BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Anak merupakan
anugerah dan amanah yang diberikan oleh Tuhan Yang Maha Esa. Oleh karena itu
anak sebagai amanah dari Tuhan harus senantiasa dijaga dan dilindungi oleh
keluarga, masyarakat, negara karena didalam diri anak melekat hak anak yang
merupakan bagian dari hak asasi manusia yang termuat didalam UUD 1945 dan
konvensi PBB tentang hak-hak anak. UU No. 39 Tahun 1999 Tentang Hak Asasi
Manusia telah mencantumkan tentang hak anak, pelaksanaan kewajiban dan tanggung
jawab orang tua, keluarga, masyarakat, pemerintah, dan negara untuk memberikan
perlindungan terhadap anak.
Anak adalah
pewaris sekaligus penerus garis keturunan keluarga. Oleh karena itu, apabila
dalam suatu perkawinan belum atau tidak dikarunia anak, maka diadakan
pengangkatan anak atau adopsi. Pengertian tentang adopsi dapat dilihat secara
etimologi, terminologi, serta menurut para pakar hukum manusia sudah
dikodratkan untuk hidup berpasang-pasangan membentuk sebuah keluarga yang
terdiri dari suami istri dan pada umumnya juga menginginkan kehadiran anak atau
keturunan hasil dari perkawinannya. Mempunyai anak merupakan tujuan dari adanya
perkawinan untuk menyambung keturunan serta kelestarian harta kekayaan.
Mempunyai anak adalah kebanggaan dalam keluarga. Akan tetapi terkadang semua
itu terbentur pada takdir ilahi dimana kehendak memperoleh anak meskipun telah
bertahun-tahun menikah tak kunjung dikaruniai anak, sedangkan keinginan untuk
mempunyai anak sangatlah besar. Jika demikian, penerus silsilah orang tua dan
kerabat keluarga tersebut terancam putus atau punah. (Soemitro, 2003: 169).
Dalam keadaan
demikianlah kemudian para anggota kerabat dapat mendesak agar si suami mencari
wanita lain atau mengangkat anak kemenakan dari anggota kerabat untuk menjadi
penerus kehidupan keluarga bersangkutan, atapun dengan pengangkatan anak
(adopsi).
Dalam menentukan
kriteria sah tidaknya suatu pengangkatan anak termasuk akibat hukumnya pada
masyarakat daerah tertentu, seperti di kalangan masyarakat suku Jawa, Tionghoa,
saat ini sudah ada beberapa jurisprudensi yang dapat dijadikan sebagai pedoman.
Pengangkatan anak bagi golongan Bumiputera menurut tata cara hukum adatnya
masih dianggap sah dan akibat hukumnya juga tunduk kepada hukum adatnya
sepanjang tidak bertentangan dengan tujuan dari pengangkatan anak yaitu
mengutamakan kesejahteraan anak. Meskipun pengangkatan anak harus dilakukan
berdasarkan hukum nasional yang berlaku.
Tidak ada
ketentuan yang mengatur tentang siapa saja yang boleh mengangkakat anak, dan
kriteria laki-laki atau perempuankah yang boleh diangkat. Oleh karena itu,
dengan dibuatnya makalah ini akan dibahas lebih lanjut mengenai pengangkatan
anak pada masyarakat di Indonesia.
B.
Rumusan Masalah
1.
Apa pengertian pengangkatan anak?
2.
Apa saja macam-macam pengangkatan anak?
3.
Apa tujuan pengangkatan anak?
4.
Bagaimana akibat hukum dari pengangkatan anak?
5.
Apa hak dan kewajiban dalam pengankatan anak?
6.
Bagaimana Peraturan perundang-undangan dan hukum Islam
mengaur pengangkatan anak?
C.
Tujuan Penulisan
Adapun tujuan dari penulisan makalah ini adalah
mencoba untuk memberikan informasi kepada rekan-rekan kami pada khususnya dan
kepada masyarakat pada umumnya tentang pengangkatan anak dalalm perspektif
hukum perlindungan anak.
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Pengertian Pengangkatan Anak
Secara etimologi, ada beberapa istilah yang dikenal
dalam pengangkatan anak di Indonesia. Pengangkatan anak sering disebut juga
dnegan istilah adopsi, yang dalam bahasa inggris disebut adoption.[1] dan
dalam bahasa Belanda disebut adoptie yang artinya pengangkatan seorang
anak atau pemungutan seorang anak.[2]
Dalam
bahasa Arab disebut “tabanni” yang menurut Kamus Kontemporer Arab Indonesia diartikan
“ittikhadzahu ibnan” (اتِّخاذ
الإبن), yaitu menjadikannya sebagai anak.[3]
Dalam
Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) adopsi adalah pengangkatan anak orang lain
sebagai anak sendiri.[4]
Sedangkan
dalam hukum adat, berkaitan dengan pengangkatan anak terdapat bermacam-macam
istilah, misalnya mupu anak di Cirebon, Nguku Anak di Sunda Jawa
Barat, Nyentanayang di Bali, Anak Angkat di Batak Karo, Meki
Anak di Minahasa, Ngukup Anak di suku Dayak Manyan, Mulang Jurai di
Rejang, Anak Akon di Lombok Tengah, Napuluku atau Wengga di
Kabupaten Pantai Jayapura, dan Anak Pulung di Singaraja.[5]
Secara terminologi,
pengertian pengangkatan anak dapat ditinjau dari beberapa tinjuan, yaitu:
1. Hukum Adat
Hilman
Hadi Kusuma, S.H, dalam bukunya “Hukum Perkawinan Adat”: “Anak angkat adalah
anak orang lain yang dianggap anak sendiri oleh orang tua angkat dengan resmi
menurut hukum adat setempat, dikarenakan tujuan untuk kelangsungan keturunan
dan atau pemeliharaan atas harta kekayaan rumah tangga.”
Sedangkan
Surojo Wignjodipuro, SH. Dalam bukunya “Pengantar dan Azas-Azas Hukum Adat”,
memberikan batasan sebagai berikut: “Adopsi (mengangkat anak) adalah suatu
perbuatan pengambilan anak orang lain ke dalam keluarga sendiri sedemikian
rupa, sehingga antara orang yang memungut anak dan anak yang dipungut itu
timbul suatu hukum kekeluargaan yang sama, seperti yang ada anatar orang tua
dengan anak kandungnya sendiri”.[6]
2. Hukum Islam
Menurut Mahmud
Shaltut dalam kitabnya al-Fatawa. Mengemukakan dua macam definisi, yaitu: Pertama:
Penyatuan seseorang terhadap anak yang diketahuinya bahwa ia sebagai anak orang
lain ke dalam keluarganya. Ia diperlakukan sebagai anak dalam segi kecintaan,
pemberian nafkah, pendidikan dan pelayanan dalam segala kebutuhannya, bukan
diperlakukan sebagai anak nasabnya sendiri; Kedua: yakni yang dipahamkan
dari perkataan “tabanni” (mengangkat anak secara mutlak). Menurut syariat adat
dan kebiasaan yang berlaku pada manusia. Tabanni ialah memasukkan anak yang
diketahuinya sebagai orang lain ke dalam keluarganya, yang tidak ada pertalian
nasab kepada dirinya, sebagai anak yang sah, tetapi mempunyai hak dan ketentuan
hukum sebagai anak.[7]
Dapat
disimpulkan dari kedua definisi bahwa perbedaan dari kedua definisi diatas
adalah status anak angkat. Pada definisi pertama status anak angkat sebagai
anak asuh dan tidak ada akibat hukum, sedangkan definisi kedua sama statusnya
dengan anak kandung dan ia dapat mewarisi harta benda orang tua angkatntya dan
dapat meminta perwalian kepada orang tua angkatnya bila ia mau dinikahi.[8]
3. Hukum Positif
Dalam
Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perubahan Atas Undang-undang Nomor 23
Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak Pasal 1 butir 9 memberikan pengertian
bahwa anak angkat adalah anak yang haknya dialihkan dari lingkungan kekuasaan
keluarga orang tua, wali yang sah, atau orang lain yang bertanggung jawab atas perawatan,
pendidikan, dan membesarkan anak tersebut, ke dalam lingkungan keluarga orang
tua angkatnya berdasarkan putusan atau penetapan pengadilan.[9]
Kemudian
dalam Peraturan Pemerintah No. 54 Th. 2007 Pasal 1 ayat 1 dengan redaksi bahasa
yang sama menyebutkan bahwa anak angkat adalah anak yang haknya dialihkan dari lingkungan
kekuasaan keluarga orang tua, wali yang sah, atau orang lain yang bertanggung jawab
atas perawatan, pendidikan, dan membesarkan anak tersebut, ke dalam lingkungan
keluarga orang tua angkatnya berdasarkan keputusan atau penetapan pengadilan.[10]
Di
samping itu dalam Kompilasi Hukum Islam (KHI) dengan redaksi yang sedikit berbeda
mendefinisikan anak angkat adalah anak yang dalam pemeliharaan untuk hidupnya
sehari-hari, biaya pendidikan dan sebagainya beralih tanggung jawabnya dari orang
tua asal kepada orang tua angkatnya berdasarkan putusan Pengadilan (KHI Pasal 171
huruf h).[11]
B.
Macam-macam Pengangkatan Anak
Dilihat dari kewarganegaraan orang tua angkat, pengangkatan anak
dibedakan menjadi dua macam, yaitu pengangkatan anak antar Warga Negara
Indonesia (domestic adoption) dan pengangkatan anak internasional (intercountry
adoption). Domestic adoption adalah pengangkatan anak yang dilakukan oleh
orang tua angkat WNI terhadap anak angkat WNI. Sedangkan intercountry
adoption adalah pengangkatan anak, yang dilakukan oleh orang tua angkat WNI
terhadap anak angkat WNA atau pengangkatan anak yang dilakukan oleh orang tua
angkat WNA terhadap anak angkat WNI.
Dilihat dari status perkawinan calon orang tua angkat, pengangkatan
anak dapat dibedakan menjadi tiga macam, yaitu pengangkatan anak yang dilakukan
oleh calon orang tua angkat berstatus belum kawin (single parent adoption), pengangkatan
anak yang dilakukan oleh calon orang tua angkat berstatus kawin dan
pengangkatan anak yang dilakukan oleh janda atau duda (posthurrus adoption).
Dilihat dari keberadaan anak yang akan diangkat, pengangkatan anak
dapat dibedakan menjadi tiga macam, yaitu pengangkatan anak yang dilakukan
terhadap calon anak angkat yang berada dalam kekuasaan orang tua kandung atau
orang tua asal (private adoption), pengangkatan anak yang dilakukan
terhadap calon anak angkat yang berada dalam organisasi social (non private
adoption) dan anak angkat yang tidak berada dalam kekuasaan orang tua asal
maupun organisasi sosial misalnya anak yang ditemukan karena dibuang oleh
orangtuanya.
Dilihat dari akibat hukum pengangkatan anak, dalam kepustakaan hukum
biasanya membedakan pengangkatan anak menjadi dua macam, yaitu pengangkatan
anak berakibat hukum sempurna (adoption plena) dan pengangkatan arak
berakibat hukum terbatas (adoption minus plena).[12]
C.
Tujuan Pengangkatan Anak
Dalam
praktiknya, pengangkatan anak dikalangan masyarakat Indonesia mempunyai
beberapa tujuan dan/atau motivasinya. Tujuannya adalah untuk meneruskan
keturunan, apabila dalam suatu perkawinan tidak memeroleh keturunan. Motivasi
ini sangat kuat terhadap pasangan suami istri yang telah divonis tidak mungkin
melahirkan anak, padahal mereka sangat mendambakan kehadiran anak dalam
pelukannya di tengah-tengah keluarganya.
Undang-undang
No 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, secara tegas menyatakan bahwa
tujuan pengangkatan anak, motivasi pengangkatan anak hanya dapat dilakukan
untuk kepentingan yang terbaik bagi anak dan dilakukan berdasarkan adat
kebiasaan setempat dan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Ketentuan ini sangat memberikan jaminan perlindungan bagi anak yang sifatnya memang
tergantung dari orang tuanya.
Praktik
pengangkatan anak dengan motivasi komersial, perdagangan, sekedar untuk
pancingan an setelah memperoleh anak, kemudian anak angkat disia-siakan atau
diterlantarkan, sangat bertentangan dengan hak-hak yang melekat pada anak. Oleh
karena itu, pengangkatan anak harus dilandasi oleh semangat kuat untuk
memberikan pertolongan dan perlindungan sehingga masa depan anak angkat akan
lebih baik dan lebih maslahat.
Harus
disadari bahwa pengangkatan anak yang sesuai dengan budaya dan akidah
masyarakat Indonesia tidak memutuskan hubungan darah antara anak yang diangkat
dengan orang tua kandungnya. Hal sensitif yang juga harus disadari oleh calon
orang tua angkat dan orang tua kandung adalah bahwa calon orang tua angkat
harus seagama dengan agama yang dianut oleh calon anak angkat, hal ini penting
diperhatikan oleh karena pengaruh agama orang tua angkat terhadap anak
angkatnya, jika hal ini terjadi maka akan sangat melukai hati dan nurani serta
akidah orang tua kandung anak angkat itu.
Pengangkatan
anak juga mungkin terjadi dilakukan oleh Warga Negara Asing terhadap anak-anak
Indonesia, hal ini memerlukan adanya ketentuan hukum yang jelas terhadap
pengangkatan anak antarwarga negara. Pasal 39 angka 4 UU No. 23/2002 menyatakan
bahwa pengangkatan anak oleh Warga Negara Asing hanya dapat dilakukan sebagai
upaya terakhir.
Diatas
telah diuraikan bahwa hubungan nasab anak angkat dengan orang tua
kandungnya tidak terputus oleh lembaga pengangkatan anak, dan orang tua kandung
tetap memiliki hak untuk menjalankan hak dan kewajibannya sebagai orang tua
kandung, oleh karena itu orang tua angkat wajib memberitahukan kepada anak
angkatnya mengenai asal usulnya dan orang tua kandungnya. Pemberitahuan asal
usul dan orang tua kandungnya, dilakukan dengan memperhatikan kesiapan anak
yang bersangkutan.[13]
D.
Akibat Hukum Pengangkatan Anak
Adapun
akibat hukum pengangkatan anak yaitu:
a.
Terhadap Perwalian Anak Angkat
Pasal 33 UU No. 35 Tahun 2014 tentang Perubahab Atas
UU No. 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak, menyatakan bahwa:
(1)
Dalam hal Orang Tua dan Keluarga Anak tidak dapat
melaksanakan kewajiban dan tanggung jawab sebagaimana dimaksud dalam Pasal 26,
seseorang atau badan hukum yang memenuhi persyaratan dapat ditunjuk sebagai
Wali dari Anak yang bersangkutan.
(2)
Untuk menjadi Wali dari Anak sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) dilakukan melalui penetapan pengadilan.
(3)
Wali yang ditunjuk sebagaimana dimaksud pada ayat (2)
harus memiliki kesamaan dengan agama yang dianut Anak.
(4)
Wali sebagaimana dimaksud pada ayat (2) bertanggung
jawab terhadap diri Anak dan wajib mengelola harta milik Anak yang bersangkutan
untuk kepentingan terbaik bagi Anak.
(5)
Ketentuan lebih lanjut mengenai syarat dan tata cara
penunjukan Wali sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan
Pemerintah.[14]
b.
Terhadap Pengasuhan dan Pengangkatan Anak
Dalam UU
Perlindungan Anak tepatnya pada pasal 37 sampai dengan pasal 41 telah diatur
beberapa ketentuan tentang pengasuhan dan pengangkatan anak. Terhadap
pengasuhan anak, pasal 37 dan 38 UU No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak
mengatur, sebagai berikut:
Pasal 37
(1)
Pengasuhan anak ditujukan kepada anak yang orang
tuanya tidak dapat menjamin tumbuh kembang anaknya secara wajar, baik fisik,
mental, spiritual, maupun sosial.
(2)
Pengasuhan anak sebagaimana dimaksud dalam ayat (1)
dilakukan oleh lembaga yang mempunyai kewenangan untuk itu.
(3)
Dalam hal lembaga sebagaimana dimaksud dalam ayat (2)
berlandaskan agama, anak yang diasuh harus yang seagama dengan agama yang
menjadi landasan lembaga yang bersangkutan.
(4)
Dalam hal pengasuhan anak dilakukan oleh lembaga yang
tidak berlandaskan agama, maka pelaksanaan pengasuhan anak harus memperhatikan
agama yang dianut anak yang bersangkutan.
(5)
Pengasuhan anak oleh lembaga dapat dilakukan di dalam
atau di luar Panti Sosial.
(6)
Perseorangan yang ingin berpartisipasi dapat melalui
lembaga-lembaga sebagaimana dimaksud dalam ayat (3), ayat (4), dan ayat (5).
Pasal 38
(1)
Pengasuhan anak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 37,
dilaksanakan tanpa membedakan suku, agama, ras, golongan, jenis kelamin, etnik,
budaya dan bahasa, status hukum anak, urutan kelahiran anak, dan kondisi fisik
dan/atau mental.
(2)
Pengasuhan anak sebagaimana dimaksud dalam ayat (1),
diselenggarakan melalui kegiatan bimbingan, pemeliharaan, perawatan, dan
pendidikan secara berkesinambungan, serta dengan memberikan bantuan biaya
dan/atau fasilitas lain, untuk menjamin tumbuh kembang anak secara optimal,
baik fisik, mental, spiritual maupun sosial, tanpa mempengaruhi agama yang
dianut anak.
Sedangkan akibat hukum terhadap
Pengangkatan Anak dijelaskan dalam pasal 39-41 UU Perlindungan Anak sebagai
berikut:
Pasal 39
(1)
Pengangkatan anak hanya dapat dilakukan untuk
kepentingan yang terbaik bagi anak dan dilakukan berdasarkan adat kebiasaan
setempat dan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
(2)
Pengangkatan anak sebagaimana dimaksud dalam ayat (1),
tidak memutuskan hubungan darah antara anak yang diangkat dan orang tua
kandungnya.
(3)
Calon orang tua angkat harus seagama dengan agama yang
dianut oleh calon anak angkat.
(4)
Pengangkatan anak oleh warga negara asing hanya dapat
dilakukan sebagai upaya terakhir.
(5)
Dalam hal asal usul anak tidak diketahui, maka agama
anak disesuaikan dengan agama mayoritas penduduk setempat.
Pasal 40
(1)
Orang tua angkat wajib memberitahukan kepada anak
angkatnya mengenai asal usulnya dan orang mtua kandungnya.
(2)
Pemberitahuan asal usul dan orang tua kandungnya
sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilakukan dengan memperhatikan kesiapan
anak yang bersangkutan.
Pasal
41
(1)
Pemerintah dan masyarakat melakukan bimbingan dan
pengawasan terhadap pelaksanaan pengangkatan anak.
(2)
Ketentuan mengenai bimbingan dan pengawasan
sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diatur dengan Peraturan Pemerintah.[15]
c. Terhadap
Penyelenggaraan Perlindungan Terhadap Anak Angkat
Penyelenggaraan
perlindungan terhadap anak angkat meliputi berbagai aspek kehidupan dengan
mengacu kepada hak-hak asasi anak yang melekat padanya sejak anak itu
dilahirkan, meliputi:
1.
Perlindungan
terhadap agama;
2.
Perlindungan
terhadap kesehatan;
3.
Perlindungan
terhadap pendidikan;
4.
Perlindungan
terhadap hak sosial;
5.
Perlindungan
yang sifatnya khusus/eksepsional.[16]
E.
Hak dan Kewajiban dalam Pengangkatan Anak
Anak
angkat dan anak-anak lain pada umumnya adalah amanah dan karunia Tuhan Yang
Maha Esa yang dalam dirinya melekat hak-hak sebagai anak dan harkat serta
martabat sebagai manusia seutuhnya, melekat hak-hak yang perlu dihormati dan
dijunjung tinggi oleh orang tua angkatnya dan masyarakat pada umumnya, hak-hak
anak angkat dimaksud antara lain:
1.
Berhak
untuk dapat hidup, tumbuh, berkembang dan berpartisipasi secara wajar sesuai
dengan harkat dan martabat kemanusiaan, serta mendapat perlindungan dari
kekerasan dan diskriminasi.
2.
Berhak
atas suatu nama sebagai identitas diri dari status kewarganegaraan.
3.
Berhak
untuk beribadah menurut agamanya, berpikir, dan berekspresi sesuai dengan
tingkat kecerdasan dan usianya dalam bimbingan orang tua.
4.
Dan
tingkatsendiri.
5.
Dalam
hal karena sesuatu sebab orang tuanya tidak dapat menjamin tumbuh kembnag anak,
atau anak dalam keadaan terlantar, maka anak tersebut berhak diasuh atau
diangkat sebagai anak asuh atau anak angkat oleh orang lain sesuai dengan
ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
6.
Berhak
memperoleh pelayanan kesehatan dan jaminan sosial sesuai dengan kebutuhan
fisik, mental, spiritual, dan sosial.
7.
Berhak
memperoleh pendidikan dan pengajaran dalam rangka pengembangan pribadinya dan
tingkat kecerdasannya sesuai dengan minat dan bakatnya.
8.
Khusus
bagi anak yang menyandang cacat juga berhak memperoleh pendidikan luar biasa,
sedangkan bagi anak yang memilki keunggulan juga berhak mendapatkan pendidikan
khusus.
9.
Setiap
anak berhak menyatakan dan didengar pendapatnya, menerima, mencari, dan
memberikan informasi sesuai dengan tingkat kecerdasan dan usianya demi
pengembangan dirinya sesuai dengan nilai-nilai kesusilaan dan kepatutan.
10. Setiap anak berhak untuk beristirahat dan
memanfaatkan waktu luang, bergaul dengan anak yang sebaya, bermain, dan
berkreasi sesuai dengan minat, bakat, dan tingkat kecerdasannya demi
perkembangan diri.
11. Setiap anak yang menyandang cacat berhak
memperoleh rehabilitasi, bantuan sosial, dan pemeliharaan taraf kesejahteraan
sosial.
12. Setiap anak selama dalam pengasuhan orang
tua, wali, atau pihak lain mana pun yang bertanggung jawab atas pengasuhan,
berhak mendapat perlindungan dari perlakuan:
1)
Diskriminasi;
2)
Eksploitasi,
baik ekonomi maupun seksual;
3)
Penelantaran;
4)
Kekejaman,
kekerasan, dan penganiayaan;
5)
Ketidakadilan;
dan
6)
Perlakuan
salah lainnya.
Dalam hal orang
tua, wali atau pengasuh anak melakukan segala bentuk perlakuan tersebut, maka
pelaku dikenakan pemberatan hukum.
13. Setiap anak berhak untuk diasuh oleh orang
tuanya sendiri, kecuali ada alasan dan/atau aturan hukum yang sah menunjukkan
bahwa pemisahan itu adalah demi kepentingan terbaik bagi anak dan merupakan
pertimbangan terakhir;
14. Setiap anak berhak untuk memperoleh
perlindungan dari:
1)
Penyalahgunaan
dalam kegiatan politik;
2)
Pelibatan
dalam sengketa bersenjata;
3)
Pelibatan
dalam kerusuhan sosial;
4)
Pelibatan
dalam peristiwa yang mengandung unsur kekerasan; dan
5)
Pelibatan
dalam peperangan.
15. Setiap anak berhak memperoleh perlindungan
dari sasaran penganiayaan, penyiksaan, atau penjatuhan hukuman yang tidak
manusiawi. Setiap anak berhak untuk memperoleh kebebasan sesuai dengan hukum.
Penangkapan, penahanan, atau tindak pidana penjara anak hanya dilakukan apabila
sesuai dengan hukum yang berlaku dan hanya dapat dilakukan sebagai upaya
terakhir;
16. Setiap anak yang dirampas kebebasannya
berhak untuk:
1)
Mendapatkan
perlakuan secara manusiawi dan penempatannya dipisahkan dari orang dewasa;
2)
Memperoleh
bantuan hukum atau bantuan lainnya secara efektif dalam setiap tahapan upaya
hukum yang berlaku; dan
3)
Membela
diri dan memperoleh keadilan di depan pengadilan anak yang objektif dan tidak memihak
dalam sidang tertutup untuk umum.
17. Setiap anak yang menjadi korban atau
pelaku kekerasan seksual atau yang berhadapan dengan hukum berhak dirahasiakan.
18. Setiap anak yang menjadi korban atau
pelaku tindak pidana berhak mendapatkan bantuan hukum dan bantuan lainnya.
Disamping
hak-hak yang dijamin oleh undang-undang tersebut, anak-anak dan/atau termasuk
anak angkat memiliki kewajiban-kewajiban sebagai kewajiban asasi yang juga
harus dilaksanakan oleh seorang anak, yaitu bahwa setiap anak berkewajiban untuk:
1.
Menghormati
orang tua, wali, dan guru;
2.
Mencintai
keluarga, masyarakat, dan menyayangi teman;
3.
Mencintai
tanah air, bangsa, dan negara;
4.
Menunaikan
ibadah sesuai dengan ajaran agamanya; dan
5.
Melaksanakan
etika dan akhlak yang mulia.[17]
F.
Peraturan yang Terkait Dengan Pengangkatan Anak
A.
Dasar Hukum Positif[18]
|
No
|
Perihal
|
Dasar
Hukum
|
Rumusan
|
|
1
|
2
|
3
|
4
|
|
1
|
Pengertian
anak angkat
|
Pasal
1 angka 9 Undang-Undang RI Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak
|
Yang
dimaksud anak angkat adalah anak yang
haknya dialihkan dari lingkungan kekuasaan keluarga orang tua, wali yang sah,
atau orang lain yang bertanggung jawab atas perawatan, pendidikan, dan
membersarkan snsk tersebut, ke dalam lingkungan keluarga orang tua angkatnya
berdasarkan putusan atau penetapan pengadilan.
|
|
2
|
Pengertian
pengangkatan anak
|
Penjelasan
Pasal 47 Ayat (1) Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2006 tentang Administrasi
Kependudukan
|
Yang
dimaksud “pengangkatan anak” adalah perbuatan hukum untuk mengalihkan hak
dari lingkungan kekuasan keluarga orang tua, wali yang sah, atau orang lain
yang bertanggung jawab atas perawatan, pendidikan, dan membesarkan anak
tersebut, ke dalam lingkungan keluarga orang tua angkatnya berdasarkan
putusan atau penetapan pengadilan.
|
|
3
|
Pengangkatan
anak untuk kepentingan terbaik bagi anak
|
Pasal
39 Ayat (1) Undang-Undang RI Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak
|
Pengangkatan
anak hanya dapat dilakukan untuk kepentingan yang terbaik bagi anak dan
dilakukan berdasarkan adat kebiasaan setempat dan ketentuan peraturan
perundang-undangan yang berlaku.
|
|
Pasal
12 undang-undang RI nomor 4 tahun 1979 tentang kesejahteraan anak
|
(1)
Pengangkatan anak menurut adat dan kebiasaan dilaksanakan dengan mengutamakan
kepentingan kesejahteraan anak.
(2)
Kepentingan kesejateraan anak yang termasuk dalam
(1) diatur lebih lanjut dengan peraturan daerah
(3)
Pengakatan anak untuk kepentingan
|
||
|
Pasal
57 Undang-Undang RI nomor 39 Tahun 1999 tentang hak asasi manusia
|
(1)
Setiap anak berhak dibesarkan, dipelihara, dirawat,
dididik, diarahkan dan dibimbing kehidupannya oleh orang tua atau walinya
sampai dewasa sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan
(2)
Setiap anak berhak untuk mendapatkan orang tua
angkat atau wali berdasarkan putusan pengadilan apabila kedua orang tua telah
meninggal dunia atau karena sebab yang sah tidak dapat menjalankan
kewajibannya sebagai orang tua
(3)
Orang tua angkat atau wali sebagaimana dimaksud
dalam ayat (2) harus menjalankan kewajiban sebagai orang tua yang
sesungguhnya
|
||
|
4
|
Pengangkatan anak harus
seagama
|
Pasal
39 ayat (3) dan ayat (5) Undang-Undang RI nomor 23 tahun 2002 tentang
perlindungan anak
|
(4)
calon orang tua angkat harus seagama dengan agama yang dianut oleh calon anak
angkat
(5)
Dalam hal
usul anak tidak diketahui, maka agama anak disesuaikan dengan agama mayoritas
penduduk setempat
|
|
Pasal
42 Undang-undang RI Nomor 23 tahun 2002 tentang perinlungan anak
|
(1)
Setiao anak mendapatkan perlindungan untuk beribadah
menurut agamanya
(2)
Sebelum anak dapat menentukan pilihannya, agama yang
dipeluk anak mengikuti agama orang tuanya
|
||
|
Pasal
6 Undang-Undang RI Nomor 39 Thun 1999 tentang Hak Asasi Manusia
|
Setiap
anak berhak untuk beribadah menurut agamanya, berpikir, dan berekspresi
sesuai dengan tingkat kecerdasan dan usianya dalam bimbingan orang tua
|
||
|
Pasal
55 Undang-Undang RI Nomor 39 tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia
|
Setiap
anak berhak untuk beribadah menurut agamanya, berpikir, dan berekspresi
sesuai dengan tingkat intelektualitas dan usianya, dalam bimbingan orang tua
dan/atau wali.
|
||
|
5
|
Pengangkatan
anak tidak memutuskan hubungan darah
|
Pasal
39 ayat (2) Undang-Undang RI Nomor 23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak
|
Pengangkatan
anak sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), tidak memutuskan hubungan darah
antara anak yang diangkat dan orang tua kandunganya
|
|
Pasal
43 Undang-Undang RI Nomor 1 tahun 1974 tentang Perkawinan
|
Anak
yang dilahirkan diluar perkawinan hanya mempunyai hubungan perdata dengan
ibunya dan keluarga ibunya
|
||
|
6
|
Pengangkatan
anak kewenangan pengadilan agama
|
Pasal
49 Undang-Undang RI Nomor 3 Tahun 2006 tentang perubahan atas undang-undang
nomor 7 tahun 1989 tentang peradilan agama
|
Pengadilan
agama bertugas ddan berwenang memeriksa, memutus, dan menyelesaikan perkara
di tingkat pertama antara orang-orang yang beragama islam di bidang :
a.
Perkawinan
b.
Waris
c.
Wasiat
d.
Hibah
e.
Wakaf
f.
Zakat
g.
Infaq
h.
Sedekah, dan
i.
Ekonomi syariah
|
|
Penjelasan
pasal 49 huruf a Undang-undang RI nomor 3 tahun 2006
|
Yang
dimaksud dengan perkawinan dalam hal-hal yang diatur dalam atau berdasarkan
undang-undang mengenai perkawinan yang berlaku yang dilakukan menurut
syariah, antara lain:
1.
…dst. Sampai dengan 19
20. Penetapan asal
usul seorang anak dan penetapan pengangkatan anak berdasrkan hukum islam
21. …
22. …
|
||
|
7
|
Pengangkatan
anak oleh WNA sebagai ultimum remedium
|
Pasal
39 ayat (4) undang-undang RI nomor 23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak
|
Pengangkatan
anak oleh warga Negara asing hanya dapat dilakukan sebagai upaya akhir.
|
|
8
|
Kewajiban
memberitahukan asal usul dan orang tua kandung
|
Pasal
40 undang-undang RI nomor 23 tahun 2002 tentang perlindungan anak
|
(1)
Orang tua angkat wajib memberitahukan kepada anak
angkatnya mengenai asal usulnya dan orang tua kandung.
(2)
Pemberitahuan asal usul dan orang tua kadungnya
sebagaimana di maksud ayat (1) dilakukan dengan memerhatikan kesiapan anak
yang bersangkutan
|
|
9
|
Bimbingan
dan pengawasan
|
Pasal
41 undang-undang RI nomor 23 tahun 2002 tentang perlindungan anak
|
(1)
Pemerintah dan masyarakat melakukan bimbingan dan
pengawasan terhadap pelaksanaan pengakatan anak.
(2)
Ketentuan mengenai bimbingan dan pengawasan
sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diatur dengan peraturan pemerintah
|
|
10
|
Kewenangan
pengangkatan anak WNI dan WNA
|
Pasal
5 ayat (2) Undang-Undang RI nomor 12 tahun 2006 tentang Kewarganegaraan
Republik Indonesia
|
Anak
warga Negara Indonesia yang belum berusia 5 (lima) tahun diangkat secara sah
sebagai anak oleh warga negara asing berdasrkan peneteapan pengadilan tetap
diakui sebagai warga Negara Indonesia
|
|
Penjelasan
pasal 5 ayat (2) undang-undang nomor 12 tahun 2006
|
Yang
dimaksud dengan “pengadilan” adalah pengadilan negeri ditempat tinggal
pemohon dalam hal pemohonan diajukan dalam wilayah Negara Republik Indonesia
. bagi pemohon yang bertempat tinggal diluar wilayah negara Republik
Indonesia yang dimaksud pengadilan adalah pengadilan sesuai dengan ketentuan
Negara tempat tinggal pemohon.
|
||
|
11
|
Kewenangan
pengakatan anak WNI dan WNA
|
Pasal
21 ayat (2) undang-undang RI nomor 12 tahun 2006 tentang kewarganegaraan
Republik Indonesia
|
Anak
warga Negara asing yang belum berusia 5 (lima) tahun yang diangkat secara sah
menurut penetapan pengadilan sebagai anak oleh warga Negara Indonesia
memperoleh kewarganegaraan Republik Indonesia
|
|
Penjelasan
pasal 21 ayat (2) undang-undang nomor 12 tahun 2006
|
Yang
dimaksud dengan ‘pengadilan’ adalah pengadilan negeri di tempat tinggal
pemohon, bagi pemohon yang bertempat tinggal di wilayah Negara Republik
Indonesia. Bagi pemohon yang bertempat tinggal di luar wilayah negeri
Republik Indonesia yang dimaksud “pegadilan”
adalah pengadilan negeri Jakarta pusat
|
||
|
Pasal
24 peraturan pemerintah nomor 2 tahun 2007 tentang tata cara memperoleh,
kehilangan, pembatalan, dan memperoleh kembali kewarganegaraan Republik
Indonesia
|
Anak
warga Negara asing yang belum berusia 5 (lima) tahun yang diangkat secara sah
menurut penetapan pengadilan sebagai anak oleh warga Negara Indonesia
memperoleh kewarganegaraan Republik Indonesia
|
||
|
Penjelasan
pasal 24 peraturan pemerintah nomor 2 tahun 2007
|
Yang
dimaksud “pengadilan” adalah pengadilan negeri ditempat tinggal pemohon bagi
pemohon yang bertempat tinggal di wilayah Negara Republik Indonesia. Bagi
pemohon yang bertempat tinggal di luar wilayah Indonesia, yang dimaksud
“pengadilan” adalah pengadilan Negeri Jakarta pusat
|
||
|
12
|
Pencatatan
pengangkatan anak
|
Pasal
47 Undang-undang RI nomor 23 tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan
|
(1)
Pencatatan pengangkatan anak dilaksanakan
berdasarkan penetapan pengadilan ditempat tinggal
(2)
Pencatatan pengangkatan anak sebagaimana dimaksud
pada Ayat (1) wajib dilaporkan oleh penduduk kepada instansi pelaksana yang
menerbitkan kutipan akta kelahiran paling lambat 30 (tiga puluh) hari setelah
diterimanya sakinan penetapan pengadilan oleh penduduk.
(3)
Berdasarkan laporan sebagaimana dimaksud pada ayat
(2), pejabat pencatatan sipil membuat catatan pinggir pada register akta
kelahiran dan kutipan akta kelahiran.
|
|
Pasal
48 undang-undang RI nomor 23 tahun 2006 tentang administrasi kependudukan
|
(1)
Pencatatan anak warga Negara asing yang dilakukan
oleh warga Negara Indonesia di luar wilayah Negara kesatuan Republik
Indonesia wajib dicatatkan pada instansi yang berwenang di Negara setempat.
(2)
Hasil pencatatan pengangkatan anak sebagaimana
dimaksud pada Ayat (1) dilaporkan kepada perwakilan Republik Indonesia
(3)
Apabila Negara setempat sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) tidak menyelenggarakan pencatatan pengangkatan anak bagi warga
Negara asing, warga Negara yang bersangkutan melaporkan kepada perwakilan
Republik Indonesia setempat untuk mendapatkan surat keterangan pengangkatan
anak.
(4)
Pengangkatan anak warga Negara asing sebagaimana
dimaksud pada ayat (10 dan ayat (3) dilaporkan oleh penduduk kepada instansi
pelaksanaan ditempat tinggalnya paling lambat 30 (tiga puluh) hari sejak yang
bersangkutan kembali ke Republik Indonesia
(5)
Berdasarkan laporan sebagaimana dimaksud pada ayat
(4), instansi pelaksaan mengukuhkan surat keterangan pengangkatan anak.
|
||
|
|
|
||
|
13
|
Sanksi keterlambatan
melaporkan pengangkatan anak
|
Pasal 90 undang-undang RI
Nomor 23 tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan
|
(1) Setiap penduduk
dikenai sanksi administrative berupa denda apabia melampaui batas waktu
pelaporan peristiwa penting dalam hal:
a.
…..dst. sampai dengan huruf f;
g. pengangkatan anak sebagaimana dimaksud dalam
pasal 47 ayat (2) atau pasal 48 ayat (4);
h. …..dst. sampai dengan huruf I;
(2) Denda administrasi
dimaksud pada ayat (1) paling banyak RP 1.000.000,- ( satu juta rupiah )
(3) ketentuan lebih lanjut
mengenai penetapan denda administrasi sebagaimana dimaksud pada ayat (2)
diatur dalam peraturan Presiden
|
B.
Dasar Hukum Islam[19]
1. Al-Qur’an dan
Sunnah
|
1
|
Pengangkatan anak sebagai
wujud menolong orang lain (ta’awun)
|
|||
|
Al-Qur’an
Surat al-Maidah, 5
Ayat 2
|
Dan tolong-menolonglah kamu
dalam (mengerjakan) kebajikan dan ketakwaan, dan janganlah tolong-menolong
dalam berbuat dosa dan pelanggaran.
|
|||
|
Al-Qur’an
Surat al-Maidah, 5
Ayat 32
|
Dan barang siapa yang
memelihara kehidupan seorang manusia, maka ia seolah-olah dia telah
memelihara kehidupan manusia seluruhnya
|
|||
|
Al-Qur’an
Surat al-Insan, 76
Ayat 8
|
Dan mereka memberi makanan
yang disukainya kepada orang miskin, anak yatim, dan orang-orang yang ditawan
|
|||
|
Al-Qur’an
Surat al-Ma’un, 107
Ayat 1-3
|
Tahukah kamu (orang) yang
mendustakan agama? Itulah orang yang mengahrdik anak yatim, dan tidak
menolong memberi makan orang miskin
|
|||
|
2
|
Pengangkatan anak terhadap
anak beragama islam hanya boleh dilakukan oleh orang tua angkat beragama
islam.
|
|||
|
Al-Qur’an
Surat at-Tahrim, 66
Ayat 6
|
Hai orang-orang beriman
peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka…
|
|||
|
3
|
Anak angkat harus dipanggil
dengan nama ayah kadungnya
|
|||
|
Al-Qur’an
Surat al-Ahzab, 33
Ayat 4
|
Allah sekali-kali tidak
menjadikan bagi seseorang dua buah hati dalam rongganya, dan Dia tidak
menjadikan istri-istrimu yang kamu zihar itu sebagai ibumu, dan Dia tidak
menjadikan anak-anak angkatmu sebagai anak kandungmu (sendiri). Yang demikian itu hanyalah perkataanmu di
mulutmu saja. Dan Allah mengatakan yang sebenarnya dan Dia menunjukkan jalan(yang
benar).
|
|||
|
Al-Qur’an
Surat al-Ahzab, 33
Ayat 4
|
Panggillah mereka (anak-anak angkat itu) dengan (memakai) nama bapak-bapak mereka; itulah yang lebih
adil pada sisi Allah, dan jika kamu tidak mengetahui bapak-bapak mereka,
maka (panggillah mereka sebagai) saudara-saudaramu seagama dan maula-maulamu. Dan tidak ada dosa
atasmu terhadap apa yang kamu khilaf padanya, tetapi (yang ada
dosanya) apa yang disengaja
oleh hatimu. Dan adalah Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.
|
|||
|
Al-Qur’an
Surat al-Ahzab, 33
Ayat 40
|
Muhammad itu sekali-kali bukanlah
bapak dari seorang laki-laki di antara kamu, tetapi dia adalah Rasulullah dan
penutup nabi-nabi. Dan adalah Allah Maha Mengetahui segala sesuatu.
|
|||
|
4
|
Larangan menasabkan anak
angkat kepada ayah angkatnya
|
|||
|
Hadits riwayat Bukhari
Muslim
|
Dari Abu Dzar r.a, bahwa ia
mendengar Rasulullah SAW. Bersabda : tidak seorang pun yang mengakui
(membangsakan diri) kepaa orang yang bukan bapak yg sebenernya, sedangkan ia
mengetahui benar bahwa orang itu bukan ayahnya, melainkan ia telah kufur. Dan
barang siapa yang telah melakukan hal itu, maka bukan dasri golongan kami
(kalangan kaum muslimin), dan hedaklah dia menyiapkan sendiri tempatnya
didalam api neraka.
|
|||
|
Hadits riwayat Muslim
|
Dari Abi Usama ia berkata :
tatkala Zaid dipanggil bahwa ia telah dijadikan anak angkat, maka aku pergi
menemui Abu Bakhrah, lalu aku berkata kepadanya: apa yang kalian lakukan ni?
Bahwa aku telah mendengar Sa’ad bin Abi Waqqash berkata: kedua telinga ku telah
mendengar dari Rasulullah SAW. Bersabda: barang siapa mengakui (membangsakan)
seorang ayah selain ayahnya dalam islam, sedang ia tahu bahwa itu bukan
ayahnya, maka haram baginya surge.
|
|||
|
Hadits riwayat Bukhari
|
Barang siapa yang
mendakwakan dirinya sebagai anak dari seorang yang bukan ayahnya, maka
kepadanya ditimpakan laknat Allah, para malaikat dan manusia seluruhnya, keaqlak
pada hari kiamat Allah tidak menerima darinya amalan-amalannya dan
kesaksiannya.
|
|||
|
5
|
Anaka angkat bukan mahram
orang tua angkat dan saudara angakatnya
|
|||
|
Al-Qur’an
Surat al-Ahzab, 33
Ayat 37
|
Dan (ingatlah), ketika kamu berkata kepada orang yang Allah telah
melimpahkan nikmat kepadanya dan kamu (juga) telah memberi nikmat kepadanya:
"Tahanlah terus isterimu dan bertakwalah kepada Allah", sedang kamu
menyembunyikan di dalam hatimu apa yang Allah akan menyatakannya, dan kamu
takut kepada manusia, sedang Allah-lah yang lebih berhak untuk kamu takuti.
Maka tatkala Zaid telah mengakhiri keperluan terhadap istrinya (menceraikannya),
Kami kawinkan kamu dengan dia supaya tidak ada keberatan bagi orang mukmin
untuk (mengawini) isteri-isteri anak-anak angkat mereka, apabila anak-anak
angkat itu telah menyelesaikan keperluannya daripada isterinya. Dan adalah
ketetapan Allah itu pasti terjadi.
|
|||
|
6
|
Larangan melihat aurat dan
berkhalwat karena bukan mahram
|
|||
|
Al-Qur’an
Surat An-nur, 24
Ayat 30
|
Katakanlah kepada orang laki-laki yang beriman: "Hendaklah mereka
menahan pandanganya, dan memelihara kemaluannya; yang demikian itu adalah
lebih suci bagi mereka, sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang mereka
perbuat".
|
|||
|
Al-Qur’an
Surat An-Nur, 24
Ayat 31
|
Katakanlah kepada wanita yang beriman: "Hendaklah mereka menahan
pandangannya, dan kemaluannya, dan janganlah mereka menampakkan perhiasannya,
kecuali yang (biasa) nampak dari padanya. Dan hendaklah mereka menutupkan
kain kudung kedadanya, dan janganlah menampakkan perhiasannya kecuali kepada
suami mereka, atau ayah mereka, atau ayah suami mereka, atau putera-putera
mereka, atau putera-putera suami mereka, atau saudara-saudara laki-laki
mereka, atau putera-putera saudara lelaki mereka, atau putera-putera saudara
perempuan mereka, atau wanita-wanita islam, atau budak-budak yang mereka
miliki, atau pelayan-pelayan laki-laki yang tidak mempunyai keinginan
(terhadap wanita) atau anak-anak yang belum mengerti tentang aurat wanita.
Dan janganlah mereka memukulkan kakinyua agar diketahui perhiasan yang mereka
sembunyikan. Dan bertaubatlah kamu sekalian kepada Allah, hai orang-orang
yang beriman supaya kamu beruntung.
|
|||
|
Hadits riwayat Bukhari
Muslim
|
Dari Abdullah bin Abbas,
Rasulullah SAW bersabda : janganlah berduaan salah seorang kamu dengan wanita
kecuali bersama mahramnya
|
|||
|
7
|
Anak angkat yang tidak
diketahu orang tua kandungnya
|
|||
|
Al-Qur’an
Surat al-Ahzab, 33
Ayat 5
|
anggilah mereka (anak-anak angkat itu) dengan (memakai) nama
bapak-bapak mereka; itulah yang lebih adil pada sisi Allah, dan jika kamu
tidak mengetahui bapak-bapak mereka, maka (panggilah mereka sebagai)
saudara-saudaramu seagama dan maula-maulamu. Dan tidak ada dosa atasmu
terhadap apa yang kamu khilaf padanya, tetapi (yang ada dosanya) apa yang
disengaja oleh hatimu. Dan adalah Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang
|
|||
|
8
|
Anak angkat bukan ahli waris
|
|||
|
Al-Qur’an
Surat an-Nisa, 4
Ayat 7
|
Bagi orang laki-laki ada hak bagian dari harta peninggalan ibu-bapa
dan kerabatnya, dan bagi orang wanita ada hak bagian (pula) dari harta
peninggalan ibu-bapa dan kerabatnya, baik sedikit atau banyak menurut
bahagian yang telah ditetapkan.
|
|||
|
Al-Qur’an
Surat al-Anfal, 8
Ayat 75
|
Orang-orang yang mempunyai hubungan kerabat itu sebagiannya lebih
berhak terhadap sesamanya (daripada yang bukan kerabat) di dalam kitab Allah.
Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui segala sesuatu.
|
|||
|
9
|
Wasiat wajibah antara anak
angkat dengan orang tua angkat
|
|||
|
Al-Qur’an
Surat al-Maidah,5
Ayat 2
|
Hai orang-orang yang beriman, apabila salah seorang kamu menghadapi
kematian, sedang dia akan berwasiat, maka hendaklah (wasiat itu) disaksikan
oleh dua orang yang adil di antara kamu,
|
|||
|
Al-Qur’an
Surat az-Zariyah, 51
Ayat 19
|
Dan janganlah kamu mengadakan tuhan yang lain disamping Allah.
Sesungguhnya aku seorang pemberi peringatan yang nyata dari Allah untukmu.
|
|||
|
Hadits riwayah Bukhari
|
Dari Saad Abi Waqqas: aku
menderita sakit kemudian Nabi SAW. Mengunjungi dan aku tanyakan:”wahai
RasulullahSAW berdoalah taun kepada Allah semoga dia tidak menolak ku”.
Beliau bersabda” semoga Allah meniggikan (derajat)mu, dan manusia lain akan
memperoleh manfaat dari kamu”. Aku bertanya “aku ingin mewasiatkan harta ku
separuh, namun aku ada seorang anak perempuan”. Beliau menjawab: “separuh itu
banyak”. Aku bertanya (lagi): “sepertiga?” Beliau menjawab: “sepertiga,
sepertiga adalah banyak atau besar”. Beliau bersabda :” orang-orang berwasiat
sepertiga, dan yang demikian itu boleh bagi mereka”.
|
|||
|
|
|
|||
|
10
|
Perbuatan hukum pengangkatan
anak bagi orang islam tidak boleh bertentangan dengan hkum islam
|
|||
|
Al-Qur’an
Surat al-Ahzab, 33
Ayat 36
|
Dan tidaklah patut bagi laki-laki yang mukmin dan tidak (pula) bagi
perempuan yang mukmin, apabila Allah dan Rasul-Nya telah menetapkan suatu
ketetapan, akan ada bagi mereka pilihan (yang lain) tentang urusan mereka.
Dan barangsiapa mendurhakai Allah dan Rasul-Nya maka sungguhlah dia telah
sesat, sesat yang nyata.
|
|||
2. Kompilasi Hukum Islam
|
NO
|
Perihal
|
Dasar
Hukum
|
Rumusan
|
|
1
|
2
|
3
|
4
|
|
1
|
Pengertian
anak
angkat
|
Pasal
171 huruf h Kompilasi Hukum Islam
|
Anak
angkat adalah anak yang dalam hal pemeliharaan untuk hidupnya sehari-hari,
biaya pendidikan dan sebagainya beralih tanggung jawabanya dari orang tua
asal kepada orang tua angkatnya berdasarkan putusan pengadilan.
|
|
2
|
Wasiat
wajibah antara anak angkat dan orang tua angkatnya
|
Pasal
209 Kompilasi Hukum Islam
|
(1)
Harta peninggalan anak angkat dibagi berdasrkan
pasal 176 sampai dengan pasal 193 tersebut diatas, sedangkan terhadap orang
tua angkat yang tidak menerima wasiat diberi wasiat wajibah
sebanyak-banyaknya 1/3 dari harta waris orang tuanya
(2)
Terhadap anak angkat yang tidak menerima wasiat
diberi wasiat wajibah sebanyak-banyaknya 1/3 dari harta warisan orang tuanya.
|
|
3
|
Nasab
anak diluar perkawinan
|
Pasal
100 Kompilasi Hukum Islam
|
Anak
yang lahir diluar perkawinan hanya mempunyai hubungan nasab dengan ibunya dan
keluarga ibunya
|
Selain
itu, pada bab ini akan diketengahkan beberapa kaidah fikih yang kira-kira akan
berkaitan dalam memberikan penetapan atau putusan terhadap perkara pengangkatan
anak dipengadilan agama sebagai berikut:
|
1.
|
Al-umuru
maqasidiha
|
|
Setiap
perkara itu menurut maksudnya
|
|
|
2.
|
Ad-dararu
yuzatu
|
|
Kemudharatan
itu harus dihilangkan
|
|
|
3.
|
Al-adatu
muhakkamatun
|
|
Adat
itu bisa diteteapkan sebagai hukum
|
|
|
4.
|
Jalbu
al-masalihi wa dal’I al’mafasidi
|
|
Meraih
segala sesuatu yang maslahat, dan menolak semua hal yang mafsadat
|
|
|
5.
|
Tasarrufu
al-imami ala ar-ra’iyyati manutun bi al-maslahati
|
|
Kebijakan
penguasa (hakim) kepada rakyatnya berdasarkan pertimbangan kemaslahatan
|
|
|
6.
|
Ar-rida
bi al-syay’i rida bima yatawalladu minhu
|
|
Rela
akan sesuatu berarti rela pula akan akibatnya
|
|
|
7.
|
Al-muta’addi
afdalu min al-qasiri
|
|
Perbuatan
yang mencakup kepentingan orang lain lebih utama dari pada yang hanya sebatas
kepentingan sendiri
|
|
|
8.
|
Al-wilayatu
al-khassatu aqwa min al-wilayati al-ammata
|
|
Kekuasaan
yang khusus lebih kuat daripada kekuasaan yang umum
|
|
|
9.
|
Hukmu
al-hakimi fi masaili al-ijtihadi yarfa’u al-khilafi
|
|
Keputusan
hakim dalam ijtihad dapat menghilangkan persengekataan
|
|
|
10.
|
Al-hukmu
yatba’u al-maslahata al-rajihata
|
|
Hukum
itu mengikuti kemaslahatan yang kuat
|
|
|
11.
|
Dar’u
al-mafasidi awla min jalbi al-masalihi
|
|
Menolak
mafsadat lebih diutamakan daripada menarik maslahat
|
BAB III
PENUTUP
KESIMPULAN
·
Secara etimologi, ada beberapa istilah yang dikenal
dalam pengangkatan anak di Indonesia. Pengangkatan anak sering disebut juga
dnegan istilah adopsi, yang dalam bahasa inggris disebut adoption.
dan dalam bahasa Belanda disebut adoptie yang artinya pengangkatan
seorang anak atau pemungutan seorang anak.
·
Secara terminologi,
pengertian pengangkatan anak dapat ditinjau dari beberapa tinjuan, yaitu:
Ø Hukum Adat
Hilman
Hadi Kusuma, S.H, dalam bukunya “Hukum Perkawinan Adat”: “Anak angkat adalah
anak orang lain yang dianggap anak sendiri oleh orang tua angkat dengan resmi
menurut hukum adat setempat, dikarenakan tujuan untuk kelangsungan keturunan
dan atau pemeliharaan atas harta kekayaan rumah tangga.”
Ø Hukum Islam
Menurut Mahmud Shaltut dalam kitabnya
al-Fatawa. Mengemukakan dua macam definisi, yaitu: Pertama: Penyatuan seseorang
terhadap anak yang diketahuinya bahwa ia sebagai anak orang lain ke dalam
keluarganya. Ia diperlakukan sebagai anak dalam segi kecintaan, pemberian
nafkah, pendidikan dan pelayanan dalam segala kebutuhannya, bukan diperlakukan
sebagai anak nasabnya sendiri; Kedua: yakni yang dipahamkan dari
perkataan “tabanni” (mengangkat anak secara mutlak). Menurut syariat adat dan
kebiasaan yang berlaku pada manusia. Tabanni ialah memasukkan anak yang
diketahuinya sebagai orang lain ke dalam keluarganya, yang tidak ada pertalian
nasab kepada dirinya, sebagai anak yang sah, tetapi mempunyai hak dan ketentuan
hukum sebagai anak
Ø Hukum Positif
Dalam
Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perubahan Atas Undang-undang Nomor 23
Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak Pasal 1 butir 9 memberikan pengertian bahwa anak
angkat adalah anak yang
haknya dialihkan dari lingkungan kekuasaan
keluarga orang tua, wali yang sah, atau orang lain yang bertanggung jawab atas perawatan, pendidikan,
dan membesarkan anak
tersebut, ke dalam lingkungan keluarga orang tua angkatnya berdasarkan putusan
atau penetapan
pengadilan
·
Macam-macam Pengangkatan Anak Dilihat dari
kewarganegaraan orang tua angkat, pengangkatan anak dibedakan menjadi dua
macam, yaitu pengangkatan anak antar Warga Negara Indonesia (domestic
adoption) dan pengangkatan anak internasional (intercountry adoption).
Domestic adoption adalah pengangkatan anak yang dilakukan oleh orang tua
angkat WNI terhadap anak angkat WNI. Sedangkan intercountry adoption adalah
pengangkatan anak, yang dilakukan oleh orang tua angkat WNI terhadap anak
angkat WNA atau pengangkatan anak yang dilakukan oleh orang tua angkat WNA
terhadap anak angkat WNI.
·
Tujuan Pengangkatan Anak. Undang-undang
No 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, secara tegas menyatakan bahwa
tujuan pengangkatan anak, motivasi pengangkatan anak hanya dapat dilakukan
untuk kepentingan yang terbaik bagi anak dan dilakukan berdasarkan adat
kebiasaan setempat dan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Ketentuan ini sangat memberikan jaminan perlindungan bagi anak yang sifatnya
memang tergantung dari orang tuanya.
·
Akibat Hukum Pengangkatan
Anak
Ø
Terhadap Perwalian Anak Angkat
Ø
Terhadap Pengasuhan dan Pengangkatan Anak
Ø
Terhadap Penyelenggaraan Perlindungan Terhadap Anak
Angkat
·
Hak dan Kewajiban dalam Pengangkatan Anak
Anak angkat dan anak-anak
lain pada umumnya adalah amanah dan karunia Tuhan Yang Maha Esa yang dalam
dirinya melekat hak-hak sebagai anak dan harkat serta martabat sebagai manusia
seutuhnya, melekat hak-hak yang perlu dihormati dan dijunjung tinggi oleh orang
tua angkatnya dan masyarakat pada umumnya.
Seperti halnya hak untuk hidup, tumbuh, berkembang dan
berpartisipasi secara wajar sesuai dengan harkat dan martabat kemanusiaan,
serta mendapat perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi.
Disamping
hak-hak yang dijamin oleh undang-undang tersebut, anak-anak dan/atau termasuk
anak angkat memiliki kewajiban-kewajiban sebagai kewajiban asasi yang juga
harus dilaksanakan oleh seorang anak, seperti Menghormati orang tua, wali, dan
guru.
·
Peraturan Peundang-undangan
yang Terkait Dengan Pengangkatan Anak
Ø Dasar Hukum
Positif
1.
Pasal
1 angka 9 Undang-Undang RI Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak
2.
Penjelasan Pasal 47 Ayat (1) Undang-Undang
Nomor 23 Tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan
3.
Pasal
39 Ayat (1) Undang-Undang RI Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak
4.
Pasal
39 ayat (3) dan ayat (5) Undang-Undang RI nomor 23 tahun 2002 tentang
perlindungan anak
5.
Pasal
39 ayat (2) Undang-Undang RI Nomor 23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak
6.
Pasal
49 Undang-Undang RI Nomor 3 Tahun 2006 tentang perubahan atas undang-undang
nomor 7 tahun 1989 tentang peradilan agama
7.
Pasal
39 ayat (4) undang-undang RI nomor 23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak
8.
Pasal
40 undang-undang RI nomor 23 tahun 2002 tentang perlindungan anak
9.
Pasal
41 undang-undang RI nomor 23 tahun 2002 tentang perlindungan anak
10. Pasal 5 ayat (2) Undang-Undang RI nomor 12
tahun 2006 tentang Kewarganegaraan Republik Indonesia
11. Pasal 21 ayat (2) undang-undang RI nomor
12 tahun 2006 tentang kewarganegaraan Republik Indonesia
12. Pasal 47 Undang-undang RI nomor 23 tahun
2006 tentang Administrasi Kependudukan
13. Pasal 90 undang-undang RI Nomor 23 tahun
2006 tentang Administrasi Kependudukan
Ø Dasar Hukum Islam
1. Al-Qur’an Surat al-Maidah (5) Ayat 2 &
32.
2. Al-Qur’an Surat al-Insan (76) Ayat 8.
3. Al-Qur’an Surat al-Ma’un (107) Ayat 1-3.
4. Al-Qur’an Surat at-Tahrim (66) Ayat 6.
5. Al-Qur’an Surat al-Ahzab (33) Ayat 4, 5, 36, 37, 40.
6. Al-Qur’an Surat An-nur (24) Ayat 30, 3.
7. Al-Qur’an Surat an-Nisa (4) Ayat 7.
8. Al-Qur’an Surat al-Anfal (8) Ayat 75.
9. Al-Qur’an Surat az-Zariyah (51) Ayat 19.
Ø Kompilasi
Hukum Islam
1.
Pasal
171 huruf h Kompilasi Hukum Islam.
2.
Pasal
209 Kompilasi Hukum Islam.
3.
Pasal
100 Kompilasi Hukum Islam.
DAFTAR
PUSTAKA
Abdurrahman. 2010. Kompilasi Hukum Islam Di
Indonesia. Bandung: Akademika Pressindo.
Abdussalam.
2016. Hukum Perlindungan Anak. Jakarta: PTIK.
Ahmad Kamil dan M. Fauzan. 2008. Hukum
Perlindungan dan Pengangkatan Anak di Indonesia. Jakarta: Rajagrafindo
Persada.
Alam, Andi Syamsu. 2008. Hukum
Pengangkatan Anak Perspektif Islam. Jakarta: Kencana Prenada Media Grup.
Atabik Ali dan Ahmad Zuhdi Muhdlor. 1999. Kamus
Kontemporer Arab Indonesia. Yogyakarta: Multi Karya Grafika.
Departemen Pendidikan Nasional. 2008. Kamus
Besar Bahasa Indonesia. Jakarta: Gramedia.
Echols,
John M. 2010. An English-Indonesian Dictionary. Jakarta: Gramedia.
Mahjuddin. 2012. Masail Al-Fiqh:
Kasus-kasus Aktual dalam Hukum Islam. Jakarta: Kalam Mulia.
Suharto,
“Hak Waris Anak Angkat Menurut Hukum Islam Di Indonesia”, Isti’dal:
Jurnal Studi Hukum Islam, Vol. 1, No. 02, (Desdember, 2014).
Sy, Musthofa. 2008. Pengangkatan Anak
Kewenangan Pengadilan Agama. Jakarta: Kencana.
Syaltut, Mahmud. 2001. al-Fatawa. Kairo:
Dar al-Syouruq.
Zaini, Muderis. 2002. Adopsi Suatu Tinjauan
dari Tiga Sistem Hukum. Jakarta: Sinar Grafika.
[1] John M. Echols, An English-Indonesian Dictionary, (Jakarta:
Gramedia, 2010), h., 13.
[2] Mahjuddin, Masail Al-Fiqh: Kasus-kasus Aktual dalam Hukum Islam,
(Jakarta: Kalam Mulia, 2012), h., 96. Lihat juga Musthofa Sy, Pengangkatan
Anak Kewenangan Pengadilan Agama, (Jakarta: Kencana, 2008), h., 9.
[3] Atabik Ali dan Ahmad Zuhdi Muhdlor, Kamus Kontemporer Arab-Indonesia,
(Yogyakarta: Multi Karya Grafika, 1999), h., 402.
[4] Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta:
Gramedia, 2008), h., 11.
[5] Musthofa Sy, Pengangkatan Anak Kewenangan Pengadilan Agama, h.,
9.
[6] Muderis Zaini, Adopsi Suatu Tinjauan dari Tiga Sistem Hukum, (Jakarta:
Sinar Grafika, 2002), h., 5.
[7]
Mahmud Syaltut, al-Fatawa, (Kairo: Dar al-Syouruq: 2001), h., 322
[8]
Mahjuddin, Masail Al-Fiqh: Kasus-kasus Aktual dalam Hukum Islam, h., 96.
[9]
Abdussalam, Hukum Perlindungan Anak, (Jakarta: PTIK, 2016), h., 237.
[10] Suharto, “Hak Waris Anak Angkat Menurut Hukum Islam Di Indonesia”,
Isti’dal: Jurnal Studi Hukum Islam, Vol. 1, No. 02, (Desdember, 2014), h.,
110.
[11] Abdurrahman, Kompilasi Hukum Islam Di Indonesia, (Bandung:
Akademika Pressindo, 2010), h., 156.
[12] Musthofa Sy, Pengangkatan Anak Kewenangan Pengadilan Agama, h.,
42-43.
[14] Abdussalam, Hukum Perlindungan Anak, h., 245.
[16] Ahmad Kamil dan M. Fauzan, Hukum Perlindungan dan Pengangkatan
Anak di Indonesia, h., 75-77.
[17] Andi Syamsu Alam, Hukum Pengangkatan Anak Perspektif Islam,
h., 218.
[18] Musthofa Sy, Pengangkatan Anak Kewenangan Pengadilan Agama, h.,
159-163.
[19] Musthofa Sy, Pengangkatan Anak Kewenangan Pengadilan Agama, h.,
163-167.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar