Rabu, 27 Maret 2019

Makalah Fiqh Jinayah: Hudud, Zina, dan Qazaf


BAB I
PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang
                Diantaranya pengarahan syariat Islam yang murni dan tujuannya yang asasi adalah memelihara lima hal yang paling penting, yaitu: akal, keturunan, jiwa, agama, dan harta. Lima hal ini dianggap penting karena seluruh agama dan syariat menetapkan pemeliharaannya dan mengatur bagaimana menjaganya, karena lima hal ini merupakan hal-hal yang mesti dalam kehidupan manusia. Karena keturunan adalah salah satu dari lima perkara penting ini, maka syariat Islam mensyariatkan hukuman yang berat yang menjeratkan demi terciptanya keamanan dan kestabilan sosial.
            Memang, hukuman (zina) seperti yang ditetapkan syariat Islam berat tetapi hukuman itu adil. Sebab, siapakah dalam hal ini yang dihukum? Bukankah yang dihukum itu jiwa yang haynyut mengikuti ajakan hawa nafsunya seperti hewan yang tidak memperdulikan lagi jalan untuk memenuhi syahwatnya serta tidak menghiraukan akibat dan bahayanya?
            Atas dasar itulah kami menyusun makalah ini untuk mneginformasikan kepada pembaca agar memahami dan mengetahui bagaimana syariat Islam menetapkan hukuman terhadap zina dan qazf yang bertujuan untuk menciptakan keamanan dan kestabilan sosial dan juga memelihara manusia dari kebinasaan.
B.     Rumusan Masalah
  1. Apa yang dimaksud dengan hudud?
  2. Apa saja macam-macam hudud?
  3. Apa yang dimaksud zina?
  4. Apa yang menjadi dasar hukum jarimah zina?
  5. Bagaimana motif pelaku zina?
  6. Bagaimana cara pembuktian jarimah zina?
  7. Apa saja yang menjadi uqubah jarimah zina dan bagaimana pelaksanaanya?
  8. Apa akibat zina terhadap pernikahan?
  9. Apa yang dimaksud qazf?
  10. Apa yang menjadi dasar hukum jarimah qazf?
  11. Bagaimana sanksi qazf?
  12. Bagaimana pembuktian dan penetapan qazf?
  13. Apa saja yang dapat menggugurkan had qazf?
C.    Tujuan
            Adapun tujuan dari penulisan makalah ini adalah mencoba untuk memberikan informasi kepada rekan-rekan kami pada khususnya dan kepada masyarakat pada umumnya tentang hudud khususnya pada jarimah dan qazf dalam bahasan fiqh jinayah.










BAB II
PEMBAHASAN

1.     Hudud

A.    Pengertian

            Secara etimologis, hudud yang merupakan bentuk jamak dari kata had yang berarti al-man’u   (larangan, pencegahan). Adapun secara terminologis, Al-Jurjani mengartikan sebagai sanksi yang telah ditentukan dan yang wajib dilaksanakan secara haq karena Allah SWT.
            Sementara itu, sebagian ahli fiqh sebagaimana dikutip Abdul Qadir Audah, berpendapat bahwa had ialah sanksi ang telah ditentukan secara syara’.
            Dengan demikian, had atau hudud mencakup semua jarimah baik hudud, qishash, maupun diyat; sebab sanksi keseluruhannya telah ditentukan secara syara’.
            Lebih lengkap dari kedua definisi diatas, Nawawi Al-Bantami mendefinisikan hudud, yaitu sanksi yang telah ditentukan dan wajib diberlakukan kepada seseorang yang melanggar suatu pelanggaran yang akhirnya sanksi itu dituntut, baik dalam rangka memberikan peringatan pelaku maupun dalam rangka memaksanya.[1]
            Dengan lebih mendetail, Al-Sayyid Sabiq mengemukakan bahwa hudud secara bahasa berarti pencegahan. Sanksi-sanksi kemaksiatan disebut dengan hudud, karena pada umumnya dapat mencegah pelaku dari tindakan mengulang pelanggaran. Adapun arti kata had mengacu pada pelanggaran sebagaiimana firman Allah (QS: Al-Baqarah (2): 187), “itulah larangan Allah, maka janganlah kamu mendekatinya.”
            Lebih lanjut Al-Sayid Sabiq menjelaskan bahwa had (hudud) secara terminologis ialah sanksi yang telah ditetapkan untuk melaksanakan hak Allah. Dengan demikian ta’zir tidak termasuk ke dalam cakupan definisi ini karena penentuannya diserahkan menurut pendapat hakim setempat. Demikian halnya qishash yang tidak termasuk dalam cakupan hudud  karena merupakan hak sesama manusia untuk menuntut balas dan keadilan.[2]
            Sementara itu dalam kamus Al-Mu’jam Al-Wasit, tim perumusnya mendefinisikan hudud, yaitu sanksi yang telah ditentukan dan wajib dibebankan kepada pelaku tindak pidana.
            Dalam kamus Mu’jam Lughowi Mutawwal, Abdullah Al-Bustani mengemukakan bahwa arti had, yaitu pelajaran (hukuman) bagi pelaku perbuatan dosa dengan sesuatu yang dapat mencegahnya dari kebiasaan (buruk) dan juga berfungsi mencegah pihak lain agar tidak melakukan perbuatan dosa.
            Butrul Al-Bustani dalam kamus Muhit Al-Muhitmendefinisikan hudud menurut fuqaha adalah sanksi yang telah ditentukan dan wajib dilaksanakan secara benar karena Allah SWT. Sanksi hukum ini disebut dengan had karena dapat mencegah pelaku dari kegiatan dosanya yang telah rutin. Batas yang dapat membedakan benda-benda tidak bergerak dari benda-benda lain yang juga tidak bergerak seperti dinding dan tanah-tanah.
            Hampir sama dengan uraian Al-Sayyid Sabiq, dalam Al-Majmu’ Imam Al-Nawawi disebutkan arti had secara bahasa ialah penghalang. Oleh karena itu, penjaga pintu dalam bahasa Arab disebut hadid karena bertugas menghalang-halangi setiap orang yang bukan penghuninya. Baju besi dalam bahasa arab juga disebut hadid karena dapat menghalangi tusukan pedang bagi pemakainya. Sementara itu, had secara syara’ berfungsi untuk menghalang-halangi seorang pelaku tindak pidana agar tidak kembali melakukan perbuatan yang telah dilakukannya.
            Al-Mawardi berkata, “Hudud ialah Zawajir (pencegahan-pencegahan) yang disiapkan Allah SWT untuk menghalangi terjadinya kasus pelanggaran terhadap sesuatu yang dilarang Allah SWT dna meninggalkan apa yang diperintahkan-Nya untuk dikerjakan, karena dominasi syahwat membuat orang lupa akan ancaman akhirat.[3]
            Dari segi redaksional, definisi Al-Mawardi yang dikutip oleh Abu Ya’la ini berbeda dengan beberapa definisi hudud yang telah dipaparkan sebelumnya. Secra tegas, Al-Mawardi menganggap hudud sama dengan zawajir (ancaman-ancaman), sementara beberapa penulis lain menyebutnya uqubah (sanksi). Namun demikian, jika diteliti dari semua definisi hudud diatas, pada dasarnya sama, yaitu sanksi atau ancaman yang telah ditentukan secara jelas di dalam Alquran dan hadits. Sementara itu, Al-Sayyid Sabiq mengkhususkan bahwa hudud berkaitan dengan hak Allah. Oleh sebab itu, qishash tidak masuk didalamnya, karena yang dominan adalah hak adami. Demikian pula dengan persoalan ta’zir yang tidak ditentukan oleh nash dan merupakan kompetensi hakim setempat.[4]
B.     Macam-macam
            Ditinjau dari segi dominasi hak, terdapat dua jenis hudud, yaitu sebagai berikut:
  1. Hudud yang termasuk hak Allah.
  2. Hudud yang termasuk hak Manusia.[5]
      Menurut Abu Ya’la, hudud jenis pertama adalah semua jenis sanksi yang diberlakukan kepada pelaku karena ia meninggalkan semua hal yang diperintahkan, seperti shalat, puasa, zakat, dan haji. Adapun hudud dalam kategori yang kedua adalah semua jenis sanksi yang diberlakukan kepada seseorang karena ia melanggar larangan Allah, seperti berzina, mencuri, dan meminum khamar.[6]
      Hudud jenis kedua ini terbagi menjadi dua. Pertama, hudud yang merupakan hak Allah, seperti hudud atas jarimah zina, meminum minuman keras, pencurian, dan pemberontakan. Kedua, hudud yang merupakan hak manusia, seperti had qadzaf dan qishash.
Kemudian jika ditinjau dari segi materi jarimah, hudud terbagi menjadi tujuh, yaitu hudud atas jarimah zina, qadzf, meminum minuman keras, pemberontakan, murtad, pencurian, dan perampokan.[7]

2.     Jarimah Zina

A.    Pengertian
            Zina menurut bahasa adalah bersenggama dengan cara haram.[8]
            Zina ialah perbuatan bersenggama antara laki-laki dna perempuan yang tidak terikat oleh hubungan pernikahan (perkawinan) atau perbuatan bersenggama seorang laki-laki yang terikat perkawinan dengan seorang perempuan yang bukan istrinya atau seorang perempuan yang terikat perkawinan dengan seorang laki-laki yang bukan suaminya.[9]
            Zina didefinisikan sebagai persenggamaan tanpa milk atau syubhah al-milk. Milk adalah hak yang timbul dari perkawinan atau kepemilikan budak perempuan. Syubhah berkaitan dengan keberadaan istri, misalnya, dalam perkawinan yang fasid, tetapi suami mengira pernikahan itu sah; atau selama masa iddah menjelang penetapan pembatalan perkawinan, dimana suami mengira dengan masa iddah sesudah perceraian yang dapat dirujuk.[10]
            Abdul Qadir Audah berpendapat bahwa zina ialah hubungan badan yang diharamkan dan disengaja oleh pelakunya.[11]
            Zina adalah hubungan badan yang diharamkan (dilluar hubungan pernikahan) dan disengaja oleh pelakunya.[12]
            Ulama Hanafiyah mengatakan “Zina adalah koitus yang haram pada kemaluan depan perempuan yang masih hidup dan menggairahkan dalam kondisi atas kemauan sendiri (tidak dipaksa) dan kehendak bebasnya di daarul ‘adl (kawasan negara Islam yang dikuasai oleh pemerintah atau pemimpin yang sah) oleh orang yang berkewajiban menjalankan hukum-hukum Islam, tidak  mempunyai hakikat kepemilikan, tidak  mempunyai hakikat tali pernikahan, tidak mempunyai unsur syubhat kepemilikan, tidak mempunyai unsur syubhat tali pernikahan, tidak mempunyai unsur syubhat berupa kondisi samar dan kabur pada tempat dan kondisi samar dan kabur pada kepemilikan maupun tali pernikahan sekaligus.[13]
            Menurut Muhammad ‘Aly al-Shabuni, zina adalah:
الزني في اللغة الوطء المحرم و فى الشرع وطء الرجل المرأة فى الفرج من غير نكاح و لا شبهة نكاح
Zina menurut arti bahasa adalah persetubuhan yang diharamkan, dan zina menurut syar’i ialah persetubuhan yang dilakukan oleh seorang laki-laki dengan seorang perempuan melalui vagina diluar nikah dan bukan nikah syubhat.[14]
B.     Dasar Hukum
1.      Al-Qur’an
-          Q.S. al-Isra’ [17]: 32
وَلَا تَقۡرَبُواْ ٱلزِّنَىٰٓۖ إِنَّهُۥ كَانَ فَٰحِشَةٗ وَسَآءَ سَبِيلٗا ٣٢
32. Dan janganlah kamu mendekati zina; sesungguhnya zina itu adalah suatu perbuatan yang keji. Dan suatu jalan yang buruk.
-        Q.S. al-Furqan [25]: 68
وَٱلَّذِينَ لَا يَدۡعُونَ مَعَ ٱللَّهِ إِلَٰهًا ءَاخَرَ وَلَا يَقۡتُلُونَ ٱلنَّفۡسَ ٱلَّتِي حَرَّمَ ٱللَّهُ إِلَّا بِٱلۡحَقِّ وَلَا يَزۡنُونَۚ وَمَن يَفۡعَلۡ ذَٰلِكَ يَلۡقَ أَثَامٗا ٦٨
68. Dan orang-orang yang tidak menyembah tuhan yang lain beserta Allah dan tidak membunuh jiwa yang diharamkan Allah (membunuhnya) kecuali dengan (alasan) yang benar, dan tidak berzina, barang siapa yang melakukan yang demikian itu, niscaya dia mendapat (pembalasan) dosa(nya)
-        Q.S. an-Nur [24]: 02-03
ٱلزَّانِيَةُ وَٱلزَّانِي فَٱجۡلِدُواْ كُلَّ وَٰحِدٖ مِّنۡهُمَا مِاْئَةَ جَلۡدَةٖۖ وَلَا تَأۡخُذۡكُم بِهِمَا رَأۡفَةٞ فِي دِينِ ٱللَّهِ إِن كُنتُمۡ تُؤۡمِنُونَ بِٱللَّهِ وَٱلۡيَوۡمِ ٱلۡأٓخِرِۖ وَلۡيَشۡهَدۡ عَذَابَهُمَا طَآئِفَةٞ مِّنَ ٱلۡمُؤۡمِنِينَ ٢ ٱلزَّانِي لَا يَنكِحُ إِلَّا زَانِيَةً أَوۡ مُشۡرِكَةٗ وَٱلزَّانِيَةُ لَا يَنكِحُهَآ إِلَّا زَانٍ أَوۡ مُشۡرِكٞۚ وَحُرِّمَ ذَٰلِكَ عَلَى ٱلۡمُؤۡمِنِينَ ٣
2. Perempuan yang berzina dan laki-laki yang berzina, maka deralah tiap-tiap seorang dari keduanya seratus dali dera, dan janganlah belas kasihan kepada keduanya mencegah kamu untuk (menjalankan) agama Allah, jika kamu beriman kepada Allah, dan hari akhirat, dan hendaklah (pelaksanaan) hukuman mereka disaksikan oleh sekumpulan orang-orang yang beriman
3. Laki-laki yang berzina tidak mengawini melainkan perempuan yang berzina, atau perempuan yang musyrik; dan perempuan yang berzina tidak dikawini melainkan oleh laki-laki yang berzina atau laki-laki musyrik, dan yang demikian itu diharamkan atas oran-orang yang mukmin.
2. Hadis
عَنْ ابْنِ عَبَّاسٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَا يَزْنِي الْعَبْدُ حِينَ يَزْنِي وَهُوَ مُؤْمِنٌ وَلَا يَسْرِقُ حِينَ يَسْرِقُ وَهُوَ مُؤْمِنٌ وَلَا يَشْرَبُ حِينَ يَشْرَبُ وَهُوَ مُؤْمِنٌ وَلَا يَقْتُلُ وَهُوَ مُؤْمِن
Dari Ibnu Abbas radliallahu 'anhuma mengatakan, Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda: "Tidaklah berzina seorang hamba yang berzina ketika ia berzina dalam keadaan beriman, dan tidaklah mencuri ketika ia mencuri dalam keadaan beriman, tidaklah ia meminum khamr ketika meminumnya dan ia dalam keadaan beriman, dan tidaklah dia membunuh sedang dia dalam keadaan beriman." (HR. al-Bukhari, Muslim, Abu Dawud, Tirmidzi, Nasa’i, Ibnu Majah)
 عَنْ عَبْدِ اللَّهِ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ قَالَ قُلْتُ يَا رَسُولَ اللَّهِ أَيُّ الذَّنْبِ أَعْظَمُ قَالَ أَنْ تَجْعَلَ لِلَّهِ نِدًّا وَهُوَ خَلَقَكَ قُلْتُ ثُمَّ أَيٌّ قَالَ أَنْ تَقْتُلَ وَلَدَكَ مِنْ أَجْلِ أَنْ يَطْعَمَ مَعَكَ قُلْتُ ثُمَّ أَيٌّ قَالَ أَنْ تُزَانِيَ حَلِيلَةَ جَارِكَ
Dari Abdullah radliallahu 'anhu mengatakan; Saya bertanya; 'ya Rasullah, Dosa apa yang paling besar? 'Beliau menjawab: "engkau menjadikan tandingan bagi Allah padahal Dia-lah yang menciptakanmu." 'kemudian apa?’ ‘tanyaku’. Beliau menjawab; "engkau membunuh anakmu karena khawatir akan makan bersamamu." Lanjutku; 'kemudian apa?’ beliau menjawab; "engkau berzina dengan istri tetanggamu." (H.R. al-Bukhari, Muslim, Tirmidzi, Nasa’i)
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ قَالَ أَتَى رَجُلٌ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَهُوَ فِي الْمَسْجِدِ فَنَادَاهُ فَقَالَ يَا رَسُولَ اللَّهِ إِنِّي زَنَيْتُ فَأَعْرَضَ عَنْهُ حَتَّى رَدَّدَ عَلَيْهِ أَرْبَعَ مَرَّاتٍ فَلَمَّا شَهِدَ عَلَى نَفْسِهِ أَرْبَعَ شَهَادَاتٍ دَعَاهُ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَ أَبِكَ جُنُونٌ قَالَ لَا قَالَ فَهَلْ أَحْصَنْتَ قَالَ نَعَمْ فَقَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ اذْهَبُوا بِهِ فَارْجُمُوهُ
Dari Abu Hurairah radliallahu 'anhu mengatakan; Seseorang mendatangi Rasulullah yang ketika itu sedang berada di masjid. Dia menyeru beliau dan berkata; 'Aku telah berzina.' Rasulullah berpaling darinya tetapi dia tetap mengulanginya sebanyak empat kali, setelah ia bersaksi empat kali atas dirinya, maka Nabi shallallahu 'alaihi wasallam memanggilnya dan bertanya; "apakah kamu mengalami sakit gila?" 'Tidak' jawabnya."Kamu sudah menikah?" Tanya Nabi. 'Ya' jawabnya. Maka Nabi shallallahu 'alaihi wasallam bersabda: "pergilah kalian bersama orang ini, dan rajamlah ia!" (H.R. al-Bukhari, Muslim, Abu Dawud).
عَنْ عُبَادَةَ بْنِ الصَّامِتِ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ خُذُوا عَنِّي خُذُوا عَنِّي قَدْ جَعَلَ اللَّهُ لَهُنَّ سَبِيلًا الْبِكْرُ بِالْبِكْرِ جَلْدُ مِائَةٍ وَنَفْيُ سَنَةٍ وَالثَّيِّبُ بِالثَّيِّبِ جَلْدُ مِائَةٍ وَالرَّجْمُ
Ubadah bin Shamit dia berkata, "Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda: "Ikutilah semua ajaranku, ikutilah semua ajaranku. Sungguh, Allah telah menetapkan hukuman bagi mereka (kaum wanita), perjaka dengan perawan hukumannya adalah cambuk seratus kali dan diasingkan selama setahun, sedangkan laki-laki dan wanita yang sudah menikah hukumannya adalah dera seratus kali dan dirajam." (H.R. Muslim, Tirmidzi dan Ibnu Majah)
عَنْ أَبِي سَعِيدٍ أَنَّ رَجُلًا مِنْ أَسْلَمَ يُقَالُ لَهُ مَاعِزُ بْنُ مَالِكٍ أَتَى رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَ إِنِّي أَصَبْتُ فَاحِشَةً فَأَقِمْهُ عَلَيَّ فَرَدَّهُ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مِرَارًا قَالَ ثُمَّ سَأَلَ قَوْمَهُ فَقَالُوا مَا نَعْلَمُ بِهِ بَأْسًا إِلَّا أَنَّهُ أَصَابَ شَيْئًا يَرَى أَنَّهُ لَا يُخْرِجُهُ مِنْهُ إِلَّا أَنْ يُقَامَ فِيهِ الْحَدُّ قَالَ فَرَجَعَ إِلَى النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَأَمَرَنَا أَنْ نَرْجُمَهُ قَالَ فَانْطَلَقْنَا بِهِ إِلَى بَقِيعِ الْغَرْقَدِ قَالَ فَمَا أَوْثَقْنَاهُ وَلَا حَفَرْنَا لَهُ قَالَ فَرَمَيْنَاهُ بِالْعَظْمِ وَالْمَدَرِ وَالْخَزَفِ قَالَ فَاشْتَدَّ وَاشْتَدَدْنَا خَلْفَهُ حَتَّى أَتَى عُرْضَ الْحَرَّةِ فَانْتَصَبَ لَنَا فَرَمَيْنَاهُ بِجَلَامِيدِ الْحَرَّةِ يَعْنِي الْحِجَارَةَ حَتَّى سَكَتَ قَالَ ثُمَّ قَامَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ خَطِيبًا مِنْ الْعَشِيِّ فَقَالَ أَوَ كُلَّمَا انْطَلَقْنَا غُزَاةً فِي سَبِيلِ اللَّهِ تَخَلَّفَ رَجُلٌ فِي عِيَالِنَا لَهُ نَبِيبٌ كَنَبِيبِ التَّيْسِ عَلَيَّ أَنْ لَا أُوتَى بِرَجُلٍ فَعَلَ ذَلِكَ إِلَّا نَكَّلْتُ بِهِ قَالَ فَمَا اسْتَغْفَرَ لَهُ وَلَا سَبَّهُ
Dari Abu Sa'id, bahwa seorang laki-laki dari Bani Aslam yang bernama Ma'iz bin Malik mendatangi Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam sambil berkata, "Sesungguhnya aku telah berbuat keji, oleh karena itu luruskanlah daku!" Namun Nabi shallallahu 'alaihi wasallam berpaling darinya, hal itu terjadi sampai berkali-kali." Abu Sa'id berkata, "Kemudian beliau bertanya kepada kaumnya, mereka menjawab, "Kami tidak melihatnya berbuat keji melainkan dia telah melakukan sesuatu, dan dia tidak bisa keluar dari permasalahan itu kecuali jika telah ditegakkan had atasnya." Abu Sa'id melanjutkan, "Lalu dia kembali kepada Nabi shallallahu 'alaihi wasallam, lantas beliau memerintahkan kami untuk merajamnya." Abu Sa'id melanjutkan, "Setelah itu kami pergi ke Baqi' Gharqad, kami tidak mengikatnya dan tidak pula memendamnya." Abu Sa'id melanjutkan, "Lalu kami melemparinya dengan tulang belulang dan tanah liat yang keras." Abu Sa'id berkata, "Ma'iz berusaha lari hingga sampai dekat Hurrah, namun kami mengejarnya dan mendapatkannya kembali, lalu kami melemparinya dengan bebatuan yang besar hingga dia diam (mati)." Di sore harinya Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam berdiri dan berkhutbah, sabdanya: "Kenapa ketika kami berangkat perang untuk berjihad di jalan Allah, salah seorang dari kalian ada yang tidak ikut berangkat dan bersama keluarga kami, ia memiliki desahan seperti kambing jantan (saat kawin). Maka tidaklah kalian menghadapkan kepadaku orang yang melakukan perbuatan itu melainkan aku akan memberinya sanksi." Abu Sa'id berkata, "Maka beliau tidak memintakan ampun untuknya dan tidak pula mencacinya." (H.R. Muslim).[15]
C.    Motif Prilaku
            Perilaku artinya tingkah laku, kelakuan, perbuatan. Perilaku biasanya didahului oleh pengetahuan dan pemahaman tentang sesuatu. Pengetahuan itu berisikan aspek positif atau aspek negatif dari sesuatu hal tersebut.
            Apabila seseorang melihat lebih banyak atau lebih penting aspek positif yang ada didalamnya daripada aspek negatif maka akan tumbuh sikap positif terhadap perbuatan tersebut. Hal ini terjadi apabila manusia masih memiliki akal sehat dalam dirinya. Begitu pula sebaliknya. Apabila akal sehat sudah tidak berperan, tapi nafsu syahwat yang lebih dominan dari akal sehatnya maka yang terjadi adalah orang memiliki sikap positif bagi dirinya terhadap perbuatan yang memiliki aspek negatif lebih banyak tapi penting bagi dirinya. Pengetahuan dan pemahaman yang mendalam tersebut akan menumbuhkan keyakinan, dan keyakinan akan membentuk sikap. Selanjutnya dari sikap akan membentuk niat untuk melakukan sehingga akan berkembang menjadi perilaku.
            Apabila pengetahuan dan pemahaman itu datang dari orang yang biasanya jadi panutan maka akan tumbuh keyakinan normatif terhadap aspek positif atau aspek negatif dari perbuatan tersebut. Selanjutnya keyakinan normatif itu akan berkembang menjadi norma subjektif tentang perbuatan tersebut. Dari norma subjektif tersebut kemudian tumbuh niat dari si pelaku untuk melakukan perbuatan yang selanjutnya berkembang menjadi perilaku.
            Namun sekali lagi perlu ditegaskan, apabila hal itu terjadi pada orang yang masih memiliki akal sehat dan akal sehatnya lebih dominan dari nafsu syahwatnya.
            Sebaliknya apabila nafsu syahwatnya lebih dominan dari akal sehatnya, maka yang terjadi adalah sebaliknya, yaitu dia akan melakukan perbuatan yang aspek negatifnya lebih besar karena lebih penting bagi dirinya, meskipun perbuatan itu lebih banyak negatifnya bagi orang lain atau orang-orang lain dan juga bagi dirinya dari sudut etika sosial dan lain sebagainya.
            Pada zaman sekarang model-model perilaku zina juga mempunyai banyak variasi meskipun tidak sama persis tapi motifnya hampir sama yaitu motif ekonomi, mencari kesenangan sesaat atau pelampiasan nafsu dan menunjukkan harga diri.
  1. Motif Ekonomi
Perbuatan zina menghasilkan uang bagi para pelakunya terutama bagi pelaku wanita. Salah satu pelaku perbuatan zina memberikan sejumlah uang kepada pihak lainnya atas dasar persetujuan bersama sebagai imbalan karena telah memberikan pelayanan seksual kepada pihak pemberi. Adakalanya pihak pelaku wanita yang memberikan kepada pelaku pria, tapi yang lebih sering terjadi adalah pihak pelaku pria yang memberikan kepada pelaku wanita.
  1. Motif Mencari Kesenangan Sesaat.
Pelaku pria ataupun wanita yang bersedia mengeluarkan sejumlah uang kepada lawan jenis nya sudah pasti bertujuan untuk mencari kesenangan sesaat dan pelampiasan hawa nafsu. Begitu juga bagi perilaku zina yang mempunyai motif lain biasanya juga mempunyai motif tambahan untuk mencari kesenangan sesaat dan pelampiasan hawa nafsu.
  1. Motif Menunjukkan Harga Diri
Pelaku pria ataupun wanita yang masih usia remaja melakukan perbuatan zina untuk tujuan menunjukkan harga diri bahwa mereka disukai orang, punya keberanian dan sudah ada pacar yang mempunyai, disamping mencari pengalaman dan ingin tahu. Mereka merasa tidak ketinggalan zaman dari teman-teman remaja lainnya yang pernah melakukan premarital coitus.[16]
D.    Pembuktian
      Pembuktian terjadinya perbuatan zina yang dijatuhi hukuman had pada zaman Nabi Muhammad saw sesuai dengan perkembangan ilmu pengetahuan kedokteran dan teknologi  belum berkembang maju seperti pada zaman sekarang. Pembuktian perbuatan zina pada waktu itu barulah meliputi 3 hal.
1.      Pengakuan (اعتراف) dari si pelaku
      Pengakuan dari si pelaku zina bahwa dia telah melakukan perbuatan zina dengan seseorang, asalkan pengakuan iu datang dari kedua belah pihak pelaku pria dan pelaku wanita, sudah merupakan bukti yang kuat dan tidak perlu lagi diperkuat dengan alat-alat bukti lain.
      Menurut Sayid Sabiq jika seorang laki-laki mengaku telah berzina dengan seorang perempuan tertentu, kemudian perempuan itu membantahnya, maka si pria saja yang dikenia hukuman had zina. Si wanita tidak dikenai hukuman had. Hal ini berdasarkan hadits Nabi yang diriwayatkan Ahmad dan Abu Daud dari Sahal bin Sa’ad.
لما رواه أحمد وأبو داود عن سهل بن سعد أن رجلا جاء الى النبي ص م فقال انه قد زنى بامرأة سماها فأرسل النبى ص م الى المرأة فدعاها قسألها فأنكرت فحده وتركها
“Sebagaimana Ahmad dan Abu Daud meriwayatkan dari Sahal bin Sa’ad bahwa seorang laki-laki datang kepada Nabi swa. Laki-laki itu berkata kepada Nabi bahwa dia telah berzina dengan seorang perempuan yang dia sebutkan namanya, maka Nabi saw. mengutus seseorang kepada perempuan tersebut, kemudian utusan tersebut memanggil perempuan itu dan menanyakan kepadanya. Perempuan tersebut membantahnya. Setelah itu laki-laki tersebut dujatuhi hukuman had dan yang perempuan tidak.”.[17]
            Tentang bilangan pengakuan yang mengharuskan dijatuhkannya hukuman, menurut Malik dan Syafi’i, satu kali pengakuan sudah cukup untuk menjatuhkan hukuman.
            Abu Hanifah beserta para pengikutnya dan Ibnu Abi Laila berpendapat bahwa hukuman baru dapat dijatuhkan dengan pengakuan 4 kali yang dikemukakan satu-satu.[18]
2.      Persaksian (شهادة) dan Sumpah dari Saksi-saksi
      Untuk membuktikan seseorang telah berzina dapat juga dilakukan dengan pernyataan telah menyaksakan dengan mata kepala sendiri terjadinya perbuatan zina antara seorang pria dengan seorang wanita. Penyaksian dengan mata kepala sendiri ini dilakukak oleh empat orang saksi yang menyatakan telah melihat dengan mata kepalanya sendiri.
      Apabila terdapat empat orang saksi dan kesaksiannya itu benar, maka pelaku perbuatan zina dihukum dengan hukuman had.
      Apabila tidak terdapat empat orang saksi atau ada empat orang saksi tetapi kesaksian mereka tidak terbukti benar, maka pelaku zina tidak dikenai hukuman had, tapi hukuman had dikenakan kepada yang mnuduh berzina yaitau had qazaf. Had Qazaf adalah hukuman cambuk sebanyak 80 kali.
      Bukti kesaksian atas terjadinya perbuatan zina , menurut Sayid Sabiq mengemukakan ada sepuluh syarat.
a.    Saksi harus berjumlah 4 orang, jika kurang dari empat orang saksi maka persaksiannya tidak diterima. Alasannya firman Allah:
وَٱلَّذِينَ يَرۡمُونَ ٱلۡمُحۡصَنَٰتِ ثُمَّ لَمۡ يَأۡتُواْ بِأَرۡبَعَةِ شُهَدَآءَ فَٱجۡلِدُوهُمۡ ثَمَٰنِينَ جَلۡدَةٗ وَلَا تَقۡبَلُواْ لَهُمۡ شَهَٰدَةً أَبَدٗاۚ وَأُوْلَٰٓئِكَ هُمُ ٱلۡفَٰسِقُونَ ٤
4. Dan orang-orang yang menuduh wanita-wanita yang baik-baik (berbuat zina) dan mereka tidak mendatangkan empat orang saksi, maka deralah mereka (yang menuduh itu) delapan puluh kali dera, dan janganlah kamu terima kesaksian mereka buat selama-lamanya. Dan mereka itulah orang-orang yang fasik (An-Nur(24):4)
                                        
وَٱلَّٰتِي يَأۡتِينَ ٱلۡفَٰحِشَةَ مِن نِّسَآئِكُمۡ فَٱسۡتَشۡهِدُواْ عَلَيۡهِنَّ أَرۡبَعَةٗ مِّنكُمۡۖ فَإِن شَهِدُواْ فَأَمۡسِكُوهُنَّ فِي ٱلۡبُيُوتِ حَتَّىٰ يَتَوَفَّىٰهُنَّ ٱلۡمَوۡتُ أَوۡ يَجۡعَلَ ٱللَّهُ لَهُنَّ سَبِيلٗا ١٥
15. Dan (terhadap) para wanita yang mengerjakan perbuatan keji , hendaklah ada empat orang saksi diantara kamu (yang menyaksikannya). Kemudian apabila mereka telah memberi persaksian, maka kurunglah mereka (wanita-wanita itu) dalam rumah sampai mereka menemui ajalnya, atau sampai Allah memberi jalan lain kepadanya(An-Nisa’(4):15)
b.      Saksi itu sudah baligh, tanda-tanda baligh itu apabila telah berusia 15 tahun atau telah pernah mengalami mimpi jima’ dengan lawan jenisnya atau datangnya haid bagi wanita.
Dalam firman Allah surah Al-Baqarah:282 :
 .....وَٱسۡتَشۡهِدُواْ شَهِيدَيۡنِ مِن رِّجَالِكُمۡۖ فَإِن لَّمۡ يَكُونَا رَجُلَيۡنِ فَرَجُلٞ وَٱمۡرَأَتَانِ مِمَّن تَرۡضَوۡنَ مِنَ ٱلشُّهَدَآءِ ....٢٨٢
“Dan persaksikanlah dengan dua orang saksi dari orang-orang lelaki (di antaramu). Jika tak ada dua oang lelaki, maka (boleh) seorang lelaki dan dua orang perempuan dari saksi-saksi yang kamu ridhai”
c.       Saksi itu semua orang berakal sehat karena itu tidak diterima persaksian orang gila atau persaksian orang yang kurang waras akalnya
d.      Keadilan. Saksi itu haruslah diambilkan dari orang-orang yang adil. Seperti firman Allah:
 ...وَأَشۡهِدُواْ ذَوَيۡ عَدۡلٖ مِّنكُمۡ ....٢
“Dan persaksikanlah dengan dua orang saksi yang adil di antara kamu”
e.       Saksi itu beragama Islam. Persyaratannya saksi hendaklah orang Islam, diberlakukan baik terhadap orang Islam  yang berperkara atau bukan orang Islam, persyaratan Islam ini disepakati oleh para imam mazhab.
f.        Saksi itu benar menyaksikan perbuatan zina tersebut.
g.      Ucapan saksi harus secara jelas menyebutkan masuknya bukan secara kinayah.
h.      Saksi berada pada satu tempat di tempat terjadinya perbuatan zina pada waktu berlangsungnya perbuatan zina. Jika saksi-saksi itu datang meyaksikan secara terpisah-pisah maka tidak diterima kesaksian mereka.
i.        Saksi-saksi itu adalah laki-laki.
j.        Kesaksian itu tidak kadaluarsa.
Menurut Abdul Qadir ‘Audah syarat-syarat lainnya terbagi kepada syarat-syarat umum dan khusus.
a.       Syarat-syarat umum untuk saksi perbuatan zina
1.      Baligh
2.      Berakal
3.      Orang yang kuat ingatannya
4.      Bisa berkata
5.      Bisa melihat
6.      Keadilan
7.      Islam
b.      Syarat-syarat khusus untuk saksi perbuatan zina
1.      Laki-laki
2.      Kesaksian suami
3.      Menyaksikan langsung kejadiannya
4.      Tidak kadaluarsa
5.      Kesaksian itu pada satu tempat
6.      Jumlah saksi empat orang
3.      Bukti Kehamilan  pada pelaku wanita
      Menurut jumhur fuqaha kehamilan bukanlah merupakan terangan bukti yang mandiri tapi harus disertai pengakuan atau keterangan bukti-bukti lain. Menurut malik dan sahabat-sahabatnya jika wanita itu dalam pengakuannya di paksa (diperkosa) maka wanita itu harus menunjukkan tanda-tanda bukti bahwa dia dipaksa. Namun apabila seorang wanita hamil dan dia tidak bisa menunjukkan bahwa dia punya suami atau dia dipaksa orang, maka wanita tersebut dijatuhi hukuman had. Jika wanita itu perempuan bikir (perawan), dia harus bisa menunjukkan bisa pendarahannya sebagai bukti bahwa dia telah diperkosa untuk bisa dibebaskan dari hukuman had. Umar bin Khattab pernah mengatakan: apabila ada bukti atau kehamilan atau pengakuan, maka pelaku zina pria dan wanita muhsan wajib dikenai hukuman rajam.
4.      Pembuktian melalui Ilmu Pengetahuan dan Teknologi Kedokteran
      Dalam ilmu kedokteran dikenal adaya Kedokteran Forensik yaitu cabang ilmu kedokteran yang berhubungan dengan penerapan fakta-fakta medis pada masalah-masalah hukum; atau ilmu bedah yang berkaitan dengan penentuan identitas mayat seseorang yang ada kaitannya dengan kehakian dan peradilan.
      Melalui Ilmu Kedokteran Forensik dapat diketahui telah terjadinya perzinaan atau tidak. Penemuan itu dapat berupa diketahuinya: selaput dara yang robek, atau tanda memar pada vagia, ditemukannya air mani dan sperma yang masih dapat bergerak pada vagina dalamwaktu 4-5 jam post-coital, sperma ditemukan dalam keadaan tidak bergerak dalam waktu sekitar 24-36 jam post-coital, diketahuinya golongan darah si pelaku, diketahuinya jenis khromosom atau genetik, diperbolehkannya bukti kehamilan sampai pada diketahuinya dan didapatkannya bukti DNA (Desoxy Ribo Nucleic Acid) yaitu inti sel yang terdapat pada sel darah putih yang spesifik pada setiap orang.
      Jadi pembuktian melalui ilmu Kedokteran Forensik dapat dikatakan sama kuatnya dengan bukti penlihatan mata telanjang tradisional. Oleh karena demikian kualitas hasil penelitian ilmu pengetahuan Kedokteran Forensik maka hasil penelitian tersebut dapat dipertimbangkan menjadi alat bantu pembuktian kasus jariah had zina.[19]
E.     Uqubah dan Pelaksanaannya
            Uqubah atau sanksi hukuman terhadap pelaku zina terbagi menjadi 2 yaitu hukuman fisik dan hukuman moral:
1.      Hukuman Fisik
a.       Hukuman Cambuk. Dalam ayat dan hadis diatas ditegaskan pelaku pria dan pelaku wanita dihukum dengan hukuman cambuk seratus kali di seluruh tubuhnya kecuali wajah dan anggota tubuh yang vital dan dicambuk dengan cambuk bukan dengan besi dan tidak boleh merasa kasihan dalam melaksanakan hukuman. Jadi pelaksanaan hukuman tidak boleh dikurangi dan diringankan baik kuantitas maupun kualitas pelaksanaan hukuman atau tidak boleh dikurangi jumlah hukuman, kuat pukulan atau bahan cambuk yang digunakan, tetapi harus sesuai dengan ketentuan yang dicontohkan di zaman Nabi Muhammad SAW.
Dalam ayat tersebut juga disebut terlebih dahulu pelaku wanita dan baru pelaku pria. Hal ini menurut Muhammad Abduh Malik karena dampak negatif terhadap perbuatan zina terhadap wanita jauh lebih besar daripada terhadap pria.[20]
b.      Hukuman Pengasingan.
Mengenai masalah hukuman diasingkan selama satu tahun juga terdapat perbedaan pendapat:
-          Khalifah Rasyidin, Malik bin Anas, al-Syafi’I, Ahmad bin Hanbal, Ishaq dan lainnya wajib pelaku zina yang masih bikr diasingkan selama satu tahun untuk menyempurnakan hukuman had.
-          Abu Hanifah berpendapat tidak wajib pelaku zina bikr diasingkan selama satu tahun karena hukuman itu tidak ada dalam al-Qur’an berarti menambah nash al-Qur’an dan juga hadis yang menjadi dasarnya itu adalah hadis ahad. Kalau begitu hadis ahad menasakh al-Qur’an dan hadis ini tidak bisa diamalkan. Tapi Abu Hanifah bisa menerima hukuman pengasingan selama satu tahun itu diputuskan oleh Imam atas dasar mashlahah karaena hukuman pengasingan selama satu tahun itu bukan hukuman had tapi uqubah ta’ziriyah yang menjadi kewenangan imam.[21]
c.       Hukuman Rajam
Bagi pelaku pria dan wanita yang sudah menikah hukuman atas perbuatan zina yang dilakukan adalah hukuman rajam atau hukuman mati melalui rajam (dilemparkan dengan batu) di depan umum.[22]
Berbedanya hukuman bagi mereka yang belum menikah dengan mereka yang sudah menikah (berstatus janda dan duda) oleh karena berbeda sifat melawan hukum dari mereka. Orang yang sudah menikah sifat melawan hukumnya lebih tinggi dari mereka yang belum menikha karena orang yang sudah menikah pada wakti ia menikah berarti dalam hatinya ia memiliih jalur hukum Islam, memandang pernikahan jaur yang benar dan halal dan perzinaan adalah jalur yang salah dan buruk. Apabila mereka yang sudah menikah melakukan perbuatan zina berarti mereka sengaja melawan kebenaran Hukum Islam yang sudah pernah mereka pegang dan mereka yakini serta mereka laksanakan. Oleh karena itu pantas mereka diberi hukuman yang lebih berat dari yang belum menikah. Jika disamakan hukuman bagi mereka yang sudah menikah dengan yang belum menikah tentu menjadi tidak adil, karena kualitas melawan hukumnya berbeda.[23]
Dalam pelaksanaan hukuman rajam atas pelaku perbuatan zina adalah:
a.       Taklif. Yaitu orang yang baligh da n berakal, mampu memikul pebebanan hukum.
b.      Hurriyah. Yaitu orang yang merdeka baik laki-laki maupun perempuan. Jiak yang melakukan perzinaan itu budak perempuan maka keduanya tidak dikenai hukumann rajam tapi setengah dari hukuman jilid orang merdeka bujang dan gadis.
c.       Telah melakuakn jima’ didalam nikah yang sah. Artinya orang yang melakukan perbuatan zina itu adalah orang yang telah kawin/menikah secara sah dan telah melakukan jima’ dalam pernikahan itu walaupun tidak sampai mengeluarkan sperma dan juga sekalipun pada waktu melakukan jima’ itu istrinya dalam keadaan haid atau dalam keadaan ihram.[24]
  1. Hukuman Moral Psikologis dan Sosial
            Didalam Q.S an-Nur ayat 2, dinyatakan bahwa pelaksanaan hukuman terhadap pelaku perbuatan zina hendaklah disaksikan oleh sekelompok orang-orang beriman. Jadi berarti pelaksanaan hukuman tersebut harus disaksikan orang banyak.
            Dengan disaksikan oleh orang banyak berarti si pelaku perbuatan zina dipermalukan di depan orang banyak karena dengan terjadinya perbuatan zina rasa malu si pelaku perbuatan zina sudah luntur. Oleh sebab itu rasa malu ini perlu ditumbuhkan kembali dan juga dipermalukan ini mempunyai nilai preventif terhadap si pelaku agar tidak mengulangi kembali perbuatan zina tersebut dan juga preventif bagi orang lain yang berniat melakukan perbuatan zina.
            Nabi Muhammad saw. Menyatakan bahwa rasa malu adalah bagian dari iman.
            Nabi Muhammad saw. Juga menyatakan bahwa orang yang berzina tidak beriman pada waktu melakukan perbuatan zina karena apabila ia beriman, maka tidak akan melakukan perbuatan zina. Orang yang tidak hilang imannya tidak akan mengerjakan perbuatan zina.
            Jadi dipermalukan itu merupakan bagian dari hukuman yaitu hukuman moral psikologis karena si pelaku perbuatan zina pada waktu melakukan perbuatan zina tersebut sudah tidak beriman dan tidak punya rasa malu. Jadi mempermalukan itu merupakan hukuman moral psikologis dan berdampak sosial yang efektif untuk preventif atau mencegah terulangnya kembali perbuatan zina dalam masyarakat karena pelaksanaan eksekusi hukuman had zina disaksikan oleh orang banyak. Pelaksanaan hukuman had zina yang disaksikan orang banyak itu menumbuhkan rasa malu bagi si pelaku perbuatan zina dan juga bagi orang yang menyaksikan. Karena itu mereka akan jera dan berpikir ‘seribu kali’ untuk melakukan perbuatan zina di masa datang.
            Kemudian dalam Surat An-Nuur, 24:3, dinyatakan pula bahwa pelaku perbuatan zina hendaklah dikawinkan dengan teman zinanya dan haram bagi orang beriman menikahi orang berzina. Atau pelaku perbuatan zina hendaklah dinikahkan dengan orang-orang musyrik. Penegasan ini berarti bahwa pelaku perbuatan zina turun martabatnya dalam pandangan Allah dan umat manusia beriman dan akal sehat sehingga diharamkan orang beriman menikahinya.
            Dengan diturunkan martabatnya berarti pelaku perbuatan zina dipermalukan dan status sosialnya menjadi rendah. Hal ini berarti hukuman tambahan dalam bentuk hukuman moral psikologis dan sosial atas pekau perbuatan zina yang dihukum dengan hukuman rajam maupun hukuman cambuk seratus kali dan diasingkan (dipenjara, dikurung) selama satu tahun. Hadis-hadis Nabi Muhammad saw. Tentang hukuman bagi pelaku zina banyak sebagaimana akan diungkap dalam uraian lebih lanjut. Hukuman keras yang ditetapkan islam terhadap pelaku perbuatan zina itu ditetapkan setelah islam menawarkan kebolehan berpoligami sebagai alternatif atau jalan keluar yang lebih baik bagi orang yang mempunyai hawa nafsu seksual yang berlebihan di samping banyak melakukan ibadah puasa dan lebih mendekatkan diri kepada Tuhan dan memperbanyak amal salihat di masyarakat agar supaya orang tersebut tidak mudah mencari dalih untuk berbuat zina.
            Menurut Sayid Sabiq hukuman yang keras itu juga seimbang antara nestapa yang diberikan kepada pelaku perbuatan zina dengan kerusakan manusia dan masyarakat yang ditimbulkannya inilah keadilan.[25]
            Pelaksanaan Hukuman Had Zina ada beberapa pembahasan, yaitu:
  1. Perilaku Zina Sebagai Delik Biasa
            Dalam Hukum Islam perilaku zina termasuk delik biasa atau delik umum dan bukan termasuk delik aduan.
            Jadi perilaku zina dalam hukum Islam adalah tindak pidana (delik) atau perbuatan melanggar hukum Islam (kejahatan) dimana si pelanggarnya dihukum dengan hukuman had dna kejahatan itu harus ditindak atau dituntut oleh Imam (penguasa Islam) bukan karena adanya pengaduan dari orang atau keluarga yang dirugikan tapi otomatis dan menjadi kewajiban dari penguasa setelah mengetahui telah terjadi perbuatan zina, meskipun tidak ada pengaduan dari pihak orang atau keluarga yang dirugikan.
            Jadi apabila aparat penegak hukum telah mendapat informasi/mengetahui tentang telah terjadinya jarimah hudud/jarimah zina maka wajib dilakuakn penyelidikan dan penyidikan oleh aparat yang ditugaskan untuk itu dan jika telah diperoleh bukti-bukti yang meyakinkan maka perkara jarimah zina itu diajukan untuk di proses di pengadilan pidana dan juga jika terbukti kebenaran telah terjadinya jarimah zina maka hakim membuat keputusan telah terjadi perbuatan zina dan kepada para pelaku jarimah zina itu ditetapkan hukuman yang dijatuhkan kepada mereka dan selanjutnya kepada aparat eksekusi diperintahkan untuk melaksanakan hukuman yang telah ditetapkan itu. [26]
  1. Kewenangan Melaksanakan Hukuman
            Apabila telah ditetapkan bahwa telah terjadi perbuatan zina tanpa ada syubhat, wajiblah hakim melaksanakan atau memerintahkan pelaksanaan hukuman had yaitu rajam bagi yang muhsan dan jilid seratus kali serta diasingkan selama satu tahun bagi yang ghairu muhsan.
            Didalam pelaksanaan hukuman had tidak ada maaf dan perdamaian, tidak ada penghapusan, pengurangan dan penggantian hukuman. Kewenangan melaksanakan hukuman had berada ditangan Imam (kepala negara).[27]
  1. Menarik Kembali Pengakuan dan Penghentian Pelaksanaan Hukuman Had
            Jika pada waktu melaksanakan had si terhukum menarik kembali pengakuannya telah berbuat zina maka hukuman had dihentikan.
            Penarikan kembali pengakuan itu bisa diterima apabila tidak ada bukti-bukti lain yang memberatkan seperti hamilnya si pelaku wanita atau adanya saksi-saksi yang bisa diterima kesaksiannya atau bukti-bukti lain melalui ilmu pengetahuan dan teknologi kedokteran yang meyakinkan.[28]
            Didalam pembuktian adanya jarimah hudud jika ditemukan sesuatu yang diyakini salah satu pihak pria atau wanita bebas dari perbuatan zina maka gugurlah hukuman had zina atas mereka. Misalnya pelaku wanita perawan dan tidak hilang keperawanannya karena ada sesuatu yang menutupi farjinya sehingga tidak mungkin dia melakukan perbuatan zina maka gugurlah hukuman had mereka. Atau juga si pelaku pria tidak mempunyai alat kelamin atau impoten maka berarti mereka tidak mungkin melakukan perbuatan zina oleh karena itu mereka dibebaskan dari hukuman had.
  1. Waktu Pelaksanaan Had
            Hukuman had zina dilaksanakan pada waktu yang kondusif atau pada waktu yang tidak menimbulkan dampak sampingan negatif kepada si terhukum. Pada dasarnya hukuman had dilaksanakan segera setelah terbuki adanya perbubatan zina, kecuali jika ada hal-hal tertentu yang diperlukan penguncuran waktu pelksanaan hukuman had. [29]
            Apabila pelaku wanita sedang hamil maka pelaksanaan hukuman had itu ditunda sampai ia melahirkan anak dan anak itu telah berhenti menyusui serta telah memakan makanan lain misalnya roti.
            Jika terhukum dalam keadaan sakit yang tidak membahayakan jiwanya maka hukuman had tetat dilaksanakan
  1. Akibat terhadap Pernikahan   

            Hukuman dilaksanakan di tempat mumi atau ditempat nilai yang terkandung dalam hal ini menurut Muhammad Abdul Malik adalah si pelaku dipermalukan karena diketahui, disaksikan, dan dilaksanankan di depan orang banyak. Maksudnya agar si pelaku yang dikenai hukuman cambuk, jera untuk tidak mengulangin kejahatannya.[30]

  1. Penggalian Lubang Untuk Yang Di Rajam
            Hadis-hadis tentang ini bervariasi. Ada yang menjelaskan digalikan lubang dan ada pula yang menjelaskan tidak di galikan lubang.
            Imam Ahmad mengatakan bahwa kebanyakan hadis menjelaskan tidak digalikan lubang. Imam Malik dan Abu Hanifah mengatakan tidak digalikan lubang untuk yang dihukum rajam.
            Asy-Syafi’i memilih pendapat diglaikakn lubang untuk si terhukum yang perempuan saja.
            Para ulama sepakat wanita dirajam dalam posisi duduk didalam lubang. Menurut Malik, laki-laki dirajam dalam posisi duduk juga. Ulama lainnya berpendapat diserahkan saja kepada Imam untuk memilihnya.[31]
  1. Kehadiran Imam dan Saksi Pada Waktu Dilaksanakan Hukuman Rajam
            Hadis Nabi tentang peristiwa Ma’iz, Nabi memerintahkan sahabat untuk melaksanakan hukuman rajam bagi Ma’iz, tapi Nabi sendiri tidak ikut bersama mereka, padahal kepastian Ma’iz melakukan perbuatan zina berdasarkan pengakuannya kepada Rasullah SAW.
            Abu Hanifah menambahkan pula bahwa saksi dalam perkara pembuktiannya berdasarkan kesaksian, wajib menjadi orang yang pertam melaksanakan hukuman melempar terhadap zina muhsan, kemudian diikuti oleh Imam atau penggantinya dan setelah itu dilakukan oleh orang banyak. Kalau saksi tidak datang untuk memulai melaksanakan hukuman maka gugurlah hukuman had
            Imam asy-Syafi’i juga memastikan halnya demikian. Imam Syafi’I dan Imam Ahmad mensyaratkan saksi yang memulai tetap hanya menganjurkan saja. Bahkan keduanya tidak mewajibkan kehadiran saksi dan Imam. Imam Malik berpendapat bahkan juga tidak dianjurkan dimulai oleh saksi dan Imam karena tidak ada hadis sahih yang menjadi dasarnya.[32]
  1. Teknik Pelaksanaan Hukuman
            Pelaksanaan hukuman Had seperti yang telah ditegaskan oleh Allah dalam Q.S. an-Nur ayat 2, tidak boleh ada rasa kasihan sedikitpun juga tidak mengurangi kualitan dan kuantitas hukuman.
            Mengenai objek pukulan pada waktu pelaksanaan hukuman cambuk menurut Abu Hanifah fan asy-Syafi’I yaitu anggota badan selain kemaluan dan farji, muka dan kepala.
            Menurut Malik si terhukum laki-laki dibuka bajunya dan dicambuk dalam posisi duduk.[33]
  1. Biaya Pelaksanaan Hukuman
Biaya pelaksanaan hukuman mulai dari biaya penyelidikan, penyidikan, biaya sidang pengadilan, biaya pelaksanaan hukuman, termasuk upah eksekutor hukuman jilid diambil dari kas negara.
  1. Mensalatkan Orang Meninggal Karena Hukuman Rajam
            Jumhur ulama berpendapat orang yang meninggal karena hukuman rajam disalatkan, karena tidak ada larangan untuk mensalatkannya.[34]

G.    Akibat Zina Terhadap Pernikahan

            Dalam masalah ini ada 2 pendapat yaitu: Pertama, haram. menikahi pelaku zina sebagimana dikutip dari riwayat Ali, al-Barra’, Aisyah dan Ibnu Mas’ud. Kedua, boleh. Pendapat ini berasal dari riwayat Abu Bakar, Umar, dan Ibnu Abbas. Pendapat inilah yang dipegangi oleh Jumhur dan Ulama 4 Mazhab.
            Pendapat yang mengharamkan berdalil dengan zahir firman Allah SWT dalam Q.S. an-Nur ayat 3. Menurut mereka, ayat ini zahirnya merupakan kalam khabar tetapi hakikatnya larangan yang berarti haram, sebab pada akhir ayat meredaksikan: “Dan yang demikian itu diharamkan atas orang-orang mukmin”.
            Ali pernah berkata: “Apabila seorang laki-laki berzina maka ia harus diceraikan antara dia dnegan istrinya, demikian pula apabila seorang perempuan berzina maka harus diceraikan antara dia dengan suaminya.
            Disamping itu, mereka juga berpegangan dengan suatu riwayat bahwa Martsad bin Abu Murtsad datang menghadap Nabi SAW minta izin hendak mengawini ‘Anaq, seorang pelacur pada masa jahiliyyah. Kemudian Nabi SAW tidak memberikan jawaban sehingga turun ayat Q.S. an-Nur ayat 3, laliu Nabi SAW bersabda: “Hai Murtsad, Janganlah mengawininya!”.
            Pendapat yang membolehkan mengawini perempuan yang tidak terpelihara kehormatannya berdasarkan dalil:
            Pertama, hadis riwayat A’isyah, bahwa Rasulullah SAW pernah ditanya tantang laki-laki yang berzina dengan seorang perempuan kemudian ia bermaksud mengawininya, lalu Nabi SAW bersabda: “Mulanya perzinaan kemudian diakhiri dengan pernikahan, sedang yang haram tidak dapat mengharamkan yang halal”.
            Kedua, Hadis jalur Ibnu Umar, bahwa ia berkata: “Saat Abu Bakar ash-Shiddiq di masjid (Madinah) tiba-tiba datanglah seorang laki-laki, kemudian berkata-kata dalam keadaan malu, kelihatannya ia sedang bingung. Lalu Abu Bakar bertanya kepada Umar: “Berdirilah dan perhatikan ihwalnya karena tampaknya ia mempunyai persoalan!” kemudian Umar mendekatinya, lalu laki-laki itu berkata, bahwa ia menerima seorang tamu kemudian tamunya berzina dengan anak perempuanya, lalu Umar memukul dadanya seraya berkata: “Celaka Kamu! Mengapa anak perempuanmu tidak kau tabiri?” Lalu Abu Bakar memerintahkan (untuk dihukum) maka mereka berdua kemudian dihukum, lalu keduanya dinikahkan dan diasingkan selama setahun.
            Ketiga, Ibnu Abbas pernah ditany tentang hal itu, kemudian dijawabnya: “Mulanya perzinaan kemudian diakhiri dengan pernikahan; itu seperti seseorang mencuri buah-buahan di suatu kebun kemudian datang kepada pemilik kebun itu lalu ia beli buah yang ia curi tadi, maka apa yang ia curi adalah haram dan yang ia beli itu halal.
            Keempat, mereka juga menakwil firman Allah: “Laki-laki yang berzina tidak mereka nikahi melainkan perempuan yang berzina” (Q.S. an-Nur [24]: 3) bahwa pernyataan ini didasarkan kepada kedzaliman. Jadi makna ayat itu, orang yang fasik lagi buruk yang biasa berbuat zina itu tidak menyukai nikah dengan perempuan mukminah yang shalehah. Yang ia sukai adalah mengawini perempuan fasik yang buruk akhlaknya seperti dirinya atau perempuan musyrikah, sementara perempuan yang fasik lagi buruk akhlaknya tidak suka kepada laki-laki mukmin yang saleh. Ia menyukai nikah dengan laki-laki yang sama dengan dirinya atau laki-laki musyrik. Maka yang demikian ini adalah berdasarkan kebiasaan.[35]
3.     Jarimah Qazf
A.    Pengertian
            Asal kata Qazf yaitu melempar dengan batu atau selainnya. Dan diantaranya firman Allah untuk ibunya Nabi Musa a.s.
أَنِ ٱقۡذِفِيهِ فِي ٱلتَّابُوتِ فَٱقۡذِفِيهِ فِي ٱلۡيَمِّ
39. Yaitu: "Letakkanlah ia (Musa) didalam peti, kemudian lemparkanlah ia ke sungai (Nil). (Q.S. Ta Ha [20]: 39).[36] Kata melempar dianalogikan pada pelemparan dengan ungkapan yang bersifat menuduh, sebab tuduhan akan membuat luka seperti luka fisik.[37]
            Qazf ialah menuduh orang lain berzina. Misalnya seseorang mengatakan: “Wahai orang yang berzina”, atau lain sbeagainya yang pernyataan tersebut dipahami bahwa seseorang telah menuduh orang lain berzina.[38]
            Penuduhan zina (qadzf) secara etimologis berarti pembicaraan serampangan yang tidak dipikir dan dipertimbangkan terlebih dahulu secara masak. Qadzf secara bahasa juga berarti tuduhan atau lemparan dengan batu atau benda lain. Jarimah qadzf ini identik dengan tindak pidana penghinaan atau pencemaran nama baik yang diatur dalam Pasal 310 dan 311 KUHP serta dalam Pasal 27 Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik. Dalam istilah populer, qadzf identik dengan istilah hate speech atau ujaran kebencian dan fitnah tidak berdasar yang dapat merusak nama baik pihak lain.
            Adapun secara terminologis, qadzf berarti menuduh berzina pihak lain tanpa bukti yang bisa diterima. Qadzf juga berarti menuduh orang lain yang masuk dalam kategori muhshan, yaitu tertuduh itu telah dewasa, berakal sehat, merdeka (buka hamba sahaya), beragama Islam, dan orang baik-baik, ia dituduh melakukan perbuatan zina, kalau pihak penuduh ternyata tidak bisa mendatangkan empat orang saksi, maka justru ia sendiri sebagai penuduh dikenai sanksi hukum berupa hukuman cambuk delapan puluh kali.[39]
            Adapun secara terminologis, qadzf berarti menuduh berzina. Akan tetapi, para ahli fiqh tidak sama persis dalam merumuskan definisi. Secara singkat, deskripsinya dikemukakan sebagai berikut.
1.      Menurut Al-Syarbini, qadzf ialah menuduh zina dengan tujuan membeberkan aib, tidak termasuk ke dalam kesaksia zina.
2.      Menurut Taqiyyudin Al-Husaini, qadzf ialah menuduh zina dalam rangka memberikan pengajaran.
3.      Menurut Syaikh Al-Nawawi, qadzf ialah menuduh zina dalam rangka menjelaskan tertuduh bukan dalam rangka kesaksian zina.
4.      Menurut Abdul Qadir Audah, beliau mengatakan bahwa dalam syaruat Islam qadzf terdiri atas dua macam, yaitu qadzf yang pelakunya diancam dengan hadz dan qadzf yang pelakunya diancam denga ta’zir. Qadzf yang pelakunya diancam dengan had adalah menuduh orang baik-baik melkaukan zina atau mengingkari nasabnya. Adapun qadzf yang pelakunya diancam dengan ta’zir adalah menuduh seseorang dengan tuduhan selain zina dan tidak mengingkari nasabnya yang mana tuduhan itu ditujukan baik kepada muhsan maupun ghairu muhsan. Termasuk dalam pengertian ini adalah mencaci dan memaki. Terhadap dua jenis jarimah ini, pelakunya juga dikenai sanksi ta’zir.
5.      Menurut Wahbah Al-Zuhaili, qadzf ialah menisbatkan seseorang kepada orang lain karena zina atau memutus nasab seorang muslim .
            Dari beberapa definisi qadzf di atas, baik secara etimologi maupun terminologis, pemulis menyimpulkan bahwa qadzf ialah menuduh seorang muhsan (dewasa, berakal sehat, merdeka, beragama Islam, dan orang baik-baik) melakukan zina. Kalau penuduh ternyata tiak dapat mendatangkan empat orang saksi maka ia dicambuk sebanyak delapan puluh kali.[40]


B.     Dasar Hukum
1. Al-Qur’an
- Q.S. an-Nur [24]: 4-5
وَٱلَّذِينَ يَرۡمُونَ ٱلۡمُحۡصَنَٰتِ ثُمَّ لَمۡ يَأۡتُواْ بِأَرۡبَعَةِ شُهَدَآءَ فَٱجۡلِدُوهُمۡ ثَمَٰنِينَ جَلۡدَةٗ وَلَا تَقۡبَلُواْ لَهُمۡ شَهَٰدَةً أَبَدٗاۚ وَأُوْلَٰٓئِكَ هُمُ ٱلۡفَٰسِقُونَ ٤ إِلَّا ٱلَّذِينَ تَابُواْ مِنۢ بَعۡدِ ذَٰلِكَ وَأَصۡلَحُواْ فَإِنَّ ٱللَّهَ غَفُورٞ رَّحِيمٞ ٥
4. Dan orang-orang yang menuduh wanita-wanita yang baik-baik (berbuat zina) dan mereka tidak mendatangkan empat orang saksi, maka deralah mereka (yang menuduh itu) delapan puluh kali dera, dan janganlah kamu terima kesaksian mereka buat selama-lamanya. Dan mereka itulah orang-orang yang fasik
5. kecuali orang-orang yang bertaubat sesudah itu dan memperbaiki (dirinya), maka sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang
-        Q.S. an-Nur [24]: 13
لَّوۡلَا جَآءُو عَلَيۡهِ بِأَرۡبَعَةِ شُهَدَآءَۚ فَإِذۡ لَمۡ يَأۡتُواْ بِٱلشُّهَدَآءِ فَأُوْلَٰٓئِكَ عِندَ ٱللَّهِ هُمُ ٱلۡكَٰذِبُونَ ١٣
13. Mengapa mereka (yang menuduh itu) tidak mendatangkan empat orang saksi atas berita bohong itu? Olah karena mereka tidak mendatangkan saksi-saksi maka mereka itulah pada sisi Allah orang-orang yang dusta
-        Q.S. an-Nur [24]: 23-24
إِنَّ ٱلَّذِينَ يَرۡمُونَ ٱلۡمُحۡصَنَٰتِ ٱلۡغَٰفِلَٰتِ ٱلۡمُؤۡمِنَٰتِ لُعِنُواْ فِي ٱلدُّنۡيَا وَٱلۡأٓخِرَةِ وَلَهُمۡ عَذَابٌ عَظِيمٞ ٢٣ يَوۡمَ تَشۡهَدُ عَلَيۡهِمۡ أَلۡسِنَتُهُمۡ وَأَيۡدِيهِمۡ وَأَرۡجُلُهُم بِمَا كَانُواْ يَعۡمَلُونَ ٢٤
23. Sesungguhnya orang-orang yang menuduh wanita yang baik-baik, yang lengah lagi beriman (berbuat zina), mereka kena laknat di dunia dan akhirat, dan bagi mereka azab yang besar
24. pada hari (ketika), lidah, tangan dan kaki mereka menjadi saksi atas mereka terhadap apa yang dahulu mereka kerjakan
2. Hadis
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ اجْتَنِبُوا السَّبْعَ الْمُوبِقَاتِ قَالُوا يَا رَسُولَ اللَّهِ وَمَا هُنَّ قَالَ الشِّرْكُ بِاللَّهِ وَالسِّحْرُ وَقَتْلُ النَّفْسِ الَّتِي حَرَّمَ اللَّهُ إِلَّا بِالْحَقِّ وَأَكْلُ الرِّبَا وَأَكْلُ مَالِ الْيَتِيمِ وَالتَّوَلِّي يَوْمَ الزَّحْفِ وَقَذْفُ الْمُحْصَنَاتِ الْمُؤْمِنَاتِ الْغَافِلَاتِ
Dari Abu Hurairah dari Nabi shallallahu 'alaihi wasallam bersabda; "Jauhilah tujuh dosa besar yang membinasakan." Para sahabat bertanya; 'Ya Rasulullah, apa saja tujuh dosa besar yang membinasakan itu? ' Nabi menjawab; "menyekutukan Allah, sihir, membunuh jiwa yang Allah haramkan tanpa alasan yang benar, makan riba, makan harta anak yatim, lari dari medan perang, dan menuduh wanita mukmin baik-baik melakukan perzinahan." (H.R. al-Bukhari, Muslim, Nasa’i).[41]
C.    Sanksi Qazf
Sebagaimana jarimah-jarimah lain, jarimah qadzf dapat dilaksanakan apabila syarat dan rukunnya telah terpenuhi.
            Syarat qadzf ada tiga macam, yaitu syarat bagi penuduh, syarat bagi tertuduh, dan syarat bagi materi tuduhan. Penuduh harus memenuhi tiga syarat, yaitu (1) penuduh harus berakal sehat, (2) penuduh harus sudah baligh, dan (3) penuduh harus dalam keadaan sadar. Adapun syarat-syarat yang harus dipenuhi pihak tertuduh ada lima syarat, yaitu (1) tertuduh harus sudah beragama Islam, (2) tertuduh harus berakal sehat, (3) tertuduh harus sudah baligh, (4) tertuduh harus merdeka, dan (5) tertuduh harus orang yang baik dan menjaga diri dari kemaksiatan seksual. Kemudian syarat yang berkaitan dengan materi tuduhan, yaitu berupa tuduhan zina atau penolakan nasab kepada ayah. Adapun cara melemparkan tuduhan ada dua, yaitu sharih dan kinayah. Sharih adalah kalimat tegas, sesperti زنيت اوزنيت kamu berzina atau يازاني اويازانية hai pezina. sementara itu, kinayah adalah kalimat sindiran, seperti hai perempuan fasik, pendosa, cabul.[42]
            Jika syarat diatas terpenuhi maka had qazf telah jatuh yaitu didera/di cambuk sebanyak 80 kali bagi qadzif yang merdeka.
D.    Pembuktian dan Penetapan Qazf
            Bagi hakim, pembuktian dan penetapan suatu tindakan pidana dengan ancaman hukuman hadd bisa dilakukan berdasarkan bayyinah (saksi) atau pengakuan, dengan ketentuan terpenuhinya sejumlah syarat-syarat tertentu. Diantara syarat-syarat tersebut ada yang menyangkut sarana pembuktian itu sendiri, yaitu sarana pembuktian berupa bayyinah atau pengakuan. Dan sebagian yang lain merupakan syarat yang menjadi penentu boleh tidaknya hakim melakukan proses hukum pembuktian terhadap kasus yang ada dengan menggunakan sarana-sarana pembuktian di atas, yaitu syarat adanya al-khususmah, yakni pelaporan perkara dan pengajuan tuntutan.
            Al-khusumah maknanya adalah mengajukan laporan perkara atau tuntutan. Khusumah tidak menjadi pra syarat dalam hukuman had zina dan menenggak minuman keras. Akan tetapi khusumah menjadi pra syarat dalam hukuman hadd pencurian sebagaiman yang akan saya jelaskan di bagian mendatang. Khusumah juga menjadi pra syarat dalam penetapan hukuman had qadzf berdasarkan kesaksian dan pengakuan.
            Penulis akan mebahas khusumah dari dua sisi, yaitu sisi hukum khusumah dan sisi yang berhak mengajukan khusumah dan siapa yang tidak berhak.
Hukum khusumah atau pengajuan dakwaan dan tuntutan
            Yang lebih bagi seseorang yang dituduh melakukan zina (maqdzuf) adalah tidak melakukan khusumah. Karena jika melakukan khusumah, maka itu akan menyebabkan tersiarnya tindak kekejian. Sehingga ia disunnahkan untuk tidak melakukannya. Begitu juga, memaafkan dan tidak jadi melakukan khusumah adalah lebih utama.
Orang yang berhak melkukan khusumah dan yang tidak
            Pihak yang diqadzf (maqdzuf, pihak yang dituduh melakukan zina) ada kalanya dia masih hidup ketika terjadi qadzf dan ada kalanya dia sudah meniggal. Jika saat itu dia masih hidup, tidak ada seorang pun yang memiliki hak melakukan khusumah kecuali hanya dirinya, tidak ada seorang pun yang memiliki hak itu meskipun itu adalah anak atau orang tuanya sendiri, apakah saat itu dia sedang ada ditempat ataupun sedang tidak ada. Karena jika dia masih hidup pada saat terjadi qadzf, dialah yang sejatinya menjadi tertuduh dan yang menanggung aib dan malu sehingga dia sendirilah yang mempunyai hak khusumah.
            Adapun jika pihak maqdzuf adalah orang yang sudah meninggal pada saat qadzf, maka hak khususmah ada itangan orang tua ke atas (kakek dan seterusnya) dan anak ke bawah (cucu dan seterusnya). Karena esensi qadzf yaitu menimpakan aib dan malu, juga menimpa orang tua dan anak orang yang dituduh. Karena orang tua dan anak merupakan bagian dari diri seseorang. Tuduhan terhadap seseorang juga berarti menuduh kepada orang-orang yang menjadi bagian dari dirinya (anak ke bawah) dan orang-orang yang dirinya bagian dari diri mereka (orang tua ke atas) sehingga qadzf dari segi substansinya berati juga menimpa mereka para anggota keluarga tertuduh (orang tua dan anak). Adapun orang yang sudah meninggal tidak terpengaruh oleh efek qadzf, karena dia sudah tidak lagi merasa dipermalukan dengan adanya qadzf tersebut.
            Adapun pembuktian dan penetapan setelah al-khusumah dapat kami uraikan berikut:
a.      Perwakilan dalam Mengambil Hak Hukuman Hadd
     Pengambilan hak hukuman hadd harus disertai dengan kehadiran maqdzuf dan kehadiran wali korban dalam pengambilan hak qishas. Karena pengambilan hak hukuman hadd ketika tidak disertai dengan kehadiran orang yang mewakilkan, adalah pengambilan hak hukuman hadd yang disertai adanya syubhat. Karena bisa jadi jika maqdzuf hadir diacara pelaksanaan hukuman had qadzf tersebut, dia akan mengakui dan membenarkan apa yang dituduhkan oleh penuduh kepadanya. Dan hukuman had tidak boleh dilaksanakan ketika masih menyisakan syubhat.
b.      Syarat-syarat Bayyinah untuk Pembuktian dan Penetapan Kasus Qadzaf
     Syarat-syarat bayyinah (saksi) yang diajukan oleh maqdzuf dalam pembuktian dan penetapan adanya qadzf, adalah sama dengan syarat-syarat umum bayyinah yang berlaku dalam semua kasus pidana dengan hukuman hadd sebagaimana yang telah dijelaskan di depan, yaitu, laki-laki dan ashalaah (orisinil). Oleh karena itu, kesaksian wanita, kesaksian atas kesaksian dan surat hakim adalah tiak dapat diterima.
c.       Syarat-Syarat Pengakuan Telah Melakukan Qadzf
     Begitu juga syarat-syarat pengakuan telah melakukan qadzf adalah sama dengan syarat-syarat umum pengakuan dalam kasus-kasus pidana dengan hukuman had yang lainnya, yaitu baligh dan dapat berbicara. Oleh karena itu, pengakuan anak kecil dalam pidana dengan ancaman hukuman had adalah tidak dapat diterima. Begitu juga dengan pengakuan orang yang bisu, baik dengan melalui tulisan maupun isyarat, sebagaimana hal ini telah dijelaskan di dalam pembahasan hadd zina.
     Menurut kesepakan ulama, pengakuan telah melakukan qadzf tidak disyaratkan harus berbilang, akan tetapi satu kali sudah cukup. Begitu juga, tidak disyaratkan harus belum kadaluwarsa.
d.      Penetapan dan Pembuktian Tindak Pidana Qadzf dengan berdasarkan Pengetahuan Hakim
     Ulama Hanafiyah bersepakat, tindak pidana qadzf dapat dibuktikan dan ditetapkan dengan berdasarkan pengetahuan hakim di masa dan di tempat persidangan. Namun ulama Hanafiyah berbeda pendapat mengenai penetapan dan pembuktian tindak pidana qadzf dengan berdasarkan pengetahuan hakim di selain masa dan tempat persidangan. Ulama Hanafiyah generasi pertama mengatakan boleh. Sedangkan Ulama Hanafiyah generasi terakhir mengatakan tidak boleh secara mutlak dalam kasus-kasus yang dipersengketakan, dengan alasan kondisi dunia peradilan sangat korup.
E.     Hal-hal Yang Dapat Menggugurkan Hukuman Qazf
Hukuman had qadzf bisa gugur karena salah satu dari tiga hal berikut:
1.      Tuduhan perzinaan terhadap maqdzuf telah bisa dibuktikan dengan berdasarkan saksi atau pengakuan maqdzuf bahwa dirinya memang telah berzin.
2.      Pihak maqdzuf memberikan maaf dan ampunan kepada pihak qaadzif menurut ulama Syafi’iyah. Karena menurut mereka, had qadzf adalah termasuk hak Adami.
3.      Adanya li’an yang terjadi di antara kedua suami-istri.[43]

BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
-        Had (hudud) secara terminologis ialah sanksi yang telah ditetapkan untuk melaksanakan hak Allah.
-        Hudud terbagi menjadi 2 macam yaitu Hak untuk Allah dan Hak Untuk Makhluk
-        Zina ialah perbuatan bersenggama antara laki-laki dna perempuan yang tidak terikat oleh hubungan pernikahan (perkawinan) atau perbuatan bersenggama seorang laki-laki yang terikat perkawinan dengan seorang perempuan yang bukan istrinya atau seorang perempuan yang terikat perkawinan dengan seorang laki-laki yang bukan suaminya.
-        Motif perilaku zina pada zaman sekarang  yaitu: motif ekonomi, motif mencari kesenangan sesaat, motif menunjukkan harga diri.
-        Pembuktian dari jarimah zina yaitu: pengakuan dan persaksian
-        Uqubah yang disebabkan oleh zina terhadap pezina yaitu: jika belum pernah menikah dicambuk 100 kali, jika sudah menikah di rajam hingga mati.
-        Akibat dari perilaku zina kepada pernikahan ada 2 pendapat, yaitu: haram dan boleh
-        Qazf yaitu menuduh perempuan baik-baik berbuat zina atau menuduh seorang yang tidak melakukan zina akan berzina
-        Sanksi hukum qazf yaitu dicambuk sebanyak 80 kali
-        Pembuktian qazf dapat dibuktikan dengan mendahulukan laporan yang dikenal dengan istilah al-khusamah
-        Hal-hal yang dapat menggugurkan hukuman qazf yaitu: tuduhan bisa dapat dibuktikan, dimaafkan, dan terjadi li’an diantara qadzif dan mahdzuf.


DAFTAR PUSTAKA

Ali, Zainudin. 2007. Hukum Pidana Islam.  Jakarta: Sinar Grafika.
Irfan, Nurul. 2016. Hukum Pidana Islam. Jakarta: Amzah.
Khalafi, Al, Abdul ‘Azhim bin Badawi. 2011. al-Wajiz fi Fiqh al-Sunnah wa al-    Kitab al-‘Aziz, Penerjemah Ma’ruf Abdul Jalil. Al-Wajiz. Jakarta: Pustaka          as-Sunnah.
Malik, Muhammad Abduh. 2003. Perilaku Zina (Pandangan Hukum Islam dan     KUHP).  Jakarta: Bulan Bintang.
Mawardi, Al, Abu al-Hasan Ali bin Muhammad. 2006. Al-Ahkam al-Sulthaniyyah             di al-Wilaayah al-Diniiyyah, Penerjemah: Fadli Bahri, Bekasi: Darul Falah.
Mubarak, Faishal bin Abdul Aziz Alu. 2012. Bustanul Akhbar Mukhtashar Nail al-           Authar, Penerjemah: Amir Hamzah Fachruddin dkk. Jakarta: Pustaka       Azzam.
Nurul Irfan dan Masyrofah. 2015. Fiqh Jinayah, cet. Ketiga, Jakarta: Amzah.
Rusyd, Abul Wahid Muhammad bin Ahmad bin Muhammad Ibnu. 2007. Bidayatul           Mujtahid wa Nihayatul Muqtashid, Penerjemah: Imam Ghazali Said dkk.            Jakarta: Pustaka Amani.
Sabiq, Sayyid. 2009. Fiqh al-Sunnah. Kairo: Dar el-Hadith.
Schacht, Joseph. 2010. An Introduction to Islamic Law, Penterjemah: Joko Supomo.         Bandung: Nuansa.
Zuhaili, Al, Wahbah. 2007. Fiqh Islam wa Adillatuhu, Penerjemah: Abdul hayyie al-Kattani.Depok: Gema Insani.


                [1] Nurul Irfan dan Masyrofah, Fiqh Jinayah, cet. Ketiga, (Jakarta: Amzah, 2015), hlm. 14
                [2] Sayyid Sabiq, Fiqh al-Sunnah, (Kairo: Dar el-Hadith, 2009), hlm. 228.
                [3] Abu al-Hasan Ali bin Muhammad al-Mawardi, Al-Ahkam al-Sulthaniyyah di al-Wilaayah al-Diniiyyah, Penerjemah: Fadli Bahri, (Bekasi: Darul Falah, 2006), hlm. 362.
                [4] Nurul Irfan dan Masyrofah, Fiqh Jinayah, hlm. 14
                [5] Nurul Irfan dan Masyrofah, Fiqh Jinayah, hlm. 16
                [6] Nurul Irfan, Hukum Pidana Islam, (Jakarta: Amzah, 2016), hlm. 49
                [7] Nurul Irfan dan Masyrofah, Fiqh Jinayah, hlm. 17
                [8] Muhammad Aly al-Shabuny, Rawa’iul Bayan Tafsir Ayaat al-Ahkam min al-Qur’an, Penerjemah: Ahmad Dzulfikar dkk, (Depok: Keira, 2016), Jilid 2, hlm. 3
                [9] Muhammad Abduh Malik, Perilaku Zina (Pandangan Hukum Islam dan KUHP), (Jakarta: Bulan Bintang, 2003), hlm. 25
                [10] Joseph Schacht, An Introduction to Islamic Law, Penterjemah: Joko Supomo, (Bandung: Nuansa, 2010), hlm. 253.
                [11] Nurul Irfan dan Masyrofah, Fiqh Jinayah, hlm. 18
                [12] Nurul Irfan, Hukum Pidana Islam, hlm. 49.
                [13] Wahbah al-Zuhaili, Fiqh Islam wa Adillatuhu, Penerjemah: Abdul hayyie al-Kattani, (Depok: Gema Insani, 2007). Jilid 7, hlm. 303
                [14] Muhammad Aly al-Shabuny, Rawa’iul Bayan Tafsir Ayaat al-Ahkam min al-Qur’an, Penerjemah: Ahmad Dzulfikar dkk, Jilid 2, hlm. 3
                [15] Abdul ‘Azhim bin Badawi al-Khalafi, al-Wajiz fi Fiqh al-Sunnah wa al-Kitab al-‘Aziz, Penerjemah Ma’ruf Abdul Jalil. Al-Wajiz, (Jakarta: Pustaka as-Sunnah, 2011). H. 820-826. Lihat juga Faishal bin Abdul Aziz Alu Mubarak, Bustanul Akhbar Mukhtashar Nail al-Authar, Penerjemah: Amir Hamzah Fachruddin dkk, (Jakarta: Pustaka Azzam, 2012), Jilid4, hlm. 93-128.
                [16] Muhammad Abduh Malik, Perilaku Zina (Pandangan Hukum Islam dan KUHP), hlm. 70-76
                [17] Sayyid Sabiq, Fiqh al-Sunnah, Jilid 2, hlm. 265.
                [18] Abul Wahid Muhammad bin Ahmad bin Muhammad Ibnu Rusyd, Bidayatul Mujtahid wa Nihayatul Muqtashid, Penerjemah: Imam Ghazali Said dkk, (Jakarta: Pustaka Amani, 2007), Jilid 3, hlm. 617.
                [19] Muhammad Abduh Malik, Perilaku Zina (Pandangan Hukum Islam dan KUHP), hlm. 106-138..
                [20] Muhammad Abduh Malik, Perilaku Zina (Pandangan Hukum Islam dan KUHP), hlm. 89. Lihat juga Abu al-Hasan Ali bin Muhammad al-Mawardi, Al-Ahkam al-Sulthaniyyah di al-Wilaayah al-Diniiyyah, Penerjemah: Fadli Bahri, hlm. 366.
                [21] Muhammad Abduh Malik, Perilaku Zina (Pandangan Hukum Islam dan KUHP), hlm. 90. Lihat juga Sayyid Sabiq, Fiqh al-Sunnah, Jilid 2, hlm. 260. Abu al-Hasan Ali bin Muhammad al-Mawardi, Al-Ahkam al-Sulthaniyyah di al-Wilaayah al-Diniiyyah, Penerjemah: Fadli Bahri, hlm. 366.
                [22] Sayyid Sabiq, Fiqh al-Sunnah, Jilid 2, hlm. 261. Lihat juga Nurul Irfan, Hukum Pidana Islam, hlm. 52.
                [23] Muhammad Abduh Malik, Perilaku Zina (Pandangan Hukum Islam dan KUHP), hlm. 95.
                [24] Muhammad Abduh Malik, Perilaku Zina (Pandangan Hukum Islam dan KUHP), hlm. 100. Lihat juga Sayyid Sabiq, Fiqh al-Sunnah, Jilid 2, hlm. 262.
                [25] Muhammad Abduh Malik, Perilaku Zina (Pandangan Hukum Islam dan KUHP), hlm. 106.
                [26] Muhammad Abduh Malik, Perilaku Zina (Pandangan Hukum Islam dan KUHP), hlm. 146-148
                [27] Muhammad Abduh Malik, Perilaku Zina (Pandangan Hukum Islam dan KUHP), hlm. 150
                [28] Muhammad Abduh Malik, Perilaku Zina (Pandangan Hukum Islam dan KUHP), hlm. 152
                [29] Sayyid Sabiq, Fiqh al-Sunnah, Jilid 2, hlm. 269.
                [30] Muhammad Abduh Malik, Perilaku Zina (Pandangan Hukum Islam dan KUHP), hlm. 157
                [31] Sayyid Sabiq, Fiqh al-Sunnah, Jilid 2, hlm. 270.
                [32] Muhammad Abduh Malik, Perilaku Zina (Pandangan Hukum Islam dan KUHP), hlm. 160
                [33] Muhammad Abduh Malik, Perilaku Zina (Pandangan Hukum Islam dan KUHP), hlm. 162
                [34] Muhammad Abduh Malik, Perilaku Zina (Pandangan Hukum Islam dan KUHP), hlm. 163
                [35] Muhammad Aly al-Shabuny, Rawa’iul Bayan Tafsir Ayaat al-Ahkam min al-Qur’an, Penerjemah: Ahmad Dzulfikar dkk, Jilid 2, hlm. 49-50.
                [36] Sayyid Sabiq, Fiqh al-Sunnah, Jilid 2, hlm. 279.
                [37] Muhammad Aly al-Shabuny, Rawa’iul Bayan Tafsir Ayaat al-Ahkam min al-Qur’an, Penerjemah: Ahmad Dzulfikar dkk, Jilid 2, hlm. 59.
                [38] Abdul ‘Azhim bin Badawi al-Khalafi, al-Wajiz fi Fiqh al-Sunnah wa al-Kitab al-‘Aziz, Penerjemah Ma’ruf Abdul Jalil. Al-Wajiz, (Jakarta: Pustaka as-Sunnah, 2011). Hlm. 834.
                [39] M. Nurul Irfan, Hukum Pidana Islam, hlm. 53.
                [40] Zainudin Ali, Hukum Pidana Islam, (Jakarta: Sinar Grafika, 2007). Hlm. 53
                [41] Sayyid Sabiq, Fiqh al-Sunnah, Jilid 2, hlm. 280.
[42] M. Nurul Irfan & Masyrofah, Fiqh Jinayah, hlm. 41
[43] Wahbah al-Zuhaili, Fiqh Islam wa Adillatuhu, Penerjemah: Abdul hayyie al-Kattani, Jilid 7, hlm. 345-360

Tidak ada komentar:

Posting Komentar