Minggu, 08 April 2018

Makalah Fiqh Muamalat Tentang Jual Beli


BAB I
PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang
Manusia adalah makhluk sosial, yakni tidak dapat hidup sendiri dan selalu membutuhkan orang lain dalam memenuhi segala kebutuhan hidupnya. Terutama dalam hal muamalah, seperti jual beli, baik dalam urusan diri sendiri maupun untuk kemaslahatan umum.
Agama Islam mengatur setiap segi kehidupan umatnya. Mengatur hubungan seorang hamba dengan Tuhannya yang biasa disebut dengan muamalah ma’allah dan mengatur pula hubungan dengan sesamanya yang biasa disebut dengan muamalah ma’annas. Nah, hubungan dengan sesama inilah yang melahirkan suatu cabang ilmu dalam Islam yang dikenal dengan Fiqih Muamalat. Aspek kajiannya adalah sesuatu yang berhubungan dengan muamalah atau hubungan antara umat satu dengan umat yang lainnya. Mulai dari jual beli, sewa menyewa, hutang piutang dan lain-lain.
Untuk memenuhi kebutuhan hidup setiap hari, setiap Muslim pasti melaksanakan suatu transaksi yang biasa disebut dengan jual beli. Si penjual menjual barangnya, dan si pembeli membelinya dengan menukarkan barang itu dengan sejumlah uang yang telah disepakati oleh kedua belah pihak. Jika zaman dahulu transaksi ini dilakukan secara langsung dengan bertemunya kedua belah pihak, maka pada zaman sekarang jual beli sudah tidak terbatas pada satu ruang saja. Dengan kemajuan teknologi, dan maraknya penggunaan internet, kedua belah pihak dapat bertransaksi dengan lancar.
Oleh karena itu, kami berusaha mengkaji lebih dalam mengenai hal-hal yang berkaitan dengan jual beli khususnya pengertian, rukun dan syarat, dasar hukum dan macam-macam jual beli, juga kami berusaha mengkaji lebih dalam mengenai jual beli gharar dan jual beli mukhadarah. Kami harap makalah yang kami tulis ini dapat menjadi acuan bagi pembaca khususnya dan bagi masyarakat pada umumnya.
B.     Rumusan Masalah
Berhubungan pembahasan tentang jual beli sangat luas maka dalam tulisan ini kami batasi hanya pada pembahasan tentang pengertian, rukun dan syarat, dasar hukum, macam-macam jual beli, juga jual beli gharar dan jual beli mukhadarah. Maka, kami rumuskan beberapa masalah yaitu:
1.      Apa yang dimaksud jual beli?
2.      Apa saja rukun dan syarat jual beli?
3.      Apa dasar hukum jual beli?
4.      Apa saja macam-macam jual beli?
5.      Apa yang dimaksud jual beli gharar?
6.      Apa yang dimaksud jual beli mukhadarah?
C.    Tujuan
Adapun tujuan dari penulisan makalah ini adalah mencoba untuk memberikan informasi kepada rekan-rekan kami pada khususnya dan kepada masyarakat pada umumnya tentang jual beli dalam bahasan fiqh muamalat.









BAB II
PEMBAHASAN

A.    Pengertian Jual Beli

Kata buyu’ adalah bentuk jama’ dari bai’ artinya Jual-Beli. Sering dipakai dalam bentuk jama’ karena jual-beli itu beraneka ragam bentuknya.[1]
Secara etimologi, jual beli adalah proses tukar-menukar barang dengan barang. Kata bai’ yang artinya jual beli termasuk kata bermakna ganda yang bersebrangan, seperti hal nya kata syiraa yang termaktub dalam Q.S. Yusuf [12]: 20 dan Q.S. Al-Baqarah [02]: 102:
وَشَرَوۡهُ بِثَمَنِۢ بَخۡسٖ دَرَٰهِمَ مَعۡدُودَةٖ وَكَانُواْ فِيهِ مِنَ ٱلزَّٰهِدِينَ ٢٠
“Dan mereka menjual Yusuf dengan harga yang murah, yaitu beberapa dirham saja, dan mereka merasa tidak tertarik hatinya kepada Yusuf”.
….. وَلَبِئۡسَ مَا شَرَوۡاْ بِهِۦٓ أَنفُسَهُمۡۚ لَوۡ كَانُواْ يَعۡلَمُونَ ١٠٢
“ …. dan amat jahatlah perbuatan mereka menjual dirinya dengan sihir, kalau mereka mengetahui”
Baik penjual maupun pembeli dinamakan baa’i’un dan bayyi’un, musytarin dan syaarin.[2]
Secara terminologi, jual-beli (bai’) adalah tukar-menukar barang atau kekayaan (maal), termasuk barter. Sejauh berkaitan dengan jual beli dalam pengertian sempit, seseorang dapat membedakan sasaran yang dijual dari harga (tsaman) dan nilai (qimah); masing-masing adalah pengganti (‘iwadh) atas yang lain, karena harga terdiri dari barang-barang berharga (biasanya emas dan perak), sedangkan obyek yang dijual umumnya barang yang tidak dalam keadaan rusak. Aturan-aturan yang dapat dilaksanakan bagi kedua belah pihak pada hakikatnya tidak sama. Penjual, umpamanya, dibolehkan menentukan harga tetap, bahkan sebelum ia mengambil barang.[3]
Sayyid Sabiq mendefinisikan bai’ sebagai berikut:

مبادلة مال بمال على سبيل التراضى

Menukar maal dengan maal atas asas suka sama suka.[4]
Ulama Hanafiyah mendefinisikan bai’ sebagai berikut:

تَمْلِيْكُ مَالٍ مُقَابِلُ مَالٍ عَلَى وَجْهٍ مَخْصُوْصٍ

Kepemilikan harta dengan cara tukar-menukar dengan harta lainnya pada jalan yang telah ditentukan.[5]
Ulama Hanafiyah mengatakan bahwa bai’ dalam istilah fiqh mempunyai dua definisi. Pertama, arti yang mencakup segala jenis bentuk akad jual beli, seperti sharf dan salam. Kedua, arti tertentu untuk salah satu dari beberapa jenis akad bai’.
Bai’ dengan adanya ganti bisa masuk dalam kategori akad bai’. Akad ini dinamakan hibah bitstsawab, yaitu hibah yang diganti dengan harta, sebagaimana akad tauliyah (menjual barang dengan harga yang dibuat modal), akad syirkah, iqalah, dan syuf’ah. Semua bentuk akad tersebut masuk dalam akad bai’ karena adanya unsur penukaran harta. Dari definisi diatas mengecualikan akad ijarah (sewa) sebab sasaran akad sewa adalah kemanfaatan sebuah benda, bukan murni barangnya, begitu juga akad nikah karena nikah untuk mencari kenikmatan.[6]
Ulama Malikiyah mendefinisikan bai’ sebagai berikut:
عَقْدٌ مُعَاوَضَةُ عَلَى غَيْرِ مَنَافِعَ, وَ لَا مُتْعَةُ لَذَةِ, ذُو مُكَايَسَةِ, أَحَدُ عِوَضَيْهِ غَيْرُ ذَهَبِ وَ لَا فِضَّةِ. مُعَيَّنُ غَيْرُ العَيْنِ.
Akad saling tukar menukar terhadap bukan manfaat, bukan termasuk senang-senang, adanya saling tawar-menawar, salah satu yang dipertukarkan itu bukan termasuk emas dan perak, bendanya tertentu dan bukan dalam bentuk zat benda.[7]
Ulama Malikiyah membagi bai’ menjadi beberapa bagian dengan sudut pandang yang berbeda-beda. Secara umum bai’ terbagi menjadi dua macam. Pertama, jual beli manfaat suatu benda. Kedua, jual beli barang.[8]
Ulama Syafi’iyah mendefinisikan bai’ sebagai berikut:

عَقْدٌ يَتَضَمَّنُ مُقَابَلَةَ مَالٍ بِمَالٍ بِشَرْطِهِ لِاِسْتِفَادَةِ مِلْكِ عَيْنِ أَوْ مَنْفَعَةِ مُؤَبَّدَةِ

Akad yang mengandung saling tukar menukar harta dengan lainnya dengan syarat-syaratnya, tujuannya untuk memiliki benda atau manfaat yang bersifat abadi.[9]
Ulama Syafi’iyah berpendapat bahwa yang dimaksud dengan pertukaran harta adalah masing-masing dair dua belah pihak saling menyerahkan harta yang ditukarkan, kecuali akad hibah (pemberian) karena tidak ada bentuk pertukaran. Begitu juga akad nikah karena dalam akad nikah harta ditukar dengan selain harta.[10]
Ulama Hanabilah mendefinisikan bai’ sebagai berikut:

مُبَادَلَةُ مَالِ وَ لَوْ فِي الذِّمَّةِ أَوْ مَنْفَعَةِ مُبَاحَةِ عَلَى التَّأْبِيْدِ غَيْرِ رِبَا وَ قَرْضِ

Saling tukar menukar harta walaupun dalam tanggungan atau manfaat yang diperbolehkan syara’, bersifat abadi bukan termasuk riba dan pinjaman.[11]
Redaksi “pertukaran harta dengan harta yang lain” adalah akad yang dilakukan oleh pemilik harta, baik pembeli maupun penjual. Dalam hal ini tidak dibedakan antara barang yang ada dan bisa dilihat pada waktu akad atau barang yang dijual dengan menyebutkan ciri-cirinya, sedangkan barangnya dalam tanggungan penjual. Redaksi “bersifat abadi” mengecualikan akad ijarah (sewa) dan i’arah (pinjaman).[12]
Imam Nawawi dalam kitab Majmu’ mengatakan bahwa jual beli adalah tukar menukar barang dengan barang dengan maksud memberi kepemilikan.
Ibnu Qudamah dalam kitab ­al-Mughni mendefinisikan jual beli dengan tukar menukar barang dengan barang yang bertujuan memberi kepemilikan dan menerima hak milik. Kata bai’ adalah pecahan dari kata baa’un (barang), karena masing-masing pembeli dan penjual menyediakan barangnya dengan maksud memberi dan menerima. Kemungkinan juga, karena keduanya berjabat tangan dengan yang lain. Atas dasar itulah, jual beli (bai’) dinamakan shafaqah yang artinya transaksi yang ditandai dengan jabat tangan.
Maksud dari maal (harta dan barang) itu sendiri, menurut ulama Hanafi, adalah segala sesuatu yang disukai tabiat manusia dan bisa disimpan sampai waktu dibutuhkan. Sedangkan standar sesuatu itu disebut maal adalah ketika semua orang atau sebagian dari mereka memperkaya diri dari maal tersebut. Prof. Ahmad Musthafa az-Zarqa mengkritik definisi maal diatas, lalu menggantinya dengan definisi lain, yaitu maal adalah semua barang yang memiliki nilai material menurut orang. Berdasarkan hal inilah maka menurut ulama Hanafi, manfaat dan hak-hak tidak termasuk kategori maal (harta), sementara bagi mayoritas ahli fiqh, hak dan manfaat termasuk harta yang bernilai. Pasalnya, menurut mayoritas ulama, tujuan akhir dari kepemilikan barang adalah manfaat yang ditimbulkannya.
Karena itu, yang dimaksud jual beli adalah transaksi yang terdiri dari ijab dan qabul. [13]

B.     Rukun Jual Beli dan Syarat Jual Beli

Rukun jual beli ada tiga: (1)’aqid (2) sighat (3) ma’qud ‘alaih. Masing-masing terbagi menjadi dua:
  1. Aqid terbagi menjadi dua, yaitu ba’i (penjual) dan musytari (pembeli).
  2. Shigat terbagi menjadi dau bagian, yaitu ijab (penawaran) dan qabul (penerimaan).
  3. Ma’qud ‘alaih terbagi menjadi dua bagian, yaitu tsaman (uang pembayaran) dan mutsman (barang yang dibeli).[14]
Para ulama berbeda pendapat tentang rukun jual beli. Menurut Ulama Hanafiah mengatakan bahwa jual beli hanya mempunyai satu rukun, yaitu ijab dan qabul karena arena ijab qabul merupakan bukti atas pertukaran barang yang dilakukan penjual dan pembeli, baik dengan ucapan maupun perbuatan. Sebagian Ulama Hanafiyah mengatakan jual beli mempunyai dua rukun, yaitu ijab qabul, penyerahan dan penerimaan barang. Dalam hal ini, kedua pendapat di atas mengandung rukun secara hakiki, yaitu shighat dan ‘aqid.[15]
Sementara menurut Malikiyah, rukun jual beli terbagi menjadi tiga, yaitu:
  1. Aqidain (dua orang yang berakad, yaitu penjual dan pembeli).
  2. Ma’qud ‘alaih (barang yang diperjualbelikan dan nilai tukar pengganti barang).
  3. Shighat (ijab dan qabul). 
    Ulama Syafi’iah juga berpendapat sama dengan Malikiyah diatas sementara ulama Hanabilah berpendapat sama dengan pendapat Hanafiyah.
Dari penjelasan diatas, nampak jelas para ulama sepakat bahwa shighat (‘ijab dan qabul) Termasuk ke dalam rukun jual beli. Hal ini karena shighat termasuk ke dalam hakikat atau esensi jual beli. Adanya perbedaan pendapat ulama tersebut terletak pada aqidain (penjual dan pembeli) dan ma’qud alaih (barang yang dibeli dan nilai tukar barang pengganti barang). Tetapi perbedaan tersebut hanya bersifat lafzhi.
 Ulama yang tidak menjadikan ‘aqidain sebagai rukun, maka menjadikannya sebagai syarat jual beli sebagaimana yang dikemukakan ulama Hanafiyah dan Hanabilah. Begitu juga sebaliknya, ulama yang menjadikan ‘aqidain sebagai rukun, maka tidak disebutkannya dalam syarat jual beli sebagaimana yang dikemukakan ulama Malikiyah dan Syafi’iyah.
Berikut penjelasan rukun jual beli beserta syarat yang harus dipenuhi:
1.      Aqidain (dua orang yang berakad, yaitu penjual dan pembeli) agar transaksi menjadi sah maka penjual dan pembeli hasur memenuhi beberapa syarat, diantaranya harus dewasa (orang yang ahli jual beli), maka tidak sah jual belinya anak kecil dan orang gila. Adapun anak kecil yang mengerti tentang jual beli dan ia mampu memahami perkataan orang lain maka penjualan dan pembelinya sah setelah mendapat izin dari walinya.
Mazhab Hanbali mengatakan bahwa jual beli yang dilakukan anak kecil sah untuk barang-barang yang sedikit walaupun tamyiz dan tidak mendapatkan izin walinya. Hal ini berdasarkan riwayat yang menerangkan bahwa Abu Darda’ memebeli burung gereja dari anak kecil lalu ia melepaskanya. Begitu juga dengan tasharruf orang bodoh tanpa izin walinya, namun hanya tasharruf yang sifatnya sedikit, seperti membeli sayuran. Adapun membeli barang dalam jumlah banyak oleh anak kecil yang belum tamyiz walaupun dengan izin walinya tidak sah. Namun ketika mendapat izin hukumnya sah, tetapi bagi wali haram untuk memberikan izin kecuali ada maslahat.
Sementara itu mazhab Syafi’i menyebutkan bahwa ada empat golongan orang yang jual belinya tidak sah yaitu:
a.       Anak kecil, baik tamyiz maupun belum walaupun mendapat izin walinya.
b.       Orang gila.
c.       Hamba sahaya walaupun sudah dewasa.
d.      Orang buta.
Tidak sah jual beli yang dilakukan keempat orang tersebut sehingga penjual wajib mengembalikan uang yang digunakan mereka untuk membeli. Mereka juga tidak dimintai tanggung jawab karena telah menyia-nyiakan barang pembeliannya. Adapun jual beli yang dilakukan hamba sahaya yang sudah mukallaf sah jual belinya setelah mendapat izin tuanya.
Selain itu, diisyaratkan juga penjual dan pembeli adalah orang yang mengerti tentang jual beli yang dilakukannya. Syarat lain bagi penjual dan pembeli adalah karena bukan paksaan. Allah SWT berfirman dalam QS. An-Nisa’ [04]: 29 yang berbunyi:
إِلَّآ أَن تَكُونَ تِجَٰرَةً عَن تَرَاضٖ مِّنكُمۡۚ
“Kecuali dengan jalan perniagaan yang berlaku dengan suka sama suka diantara kamu”.
Nabi Muhammad SAW bersabda:
Jual beli hanya bisa sah dengan saling kerelaan. ” (HR. Ibnu hibban). 
2.      Ma’qud ‘alaih (barang yang diperjualbelikan dan nilai tukar pengganti barang). Ma’qud ‘alaih adalah uang pembayaran ataupun barang yang diperjual belikan. Suatu transaksi dianggap sah jika ma’qud ‘alaih telah memnuhi syarat diantaranya sebagai berikut:
a.       Harus suci, tidak sah barang najis menjadi mabi’ ataupun tsaman. Seorang yang menjual barang najis atau mutanajis (terkena najiz) yang tidak bisa disucikan maka penjualanya tidak sah. Selain tidak sah dijual, ia juga tidak bisa dijadikan alat pembayaran, seperti membeli barang yang suci dengan pembayaran khamr atau babi. Akan tetapi, mazhab Hanafi membolehkan menjual minyak yang terkena najis yang kemanfaatanya selain untuk dimakan, seperti menjual kotoran yang dicampur dengan debu atau menjual kotorannya saja. Adapun yang tidak diperbolehkan adalah menjual bangkai, kulit bangkai yang belum disamak, babi dan khamr, tetapi jika bangkai, khamr, dan babi dijadikan sebagai alat pembayaran tidak membatalkan jual beli, hanya saja dihukumi rusak (fasid) yang bisa memindah kepemilikan dengan menerima barang, dan bagi pembeli wajib menyerahkan uang pembayaran.
b.      Harus bisa dimanfaatkan menurut syara’, tidak sah menjual serangga yang tidak bisa dimanfaatkan.
c.       Barang yang dijual harus dimiliki oleh penjual pada saat akad berlangsung, kecuali dalam bai’ salam (pesan).
d.      Barang yang dijual harus mampu diserahkan penjual kepada pembeli, tidak sah menjual barang yang telah di gasab, kecuali jika pembeli mampu mengambilnya dari orang yang menggasab. Selain itu, juga tidak sah menjual barang hasil hasil gasab karena barang tersebut hukum miliknya.
e.       Barang yang dijual dan uang pembayaran harus diketahui secara jelas oleh kedua pihak, menjual barang yang tidak diketahui hingga bisa menimbulkan perselisihan tidak sah. Misalnya, penjual berkata kepada pembeli: “belilah salah satu kambing yang aku miliki” atau “belilah dariku barang ini dengan sekedar nilai jualnya” atau “belilah barang ini dengan harga yanhg telah ditetapkan orang ini.
f.        Akad bai’ tidak terbatas oleh waktu. Misalnya, penjual mengatakan: “saya jual unta ini kepadamu dengan harga sekian selama satu tahun”.
3.      Shighat (ijab dan qabul).
Shighat dalam bab jual beli adalah sesuatu yang menunjukan kerelaan penjual dan pembeli. Shighat terbagi menjadi dua. Pertama, ucapan atau yang menggantikan ucapan, seperti seorang utusan atau tulisan. Seseorang yang menulis surat untuk orang lain yang berisi, “saya jual rumahku dengan harga sekian.” atau ia mengutus seseorang untuk mengabarkan bahwa ia menjual rumahnya dan orang yang ditawari menerimanya maka sah hukum belinya.
Menurut Imam Syafi’i, tidak sah jual beli kecuali dengan shighat, yaitu ucapan atau yang menyerupai ucapan, seperti surat, utusan, dan isyarat yang jelas. Adapun mu’athah pada hal-hal yang murah karena secara adat sulit melakukan ijab qabul pada hal-hal tersebut.
Adapun yang dimaksud ucapan dalam akad adalah lafazh yang memberikan kepahaman atas pemindahan status kepemilikan kepada orang lain dan penerimaan kepemilikan. Misalnya, “saya menjual barang ini” dan “saya membeli barang ini.” ucapan yang dikatakan oleh penjual adalah ijab, sedangkan yang diucapkan pembeli dinamakan qabul, namun terkadang qabul bisa mendahului ijab. Misalnya, pembeli mengatakan, “jualah barang ini kepadaku dengan harga sekian.”
Pembahasan ijab dan qabul terdapat beberapa perincian hukumnya dalam beberapa mazhab fiqh berikut ini.
Menurut mazhab Hanafi, ijab adalah ucapan yang keluar terlebih dahulu dari salah satu kedua pihak, baik dari pihak penjual maupun dari pihak pembeli. Misalnya, pembeli mengatakan: “saya beli ini darimu dengan harga seribu.” kemudian penjual mengiyakanya.
Ulama Hanafiyah mengatakan bahwa jual beli bisa dianggap sah dengan dua lafaz yang menunjukan arti memindah dan menerima kepemilikan, seperti “saya jual, saya beli, saya berikan, saya terima, saya ambil atau saya rela barang ini untuk mu dengan harga sekian”. Bisa juga dengan lafaz akad salam, hibah dan ‘iwad. Misalnya penjual berkata “ saya serahkan” atau “ saya berikan barang ini kepada mu dengan harga sekian” atau “saya tukarkan kudaku dengan kudamu” apabila kata kata ijab qobul menggunak fi’il madhi (kata kerja yang menunjukkan pekerjaan yang sudah dilakukan) atau menggunakan fi’il mudhori’ (kata kerja yang menunjukkan pekerjaan yang sedang berlangsung atau akan dilakukan) maka keduanya sah walaupaun tanpa adanya niat bai’. Tapi sebagian ulama mengatakan harus disertai niat.
Madzhab Maliki mengatakan bahwa jual beli sah dengan dua lafadz yang menunjukkan keridhaan penjual dan pembeli. Misalnya, saya jual dan saya beli. Akad yang menggunakan bentuk kata kerja fi’il madhi hukumnya sah sehingga pembeli dan penjual tidak boleh menggagalkannya. Misalnya, penjual berkata “saya jual barang ini,” dan pembeli menjawabnya “saya beli’. Begitu juga ketika menggunakan fi’il amr (kata kerja perintah). Misalnya, pembeli mengatakan “juallah kepada ku barang ini dengan harga sekian,” kemudian penjual mengatakan “iya, saya jual,” maka akad jual beli sah, namun dalam ketetapannya terdapat perbedaan pendapat. Sebagian pendapat mengatakan bahwa pembeli boleh membatalkan akad tersebut san bersumpah jika tidak bertujuan membeli, sedangkan sebagian lagi menganggap akad jual beli sudah menjadi tetap sehingga keduanya tidak boleh membatalkannya menurut pendapat yang paling kuat.
Apabila bai’ menggunakan fi’il mudhari’, misalnya, penjual berkata, “saya akan menjual barang ini dengan harga sekian,” kemudian pembeli menerima tawaran tersebut dengan bai’ belum menjadi tetap kepemilikannya ketika dibatalkan oleh penjual. Penjual yang membatalkan bai’ setelah pembeli menerimanya, ia harus bersumpah bahwa ia tidak bermaksud untuk menjualnya atau hanya sekedar bergurau. Dalam hal ini, bai’ menjadi batal. Apabila tidak bersumpah maka akad bai’ harus terjadi, tetapi ketika akad qarinah yang menunjukkan bahwa ia tidak bertujuan bai’ maka akad bai’ tidak harus terjadi.
Apabila seseorang berkata kepada orang lain, “dengan harga berapa kamu jual barang ini?” kemudian ia menjawab, “dengan harga sepuluh,” lalu orang yang berkata bertanaya, “saya ambil barang ini dengan harga tersebut,” tetapi penjual tidak mau dan ia mengatakan, “saya hanya ingin memberitahukan harganya atau saya hanya bercanda,” menurut pendapat yang lebih kuat dalam masalah ini harus ada qarinah/tanda. Apabila terdapat tanda seperti terjadinya tawar menawar penurunan harga hingga berkali-kali maka penjual harus menjual barang tersebut, namun jika tidak ada tanda-tanda maka akad bai’ tidak harus terjadi dan penjual tidak harus mengucapkan sumpah. Akan tetapi, jika tidak ada tanda-tanda bagi keduanya maka penjual boleh membatalkan bai’ dan ia harus bersumpah ketika pembeli sudah menerima tawaran bai’.
Adapun menurut Mazhab Syafi’i jual beli dapat di hukumi sah dengan menggunakan perkataan yang menunjukkan pemindahan kepemilikan dan bisa memahamkan pada tujuan. Perkataan tersebut terbagi menjadi dua bagian yaitu:
a.       Sharih (jelas), yaitu perkataan yang menunjukkan jaul beli. Misalnya, ucapan, “saya beli barang ini darimu dengan harga sekian”.
b.       Kinayah (kiasan), yaitu berkata, “saya berikan baju ini dengan ganti baju itu,” atau “saya berikan kuda ini dengan kuda itu dengan kuda itu.” Lafazh yang demikian bisa menunjukkan jual beli dan bisa juga menunjukkan I’arah (pinjaman), jika ia berniat untuk akad jual beli maka hukumnya sah dan apabila kata kiasan disertai penyebutan uang pembayaran maka jadi akad ba’i, misalnya, “Saya berikan rumah ini kepadamu dengan ganti uang seratus dinar,” tetapi jika tidak disertai penyebutan uang pembayaran menjadi akad hibah. Begitu juga semua lafazh yang bersifat kiasan ketika disertai penyebutan uang pembayaran akan menjadi akad ba’i.
Akad ba’i juga sah menggunakan ijab qabul melalui tulisan. Termasuk lafazh kiasan adalah ijab qabul dengan kata kerja fi’il mudhari’, seperti ‘saya akan menjual’ atau ‘saya akan membeli,’ akad tersebut menjadi sah dengan adanya niat. Akad ba’i juga sah dengan mendahulukan qabul dan mengahirkan ijab. Misalnya, pembeli mengatakan, “Juallah ini kepadaku dengan harga sekian.” Kata ‘Juallah’ mengisyaratkan menyuruh penjual untuk mengatakan ijab sehingga ba’i juga sah menggunakan kata perintah, tetapi jika menggunakan kata tanya, misalnya, seorang berkata “Apakah kemu menjual ini kepadaku?” maka ba’i tidak sah.
Ijab qabul yang disertai ucapan musyiah (kehendak) hukumnya sah dengan empat syarat, yaitu:
a.       Orang yang mengucapkan adalah orang yang memulai, baik penjual maupun pembeli.
b.      Orang yang diajak bicara adalah satu orang, apabila yang diajak bicara orang banyak maka tidak berpengaruh.
c.       Perkataannya dengan mengharakati huruf ta’ dari ucapan syi’ta, yaitu ucapan kata syi’ta dibaca dengan harokat fathah pada huruf “ta”.
d.      Ucapannya diakhiri dengan sighat, baik ijab maupun qabul.
Akad ba’i menjadi batal jika dinsertai ucapan insya Allah atau lainnya yang tidak berkaitan dengan akad. Misalnya, perkataan, “Jika orang lain menghendaki”.
Mazhab Hanbali berpendapat bahwa jual beli sah dengan dua lafazh yang mengandung arti menjual dan membeli, dan tidak terbatas dengan kata-kata tertentu. Ijab dari penjual dianggap sah walaupun dengan ucapan, “Saya jual kepadamu, saya milikkan untukmu, saya kuasakan kepadamu, dan saya berikan kepadamu.” Begitu juga dengan Ijab dari pihak pembeli, seperti “Saya terima, saya rela, saya beli, saya terima kepemilikan ini, saya ambil dan saya ganti.” Akan tetapi, para ulama berbeda pendapat mengenai bai’ yang menggunakan kata salam (pesan). Sebagian ulama mengatakan sah, namun sebagian lainnya mengatakan tidak sah. Dalam suatu akad, qabul boleh mendahului ijab dengan syarat menggunakan kata perintah dan menggunakan kata perintah dan mengandung kata tanya atau pengharapan. Akad yang disertai kata musyiah (kehendak) hukumnya sah. Misalnya, pembeli mengatakan, “Saya jual insya Allah,” kemudian pembeli mengatakan, “Saya beli insya Allah.” Namun, penjual dan pembeli mempunyai hak untuk membatalkan akad selama masih berada dalam majelis akad.
Ijab dan qabul akan menjadi sah jika telah memenuhi beberapa syarat, diantaranya sebagai berikut:
a.       Ijab harus sesuai dengan qabul dalam kadarnya, sifatnya, pembayarannya, kontan, dan kreditnya. Apabila penjual mengatakan, “Saya jual rumah ini dengan harga seribu,” kemudian pembeli mengatakan, “Saya terima dengan harga lima ratus” maka bai’ tidak sah.
b.      Ijab dan qabul harus berada dalam majlis akad. Seseorang penjual yang berkata kepada pembeli, “Saya jual dengan harga seribu,” kemudian mereka berpisah sebelum pembeli mengucapkan qabul maka bai’ tidak sah.
c.       Ijab dan qabul tidak terpisah dengan waktu yang lama, tetapi jika terpisah dengan   waktu yang sebentar dan tidak menunjukkan bahwa salah satunya berpaling dari akad bai’ maka tidak membatalkan ijab dan qabul.
Begitu juga dengan mazhab Hanafi disebutkan bahwa ijab qabul yang terpisah dengan waktu sebentar. Misalnya, penjual berkata, “Saya jual baju ini dengan harga sepuluh,” sedangkan pembeli memegang segelas air lalu ia meminumnnya, kemudian pembeli mengatakan, “Iya, saya terima,” maka bai’ hukumnya sah. Akan tetapi, jika dipisah dengan makan atau tidur tidak sah, sama halnya ketika penjual mengatakan, “Saya jual ini kepadamu dengan harga sekian,” tetapi pembeli tidak menjawabnya, bahkan ia berbicara dengan orang lain maka hal itu dapat memisahkan ijab dan qabul.
Sementara itu mazhab Syafi’i menyebutkan bahwa ijab qabul tidak boleh dipisah dengan ucapan lain yang tidak berkaitan dengan akad, baik sedikit maupun banyak. Apabila ucapan itu berkaitan dengan akad, bai’ dihukumi sah walaupun lama. Begitu juga dengan diam sebentar. Namun, jika lama sehingga menjadikan orang itu berpaling dari akad bai’ maka bai’ tidak sah sehingga penjual dan pembeli berhak untuk membatalkan akad bai’.
d.      Penjual dan pembeli saling mendengarkan ijab dan qabul. Apabila akad dilakukan didepan para saksi maka cukup bagi para saksi mendengarkannya. Pengingkaran yang dilakukan oleh salah satu dari keduanya menjadikan bai’ tidak bisa dieterima. Misalnya, penjual mengatakan “Saya jual barang ini dengan harga sekian,” kemudian pembeli mengatakan, “Saya terima,” setelah itu mereka berpisah dan penjual mengaku bahwa dirinya tidak mengdengar ucapan qabul dari pembeli atau pembeli mengaku bahwa ia tidak mendengar penyebutan harga pembelian, maka pengakuan keduanya tidak bisa diterima, kecuali dengan adanya saksi.[16]

C.    Dasar Hukum Jual Beli

Syariat telah menetapkan beberapa ketentuan hukum yang berkaitan dengan perdagangan, supaya aktifitas perdagangan dapat dilaksanakan dengan teratur dan baik serta memelihara kepentingan masyarakat. Dasar disyariatkannya perdagangan adalah melalui Al-Quran dan Sunnah, yaitu:
1.      Dalil dari Al-Qur’an diantaranya:
1.1  Q.S al-Baqarah [02]: 275 yang berbunyi:
…..وَأَحَلَّ ٱللَّهُ ٱلۡبَيۡعَ وَحَرَّمَ ٱلرِّبَوٰاْۚ …..
“… Dan Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba …”
1.2  Q.S al-Baqarah [02]: 282 yang berbunyi:
……وَأَشۡهِدُوٓاْ إِذَا تَبَايَعۡتُمۡۚ………..
“…….Dan persaksikanlah apabila kamu berjual beli …..”
1.3  Q.S al-Baqarah [02]: 198 yang berbunyi:
لَيۡسَ عَلَيۡكُمۡ جُنَاحٌ أَن تَبۡتَغُواْ فَضۡلٗا مِّن رَّبِّكُمۡۚ فَإِذَآ أَفَضۡتُم مِّنۡ عَرَفَٰتٖ فَٱذۡكُرُواْ ٱللَّهَ عِندَ ٱلۡمَشۡعَرِ ٱلۡحَرَامِۖ وَٱذۡكُرُوهُ كَمَا هَدَىٰكُمۡ وَإِن كُنتُم مِّن قَبۡلِهِۦ لَمِنَ ٱلضَّآلِّينَ ١٩٨
“Tidak ada dosa bagimu untuk mencari karunia (rezeki hasil perniagaan) dari Tuhanmu. Maka apabila kamu telah bertolak dari ´Arafat, berdzikirlah kepada Allah di Masy´arilharam. Dan berdzikirlah (dengan menyebut) Allah sebagaimana yang ditunjukkan-Nya kepadamu; dan sesungguhnya kamu sebelum itu benar-benar termasuk orang-orang yang sesat”.
1.4  Q.S an-Nisaa [04]: 29 yang berbunyi:
يَٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُواْ لَا تَأۡكُلُوٓاْ أَمۡوَٰلَكُم بَيۡنَكُم بِٱلۡبَٰطِلِ إِلَّآ أَن تَكُونَ تِجَٰرَةً عَن تَرَاضٖ مِّنكُمۡۚ وَلَا تَقۡتُلُوٓاْ أَنفُسَكُمۡۚ إِنَّ ٱللَّهَ كَانَ بِكُمۡ رَحِيمٗا ٢٩
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan harta sesamamu dengan jalan yang batil, kecuali dengan jalan perniagaan yang berlaku dengan suka sama-suka di antara kamu. Dan janganlah kamu membunuh dirimu; sesungguhnya Allah adalah Maha Penyayang kepadamu”.
1.5  Q.S. an-Nur [24]: 37 yang berbunyi:
رِجَالٞ لَّا تُلۡهِيهِمۡ تِجَٰرَةٞ وَلَا بَيۡعٌ عَن ذِكۡرِ ٱللَّهِ وَإِقَامِ ٱلصَّلَوٰةِ وَإِيتَآءِ ٱلزَّكَوٰةِ يَخَافُونَ يَوۡمٗا تَتَقَلَّبُ فِيهِ ٱلۡقُلُوبُ وَٱلۡأَبۡصَٰرُ ٣٧
“Laki-laki yang tidak dilalaikan oleh perniagaan dan tidak (pula) oleh jual beli dari mengingati Allah, dan (dari) mendirikan sembahyang, dan (dari) membayarkan zakat. Mereka takut kepada suatu hari yang (di hari itu) hati dan penglihatan menjadi goncang”.[17]
2.      Dalil dari as-Sunnah diantaranya:
2.1  Hadis riwayat Rifa’ah bin Rofi’”
عَنْ رِفَاعَةَ بْنِ رَافِعٍ - رضي الله عنه - أَنَّ النَّبِيَّ - صلى الله عليه وسلم - سُئِلَ: أَيُّ الْكَسْبِ أَطْيَبُ? قَالَ: «عَمَلُ الرَّجُلِ بِيَدِهِ, وَكُلُّ بَيْعٍ مَبْرُورٍ»
     “Dari Rifa’ah bin Rofi’ telah memberi khabar kepadaku bahwasanya Nabi SAW pernah ditanya, apakah usaha yang paling baik? Rasulullah SAW menjawab: hasil usaha sendiri dan setiap jual beli yang bersih dari tipu daya. (H.R. Ahmad [17728][18])
2.2  Hadis riwayat ‘Aisyah
عَـنْ عَائِشَةَ رضي الله عنها أَنَّ النَّبِيَّ صلى الله عليه و سلم اشْتَرَى طَعَامًا مِنْ يَهُوْدِيٍّ إِلَى أجَلٍ وَ رَهْنَهُ دِرْعًا مِنْ حَدِيْدٍ.
        Diriwayatkan ‘Aisyah RA, bahwasannya Nabi SAW pernah membeli makanan dari orang Yahudi yang akan dibayar Beliau pada waktu tertentu di kemudian hari dan beliau menjamin dengan baju besi”. (H.R Bukhari [2068][19], Muslim [1603][20], an-Nasa’i [2158][21], Ibnu Majah [2432][22])
2.3  Hadis riwayat Abi Sa’id
عَنْ أَبِي سَعِيْدٍ عَنِ النَّبيِّ - صلى الله عليه وسلم قَالَ: أَالتَّاجِرُالصَّدُوْقُ الأَمِيْنُ مَعَ النَّبِيِّنَ وَ الصِّدِّيْقِيْنَ وَ الشُّهَدَاءِ
     Dari Abu Sa’id dari Nabi SAW, beliau bersabda: “Seorang pedagang yang jujur dan dipercaya akan bersama dengan para Nabi, shiddiqun dan para syuhada. (H.R. at-Tirmidzi[1209][23], Ibnu Majah [2139][24] dan Ad-Darimi [2581][25]).
2.4  Hadis Riwayat Abu Hurairah
وَعَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ رضي الله عنه قَالَ: قَالَ رَسُوْلُ اللِّه - صلى الله عليه وسلم -: "لِأَنْ يَحْتَطِبَ أَحَدُكُمْ حُزْمَةً عَلَى ظَهْرِهِ خَيْرٌ مِنْ أَنْ يَسْأَلَ أَحَدًا فَيُعْطِيَهُ أَوْ يَمْنَعُهُ"
Dari Abu Hurairah RA, bahwa Nabi SAW bersabda: “Sesungguhnya seseorang diantara kamu mencari seikat kayu bakar, lalu dipanggul diatas punggungnya itu lebih baik daripada ia meminta-minta kepada orang lain, bisa jadi ia diberi ataupun tidak”. (H.R. Bukhari [2074][26], Muslim [1042][27], an-Nasa’i [2381][28], dan Malik [1822][29]).
2.5  Hadis riwayat Shakhr
عن صخر الغامدي أن النبي صلى الله عليه وسلم قال: (اللهم بارك لامتي في بكورها) قال: (وكان إذا بعث سرية أو جيشا بعثهم أول النهار, وكان صخر رجلا تاجرا, وكان إذا بعث تجارة بعث أول النهار, فأثرى وكثر ماله).
Diriwayatkan dari Shakhr al-Ghamidy, bahwasannya Nabi SAW berdoa: “Ya Allah berikanlah keberkahan kepada ummatku di waktu pagi mereka”. Dan berkata Shakr: “Dan Beliau apabila mengirim ekspedisi atau pasukan Beliau mengirim mereka pada awal siang. Dan Shakhr adalah seorang pedagang dan ia mengirim perdagangannya di awal siang, maka hartanya bertambah banyak. (H.R Abu Dawud [2606][30], at-Tirmidzi [1212][31], Ibnu Majah [2236][32], dan Ahmad [15836][33]).[34]

D.    Macam-macam Jual Beli

a.       Jual Beli Tauliyah
Menurut istilah syara’ adalah sebagai berikut:
بَيْعُ السِّلْعَةِ بِثَمَنِهَا الأَوَّلِ بِدُوْنِ زِيَادَةٍ عَلَيْهِ
          Jual beli tauliyah adalah jual beli barang sesuai dengan harga pertama (pembelian) tanpa tambahan.[35]
            Jual beli Tauliyah yaitu penjuak menyebutkan harga pokok dan menjualnya dengan harga tersebut. Misalnya, penjual berkata, “Barang ibu saya beli dengan harga Rp. 10.000,- dan saya jual sama dengan harga pokok”.[36]
b.      Jual Beli Murabahah
Murabahah dalam arti bahasa berasal dari kata رَابَحَ yang akar katanya رَبَحَ artinya الزِّيَادَةُ (tambahan). Menurut istilah para fuqaha, pengertian murabahah adalah sebagai berikut:
بَيْعُ السِّلْعَةِ بِثَمَنِهَا الَّتِى قَامَتْ بِهِ مَعَ رِيْحٍ بِشَرَائِطِ خَاصَّةٍ
         Jual beli murabahah adalah menjual barang dengan harganya semula ditambah dengan keuntungan dengan syarat-syarat tertentu.[37]
         Contoh jual beli murabahah yaitu: Misalnya, pedagang eceran membeli komputer dari grosir dengan harga Rp. 1.000.000,- kemudian ia menambahkan keuntungan Rp. 750.000 dan ia jual kepada si pembeli dengan harga Rp.1.750.000. Pada umumnya, si penjual eceran tidak akan memesan dari grosir sebelum ada pesanan dari calon pembeli, dan mereka sudah menyepakati tentang lama pembiayaan, besar keuntungan yang akan ia ambil, serta besarnya angsuran kalau akan dibayar secara angsuran.[38]
c.       Jual Beli Wadhi’ah
Jual Beli Wadhi’ah yaitu pihak penjual menyebutkan harga pokok dan harga barang atau menjual barang tersebut dibawah harga pokok. Misalnya, penjual berkata: “Barang ini saya beli dengan harga Rp. 10.000,- dan akan saya jual dengan harga Rp. 9.000,- atau saya potong 10% dari harga pokok”.[39]

E.     Jual Beli Gharar

Gharar memnurut etimologi adalah bahaya, sedangkan taghriir adalah memancing terjadinya bahaya. Namun, makna asli gharar itu adalah sesuatu yang secara zhahir bagus tetapi secara batin tercela. Karena itulah, kehidupan dunia dinamakan barang yang penuh manipulasi.
Berdasarkan hal ini, gharar adalah seseorang memberi peluang adanya bahaya bagi diri dan hartanya tanpa dia ketahui. Sedangkan Bai’ul Gharar adalah tertipu, dalam bentuk kata objek. Artinya, termasuk penyandaran masdar (bai’u) kepada isim maf’ul (maghrur).
Para ahli fiqh dari berbagai mazhab menyebutkan beberapa definisi gharar yang relatif hampir sama, diantaranya sebagai berikut:
Imam as-Sarakhsi dari mazhab Hanafi mengatakan bahwa gharar adalah jual beli yang tidak diketahui akibatnya.
Imam al-Qarafi dari mazhab Maliki mengatakan bahwa gharar adalah jual beli yang tidak diketahui apakah barang bisa didapat atau tidak, seperti jual beli burung yang ada di udara dan ikan yang ada didalam air.
Imam asy-Syairazi dari mazhab Syafi’i mengatakan bahwa gharar adalah jual beli yang tidak jelas barang dan akkbatnya.
Ibnu Taimiyah mengatakan bahwa gharar adalah jual beli yang tidak diketahui akibatnya, sedangkan Ibnu Qayyim mengatakan bahwa gharar adalah jual beli dimana barang tidak bisa diserahkan, baik barang itu ada maupun tidak ada, seperti jual beli budak yang lari dan unta yang terlantar meskipun ada.
Kesimpulannya, jual beli yang mengandung gharar adalah jual beli yang mengandung bahaya (kerugian) bagi salah satu pihak dan bisa mengakibatkan hilangnya harta atau barangnya. Prof. az-Zarqa memberikan definisi tersendiri tentang gharar, yaitu jual beli barang-barang yang tidak pasti adanya atau tidak pasti batasan-batasannya, karena mengandung spekulasi dan tipuan yang menyerupai sifat perjudian.[40]
Hukum jual beli seperti ini adalah haram. Dasar haramnya adalah sabda Nabi SAW:
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ «أَنَّ النَّبِيَّ - صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ - نَهَى عَنْ بَيْعِ الْحَصَاةِ وَعَنْ بَيْعِ الْغَرَرِ» رَوَاهُ الْجَمَاعَةُ إلَّا الْبُخَارِيَّ
       Dari Abu Hurairah, bahwasanya Nabi Muhammad SAW melarang jual beli hushah dan jual beli gharar. (H.R. Muslim [1513][41], Abu Dawud [3376][42], Tirmidzi [1230][43], Nasa’i [6064][44], Ibnu Majah [2193][45], Malik [1348][46]).
وَعَنْ ابْنِ مَسْعُودٍ «أَنَّ النَّبِيَّ - صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ - قَالَ: لَا تَشْتَرُوا السَّمَكَ فِي الْمَاءِ فَإِنَّهُ غَرَرٌ» . رَوَاهُ أَحْمَدُ
       Dari Ibnu Mas’ud, bahwasannhya Nabi SAW bersabda, “Janganlah kalian membeli ikan dalam air (kolam), karena hal itu mengandung unsur penipuan (samar)”. (HR. Ahmad [3748][47]),
وَعَنْ ابْنِ عُمَرَ قَالَ: «نَهَى رَسُولُ اللَّهِ - صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ - عَنْ بَيْعِ حَبَلِ الْحَبَلَةِ» .
       Dari Ibnu ‘Umar RA, ia mengatakan, “Nabi SAW melarang jual beli bayinya bayi binatang”. (HR. Bukhari [2143][48], Muslim [1514][49], Abu Dawud [3381][50], at-Tirmidzi [1229][51], an-Nasa’i [6173][52], Ibnu Majah [2197][53], Malik [1336][54]).
Alasan haramnya adalah tidak pasti dalam objek, baik barang atau uang atau cara transaksinya itu sendiri. Karena larangan dalam hal ini langsung menyentuh esensi jual belinya, maka disamping haram hukumnya transaksi itu tidak sah.[55]
An-Nawawi mengatakan, “Dua hal yang dikecualikan dari jual beli yang samar: Pertama, barang yang termasuk bagian dari barang yang dijual, yatitu bahwa bila barang tersebut dijual terpisah maka penjualannya tidak sah. Kedua, barang yang ditolelir kondisinya, baik karena tidak penting atau kesulitannya dalam membedakan atau menetapkannya. Diantara yang termasuk dalam dua kategori yang dikecualikan ini adalah pondasi bangunan, susu yang terdapat didalam ambing (kantong kelenjar susu) ternak, janin dalam kandungan terna dan kapas atau kapuk yang masih dalam bijinya.[56]

F.     Jual Beli Mukhadarah

Jual beli mukhadarah, yaitu menjual buah-buahan yang masih hijau (belum pantas dipanen). Seperti menjual rambutan yang masih hijau, mangga yang masih kecil-kecil. Hal ini dilarang agama karena barang ini masih samar, dalam artian mungkin saja buah ini jatuh tertiup angin kencang atau layu sebelum diambil oleh pembelinya.[57]
Hukum jual beli seperti ini adalah haram. Dasar haramnya adalah sabda Nabi SAW:
عَنْ ابْنِ عُمَرَ أَنَّ النَّبِيَّ - صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ - «نَهَى عَنْ بَيْعِ الثِّمَارِ حَتَّى يَبْدُوَ صَلَاحُهَا, نَهَى الْبَائِعَ وَالْمُبْتَاعَ» رَوَاهُ الْجَمَاعَةُ إلَّا التِّرْمِذِيَّ
Dari Ibnu Umar, bahwasannya Nabi SAW melarang menjual buah-buahan sebelum tampak bagus (layak dipetik), beliau melarang penjual dan pembelinya. (HR. Bukhari [2193][58], Muslim [1534][59], Abu Dawud [3367][60], an-Nasa’i [6072][61], Ibnu Majah [2214][62], Malik [1285][63]).
وَعَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ - صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ - «لَا تَتَبَايَعُوا الثِّمَارَ حَتَّى يَبْدُوَ صَلَاحُهَا.» رَوَاهُ أَحْمَدُ وَمُسْلِمٌ وَالنَّسَائِيُّ وَابْنُ مَاجَهْ
Dari Abu Hurairah, ia berkata, “Rasulullah SAW bersabda, ‘Janganlah kalian memperjualbelikan buah-buahan sehingga tampak bagusnya (layak dipetik)’”.(HR. Muslim [1538][64], an-Nasa’i [6068][65], Ibnu Majah [2214][66]).
وَعَنْ أَنَسٍ أَنَّ النَّبِيَّ - صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ - «نَهَى عَنْ بَيْعِ الثَّمَرَةِ حَتَّى تُزْهِيَ, قَالُوا: وَمَا تُزْهِي, قَالَ: تَحْمَرُّ, وَقَالَ: إذَا مَنَعَ اللَّهُ الثَّمَرَةَ فَبِمَ تَسْتَحِلُّ مَالَ أَخِيكَ» . أَخْرَجَاهُ
Dari Anas, bahwasanya Nabi SAW melarang menjual buah-buahan sehingga matang. Mereka bertanya, “Apa yang dimaksud matang?” Anas menjawab, “Memerah, dan beliau telah bersabda, ‘Apabila mencegah (tumbuhnya) buah, lalu dengan alasan apa engkau menghalkan (mengambil) harta saudaramu’”. (HR. Bukhari [2197][67], dan Muslim [1555][68]).
            Hadis-hadis diatas menunjukkan tidak bolehnya menjual buah-buahan sebelum layak dipetik. Ada perbedaan pendapat dalam hal ini sehingga menjadi beberapa pandangan: Pertama, bahwa hukumnya batal secara mutlak. Kedua, bila disyaratkan untuk dipetik maka tidak batal, namun bila tidak disyaratkan maka hukumnya batal. Al Hafizh menyatakan bahwa pendapat ini dari Jumhur. Ketiga, hukumnya sah bila tidak mensyaratkan untuk dibiarkan.[69]


BAB III
                                            PENUTUP

A.    Kesimpulan

-          Jual-beli (bai’) adalah tukar-menukar barang atau kekayaan (maal), termasuk barter. Bisa juga didefinisikan jual beli adalah transaksi yang dilakukan dengan ijab dan qobul.
-          Rukun jual beli ada tiga: (1)’aqid (2) sighat (3) ma’kud ‘alaih. Masing-masing terbagi menjadi dua:
a.       Aqid terbagi menjadi dua, yaitu ba’i (penjual) dan musytari (pembeli).
b.      Shigat terbagi menjadi dau bagian, yaitu ijab (penawaran) dan qabul (penerimaan).
c.       Ma’kud ‘alaih terbagi menjadi dua bagian, yaitu tsaman (uang pembayaran) dan mutsman (barang yang dibeli).
-          Dasar hukum disyariatkannya jual beli terdapat pada al-Quran dan Hadis, diantaranya yaitu: Q.S al-Baqarah [02]: 275, 282, 198, Q.S an-Nisaa [04]: 29, Q.S. an-Nur [24]: 37 dan beberapa hadits yang telah kami cantumkan pada pembahasan.
-          Macam-macam jual beli yaitu:
a.       Jual beli Tauliyah yaitu penjuak menyebutkan harga pokok dan menjualnya dengan harga tersebut.
b.      Jual beli murabahah adalah menjual barang dengan harganya semula ditambah dengan keuntungan dengan syarat-syarat tertentu.
c.       Jual Beli Wadh’iyyah yaitu pihak penjual menyebutkan harga pokok dan harga barang atau menjual barang tersebut dibawah harga pokok.
-          Jual beli gharar adalah jual beli yang didalamnya terdapat unsur penipuan.
-          Jual beli mukhadarah adalah jual beli buah atau hasil cocok tanam dimana hasilnya belum jelas.

 

 

 

 

 










DAFTAR PUSTAKA

Ad Darimi, Abu Muhammad Abdullah bin Abdul Rahman. 2001. Sunan ad-Darimi, Makkah: Dar al-Mughni.
Al Asqalany, Syihabuddin bin Ahmad bin ‘Aly bin Muhammad bin Hajr. 2012. Fathul Baari syarh Shahih al-Bukhari, Beirut: Dar Al-Kotob Al-Ilmiyah.
Al Bigha, Musthafa Daib al-Bigha. 2010. at-Tadzhib fi Adillah Matn al-Ghayah wa at-Taqrib, Alharomain Jaya Indonesia.
Al Bukhari, Muhammad bin Isma’il. 1998. Shahih Bukhari, Beirut: Dar Al-Kotob Al-Ilmiyah.
Al Khalafi, Abdul Azhim bin Badaqi. 2011. Al-Wajiz fi Fiqh Sunnah wal Kitab al-Aziz, Penerjemah Ma’ruf Abdul Jalil. Al-Wajiz, Jakarta: Pustaka as-Sunnah.
Al Quzwaini, Abu Abdillah Muhammad bin Yazid. 1996. Sunan Ibnu Majah, Riyadh: Maktabah lilnatsir wa Tauri’.
Al Sayuti, Jalaluddin Abdul Rahman. 2010. Tanwir al-Hawalik syarh ala Muwatta’ Malk, Kairo: Dar El-Hadith.
Al Zuhaili, Wahbah. 2007. Fiqh Islam wa Adillatuhu, Penerjemah Abdul Hayyie al-Kattani dkk, Penyunting: Arif Muhajir, Depok: Gema Insani.
Alu Mubarak, Syaikh Faishal bin Abdul Aziz. 2012. Bustanul Akhbar Mukhtashar Nail al-Authar, Penerjemah Amir Hamzah Fachrydin, Ringkasan Nailul Authar, Jakarta: Pustaka Azzam.
Amsar, M. Muhajirin. 2014. Mishbah adz-Dzalam syarh Bulugh al-Maram min Adillah al-Ahkam, Jakarta: Darul Hadits.
An-Nasa’i. Abi Abdul Rahman Ahmad bin Syua’ib. 2001. as-Sunan al-Kubro, Beirut: ar-Risalah.
At-Tirmidzi, Abi Isa Muhammad bin Isa. 1996. al-Jami’ al-Kabir, Beirut: Dar al-Gharbi al-Islamy.
Bin Hanbal, Ahmad. 2008. al-Musnad, Beirut: Dar al-Kotob al-Ilmiyah.
Ghazaly, Abdul Rahman. 2012.  Fiqh Muamalat, Jakarta: Kencana.
Hidayat, Enang. 2015. Fiqih Jual Beli, Bandung: Remaja Rosdakarya Offset.
Hulwati. 2006. Ekonomi Islam: Teori dan Praktinya dalam Perdagangan Obligasi Syari’ah di Pasar Modal Indonesia dan Malaysia, Ciputat: Ciputat Press.
Mardani. 2012. Fiqh Ekonomi Syariah, Jakarta: Kencana.
Muchtar, Asmaji. 2016. Dialog Lintas Mazhab Fiqh Ibadah dan Muamalah, Jakarta: Amzah.
Muslich, Ahmad Wardi. 2015. Fiqh Muamalat, Jakarta: Amzah.
Muslim, Abi Hasan. 2008. Shahih Muslim, Beirut: Dar Al-Kotob Al-Ilmiyah.
Sabiq, Sayyid. 2009. Fiqh al-Sunnah, Kairo: Dar El-Hadith.
Schacht, Joseph. 2010. An Introduction to Islamic Law, Penerjemah Joko Supomo dkk. Pengantar Hukum Islam, Bandung: Nuansa.
Sulaiman, Abu Dawud. 2011. Sunan Abi Dawud, Beirut: Dar Al-Kotob Al-Ilmiyah.
Syarifuddin, Amir. 2003. Garis-garis Besar Fiqh, Jakarta: Kencana.


[1] Abdul Azhim bin Badaqi al-Khalafi, Al-Wajiz fi Fiqh Sunnah wal Kitab al-Aziz, Penerjemah Ma’ruf Abdul Jalil. Al-Wajiz, (Jakarta: Pustaka as-Sunnah, 2011). H. 649.
[2] Wahbah Al Zuhaili, Fiqh Islam wa Adillatuhu, Penerjemah Abdul Hayyie al-Kattani  (Depok: Gema Insani, 2007), jilid 5, h.25.
[3] Joseph Schacht, An Introduction to Islamic Law, Penerjemah Joko Supomo. Pengantar Hukum Islam, (Bandung: Nuansa, 2010), h. 218
[4] Sayyid Sabiq, Fiqh as-Sunnah, (Kairo: Dar El-Hadith, 2009), jilid 3, h. 89
[5] Enang Hidayat, Fiqih Jual Beli, (Bandung: Remaja Rosdakarya Offset, 2015), h.11
[6] Asmaji Muchtar, Dialog Lintas Mazhab Fiqh Ibadah dan Muamalah, (Jakarta: Amzah, 2016), h.391-392
[7] Enang Hidayat, Fiqih Jual Beli, h. 11
[8] Asamaji Muchtar, Dialog Lintas Mazhab Fiqh Ibadah dan Muamalah, h. 393
[9] Enang Hidayat, Fiqih Jual Beli, h. 12
[10] Asmaji Muchtar, Dialog Lintas Mazhab Fiqh Ibadah dan Muamalah, h.394
[11] Enang Hidayat, Fiqih Jual Beli, h. 12
[12] Asmaji Muchtar, Dialog Lintas Mazhab Fiqh Ibadah dan Muamalah, h. 394
         [13] Wahbah Al Zuhaili, Fiqh Islam wa Adillatuhu, h. 25
         [14] Asmaji Muchtar, Dialog Lintas Mazhab Fiqh Ibadah dan Muamalah, h.398
         [15] Ahmad Wardi Muslich, Fiqh Muamalat, (Jakarta: Amzah, 2010), h.179-180
         [16] Asmaji Muchtar, Dialog Lintas Mazhab Fiqh Ibadah dan Muamalah, h. 339-409
         [17] Syihabuddin bin Ahmad bin ‘Aly bin Muhammad bin Hajr al-Asqalany, Fathul Baari syarh Shahih al-Bukhari, (Beirut: Dar Al-Kotob Al-Ilmiyah, 2012), jilid 5, h. 248. Lihat pula M. Muhajirin Amsar, Mishbah adz-Dzalam syarh Bulugh al-Maram min Adillah al-Ahkam, (Jakarta: Darul Hadits, 2014), jilid 2, h.302. Lihat pula Musthafa Daib al-Bigha, at-Tadzhib fi Adillah Matn al-Ghayah wa at-Taqrib, (Alharomain Jaya Indonesia, 2010), h.123. Lihat pula Hulwati, Ekonomi Islam: Teori dan Praktinya dalam Perdagangan Obligasi Syari’ah di Pasar Modal Indonesia dan Malaysia, (Ciputat: Ciputat Press, 2006), h. 22. Lihat pula Sayyid Sabiq, Fiqh as-Sunnah, jilid 3, h. 89. Lihat Pula Abdul Azhim bin Badaqi al-Khalafi, Al-Wajiz fi Fiqh Sunnah wal Kitab al-Aziz, h. 649. Lihat pula Wahbah Al Zuhaili, Fiqh Al-Islam wa Adillatuhu, h.26.
         [18] Ahmad bin Hanbal, al-Musnad, (Beirut: Dar al-Kotob al-Ilmiyah, 2008), jilid 7, h. 169
         [19] Muhammad bin Isma’il al-Bukhari, Shahih Bukhari, (Beirut: Dar al-Kotob al-Ilmiyah, 1998), jilid 2, h. 10
         [20] Abi Hasan Muslim, Shahih Muslim, (Beirut: Dar al-Kotob al-Ilmiyah, 2008), Jilid 3, h. 62
         [21] Abi Abdul Rahman Ahmad bin Syua’ib an-Nasa’I, as-Sunan al-Kubro, (Beirut: ar-Risalah, 2001), jilid 6, h. 58
         [22] Abu Abdillah Muhammad bin Yazid al-Quzwaini, Sunan Ibnu Majah, (Riyadh: Maktabah lilnatsir wa tauri’, 1996), h. 416
         [23] Abi Isa Muhammad bin Isa at-Tirmidzi, al-Jami’ al-Kabir, (Beirut: Dar al-Gharbi al-Islamy, 1996), jilid 2, h. 498.
         [24] Abu Abdillah Muhammad bin Yazid al-Quzwaini, Sunan Ibnu Majah, h. 368
         [25] Abu Muhammad Abdullah bin Abdul Rahman ad-Darimi, Sunan ad-Darimi, (Makkah: Dar al-Mughni, 2001), jilid 3, h. 1653
[26] Muhammad bin Isma’il al-Bukhari, Shahih Bukhari, h. 11
[27] Abi Hasan Muslim, Shahih Muslim, jilid 2, h.107
[28] Abi Abdul Rahman Ahmad bin Syua’ib an-Nasa’I, as-Sunan al-Kubro, jilid 3, h. 75
         [29] Jalaluddin Abdul Rahman al-Sayuti, Tanwir al-Hawalik syarh ala Muwatta’ Malik, (Kairo: Dar El-Hadith, 2010), jilid 2, h. 511.
         [30] Abu Dawud as-Sijistani, Sunan Abu Dawud, (Beirut: Dar al-Kotob al-Ilmiyah, 2011), jilid 2, h.240
         [31] Abi Isa Muhammad bin Isa at-Tirmidzi, al-Jami’ al-Kabir, h. 500
[32] Abu Abdillah Muhammad bin Yazid al-Quzwaini, Sunan Ibnu Majah, h. 384
[33] Ahmad bin Hanbal, al-Musnad, jilid 6, h. 355
         [34] Sayyid Sabiq, Fiqh as-Sunnah, h.88. Lihat Pula Wahbah Al Zuhaili, Fiqh Islam wa Adillatuhu, h. 27. Lihat pula Abdul Azhim bin Badaqi al-Khalafi, Al-Wajiz fi Fiqh Sunnah wa al-Kitab al-‘Aziz, h. 651.
         [35] Ahmad Wardi Muslich, Fiqh Muamalat, h. 207
[36] Mardani, Fiqh Ekonomi Syariah, (Jakarta: Kencana, 2012), h. 110
[37]Ahmad Wardi Muslich, Fiqh Muamalat, h. 207
         [38] Enang Hidayat, Fiqh Jual Beli, h. 49
         [39] Mardani, Fiqh Ekonomi Syari’ah, h. 109
[40] Wahbah Al Zuhaili, Fiqh Islam wa Adillatuhu, h. 100
[41] Abi Hasan Muslim, Shahih Muslim, jilid 3, h. 4
[42] Abu Dawud as-Sijistani, Sunan Abu Dawud, jilid 2, h. 461
[43] Abi Isa Muhammad bin Isa at-Tirmidzi, al-Jami’ al-Kabir, h. 512
[44] Abi Abdul Rahman Ahmad bin Syua’ib an-Nasa’I, as-Sunan al-Kubro, jilid 6, h. 27
[45] Abu Abdillah Muhammad bin Yazid al-Quzwaini, Sunan Ibnu Majah, h. 377
         [46] Jalaluddin Abdul Rahman al-Sayuti, Tanwir al-Hawalik syarh ala Muwatta’ Malik, jilid 2, h. 250
[47] Ahmad bin Hanbal, al-Musnad, jilid 2, h. 506.
[48] Muhammad bin Isma’il al-Bukhari, Shahih Bukhari, jilid 2, h. 30
[49] Abi Hasan Muslim, Shahih Muslim, jilid 2, h. 4
[50] Abu Dawud as-Sijistani, Sunan Abu Dawud, jilid 2, h. 461
[51] Abi Isa Muhammad bin Isa at-Tirmidzi, al-Jami’ al-Kabir, h. 511
[52] Abi Abdul Rahman Ahmad bin Syua’ib an-Nasa’I, as-Sunan al-Kubro, jilid 6, h. 64
[53] Abu Abdillah Muhammad bin Yazid al-Quzwaini, Sunan Ibnu Majah, h. 377
         [54] Jalaluddin Abdul Rahman al-Sayuti, Tanwir al-Hawalik syarh ala Muwatta’ Malik, jilid 2, h. 243.
[55] Amir Syarifuddin, Garis-garis Besar Fiqh, (Jakarta: Kencana, 2003), h. 201
         [56] Syaikh Faishal bin Abdul Aziz Alu Mubarak, Bustanul Akhbar Mukhtashar Nail al-Authar, Penerjemah Amir Hamzah Fachrydin, Ringkasan Nailul Authar, (Jakarta: Pustaka Azzam, 2012), jilid 3, h. 8
[57] Abdul Rahman Ghazaly dkk, Fiqh Muamalat, (Jakarta: Kencana, 2012), h. 84.
[58] Muhammad bin Isma’il al-Bukhari, Shahih Bukhari, jilid 2, h. 42.
[59] Abi Hasan Muslim, Shahih Muslim, jilid 2, h. 14.
[60] Abu Dawud as-Sijistani, Sunan Abu Dawud, jilid 2, h. 459.
[61] Abi Abdul Rahman Ahmad bin Syua’ib an-Nasa’I, as-Sunan al-Kubro, jilid 6, h. 30.
[62] Abu Abdillah Muhammad bin Yazid al-Quzwaini, Sunan Ibnu Majah, h. 381
         [63] Jalaluddin Abdul Rahman al-Sayuti, Tanwir al-Hawalik syarh ala Muwatta’ Malik, jilid 2, h. 220.
[64] Abi Hasan Muslim, Shahih Muslim, jilid 2, h. 15
[65] Abi Abdul Rahman Ahmad bin Syua’ib an-Nasa’I, as-Sunan al-Kubro, jilid 6, h. 28
[66] Abu Abdillah Muhammad bin Yazid al-Quzwaini, Sunan Ibnu Majah, h. 381
[67] Muhammad bin Isma’il al-Bukhari, Shahih Bukhari, jilid 2, h. 43.
[68] Abi Hasan Muslim, Shahih Muslim, jilid 2, h. 34.
         [69] Syaikh Faishal bin Abdul Aziz Alu Mubarak, Bustanul Akhbar Mukhtashar Nail al-Authar, jilid 3, h.46.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar