BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar
Belakang
Perkawinan
merupakan sunnatullah yang telah diatur hukum hukumnya didalam syariat, suatu
perkawinan mempunyai satu tujuan yang mulia, yaitu untuk membuat suatu keluarga
yang bahagia, kekal dan harmonis sepanjang masa dalam membina rumah tangga yang
diharapkan oleh setiap pasangan suami istri.
Akan
tetapi seiring dengan berjalannya waktu didalam kehidupan rumah tangga ada
kalanya dibumbui dengan permasalahan serta perselisihan yang mana apabila
kehidupan rumah tangga tidak dapat dijalani dengan rasa kasih sayang antara
keduanya, rasa kasih sayang yang semakin hilang akan mengakibatkan kejenuhan
dalam keluarga
Tidak
sedikit dalam suatu rumah tangga yang menyelesaikan permasalahannya diakhiri
dengan sebuah perceraian yang dimulai dengan perkataan talak dari suami, pada
zaman jahiliyah apabila seseorang suami tidak senang kepada istrinya dan
bermaksud untuk mentalaknya, maka suami itu melakukan zhihar.
B.
Rumusan
Masalah
1.
Apa yang dimaksud dengan zhihar?
2.
Apa yang menjadi dasar hukum zhihar?
3.
Bagaimana hikmah zhihar?
4.
Apa yang menjadi rukun dan syarat zhihar?
5.
Kapan pelaksanaan zhihar? Dan Bagaimana akibat hukum zhihar?
6.
Bagaimana kewajiban kafarat zhihar?
C.
Tujuan
Adapun
tujuan dari penulisan makalah ini adalah mencoba untuk memberikan informasi
kepada rekan-rekan kami pada khususnya dan kepada masyarakat pada umumnya
tentang zhihar dalam bahasan fiqh munakahat.
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian Zhihar
Pengertian Zhihar
adalah kata dalam bahasa Arab yang secara arti kata berarti “punggung” dan
bukan anggota badan lainnya yang untuk keperluan zhihar ini karena kata itu
digunakan untuk suatu yang di kendarai. Istri dalam pandangan ini diserupakan
dengan sesuatu yang dikendarai suami.[1]
Imam
Fakhr al-Razi mengatakan: “Zhihar itu bukan berasal dari kata ‘Zhahr’ (punggung)
yang merupakan salah satu anggota tubuh manusia, karena punggung disini tidak
lebih penting untuk disebut dalam kasus ini daripada anggota lainnya yang juga
tempat kemaluan dan tempat merasakan nikmat, tetapi ‘zhahr’ atau ‘dzihar’
disini dengan arti ‘tinggi’. Misalnya firman Allah:
فَمَا
ٱسۡطَٰعُوٓاْ أَن يَظۡهَرُوهُ وَمَا ٱسۡتَطَٰعُواْ لَهُۥ نَقۡبٗا ٩٧
97. Maka mereka tidak bisa mendakinya dan
mereka tidak bisa (pula) melobanginya. (Q.S. al-Kahfi [18]: 97). Sebab, setiap
orang yang mengungguli atau menaiki sesuatu itu disebut ‘zhahran’. Justru itu
kendaraan yang dinaiki disebut ‘zhahr’ (punggung/ diatas) karena si
penunggangnya itu berada diatasnya. Begitu juga halnya seorang istri adalah
punggung suami, karena suaminya itu berada diatasnya sebagai pemilik alat
kelamin. Jadi, seolah-olah perempuan itu kendaraan yang dinaiki.[2]
Dalam
artian terminologis ditemukan beberapa rumusan dalam kitab fiqh, yaitu:
Al-
Mahalli dalam Syarh Minhaj al-Thalibin mendefinisikan sebagai
berikut:
تشبيه الزوج زوجته بمحرمه
Suami menyamakan istrinya dengan
mahramnya.[3]
Wahbah
Al-Zuhaili dalam Fiqh Islam Wa Adillatuhu mendefinisikan sebagai
berikut:
أن تشبيه الرجل زوجته بإمرأة محرمة
عليه على التأبيد أو بجزء منها يحرم عليه النظر إليه كالظهر و البطن و الفخذ, كان
يقول لها: انت علي كظهر أمي أو أختي
Seorang
laki-laki menyamakan istrinya dengan perempuan yang haram untuk dia nikahi
selamanya. Atau diharamkan dari si perempuan apa yang haram baginya seperti
memandang punggung dan perut dan paha. Misalnya si suami berkarta kepada si
istri: “Bagiku kamu bagaikan ibuku atau saudara perempuanku”.[4]
Muhammad bin Ahmad al-Qurtubhy dalam
al-Jami’ li Ahkam al-Qur’an mendefinisikan sebagai berikut:
تشبيه ظهر محلل بظهر محرم
“Menyerupai punggung yang halal dengan
punggung yang haram”.[5]
Samsuddin Muhammad bin al-Khatib
asy-Syarbany dalam Mughnil Muhtaj ila Ma’rifati Ma’ani Alfadz al-Minhaj mendefinisikan
sebagai berikut:
تشبيه زوجة غير البائن بأنث لم تكن
حلا علي ما يأتي بيانه
“Suami menyerupakan istrinya yang tidak
tertalak ba’in dengan seorang perempuan yang tidak halal bagi suami”.
[6]
Dalam definisi
tersebut terdapat empat kata kunci yang menjelaskan hakikat dari zhihar sebagai
berikut:
Pertama: kata “menyamakan” (tasybih) yang mengandung arti zhihar itu
merupakan tindakan seseorang untuk menyamakan atau menganggap sama, meskipun
yang di angggap sama itu menurut hakikatnya adalah berbeda
Kedua: kata “suami” menjelaskan bahwa yang melakukan penyamaan atau yang
menganggap sama itu adalah suami terhadap istrinya, bukan yang lain, seperti
anak terhdap ayahnya atau yang lain.
Ketiga: kata “istrinya” mengandung arti bahwa yang disamakan oleh suami itu
adalah istrinya. Hal ini berarti bahwa bila yang disamakan oleh suami adalah
anaknya, atau istri yang menyamakan suaminya makan bukan termasuk zhihar.
Keempat: kata “mahramnya” atau orang yang haram dikawininya mengandung arti
orang kepada siapa istri itu disamakannya adalah orang orang yang haram
dikawininya.[7]
B. Dasar Hukum
-
Q.S. al-Mujadalah [58]: 2-4
ٱلَّذِينَ
يُظَٰهِرُونَ مِنكُم مِّن نِّسَآئِهِم مَّا هُنَّ أُمَّهَٰتِهِمۡۖ إِنۡ
أُمَّهَٰتُهُمۡ إِلَّا ٱلَّٰٓـِٔي وَلَدۡنَهُمۡۚ وَإِنَّهُمۡ لَيَقُولُونَ
مُنكَرٗا مِّنَ ٱلۡقَوۡلِ وَزُورٗاۚ وَإِنَّ ٱللَّهَ لَعَفُوٌّ غَفُورٞ ٢ وَٱلَّذِينَ
يُظَٰهِرُونَ مِن نِّسَآئِهِمۡ ثُمَّ يَعُودُونَ لِمَا قَالُواْ فَتَحۡرِيرُ
رَقَبَةٖ مِّن قَبۡلِ أَن يَتَمَآسَّاۚ ذَٰلِكُمۡ تُوعَظُونَ بِهِۦۚ وَٱللَّهُ
بِمَا تَعۡمَلُونَ خَبِيرٞ ٣ فَمَن
لَّمۡ يَجِدۡ فَصِيَامُ شَهۡرَيۡنِ مُتَتَابِعَيۡنِ مِن قَبۡلِ أَن يَتَمَآسَّاۖ
فَمَن لَّمۡ يَسۡتَطِعۡ فَإِطۡعَامُ سِتِّينَ مِسۡكِينٗاۚ ذَٰلِكَ لِتُؤۡمِنُواْ
بِٱللَّهِ وَرَسُولِهِۦۚ وَتِلۡكَ حُدُودُ ٱللَّهِۗ وَلِلۡكَٰفِرِينَ عَذَابٌ
أَلِيمٌ ٤
2. Orang-orang yang menzhihar isterinya
di antara kamu, (menganggap isterinya sebagai ibunya, padahal) tiadalah isteri
mereka itu ibu mereka. Ibu-ibu mereka tidak lain hanyalah wanita yang
melahirkan mereka. Dan sesungguhnya mereka sungguh-sungguh mengucapkan suatu
perkataan mungkar dan dusta. Dan sesungguhnya Allah Maha Pemaaf lagi Maha
Pengampun
3. Orang-orang yang menzhihar isteri mereka, kemudian mereka hendak
menarik kembali apa yang mereka ucapkan, maka (wajib atasnya) memerdekakan
seorang budak sebelum kedua suami isteri itu bercampur. Demikianlah yang
diajarkan kepada kamu, dan Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan
4. Barangsiapa yang tidak mendapatkan
(budak), maka (wajib atasnya) berpuasa dua bulan berturut-turut sebelum
keduanya bercampur. Maka siapa yang tidak kuasa (wajiblah atasnya) memberi
makan enam puluh orang miskin. Demikianlah supaya kamu beriman kepada Allah dan
Rasul-Nya. Dan itulah hukum-hukum Allah, dan bagi orang kafir ada siksaan yang
sangat pedih.
-
Hadis
عَنْ سَلَمَةَ بْنِ صَخْرٍ قَالَ { : كُنْتُ
امْرَأً قَدْ أُوتِيتُ مِنْ جِمَاعِ النِّسَاءِ مَا لَمْ يُؤْتَ غَيْرِي فَلَمَّا دَخَلَ
رَمَضَانُ ظَاهَرْتُ مِنْ امْرَأَتِي حَتَّى يَنْسَلِخَ رَمَضَانُ فَرَقًا مِنْ أَنْ
أُصِيبَ فِي لَيْلَتِي شَيْئًا فَأَتَتَايَعَ فِي ذَلِكَ إلَى أَنْ يُدْرِكَنِي النَّهَارُ
وَأَنَا لَا أَقْدِرُ أَنْ أَنْزِعَ فَبَيْنَا هِيَ تَخْدُمُنِي مِنْ اللَّيْلِ إذْ
تَكَشَّفَ إلَيَّ مِنْهَا شَيْءٌ فَوَثَبْتُ عَلَيْهَا فَلَمَّا أَصْبَحْتُ غَدَوْت
عَلَى قَوْمِي فَأَخْبَرْتُهُمْ خَبَرِي وَقُلْت لَهُمْ : انْطَلِقُوا مَعِي إلَى رَسُولِ
اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَأُخْبِرَهُ بِأَمْرِي فَقَالُوا : وَاَللَّهِ
لَا نَفْعَلُ نَتَخَوَّفُ أَنْ يَنْزِلَ فِينَا قُرْآنٌ أَوْ يَقُولَ فِينَا رَسُولُ
اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَقَالَةً يَبْقَى عَلَيْنَا عَارُهَا وَلَكِنْ
اذْهَبْ أَنْتَ وَاصْنَعْ مَا بَدَا لَكَ فَخَرَجْتُ حَتَّى أَتَيْتُ النَّبِيَّ صَلَّى
اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَأَخْبَرْتُهُ خَبَرِي فَقَالَ لِي : أَنْتَ بِذَاكَ فَقُلْت
: أَنَا بِذَاكَ فَقَالَ : أَنْتَ بِذَاكَ قُلْت : أَنَا بِذَاكَ فَقَالَ : أَنْتَ
بِذَاكَ قُلْت : نَعَمْ هَا أَنَا ذَا فَامْضِ فِي حُكْمِ اللَّهِ عَزَّ وَجَلَّ فَأَنَا
صَابِرٌ لَهُ قَالَ : أَعْتِقْ رَقَبَةً فَضَرَبْتُ صَفْحَةَ رَقَبَتِي بِيَدِي وَقُلْت
: لَا وَاَلَّذِي بَعَثَكَ بِالْحَقِّ مَا أَصْبَحْتُ أَمْلِكُ غَيْرَهَا قَالَ : فَصُمْ
شَهْرَيْنِ مُتَتَابِعَيْنِ قَالَ : قُلْت : يَا رَسُولَ اللَّهِ وَهَلْ أَصَابَنِي
مَا أَصَابَنِي إلَّا فِي الصَّوْمِ قَالَ : فَتَصَدَّقْ قَالَ : قُلْت : وَاَلَّذِي
بَعَثَكَ بِالْحَقِّ لَقَدْ بِتْنَا لَيْلَتَنَا وَحْشًا مَا لَنَا عَشَاءٌ قَالَ
: اذْهَبْ إلَى صَاحِبِ صَدَقَةِ بَنِي زُرَيْقٍ فَقُلْ لَهُ فَلْيَدْفَعْهَا إلَيْكَ
فَأَطْعِمْ عَنْكَ مِنْهَا وَسْقًا مِنْ تَمْرٍ سِتِّينَ مِسْكِينًا ثُمَّ اسْتَعِنْ
بِسَائِرِهِ عَلَيْكَ وَعَلَى عِيَالِكَ قَالَ : فَرَجَعْتُ إلَى قَوْمِي فَقُلْت
: وَجَدْتُ عِنْدَكُمْ الضِّيقَ وَسُوءَ الرَّأْيِ وَوَجَدْتُ عِنْدَ رَسُولِ اللَّهِ
صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ السَّعَةَ وَالْبَرَكَةَ وَقَدْ أَمَرَ لِي بِصَدَقَتِكُمْ
فَادْفَعُوهَا إلَيَّ . قَالَ : فَدَفَعُوهَا إلَيْهِ } . رَوَاهُ أَحْمَدُ وَأَبُو
دَاوُد وَالتِّرْمِذِيّ
Dari Salamah bin Shakhr, ia berkata: “Aku adalah laki-laki
yang dianugerahi kemampuan menggauli wanita yang tidak dianugerahkan kepada
orang selainku. Ketika tiba bulan Ramadhan aku menzhihar istriku, hingga ketika
telah berlalu Ramadhan aku khawatir akan melakukan sesuatu, maka aku berusaha
menahan diri hingga siang hari, namun aku tidak kuasa menahan diri. Ketika
suatu malam ia melayaniku, tiba-tiba kainnya tersingkap, maka aku pun
memeluknya. Pagi harinya, aku menemui kaumku, lalu aku sampakan kepada mereka
perihalku, aku katakan kepada mereka: “temanilah aku menemui Rasulullah SAW
untuk menyampaikan kepadanya tentang perkaraku ini” namun mereka mengatakan:
“Demi Allah kami tidak akan melakukannya, kami khawatir akan turun ayat
Al-Qur’an mengenai kami, atau Rasulullah SAW akan mengatakan sesuatu kepada
kami, sehingga ada cela pada kami, engkau berangkat sendiri saja, dan lakukan
yang engkau perlu engkau lakukan” maka aku pun pergi hingga bertemu dengan Nabi
SAW, aku memberitahu beliau tentang perkaraku. Beliau bertanya kepadaku:
“Engkau melakukan itu?” aku jawab: “Ya, aku melakukannya”. Beliau bertanya
lagi: “Engkau melakukan itu?” aku jawab: “Ya, aku melakukannya”. Beliau
bertanya lagi: “Engkau melakukan itu?” aku jawab: “Ya, begitulah aku
melakukannya. Maka tetapkanlah ketentuan Allah terhadapku. Aku akan bersabar”.
Beliau bersabda: “merdekakanlah seorang budak”. Aku langsung menepuk lutut
dengan kedua tangan sambil mengatakan: “Tidak demi Dzat yang mengutusmu dengan
kebenaran. Aku tidak memiliki selainnya”. Beliau berkata lagi: “berpuasalah dua
bulan berturut-turut”. Aku berkata: “Wahai Rasulullah , apakah karena yang
telah aku lakukan itu tidak ada yang lainnya kecuali berpuasa?” beliau berkata:
“Bershaqahlah” aku berkata lagi: “Demi Dzat yang telah mengutusmu dengan
kebenaran. Sungguh kami tidur pada malam hari disertai dengan rasa lapar karena
kami tidak mempunyai makanan”. Beliau berkata lagi: “Berangkatlah engkau kepada
pemegang shadaqah Bani Zuraiq, katakan kepadanya agar membayarnya kepadamu,
lalu berilah makan atas namamu sebanyak satu wasaq (60 sha’) kurma keapda enam
puluh orang miskin, kemudian sisanya engkau gunakann untuk keperluan dirimu dan
keluargamu”. Setelah itu aku kembali kepada kaumku, lalu aku katakan: “Aku
dapati pada kalian kesempitan dan pandangan yang buruk, sementara pada Rasulullah
SAW aku dapatkan kelapangan dan keberkahan. Beliau telah memerintahkan kepadaku
agar mengambil shadaqah kalian, maka bayarlah kepadaku”. Lalu mereka
membayarkannya kepadaku. (H.R.
Abu Dawud [2213][8],
dan Tirmidzi [1198][9])[10]
عَنْ خُوَيْلَةَ بِنْتِ
مَالِكِ بْنِ ثَعْلَبَةَ قَالَتْ ظَاهَرَ مِنِّي زَوْجِي أَوْسُ بْنُ الصَّامِتِ فَجِئْتُ
رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَشْكُو إِلَيْهِ وَرَسُولُ اللَّهِ
صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يُجَادِلُنِي فِيهِ وَيَقُولُ اتَّقِي اللَّهَ فَإِنَّهُ
ابْنُ عَمِّكِ فَمَا بَرِحْتُ حَتَّى نَزَلَ الْقُرْآنُ { قَدْ سَمِعَ اللَّهُ قَوْلَ
الَّتِي تُجَادِلُكَ فِي زَوْجِهَا } إِلَى الْفَرْضِ فَقَالَ يُعْتِقُ رَقَبَةً قَالَتْ
لَا يَجِدُ قَالَ فَيَصُومُ شَهْرَيْنِ مُتَتَابِعَيْنِ قَالَتْ يَا رَسُولَ اللَّهِ
إِنَّهُ شَيْخٌ كَبِيرٌ مَا بِهِ مِنْ صِيَامٍ قَالَ فَلْيُطْعِمْ سِتِّينَ مِسْكِينًا
قَالَتْ مَا عِنْدَهُ مِنْ شَيْءٍ يَتَصَدَّقُ بِهِ قَالَتْ فَأُتِيَ سَاعَتَئِذٍ بِعَرَقٍ
مِنْ تَمْرٍ قُلْتُ يَا رَسُولَ اللَّهِ فَإِنِّي أُعِينُهُ بِعَرَقٍ آخَرَ قَالَ قَدْ
أَحْسَنْتِ اذْهَبِي فَأَطْعِمِي بِهَا عَنْهُ سِتِّينَ مِسْكِينًا وَارْجِعِي إِلَى
ابْنِ عَمِّكِ قَالَ وَالْعَرَقُ سِتُّونَ صَاعًا (رواه ابو داود )
Dari Khuwailah binti Malik bin Tsa'labah, ia berkata; suamiku yaitu
Aus bin Ash Shamit menzhiharku, kemudian aku datang kepada Rasulullah
shallallahu 'alaihi wasallam mengadukannya kepada beliau, sementara Rasulullah
shallallahu 'alaihi wasallam berdialog denganku mengenainya, beliau berkata:
"Bertakwalah kepada Allah, ia adalah anak pamanmu!" Tidaklah aku
beranjak pergi hingga turun Al Qur'an: "Sesungguhnya Allah telah mendengar
perkataan wanita yang mengajukan gugatan kepada kamu tentang suaminya, dan mengadukan
(halnya) kepada Allah. Dan Allah mendengar soal jawab antara kamu berdua.
Sesungguhnya Allah Maha Mendengar lagi Maha Melihat" hingga penyebutan
kewajiban yang Allah wajibkan. Kemudian beliau berkata: "Ia bebaskan
seorang budak." Khuwailah berkata; ia tidak memilikinya. Beliau berkata;
ia berpuasa dua bulan berturut-turut. Khuwailah berkata; wahai rasulullah,
sesungguhnya ia adalah orang yang tua renta, ia tidak mampu untuk berpuasa.
Beliau berkata: "Hendaknya ia memberi makan enam orang miskin." Khuwailah
berkata; ia tidak memiliki sesuatu yang dapat ia sedekahkan. Khuwailah berkata;
kemudian pada saat itu ia diberi satu 'araq kurma. Aku katakan; wahai
Rasulullah, aku akan membantunya dengan satu 'araq yang lainnya. Beliau
bersabda: "Engkau telah berbuat baik, pergilah dan berilah makan untuknya
enam puluh orang miskin dan kembalilah kepada anak pamanmu." Ma'mar bin
Abdullah bin Hanzhalah berkata; 'Araq adalah enam puluh sha'. (H.R. Abu Dawud [2214][11]).[12]
عَنْ عِكْرِمَةَ أَنَّ رَجُلًا ظَاهَرَ مِنْ امْرَأَتِهِ
ثُمَّ وَاقَعَهَا قَبْلَ أَنَّ يُكَفِّرَ فَأَتَى النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ فَأَخْبَرَهُ فَقَالَ مَا حَمَلَكَ عَلَى مَا صَنَعْتَ قَالَ رَأَيْتُ بَيَاضَ
سَاقِهَا فِي الْقَمَرِ قَالَ فَاعْتَزِلْهَا حَتَّى تُكَفِّرَ عَنْكَ (و ابو داود
و الترمذ و النسائي)
Dari Ikrimah bahwa seorang laki-laki telah menzhihar
isterinya kemudian ia menggaulinya sebelum membayar kafarat. Kemudian ia datang
kepada Nabi shallallahu 'alaihi wasallam dan mengabarkan hal tersebut
kepadanya. Lalu beliau berkata: "Apa yang mendorongmu untuk melakukan apa
yang telah engkau perbuat?" Ia berkata; aku melihat putih betisnya dalam
cahaya rembulan. Beliau berkata: "Jauhi dia hingga engkau membayar
kafarah." (H.R. Abu Dawud [2221][13],
al-Tirmidzi [1191][14],
al-Nasa’i [5623][15]).
C. Hikmah Zhihar
Islam mensyariatkan pernikahan
sebagai ikatan untuk selama-lamanya yang tidak dibatasi oleh waktu, tidak dapat
diputuskan oleh orang yang suka mencari kelezatan, atau oleh perbuatan halal
yang teramat dibenci oleh Allah (Alias Talak). Dengan pernikahan, semua yang
ada pada perempuan menjadi halal bagi seorang lelaki, tetapi dalam batas-batas
yang telah ditentukan Allah. Maka, jika ada seseorang datang hendak merombak
apa yang telah dihalalkan Allah. Sehingga yang halal itu menjadi haram, bererti
dia telah berbuat dosa besar dan melanggar ketentuan-ketentuan Allah. Justru
itu, ia akan dihukum dengan berat sekali.[16]
Dalam masalah dzihar ada dua hikmah yang terkandung:
1. Hikmah sebagai Hukuman, yaitu karena dia
mewajibkan atas dirinya suatu yang tidak berlaku pada orang lain, dan membawa
kepada dosa dari peninggalan kaum jahiliyyah tanpa ada ketentuan hukum yang
mewajibkannya.
2.
Hikmah Kafarat (denda), Akibat melakukan zhihar ia
dikenakan hukuman kafarat yang di dalamnya terkandung faidah yang besar sekali
bagi masyarakat, yaitu berupa pembebasan hamba sahaya. Dan, ini merupakan salah
satu cara pembebasan perhambaan itu. Jika biaya untuk membeli seorang hamba itu
tidak terjangkau, maka dia diharuskan puasa dua bulan berturut-turut. Sedangkan, puasa ini adalah tempat latihan moral yang paling baik.
Dengan berpuasa, jiwa bisa terdidik dan kebengkokan bisa diluruskan kembali.
Ini berlaku apabila orang tersebut sehat wal afiat. Akan tetapi, Allah SWT. Tidak akan memberi beban seseorang kecuali menurut kemampuannya. Oleh
karena itu, orang yang sedang sakit dan tidak bisa berpuasa, dialihkan dengan
memberi makan 60 orang miskin. Begitulah,
masalah kafarat ini situasinya bisa beralih antara kepentingan pribadi dan
kepentingan sosial.
Hikmah
yang dimaksud dari semua ini adalah untuk mengingatkan dan mendidik agar jangan
melakukan zhihar lagi juga agar suami tidak begitu mudah bermain-main dengan
urusan perkawinan dan tidak menyakiti istri dengan tindakan yang dapat merusak
kehidupan rumah tangga dan hubungan dalam keluarga. Disamping itu, untuk
menentang kebiasaan kaum jahiliyyah yang mereka itu mendzihar istri-istri
mereka secara terus menerus. Islam datang dengan membawa rahmat dan kasih
sayang, maka pikirkanlah betapa Hikmah Allah yang Maha Tinggi.[17]
D.
Rukun dan
Syarat Zhihar
Zhihar itu
merupakan suatu tindakan yang dikenai hukum yang tidak enteng, yaitu kaffarah.
Untuk itu diperlukan kriteria yang tajam untuk memisahkan suatu perbuatan
dinamai zhihar atau bukan. Untuk dapatnya unsur tersebut ditempatkan sebagai
rukun yang harus terpenuhi, kesemuanya diramu oleh dari hasil pemahamannya
terhadap dalil hukum yang berkenaan dengan zhihar.
Menurut mazhab
Hanafi, rukun zhihar adalah lafal yang menunjukkan zhihar. Asal zhihar adalah
ucapan seorang suami kepada istrinya, “kamu bagiku seperti punggung ibuku” dan
dimasukkan juga kedalam ucapan zhihar ucapannya: “Kamu bagiku seperti perut
ibuku, paha ibuku atau vagina ibuku”.
Jumhur Fuqaha
selain mazhab Hanafi berpendapat, zhihar memiliki 4 rukun, yaitu lelaki yang
mengucapkan zhihar, istri yang dizhihar, lafal atau ucapan dan perkara yang
diserupakan.[18]
Adapun syarat-syaratnya sebagai berikut:
- Suami yang mengucapkan zhihar (munzahir)
Adapun yang menjadi syarat suami
yang men-zhihar sama dengan yang dipersyaratkan bagi suami yang menceraikan
istrinya dalam bentuk thalaq, yaitu berakal telah baligh dan berbuat dengan
kehendak sendiri. Ini adalah persyaratan umum yang ditetapkan oleh jumhur
ulama.
- Perempuan yang diucapkan zhihar oleh
suaminya (muzhahar minhu)
Adapun syarat utama yang disepakati
ulama untuk perempuan yang di zhihar itu adalah dia istri yang terikat dalam
tali pernikahan dengan laki-laki yang menzhiharnya.[19]
Menurut mazhab Hanafi zhihar
disandarkan kepada badan si isrtri, atau salah satu anggota tubuh istri yang
mewakili semua tubuhnya, atau bagian yang luas dari si istri.[20]
- Perkara yang diserupakan (muzhahar atau
musyabbah bih)
Dari rumusan zhihar yang tampak
dalam definisi dapat dipahami bahwa syarat utama bagi perempuan yang disamakan
dengan istri itu adalah ibu dari suami. Alasan dari keharaman zhihar itu adalah
mengharamkan istrinya untuk digauli sebagaimana haramnya menggauli perempuan
yang secara hukum haram dikawininya.[21]
Mazhab Hanafi berpendapat, syarat
perkara yang diserupakan yaitu: Dia adalah perempuan yang haram dia nikahi
selama-lamanya, perkara yang diserupakan adalah anggota tubuh yang tidak boleh
dipandangi, perkara yang diserupakan dari jenis kelamin perempuan.
Mazhab Maliki berpendapat bahwa
perkara yang diserupakan adalah manusia yang diharamkan baginya untuk dia
setubuhi secara asli, baik laki-laki ataupun perempuan, atau yang lainnya,
seperti binatang.
Mazhab Syafi’I menilai bahwa
perkara yang diserupakan hanyalah orang yang haram disetubuhi untuk
selama-lamanya.
Mazhab Hambali berpendapat bahwa
perkara yang diserupakan yaitu: Semua perempuan yang haram baginya untuk
selama-lamanya, semua perempuan yang diharamkannya untuk sementara, semua orang
laki-laki yang haram baginya, atau binatang, atau orang mati, dan yang sejenis
mereka.[22]
- Ucapan zhihar
Ucapan zhihar yang telah di
sepakati oleh ulama sebagai ucapan zhihar adalah “engkau dalam pandanganku
adalah seperti punggung ibuku” terdapat didialamnya kata punggung dan kata ibu.[23]
E.
Pelaksanaan
dan Hukum Zhihar
Pelaksanaan zihar
sedikit telah di singgung diatas, sebagaimana dicontohkan kepada seorang
sahabat yang bernama Aus bin Shamit yang pernah menzhihar istrinya. Mayoritas
ulama berpendapat bahwa zhihar hanya di khususkan pada ibu, sebagaimana yang
telah di jelaskan dalam Alquran dan As sunnah dan sedikit telah di bahas
diatas, Apabila si suami berkata kepada istrinya “bagiku kamu seperti punggung
ibuku” berarti dia telah melakukan zhihar.
Ulama sudah sepakat menyatakan bahwa hukum zhihar
itu adalah haram. Dan tidak boleh dipergunakan sebab
zhihar itu suatu kedustaan, dosa dan mengada-ada. Ia jauh berbeda dengan talak.
Talak memang dibenarkan, dan zhihar ini terlarang. Jadi kalau ada seseorang
mengatakan zhihar kepada istrinya berarti dia melakukan perbuatan haram dan
harus membayar kafarat.[24] Yang menjadi haram itu dapat dilihat dari dua segi:
1.
Kebencian dan celaan Allah terhadap orang yang menyamakan istrinya
dengan ibunya yang terdapat didalam suat al-Muajadilah ayat 2.
2.
Dari segi sanksi dan ancaman Allah dengan memberatkan kaffarah
terhadap pelakunya yang melanggar apa yang dilakukannya itu. Sebagaimana firman
Allah dalam surat al-Mujadilah ayat 3.[25]
Dua dampak bagi zhihar yang berikut
ini:
1.
Pengharaman persetubuhan sebelum dibayar kafarat menurut
kesepakatan fuqaha, begitu juga menurut jumhur fuqaha yang selain mazhab
Syafi’i, yaitu pengharaman semua jenis percumbuan yang selain persetubuhan,
seperti elusan, ciuman, pandangan dengan nafsu pada anggota yang selain
wajahnya, kedua telapak tangannya, kedua kakinya, dan semua badannya, serta
kecantikannya, serta melakukan cumbuan pada yang selain vagina, berdasarkan
firman Allah SWT dalam surat al-Mujadilah: 3.
Sebagian ulama di antaranya Abu bakar, al-Zuhriy, Imam
Malik, al-Awzai, Abu Ubit dan kalangan ahlu ra’yu (golongan Hanafiyah) dan satu
pendapat dari al-Syafi’iy berpendapat bahwa bergaul di luar jimak dan
mendapatkan kenikmatan daripadanya, diharamkan selama belum membayar kaffarah.
Alasannya ialah ucapan yang mengharamkan hubungan kelamin juga menjangkau
kepada yang berdekatan dengan itu.[26]
Pengharaman terus
berlanjut sampai dia membayar kafarat zhihar karena perbuatan zhiharnya ini
adalah sebuah tindakan kejahatan. Zhihar ini adalah ucapan yang mungkar dan
menyimpang maka sesuai dengan kiasan kejahatan yang membuat haram, dan yang
dapat diangkat dengan kafarat. Jika seorang suami yang melakukan zhihar
menyetubuhi istrinya sebelum dia lakukan kafarat, maka dia meminta ampunan
kepada Allah akibat perbuatan dosanya ini. Dia tidak dikenakan hukuman apa-apa
selain kafarat. Dan dia tidak cambui kembali istrinya sampai dia laksanakan
kafarat. Berdasarkan sabda Rasulullah saw kepada orang yang menyetubuhi istrinya
sebelum dia laksanakan kafarat,
فَلاَ تَقْرَ
بُهَا حَتَّى تَفْعَلَ مَا أَمَرَكَ الله
“Jangan kamu dekati dia sampai kamu lakukan apa yang diperintahkan
oleh Allah kepadamu”
Dalam satu riwayat
dikatakan,
فَا عْتَزٍلْهَا
حَتَّى تُكَفِرَ
“maka jauhilah dia sampai kamu laksanakan kafarat,”
Dari Salmah bin
Shakhr dari Nabi saw mengenai orang yang melakukan zhihar yang menyetubuhi
istrinya sebelum dia laksanakan kafarat, beliau bersabda,
كَفَّارَةٌ
وَاحِدَةٌ.
“satu kafarat”
Kemudian tekad
untuk menyetubuhi yang membuat suami wajib melaksanakan kafarat dalam firman
Allah SWT, kemudian mereka hendak menarik kembali apa yang mereka ucapkan.”
Maksudnya orang yang melakukan zhihar bertekad untuk menyetubuhi istri yang dia
zhihar. Dia harus melaksanakan kafarat jika dia bermaksud menyetubuihnya
setelah zhihar. Jika dia merasa ridha istrinya menjadi haram untuknya, dan dia
tidak bertekad untuk menyetubuihnya maka dia tidak wajib melaksanakan kafarat
dan dia dipaksa untuk melaksanakan kafarat sebagai upaya menghilankan
kemudharatan darinya.
Mazhab Syafi’i
berpendapat, dengan zhihar diharamkan persetubuhan saja tanpa pendahuluannya
dan motivasinya, sampai orang yang melakukan zhihar melaksanakan kafarat oleh
pengharaman seperti menyetubuhi orang yang tengah haid.[27]
Sebagian ulama
yang lain di antaranya Imam Abu Hanifah al-Tsawriy, Ishaq dan pendapat kedua
dari al-Syafi’iy berpendapat bahwa yang diharamkan adalah hubungan kelamin dan
selain dari itu tidak haram, karena kata al-massu dalam ayat berarti
hubungan kelamin dan tidak menjangkau kepada yang lainnya.[28]
2.
Si istri berhak meminta si suami yang melakukan zhihar untuk
menyetubuihnya karena haknya terkait dengan persetubuhan. Si istri harus
mencegah si suami untuk mencumbuinya sampai dia melaksanakan kafarat zhihar. Si
qadhi juga harus mewajibkannya melaksanakan kafarat untuk mencegah kemudharatan
dari si istri dan mewajibkan si suami adalah dengan cara menahannya, atau
memukulnya, sampai dia melaksanakan kafarat atau menjatuhkan talak. Jika si
suami mengklaim bahwa dia telah melaksanakan kafarat zhiharnya, maka klaimnya
ini dipercaya selama dia tidak dikenal sebagai seorang pendusta.[29]
F. Kewajiban Kafarat Zhihar
Kafarat
adalah kewajiban agama yang dipikulkan kepada seseorang sebagai resiko atas
kesalahan dan pelanggran yang dilakukannnya. Karena zhihar dianggap agama
sebagai suatu pelanggaran, maka kepada pelaku diwajibkan kafarat. Adanya
kewajiban kafarat zhihar ini didasarkan kepada firman Allah pada surah al
Mujadalih [58].[30]
Menurut yang tersurat dalam ayat tersebut, kafarat zhihar yaitu:
memerdekakan hamba sahaya. Jika tidak mampu diganti dengan puasa dua bulan berturut-turut.
Dan jika tidak mampu, maka diganti dengan memberi makan enam puluh orang
miskin.
Yang
perlu dijelaskan disini ialah pendapat para ulama tentang sifat kafarat
tersebut masing-masing.
- Memerdekakan hamba sahaya.
Menurut
eksplisit ayat tersebut, hamba sahaya disini adalah mutlak,yakni semua jenis
hamba, sekalipun kafir.
Menurut ulama
Hanafiyah, kafarat itu dapat dilakukan dengan memerdekakan hamba sahaya baik
kafir maupun yng beriman, pria maupun wanita, tua maupun muda, bahkan yang
masih menyusupun boleh. Karena sebutan “hamba” meliputi semuanya itu.
Menurut ulama
mazhab Syafi’I dan Maliki, bahwa dipersyartan hamba yang beriman.jadi, Selain
hamba yang beriman tidak sah untuk kafarat. Alasannya, karena dalam ayat qatl (ayat
yang membicarakan soal pembunuhan yang disitu disebutkan adanya pembayaran
diyat/kafarat) disebutkan “haruslah memerdekakan seorang hamba yang beriman
(QS. An-Nisa [4]: 92)”, dalam ilmu ushul fiqih disebutkan, “yang mutlak itu
dibawa pada arti yang muqayyad (terbatas). Antara kedua ayat tersebut (kafarat
zhihar dan kafarat pembunuhan) dikompromikan dalam hal sama-sama tidak diperkenankan
yang disebabkan oleh perbuatannya itu.
Namun menurut
mazhab Hanafi, redaksi yang mutlak tidak lantas diinterpretasikan sebagai
redaksi yang dibattasi, kecuali maslnya atau kasusnya sama. Sebab, hal tersebut
akan melahirkan konsekuensi logis yang mengarah pada satu masalah yang mewujud
dalam bentuk mutlak dan terbatasi. Puasa untuk membayar kafarat sumpah,
misalnya, menurut bacaan yang msyur puasa tersebut mutlak, dan hrus dilksanakan
berturut-turut menurut bacaan yang juga masyhur.
- Puasa dua bulan berturut-turut
Puasa dua bulan berturut-turut ini
diwajibkan bagi orang yang tidak mampu memerdekakan hamba sahaya. Hitungannya
berdasarkan perhitungan hilal (bulan), tanpa dibedakan apakah bulan itu genap atau
ganjil (29hari atau 30 hari). Tetapi, kalau ia berpuasa tanpa hitungan bulan
maka dia harus berpuas selama 60 hari, demikian menurut pendapat ulama
Hanafiyah.
Namun menurut
ulama –ulama Syafi’iyah dan Malikiyah, ia harus berpuasa sampai datangnya hilal
brau, kemudian berpuasa sebulan penuh berdasar perhitungan hilal, sedang yang
pertama tadi disempurnakan dengan hitungan (misalnya yang pertama tadi berpuasa
dipertengahan bulan maka harus digenapkan sampai 30 hari).
- Memberi makan 60 orang miskin.
Bagi orang yang
tidak mampu melaksanakan puasa dua bulan berturut-turut sejak awal, atau tidak
mampu itu dipertengahan, karena usia lanjut atau karena sakit yang kronis atau
ada larangan puasa dari dokter, maka dia harus memberi makan 60 orang miskin.
Sementara tentang ukurannya ,para ulama berbeda pendapat:
Abu hayyan
berpendapat, bahwa eksplisit ayat mengindikasikan bentuk makanan itu adalah
mutlak, tetapi kemudia bisa di takhishkan dengan maknan yang menjadi kebiasaaan
saat turunnya ayat tersebut ,yait umakanan mengenyangkan,tanpa dibatasi dengan
mud.
Imam malik dan
Asy Syafi’I berpendapat, makanan yang kurang dari 60 orang, tidaklah cukup
sebagai pembayar kafarat.
Sedangkan Abu
Hanifah mengatakan, seandainya orang tersebut memberi makan setiap hari kepada
seorang miskin sebanyak setengah sha’ (1,35kg) sampai mencapai jumlah 60 hari,
maka yang demikian itu dipandang cukup.[31]
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
-
Zhihar secara bahasa diambil dari Bahasa Arab yang berarti
punggung. Secara istilah zhihar adalah seorang suami menyerupai istrinya dengan
ibunya dengan ucapan “Engkau bagiku seperti punggung ibuku”.
-
Dasar hukum zhihar adalah Q.S al-Mujadilah [58]: 2-4 dan Hadis Nabi
tentang cerita Salamah bin Sakhr dan Aus bin Shamit.
-
Hikmah zhihar yaitu untuk mengingatkan dan mendidik agar jangan
melakukan zhihar lagi juga agar suami tidak begitu mudah bermain-main dengan
urusan perkawinan dan tidak menyakiti istri dengan tindakan yang dapat merusak
kehidupan rumah tangga dan hubungan dalam keluarga. Disamping itu, untuk
menentang kebiasaan kaum jahiliyyah yang mereka itu mendzihar istri-istri
mereka secara terus menerus.
-
Zhihar memiliki 4 rukun, yaitu lelaki yang mengucapkan zhihar,
istri yang dizhihar, lafal atau ucapan dan perkara yang diserupakan.
-
Hukum zhihar adala haram dan berakibat hukum kepada haramnya
berhubungan intim dengan istri dan wajibnya membayar kafarat zhihar.
-
Kafarat zhihar yaitu: memerdekakan hamba sahaya. Jika tidak mampu,
maka diganti dengan puasa dua bulan berturut – turut. Dan jika tidak mampu,
maka diganti dengan memberi makan enam puluh orang miskin.
DAFTAR PUSTAKA
Abadi, Muhammad Samsul Haqq al-‘Azhim. 2009. ‘Awn
al-Ma’bud Syarh Sunan Abi Dawud. Beirut:
Dar al-Kotob al-Ilmiyah.
Abdurrahman, Abu al-‘Ula Muhammad. 2001. Tuhfah
al-Ahwazi Syarh Jami’ al- Tirmidi. Kairo:
Dar el-Hadith.
Amsar, Muhammad Muhajirin. 2014. Mishbah adz-Dzalam fi Syarh
Bulughul Maram min Adillah al-Ahkam.
Jakarta: Dar al-Hadith.
Asqalany, Al, Syihabuddin bin Ahmad bin ‘Aly
bin Muhammad bin Hajr. 2012. Fathul
Baari syarh Shahih al-Bukhari. Beirut: Dar Al-Kotob Al-Ilmiyah.
Ghazi, Al, Muhammad bin Qasim. 2003. Fath al-Qarib al-Mujib. Jakarta:
Dar al- Kutub al-Islamiyah.
Ghozali, Abdul Rahman. 2012. Fiqh Munahakahat. Jakarta:
Kencana.
Husyaini, Al, Taqiyuddin Abu Bakar bin Muhammad. 2004. Kifayah
al-Akhyar fi Halli Ghayah al-Ikhtishar. Jakarta:
Dar al-Kutub al-Islamiyah.
Jaziri, Al, Abdul Rahman. 2003. al-Fiqh ‘ala Madzahib al-Arba’ah.
Beirut: Dar el- Kotob al-Ilmiyah.
Katsir, Imaduddin Abul Fida Ismail bin al-Khatib Abu Hafs Umar bin.
2012. Tafsir Qur’an al-‘Adzim.
Beirut: Dar Al-Kotob Al-Ilmiyah.
Khalafi, Al, Abdul ‘Azhim bin Badawi. 2011. al-Wajiz fi Fiqh
al-Sunnah wa al- Kitab al-‘Aziz, Penerjemah
Ma’ruf Abdul Jalil. Al-Wajiz. Jakarta: Pustaka as-Sunnah.
Mahalli, Al, Jalaluddin. 2006. Hasyiataani Qalyubay Humairah. Beirut:
Dar El Fikr.
Nasa’i, Al, Abi Abdurrahman Ahmad bin Syua’ib. 2001. al-Sunan
al-Kubra. Beirut: Muassasah
al-Risalah.
Qurthuby, Al, Muhammad bin
Ahmad. 2010. al-Jami’ li Ahkam al-Qur’an. Kairo: Dar
el-Hadith.
Rusyd, Abul Wahid Muhammad bin Ahmad bin Muhammad bin. 1995. Bidayah
al-Mujtahid. Kairo: Dar al-Salam.
Sabiq, Sayyid. 2009. Fiqh as-Sunnah. Kairo: Dar el-Hadith.
Shabuny, Al, Muhammad ‘Aly. 2016. Rawa’i’u al-Bayan Tafsiri Ayat
al-Ahkam, Penerjemah: Ahmad Dzulfikar
dkk. Depok: Keira Publishing.
Sijistani, Al, Abu Dawud. 2011. Sunan Abu Dawud. Beirut: Dar al-Kotob al- Ilmiyah.
Syarbany, Al, Samsuddin Muhammad bin al-Khatib. 2012. Mughnil
Muhtaj ila Ma’rifati Ma’ani Alfadz
al-Minhaj. Kairo: al-Quds.
Syarifuddin, Amir. 2014. Hukum Perkawinan Islam di Indonesia.
Jakarta: Kencana.
Syawkany, Al, Muhammad bin ‘Aly. 2006. Nail al-Awthar. Tt:
Dar Ibnu al-Jawzi.
Syawkany, Al, Muhammad bin ‘Aly. 2007. Fath al-Qadir. Kairo:
Dar el-Hadith.
Tirmidzi, Al, Abi Isa Muhammad bin Isa. 1996. al-Jami’ al-Kabir. Beirut: Dar al- Gharbi
al-Islamy
Zuhaili, Al, Wahbah. 1985. Fiqh Islam Wa Adillatuhu. Beirut: Dar
El-Fikr.
Zuhaili, Al, Wahbah. 2011. Fiqh Islam wa Adillatuhu,
Terjemah: Abdul Hayyie al- Kattani,
dkk. Jakarta: Gema Insani.
[1]
Sayyid Sabiq, Fiqh as-Sunnah, (Kairo: Dar el-Hadith, 2009), Jilid 2, hlm
200. Lihat Juga Abdul Rahman al-Jaziri, al-Fiqh ‘ala Madzahib al-Arba’ah, (Beirut:
Dar el-Kotob al-Ilmiyah, 2003), Jilid 4, hlm 431. Lihat juga Syihabuddin bin
Ahmad bin ‘Aly bin Muhammad bin Hajr al-Asqalany, Fathul Baari syarh Shahih
al-Bukhari, (Beirut: Dar Al-Kotob Al-Ilmiyah, 2012), jilid 10, h. 370. Lihat juga Muhammad Muhajirin Amsar, Mishbah adz-Dzalam fi Syarh
Bulughul Maram min Adillah al-Ahkam, (Jakarta: Dar al-Hadith, 2014), Jilid
3, hlm 266. Lihat juga Amir Syarifuddin, Hukum
Perkawinan Islam di Indonesia, (Jakarta: Kencana, 2014), hlm. 259
[2]
Muhammad ‘Aly al-Shabuny, Rawa’i’u al-Bayan Tafsiri Ayat al-Ahkam, Penerjemah:
Ahmad Dzulfikar dkk, (Depok: Keira Publishing, 2016), Jilid 2, hlm. 574. Lihat
Juga Taqiyuddin Abu Bakar bin Muhammad al-Husyaini, Kifayah al-Akhyar fi
Halli Ghayah al-Ikhtishar, (Jakarta: Dar al-Kutub al-Islamiyah, 2004),
Jilid 2, hlm 106.
[10] Muhammad ‘Aly al-Syawkany, Nail al-Awthar, (Tt: Dar Ibnu
al-Jawzi, 2016), Jilid 12, hlm. 480. Lihat juga Imaduddin Abul Fida Ismail bin
al-Khatib Abu Hafs Umar bin Katsir, Tafsir Qur’an al-‘Adzim, (Beirut:
Dar Al-Kotob Al-Ilmiyah, 2012), Jilid 4, hlm. 275. Lihat juga Abdul ‘Azhim bin
Badawi al-Khalafi, al-Wajiz fi Fiqh al-Sunnah wa al-Kitab al-‘Aziz, Penerjemah
Ma’ruf Abdul Jalil. Al-Wajiz, (Jakarta: Pustaka as-Sunnah, 2011). H.
625. Lihat juga Sayyid Sabiq, Fiqh al-Sunnah, hlm. 200.
[12]
Abul Wahid Muhammad bin Ahmad bin Muhammad bin Rusyd, Bidayah al-Mujtahid, (Kairo:
Dar al-Salam, 1995), hlm. 1501. Lihat Juga Muhammad bin ‘Aly al-Syawkany, Fath
al-Qadir, (Kairo: Dar el-Hadith, 2007), Jilid 5, hlm. 219. Lihat juga Muhammad
bin ‘Aly al-Syawkany, Nail al-Awthar, Jilid 12, hlm. 48. Lihat juga Imaduddin
Abul Fida Ismail bin al-Khatib Abu Hafs Umar bin Katsir, Tafsir Qur’an
al-‘Adzim, Jilid 4, hlm. 275. Lihat juga Abdul ‘Azhim bin Badawi
al-Khalafi, al-Wajiz fi Fiqh al-Sunnah wa al-Kitab al-‘Aziz, Penerjemah
Ma’ruf Abdul Jalil. Al-Wajiz, hlm. 623. Lihat juga Sayyid Sabiq, Fiqh al-Sunnah,
hlm. 200. Lihat juga Abdul Rahman Ghozali, Fiqh Munahakahat, (Jakarta:
Kencana, 2012), hlm. 230
Tidak ada komentar:
Posting Komentar