Rabu, 27 Maret 2019

Makalah Hukum Acara Peradilan Agama: Pengertian, Sumber Hukum, Azas


BAB I
PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang
Salah satu tujuan pokok dari Peradilan Agama adalah dengan mewujudkan keadilan dengan melalui putusan Hakim. Putusan Hakim tersebut bersifat mengikat orang yang berperkara di hadapan Persidangan.
Peradilan agama merupakan salah satu wadah bagi umat Islam pencari keadilan dalam merealisasikan rasa keadilan, norma serta nilai keislaman sesuai dengan ketentuan syariat Islam. Disinilah peran Qadhi atau hakim agama dalam menegakkan keadilan dan memberantas kezhaliman yang ada. Di Indonesia, dalam merealisasikan dan melakukan perintah tersebut ada tahapan-tahapan yang harus dilaksanakan sesuai dengan aturan yang berlaku, mulai dari jenis perkara yang disidangkan sesuai sebagaimana diatur dalam Pasal 49 Undang-undang nomor 3 Tahun 2006 tentang kewenangan absolut Peradilan Agama yang khusus menetapkan dan memutuskan perkara perdata masyarakat yang beragama Islam dan hal lainnya yang diatur dalam undang-undang. Dari jenis perkara tersebut diakhir sidang hakim akan memutus perkara sesuai dengan jenis perkaranya yang kelak hasilnya disebut denganputusan atau penetapan.
Se­belum berlakunya UU No.7 Tahun 1989 terdapat keti­dak sejajaran antara pengadilan dalam lingkungan peradil­an agama dengan pengadilan lainnya, khususnya antara pengadilan agama dengan pengadilan negeri. Hal itu tercermin dengan adanya institusi pengukuhan putusan pe­ng­adilan agama oleh pengadilan negeri. Berdasarkan UU No­.7 Tahun 1989 kedudukan pengadilan dalam lingkungan peradilan agama sejajar dengan pengadilan dalam ling­kungan peradilan lainnya. Ketentuan pengu­kuhan putusan pengadilan agama oleh pengadilan ne­geri dinyatakan dicabut.
Karena sudah sejajarnya peradilan agama dengan peradilan lainnya, maka kiranya perlu untuk dibuat hukum acara yang mengatur bagaimana beracara di pengadilan agama. Untuk itu tulisan ini disusun untuk menginformasikan kepada pembaca tentang hukum acara peradilan agama.
B.     Rumusan Masalah
1.      Apa yang dimaksud hukum acara peradilan agama?
2.      Bagaimana sejarah lahirnya hukum acara peradilan agama?
3.      Apa saja sumber dan azas-azas dari hukum acara peradilan agama?
C.    Tujuan
Adapun tujuan dari penulisan makalah ini adalah mencoba untuk memberikan informasi kepada rekan-rekan kami pada khususnya dan kepada masyarakat pada umumnya tentang pengangkatan anak dalalm perspektif hukum perlindungan anak.



















BAB II
PEMBAHASAN
A.    Pengertian Hukum Acara Peradilan Agama
Secara etimologi Hukum Acara Peradilan Agama terdiri dari dua kata yaitu: Hukum Acara dan Peradilan Agama.
Hukum acara yang dianut peradilan agama yaitu hukum acara perdata yang artinya ialah rangkaian peraturan hukum yang menentukan bagaimana cara-cara mengajukan ke depan pengadilan perkara-perkara keperdataan dalam arti luas dan cara-cara melaksanakan putusan-putusan hakim juga diambil berdasarkan peraturan-peraturan tersebut.[1]
Kata peradilan berasal dari kata adil. Kata peradilan juga merupakan terjemahan dari istilah qadha yang berarti memutuskan, melaksanakan, dan menyelesaikan.[2] Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, istilah peradilan diartikan dengan “segala sesuatu mengenai beragam perkara pengadilan”. Adapun pengertian istilah pengadilan adalah “dewan atau majelis yang dapat mengadili perkara, mahkamah, proses mengadili, keputusan hakim ketika meengadili perkara, lembaga tempat mengadili perkara”.[3] Sedangkan peradilan agama adalah sebutan (literatur) resmi bagi salah satu diantara empat lingkungan Peradilan Negara atau kekuasaan kehakiman yang sah di Indonesia (Pasal 18 UU No. 48 tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman).[4] Peradilan agama adalh peradilan Islam di Indonesia, sebab dari jenis-jenis perkara yang boleh diadilinya, seluruhnya adalah jenis perkara menurut agama Islam.[5]
Secara Terminologi, Abdul Manan mendefinisikan Hukum Acara Peradilan Agama dengan “Hukum acara perdata agama merupakan hukum yang mengatur tentang cara mengajukan gugatan kepada pengadilan agama, bagaimana pihak tergugat mempertahankan diri dari gugatan penggugat, bagaimana para hakim bertindak balik sebelum dan sedang pemeriksaan dilaksanakan, dan bagaimana para hakim memutus perkara yang diajukan oleh penggugat tersebut, serta bagaimana cara melaksanakan putusan tersebut sebagaimana mestinya sesuai dengan peraturan yang berlaku, sehingga hak dan kewajiban sebagaimana yang telah diatur dalam hukum perdata agama dapat berjalan sebagaimana mestinya.[6]
Menurut Mukti Arto, hukum acara perdata agama adalah semua kaidah hukum yang menentukakn dan mengatur cara bagaimana melaksanakan hak-hak dan kewajiban-kewajiban perdata agama sebagaimana yang diatur dalam hukum perdata materiil yang berlaku di lingkungan peradilan agama.[7]
B.     Sejarah Hukum Acara Peradilan Agama di Indonesia
Sebelum Islam datang, Indonesia memilik dua macam peradilan yaitu peradilan perdata dan peradilan padu. Peradilan perdata hanya mengurusi perkara-perkara yang menjadi urusan raja, yang bersumber pada hukum Hindu yang dilukiskan pada papakem atau kitab hukum yang menjadi hukum tertulis, sedangkan peradilan padu mengurusi perkara-perkara yang bukan menjadi urusan raja, dan bersumber pada hukum Indonesia asli, yaitu hukum kebiasaan sehingga bersifat tidak tertulis.[8]
Dengan masuknya agama Islam di Indonesia pada abad pertama Hijriah, yang bertepatan dengan abad ke-7 Masehi yang di bawa dari Arab, masyarakat yang menerima Islam mulai melaksanakan ajaran dan aturan-aturan agama Islam yang bersumber dari kitab-kitan fiqih. Sistem peradilan pada saat itu dikenal dengan qadha. Penyelesaian perkara-perkara dalam masyarakat pada saat itu dilakukan dengan cara tahkim (ahli agama, ulama, atau mubaligh). Di beberapa tempat, tahkim telah melembaga sebagai peradilan syara bahkan pada beberapa kerajaan, peradilan syara berdampingan dengan peraturan raja yang umumnya bersumber pada adat atau kebiasaan. Dengan demikian, dilihat dari proses keberadaan tahkim, priode ini dapat dikatakan sebagai cikal bakal perkembangan peradilan Agama.[9]
Pembahasan sejarah perkembangan peradilan agama melalui beberapa priode berikut:
1)   Peradilan Agama Pada Masa Prapemerintahan Hindia Belanda
Peradilan Agama di Indonesia dimulai sejak mesuknya Islam di wilayah Indonesia, pada saat itu proses baracara praktik peradilan agama masih sangat sederhana yang dalam perkembangannya proses beracara pengadilan agama dikenal dalam tiga periode:
a)      Proses Tahkim Kepada Muhakam
  Proses ini dilakukan ketika pemeluk agama Islam masih sedikit. Jadi ketika terdapat perkara-perkata di masyarakat muslim penyelesaiannya dilakukan secara ber-tahkim,  yaitu diserahkan kepada guru atau mubaligh atau ulama yang dianggap mampu dan berilmu agama tinggi. Dan orang yang bertindak sebagai hakim disebut muhakam.
b)        Proses ahlul hilli wal’Aqdi
Periode ini dilakukan ketika pemeluk agama Islam bertambah banyak. Jabatan hakim atau qadha dilakukan secara pemilihan dan bai’at oleh ahlul hilli wal’Aqdi, yaitu proses pengangkatan hakim atas seseorang yang dipercaya ahli oleh majelis atau kumpulan orang-orang terkemuka dalam masyarakat muslim pada saat itu.
c)             Proses tauliyah
       Pengangkatan jabatan hakim dilakukan dengan tauliyah, yaitu pemberian atau pendelegasian kekuasaan dari penguasa. Dalam melaksanakan tugasnya, para hakim agama menggunakan Al-Qur’an, As-Sunnah dan kitab fiqih Islam sebagai sumber hukumnya.
     Dengan masuknya agama Islam di Indonesia, tata hukum mengalami perubahan. Hukum Islam tidak hanya menggantikan hukum Hindu yang berwujud dalam hukum perdata saat itu, tetapi juga memasukan pengaruhnya dalam berbagai aspek kehidupan masyarakat. Tiap-tiap pengadilan negeri diadakan pengadilan agama yang mempunyai daerah yang sama walaupun wewenang pengadilan agama baru disebut “priesterradd” ini dalam bidang perkawinan dan waris.[10]
2)   Peradilan Agama pada Masa Pemerintahan Belanda
     Sebelum Belanda melancarkan politik hukum di Indonesia, masyarakat pada saat itu patuh dan mengikuti peraturan-peraturan Islam dalam berbagai dimensi kehidupan, namun keadaan itu kemudian manjadi terganggu dengan munculnya Kolonialisme Belanda yang membawa misi tertentu, mulai dari misi dagang, politik bahkan sampai misi kristenisasi.[11] Adapun kedatangan organisasi dagang Belanda VOC (vereenigde Oost Indische Campagnie) terhadap Islam dipengaruhi oleh kepentingan perdagangan rempah-rempah dan perluasan pasar di Nusantara.
     Pada tahun 1854, pemerintah Belanda mengeluarkan pernyataan politik yang dituangkan dalam “Reglement op het beleid der regeerings van Nederlandsch Indie” yang disingkat menjadi “Regeerings Reglement (RR)” dimuat dalam Stlb. Hindia Belanda 1854 No. 129 dan sekaligus dimuat juga dalam Stbl. Hindia Belanda 1854 No.2 pasal 75, 78 dan 109 RR Stbl. 1855:2 ditegaskan bahwa berlakunya undang-undang hukum Islam bagi orang Islam Indonesia.[12]
3)   Peradilan Agama pada Masa Pemerintahan Jepang
     Pada masa pemerintahan Jepang, lembaga pengadilan agama mengalami perubahan nama, yaitu Sooryoo Hooin untuk peradilan agama dan Kaikyoo Kootoo Hooin untuk Mahkamah Islam Tinggi (Peradilan Tinggi Agama). Peradilan agama pada masa pendudukan Jepang tidak dapat dilepaskan dari “kebijakan-kebijakan” Belanda sebelumnya. Pendudukan Jepang hanya membawa kemajuan dan memperkuat kedudukan pengadilan agama yang ada dalam satu atau dua daerah di luar Jawa, setelah jepang melihat keuntungan yang akan diraih. Dengan demikian, pengelolaan Negara jajahan, baik yang dilakukan Jepang maupun Belanda tetap sama.
     Pada tahun 1922 dibentuk badan yang bertugas mencari jalan agar peradilan agama menjadi lebih baik. Komisi tersebut membuat beberapa kesimpulan penting, yaitu:
a)    Kasus-kasus yang dimasukkan dalam peradilan agama hanya kasus-kasus yang dianggap berkaitan erat dengan hukum Islam, dan kasus-kasus yang berhubungan dengan keabsahan perkawinan, perceraian, mahar, dan kewajiban suami untuk menafkahi isttinya.
b)   Peradilan agama yang terdiri atas ketua dan anggota-anggota yang mempunyai hak suara, selanjutnya harus terdiri atas seorang hakim saja. Hal ini berkaitan dengan kekuasaan qadhi. Hakim harus dibantu oleh dua orang penasehat yang ahli dalam hukum Islam.
c)    Untuk menghindari hal-hal yang kurang adil dan meninggikan peradilan agama, hakim harus menerima gaji dari bendahara Negara.
d)   Pengadilan banding (Mahkamah Tinggi Islam/ Hor Voor Islamietische Zaken) ditetapkan kembali untuk menangani kasus-kasus dari peradilan agama.
       Pada tahun 1937 dibuatlah peraturan baru (Stb.1937 No.116) dengan mencantumkan pasal-pasal yurisdiksinya. Saat itu ditetapkan pula Mahkamah Tinggi Islam dan pemindahan kewenangan mengadili perkara waris kepada Pengadilan Negeri (Pasal 7 S.1937 No.116 dan 610), serta diberlakukannya ordinansi perkawinan dengan pencatatan perkawinan di catatan sipil. Kerapatan qadhi besar untuk daerah Kalimantan Selatan (Pasal 19 Stb. 1937 No.639 dan 63), sedangkan bagi daerah di luar Jawa Madura dan Kalimantan Selatan masalah peradilan agama diserahkan kepada penguasa dan masyarakat setempat yang merupakan bagian dari Pengadilan Adat dan Sultan.[13]
4)   Peradilan Agama pada Masa Republik Indonesia Merdeka
       Setelah Indonesia merdeka 17 Agustus 1945, atas usul menteri Agama yang disetujui menteri kehakiman, pemerintah menetapkan bahwa pengadilan agama diserahkan dari kekuasaan kementrian kehakiman kepada kementrian Agama dengan ketetapan pemerintah No.5/SD tanggal 25 Maret 1946, yang menyebutkan, “pada masa colonial Belanda tidak ada pegawai pengadilan agama yang mendapatkan gai tetap atau honorarium dari pemerintan Hindia Belanda bukan sebagai ketua pengadilan agama, akan tetapi dalam kedudukannya sebagai Islamitisch adviseur pada landraad”. Adapun setelah kemerdekaan anggaran belanja pengadilan agama diserahkan kepada pemerintah.
       Dalam perkembangannya, kekuasaan dan kewenangan peradilan agama mulai di porsi, sejalan dengan lahirnya UU No.1 tahun 1974, yang pelaksanaannya diatur dalam PP No. 9 tahun 1975, dengan melimpahkan segala jenis perkara perkawinan orang-orang yang beraga Islam ke pengadilan agama. Demikian pula, PP No.28 tahun 1977 tentang perwakafan, memberi kekuasaan kepada peradilan agama untuk menyelesaikan perkara perwakafan tanah milik.
       Dalam prakteknya, peradilan agama menunjukkan kemandirian dalam melaksanakan rupoksi peradilan sebagai pengadilan negeri yang independen. Terlebih dengan adanya pasal 63 ayat (2) UU No.1 tahun 1974, yang mengharuskan setiap keputusan pengadilan agama dikukuhkan oleh peradilan negeri. Lahirnya UU No.7 tahun 1989 membawa pengaruh besar terhadap pengadilan agama di Indonesia menjadi mandiri. Dengan demikian, peradilan agama sebagai peradilan khusus yang mengadili perkara-perkara tertentu dan mengenai kelompok masyarakat tertentu, yaitu orang-orang yang beragama Islam menjadi sejajar dengan peradilan-peradilan lainnya di Indonesia (PN, PTUN, PM).[14]  
C.    Sumber dan Azas Hukum Acara Peradilan Agama
a.       Pengertian Sumber Hukum
Sumber hukum adalah segala sesuatu yang menghasilkan atau melahirkan hukum, tempat asal mulanya hukum, atau tempat ditemukannya hukum. Pada dasarnya sumber hukum terbagi dua, yaitu sumber hukum formal dan sumber hukum materiil.
Sumber hukum formal adalah sumber hukum yang memiliki bentuk tersendiri yang secara yuridis telah berlaku dan diketahui oleh umum. Adapun yang termasuk dalam sumber hukum formal meliputi undang-undang, kebiasaan atau adat istiadat, traktat, yurisprusdensi, doktrin.
Sedangkan sumber hukum materiil hanya merupakan sumber-sumber yang melahirkan isi suatu hukum sendiri, baik secara langsung maupun tidak langsung. Seperti gejala yang berada dalam kehidupan masyarakat, baik yang telah menjadi peristiwa maupun yang belum menjadi peristiwa.
b.      Sumber Hukum Acara Perdata Yang Berlaku Di Lingkungan Peradilan Agama Di Peradilan Umum
Menurut ketentuan pasal 54 UU No 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama yang berbunyi: “Hukum acara yang berlaku pada pengadilan dalam lingkungan Peradilan Agama adalah hukum acara yang berlaku pada peradilan umum, kecuali yang telah diatur secara khusus dalam undang-undang ini”.[15]
Dalam hukum perdata, hukum acara perdata banyak tersebar dalam beberapa perundang-undangan yang secara khusus mengatur dalam beracara di pengadilan. Aturan dalam hukum acara perdata mempunyai sifat mengikat dan memaksa karena dianggap menyelenggarakan kepentingan umum. Oleh karena itu, peraturan hukum acara perdata tidak dapat dikesampingkan oleh pihak-pihak yang berkepentingan atau yang bersengketa serta harus tunduk dan menaatinya. Akan tetapi, ada juga bagian dari peraturan hukum acara perdata yang bersifat pelengkap (aanvullend recht) karena dianggap mengatur penyelenggaraan kepentingan khusus dari yang bersangkutan sehingga dapat di kesampingkan oleh pihak-pihak yang berkepentingan.
Sumber hukum acara perdata sebagian dapat tertulis, artinya termuat dalam beberapa peraturan perundang-undangan negara dan sebagian lagi tidak tertulis, artinya menurut adat kebiasaan yang dianut oleh para hakim dalam melakukan pemeriksaan perkara.
Dengan demikian, tidak ada alasan bagi hakim dalam hukum acara perdata untuk menolak memeriksa suatu perkara yang dianjurkan ke muka sidang (pengadilan) dan mengadili perkara tersebut dengan alasan bahwa hukumnya tidak tahu atau tidak jelas. Hal ini sesuai dengan ketentuan dalam pasal 14 ayat (1) UU No. 14 Tahun 1970 yang menyebutkan sebagai berikut, “pengadilan tidak boleh menolak untuk memeriksa dan mengadili suatu perkara yang diajukan dengan dalil bahwa hukum tidak tahu atau kurang jelas, melainkan wajib untuk memeriksa dan mengadilinya.”
Dalam hal ini, jika hakim tidak menemukan hukum tertulis, ia wajib menggali, mengikuti dan memahami nilai-nilai hukum yang hidup dalam masyarakat. Hal ini ditegaskan kembali dalam pasal 27 ayat (1) UU No. 14 Tahun 1970 yang menyebutkan sebagai berikut: “Hakim sebagai penegak hukum dan keadilan wajib menggali, mengikuti dan memahami nilai-nilai hukum yang hidup dalam masyarakat.”. [16]
Beberapa peraturan perundang-undangan yang mengatur hukum acara perdata yang berlaku dilingkungan peradilan agama di peradilan umum, yaitu sebagai berikut:
1.      UU No. 1 Tahun 1974 dan PP No. 9 Tahun 1975 tentang Peraturan Pelaksana UU Perkawinan tersebut.
2.      UU No. 14 Tahun 1970 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman yang telah di ubah dengan UU No. 35 Tahun 1999, dan dinyatakan tidak berlaku dengan dikeluarkannya UU No. 4 Tahun 2004 sebagai pengganti, kemudian UU ini dinyatakan dicabut dan diganti dengan UU No. 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman.
3.      UU No. 14 Tahun 1985 telah diubah dan disempurnakan dengan UU No. 5 Tahun 2004, kemudian UU ini diubah dengan UU No. 3 Tahun 2009 tentang Mahkamah Agung Yang Memuat Tentang Acara Perdata Dan Hal-Hal Yang Berhubungan Dengan Kasasi Dalam Proses Berperkara Di Mahkamah Agung.[17]
c.       Sumber Hukum Acara Perdata Peradilan Umum
1.      Het Herziene Inlandsche Reglement (HIR) disebut juga dengan Reglement Indonesia yang diperbaharui (RIB). Untuk Jawa dan Madura.
2.      Rechts Reglement Buitengewesten (RBG) disebut juga sebagai reglement untuk daerah seberang, artinya khusus untuk daerah di luar Jawa dan Madura.
3.      Reglement Opde Burgerlijke Rechts Vordering (RSV) pada saat penjajahan Belanda berlaku untuk Road Van Justitie.
4.      Burgerlijke Wetboek (BW) yang disebut dengan undang-undang hukum perdata Eropa. [18]
d.      Sumber Hukum Acara Peradilan Agama
Untuk melaksanakan tugasnya, yaitu menerima memeriksa dan mengadili dan menyeleseikan perkara dengan fungsinya untuk menegakkan hukum dan keadilan, peradilan agama menggunakan hukum acara yang terserak-serak atau tersebar dalam berbagai peraturan perundang-undangan, bahkan menggunakan acara yang tidak tertulis, yaitu huum formal Islam yang belum dibentuk dalam peraturan perundang-undangan di Indonesia. Akan tetapi setelah terbitnya UU No. 7 Tahun 1989 yang diberlakukan pada tanggal 28 Desember 1989, hukum acara peradilan agama menjadi konkret dan jelas. Sesuai pasal 54 yang menyebutkan: “hukum acara yang berlaku pada pengadilan dalam lingkungan peradilan agama adalah hukum acara perdata yang berlaku dalam lingkungan peradilan umum, kecuali yang telah diatur secara khusus dalam undang-undang ini.”
Berdasarkan pasal tersebut, hukum acara peradilan agama yang sekarang berlaku bersumber dari dua aturan, yaitu UU No. 7 Tahun 1989 Dan Peraturan Yang Berlaku Di Pengadilan Umum. Hal ini dapat dilihat dalam hukum acara yang berlaku di pengadilan umum. Hal ini dapat dilihat dalam hukum acara yang berlaku di pengadilan umum yang sudah penulis sebutkan.
Peraturan perundang-undangan yang secara khusus berlaku dipengadilan agama, yaitu:
1.      UU No. 7 Tahun 1989 Tentang Peradilan Agama
2.      Inpres No. 1 Tahun 1991 tentang KHI (Kompilasi Hukum Islam)
3.      UU No. 17 Tahun 1999 tentang Pengelolaan Zakat
4.      UU No. 41 Tahun 2004 tentang Wakaf
5.      UU No. 3 Tahun 2006 tentang perubahan atas UU No. 7 Tahun 1989.
Selain perundang-undangan yang secara khusus berlaku dalam peradilan umum dan peradilan agama, ada juga perundang-undangan yang berlaku di pengadilan agama dan pengadilan umum yang mengatur kewenangan masing-masing. [19] Di samping itu, ada juga peraturan dari sumber lainnya, seperti:
1.      Peraturan Mahkamah Agung RI
2.      Surat Edaran Mahkamah Agung RI
Tentang Surat Edaran dan Instruksi Mahkamah Agung RI sepanjang menyangkut Hukum Acara Perdata dan Hukum Perdata Materiil dapat dijadikan Hukum Acara dalam praktik peradilan terhadap suatu persoalan hukum yang dihadapi oleh hakim. Tentang Surat Edaran dan Instruksi Mahkamah Agung RI tidak mengikat hakim sebagaimana undang-undang. Menurut Prof. DR. Sudikno Mertokusumo, SH., (1988: 8) Surat Edaran dan Instruksi Mahkamah Agung RI itu bukanlah hukum, tetapi merupakan sumber hukum, bukan dalam arti tempat ditemukan hukum melainkan tempat hakim dapat menggali hukum.[20] Untuk itu, para pakar hukum berpendapat bahwa perma dan SEMA adalah bentuk campur tangan Mahkamah Agung terhadap hakim dalam menyeleseikan perkara yang diajukan kepadanya sebagaimana yang diatur dalam pasal 195 HIR. Tampaknya, pendapat tersebut ada benarnya, akan tetapi, bila dilihat pasal 11 (4) UU No. 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman bahwa Mahkamah Agung berhak melakukan pengawasan tertinggi atas perbuatan pengadian lain menurut ketentuan yang ditentukan oleh undang-undang.
3.      Yurisprudensi Mahkamah Agung RI
Yurisprudensi merupakan pengumpulan yang sistematis dari Keputusan Mahkamah Agung dan keputusan pengadilan tinggi yang diikuti oleh hakim lain dalam memberikan keputusan terhadap masalah yang sama. Hakim tidak boleh terikat pada putusan yurisprudensi tersebut, sebab negara Indonesia tidak menganut asas “the blinding force of precedent”. Jadi, bebas memilih antara meninggalkan yurisprudensi dan memakai dalam suatu perkara yang sejenis dan telah mendapat putusan sebelumnya. Hakim harus berani meninggalkan yurisprudensi kalau sekiranya yurisprudensi itu sudah usang dan sudah tidak sesuai lagi dengan tuntutan zaman dan keadaan masyarakat. Tetapi tidak ada salahnya untuk tetap dipakai kalau yurisprudensi itu masih sesuai dengan keadaan zaman dan sesuai dengan nilai-nilai hukum yang hidup dalam masyarakat.
4.      Kitab Fiqih Islam dan Sumber Hukum Tidak Tertuis lainnya.
Sebelum berlaku UU No. 7 Tahun 1989 tantang Peradilan Agama, doktrin atau ilmu pengetahuan hukum banyak diperginakan oleh hakim peradilan agama dalam memeriksa dan mengadili suatu perkara, terutama ilmu pengetahuan hukum yang tersebut dalam kitab-kitab fiqih. Berdasarkan dalam Surat Edaran Biro Peradilan Agama Departemen Agama Nomor B/1/1735, tanggal 18 Februari 1958 sebagai pelaksana peraturan Pemerintah  Nomor 45 Tahun 1957 tentang Pembentukan Pengadilan Luar Jawa dan Madura dikemukakan bahwa unttuk mendapatkan kesatuan hukum dalam memeriksa dan memutus perkara maka para Hakim Pengadilan Agama dianjurkan agar mempergunakan sebagai pedoman hukum acara yang bersumber dalam fiqih sebagai berikut.
Ø  Al-Bajuri.
Ø  Fathul Mu’in.
Ø  Syarqawi at-Tahrir.
Ø  Qalyubi/Mahalli.
Ø  Fathul Wahab dan Syarh-nya.
Ø  Tuhfah.
Ø  Targhibul Musytaq.
Ø  Qawaninusy Syar’iyah Lis Sayyid bin Yahya.
Ø  Qawaninusy Syar’iyah Lis Sayyid Sadaqah Dahlan.
Ø  Syamsyuri Fil Faraidh.
Ø  Bugyatul Mustarsyidin.
Ø  Al-fiqh ‘ala Madzahibil Arba’ah.
Ø  Mugnif Muntaj.
Dengan menunjukkan ke-13 kitab fikih di atas, hakim peradilan agama diharapkan dapat mengambil mekanisme beracara dalam pearadilan Islam untuk dijadikan pedoman dalam mengadili dan menyeleseikan perkara yang diajukan kepadanya di lingkungan Peradilan Agama.[21]
e.       Asas-Asas Hukum Acara Peradilan Agama
Dalam hukum acara peradilan agama terdapat asas-asas dalam proses beracaranya, yang meliputi sebagai berikut.
1)      Bebas Merdeka Kekuasaan Kahakiman.
Asas bebas merdeka adalah kekuasaan negara yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan berdasarkan pancasila, demi terselenggaranya negara hukum republik Indonesia. Pada dasarnya asas kebebasan hakim dan peradilan yang digariskan dalam UU No. 3 Tahun 2006 tentang perubahan atas UU No. 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama adalah merujuk pada pasal 24 UUD 1945 dan jo. Pasal 1 UU No. 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman.
Dalam penjelasan pasal 1 UU No. 4 Tahun 2004 ini disebutkan bahwa, “kekuasaan kehakiman yang merdeka ini mengandung pengertian di dalamnya kekuasaan kehakiman yang bebas dari campur tangan pihak kekuasaan Negara lainnya, dan kebebasan dari paksaan, direktiva atau rekomendasi yang datang dari pihak ektra yudisial kecuali dalam hal yang diizinkan UU.”
2)      Pelaksana Kekuasaan Kehakiman
Asas sebagai pelaksana kekuasaan kehakiman, maksudnya penyelenggara kekuasaan kehakiman dilakukan oleh Mahkamah Agung dan badan peradilan yang berada di bawahnya dalam lingkungan peradilan umum, lingkungan peradilan agama, lingkungan peradilan militer, lingkungan peradilan tata usaha negara, dan sebuah Mahkamah Konstitusi. Semua peradilan di seluruh wilayah negara Republik Indonesia adalah peradilan negara dan ditetapkan dengan UU. Dengan demikian, peradilan negara menetapkan hukum dan keadilan berdasarkan Pancasila.
3)      Ketuhanan
Asas ketuhanan, maksudnya peradilan agama dalam menerapkan hukumnya selalu berpedoman pada sumber hukum agama Islam sehingga pembuatan putusan ataupun penetapan harus dimulai dengan kalimat basmalah yang diikuti dengan irah-irah atau kalimat “Demi Keadilan Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.”
4)      Fleksibilitas
Asas fleksibilitas, yaitu pemeriksaan perkara dilingkungan peradilan agama harus dilakukan dengan sederhana, cepat, dan biaya ringan. Adapun asas ini diatur dalam pasal 57 (3) UU No. 7 Tahun 1789 yang tidak diubah dalam UU No. 3 Tahun 2006 tentang peradilan agama jo Pasal 4 (2) dana Pasal 5 (2) UU No. 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman. Untuk itu, pengadilan agama wajib membantu kedua pihak berperkara dan berusaha menjelaskan dan mengatasi segala hambatan yang dihadapi para pihak tersebut.
5)      Non-Ekstra Yudisial
Asas non-ekstra yudisial adalah segala campur tangan dalam urusan peradilan oleh pihak lain di luar kekuasaan kehakiman dilarang, kecuali dalam hal-hal sebagaimana disebut dalam UUD RI Tahun 1945. Dengan demikian, setiap orang yang dengan sengaja melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dapat dipidana.
6)      Legalitas
Asas legalitas, maksudnya peradilan agama mengadili menuntut hukum dengan tidak membeda-bedakan orang. Asas ini diatur dalam Pasal 3 ayat (2), Pasal 5 ayat (2), Pasal 6 ayat (1) UU No. 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman jo Pasal 2 UU No. 3 Tahun 2006 tentang Peradilan Agama.
Asas legalitas dapat dimaknai  sebagai hak perlindungan hukum sekaligus hak persamaan hukum. Oleh sebab itu, semua tindakan yang dilakukan dalam rangka menjalankan fungsi dan kewenangan peradilan harus berdasarkan hukum yang berlaku dan yang mengaturnya, mulai tindakan pemanggilan, penyitaan, pemeriksaan di persidangan, putusan yang dijtuhkan dan eksekusi putusan, semuanya harus berdasarkan atas hukum atau perundang-undangan yang berlaku, bukan menurut atau atas dasar selera hakim.[22]

BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
·         Pengadilan adalah dewan atau majelis yang dapat mengadili perkara, mahkamah, proses mengadili, keputusan hakim ketika meengadili perkara, lembaga tempat mengadili perkara. Sedangkan peradilan agama menurut Pasal 18 UU No. 48 tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman adalah sebutan (literatur) resmi bagi salah satu diantara empat lingkungan Peradilan Negara atau kekuasaan kehakiman yang sah di Indonesia. Jadi dapat disimpulkan bahwa hukum acara perdata agama adalah semua kaidah hukum yang menentukakan dan mengatur cara bagaimana melaksanakan hak-hak dan kewajiban-kewajiban perdata agama sebagaimana yang diatur dalam hukum perdata materiil yang berlaku di lingkungan peradilan agama.
·         Sejarah perkembangan peradilan agama melalui beberapa priode: a) Peradilan Agama Pada Masa Prapemerintahan Hindia Belanda yang juga dikenal dengan tiga priode yaitu Proses Tahkim Kepada Muhakam, Proses ahlul hilli wal’Aqdi, proses tauliyah. b) Peradilan Agama pada Masa Pemerintahan Belanda yaitu tahun 1854 mengeluarkan pernyataan politik yang dituangkan dalam “Reglement op het beleid der regeerings van Nederlandsch Indie” yang disingkat menjadi “Regeerings Reglement (RR)” dimuat dalam Stlb. Hindia Belanda 1854 No. 129 dan sekaligus dimuat juga dalam Stbl. Hindia Belanda 1854 No.2 pasal 75, 78 dan 109 RR Stbl. 1855:2 ditegaskan bahwa berlakunya undang-undang hukum Islam bagi orang Islam Indonesia. c) Peradilan Agama pada Masa Pemerintahan Jepang membuat peraturan baru (Stb.1937 No.116) dengan mencantumkan pasal-pasal yurisdiksinya. Saat itu ditetapkan pula Mahkamah Tinggi Islam dan pemindahan kewenangan mengadili perkara waris kepada Pengadilan Negeri (Pasal 7 S.1937 No.116 dan 610), serta diberlakukannya ordinansi perkawinan dengan pencatatan perkawinan di catatan sipil. Kerapatan qadhi besar untuk daerah Kalimantan Selatan (Pasal 19 Stb. 1937 No.639 dan 63), sedangkan bagi daerah di luar Jawa Madura dan Kalimantan Selatan masalah peradilan agama diserahkan kepada penguasa dan masyarakat setempat yang merupakan bagian dari Pengadilan Adat dan Sultan. d) Peradilan Agama pada Masa Republik Indonesia Merdeka peradilan agama sebagai peradilan khusus yang mengadili perkara-perkara tertentu dan mengenai kelompok masyarakat tertentu, yaitu orang-orang yang beragama Islam menjadi sejajar dengan peradilan-peradilan lainnya di Indonesia (PN, PTUN, PM).
·         Sumber Hukum yang secara khusus berlaku di Pengadilan Agama yaitu UU No. 7 Tahun 1989 Tentang Peradilan Agama, Inpres No. 1 Tahun 1991 tentang KHI (Kompilasi Hukum Islam), UU No. 17 Tahun 1999 tentang Pengelolaan Zakat, UU No. 41 Tahun 2004 tentang Wakaf, dan UU No. 3 Tahun 2006 tentang perubahan atas UU No. 7 Tahun 1989. Adapun peraturan lainnya seperti Peraturan Mahkamah Agung RI, Surat Edaran Mahkamah Agung RI, Yurisprudensi Mahkamah Agung RI, serta Kitab Fiqih Islam dan Sumber Hukum Tidak Tertuis lainnya.. Sedangkan asas-asas hukum acara peradilan agama yaitu bebas merdeka kekuasaan kahakiman, pelaksana kekuasaan kehakiman, ketuhanan, fleksibilitas, non-ekstra yudisial, dan legalitas.









DAFTAR PUSTAKA

Bisri, Cik Hasan. 2003. Peradilan Agama di Indonesia. Jakarta: Raja Grafindo Persada.
C.S.T. Kansil. 2013. Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka.
Djalil, Basiq. 2010. Peradilan Agama Di Indonesia. Jakarta: Kencana.
Fauzan, M. 2014. Pokok-pokok Hukum Acara Perdata Peradilan Agama Dan Mahkamah Syari’ah di Indonesia. Jakarta: Kencana.
Manan, Abdul. 2005. Penerapan Hukum Acara Perdata Di Lingkungan Peradilan Agama. Jakarta: Kencana.
Mujahidin, Ahmad. 2014. Pembaharuan Hukum Acara Peradilan Agama. Bogor: Ghalia Indonesia.
Munawwir, Ahmad Wason. 1997. Kamus Arab-Indonesia. Surabaya: Pustaka Progresif.
Nurhayani, Neng Yani. 2015. Hukum Acara Perdata. Bandung: Pustaka Setia.
Rahim, Husni. 1998. Sistem Otoritaritas dan Administrasi Islam: Studi Tentang Pejabat Agama Masa Kesultanan dan Kolonial di Palembang. Jakarta: Lugas.
Zulkarnaen dan Dewi Mayaningsi. 2017. Hukum Acara Peradilan Agama di Indonesia. Bandung: Pustaka Setia.


[1] C.S.T. Kansil, Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Indonesia, (Jakarta: Balai Pustaka, 2013), h.,329. Lihat juga Neng Yani Nurhayani, Hukum Acara Perdata, (Bandung: Pustaka Setia, 2015), h., 18.
[2] Ahmad Wason Munawwir, Kamus Arab-Indonesia, (Surabaya: Pustaka Progresif, 1997), h., 905.
[3] Cik Hasan Bisri, Peradilan Agama di Indonesia, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2003), h., 2.
[4] M. Fauzan, Pokok-pokok Hukum Acara Perdata Peradilan Agama Dan Mahkamah Syari’ah di Indonesia, (Jakarta: Kencana, 2014), h., 2.
[5] Basiq Djalil, Peradilan Agama Di Indonesia, (Jakarta: Kencana, 2010), h., 9.
[7] Ahmad Mujahidin, Pembaharuan Hukum Acara Peradilan Agama, h., 3
[8] Basiq Djalil, Peradilan Agama di Indonesia, h., 31.
[9] Zulkarnaen dan Dewi Mayaningsi, Hukum Acara Peradilan Agama di Indonesia, (Bandung: Pustaka Setia, 2017) h., 54-55
[10] Zulkarnaen dan Dewi Mayaningsi, Hukum Acara Peradilan Agama di Indonesia, h., 56-57
[11] Husni Rahim, Sistem Otoritaritas dan Administrasi Islam: Studi Tentang Pejabat Agama Masa Kesultanan dan Kolonial di Palembang, (Jakarta: Lugas, 1998)
[12] Zulkarnaen dan Dewi Mayaningsi, Hukum Acara Peradilan Agama di Indonesia, h., 58
[13] Zulkarnaen dan Dewi Mayaningsi, Hukum Acara Peradilan Agama di Indonesia, h., 62-63
[14] Zulkarnaen dan Dewi Mayaningsi, Hukum Acara Peradilan Agama di Indonesia, h., 64-66
[15] Cik Hasan Bisri, Peradilan Agama Di Indonesia, h., 241.
[16] Zulkarnaen dan  Dewi Mayaningsih, Hukum Acara Peradilan Agama Di Indonesia, H.,81-85.
[17] Ahmad Mujahidin, Pembaharuan Hukum Acara Peradilan Agama di Lengkapi Format Formulir Berperkara, h., 49-50.
[18] Zulkarnaen dan Dewi Mayaningsih, Hukum Acara Peradilan Agama Di Indonesia, h., 85-86.
[19] Zulkarnaen dan Dewi Mayaningsih, Hukum Acara Peradilan Agama Di Indonesia, h., 85-86.
[20] Abdul Manan, Penerapan Hukum Acara Perdata di Lingkungan Peradilan Agama, h., 11
[21] Ahmad Mujahidin, Pembaharuan Hukum Acara Peradilan Agama di Lengkapi Format Formulir Berperkara, h., 50-51.
[22] Zulkarnaen dan Dewi Mayaningsih, Hukum Acara Peradilan Agama Di Indonesia, h., 88-90

Tidak ada komentar:

Posting Komentar