Rabu, 27 Maret 2019

Makalah Fikih Munakahat: Zihar


BAB I
PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang
            Perkawinan merupakan sunnatullah yang telah diatur hukum hukumnya didalam syariat, suatu perkawinan mempunyai satu tujuan yang mulia, yaitu untuk membuat suatu keluarga yang bahagia, kekal dan harmonis sepanjang masa dalam membina rumah tangga yang diharapkan oleh setiap pasangan suami istri.
            Akan tetapi seiring dengan berjalannya waktu didalam kehidupan rumah tangga ada kalanya dibumbui dengan permasalahan serta perselisihan yang mana apabila kehidupan rumah tangga tidak dapat dijalani dengan rasa kasih sayang antara keduanya, rasa kasih sayang yang semakin hilang akan mengakibatkan kejenuhan dalam keluarga
            Tidak sedikit dalam suatu rumah tangga yang menyelesaikan permasalahannya diakhiri dengan sebuah perceraian yang dimulai dengan perkataan talak dari suami, pada zaman jahiliyah apabila seseorang suami tidak senang kepada istrinya dan bermaksud untuk mentalaknya, maka suami itu melakukan zhihar.
B.     Rumusan Masalah
1.      Apa yang dimaksud dengan zhihar?
2.      Apa yang menjadi dasar hukum zhihar?
3.      Bagaimana hikmah zhihar?
4.      Apa yang menjadi rukun dan syarat zhihar?
5.      Kapan pelaksanaan zhihar? Dan Bagaimana akibat hukum zhihar?
6.      Bagaimana kewajiban kafarat zhihar?
C.    Tujuan
            Adapun tujuan dari penulisan makalah ini adalah mencoba untuk memberikan informasi kepada rekan-rekan kami pada khususnya dan kepada masyarakat pada umumnya tentang zhihar dalam bahasan fiqh munakahat.

















BAB II
PEMBAHASAN

A.    Pengertian Zhihar

            Pengertian Zhihar adalah kata dalam bahasa Arab yang secara arti kata berarti “punggung” dan bukan anggota badan lainnya yang untuk keperluan zhihar ini karena kata itu digunakan untuk suatu yang di kendarai. Istri dalam pandangan ini diserupakan dengan sesuatu yang dikendarai suami.[1]
            Imam Fakhr al-Razi mengatakan: “Zhihar itu bukan berasal dari kata ‘Zhahr’ (punggung) yang merupakan salah satu anggota tubuh manusia, karena punggung disini tidak lebih penting untuk disebut dalam kasus ini daripada anggota lainnya yang juga tempat kemaluan dan tempat merasakan nikmat, tetapi ‘zhahr’ atau ‘dzihar’ disini dengan arti ‘tinggi’. Misalnya firman Allah:
 فَمَا ٱسۡطَٰعُوٓاْ أَن يَظۡهَرُوهُ وَمَا ٱسۡتَطَٰعُواْ لَهُۥ نَقۡبٗا ٩٧
97. Maka mereka tidak bisa mendakinya dan mereka tidak bisa (pula) melobanginya. (Q.S. al-Kahfi [18]: 97). Sebab, setiap orang yang mengungguli atau menaiki sesuatu itu disebut ‘zhahran’. Justru itu kendaraan yang dinaiki disebut ‘zhahr’ (punggung/ diatas) karena si penunggangnya itu berada diatasnya. Begitu juga halnya seorang istri adalah punggung suami, karena suaminya itu berada diatasnya sebagai pemilik alat kelamin. Jadi, seolah-olah perempuan itu kendaraan yang dinaiki.[2]

            Dalam artian terminologis ditemukan beberapa rumusan dalam kitab fiqh, yaitu:
            Al- Mahalli dalam Syarh Minhaj al-Thalibin mendefinisikan sebagai berikut:
تشبيه الزوج زوجته بمحرمه
Suami menyamakan istrinya dengan mahramnya.[3]
            Wahbah Al-Zuhaili dalam Fiqh Islam Wa Adillatuhu mendefinisikan sebagai berikut:
أن تشبيه الرجل زوجته بإمرأة محرمة عليه على التأبيد أو بجزء منها يحرم عليه النظر إليه كالظهر و البطن و الفخذ, كان يقول لها: انت علي كظهر أمي أو أختي
Seorang laki-laki menyamakan istrinya dengan perempuan yang haram untuk dia nikahi selamanya. Atau diharamkan dari si perempuan apa yang haram baginya seperti memandang punggung dan perut dan paha. Misalnya si suami berkarta kepada si istri: “Bagiku kamu bagaikan ibuku atau saudara perempuanku”.[4]
            Muhammad bin Ahmad al-Qurtubhy dalam al-Jami’ li Ahkam al-Qur’an mendefinisikan sebagai berikut:
تشبيه ظهر محلل بظهر محرم
“Menyerupai punggung yang halal dengan punggung yang haram”.[5]
            Samsuddin Muhammad bin al-Khatib asy-Syarbany dalam Mughnil Muhtaj ila Ma’rifati Ma’ani Alfadz al-Minhaj mendefinisikan sebagai berikut:
تشبيه زوجة غير البائن بأنث لم تكن حلا علي ما يأتي بيانه
“Suami menyerupakan istrinya yang tidak tertalak ba’in dengan seorang perempuan yang tidak halal bagi suami”. [6]
            Dalam definisi tersebut terdapat empat kata kunci yang menjelaskan hakikat dari zhihar sebagai berikut:
            Pertama: kata “menyamakan” (tasybih) yang mengandung arti zhihar itu merupakan tindakan seseorang untuk menyamakan atau menganggap sama, meskipun yang di angggap sama itu menurut hakikatnya adalah berbeda
            Kedua: kata “suami” menjelaskan bahwa yang melakukan penyamaan atau yang menganggap sama itu adalah suami terhadap istrinya, bukan yang lain, seperti anak terhdap ayahnya atau yang lain.
            Ketiga: kata “istrinya” mengandung arti bahwa yang disamakan oleh suami itu adalah istrinya. Hal ini berarti bahwa bila yang disamakan oleh suami adalah anaknya, atau istri yang menyamakan suaminya makan bukan termasuk zhihar.
            Keempat: kata “mahramnya” atau orang yang haram dikawininya mengandung arti orang kepada siapa istri itu disamakannya adalah orang orang yang haram dikawininya.[7]

B.  Dasar Hukum

-          Q.S. al-Mujadalah [58]: 2-4
ٱلَّذِينَ يُظَٰهِرُونَ مِنكُم مِّن نِّسَآئِهِم مَّا هُنَّ أُمَّهَٰتِهِمۡۖ إِنۡ أُمَّهَٰتُهُمۡ إِلَّا ٱلَّٰٓـِٔي وَلَدۡنَهُمۡۚ وَإِنَّهُمۡ لَيَقُولُونَ مُنكَرٗا مِّنَ ٱلۡقَوۡلِ وَزُورٗاۚ وَإِنَّ ٱللَّهَ لَعَفُوٌّ غَفُورٞ ٢ وَٱلَّذِينَ يُظَٰهِرُونَ مِن نِّسَآئِهِمۡ ثُمَّ يَعُودُونَ لِمَا قَالُواْ فَتَحۡرِيرُ رَقَبَةٖ مِّن قَبۡلِ أَن يَتَمَآسَّاۚ ذَٰلِكُمۡ تُوعَظُونَ بِهِۦۚ وَٱللَّهُ بِمَا تَعۡمَلُونَ خَبِيرٞ ٣ فَمَن لَّمۡ يَجِدۡ فَصِيَامُ شَهۡرَيۡنِ مُتَتَابِعَيۡنِ مِن قَبۡلِ أَن يَتَمَآسَّاۖ فَمَن لَّمۡ يَسۡتَطِعۡ فَإِطۡعَامُ سِتِّينَ مِسۡكِينٗاۚ ذَٰلِكَ لِتُؤۡمِنُواْ بِٱللَّهِ وَرَسُولِهِۦۚ وَتِلۡكَ حُدُودُ ٱللَّهِۗ وَلِلۡكَٰفِرِينَ عَذَابٌ أَلِيمٌ ٤
2. Orang-orang yang menzhihar isterinya di antara kamu, (menganggap isterinya sebagai ibunya, padahal) tiadalah isteri mereka itu ibu mereka. Ibu-ibu mereka tidak lain hanyalah wanita yang melahirkan mereka. Dan sesungguhnya mereka sungguh-sungguh mengucapkan suatu perkataan mungkar dan dusta. Dan sesungguhnya Allah Maha Pemaaf lagi Maha Pengampun
3. Orang-orang yang menzhihar isteri mereka, kemudian mereka hendak menarik kembali apa yang mereka ucapkan, maka (wajib atasnya) memerdekakan seorang budak sebelum kedua suami isteri itu bercampur. Demikianlah yang diajarkan kepada kamu, dan Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan
4. Barangsiapa yang tidak mendapatkan (budak), maka (wajib atasnya) berpuasa dua bulan berturut-turut sebelum keduanya bercampur. Maka siapa yang tidak kuasa (wajiblah atasnya) memberi makan enam puluh orang miskin. Demikianlah supaya kamu beriman kepada Allah dan Rasul-Nya. Dan itulah hukum-hukum Allah, dan bagi orang kafir ada siksaan yang sangat pedih.
-        Hadis
عَنْ سَلَمَةَ بْنِ صَخْرٍ قَالَ { : كُنْتُ امْرَأً قَدْ أُوتِيتُ مِنْ جِمَاعِ النِّسَاءِ مَا لَمْ يُؤْتَ غَيْرِي فَلَمَّا دَخَلَ رَمَضَانُ ظَاهَرْتُ مِنْ امْرَأَتِي حَتَّى يَنْسَلِخَ رَمَضَانُ فَرَقًا مِنْ أَنْ أُصِيبَ فِي لَيْلَتِي شَيْئًا فَأَتَتَايَعَ فِي ذَلِكَ إلَى أَنْ يُدْرِكَنِي النَّهَارُ وَأَنَا لَا أَقْدِرُ أَنْ أَنْزِعَ فَبَيْنَا هِيَ تَخْدُمُنِي مِنْ اللَّيْلِ إذْ تَكَشَّفَ إلَيَّ مِنْهَا شَيْءٌ فَوَثَبْتُ عَلَيْهَا فَلَمَّا أَصْبَحْتُ غَدَوْت عَلَى قَوْمِي فَأَخْبَرْتُهُمْ خَبَرِي وَقُلْت لَهُمْ : انْطَلِقُوا مَعِي إلَى رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَأُخْبِرَهُ بِأَمْرِي فَقَالُوا : وَاَللَّهِ لَا نَفْعَلُ نَتَخَوَّفُ أَنْ يَنْزِلَ فِينَا قُرْآنٌ أَوْ يَقُولَ فِينَا رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَقَالَةً يَبْقَى عَلَيْنَا عَارُهَا وَلَكِنْ اذْهَبْ أَنْتَ وَاصْنَعْ مَا بَدَا لَكَ فَخَرَجْتُ حَتَّى أَتَيْتُ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَأَخْبَرْتُهُ خَبَرِي فَقَالَ لِي : أَنْتَ بِذَاكَ فَقُلْت : أَنَا بِذَاكَ فَقَالَ : أَنْتَ بِذَاكَ قُلْت : أَنَا بِذَاكَ فَقَالَ : أَنْتَ بِذَاكَ قُلْت : نَعَمْ هَا أَنَا ذَا فَامْضِ فِي حُكْمِ اللَّهِ عَزَّ وَجَلَّ فَأَنَا صَابِرٌ لَهُ قَالَ : أَعْتِقْ رَقَبَةً فَضَرَبْتُ صَفْحَةَ رَقَبَتِي بِيَدِي وَقُلْت : لَا وَاَلَّذِي بَعَثَكَ بِالْحَقِّ مَا أَصْبَحْتُ أَمْلِكُ غَيْرَهَا قَالَ : فَصُمْ شَهْرَيْنِ مُتَتَابِعَيْنِ قَالَ : قُلْت : يَا رَسُولَ اللَّهِ وَهَلْ أَصَابَنِي مَا أَصَابَنِي إلَّا فِي الصَّوْمِ قَالَ : فَتَصَدَّقْ قَالَ : قُلْت : وَاَلَّذِي بَعَثَكَ بِالْحَقِّ لَقَدْ بِتْنَا لَيْلَتَنَا وَحْشًا مَا لَنَا عَشَاءٌ قَالَ : اذْهَبْ إلَى صَاحِبِ صَدَقَةِ بَنِي زُرَيْقٍ فَقُلْ لَهُ فَلْيَدْفَعْهَا إلَيْكَ فَأَطْعِمْ عَنْكَ مِنْهَا وَسْقًا مِنْ تَمْرٍ سِتِّينَ مِسْكِينًا ثُمَّ اسْتَعِنْ بِسَائِرِهِ عَلَيْكَ وَعَلَى عِيَالِكَ قَالَ : فَرَجَعْتُ إلَى قَوْمِي فَقُلْت : وَجَدْتُ عِنْدَكُمْ الضِّيقَ وَسُوءَ الرَّأْيِ وَوَجَدْتُ عِنْدَ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ السَّعَةَ وَالْبَرَكَةَ وَقَدْ أَمَرَ لِي بِصَدَقَتِكُمْ فَادْفَعُوهَا إلَيَّ . قَالَ : فَدَفَعُوهَا إلَيْهِ } . رَوَاهُ أَحْمَدُ وَأَبُو دَاوُد وَالتِّرْمِذِيّ

Dari Salamah bin Shakhr, ia berkata: “Aku adalah laki-laki yang dianugerahi kemampuan menggauli wanita yang tidak dianugerahkan kepada orang selainku. Ketika tiba bulan Ramadhan aku menzhihar istriku, hingga ketika telah berlalu Ramadhan aku khawatir akan melakukan sesuatu, maka aku berusaha menahan diri hingga siang hari, namun aku tidak kuasa menahan diri. Ketika suatu malam ia melayaniku, tiba-tiba kainnya tersingkap, maka aku pun memeluknya. Pagi harinya, aku menemui kaumku, lalu aku sampakan kepada mereka perihalku, aku katakan kepada mereka: “temanilah aku menemui Rasulullah SAW untuk menyampaikan kepadanya tentang perkaraku ini” namun mereka mengatakan: “Demi Allah kami tidak akan melakukannya, kami khawatir akan turun ayat Al-Qur’an mengenai kami, atau Rasulullah SAW akan mengatakan sesuatu kepada kami, sehingga ada cela pada kami, engkau berangkat sendiri saja, dan lakukan yang engkau perlu engkau lakukan” maka aku pun pergi hingga bertemu dengan Nabi SAW, aku memberitahu beliau tentang perkaraku. Beliau bertanya kepadaku: “Engkau melakukan itu?” aku jawab: “Ya, aku melakukannya”. Beliau bertanya lagi: “Engkau melakukan itu?” aku jawab: “Ya, aku melakukannya”. Beliau bertanya lagi: “Engkau melakukan itu?” aku jawab: “Ya, begitulah aku melakukannya. Maka tetapkanlah ketentuan Allah terhadapku. Aku akan bersabar”. Beliau bersabda: “merdekakanlah seorang budak”. Aku langsung menepuk lutut dengan kedua tangan sambil mengatakan: “Tidak demi Dzat yang mengutusmu dengan kebenaran. Aku tidak memiliki selainnya”. Beliau berkata lagi: “berpuasalah dua bulan berturut-turut”. Aku berkata: “Wahai Rasulullah , apakah karena yang telah aku lakukan itu tidak ada yang lainnya kecuali berpuasa?” beliau berkata: “Bershaqahlah” aku berkata lagi: “Demi Dzat yang telah mengutusmu dengan kebenaran. Sungguh kami tidur pada malam hari disertai dengan rasa lapar karena kami tidak mempunyai makanan”. Beliau berkata lagi: “Berangkatlah engkau kepada pemegang shadaqah Bani Zuraiq, katakan kepadanya agar membayarnya kepadamu, lalu berilah makan atas namamu sebanyak satu wasaq (60 sha’) kurma keapda enam puluh orang miskin, kemudian sisanya engkau gunakann untuk keperluan dirimu dan keluargamu”. Setelah itu aku kembali kepada kaumku, lalu aku katakan: “Aku dapati pada kalian kesempitan dan pandangan yang buruk, sementara pada Rasulullah SAW aku dapatkan kelapangan dan keberkahan. Beliau telah memerintahkan kepadaku agar mengambil shadaqah kalian, maka bayarlah kepadaku”. Lalu mereka membayarkannya kepadaku. (H.R. Abu Dawud [2213][8], dan Tirmidzi [1198][9])[10]

عَنْ خُوَيْلَةَ بِنْتِ مَالِكِ بْنِ ثَعْلَبَةَ قَالَتْ ظَاهَرَ مِنِّي زَوْجِي أَوْسُ بْنُ الصَّامِتِ فَجِئْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَشْكُو إِلَيْهِ وَرَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يُجَادِلُنِي فِيهِ وَيَقُولُ اتَّقِي اللَّهَ فَإِنَّهُ ابْنُ عَمِّكِ فَمَا بَرِحْتُ حَتَّى نَزَلَ الْقُرْآنُ { قَدْ سَمِعَ اللَّهُ قَوْلَ الَّتِي تُجَادِلُكَ فِي زَوْجِهَا } إِلَى الْفَرْضِ فَقَالَ يُعْتِقُ رَقَبَةً قَالَتْ لَا يَجِدُ قَالَ فَيَصُومُ شَهْرَيْنِ مُتَتَابِعَيْنِ قَالَتْ يَا رَسُولَ اللَّهِ إِنَّهُ شَيْخٌ كَبِيرٌ مَا بِهِ مِنْ صِيَامٍ قَالَ فَلْيُطْعِمْ سِتِّينَ مِسْكِينًا قَالَتْ مَا عِنْدَهُ مِنْ شَيْءٍ يَتَصَدَّقُ بِهِ قَالَتْ فَأُتِيَ سَاعَتَئِذٍ بِعَرَقٍ مِنْ تَمْرٍ قُلْتُ يَا رَسُولَ اللَّهِ فَإِنِّي أُعِينُهُ بِعَرَقٍ آخَرَ قَالَ قَدْ أَحْسَنْتِ اذْهَبِي فَأَطْعِمِي بِهَا عَنْهُ سِتِّينَ مِسْكِينًا وَارْجِعِي إِلَى ابْنِ عَمِّكِ قَالَ وَالْعَرَقُ سِتُّونَ صَاعًا (رواه ابو داود )
Dari Khuwailah binti Malik bin Tsa'labah, ia berkata; suamiku yaitu Aus bin Ash Shamit menzhiharku, kemudian aku datang kepada Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam mengadukannya kepada beliau, sementara Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam berdialog denganku mengenainya, beliau berkata: "Bertakwalah kepada Allah, ia adalah anak pamanmu!" Tidaklah aku beranjak pergi hingga turun Al Qur'an: "Sesungguhnya Allah telah mendengar perkataan wanita yang mengajukan gugatan kepada kamu tentang suaminya, dan mengadukan (halnya) kepada Allah. Dan Allah mendengar soal jawab antara kamu berdua. Sesungguhnya Allah Maha Mendengar lagi Maha Melihat" hingga penyebutan kewajiban yang Allah wajibkan. Kemudian beliau berkata: "Ia bebaskan seorang budak." Khuwailah berkata; ia tidak memilikinya. Beliau berkata; ia berpuasa dua bulan berturut-turut. Khuwailah berkata; wahai rasulullah, sesungguhnya ia adalah orang yang tua renta, ia tidak mampu untuk berpuasa. Beliau berkata: "Hendaknya ia memberi makan enam orang miskin." Khuwailah berkata; ia tidak memiliki sesuatu yang dapat ia sedekahkan. Khuwailah berkata; kemudian pada saat itu ia diberi satu 'araq kurma. Aku katakan; wahai Rasulullah, aku akan membantunya dengan satu 'araq yang lainnya. Beliau bersabda: "Engkau telah berbuat baik, pergilah dan berilah makan untuknya enam puluh orang miskin dan kembalilah kepada anak pamanmu." Ma'mar bin Abdullah bin Hanzhalah berkata; 'Araq adalah enam puluh sha'. (H.R. Abu Dawud [2214][11]).[12]
عَنْ عِكْرِمَةَ أَنَّ رَجُلًا ظَاهَرَ مِنْ امْرَأَتِهِ ثُمَّ وَاقَعَهَا قَبْلَ أَنَّ يُكَفِّرَ فَأَتَى النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَأَخْبَرَهُ فَقَالَ مَا حَمَلَكَ عَلَى مَا صَنَعْتَ قَالَ رَأَيْتُ بَيَاضَ سَاقِهَا فِي الْقَمَرِ قَالَ فَاعْتَزِلْهَا حَتَّى تُكَفِّرَ عَنْكَ (و ابو داود و الترمذ و النسائي)
Dari Ikrimah bahwa seorang laki-laki telah menzhihar isterinya kemudian ia menggaulinya sebelum membayar kafarat. Kemudian ia datang kepada Nabi shallallahu 'alaihi wasallam dan mengabarkan hal tersebut kepadanya. Lalu beliau berkata: "Apa yang mendorongmu untuk melakukan apa yang telah engkau perbuat?" Ia berkata; aku melihat putih betisnya dalam cahaya rembulan. Beliau berkata: "Jauhi dia hingga engkau membayar kafarah." (H.R. Abu Dawud [2221][13], al-Tirmidzi [1191][14], al-Nasa’i [5623][15]).
C.    Hikmah Zhihar
Islam mensyariatkan pernikahan sebagai ikatan untuk selama-lamanya yang tidak dibatasi oleh waktu, tidak dapat diputuskan oleh orang yang suka mencari kelezatan, atau oleh perbuatan halal yang teramat dibenci oleh Allah (Alias Talak). Dengan pernikahan, semua yang ada pada perempuan menjadi halal bagi seorang lelaki, tetapi dalam batas-batas yang telah ditentukan Allah. Maka, jika ada seseorang datang hendak merombak apa yang telah dihalalkan Allah. Sehingga yang halal itu menjadi haram, bererti dia telah berbuat dosa besar dan melanggar ketentuan-ketentuan Allah. Justru itu, ia akan dihukum dengan berat sekali.[16]
Dalam masalah dzihar ada dua hikmah yang terkandung:
1.      Hikmah sebagai Hukuman, yaitu karena dia mewajibkan atas dirinya suatu yang tidak berlaku pada orang lain, dan membawa kepada dosa dari peninggalan kaum jahiliyyah tanpa ada ketentuan hukum yang mewajibkannya.

2.      Hikmah Kafarat (denda), Akibat melakukan zhihar ia dikenakan hukuman kafarat yang di dalamnya terkandung faidah yang besar sekali bagi masyarakat, yaitu berupa pembebasan hamba sahaya. Dan, ini merupakan salah satu cara pembebasan perhambaan itu. Jika biaya untuk membeli seorang hamba itu tidak terjangkau, maka dia diharuskan puasa dua bulan berturut-turut. Sedangkan, puasa ini adalah tempat latihan moral yang paling baik. Dengan berpuasa, jiwa bisa terdidik dan kebengkokan bisa diluruskan kembali. Ini berlaku apabila orang tersebut sehat wal afiat. Akan tetapi, Allah SWT. Tidak akan memberi beban seseorang kecuali menurut kemampuannya. Oleh karena itu, orang yang sedang sakit dan tidak bisa berpuasa, dialihkan dengan memberi makan 60 orang miskin. Begitulah, masalah kafarat ini situasinya bisa beralih antara kepentingan pribadi dan kepentingan sosial.
      Hikmah yang dimaksud dari semua ini adalah untuk mengingatkan dan mendidik agar jangan melakukan zhihar lagi juga agar suami tidak begitu mudah bermain-main dengan urusan perkawinan dan tidak menyakiti istri dengan tindakan yang dapat merusak kehidupan rumah tangga dan hubungan dalam keluarga. Disamping itu, untuk menentang kebiasaan kaum jahiliyyah yang mereka itu mendzihar istri-istri mereka secara terus menerus. Islam datang dengan membawa rahmat dan kasih sayang, maka pikirkanlah betapa Hikmah Allah yang Maha Tinggi.[17]
D.    Rukun dan Syarat Zhihar
            Zhihar itu merupakan suatu tindakan yang dikenai hukum yang tidak enteng, yaitu kaffarah. Untuk itu diperlukan kriteria yang tajam untuk memisahkan suatu perbuatan dinamai zhihar atau bukan. Untuk dapatnya unsur tersebut ditempatkan sebagai rukun yang harus terpenuhi, kesemuanya diramu oleh dari hasil pemahamannya terhadap dalil hukum yang berkenaan dengan zhihar.
            Menurut mazhab Hanafi, rukun zhihar adalah lafal yang menunjukkan zhihar. Asal zhihar adalah ucapan seorang suami kepada istrinya, “kamu bagiku seperti punggung ibuku” dan dimasukkan juga kedalam ucapan zhihar ucapannya: “Kamu bagiku seperti perut ibuku, paha ibuku atau vagina ibuku”.
            Jumhur Fuqaha selain mazhab Hanafi berpendapat, zhihar memiliki 4 rukun, yaitu lelaki yang mengucapkan zhihar, istri yang dizhihar, lafal atau ucapan dan perkara yang diserupakan.[18] Adapun syarat-syaratnya sebagai berikut:
  1. Suami yang mengucapkan zhihar (munzahir)
Adapun yang menjadi syarat suami yang men-zhihar sama dengan yang dipersyaratkan bagi suami yang menceraikan istrinya dalam bentuk thalaq, yaitu berakal telah baligh dan berbuat dengan kehendak sendiri. Ini adalah persyaratan umum yang ditetapkan oleh jumhur ulama.
  1. Perempuan yang diucapkan zhihar oleh suaminya (muzhahar minhu)
Adapun syarat utama yang disepakati ulama untuk perempuan yang di zhihar itu adalah dia istri yang terikat dalam tali pernikahan dengan laki-laki yang menzhiharnya.[19]
Menurut mazhab Hanafi zhihar disandarkan kepada badan si isrtri, atau salah satu anggota tubuh istri yang mewakili semua tubuhnya, atau bagian yang luas dari si istri.[20]
  1. Perkara yang diserupakan (muzhahar atau musyabbah bih)
Dari rumusan zhihar yang tampak dalam definisi dapat dipahami bahwa syarat utama bagi perempuan yang disamakan dengan istri itu adalah ibu dari suami. Alasan dari keharaman zhihar itu adalah mengharamkan istrinya untuk digauli sebagaimana haramnya menggauli perempuan yang secara hukum haram dikawininya.[21]
Mazhab Hanafi berpendapat, syarat perkara yang diserupakan yaitu: Dia adalah perempuan yang haram dia nikahi selama-lamanya, perkara yang diserupakan adalah anggota tubuh yang tidak boleh dipandangi, perkara yang diserupakan dari jenis kelamin perempuan.
Mazhab Maliki berpendapat bahwa perkara yang diserupakan adalah manusia yang diharamkan baginya untuk dia setubuhi secara asli, baik laki-laki ataupun perempuan, atau yang lainnya, seperti binatang.
Mazhab Syafi’I menilai bahwa perkara yang diserupakan hanyalah orang yang haram disetubuhi untuk selama-lamanya.
Mazhab Hambali berpendapat bahwa perkara yang diserupakan yaitu: Semua perempuan yang haram baginya untuk selama-lamanya, semua perempuan yang diharamkannya untuk sementara, semua orang laki-laki yang haram baginya, atau binatang, atau orang mati, dan yang sejenis mereka.[22]
  1. Ucapan zhihar
Ucapan zhihar yang telah di sepakati oleh ulama sebagai ucapan zhihar adalah “engkau dalam pandanganku adalah seperti punggung ibuku” terdapat didialamnya kata punggung dan kata ibu.[23]
E.     Pelaksanaan dan Hukum Zhihar
            Pelaksanaan zihar sedikit telah di singgung diatas, sebagaimana dicontohkan kepada seorang sahabat yang bernama Aus bin Shamit yang pernah menzhihar istrinya. Mayoritas ulama berpendapat bahwa zhihar hanya di khususkan pada ibu, sebagaimana yang telah di jelaskan dalam Alquran dan As sunnah dan sedikit telah di bahas diatas, Apabila si suami berkata kepada istrinya “bagiku kamu seperti punggung ibuku” berarti dia telah melakukan zhihar.
            Ulama sudah sepakat menyatakan bahwa hukum zhihar itu adalah haram. Dan tidak boleh dipergunakan sebab zhihar itu suatu kedustaan, dosa dan mengada-ada. Ia jauh berbeda dengan talak. Talak memang dibenarkan, dan zhihar ini terlarang. Jadi kalau ada seseorang mengatakan zhihar kepada istrinya berarti dia melakukan perbuatan haram dan harus membayar kafarat.[24] Yang menjadi haram itu dapat dilihat dari dua segi:
1.      Kebencian dan celaan Allah terhadap orang yang menyamakan istrinya dengan ibunya yang terdapat didalam suat al-Muajadilah ayat 2.
2.      Dari segi sanksi dan ancaman Allah dengan memberatkan kaffarah terhadap pelakunya yang melanggar apa yang dilakukannya itu. Sebagaimana firman Allah dalam surat al-Mujadilah ayat 3.[25]
            Dua dampak bagi zhihar yang berikut ini:
1.      Pengharaman persetubuhan sebelum dibayar kafarat menurut kesepakatan fuqaha, begitu juga menurut jumhur fuqaha yang selain mazhab Syafi’i, yaitu pengharaman semua jenis percumbuan yang selain persetubuhan, seperti elusan, ciuman, pandangan dengan nafsu pada anggota yang selain wajahnya, kedua telapak tangannya, kedua kakinya, dan semua badannya, serta kecantikannya, serta melakukan cumbuan pada yang selain vagina, berdasarkan firman Allah SWT dalam surat al-Mujadilah: 3.
            Sebagian  ulama di antaranya Abu bakar, al-Zuhriy, Imam Malik, al-Awzai, Abu Ubit dan kalangan ahlu ra’yu (golongan Hanafiyah) dan satu pendapat dari al-Syafi’iy berpendapat bahwa bergaul di luar jimak dan mendapatkan kenikmatan daripadanya, diharamkan selama belum membayar kaffarah. Alasannya ialah ucapan yang mengharamkan hubungan kelamin juga menjangkau kepada yang berdekatan dengan itu.[26]
            Pengharaman terus berlanjut sampai dia membayar kafarat zhihar karena perbuatan zhiharnya ini adalah sebuah tindakan kejahatan. Zhihar ini adalah ucapan yang mungkar dan menyimpang maka sesuai dengan kiasan kejahatan yang membuat haram, dan yang dapat diangkat dengan kafarat. Jika seorang suami yang melakukan zhihar menyetubuhi istrinya sebelum dia lakukan kafarat, maka dia meminta ampunan kepada Allah akibat perbuatan dosanya ini. Dia tidak dikenakan hukuman apa-apa selain kafarat. Dan dia tidak cambui kembali istrinya sampai dia laksanakan kafarat. Berdasarkan sabda Rasulullah saw kepada orang yang menyetubuhi istrinya sebelum dia laksanakan kafarat,
فَلاَ تَقْرَ بُهَا حَتَّى تَفْعَلَ مَا أَمَرَكَ الله
“Jangan kamu dekati dia sampai kamu lakukan apa yang diperintahkan oleh Allah kepadamu”
           Dalam satu riwayat dikatakan,
فَا عْتَزٍلْهَا حَتَّى تُكَفِرَ
“maka jauhilah dia sampai kamu laksanakan kafarat,”
            Dari Salmah bin Shakhr dari Nabi saw mengenai orang yang melakukan zhihar yang menyetubuhi istrinya sebelum dia laksanakan kafarat, beliau bersabda,
كَفَّارَةٌ وَاحِدَةٌ.
“satu kafarat”
            Kemudian tekad untuk menyetubuhi yang membuat suami wajib melaksanakan kafarat dalam firman Allah SWT, kemudian mereka hendak menarik kembali apa yang mereka ucapkan.” Maksudnya orang yang melakukan zhihar bertekad untuk menyetubuhi istri yang dia zhihar. Dia harus melaksanakan kafarat jika dia bermaksud menyetubuihnya setelah zhihar. Jika dia merasa ridha istrinya menjadi haram untuknya, dan dia tidak bertekad untuk menyetubuihnya maka dia tidak wajib melaksanakan kafarat dan dia dipaksa untuk melaksanakan kafarat sebagai upaya menghilankan kemudharatan darinya.
            Mazhab Syafi’i berpendapat, dengan zhihar diharamkan persetubuhan saja tanpa pendahuluannya dan motivasinya, sampai orang yang melakukan zhihar melaksanakan kafarat oleh pengharaman seperti menyetubuhi orang yang tengah haid.[27]
            Sebagian ulama yang lain di antaranya Imam Abu Hanifah al-Tsawriy, Ishaq dan pendapat kedua dari al-Syafi’iy berpendapat bahwa yang diharamkan adalah hubungan kelamin dan selain dari itu tidak haram, karena kata al-massu dalam ayat berarti hubungan kelamin dan tidak menjangkau kepada yang lainnya.[28]
2.      Si istri berhak meminta si suami yang melakukan zhihar untuk menyetubuihnya karena haknya terkait dengan persetubuhan. Si istri harus mencegah si suami untuk mencumbuinya sampai dia melaksanakan kafarat zhihar. Si qadhi juga harus mewajibkannya melaksanakan kafarat untuk mencegah kemudharatan dari si istri dan mewajibkan si suami adalah dengan cara menahannya, atau memukulnya, sampai dia melaksanakan kafarat atau menjatuhkan talak. Jika si suami mengklaim bahwa dia telah melaksanakan kafarat zhiharnya, maka klaimnya ini dipercaya selama dia tidak dikenal sebagai seorang pendusta.[29]
F.      Kewajiban Kafarat Zhihar
      Kafarat adalah kewajiban agama yang dipikulkan kepada seseorang sebagai resiko atas kesalahan dan pelanggran yang dilakukannnya. Karena zhihar dianggap agama sebagai suatu pelanggaran, maka kepada pelaku diwajibkan kafarat. Adanya kewajiban kafarat zhihar ini didasarkan kepada firman Allah pada surah al Mujadalih [58].[30]
      Menurut yang tersurat dalam ayat tersebut, kafarat zhihar yaitu: memerdekakan hamba sahaya. Jika tidak mampu diganti dengan puasa dua bulan berturut-turut. Dan jika tidak mampu, maka diganti dengan memberi makan enam puluh orang miskin.
      Yang perlu dijelaskan disini ialah pendapat para ulama tentang sifat kafarat tersebut masing-masing.
  1. Memerdekakan hamba sahaya.
Menurut eksplisit ayat tersebut, hamba sahaya disini adalah mutlak,yakni semua jenis hamba, sekalipun kafir.
Menurut ulama Hanafiyah, kafarat itu dapat dilakukan dengan memerdekakan hamba sahaya baik kafir maupun yng beriman, pria maupun wanita, tua maupun muda, bahkan yang masih menyusupun boleh. Karena sebutan “hamba” meliputi semuanya itu.
Menurut ulama mazhab Syafi’I dan Maliki, bahwa dipersyartan hamba yang beriman.jadi, Selain hamba yang beriman tidak sah untuk kafarat. Alasannya, karena dalam ayat qatl (ayat yang membicarakan soal pembunuhan yang disitu disebutkan adanya pembayaran diyat/kafarat) disebutkan “haruslah memerdekakan seorang hamba yang beriman (QS. An-Nisa [4]: 92)”, dalam ilmu ushul fiqih disebutkan, “yang mutlak itu dibawa pada arti yang muqayyad (terbatas). Antara kedua ayat tersebut (kafarat zhihar dan kafarat pembunuhan) dikompromikan dalam hal sama-sama tidak diperkenankan yang disebabkan oleh perbuatannya itu.
Namun menurut mazhab Hanafi, redaksi yang mutlak tidak lantas diinterpretasikan sebagai redaksi yang dibattasi, kecuali maslnya atau kasusnya sama. Sebab, hal tersebut akan melahirkan konsekuensi logis yang mengarah pada satu masalah yang mewujud dalam bentuk mutlak dan terbatasi. Puasa untuk membayar kafarat sumpah, misalnya, menurut bacaan yang msyur puasa tersebut mutlak, dan hrus dilksanakan berturut-turut menurut bacaan yang juga masyhur.
  1. Puasa dua bulan berturut-turut
      Puasa dua bulan berturut-turut ini diwajibkan bagi orang yang tidak mampu memerdekakan hamba sahaya. Hitungannya berdasarkan perhitungan hilal (bulan), tanpa dibedakan apakah bulan itu genap atau ganjil (29hari atau 30 hari). Tetapi, kalau ia berpuasa tanpa hitungan bulan maka dia harus berpuas selama 60 hari, demikian menurut pendapat ulama Hanafiyah.
Namun menurut ulama –ulama Syafi’iyah dan Malikiyah, ia harus berpuasa sampai datangnya hilal brau, kemudian berpuasa sebulan penuh berdasar perhitungan hilal, sedang yang pertama tadi disempurnakan dengan hitungan (misalnya yang pertama tadi berpuasa dipertengahan bulan maka harus digenapkan sampai 30 hari).
  1. Memberi makan 60 orang miskin.
Bagi orang yang tidak mampu melaksanakan puasa dua bulan berturut-turut sejak awal, atau tidak mampu itu dipertengahan, karena usia lanjut atau karena sakit yang kronis atau ada larangan puasa dari dokter, maka dia harus memberi makan 60 orang miskin. Sementara tentang ukurannya ,para ulama berbeda pendapat:
Abu hayyan berpendapat, bahwa eksplisit ayat mengindikasikan bentuk makanan itu adalah mutlak, tetapi kemudia bisa di takhishkan dengan maknan yang menjadi kebiasaaan saat turunnya ayat tersebut ,yait umakanan mengenyangkan,tanpa dibatasi dengan mud.
Imam malik dan Asy Syafi’I berpendapat, makanan yang kurang dari 60 orang, tidaklah cukup sebagai pembayar kafarat.
Sedangkan Abu Hanifah mengatakan, seandainya orang tersebut memberi makan setiap hari kepada seorang miskin sebanyak setengah sha’ (1,35kg) sampai mencapai jumlah 60 hari, maka yang demikian itu dipandang cukup.[31]


BAB III
PENUTUP

A.    Kesimpulan

-          Zhihar secara bahasa diambil dari Bahasa Arab yang berarti punggung. Secara istilah zhihar adalah seorang suami menyerupai istrinya dengan ibunya dengan ucapan “Engkau bagiku seperti punggung ibuku”.
-          Dasar hukum zhihar adalah Q.S al-Mujadilah [58]: 2-4 dan Hadis Nabi tentang cerita Salamah bin Sakhr dan Aus bin Shamit.
-          Hikmah zhihar yaitu untuk mengingatkan dan mendidik agar jangan melakukan zhihar lagi juga agar suami tidak begitu mudah bermain-main dengan urusan perkawinan dan tidak menyakiti istri dengan tindakan yang dapat merusak kehidupan rumah tangga dan hubungan dalam keluarga. Disamping itu, untuk menentang kebiasaan kaum jahiliyyah yang mereka itu mendzihar istri-istri mereka secara terus menerus.
-          Zhihar memiliki 4 rukun, yaitu lelaki yang mengucapkan zhihar, istri yang dizhihar, lafal atau ucapan dan perkara yang diserupakan.
-          Hukum zhihar adala haram dan berakibat hukum kepada haramnya berhubungan intim dengan istri dan wajibnya membayar kafarat zhihar.
-          Kafarat zhihar yaitu: memerdekakan hamba sahaya. Jika tidak mampu, maka diganti dengan puasa dua bulan berturut – turut. Dan jika tidak mampu, maka diganti dengan memberi makan enam puluh orang miskin.



DAFTAR PUSTAKA

Abadi, Muhammad Samsul Haqq al-‘Azhim. 2009. ‘Awn al-Ma’bud Syarh Sunan Abi Dawud. Beirut: Dar al-Kotob al-Ilmiyah.
Abdurrahman, Abu al-‘Ula Muhammad. 2001. Tuhfah al-Ahwazi Syarh Jami’ al-  Tirmidi. Kairo: Dar el-Hadith.
Amsar, Muhammad Muhajirin. 2014. Mishbah adz-Dzalam fi Syarh Bulughul        Maram min Adillah al-Ahkam. Jakarta: Dar al-Hadith.
Asqalany, Al, Syihabuddin bin Ahmad bin ‘Aly bin Muhammad bin Hajr. 2012.    Fathul Baari syarh Shahih al-Bukhari. Beirut: Dar Al-Kotob Al-Ilmiyah.
Ghazi, Al, Muhammad bin Qasim. 2003. Fath al-Qarib al-Mujib. Jakarta: Dar al-  Kutub al-Islamiyah.
Ghozali, Abdul Rahman. 2012. Fiqh Munahakahat. Jakarta: Kencana.
Husyaini, Al, Taqiyuddin Abu Bakar bin Muhammad. 2004. Kifayah al-Akhyar fi Halli Ghayah al-Ikhtishar. Jakarta: Dar al-Kutub al-Islamiyah.
Jaziri, Al, Abdul Rahman. 2003. al-Fiqh ‘ala Madzahib al-Arba’ah. Beirut: Dar el-           Kotob al-Ilmiyah.
Katsir, Imaduddin Abul Fida Ismail bin al-Khatib Abu Hafs Umar bin. 2012. Tafsir          Qur’an al-‘Adzim. Beirut: Dar Al-Kotob Al-Ilmiyah.
Khalafi, Al, Abdul ‘Azhim bin Badawi. 2011. al-Wajiz fi Fiqh al-Sunnah wa al-    Kitab al-‘Aziz, Penerjemah Ma’ruf Abdul Jalil. Al-Wajiz. Jakarta: Pustaka          as-Sunnah.
Mahalli, Al, Jalaluddin. 2006. Hasyiataani Qalyubay Humairah. Beirut: Dar El     Fikr.
Nasa’i, Al, Abi Abdurrahman Ahmad bin Syua’ib. 2001. al-Sunan al-Kubra.         Beirut: Muassasah al-Risalah.
Qurthuby, Al, Muhammad bin Ahmad. 2010. al-Jami’ li Ahkam al-Qur’an. Kairo:            Dar el-Hadith.
Rusyd, Abul Wahid Muhammad bin Ahmad bin Muhammad bin. 1995. Bidayah   al-Mujtahid. Kairo: Dar al-Salam.
Sabiq, Sayyid. 2009. Fiqh as-Sunnah. Kairo: Dar el-Hadith.
Shabuny, Al, Muhammad ‘Aly. 2016. Rawa’i’u al-Bayan Tafsiri Ayat al-Ahkam, Penerjemah: Ahmad Dzulfikar dkk. Depok: Keira Publishing.
Sijistani, Al, Abu Dawud. 2011. Sunan Abu Dawud. Beirut: Dar al-Kotob al-         Ilmiyah.
Syarbany, Al, Samsuddin Muhammad bin al-Khatib. 2012. Mughnil Muhtaj ila     Ma’rifati Ma’ani Alfadz al-Minhaj. Kairo: al-Quds.
Syarifuddin, Amir. 2014. Hukum Perkawinan Islam di Indonesia. Jakarta: Kencana.
Syawkany, Al, Muhammad bin ‘Aly. 2006. Nail al-Awthar. Tt: Dar Ibnu al-Jawzi.
Syawkany, Al, Muhammad bin ‘Aly. 2007. Fath al-Qadir. Kairo: Dar el-Hadith.
Tirmidzi, Al, Abi Isa Muhammad bin Isa. 1996. al-Jami’ al-Kabir. Beirut: Dar al- Gharbi al-Islamy
Zuhaili, Al, Wahbah. 1985. Fiqh Islam Wa Adillatuhu. Beirut: Dar El-Fikr.
Zuhaili, Al, Wahbah. 2011. Fiqh Islam wa Adillatuhu, Terjemah: Abdul Hayyie al-           Kattani, dkk. Jakarta: Gema Insani.


                [1] Sayyid Sabiq, Fiqh as-Sunnah, (Kairo: Dar el-Hadith, 2009), Jilid 2, hlm 200. Lihat Juga Abdul Rahman al-Jaziri, al-Fiqh ‘ala Madzahib al-Arba’ah, (Beirut: Dar el-Kotob al-Ilmiyah, 2003), Jilid 4, hlm 431. Lihat juga Syihabuddin bin Ahmad bin ‘Aly bin Muhammad bin Hajr al-Asqalany, Fathul Baari syarh Shahih al-Bukhari, (Beirut: Dar Al-Kotob Al-Ilmiyah, 2012), jilid 10, h. 370. Lihat juga Muhammad Muhajirin Amsar, Mishbah adz-Dzalam fi Syarh Bulughul Maram min Adillah al-Ahkam, (Jakarta: Dar al-Hadith, 2014), Jilid 3, hlm 266. Lihat juga Amir Syarifuddin, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia, (Jakarta: Kencana, 2014), hlm. 259
                [2] Muhammad ‘Aly al-Shabuny, Rawa’i’u al-Bayan Tafsiri Ayat al-Ahkam, Penerjemah: Ahmad Dzulfikar dkk, (Depok: Keira Publishing, 2016), Jilid 2, hlm. 574. Lihat Juga Taqiyuddin Abu Bakar bin Muhammad al-Husyaini, Kifayah al-Akhyar fi Halli Ghayah al-Ikhtishar, (Jakarta: Dar al-Kutub al-Islamiyah, 2004), Jilid 2, hlm 106.
                [3] Jalaluddin al-Mahalli, Hasyiataani Qalyubay Humairah, (Beirut: Dar El Fikr, 2006), Jilid 4, hlm. 15
                [4] Wahbah az-Zuhaili, Fiqh Islam Wa Adillatuhu, (Beirut: Dar El-Fikr, 1985), Jilid 7, hlm. 585
                [5] Muhammad bin Ahmad al-Qurthuby, al-Jami’ li Ahkam al-Qur’an, (Kairo: Dar el-Hadith, 2010), Jilid 9, hlm. 226.
                [6] Samsuddin Muhammad bin al-Khatib asy-Syarbany, Mughnil Muhtaj ila Ma’rifati Ma’ani Alfadz al-Minhaj, (Kairo: al-Quds, 2012), Jilid 5, hlm 639. Lihat juga Muhammad bin Qasim al-Ghazi, Fath al-Qarib al-Mujib, (Jakarta: Dar al-Kutub al-Islamiyah: 2003), hlm 64.
                [7] Amir Syarifuddin, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia, hlm. 260
                [8] Abu Dawud al-Sijistani, Sunan Abu Dawud, (Beirut: Dar al-Kotob al-Ilmiyah, 2011), jilid 2, hlm. 131. Lihat Juga Muhammad Samsul Haqq al-‘Azhim Abadi, ‘Awn al-Ma’bud Syarh Sunan Abi Dawud, (Beirut: Dar al-Kotob al-Ilmiyah, 2009), Jilid 6, hlm. 250.
       [9] Abi Isa Muhammad bin Isa at-Tirmidzi, al-Jami’ al-Kabir, (Beirut: Dar al-Gharbi al-Islamy, 1996), jilid 2, h. 488. Lihat juga Abu al-‘Ula Muhammad Abdurrahman, Tuhfah al-Ahwazi Syarh Jami’ al-Tirmidi, (Kairo: Dar el-Hadith, 2001), ,Jilid 4, hlm. 73.
       [10] Muhammad ‘Aly al-Syawkany, Nail al-Awthar, (Tt: Dar Ibnu al-Jawzi, 2016), Jilid 12, hlm. 480. Lihat juga Imaduddin Abul Fida Ismail bin al-Khatib Abu Hafs Umar bin Katsir, Tafsir Qur’an al-‘Adzim, (Beirut: Dar Al-Kotob Al-Ilmiyah, 2012), Jilid 4, hlm. 275. Lihat juga Abdul ‘Azhim bin Badawi al-Khalafi, al-Wajiz fi Fiqh al-Sunnah wa al-Kitab al-‘Aziz, Penerjemah Ma’ruf Abdul Jalil. Al-Wajiz, (Jakarta: Pustaka as-Sunnah, 2011). H. 625. Lihat juga Sayyid Sabiq, Fiqh al-Sunnah, hlm. 200.
                [11] Abu Dawud al-Sijistani, Sunan Abu Dawud.  jilid 2, hlm. 132. Lihat Juga Muhammad Samsul Haqq al-‘Azhim Abadi, ‘Awn al-Ma’bud Syarh Sunan Abi Dawud. Jilid 6, hlm. 252.
                [12] Abul Wahid Muhammad bin Ahmad bin Muhammad bin Rusyd, Bidayah al-Mujtahid, (Kairo: Dar al-Salam, 1995), hlm. 1501. Lihat Juga Muhammad bin ‘Aly al-Syawkany, Fath al-Qadir, (Kairo: Dar el-Hadith, 2007), Jilid 5, hlm. 219. Lihat juga Muhammad bin ‘Aly al-Syawkany, Nail al-Awthar, Jilid 12, hlm. 48. Lihat juga Imaduddin Abul Fida Ismail bin al-Khatib Abu Hafs Umar bin Katsir, Tafsir Qur’an al-‘Adzim, Jilid 4, hlm. 275. Lihat juga Abdul ‘Azhim bin Badawi al-Khalafi, al-Wajiz fi Fiqh al-Sunnah wa al-Kitab al-‘Aziz, Penerjemah Ma’ruf Abdul Jalil. Al-Wajiz, hlm. 623. Lihat juga Sayyid Sabiq, Fiqh al-Sunnah, hlm. 200. Lihat juga Abdul Rahman Ghozali, Fiqh Munahakahat, (Jakarta: Kencana, 2012), hlm. 230
                [13] Abu Dawud al-Sijistani, Sunan Abu Dawud. Jilid 2, hlm. 133. Lihat Juga Muhammad Samsul Haqq al-‘Azhim Abadi, ‘Awn al-Ma’bud Syarh Sunan Abi Dawud. Jilid 6, hlm. 255.
                [14] Abi Isa Muhammad bin Isa at-Tirmidzi, al-Jami’ al-Kabir, jilid 2, h. 488. Lihat juga Abu al-‘Ula Muhammad Abdurrahman, Tuhfah al-Ahwazi Syarh Jami’ al-Tirmidi, Jilid 4, hlm. 73.
                [15] Abi Abdurrahman Ahmad bin Syua’ib al-Nasa’i, al-Sunan al-Kubra, (Beirut: Muassasah al-Risalah, 2001), Jilid 5, hlm. 275
                [16] Muhammad ‘Aly al-Shabuny, Rawa’i’u al-Bayan Tafsiri Ayat al-Ahkam, Penerjemah: Ahmad Dzulfikar dkk, Jilid 2, hlm. 587
                [17] Abdul Rahman Ghozali, Fiqh Munakahat, hlm.234
                [18] Wahbah al-Zuhaili, Fiqh Islam wa Adillatuh, Terjemah: Abdul Hayyie al-Kattani, dkk, (Jakarta: Gema Insani, 2011), Jilid 9, hlm. 511
                [19] Amir Syarifuddin, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia, hlm. 262
                [20] Wahbah al-Zuhaili, Fiqh Islam wa Adillatuh, Terjemah: Abdul Hayyie al-Kattani, dkk, Jilid 9, hlm. 513
                [21] Amir Syarifuddin, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia, hlm. 26.
                [22] Wahbah al-Zuhaili, Fiqh Islam wa Adillatuh, Terjemah: Abdul Hayyie al-Kattani, dkk, Jilid 9, hlm. 515
                [23] Samsuddin Muhammad bin al-Khatib asy-Syarbany, Mughnil Muhtaj ila Ma’rifati Ma’ani Alfadz al-Minhaj, (Kairo: al-Quds, 2012), Jilid 5, hlm 642.
                [24] Muhammad ‘Aly al-Shabuny, Rawa’i’u al-Bayan Tafsiri Ayat al-Ahkam, Penerjemah: Ahmad Dzulfikar, Jilid 2, hlm. 574
                [25] Sayyid Sabiq, Fiqh al-Sunnah, Jilid 2, hlm. 200. Lihat juga Amir Syarifuddin, Hukum perkawinan Islam di Indonesia, hlm 261
                [26] Amir Syarifuddin, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia, hlm. 270
                [27] Wahbah al-Zuhaili, Fiqh Islam wa Adillatuh, Terjemah: Abdul Hayyie al-Kattani, dkk, Jilid 9, hlm. 520.
                [28] Amir Syarifuddin ,Hukum Perkawinan Islam di Indonesia, hlm. 270
                [29] Wahbah al-Zuhaili, Fiqh Islam wa Adillatuh, Terjemah: Abdul Hayyie al-Kattani, dkk, Jilid 9, hlm. 520. Lihat juga Sayyid Sabiq, Fiqh al-Sunnah, Jilid 2, hlm. 202. Lihat juga Muhammad ‘Aly al-Shabuny, Rawa’i’u al-Bayan Tafsiri Ayat al-Ahkam, Penerjemah: Ahmad Dzulfikar dkk, Jilid 2, hlm. 578.
                [30] Amir Syarifuddin ,Hukum Perkawinan Islam di Indonesia, hlm. 270
                [31] Muhammad ‘Aly al-Shabuny, Rawa’i’u al-Bayan Tafsiri Ayat al-Ahkam, Penerjemah: Ahmad Dzulfikar dkk, Jilid 2, hlm. 585. Lihat juga Sayyid Sabiq, Fiqh al-Sunnah, Jilid 2, hlm. 202.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar