnya sedikit, seperti membeli sayuran. Adapun
membeli barang dalam jumlah banyak oleh anak kecil yang belum tamyiz walaupun
dengan izin walinya tidak sah. Namun ketika mendapat izin hukumnya sah, tetapi
bagi wali haram untuk memberikan izin kecuali ada maslahat.
Sementara itu mazhab Syafi’i
menyebutkan bahwa ada empat golongan orang yang jual belinya tidak sah yaitu:
a.
Anak
kecil, baik tamyiz maupun belum walaupun mendapat izin walinya.
b.
Orang gila.
c.
Hamba
sahaya walaupun sudah dewasa.
d.
Orang
buta.
Tidak sah jual beli yang dilakukan keempat orang tersebut sehingga
penjual wajib mengembalikan uang yang digunakan mereka untuk membeli. Mereka
juga tidak dimintai tanggung jawab karena telah menyia-nyiakan barang
pembeliannya. Adapun jual beli yang dilakukan hamba sahaya yang sudah mukallaf
sah jual belinya setelah mendapat izin tuanya.
Selain itu, diisyaratkan juga penjual
dan pembeli adalah orang yang mengerti tentang jual beli yang dilakukannya.
Syarat lain bagi penjual dan pembeli adalah karena bukan paksaan. Allah SWT
berfirman dalam QS. An-Nisa’ [04]: 29 yang berbunyi:
إِلَّآ
أَن تَكُونَ تِجَٰرَةً عَن تَرَاضٖ مِّنكُمۡۚ
“Kecuali dengan jalan perniagaan yang berlaku dengan suka sama suka
diantara kamu”.
Nabi Muhammad SAW bersabda:
“Jual beli hanya bisa sah dengan saling kerelaan. ” (HR.
Ibnu hibban).
2.
Ma’qud
‘alaih (barang yang diperjualbelikan dan
nilai tukar pengganti barang). Ma’qud ‘alaih adalah uang pembayaran ataupun
barang yang diperjual belikan. Suatu transaksi dianggap sah jika ma’qud ‘alaih
telah memnuhi syarat diantaranya sebagai berikut:
a.
Harus
suci, tidak sah barang najis menjadi mabi’ ataupun tsaman. Seorang yang menjual
barang najis atau mutanajis (terkena najiz) yang tidak bisa disucikan maka
penjualanya tidak sah. Selain tidak sah dijual, ia juga tidak bisa dijadikan
alat pembayaran, seperti membeli barang yang suci dengan pembayaran khamr atau
babi. Akan tetapi, mazhab Hanafi membolehkan menjual minyak yang terkena najis
yang kemanfaatanya selain untuk dimakan, seperti menjual kotoran yang dicampur
dengan debu atau menjual kotorannya saja. Adapun yang tidak diperbolehkan
adalah menjual bangkai, kulit bangkai yang belum disamak, babi dan khamr,
tetapi jika bangkai, khamr, dan babi dijadikan sebagai alat pembayaran tidak
membatalkan jual beli, hanya saja dihukumi rusak (fasid) yang bisa memindah
kepemilikan dengan menerima barang, dan bagi pembeli wajib menyerahkan uang
pembayaran.
b.
Harus
bisa dimanfaatkan menurut syara’, tidak sah menjual serangga yang tidak bisa
dimanfaatkan.
c.
Barang
yang dijual harus dimiliki oleh penjual pada saat akad berlangsung, kecuali
dalam bai’ salam (pesan).
d.
Barang
yang dijual harus mampu diserahkan penjual kepada pembeli, tidak sah menjual
barang yang telah di gasab, kecuali jika pembeli mampu mengambilnya dari orang
yang menggasab. Selain itu, juga tidak sah menjual barang hasil hasil gasab
karena barang tersebut hukum miliknya.
e.
Barang
yang dijual dan uang pembayaran harus diketahui secara jelas oleh kedua pihak,
menjual barang yang tidak diketahui hingga bisa menimbulkan perselisihan tidak
sah. Misalnya, penjual berkata kepada pembeli: “belilah salah satu kambing
yang aku miliki” atau “belilah dariku barang ini dengan sekedar nilai
jualnya” atau “belilah barang ini dengan harga yanhg telah ditetapkan
orang ini.”
f.
Akad
bai’ tidak terbatas oleh waktu. Misalnya, penjual mengatakan: “saya jual
unta ini kepadamu dengan harga sekian selama satu tahun”.
3.
Shighat
(ijab dan qabul).
Shighat dalam bab jual beli adalah sesuatu yang menunjukan kerelaan
penjual dan pembeli. Shighat terbagi menjadi dua. Pertama, ucapan atau yang
menggantikan ucapan, seperti seorang utusan atau tulisan. Seseorang yang
menulis surat untuk orang lain yang berisi, “saya jual rumahku dengan harga
sekian.” atau ia mengutus seseorang untuk mengabarkan bahwa ia menjual
rumahnya dan orang yang ditawari menerimanya maka sah hukum belinya.
Menurut Imam Syafi’i, tidak sah jual
beli kecuali dengan shighat, yaitu ucapan atau yang menyerupai ucapan, seperti
surat, utusan, dan isyarat yang jelas. Adapun mu’athah pada hal-hal yang murah
karena secara adat sulit melakukan ijab qabul pada hal-hal tersebut.
Adapun yang dimaksud ucapan dalam
akad adalah lafazh yang memberikan kepahaman atas pemindahan status kepemilikan
kepada orang lain dan penerimaan kepemilikan. Misalnya, “saya menjual barang
ini” dan “saya membeli barang ini.” ucapan yang dikatakan oleh penjual adalah
ijab, sedangkan yang diucapkan pembeli dinamakan qabul, namun terkadang qabul
bisa mendahului ijab. Misalnya, pembeli mengatakan, “jualah barang ini kepadaku
dengan harga sekian.”
Pembahasan ijab dan qabul terdapat
beberapa perincian hukumnya dalam beberapa mazhab fiqh berikut ini.
Menurut mazhab Hanafi, ijab adalah
ucapan yang keluar terlebih dahulu dari salah satu kedua pihak, baik dari pihak
penjual maupun dari pihak pembeli. Misalnya, pembeli mengatakan: “saya beli
ini darimu dengan harga seribu.” kemudian penjual mengiyakanya.
Ulama Hanafiyah mengatakan bahwa
jual beli bisa dianggap sah dengan dua lafaz yang menunjukan arti memindah dan
menerima kepemilikan, seperti “saya jual, saya beli, saya berikan, saya
terima, saya ambil atau saya rela barang ini untuk mu dengan harga sekian”. Bisa
juga dengan lafaz akad salam, hibah dan ‘iwad. Misalnya penjual berkata “ saya
serahkan” atau “ saya berikan barang ini kepada mu dengan harga sekian” atau
“saya tukarkan kudaku dengan kudamu” apabila kata kata ijab qobul
menggunak fi’il madhi (kata kerja yang menunjukkan pekerjaan yang sudah dilakukan)
atau menggunakan fi’il mudhori’ (kata kerja yang menunjukkan pekerjaan yang
sedang berlangsung atau akan dilakukan) maka keduanya sah walaupaun tanpa
adanya niat bai’. Tapi sebagian ulama mengatakan harus disertai niat.
Madzhab Maliki mengatakan bahwa jual
beli sah dengan dua lafadz yang menunjukkan keridhaan penjual dan pembeli.
Misalnya, saya jual dan saya beli. Akad yang menggunakan bentuk kata kerja fi’il
madhi hukumnya sah sehingga pembeli dan penjual tidak boleh menggagalkannya.
Misalnya, penjual berkata “saya jual barang ini,” dan pembeli menjawabnya “saya
beli’. Begitu juga ketika menggunakan fi’il amr (kata kerja perintah).
Misalnya, pembeli mengatakan “juallah kepada ku barang ini dengan harga sekian,”
kemudian penjual mengatakan “iya, saya jual,” maka akad jual beli sah, namun
dalam ketetapannya terdapat perbedaan pendapat. Sebagian pendapat mengatakan
bahwa pembeli boleh membatalkan akad tersebut san bersumpah jika tidak
bertujuan membeli, sedangkan sebagian lagi menganggap akad jual beli sudah
menjadi tetap sehingga keduanya tidak boleh membatalkannya menurut pendapat
yang paling kuat.
Apabila bai’ menggunakan fi’il
mudhari’, misalnya, penjual berkata, “saya akan menjual barang ini dengan harga
sekian,” kemudian pembeli menerima tawaran tersebut dengan bai’ belum menjadi
tetap kepemilikannya ketika dibatalkan oleh penjual. Penjual yang membatalkan
bai’ setelah pembeli menerimanya, ia harus bersumpah bahwa ia tidak bermaksud
untuk menjualnya atau hanya sekedar bergurau. Dalam hal ini, bai’ menjadi
batal. Apabila tidak bersumpah maka akad bai’ harus terjadi, tetapi ketika akad
qarinah yang menunjukkan bahwa ia tidak bertujuan bai’ maka akad bai’ tidak
harus terjadi.
Apabila seseorang berkata kepada
orang lain, “dengan harga berapa kamu jual barang ini?” kemudian ia menjawab,
“dengan harga sepuluh,” lalu orang yang berkata bertanaya, “saya ambil barang
ini dengan harga tersebut,” tetapi penjual tidak mau dan ia mengatakan, “saya
hanya ingin memberitahukan harganya atau saya hanya bercanda,” menurut pendapat
yang lebih kuat dalam masalah ini harus ada qarinah/tanda. Apabila terdapat
tanda seperti terjadinya tawar menawar penurunan harga hingga berkali-kali maka
penjual harus menjual barang tersebut, namun jika tidak ada tanda-tanda maka
akad bai’ tidak harus terjadi dan penjual tidak harus mengucapkan sumpah. Akan
tetapi, jika tidak ada tanda-tanda bagi keduanya maka penjual boleh membatalkan
bai’ dan ia harus bersumpah ketika pembeli sudah menerima tawaran bai’.
Adapun menurut Mazhab Syafi’i jual
beli dapat di hukumi sah dengan menggunakan perkataan yang menunjukkan
pemindahan kepemilikan dan bisa memahamkan pada tujuan. Perkataan tersebut
terbagi menjadi dua bagian yaitu:
a.
Sharih
(jelas), yaitu perkataan yang menunjukkan jaul beli. Misalnya, ucapan, “saya
beli barang ini darimu dengan harga sekian”.
b.
Kinayah (kiasan), yaitu berkata, “saya berikan
baju ini dengan ganti baju itu,” atau “saya berikan kuda ini dengan kuda itu
dengan kuda itu.” Lafazh yang demikian bisa menunjukkan jual beli dan bisa juga
menunjukkan I’arah (pinjaman), jika ia berniat untuk akad jual beli maka
hukumnya sah dan apabila kata kiasan disertai penyebutan uang pembayaran maka
jadi akad ba’i, misalnya, “Saya berikan rumah ini kepadamu dengan ganti uang
seratus dinar,” tetapi jika tidak disertai penyebutan uang pembayaran menjadi
akad hibah. Begitu juga semua lafazh yang bersifat kiasan ketika disertai
penyebutan uang pembayaran akan menjadi akad ba’i.
Akad ba’i juga sah menggunakan ijab
qabul melalui tulisan. Termasuk lafazh kiasan adalah ijab qabul dengan kata
kerja fi’il mudhari’, seperti ‘saya akan menjual’ atau ‘saya akan membeli,’
akad tersebut menjadi sah dengan adanya niat. Akad ba’i juga sah dengan
mendahulukan qabul dan mengahirkan ijab. Misalnya, pembeli mengatakan, “Juallah
ini kepadaku dengan harga sekian.” Kata ‘Juallah’ mengisyaratkan menyuruh
penjual untuk mengatakan ijab sehingga ba’i juga sah menggunakan kata perintah,
tetapi jika menggunakan kata tanya, misalnya, seorang berkata “Apakah kemu
menjual ini kepadaku?” maka ba’i tidak sah.
Ijab qabul yang disertai ucapan
musyiah (kehendak) hukumnya sah dengan empat syarat, yaitu:
a.
Orang
yang mengucapkan adalah orang yang memulai, baik penjual maupun pembeli.
b.
Orang
yang diajak bicara adalah satu orang, apabila yang diajak bicara orang banyak
maka tidak berpengaruh.
c.
Perkataannya
dengan mengharakati huruf ta’ dari ucapan syi’ta, yaitu ucapan kata syi’ta
dibaca dengan harokat fathah pada huruf “ta”.
d.
Ucapannya
diakhiri dengan sighat, baik ijab maupun qabul.
Akad ba’i menjadi batal jika
dinsertai ucapan insya Allah atau lainnya yang tidak berkaitan dengan akad.
Misalnya, perkataan, “Jika orang lain menghendaki”.
Mazhab Hanbali berpendapat bahwa
jual beli sah dengan dua lafazh yang mengandung arti menjual dan membeli, dan
tidak terbatas dengan kata-kata tertentu. Ijab dari penjual dianggap sah
walaupun dengan ucapan, “Saya jual kepadamu, saya milikkan untukmu, saya
kuasakan kepadamu, dan saya berikan kepadamu.” Begitu juga dengan Ijab dari
pihak pembeli, seperti “Saya terima, saya rela, saya beli, saya terima
kepemilikan ini, saya ambil dan saya ganti.” Akan tetapi, para ulama berbeda
pendapat mengenai bai’ yang menggunakan kata salam (pesan). Sebagian ulama
mengatakan sah, namun sebagian lainnya mengatakan tidak sah. Dalam suatu akad,
qabul boleh mendahului ijab dengan syarat menggunakan kata perintah dan
menggunakan kata perintah dan mengandung kata tanya atau pengharapan. Akad yang
disertai kata musyiah (kehendak) hukumnya sah. Misalnya, pembeli mengatakan,
“Saya jual insya Allah,” kemudian pembeli mengatakan, “Saya beli insya Allah.”
Namun, penjual dan pembeli mempunyai hak untuk membatalkan akad selama masih
berada dalam majelis akad.
Ijab dan qabul akan menjadi sah jika
telah memenuhi beberapa syarat, diantaranya sebagai berikut:
a.
Ijab
harus sesuai dengan qabul dalam kadarnya, sifatnya, pembayarannya, kontan, dan
kreditnya. Apabila penjual mengatakan, “Saya jual rumah ini dengan harga
seribu,” kemudian pembeli mengatakan, “Saya terima dengan harga lima ratus”
maka bai’ tidak sah.
b.
Ijab
dan qabul harus berada dalam majlis akad. Seseorang penjual yang berkata kepada
pembeli, “Saya jual dengan harga seribu,” kemudian mereka berpisah sebelum
pembeli mengucapkan qabul maka bai’ tidak sah.
c.
Ijab
dan qabul tidak terpisah dengan waktu yang lama, tetapi jika terpisah
dengan waktu yang sebentar dan tidak
menunjukkan bahwa salah satunya berpaling dari akad bai’ maka tidak membatalkan
ijab dan qabul.
Begitu juga dengan mazhab Hanafi
disebutkan bahwa ijab qabul yang terpisah dengan waktu sebentar. Misalnya,
penjual berkata, “Saya jual baju ini dengan harga sepuluh,” sedangkan pembeli
memegang segelas air lalu ia meminumnnya, kemudian pembeli mengatakan, “Iya,
saya terima,” maka bai’ hukumnya sah. Akan tetapi, jika dipisah dengan makan
atau tidur tidak sah, sama halnya ketika penjual mengatakan, “Saya jual ini
kepadamu dengan harga sekian,” tetapi pembeli tidak menjawabnya, bahkan ia
berbicara dengan orang lain maka hal itu dapat memisahkan ijab dan qabul.
Sementara itu mazhab Syafi’i
menyebutkan bahwa ijab qabul tidak boleh dipisah dengan ucapan lain yang tidak
berkaitan dengan akad, baik sedikit maupun banyak. Apabila ucapan itu berkaitan
dengan akad, bai’ dihukumi sah walaupun lama. Begitu juga dengan diam sebentar.
Namun, jika lama sehingga menjadikan orang itu berpaling dari akad bai’ maka
bai’ tidak sah sehingga penjual dan pembeli berhak untuk membatalkan akad bai’.
d.
Penjual
dan pembeli saling mendengarkan ijab dan qabul. Apabila akad dilakukan didepan
para saksi maka cukup bagi para saksi mendengarkannya. Pengingkaran yang
dilakukan oleh salah satu dari keduanya menjadikan bai’ tidak bisa dieterima.
Misalnya, penjual mengatakan “Saya jual barang ini dengan harga sekian,”
kemudian pembeli mengatakan, “Saya terima,” setelah itu mereka berpisah dan
penjual mengaku bahwa dirinya tidak mengdengar ucapan qabul dari pembeli atau
pembeli mengaku bahwa ia tidak mendengar penyebutan harga pembelian, maka
pengakuan keduanya tidak bisa diterima, kecuali dengan adanya saksi.[16]
C. Dasar Hukum Jual Beli
Syariat telah menetapkan beberapa ketentuan hukum yang berkaitan
dengan perdagangan, supaya aktifitas perdagangan dapat dilaksanakan dengan
teratur dan baik serta memelihara kepentingan masyarakat. Dasar disyariatkannya
perdagangan adalah melalui Al-Quran dan Sunnah, yaitu:
1.
Dalil
dari Al-Qur’an diantaranya:
1.1
Q.S
al-Baqarah [02]: 275 yang berbunyi:
…..وَأَحَلَّ
ٱللَّهُ ٱلۡبَيۡعَ وَحَرَّمَ ٱلرِّبَوٰاْۚ …..
“…
Dan Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba …”
1.2
Q.S
al-Baqarah [02]: 282 yang berbunyi:
……وَأَشۡهِدُوٓاْ
إِذَا تَبَايَعۡتُمۡۚ………..
“…….Dan
persaksikanlah apabila kamu berjual beli …..”
1.3
Q.S
al-Baqarah [02]: 198 yang berbunyi:
لَيۡسَ
عَلَيۡكُمۡ جُنَاحٌ أَن تَبۡتَغُواْ فَضۡلٗا مِّن رَّبِّكُمۡۚ فَإِذَآ أَفَضۡتُم
مِّنۡ عَرَفَٰتٖ فَٱذۡكُرُواْ ٱللَّهَ عِندَ ٱلۡمَشۡعَرِ ٱلۡحَرَامِۖ وَٱذۡكُرُوهُ
كَمَا هَدَىٰكُمۡ وَإِن كُنتُم مِّن قَبۡلِهِۦ لَمِنَ ٱلضَّآلِّينَ ١٩٨
“Tidak
ada dosa bagimu untuk mencari karunia (rezeki hasil perniagaan) dari Tuhanmu.
Maka apabila kamu telah bertolak dari ´Arafat, berdzikirlah kepada Allah di
Masy´arilharam. Dan berdzikirlah (dengan menyebut) Allah sebagaimana yang
ditunjukkan-Nya kepadamu; dan sesungguhnya kamu sebelum itu benar-benar
termasuk orang-orang yang sesat”.
1.4
Q.S
an-Nisaa [04]: 29 yang berbunyi:
يَٰٓأَيُّهَا
ٱلَّذِينَ ءَامَنُواْ لَا تَأۡكُلُوٓاْ أَمۡوَٰلَكُم بَيۡنَكُم بِٱلۡبَٰطِلِ
إِلَّآ أَن تَكُونَ تِجَٰرَةً عَن تَرَاضٖ مِّنكُمۡۚ وَلَا تَقۡتُلُوٓاْ
أَنفُسَكُمۡۚ إِنَّ ٱللَّهَ كَانَ بِكُمۡ رَحِيمٗا ٢٩
“Hai
orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan harta sesamamu dengan
jalan yang batil, kecuali dengan jalan perniagaan yang berlaku dengan suka
sama-suka di antara kamu. Dan janganlah kamu membunuh dirimu; sesungguhnya
Allah adalah Maha Penyayang kepadamu”.
1.5 Q.S. an-Nur [24]: 37
yang berbunyi:
رِجَالٞ
لَّا تُلۡهِيهِمۡ تِجَٰرَةٞ وَلَا بَيۡعٌ عَن ذِكۡرِ ٱللَّهِ وَإِقَامِ ٱلصَّلَوٰةِ
وَإِيتَآءِ ٱلزَّكَوٰةِ يَخَافُونَ يَوۡمٗا تَتَقَلَّبُ فِيهِ ٱلۡقُلُوبُ وَٱلۡأَبۡصَٰرُ
٣٧
“Laki-laki
yang tidak dilalaikan oleh perniagaan dan tidak (pula) oleh jual beli dari
mengingati Allah, dan (dari) mendirikan sembahyang, dan (dari) membayarkan
zakat. Mereka takut kepada suatu hari yang (di hari itu) hati dan penglihatan
menjadi goncang”.[17]
2. Dalil
dari as-Sunnah diantaranya:
2.1 Hadis
riwayat Rifa’ah bin Rofi’”
عَنْ
رِفَاعَةَ بْنِ رَافِعٍ - رضي الله عنه - أَنَّ النَّبِيَّ - صلى الله عليه وسلم -
سُئِلَ: أَيُّ الْكَسْبِ أَطْيَبُ? قَالَ: «عَمَلُ الرَّجُلِ بِيَدِهِ,
وَكُلُّ بَيْعٍ مَبْرُورٍ»
“Dari Rifa’ah bin Rofi’ telah memberi
khabar kepadaku bahwasanya Nabi SAW pernah ditanya, apakah usaha yang paling
baik? Rasulullah SAW menjawab: hasil usaha sendiri dan setiap jual beli yang
bersih dari tipu daya. (H.R. Ahmad
[17728][18])
2.2 Hadis
riwayat ‘Aisyah
عَـنْ
عَائِشَةَ –رضي الله عنها –
أَنَّ النَّبِيَّ –
صلى الله عليه و سلم –
اشْتَرَى طَعَامًا مِنْ يَهُوْدِيٍّ إِلَى أجَلٍ وَ رَهْنَهُ دِرْعًا مِنْ
حَدِيْدٍ.
“Diriwayatkan ‘Aisyah RA, bahwasannya Nabi SAW pernah
membeli makanan dari orang Yahudi yang akan dibayar Beliau pada waktu tertentu
di kemudian hari dan beliau menjamin dengan baju besi”. (H.R Bukhari [2068][19], Muslim [1603][20], an-Nasa’i [2158][21], Ibnu Majah [2432][22])
2.3 Hadis
riwayat Abi Sa’id
عَنْ
أَبِي سَعِيْدٍ عَنِ النَّبيِّ - صلى الله عليه وسلم – قَالَ:
أَالتَّاجِرُالصَّدُوْقُ الأَمِيْنُ مَعَ النَّبِيِّنَ وَ الصِّدِّيْقِيْنَ وَ
الشُّهَدَاءِ
Dari Abu Sa’id dari Nabi SAW, beliau bersabda:
“Seorang pedagang yang jujur dan dipercaya akan bersama dengan para Nabi,
shiddiqun dan para syuhada. (H.R. at-Tirmidzi[1209][23], Ibnu Majah [2139][24] dan Ad-Darimi [2581][25]).
2.4 Hadis
Riwayat Abu Hurairah
وَعَنْ
أَبِي هُرَيْرَةَ رضي الله عنه قَالَ: قَالَ رَسُوْلُ اللِّه - صلى الله عليه وسلم
-: "لِأَنْ يَحْتَطِبَ أَحَدُكُمْ حُزْمَةً عَلَى ظَهْرِهِ خَيْرٌ مِنْ أَنْ يَسْأَلَ
أَحَدًا فَيُعْطِيَهُ أَوْ يَمْنَعُهُ"
Dari Abu Hurairah RA, bahwa
Nabi SAW bersabda: “Sesungguhnya seseorang diantara kamu mencari seikat kayu
bakar, lalu dipanggul diatas punggungnya itu lebih baik daripada ia
meminta-minta kepada orang lain, bisa jadi ia diberi ataupun tidak”. (H.R.
Bukhari [2074][26], Muslim [1042][27], an-Nasa’i [2381][28], dan Malik [1822][29]).
2.5 Hadis
riwayat Shakhr
عن
صخر الغامدي أن النبي صلى الله عليه وسلم قال: (اللهم بارك لامتي في بكورها) قال:
(وكان إذا بعث سرية أو جيشا بعثهم أول النهار, وكان صخر رجلا تاجرا, وكان إذا بعث تجارة
بعث أول النهار, فأثرى وكثر ماله).
Diriwayatkan dari Shakhr
al-Ghamidy, bahwasannya Nabi SAW berdoa: “Ya Allah berikanlah keberkahan
kepada ummatku di waktu pagi mereka”. Dan berkata Shakr: “Dan Beliau
apabila mengirim ekspedisi atau pasukan Beliau mengirim mereka pada awal siang.
Dan Shakhr adalah seorang pedagang dan ia mengirim perdagangannya di
awal siang, maka hartanya bertambah banyak. (H.R Abu Dawud [2606][30], at-Tirmidzi [1212][31], Ibnu Majah [2236][32], dan Ahmad [15836][33]).[34]
D. Macam-macam Jual Beli
a.
Jual
Beli Tauliyah
Menurut istilah syara’ adalah sebagai berikut:
بَيْعُ السِّلْعَةِ
بِثَمَنِهَا الأَوَّلِ بِدُوْنِ زِيَادَةٍ عَلَيْهِ
Jual
beli tauliyah adalah jual beli barang sesuai dengan harga pertama (pembelian)
tanpa tambahan.[35]
Jual beli Tauliyah yaitu penjuak
menyebutkan harga pokok dan menjualnya dengan harga tersebut. Misalnya, penjual
berkata, “Barang ibu saya beli dengan harga Rp. 10.000,- dan saya jual sama
dengan harga pokok”.[36]
b.
Jual
Beli Murabahah
Murabahah dalam
arti bahasa berasal dari kata رَابَحَ yang akar
katanya رَبَحَ artinya الزِّيَادَةُ (tambahan).
Menurut istilah para fuqaha, pengertian murabahah adalah sebagai
berikut:
بَيْعُ
السِّلْعَةِ بِثَمَنِهَا الَّتِى قَامَتْ بِهِ مَعَ رِيْحٍ بِشَرَائِطِ خَاصَّةٍ
Jual beli murabahah adalah menjual
barang dengan harganya semula ditambah dengan keuntungan dengan syarat-syarat
tertentu.[37]
Contoh
jual beli murabahah yaitu: Misalnya, pedagang eceran membeli komputer dari
grosir dengan harga Rp. 1.000.000,- kemudian ia menambahkan keuntungan Rp.
750.000 dan ia jual kepada si pembeli dengan harga Rp.1.750.000. Pada umumnya,
si penjual eceran tidak akan memesan dari grosir sebelum ada pesanan dari calon
pembeli, dan mereka sudah menyepakati tentang lama pembiayaan, besar keuntungan
yang akan ia ambil, serta besarnya angsuran kalau akan dibayar secara angsuran.[38]
c.
Jual
Beli Wadhi’ah
Jual Beli
Wadhi’ah yaitu pihak penjual menyebutkan harga pokok dan harga barang atau
menjual barang tersebut dibawah harga pokok. Misalnya, penjual berkata: “Barang
ini saya beli dengan harga Rp. 10.000,- dan akan saya jual dengan harga Rp.
9.000,- atau saya potong 10% dari harga pokok”.[39]
E.
Jual Beli
Gharar
Gharar memnurut etimologi adalah bahaya,
sedangkan taghriir adalah memancing terjadinya bahaya. Namun, makna asli gharar
itu adalah sesuatu yang secara zhahir bagus tetapi secara batin tercela. Karena
itulah, kehidupan dunia dinamakan barang yang penuh manipulasi.
Berdasarkan hal ini, gharar adalah seseorang
memberi peluang adanya bahaya bagi diri dan hartanya tanpa dia ketahui.
Sedangkan Bai’ul Gharar adalah tertipu, dalam bentuk kata objek.
Artinya, termasuk penyandaran masdar (bai’u) kepada isim maf’ul (maghrur).
Para ahli fiqh dari berbagai mazhab menyebutkan
beberapa definisi gharar yang relatif hampir sama, diantaranya sebagai berikut:
Imam as-Sarakhsi dari mazhab Hanafi mengatakan
bahwa gharar adalah jual beli yang tidak diketahui akibatnya.
Imam al-Qarafi dari mazhab Maliki mengatakan
bahwa gharar adalah jual beli yang tidak diketahui apakah barang bisa didapat
atau tidak, seperti jual beli burung yang ada di udara dan ikan yang ada
didalam air.
Imam asy-Syairazi dari mazhab Syafi’i mengatakan
bahwa gharar adalah jual beli yang tidak jelas barang dan akkbatnya.
Ibnu Taimiyah mengatakan bahwa gharar adalah
jual beli yang tidak diketahui akibatnya, sedangkan Ibnu Qayyim mengatakan
bahwa gharar adalah jual beli dimana barang tidak bisa diserahkan, baik barang
itu ada maupun tidak ada, seperti jual beli budak yang lari dan unta yang
terlantar meskipun ada.
Kesimpulannya, jual beli yang mengandung gharar
adalah jual beli yang mengandung bahaya (kerugian) bagi salah satu pihak dan
bisa mengakibatkan hilangnya harta atau barangnya. Prof. az-Zarqa memberikan
definisi tersendiri tentang gharar, yaitu jual beli barang-barang yang tidak
pasti adanya atau tidak pasti batasan-batasannya, karena mengandung spekulasi
dan tipuan yang menyerupai sifat perjudian.[40]
Hukum jual beli seperti ini adalah haram. Dasar
haramnya adalah sabda Nabi SAW:
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ «أَنَّ النَّبِيَّ -
صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ - نَهَى عَنْ بَيْعِ الْحَصَاةِ وَعَنْ بَيْعِ الْغَرَرِ» رَوَاهُ الْجَمَاعَةُ
إلَّا الْبُخَارِيَّ
Dari Abu Hurairah, bahwasanya Nabi
Muhammad SAW melarang jual beli hushah dan jual beli gharar. (H.R. Muslim [1513][41],
Abu Dawud [3376][42],
Tirmidzi [1230][43],
Nasa’i [6064][44],
Ibnu Majah [2193][45],
Malik [1348][46]).
وَعَنْ ابْنِ
مَسْعُودٍ «أَنَّ النَّبِيَّ - صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ - قَالَ:
لَا تَشْتَرُوا السَّمَكَ فِي الْمَاءِ فَإِنَّهُ غَرَرٌ» . رَوَاهُ أَحْمَدُ
Dari Ibnu Mas’ud, bahwasannhya Nabi SAW
bersabda, “Janganlah kalian membeli ikan dalam air (kolam), karena hal itu
mengandung unsur penipuan (samar)”. (HR. Ahmad
[3748][47]),
وَعَنْ ابْنِ
عُمَرَ قَالَ: «نَهَى رَسُولُ اللَّهِ - صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ - عَنْ
بَيْعِ حَبَلِ الْحَبَلَةِ» .
Dari Ibnu ‘Umar RA, ia mengatakan, “Nabi
SAW melarang jual beli bayinya bayi binatang”. (HR.
Bukhari [2143][48],
Muslim [1514][49],
Abu Dawud [3381][50],
at-Tirmidzi [1229][51],
an-Nasa’i [6173][52],
Ibnu Majah [2197][53],
Malik [1336][54]).
Alasan haramnya adalah tidak pasti dalam objek,
baik barang atau uang atau cara transaksinya itu sendiri. Karena larangan dalam
hal ini langsung menyentuh esensi jual belinya, maka disamping haram hukumnya
transaksi itu tidak sah.[55]
An-Nawawi mengatakan, “Dua hal yang dikecualikan
dari jual beli yang samar: Pertama, barang yang termasuk bagian dari
barang yang dijual, yatitu bahwa bila barang tersebut dijual terpisah maka
penjualannya tidak sah. Kedua, barang yang ditolelir kondisinya, baik
karena tidak penting atau kesulitannya dalam membedakan atau menetapkannya.
Diantara yang termasuk dalam dua kategori yang dikecualikan ini adalah pondasi
bangunan, susu yang terdapat didalam ambing (kantong kelenjar susu) ternak,
janin dalam kandungan terna dan kapas atau kapuk yang masih dalam bijinya.[56]
F.
Jual Beli Mukhadarah
Jual beli mukhadarah, yaitu menjual buah-buahan
yang masih hijau (belum pantas dipanen). Seperti menjual rambutan yang masih
hijau, mangga yang masih kecil-kecil. Hal ini dilarang agama karena barang ini
masih samar, dalam artian mungkin saja buah ini jatuh tertiup angin kencang
atau layu sebelum diambil oleh pembelinya.[57]
Hukum jual beli seperti ini adalah haram. Dasar
haramnya adalah sabda Nabi SAW:
عَنْ ابْنِ عُمَرَ أَنَّ النَّبِيَّ - صَلَّى اللَّهُ
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ - «نَهَى عَنْ
بَيْعِ الثِّمَارِ حَتَّى يَبْدُوَ صَلَاحُهَا, نَهَى الْبَائِعَ وَالْمُبْتَاعَ» رَوَاهُ الْجَمَاعَةُ إلَّا التِّرْمِذِيَّ
Dari
Ibnu Umar, bahwasannya Nabi SAW melarang menjual buah-buahan sebelum tampak
bagus (layak dipetik), beliau melarang penjual dan pembelinya. (HR.
Bukhari [2193][58],
Muslim [1534][59],
Abu Dawud [3367][60],
an-Nasa’i [6072][61],
Ibnu Majah [2214][62],
Malik [1285][63]).
وَعَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ قَالَ: قَالَ رَسُولُ
اللَّهِ - صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ - «لَا تَتَبَايَعُوا الثِّمَارَ حَتَّى يَبْدُوَ صَلَاحُهَا.» رَوَاهُ أَحْمَدُ وَمُسْلِمٌ وَالنَّسَائِيُّ وَابْنُ
مَاجَهْ
Dari
Abu Hurairah, ia berkata, “Rasulullah SAW bersabda, ‘Janganlah kalian
memperjualbelikan buah-buahan sehingga tampak bagusnya (layak dipetik)’”.(HR.
Muslim [1538][64],
an-Nasa’i [6068][65],
Ibnu Majah [2214][66]).
وَعَنْ أَنَسٍ أَنَّ النَّبِيَّ - صَلَّى اللَّهُ
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ - «نَهَى عَنْ
بَيْعِ الثَّمَرَةِ حَتَّى تُزْهِيَ, قَالُوا:
وَمَا تُزْهِي, قَالَ: تَحْمَرُّ, وَقَالَ: إذَا مَنَعَ اللَّهُ الثَّمَرَةَ فَبِمَ
تَسْتَحِلُّ مَالَ أَخِيكَ» . أَخْرَجَاهُ
Dari
Anas, bahwasanya Nabi SAW melarang menjual buah-buahan sehingga matang.
Mereka bertanya, “Apa yang dimaksud matang?” Anas menjawab, “Memerah, dan
beliau telah bersabda, ‘Apabila mencegah (tumbuhnya) buah, lalu dengan alasan
apa engkau menghalkan (mengambil) harta saudaramu’”. (HR. Bukhari [2197][67],
dan Muslim [1555][68]).
Hadis-hadis
diatas menunjukkan tidak bolehnya menjual buah-buahan sebelum layak dipetik.
Ada perbedaan pendapat dalam hal ini sehingga menjadi beberapa pandangan: Pertama,
bahwa hukumnya batal secara mutlak. Kedua, bila disyaratkan untuk
dipetik maka tidak batal, namun bila tidak disyaratkan maka hukumnya batal. Al
Hafizh menyatakan bahwa pendapat ini dari Jumhur. Ketiga, hukumnya sah
bila tidak mensyaratkan untuk dibiarkan.[69]
BAB III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
-
Jual-beli
(bai’) adalah tukar-menukar barang atau kekayaan (maal), termasuk
barter. Bisa juga didefinisikan jual beli adalah transaksi yang dilakukan
dengan ijab dan qobul.
-
Rukun
jual beli ada tiga: (1)’aqid (2) sighat (3) ma’kud ‘alaih. Masing-masing
terbagi menjadi dua:
a.
Aqid
terbagi menjadi dua, yaitu ba’i (penjual) dan musytari (pembeli).
b.
Shigat
terbagi menjadi dau bagian, yaitu ijab (penawaran) dan qabul (penerimaan).
c.
Ma’kud
‘alaih terbagi menjadi dua bagian, yaitu tsaman (uang pembayaran) dan mutsman
(barang yang dibeli).
-
Dasar
hukum disyariatkannya jual beli terdapat pada al-Quran dan Hadis, diantaranya
yaitu: Q.S al-Baqarah [02]: 275, 282, 198, Q.S an-Nisaa [04]: 29, Q.S. an-Nur
[24]: 37 dan beberapa hadits yang telah kami cantumkan pada pembahasan.
-
Macam-macam
jual beli yaitu:
a.
Jual
beli Tauliyah yaitu penjuak menyebutkan harga pokok dan menjualnya dengan harga
tersebut.
b.
Jual
beli murabahah adalah menjual barang dengan harganya semula ditambah dengan
keuntungan dengan syarat-syarat tertentu.
c.
Jual
Beli Wadh’iyyah yaitu pihak penjual menyebutkan harga pokok dan harga barang
atau menjual barang tersebut dibawah harga pokok.
-
Jual
beli gharar adalah jual beli yang didalamnya terdapat unsur penipuan.
-
Jual
beli mukhadarah adalah jual beli buah atau hasil cocok tanam dimana hasilnya
belum jelas.
DAFTAR PUSTAKA
Ad Darimi, Abu Muhammad Abdullah bin Abdul Rahman. 2001. Sunan
ad-Darimi, Makkah: Dar al-Mughni.
Al Asqalany, Syihabuddin bin Ahmad bin ‘Aly bin Muhammad bin Hajr.
2012. Fathul Baari syarh Shahih al-Bukhari, Beirut: Dar Al-Kotob
Al-Ilmiyah.
Al Bigha, Musthafa Daib al-Bigha. 2010. at-Tadzhib fi Adillah
Matn al-Ghayah wa at-Taqrib, Alharomain Jaya Indonesia.
Al Bukhari, Muhammad bin Isma’il. 1998. Shahih Bukhari, Beirut:
Dar Al-Kotob Al-Ilmiyah.
Al Khalafi, Abdul Azhim bin Badaqi. 2011. Al-Wajiz fi Fiqh
Sunnah wal Kitab al-Aziz, Penerjemah Ma’ruf Abdul Jalil. Al-Wajiz,
Jakarta: Pustaka as-Sunnah.
Al Quzwaini, Abu Abdillah Muhammad bin Yazid. 1996. Sunan Ibnu
Majah, Riyadh: Maktabah lilnatsir wa Tauri’.
Al Sayuti, Jalaluddin Abdul Rahman. 2010. Tanwir al-Hawalik
syarh ala Muwatta’ Malk, Kairo: Dar El-Hadith.
Al Zuhaili, Wahbah. 2007. Fiqh Islam wa Adillatuhu, Penerjemah Abdul Hayyie al-Kattani dkk,
Penyunting: Arif Muhajir, Depok: Gema Insani.
Alu Mubarak, Syaikh Faishal bin Abdul Aziz. 2012. Bustanul Akhbar
Mukhtashar Nail al-Authar, Penerjemah Amir Hamzah Fachrydin, Ringkasan
Nailul Authar, Jakarta: Pustaka Azzam.
Amsar, M. Muhajirin. 2014. Mishbah adz-Dzalam syarh Bulugh
al-Maram min Adillah al-Ahkam, Jakarta: Darul Hadits.
An-Nasa’i. Abi Abdul Rahman Ahmad bin Syua’ib. 2001. as-Sunan
al-Kubro, Beirut: ar-Risalah.
At-Tirmidzi, Abi Isa Muhammad bin Isa. 1996. al-Jami’ al-Kabir, Beirut:
Dar al-Gharbi al-Islamy.
Bin Hanbal, Ahmad. 2008. al-Musnad, Beirut: Dar al-Kotob
al-Ilmiyah.
Ghazaly, Abdul Rahman. 2012. Fiqh Muamalat, Jakarta: Kencana.
Hidayat, Enang. 2015. Fiqih Jual Beli, Bandung: Remaja
Rosdakarya Offset.
Hulwati. 2006. Ekonomi Islam: Teori dan Praktinya dalam
Perdagangan Obligasi Syari’ah di Pasar Modal Indonesia dan Malaysia, Ciputat:
Ciputat Press.
Mardani. 2012. Fiqh Ekonomi Syariah, Jakarta: Kencana.
Muchtar, Asmaji. 2016. Dialog Lintas Mazhab Fiqh Ibadah dan
Muamalah, Jakarta: Amzah.
Muslich, Ahmad Wardi. 2015. Fiqh Muamalat, Jakarta: Amzah.
Muslim, Abi Hasan. 2008. Shahih Muslim, Beirut: Dar Al-Kotob
Al-Ilmiyah.
Sabiq, Sayyid. 2009. Fiqh al-Sunnah, Kairo: Dar El-Hadith.
Schacht, Joseph. 2010. An Introduction to Islamic Law, Penerjemah
Joko Supomo dkk. Pengantar Hukum Islam, Bandung: Nuansa.
Sulaiman, Abu Dawud. 2011. Sunan Abi Dawud, Beirut: Dar
Al-Kotob Al-Ilmiyah.
Syarifuddin, Amir. 2003. Garis-garis Besar Fiqh, Jakarta:
Kencana.
[1]
Abdul Azhim bin Badaqi al-Khalafi, Al-Wajiz fi Fiqh Sunnah wal Kitab
al-Aziz, Penerjemah Ma’ruf Abdul Jalil. Al-Wajiz, (Jakarta: Pustaka
as-Sunnah, 2011). H. 649.
[2]
Wahbah Al Zuhaili, Fiqh Islam wa
Adillatuhu, Penerjemah
Abdul Hayyie al-Kattani (Depok:
Gema Insani, 2007), jilid 5,
h.25.
[3]
Joseph Schacht, An Introduction to Islamic Law, Penerjemah Joko Supomo. Pengantar
Hukum Islam, (Bandung: Nuansa, 2010), h. 218
[5]
Enang Hidayat, Fiqih Jual Beli, (Bandung: Remaja Rosdakarya Offset,
2015), h.11
[6]
Asmaji Muchtar, Dialog Lintas Mazhab Fiqh Ibadah dan Muamalah, (Jakarta:
Amzah, 2016), h.391-392
[7]
Enang Hidayat, Fiqih Jual Beli, h. 11
[8]
Asamaji Muchtar, Dialog Lintas Mazhab Fiqh Ibadah dan Muamalah, h. 393
[9]
Enang Hidayat, Fiqih Jual Beli, h. 12
[10]
Asmaji Muchtar, Dialog Lintas Mazhab Fiqh Ibadah dan Muamalah, h.394
[11]
Enang Hidayat, Fiqih Jual Beli, h. 12
[12]
Asmaji Muchtar, Dialog Lintas Mazhab Fiqh Ibadah dan Muamalah, h. 394
[17]
Syihabuddin bin Ahmad bin ‘Aly bin Muhammad bin Hajr al-Asqalany, Fathul
Baari syarh Shahih al-Bukhari, (Beirut: Dar Al-Kotob Al-Ilmiyah, 2012),
jilid 5, h. 248. Lihat pula M. Muhajirin Amsar, Mishbah adz-Dzalam syarh
Bulugh al-Maram min Adillah al-Ahkam, (Jakarta: Darul Hadits, 2014), jilid
2, h.302. Lihat pula Musthafa Daib al-Bigha, at-Tadzhib fi Adillah Matn
al-Ghayah wa at-Taqrib, (Alharomain Jaya Indonesia, 2010), h.123. Lihat
pula Hulwati, Ekonomi Islam: Teori dan Praktinya dalam Perdagangan Obligasi
Syari’ah di Pasar Modal Indonesia dan Malaysia, (Ciputat: Ciputat Press,
2006), h. 22. Lihat pula Sayyid Sabiq, Fiqh as-Sunnah, jilid 3, h. 89. Lihat Pula Abdul
Azhim bin Badaqi al-Khalafi, Al-Wajiz fi Fiqh Sunnah wal Kitab al-Aziz, h.
649. Lihat pula Wahbah Al Zuhaili, Fiqh Al-Islam wa Adillatuhu, h.26.
[26]
Muhammad bin Isma’il al-Bukhari, Shahih Bukhari, h. 11
[27]
Abi Hasan Muslim, Shahih Muslim, jilid 2, h.107
[28]
Abi Abdul Rahman Ahmad bin Syua’ib an-Nasa’I, as-Sunan al-Kubro, jilid
3, h. 75
[32]
Abu Abdillah Muhammad bin Yazid al-Quzwaini, Sunan Ibnu Majah, h. 384
[33]
Ahmad bin Hanbal, al-Musnad, jilid 6, h. 355
[36]
Mardani, Fiqh Ekonomi Syariah, (Jakarta: Kencana, 2012), h. 110
[37]Ahmad
Wardi Muslich, Fiqh Muamalat, h. 207
[40]
Wahbah Al Zuhaili, Fiqh Islam wa Adillatuhu, h. 100
[41]
Abi Hasan Muslim, Shahih Muslim, jilid 3, h. 4
[42]
Abu Dawud as-Sijistani, Sunan Abu Dawud, jilid 2, h. 461
[43]
Abi Isa Muhammad bin Isa at-Tirmidzi, al-Jami’ al-Kabir, h. 512
[44]
Abi Abdul Rahman Ahmad bin Syua’ib an-Nasa’I, as-Sunan al-Kubro, jilid
6, h. 27
[45]
Abu Abdillah Muhammad bin Yazid al-Quzwaini, Sunan Ibnu Majah, h. 377
[47]
Ahmad bin Hanbal, al-Musnad, jilid 2, h. 506.
[48]
Muhammad bin Isma’il al-Bukhari, Shahih Bukhari, jilid 2, h. 30
[49]
Abi Hasan Muslim, Shahih Muslim, jilid 2, h. 4
[50]
Abu Dawud as-Sijistani, Sunan Abu Dawud, jilid 2, h. 461
[51]
Abi Isa Muhammad bin Isa at-Tirmidzi, al-Jami’ al-Kabir, h. 511
[52]
Abi Abdul Rahman Ahmad bin Syua’ib an-Nasa’I, as-Sunan al-Kubro, jilid
6, h. 64
[53]
Abu Abdillah Muhammad bin Yazid al-Quzwaini, Sunan Ibnu Majah, h. 377
[55]
Amir Syarifuddin, Garis-garis Besar Fiqh, (Jakarta: Kencana, 2003), h.
201
[57]
Abdul Rahman Ghazaly dkk, Fiqh Muamalat, (Jakarta: Kencana, 2012), h. 84.
[58]
Muhammad bin Isma’il al-Bukhari, Shahih Bukhari, jilid 2, h. 42.
[59]
Abi Hasan Muslim, Shahih Muslim, jilid 2, h. 14.
[60]
Abu Dawud as-Sijistani, Sunan Abu Dawud, jilid 2, h. 459.
[61]
Abi Abdul Rahman Ahmad bin Syua’ib an-Nasa’I, as-Sunan al-Kubro, jilid
6, h. 30.
[62]
Abu Abdillah Muhammad bin Yazid al-Quzwaini, Sunan Ibnu Majah, h. 381
[64]
Abi Hasan Muslim, Shahih Muslim, jilid 2, h. 15
[65]
Abi Abdul Rahman Ahmad bin Syua’ib an-Nasa’I, as-Sunan al-Kubro, jilid
6, h. 28
[66]
Abu Abdillah Muhammad bin Yazid al-Quzwaini, Sunan Ibnu Majah, h. 381
[67]
Muhammad bin Isma’il al-Bukhari, Shahih Bukhari, jilid 2, h. 43.
[68]
Abi Hasan Muslim, Shahih Muslim, jilid 2, h. 34.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar