BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Salah
satu tujuan pokok dari Peradilan Agama adalah dengan mewujudkan keadilan dengan
melalui putusan Hakim. Putusan Hakim tersebut bersifat mengikat orang yang
berperkara di hadapan Persidangan.
Peradilan agama
merupakan salah satu wadah bagi umat Islam pencari keadilan dalam
merealisasikan rasa keadilan, norma serta nilai keislaman sesuai
dengan ketentuan syariat Islam. Disinilah peran Qadhi atau hakim
agama dalam menegakkan keadilan dan memberantas kezhaliman yang ada. Di
Indonesia, dalam merealisasikan dan melakukan perintah tersebut ada
tahapan-tahapan yang harus dilaksanakan sesuai dengan aturan yang berlaku,
mulai dari jenis perkara yang disidangkan sesuai sebagaimana diatur
dalam Pasal 49 Undang-undang nomor 3 Tahun 2006 tentang kewenangan absolut
Peradilan Agama yang khusus menetapkan dan memutuskan perkara perdata
masyarakat yang beragama Islam dan hal lainnya yang
diatur dalam undang-undang. Dari jenis perkara tersebut diakhir
sidang hakim akan memutus perkara sesuai dengan jenis perkaranya yang kelak
hasilnya disebut denganputusan atau penetapan.
Sebelum
berlakunya UU No.7 Tahun 1989 terdapat ketidak sejajaran antara pengadilan
dalam lingkungan peradilan agama dengan pengadilan lainnya, khususnya antara
pengadilan agama dengan pengadilan negeri. Hal itu tercermin dengan adanya
institusi pengukuhan putusan pengadilan agama oleh pengadilan
negeri. Berdasarkan UU No.7 Tahun 1989 kedudukan pengadilan dalam lingkungan
peradilan agama sejajar dengan pengadilan dalam lingkungan peradilan lainnya. Ketentuan
pengukuhan putusan pengadilan agama oleh pengadilan negeri dinyatakan
dicabut.
Karena
sudah sejajarnya peradilan agama dengan peradilan lainnya, maka kiranya perlu
untuk dibuat hukum acara yang mengatur bagaimana beracara di pengadilan agama.
Untuk itu tulisan ini disusun untuk menginformasikan kepada pembaca tentang
hukum acara peradilan agama.
B.
Rumusan Masalah
1.
Apa yang dimaksud hukum acara peradilan agama?
2.
Bagaimana sejarah lahirnya hukum acara peradilan
agama?
3.
Apa saja sumber dan azas-azas dari hukum acara
peradilan agama?
C.
Tujuan
Adapun tujuan dari
penulisan makalah ini adalah mencoba untuk memberikan informasi kepada
rekan-rekan kami pada khususnya dan kepada masyarakat pada umumnya tentang
pengangkatan anak dalalm perspektif hukum perlindungan anak.
BAB II
PEMBAHASAN
PEMBAHASAN
A.
Pengertian Hukum Acara Peradilan Agama
Secara etimologi Hukum Acara Peradilan Agama terdiri
dari dua kata yaitu: Hukum Acara dan Peradilan Agama.
Hukum acara yang dianut peradilan agama yaitu hukum
acara perdata yang artinya ialah rangkaian peraturan hukum yang menentukan
bagaimana cara-cara mengajukan ke depan pengadilan perkara-perkara keperdataan
dalam arti luas dan cara-cara melaksanakan putusan-putusan hakim juga diambil
berdasarkan peraturan-peraturan tersebut.[1]
Kata peradilan berasal dari kata adil. Kata
peradilan juga merupakan terjemahan dari istilah qadha yang berarti
memutuskan, melaksanakan, dan menyelesaikan.[2] Dalam
Kamus Besar Bahasa Indonesia, istilah peradilan diartikan dengan “segala
sesuatu mengenai beragam perkara pengadilan”. Adapun pengertian istilah
pengadilan adalah “dewan atau majelis yang dapat mengadili perkara, mahkamah,
proses mengadili, keputusan hakim ketika meengadili perkara, lembaga tempat
mengadili perkara”.[3] Sedangkan peradilan agama
adalah sebutan (literatur) resmi bagi salah satu diantara empat lingkungan
Peradilan Negara atau kekuasaan kehakiman yang sah di Indonesia (Pasal 18 UU
No. 48 tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman).[4]
Peradilan agama adalh peradilan Islam di Indonesia, sebab dari jenis-jenis
perkara yang boleh diadilinya, seluruhnya adalah jenis perkara menurut agama
Islam.[5]
Secara Terminologi, Abdul Manan mendefinisikan Hukum
Acara Peradilan Agama dengan “Hukum acara perdata agama merupakan hukum yang
mengatur tentang cara mengajukan gugatan kepada pengadilan agama, bagaimana
pihak tergugat mempertahankan diri dari gugatan penggugat, bagaimana para hakim
bertindak balik sebelum dan sedang pemeriksaan dilaksanakan, dan bagaimana para
hakim memutus perkara yang diajukan oleh penggugat tersebut, serta bagaimana
cara melaksanakan putusan tersebut sebagaimana mestinya sesuai dengan peraturan
yang berlaku, sehingga hak dan kewajiban sebagaimana yang telah diatur dalam
hukum perdata agama dapat berjalan sebagaimana mestinya.[6]
Menurut Mukti Arto, hukum
acara perdata agama adalah semua kaidah hukum yang menentukakn dan mengatur
cara bagaimana melaksanakan hak-hak dan kewajiban-kewajiban perdata agama
sebagaimana yang diatur dalam hukum perdata materiil yang berlaku di lingkungan
peradilan agama.[7]
B.
Sejarah Hukum Acara Peradilan Agama di Indonesia
Sebelum Islam datang, Indonesia memilik dua macam
peradilan yaitu peradilan perdata dan peradilan padu. Peradilan perdata hanya
mengurusi perkara-perkara yang menjadi urusan raja, yang bersumber pada hukum
Hindu yang dilukiskan pada papakem atau kitab hukum yang menjadi hukum
tertulis, sedangkan peradilan padu mengurusi perkara-perkara yang bukan menjadi
urusan raja, dan bersumber pada hukum Indonesia asli, yaitu hukum kebiasaan
sehingga bersifat tidak tertulis.[8]
Dengan masuknya agama Islam di Indonesia pada abad
pertama Hijriah, yang bertepatan dengan abad ke-7 Masehi yang di bawa dari
Arab, masyarakat yang menerima Islam mulai melaksanakan ajaran dan
aturan-aturan agama Islam yang bersumber dari kitab-kitan fiqih. Sistem
peradilan pada saat itu dikenal dengan qadha. Penyelesaian
perkara-perkara dalam masyarakat pada saat itu dilakukan dengan cara tahkim (ahli
agama, ulama, atau mubaligh). Di beberapa tempat, tahkim telah
melembaga sebagai peradilan syara bahkan pada beberapa kerajaan, peradilan
syara berdampingan dengan peraturan raja yang umumnya bersumber pada adat atau
kebiasaan. Dengan demikian, dilihat dari proses keberadaan tahkim, priode ini
dapat dikatakan sebagai cikal bakal perkembangan peradilan Agama.[9]
Pembahasan sejarah perkembangan peradilan agama
melalui beberapa priode berikut:
1)
Peradilan
Agama Pada Masa Prapemerintahan Hindia Belanda
Peradilan
Agama di Indonesia dimulai sejak mesuknya Islam di wilayah Indonesia, pada saat
itu proses baracara praktik peradilan agama masih sangat sederhana yang dalam
perkembangannya proses beracara pengadilan agama dikenal dalam tiga periode:
a)
Proses
Tahkim Kepada Muhakam
Proses ini dilakukan ketika pemeluk agama
Islam masih sedikit. Jadi ketika terdapat perkara-perkata di masyarakat muslim
penyelesaiannya dilakukan secara ber-tahkim, yaitu diserahkan kepada guru atau mubaligh
atau ulama yang dianggap mampu dan berilmu agama tinggi. Dan orang yang
bertindak sebagai hakim disebut muhakam.
b)
Proses
ahlul hilli wal’Aqdi
Periode
ini dilakukan ketika pemeluk agama Islam bertambah banyak. Jabatan hakim atau qadha
dilakukan secara pemilihan dan bai’at oleh ahlul hilli wal’Aqdi, yaitu
proses pengangkatan hakim atas seseorang yang dipercaya ahli oleh majelis atau
kumpulan orang-orang terkemuka dalam masyarakat muslim pada saat itu.
c)
Proses
tauliyah
Pengangkatan jabatan hakim dilakukan
dengan tauliyah, yaitu pemberian atau pendelegasian kekuasaan dari
penguasa. Dalam melaksanakan tugasnya, para hakim agama menggunakan Al-Qur’an,
As-Sunnah dan kitab fiqih Islam sebagai sumber hukumnya.
Dengan masuknya agama Islam di Indonesia, tata hukum mengalami
perubahan. Hukum Islam tidak hanya menggantikan hukum Hindu yang berwujud dalam
hukum perdata saat itu, tetapi juga memasukan pengaruhnya dalam berbagai aspek
kehidupan masyarakat. Tiap-tiap pengadilan negeri diadakan pengadilan agama
yang mempunyai daerah yang sama walaupun wewenang pengadilan agama baru disebut
“priesterradd” ini dalam bidang perkawinan dan waris.[10]
2)
Peradilan
Agama pada Masa Pemerintahan Belanda
Sebelum Belanda melancarkan politik hukum
di Indonesia, masyarakat pada saat itu patuh dan mengikuti peraturan-peraturan
Islam dalam berbagai dimensi kehidupan, namun keadaan itu kemudian manjadi
terganggu dengan munculnya Kolonialisme Belanda yang membawa misi tertentu,
mulai dari misi dagang, politik bahkan sampai misi kristenisasi.[11]
Adapun kedatangan organisasi dagang Belanda VOC (vereenigde Oost Indische
Campagnie) terhadap Islam dipengaruhi oleh kepentingan perdagangan
rempah-rempah dan perluasan pasar di Nusantara.
Pada tahun 1854, pemerintah Belanda
mengeluarkan pernyataan politik yang dituangkan dalam “Reglement op het
beleid der regeerings van Nederlandsch Indie” yang disingkat menjadi “Regeerings
Reglement (RR)” dimuat dalam Stlb. Hindia Belanda 1854 No. 129 dan
sekaligus dimuat juga dalam Stbl. Hindia Belanda 1854 No.2 pasal 75, 78 dan 109
RR Stbl. 1855:2 ditegaskan bahwa berlakunya undang-undang hukum Islam
bagi orang Islam Indonesia.[12]
3)
Peradilan
Agama pada Masa Pemerintahan Jepang
Pada masa pemerintahan Jepang, lembaga
pengadilan agama mengalami perubahan nama, yaitu Sooryoo Hooin untuk
peradilan agama dan Kaikyoo Kootoo Hooin untuk Mahkamah Islam Tinggi
(Peradilan Tinggi Agama). Peradilan agama pada masa pendudukan Jepang tidak
dapat dilepaskan dari “kebijakan-kebijakan” Belanda sebelumnya. Pendudukan
Jepang hanya membawa kemajuan dan memperkuat kedudukan pengadilan agama yang
ada dalam satu atau dua daerah di luar Jawa, setelah jepang melihat keuntungan
yang akan diraih. Dengan demikian, pengelolaan Negara jajahan, baik yang
dilakukan Jepang maupun Belanda tetap sama.
Pada tahun 1922 dibentuk badan yang
bertugas mencari jalan agar peradilan agama menjadi lebih baik. Komisi tersebut
membuat beberapa kesimpulan penting, yaitu:
a)
Kasus-kasus
yang dimasukkan dalam peradilan agama hanya kasus-kasus yang dianggap berkaitan
erat dengan hukum Islam, dan kasus-kasus yang berhubungan dengan keabsahan
perkawinan, perceraian, mahar, dan kewajiban suami untuk menafkahi isttinya.
b)
Peradilan
agama yang terdiri atas ketua dan anggota-anggota yang mempunyai hak suara,
selanjutnya harus terdiri atas seorang hakim saja. Hal ini berkaitan dengan kekuasaan
qadhi. Hakim harus dibantu oleh dua orang penasehat yang ahli dalam
hukum Islam.
c)
Untuk
menghindari hal-hal yang kurang adil dan meninggikan peradilan agama, hakim
harus menerima gaji dari bendahara Negara.
d)
Pengadilan
banding (Mahkamah Tinggi Islam/ Hor Voor Islamietische Zaken) ditetapkan
kembali untuk menangani kasus-kasus dari peradilan agama.
Pada tahun 1937 dibuatlah peraturan baru
(Stb.1937 No.116) dengan mencantumkan pasal-pasal yurisdiksinya. Saat itu
ditetapkan pula Mahkamah Tinggi Islam dan pemindahan kewenangan mengadili
perkara waris kepada Pengadilan Negeri (Pasal 7 S.1937 No.116 dan 610), serta
diberlakukannya ordinansi perkawinan dengan pencatatan perkawinan di catatan
sipil. Kerapatan qadhi besar untuk daerah Kalimantan Selatan (Pasal 19
Stb. 1937 No.639 dan 63), sedangkan bagi daerah di luar Jawa Madura dan
Kalimantan Selatan masalah peradilan agama diserahkan kepada penguasa dan
masyarakat setempat yang merupakan bagian dari Pengadilan Adat dan Sultan.[13]
4)
Peradilan
Agama pada Masa Republik Indonesia Merdeka
Setelah Indonesia merdeka 17 Agustus
1945, atas usul menteri Agama yang disetujui menteri kehakiman, pemerintah
menetapkan bahwa pengadilan agama diserahkan dari kekuasaan kementrian
kehakiman kepada kementrian Agama dengan ketetapan pemerintah No.5/SD tanggal
25 Maret 1946, yang menyebutkan, “pada masa colonial Belanda tidak ada
pegawai pengadilan agama yang mendapatkan gai tetap atau honorarium dari
pemerintan Hindia Belanda bukan sebagai ketua pengadilan agama, akan tetapi dalam
kedudukannya sebagai Islamitisch adviseur pada landraad”. Adapun setelah
kemerdekaan anggaran belanja pengadilan agama diserahkan kepada pemerintah.
Dalam perkembangannya, kekuasaan dan
kewenangan peradilan agama mulai di porsi, sejalan dengan lahirnya UU No.1
tahun 1974, yang pelaksanaannya diatur dalam PP No. 9 tahun 1975, dengan
melimpahkan segala jenis perkara perkawinan orang-orang yang beraga Islam ke
pengadilan agama. Demikian pula, PP No.28 tahun 1977 tentang perwakafan,
memberi kekuasaan kepada peradilan agama untuk menyelesaikan perkara perwakafan
tanah milik.
Dalam prakteknya, peradilan agama
menunjukkan kemandirian dalam melaksanakan rupoksi peradilan sebagai pengadilan
negeri yang independen. Terlebih dengan adanya pasal 63 ayat (2) UU No.1 tahun
1974, yang mengharuskan setiap keputusan pengadilan agama dikukuhkan oleh
peradilan negeri. Lahirnya UU No.7 tahun 1989 membawa pengaruh besar terhadap
pengadilan agama di Indonesia menjadi mandiri. Dengan demikian, peradilan agama
sebagai peradilan khusus yang mengadili perkara-perkara tertentu dan mengenai
kelompok masyarakat tertentu, yaitu orang-orang yang beragama Islam menjadi
sejajar dengan peradilan-peradilan lainnya di Indonesia (PN, PTUN, PM).[14]
C.
Sumber dan Azas Hukum Acara Peradilan Agama
a.
Pengertian Sumber Hukum
Sumber
hukum adalah segala sesuatu yang menghasilkan atau melahirkan hukum, tempat
asal mulanya hukum, atau tempat ditemukannya hukum. Pada dasarnya sumber hukum
terbagi dua, yaitu sumber hukum formal dan sumber hukum materiil.
Sumber
hukum formal adalah sumber hukum yang memiliki bentuk tersendiri yang secara
yuridis telah berlaku dan diketahui oleh umum. Adapun yang termasuk dalam
sumber hukum formal meliputi undang-undang, kebiasaan atau adat istiadat,
traktat, yurisprusdensi, doktrin.
Sedangkan
sumber hukum materiil hanya merupakan sumber-sumber yang melahirkan isi suatu
hukum sendiri, baik secara langsung maupun tidak langsung. Seperti gejala yang
berada dalam kehidupan masyarakat, baik yang telah menjadi peristiwa maupun
yang belum menjadi peristiwa.
b.
Sumber Hukum Acara
Perdata Yang Berlaku Di Lingkungan Peradilan Agama Di Peradilan Umum
Menurut
ketentuan pasal 54 UU No 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama yang berbunyi:
“Hukum acara yang berlaku pada pengadilan dalam lingkungan Peradilan Agama
adalah hukum acara yang berlaku pada peradilan umum, kecuali yang telah diatur
secara khusus dalam undang-undang ini”.[15]
Dalam
hukum perdata, hukum acara perdata banyak tersebar dalam beberapa
perundang-undangan yang secara khusus mengatur dalam beracara di pengadilan.
Aturan dalam hukum acara perdata mempunyai sifat mengikat dan memaksa karena
dianggap menyelenggarakan kepentingan umum. Oleh karena itu, peraturan hukum
acara perdata tidak dapat dikesampingkan oleh pihak-pihak yang berkepentingan
atau yang bersengketa serta harus tunduk dan menaatinya. Akan tetapi, ada juga
bagian dari peraturan hukum acara perdata yang bersifat pelengkap (aanvullend
recht) karena dianggap mengatur penyelenggaraan kepentingan khusus dari
yang bersangkutan sehingga dapat di kesampingkan oleh pihak-pihak yang
berkepentingan.
Sumber
hukum acara perdata sebagian dapat tertulis, artinya termuat dalam beberapa
peraturan perundang-undangan negara dan sebagian lagi tidak tertulis, artinya
menurut adat kebiasaan yang dianut oleh para hakim dalam melakukan pemeriksaan
perkara.
Dengan
demikian, tidak ada alasan bagi hakim dalam hukum acara perdata untuk menolak
memeriksa suatu perkara yang dianjurkan ke muka sidang (pengadilan) dan
mengadili perkara tersebut dengan alasan bahwa hukumnya tidak tahu atau tidak
jelas. Hal ini sesuai dengan ketentuan dalam pasal 14 ayat (1) UU No. 14 Tahun
1970 yang menyebutkan sebagai berikut, “pengadilan tidak boleh menolak untuk
memeriksa dan mengadili suatu perkara yang diajukan dengan dalil bahwa hukum
tidak tahu atau kurang jelas, melainkan wajib untuk memeriksa dan
mengadilinya.”
Dalam
hal ini, jika hakim tidak menemukan hukum tertulis, ia wajib menggali,
mengikuti dan memahami nilai-nilai hukum yang hidup dalam masyarakat. Hal ini
ditegaskan kembali dalam pasal 27 ayat (1) UU No. 14 Tahun 1970 yang menyebutkan
sebagai berikut: “Hakim sebagai penegak hukum dan keadilan wajib menggali,
mengikuti dan memahami nilai-nilai hukum yang hidup dalam masyarakat.”.
[16]
Beberapa
peraturan perundang-undangan yang mengatur hukum acara perdata yang berlaku dilingkungan
peradilan agama di peradilan umum, yaitu sebagai berikut:
1.
UU No. 1 Tahun 1974 dan
PP No. 9 Tahun 1975 tentang Peraturan Pelaksana UU Perkawinan tersebut.
2.
UU No. 14 Tahun 1970
tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman yang telah di ubah dengan
UU No. 35 Tahun 1999, dan dinyatakan tidak berlaku dengan dikeluarkannya UU No.
4 Tahun 2004 sebagai pengganti, kemudian UU ini dinyatakan dicabut dan diganti
dengan UU No. 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman.
3.
UU No. 14 Tahun 1985
telah diubah dan disempurnakan dengan UU No. 5 Tahun 2004, kemudian UU ini
diubah dengan UU No. 3 Tahun 2009 tentang Mahkamah Agung Yang Memuat Tentang
Acara Perdata Dan Hal-Hal Yang Berhubungan Dengan Kasasi Dalam Proses
Berperkara Di Mahkamah Agung.[17]
c.
Sumber Hukum Acara
Perdata Peradilan Umum
1.
Het Herziene Inlandsche
Reglement (HIR) disebut juga dengan Reglement Indonesia yang
diperbaharui (RIB). Untuk Jawa dan Madura.
2.
Rechts Reglement
Buitengewesten (RBG) disebut juga sebagai reglement untuk daerah
seberang, artinya khusus untuk daerah di luar Jawa dan Madura.
3.
Reglement Opde
Burgerlijke Rechts Vordering (RSV) pada saat penjajahan
Belanda berlaku untuk Road Van Justitie.
d.
Sumber Hukum Acara
Peradilan Agama
Untuk
melaksanakan tugasnya, yaitu menerima memeriksa dan mengadili dan menyeleseikan
perkara dengan fungsinya untuk menegakkan hukum dan keadilan, peradilan agama
menggunakan hukum acara yang terserak-serak atau tersebar dalam berbagai
peraturan perundang-undangan, bahkan menggunakan acara yang tidak tertulis,
yaitu huum formal Islam yang belum dibentuk dalam peraturan perundang-undangan
di Indonesia. Akan tetapi setelah terbitnya UU No. 7 Tahun 1989 yang
diberlakukan pada tanggal 28 Desember 1989, hukum acara peradilan agama menjadi
konkret dan jelas. Sesuai pasal 54 yang menyebutkan: “hukum acara yang
berlaku pada pengadilan dalam lingkungan peradilan agama adalah hukum acara
perdata yang berlaku dalam lingkungan peradilan umum, kecuali yang telah diatur
secara khusus dalam undang-undang ini.”
Berdasarkan
pasal tersebut, hukum acara peradilan agama yang sekarang berlaku bersumber
dari dua aturan, yaitu UU No. 7 Tahun 1989 Dan Peraturan Yang Berlaku Di
Pengadilan Umum. Hal ini dapat dilihat dalam hukum acara yang berlaku di
pengadilan umum. Hal ini dapat dilihat dalam hukum acara yang berlaku di
pengadilan umum yang sudah penulis sebutkan.
Peraturan
perundang-undangan yang secara khusus berlaku dipengadilan agama, yaitu:
1.
UU No. 7 Tahun 1989
Tentang Peradilan Agama
2.
Inpres No. 1 Tahun 1991
tentang KHI (Kompilasi Hukum Islam)
3.
UU No. 17 Tahun 1999
tentang Pengelolaan Zakat
4.
UU No. 41 Tahun 2004
tentang Wakaf
5.
UU No. 3 Tahun 2006
tentang perubahan atas UU No. 7 Tahun 1989.
Selain
perundang-undangan yang secara khusus berlaku dalam peradilan umum dan
peradilan agama, ada juga perundang-undangan yang berlaku di pengadilan agama
dan pengadilan umum yang mengatur kewenangan masing-masing.
[19] Di
samping itu, ada juga peraturan dari sumber lainnya, seperti:
1.
Peraturan Mahkamah Agung
RI
2.
Surat Edaran Mahkamah
Agung RI
Tentang Surat Edaran dan
Instruksi Mahkamah Agung RI sepanjang menyangkut Hukum Acara Perdata dan Hukum
Perdata Materiil dapat dijadikan Hukum Acara dalam praktik peradilan terhadap
suatu persoalan hukum yang dihadapi oleh hakim. Tentang Surat Edaran dan Instruksi
Mahkamah Agung RI tidak mengikat hakim sebagaimana undang-undang. Menurut Prof.
DR. Sudikno Mertokusumo, SH., (1988: 8) Surat Edaran dan Instruksi Mahkamah
Agung RI itu bukanlah hukum, tetapi merupakan sumber hukum, bukan dalam arti
tempat ditemukan hukum melainkan tempat hakim dapat menggali hukum.[20] Untuk
itu, para pakar hukum berpendapat bahwa perma dan SEMA adalah bentuk campur
tangan Mahkamah Agung terhadap hakim dalam menyeleseikan perkara yang diajukan
kepadanya sebagaimana yang diatur dalam pasal 195 HIR. Tampaknya, pendapat
tersebut ada benarnya, akan tetapi, bila dilihat pasal 11 (4) UU No. 48 Tahun
2009 tentang Kekuasaan Kehakiman bahwa Mahkamah Agung berhak melakukan
pengawasan tertinggi atas perbuatan pengadian lain menurut ketentuan yang
ditentukan oleh undang-undang.
3.
Yurisprudensi Mahkamah
Agung RI
Yurisprudensi merupakan
pengumpulan yang sistematis dari Keputusan Mahkamah Agung dan keputusan
pengadilan tinggi yang diikuti oleh hakim lain dalam memberikan keputusan
terhadap masalah yang sama. Hakim tidak boleh terikat pada putusan
yurisprudensi tersebut, sebab negara Indonesia tidak menganut asas “the
blinding force of precedent”. Jadi, bebas memilih antara meninggalkan
yurisprudensi dan memakai dalam suatu perkara yang sejenis dan telah mendapat
putusan sebelumnya. Hakim harus berani meninggalkan yurisprudensi kalau
sekiranya yurisprudensi itu sudah usang dan sudah tidak sesuai lagi dengan
tuntutan zaman dan keadaan masyarakat. Tetapi tidak ada salahnya untuk tetap
dipakai kalau yurisprudensi itu masih sesuai dengan keadaan zaman dan sesuai
dengan nilai-nilai hukum yang hidup dalam masyarakat.
4.
Kitab Fiqih Islam dan
Sumber Hukum Tidak Tertuis lainnya.
Sebelum berlaku UU No. 7 Tahun
1989 tantang Peradilan Agama, doktrin atau ilmu pengetahuan hukum banyak
diperginakan oleh hakim peradilan agama dalam memeriksa dan mengadili suatu
perkara, terutama ilmu pengetahuan hukum yang tersebut dalam kitab-kitab fiqih.
Berdasarkan dalam Surat Edaran Biro Peradilan Agama Departemen Agama Nomor
B/1/1735, tanggal 18 Februari 1958 sebagai pelaksana peraturan Pemerintah Nomor 45 Tahun 1957 tentang Pembentukan
Pengadilan Luar Jawa dan Madura dikemukakan bahwa unttuk mendapatkan kesatuan
hukum dalam memeriksa dan memutus perkara maka para Hakim Pengadilan Agama
dianjurkan agar mempergunakan sebagai pedoman hukum acara yang bersumber dalam
fiqih sebagai berikut.
Ø
Al-Bajuri.
Ø
Fathul Mu’in.
Ø
Syarqawi at-Tahrir.
Ø
Qalyubi/Mahalli.
Ø
Fathul Wahab dan
Syarh-nya.
Ø
Tuhfah.
Ø
Targhibul Musytaq.
Ø
Qawaninusy Syar’iyah Lis
Sayyid bin Yahya.
Ø
Qawaninusy Syar’iyah Lis
Sayyid Sadaqah Dahlan.
Ø
Syamsyuri Fil Faraidh.
Ø
Bugyatul Mustarsyidin.
Ø
Al-fiqh ‘ala Madzahibil
Arba’ah.
Ø
Mugnif Muntaj.
Dengan menunjukkan ke-13 kitab fikih di atas, hakim
peradilan agama diharapkan dapat mengambil mekanisme beracara dalam pearadilan
Islam untuk dijadikan pedoman dalam mengadili dan menyeleseikan perkara yang
diajukan kepadanya di lingkungan Peradilan Agama.[21]
e.
Asas-Asas Hukum Acara
Peradilan Agama
Dalam
hukum acara peradilan agama terdapat asas-asas dalam proses beracaranya, yang
meliputi sebagai berikut.
1)
Bebas Merdeka Kekuasaan
Kahakiman.
Asas bebas merdeka adalah kekuasaan negara yang
merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan
berdasarkan pancasila, demi terselenggaranya negara hukum republik Indonesia.
Pada dasarnya asas kebebasan hakim dan peradilan yang digariskan dalam UU No. 3
Tahun 2006 tentang perubahan atas UU No. 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama
adalah merujuk pada pasal 24 UUD 1945 dan jo. Pasal 1 UU No. 4 Tahun 2004
tentang Kekuasaan Kehakiman.
Dalam penjelasan pasal 1 UU No. 4 Tahun 2004 ini
disebutkan bahwa, “kekuasaan kehakiman yang merdeka ini mengandung
pengertian di dalamnya kekuasaan kehakiman yang bebas dari campur tangan pihak
kekuasaan Negara lainnya, dan kebebasan dari paksaan, direktiva atau
rekomendasi yang datang dari pihak ektra yudisial kecuali dalam hal yang
diizinkan UU.”
2)
Pelaksana Kekuasaan
Kehakiman
Asas sebagai pelaksana kekuasaan kehakiman,
maksudnya penyelenggara kekuasaan kehakiman dilakukan oleh Mahkamah Agung dan
badan peradilan yang berada di bawahnya dalam lingkungan peradilan umum,
lingkungan peradilan agama, lingkungan peradilan militer, lingkungan peradilan
tata usaha negara, dan sebuah Mahkamah Konstitusi. Semua peradilan di seluruh
wilayah negara Republik Indonesia adalah peradilan negara dan ditetapkan dengan
UU. Dengan demikian, peradilan negara menetapkan hukum dan keadilan berdasarkan
Pancasila.
3)
Ketuhanan
Asas ketuhanan, maksudnya peradilan agama dalam
menerapkan hukumnya selalu berpedoman pada sumber hukum agama Islam sehingga
pembuatan putusan ataupun penetapan harus dimulai dengan kalimat basmalah
yang diikuti dengan irah-irah atau kalimat “Demi Keadilan Berdasarkan
Ketuhanan Yang Maha Esa.”
4)
Fleksibilitas
Asas fleksibilitas, yaitu pemeriksaan perkara
dilingkungan peradilan agama harus dilakukan dengan sederhana, cepat, dan biaya
ringan. Adapun asas ini diatur dalam pasal 57 (3) UU No. 7 Tahun 1789 yang
tidak diubah dalam UU No. 3 Tahun 2006 tentang peradilan agama jo Pasal 4 (2)
dana Pasal 5 (2) UU No. 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman. Untuk itu,
pengadilan agama wajib membantu kedua pihak berperkara dan berusaha menjelaskan
dan mengatasi segala hambatan yang dihadapi para pihak tersebut.
5)
Non-Ekstra Yudisial
Asas non-ekstra yudisial adalah segala campur
tangan dalam urusan peradilan oleh pihak lain di luar kekuasaan kehakiman
dilarang, kecuali dalam hal-hal sebagaimana disebut dalam UUD RI Tahun 1945.
Dengan demikian, setiap orang yang dengan sengaja melanggar ketentuan
sebagaimana dimaksud dapat dipidana.
6)
Legalitas
Asas legalitas, maksudnya peradilan agama mengadili
menuntut hukum dengan tidak membeda-bedakan orang. Asas ini diatur dalam Pasal
3 ayat (2), Pasal 5 ayat (2), Pasal 6 ayat (1) UU No. 4 Tahun 2004 tentang
Kekuasaan Kehakiman jo Pasal 2 UU No. 3 Tahun 2006 tentang Peradilan Agama.
Asas legalitas dapat dimaknai sebagai hak perlindungan hukum sekaligus hak
persamaan hukum. Oleh sebab itu, semua tindakan yang dilakukan dalam rangka
menjalankan fungsi dan kewenangan peradilan harus berdasarkan hukum yang
berlaku dan yang mengaturnya, mulai tindakan pemanggilan, penyitaan,
pemeriksaan di persidangan, putusan yang dijtuhkan dan eksekusi putusan, semuanya
harus berdasarkan atas hukum atau perundang-undangan yang berlaku, bukan
menurut atau atas dasar selera hakim.[22]
BAB III
PENUTUP
PENUTUP
Kesimpulan
·
Pengadilan
adalah dewan atau majelis yang dapat mengadili perkara, mahkamah, proses
mengadili, keputusan hakim ketika meengadili perkara, lembaga tempat mengadili
perkara. Sedangkan peradilan agama menurut Pasal 18 UU No. 48 tahun 2009
tentang Kekuasaan Kehakiman adalah sebutan (literatur) resmi bagi salah satu
diantara empat lingkungan Peradilan Negara atau kekuasaan kehakiman yang sah di
Indonesia. Jadi dapat disimpulkan bahwa hukum acara perdata agama adalah semua
kaidah hukum yang menentukakan dan mengatur cara bagaimana melaksanakan hak-hak
dan kewajiban-kewajiban perdata agama sebagaimana yang diatur dalam hukum
perdata materiil yang berlaku di lingkungan peradilan agama.
·
Sejarah perkembangan
peradilan agama melalui beberapa priode: a) Peradilan Agama Pada Masa
Prapemerintahan Hindia Belanda yang juga dikenal dengan tiga priode yaitu
Proses Tahkim Kepada Muhakam, Proses ahlul hilli wal’Aqdi, proses tauliyah. b)
Peradilan Agama pada Masa Pemerintahan Belanda yaitu tahun 1854 mengeluarkan
pernyataan politik yang dituangkan dalam “Reglement op het beleid der
regeerings van Nederlandsch Indie” yang disingkat menjadi “Regeerings Reglement
(RR)” dimuat dalam Stlb. Hindia Belanda 1854 No. 129 dan sekaligus dimuat juga
dalam Stbl. Hindia Belanda 1854 No.2 pasal 75, 78 dan 109 RR Stbl. 1855:2
ditegaskan bahwa berlakunya undang-undang hukum Islam bagi orang Islam Indonesia.
c) Peradilan Agama pada Masa Pemerintahan Jepang membuat peraturan baru
(Stb.1937 No.116) dengan mencantumkan pasal-pasal yurisdiksinya. Saat itu
ditetapkan pula Mahkamah Tinggi Islam dan pemindahan kewenangan mengadili
perkara waris kepada Pengadilan Negeri (Pasal 7 S.1937 No.116 dan 610), serta
diberlakukannya ordinansi perkawinan dengan pencatatan perkawinan di catatan
sipil. Kerapatan qadhi besar untuk daerah Kalimantan Selatan (Pasal 19 Stb.
1937 No.639 dan 63), sedangkan bagi daerah di luar Jawa Madura dan Kalimantan
Selatan masalah peradilan agama diserahkan kepada penguasa dan masyarakat
setempat yang merupakan bagian dari Pengadilan Adat dan Sultan. d) Peradilan
Agama pada Masa Republik Indonesia Merdeka peradilan agama sebagai peradilan khusus
yang mengadili perkara-perkara tertentu dan mengenai kelompok masyarakat
tertentu, yaitu orang-orang yang beragama Islam menjadi sejajar dengan
peradilan-peradilan lainnya di Indonesia (PN, PTUN, PM).
·
Sumber Hukum yang secara khusus
berlaku di
Pengadilan Agama yaitu UU No. 7 Tahun 1989 Tentang
Peradilan Agama, Inpres No. 1 Tahun 1991 tentang KHI (Kompilasi Hukum
Islam), UU No.
17 Tahun 1999 tentang Pengelolaan Zakat, UU No. 41 Tahun 2004 tentang
Wakaf, dan UU No. 3 Tahun 2006 tentang perubahan atas UU No. 7 Tahun 1989. Adapun peraturan lainnya seperti Peraturan Mahkamah Agung RI, Surat Edaran Mahkamah Agung RI, Yurisprudensi Mahkamah Agung RI, serta Kitab Fiqih Islam dan Sumber
Hukum Tidak Tertuis lainnya.. Sedangkan asas-asas hukum acara peradilan
agama yaitu bebas merdeka kekuasaan kahakiman, pelaksana kekuasaan kehakiman, ketuhanan,
fleksibilitas, non-ekstra yudisial, dan legalitas.
DAFTAR PUSTAKA
Bisri,
Cik Hasan. 2003. Peradilan Agama di Indonesia. Jakarta: Raja Grafindo
Persada.
C.S.T.
Kansil. 2013. Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Indonesia. Jakarta:
Balai Pustaka.
Djalil,
Basiq. 2010. Peradilan Agama Di Indonesia. Jakarta: Kencana.
Fauzan,
M. 2014. Pokok-pokok Hukum Acara Perdata Peradilan Agama Dan Mahkamah
Syari’ah di Indonesia. Jakarta: Kencana.
Manan,
Abdul. 2005. Penerapan Hukum Acara Perdata Di Lingkungan Peradilan Agama. Jakarta:
Kencana.
Mujahidin,
Ahmad. 2014. Pembaharuan Hukum Acara Peradilan Agama. Bogor: Ghalia Indonesia.
Munawwir,
Ahmad Wason. 1997. Kamus Arab-Indonesia. Surabaya: Pustaka Progresif.
Nurhayani,
Neng Yani. 2015. Hukum Acara Perdata. Bandung: Pustaka Setia.
Rahim, Husni. 1998. Sistem Otoritaritas dan
Administrasi Islam: Studi Tentang Pejabat Agama Masa Kesultanan dan Kolonial di
Palembang. Jakarta: Lugas.
Zulkarnaen dan Dewi Mayaningsi. 2017. Hukum Acara
Peradilan Agama di Indonesia. Bandung: Pustaka Setia.
[1] C.S.T. Kansil, Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Indonesia,
(Jakarta: Balai Pustaka, 2013), h.,329. Lihat juga Neng Yani Nurhayani, Hukum
Acara Perdata, (Bandung: Pustaka Setia, 2015), h., 18.
[2] Ahmad Wason Munawwir, Kamus Arab-Indonesia, (Surabaya:
Pustaka Progresif, 1997), h., 905.
[3] Cik Hasan Bisri, Peradilan Agama di Indonesia, (Jakarta:
Raja Grafindo Persada, 2003), h., 2.
[4] M. Fauzan, Pokok-pokok Hukum Acara Perdata Peradilan Agama Dan
Mahkamah Syari’ah di Indonesia, (Jakarta: Kencana, 2014), h., 2.
[5] Basiq Djalil, Peradilan Agama Di Indonesia, (Jakarta:
Kencana, 2010), h., 9.
[7] Ahmad Mujahidin, Pembaharuan Hukum Acara Peradilan Agama, h.,
3
[8] Basiq Djalil, Peradilan Agama di Indonesia, h., 31.
[9] Zulkarnaen
dan Dewi Mayaningsi, Hukum Acara Peradilan Agama di Indonesia, (Bandung:
Pustaka Setia, 2017) h., 54-55
[11] Husni
Rahim, Sistem Otoritaritas dan Administrasi Islam: Studi Tentang Pejabat
Agama Masa Kesultanan dan Kolonial di Palembang, (Jakarta: Lugas, 1998)
[15] Cik Hasan Bisri, Peradilan Agama Di Indonesia, h., 241.
[16] Zulkarnaen dan Dewi
Mayaningsih, Hukum Acara Peradilan Agama Di Indonesia, H.,81-85.
[17] Ahmad Mujahidin, Pembaharuan Hukum Acara Peradilan Agama di
Lengkapi Format Formulir Berperkara, h., 49-50.
[18] Zulkarnaen dan Dewi Mayaningsih, Hukum Acara Peradilan Agama Di
Indonesia, h., 85-86.
[19] Zulkarnaen dan Dewi Mayaningsih, Hukum Acara Peradilan Agama Di
Indonesia, h., 85-86.
[20] Abdul Manan, Penerapan Hukum Acara Perdata di Lingkungan
Peradilan Agama, h., 11
[21] Ahmad Mujahidin, Pembaharuan Hukum Acara Peradilan Agama di
Lengkapi Format Formulir Berperkara, h., 50-51.
[22] Zulkarnaen dan Dewi Mayaningsih, Hukum Acara Peradilan Agama Di
Indonesia, h., 88-90
Tidak ada komentar:
Posting Komentar