BAB I
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Dapat
dikatakan perkembangan instrumen internasional hak asasi manusia, mengalami
kemajuan yang sangat pesat di bawah Perserikatan Bangsa-Bangsa. Instrumen ini
meliputi perjanjian internasional, baik berupa Kovenan, Konvensi dan Statuta,
serta standar-standar internasional lainnya, tidak terbatas pada deklarasi,
proklamasi, kode etik, aturan bertindak (code of conduct), prinsip-prinsip
dasar, dan rekomendasi.
Penilaian
terhadap prosesnya, terutama ditunjukkan kepada persoalan penyusunan instrumen
yang terkesan tidak terkoordinasi secra maksimal, lebih ditentukan secara
insidentil-menurut kuat dan lemahnya tekanan Negara Pihak dan kepentingan
politik. Selain itu, faktor keahlian (pengetahuan) dan dukungan keterampilan
teknis individual yang terlibat dalam proses penyusunan instrumen juga
memberikan konstribusi penting terhadap kualitas instrumen dan lama waktu
penyusunannya. Walaupun tentu saja menghadapi tantangan dan hambatan dalam
penyusunan instrumen internasional ini, dapat disimpulkan lembaga-lembaga PBB
yang memberikan perhatian dibidang perlindungan hak asasi manusia, dengan
dukungan komunitas internasional, telah melaksanakan fungsinya dengan
mengesankan.
Kemajuan
yang mengesankan dalam tataran normatif, setiap tahun bertambah negara menjadi
Negara Pihak, yang mengikatkan diri, meratifikasi perjanjian internasional,
sehingga hukum internasional mempunyai kekuatann hukum didalam sistem hukum
domestik (nasional). Dengan demikian, negara yang bersangkutan telah menerima
obligasi (kewajiban) masyarakat internasional untuk mempromosikan, menghormati,
melindungi, dan memenuhi – memfasilitasi dan menyediakan – hak asasi dan
kebebasan-kebebasan fundamental manusia yang fundamental. Termasuk juga
menerima kewajiban untuk menyerahkan laporan awal (initial report) dan laporan
periodik secara reguler kepada institusi pengawas (Komite) dalam rangka
mekanisme dan prosedur pengawasan yang dimandatkan instrumen internasional hak
asasi manusia.
Komite
yang diberikan mandat melakukan pengawasan, dalam praktiknya telah mendorong
dialog dengan perwakilan Negara Pihak, serta memberikan banyak rekomendasi
terhadap situasi dan kondisi, tidak hanya secara yuridis (de jure),
melainkan juga secara praktik (de facto) dalam memperbaiki atau
meningkatkan pemenuhan hak-hak asasi. Selain prosedur pengawasan yang dibentuk
lewat perjanjian internasional, PBB juga terus mengembangkan prosedur-prosedur
yang bertujuan untuk perlindungan korban dan penghukuman para pelaku kejahatan
hak asasi manusia, termasuk mengembangkan sistem pertanggung jawaban pelaku
non-negara (non state actors) yang mencakup korporasi atau perusahaan
trans/multi nasional, yang operainya seringkali-jika tidak dikatakan selalu-
berpengaruh pada pemenuhan hak asasi manusia, terutama hak-hak ekonomi, sosial
dan budaya (hak ekosob).[1]
A.
Rumusan
Masalah
1.
Apa yang dimaksud instrumen HAM internasional?
2.
Apa saja yang termasuk instrumen umum dalam instrumen HAM
internasional?
3.
Apa saja yang termasuk instrumen khusus dalam instrumen HAM
internasional?
Tujuan
Adapun
tujuan dari penulisan makalah ini adalah mencoba untuk memberikan informasi
kepada rekan-rekan kami pada khususnya dan kepada masyarakat pada umumnya
tentang instrumen HAM internasional.
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Pengertian
Instrumen HAM Internasional
Secara etimologi
Instrumen adalah alat yang dipakai untuk mengerjakan sesuatu (Seperti alat yang
dipakai oleh pekerja teknik, alat-alat kedokteran, optik dan kimia).[2] Sedangkan Hak Asasi Manusia secara etimologi adalah hak yang
dilindungi secara internasional (yaitu deklarasi PBB declaration of human
right), seperti hak untuk hidup, hak kemerdekaan, hak untuk memiliki, hak
untuk mengeluarkan pendapat.[3] Sedangakan Internasional secara etimologi adalah menyangkut bangsa
atau negeri seluruh dunia.[4] Jadi, secara etimologi Instrumen HAM Internasional adalah alat
yang digunakan untuk melindungi Hak Asasi Manusia di seluruh negeri di dunia.
B.
Instrumen
Umum dalam Instrumen HAM Internasional
Setelah
pengadopsian Piagam Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB), maka dibuatlah rencana,
untuk menyusun the bill of human rights, yang dimandatkan kepada sebuah
komisi untuk promosi hak-hak asasi manusia. Saat itu muncul dua aliran, tentang
sifat daya ikat keberlakuan aturan tentang hak asasi manusia, yang nantinya
disusun oleh komisi. Amerika Serikat, merupakan pendukung utama, aliran aturan
hukum yang sifatnya tidak mengikat, dalam bentuk yang misalnya dirumuskan dalam
sebuah deklarasi. Sebaliknya, aliran yang disukung negara-negara Eropa,
cenderung mendukung perumusan aturan hukum hak asasi manusia yang sifat
kewajibannya mengikat (legally binding).
Setelah terjadi
kompromi akhirnya disepakati dokumen “the bill of rights” akan disusun
dalam 3 elemen pokok, yakni deklarasi dan dua perjanjian dan sistem pengawasan
internasional. Keputusan ini dimuat dalam Revolusi Majelis Umum 217 (III), 10
Desember 1948. Majelis Umum meminta Komisi Hak Asasi Manusia untuk merumuskan
Kovenan dan sistem pengawasannya.
PBB
menetapkan Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia (DUHAM), yang iadopsi Majelis
Umum (General Assembly) pada 10 Desember 1948 yang kemudian 10 Desember
diperingati menjadi hari hak asasi manusia sedunia. Saat sidang umum, 48 negara
menyatakan persetujuannya terhadap Deklarasi sementara (hanya) 8 negara tidak
menyatakan penolakan atau persetujuannya (abstain). Sebagai catatan,
kritik yang dilontarkan terhadap “keuniversalan” dokumen ini, antara lain
berdasarkan fakta bahwa hanya 48 negara yang menyetujuinya.
Menurut
Van Boven, rumusan isi DUHAM disusun berdasarkan prinsip-prinsip kebebasan,
persamaan dan persaudaraan yang berasal dai revolusi Perancis. Walaupun tidak
diabaikan, DUHAM agak kurang menaruh bobot perlatian terhadap sifat
kolektivitas dan hak-hak ekonomi, sosial, dan budaya secara kolektif. Deklarasi
lebih mengakomodasi hak-hak individualistis, dengan bukti, hampir semua Pasal,
dimulai dengan kata “setiap orang” berhak atau mempunyai hak.
Walaupun
mendapat sejumlah kritik, DUHAM telah menjadi dokumen yang dimanfaatkan dalam
forum politik dan yuridis, serta dijadikan referensi pokok dalam penyusunan
perjanjian internasional hak asasi manusia di level regional seperti Konvensi
Eropa, Konvensi Amerika dan Piagam Eropa. Demikian juga, DUHAM telah menjadi
referensi penting dalam perumusan klausula hak asasi manusia, di level
konstitusi/undang-undang dasar nasional. Bahkan, Deklarasi, digunakan oleh
bangsa-bangsa yang menuntut kemerdekaan, bebas dari praktik
penjajahan/kolonial, serta digunakan dalam perjuangan menentang praktik
diskriminasi rasial.
Karena
perkembangan tersebut, maka DUHAM telah menjadi bagian dari hukum kebiasaan,
mempunyai sifat dokumen yang mengikat secara politis, serta status
pengikatannya perlahan-lahan menjadi tidak ditolak negara-negara anggota PBB,
khususnya karena keterlibatan negara-negara dunia ke-3 dalam proses
perumusannya. DUHAM ini telah menjadi “common standard of achievement” atau
“un ideal commun a atteindre”. Terutama sejak 1968, perwakilan
pemerintah tidak kurang 100 negara berbicara dan merumuskan Proklamasi Teheran,
yang menegaskan secara aklamasi bahwa DUHAM diposisikan sebagai dokumen yang
memuat pengertian bersama bangsa-bangsa di dunia mengenai hak-hak yang tidak
dapat dicabut dan diganggu gugat dari manusia dan merupakan kewajiban bagi
anggota masyarakat internasional.
Proklamasi
Teheran tersebut, diadopsi negara-negara peserta Konferensi Internasional untuk
Hak-Hak Asasi Manusia, yang diselenggarakan bertepatan dengan 20 tahun
kehadiran DUHAM dan penetapan Tahun Internasional untuk Hak Asasi Manusia.
Dokumen ini dirumuskan dengan mempertimbangkan penilaian negara-negara terhadap
situasi dan kondisi politik, ekonomi dan kebudayaan – yang menjadi perhatian
selama penyelenggaraan Konferensi, 22 April – 13 Mei 1968 – untuk selanjutnya
dikaitkan dengan norma-norma internasional hak asasi manusia yang telah ada.
Karenanya, isis proklamasi memuat perhatian seperti, terhadap masalah politik apartheid
– pembedaan warna kulit – diskriminasi rasial, kolonialisme, konflik
bersenjata, serta problem kesenjangan ekonomi antara Negara Maju (Kaya) dengan
Negara Ke-3 (Miskin). Para perwakilan negara, yang mengikuti Konferensi ini,
juga memberikan perhatian khusus terhadap problem buta huruf dan diskriminasi
terhadap perempuan, serta partisipasi generasi muda dalam membentuk masa depan
umat manusia.[5]
Dalam instrumen umum terdapat 2 kovenan internasional, yaitu:
Kovenan Internasional tentang Hak-hak Ekonomi, Sosial dan Budaya dan Kovenan
Internasional tentang Hak-hak Sipil dan Politik.
1.
Kovenan
Internasional tentang Hak-hak Ekonomi, Sosial dan Budaya
Perjanjian internasional ini,
terdiri dari 5 bab, dan 31 Pasal yang memuat jaminan perlindungan hak-hak
ekonomi, sosial dan budaya (Ekosob), mulai dari hak untuk bekerja dan mendapatkan
pekerjaan, hingga hak untuk berpartisipasi dalam kehidupan budaya.
Berbeda dengan Kovenan Internasional
tentang Hak-hak Sipil dan Politik, serta perjanjian internasional pokok
lainnya, Kovenan Ekosob tidak memandatkan pembentukan sebuah badan pengawas
berdasarkan perjanjian ini, tetapi dibentuk berdasarkan Resolusi Dewan Ekonomi
dan Sosial. Komite ini memeriksa laporan yang disampaikan Negara Pihak.
Negara
pihak wajib menyampaikan laporan pertamanya, 2 tahun setelah meratifikasi
Kovenan Ekosob. Selanjutnya 5 tahun secara reguler (periodik) perihal obligasi
negara yang bersangkutan dalam promosi, perlindungan dan pemenuhan hak-hak
ekosob sebagaimana dicantumkan dalam kovenan. Komite, setelah memeriksa akan
menyampaikan rekomendasi dalam bentuk hasil kesimpulan pengamatannya
“Concluding Observations”.
Selain memeriksa
laporan Negara Pihak, Komite juga mempublikasikan interpretasi atas Pasal-pasal
Kovenan dalam bentuk “komentar umum” (general comment). Komentar Umum pertama,
dikeluarkan pada 1989, tentang interpretasi tentang pelaporan oleh Negara
Pihak. Hingga 24 November 2005, komite telah mengadopsi Komentar Umum No. 18
yang menginterpretasikan Pasal 16 Kovenan tentang hak untuk bekerja.
Komite tidak
berwenang untuk memeriksa pengaduan individual. Namun demikian saat ini sedang
dibahas sebuah protokol opsional yang memungkinkan untuk mekanisme ini.
Perlindungan Internasional dari Hak-hak Ekonomi dan Sosial
Organisasi Buruh Internasional – International Labor Organisation
(LSO)
Sejak
pembahasan Perjanjian Damai Versailles, gagasan pembentukan organisasi buruh
internasional sudah muncul dan didorong secara serius. Perjanjian ini kemudian
dalam Bab XIII mencantumkan Statua organisasi buruh internasional ILO. Lembaga
ini kemudian mulai bekerja pada 1919 dan sampai saat ini telah banyak
mengadopsi instrumen internasional dibidang perburuhan. Dengan demikian, ILO
merupakan satu-satunya organisasi sebelum Perang Dunia II atau sebelum PBB
terbentuk, yang menetapkan instrumen internasional guna menjamin hak-hak ekonomi
dan sosial.
Agar
instrumen internasional yang diadopsi ILO dapat memecahkann masalah perbedaan
sistem politik serta perbedaan kondisi ekonomi di semua negara, maka Konstitusi
ILO dengan tegas menyatakan bahwa dalam perumusan Konvensi atau Rekomendasi ILO
harus memperhatikan negara-negara dengan iklim dan perkembangan struktur
industri yang belum sempurna atau keadaan khusus negara-negara di dunia.
Norma
yang fleksibel, misalnya dapat dilihat dari Konvensi ILO No. 102 (1952) tentang
aturan minimum mengenai jaminan sosial dan Konvensi No. 121 (1964) tentang
pembayaran ketidakmampuan bekerja, serta Konvensi ILO No. 128 (1967) tentang
pembayaran penderita cacat, usia lanjut dan anggota keluarga yang terdekat.
Selain itu, ILO juga merumuskan norma dengan model opsi, dimana Negara Pihak
dapat menerapkan salah satu pilihan seperti dimuat dalam Konvensi ILO No. 98
(1949) tentang kantor perantara pekerjaan. Selain itu, ILO juga menetapkan
rekomendasi-rekomendasi –yang tidak menyebabkan munculnya kewajiban yuridis-
untuk digunakan semua negara sebagai pedoman. Sebagai tambhaan, ILO juga
seringkali menggunakan terminologi kualitatif, seperti “taraf penghidupan yang
layak” yang isinya dapat dimaknai dan dijabarkan masing-masing negara sepanjang
tidak melanggar hak-hak asasi manusia.
Sejak
awal ILO mengupayakan perumusan norma-norma yang universal, sehingga walaupun
terdapat norma-norma yang berlaku secara regional ataupun nasional, yang
bertentangan dengan norma yang diadopsi ILO maka lembaga ini akan menggunakan
norma universal sebagai alat ukurnya.
2.
Kovenan
Internasional tentang Hak-Hak Sipil dan Politik
Secara
umum, Kovenan Sipil terdiri dari Mukadimah dan 6 nagian isi, yakni: Bagian I,
sekaligus Pasal 1 yang memuat hak untuk menentukan nasib sendiri; Bagian II
terdiri dari 4 ketentuan umum; Bagian ke III, Pasal-pasal tentang jaminan
kebebasan fundamental, hak-hak sipil dan hak-hak politik; Bagian IV memuat
sistem pengawasan yang dilakukan oleh Komite Hak Asasi Manusia; Bagian V memuat
2 pasal tentang Interpretasi; bagian terakhir, Bagian VI, memuat Pasal-pasal
penutup termasuk penandatanganan dan ratifikasi.
Rumusan
pasal 1 telah didiskusikan sejak 1955, pada masa semangat dekolonisasi merebak
seantero dunia. Jika diperhatikan, kalimat pada pasal 1 ini, ditunjukkan pada
jaminan hak untuk bangsa, bukan hak untuk negara, sebagai subyek hukum
internasional. Sejak awal perumusannya, Pasal ini mempunyai 2 penafsiran: hak
penentuan nasib sendiri sebagai respon terhadap kekuasaan Asing (eksternal),
dan; sebagai respon terhadap kekuasaan nasional seperti penguasa atau rezim
otoritarian/totalitarian yang merepsesi kebebasan penduduk dan insan pribadai
(internal). Sebagai tambahan, hak ini – merupakan satu-satunya hak kolektif
yang dicantumkan dalam Kovenan Sipol.
Dalam
ketentuan umum (Bagian II) dimuat rumusan yang memberikan obligasi (kewajiban)
Negara Pihak: Pertama, untuk menghormati dan memastikan pemenuhan hak asasi
tanpa pembedaan (diskriminasi) berdasarkan apapun. Negara pihak juga diwajibkan
untuk mengupayakan perbaikan yang efektif jika terjadi kejahatan hak asasi
manusia termasuk memberikan reparasi kepada korban, melalui mekanisme yudisial
(hukum), adaministratif atau bersifat legasi, termasuk memastikan otoritas
(lembaga) negara yang berkompeten untuk memenuhi reparasi bagi semua korban
kejahatan hak asasi yang dimuat dalam Kovenan ini.
Kedua,
Negara Pihak diwajibkan mengupayakan persamaan hak antara laki-laki dan
perempuan dalam menikmati jaminan hak-hak sipil dan politik. Dalam konteks ini,
pasal 26 Kovenan juga memuat prinsip persamaan hak antara laki-laki dan
perempuan di muka hukum dan persamaan untuk mendapatkan perlindungan hukum yang
sama tanpa diskriminasi. Namun, perlu dicatat, Komite Hak Asasi Manusia
membenarkan obligasi positif untuk melakukan tindakan afirmasi (affirmative
action) sehingga kelompok yang sejak lama mengalamai diskriminasi seperti
kaum perempuan dapat mengejar ketertinggalannya untuk dapat menikmati persamaan
dengan laki-laki.
Ketiga,
Ketentuan Umum memuat aturan pengecualian tentang penundaan pemenuhan hak
sipil dan politik dalam “situasi darurat yang mengancam kehidupan dan
eksistensi bangsa, yang secara resmi ditetapkan” yang hanya bisa dilakukan
dengan memenuhi asas proporsionalitas, dan non-deskriminasi, dan berdasarkan
aturan hukum yang jelas. Penyimpangan untuk melakukan tindakan penundaan tidak
berlaku bagi Negara Pihak untuk hak-hak yang dinyatakan dalam: Pasal 6 (hak
untuk hidup); Pasal 7 (bebas dari penyiksaan); Pasal 8 (paragraf 1
dan 2) yang memuat larangan perbudakan; Pasal 16 (hak pengakuan
dimuka hukum) dan Pasal 18 (kebebasan untuk berkeyakinan dan beragama) –
hak-hak ini disebut dengan hak yang tidak dapat ditanda pemenuhannya (non-derogable
right) dalam situasi dan keadaan apapun termasuk dalam situasi darurat.
Ketentuan
Umum, ini diakhiri dengan Pasal 5 yang memuat larangan bagi Negara Pihak untuk
menafsirkan aturan Kovenan yang berakibat pada perusakan hak dan kebebasan
fundamental yang dijamin dalam Kovenan. Demikian juga, Negara Pihak tidak
diperbolehkan membuat pembatasan atau derogasi (pelanggaran) hak-hak asasi
didalam peraturan perundang-undangan atau kebijakan nasional yang bertentangan
dengan jaminan hak sipil dan politik yang dimuat dalam Kovenan ini.[6]
Badan-badan Pengawas yang
Dibentuk Berdasarkan Mandat dalam Perjanjian
|
NO
|
Perjanjian
|
Badan
Pengawas
|
|
1
|
Konvenan Internasional tentang
Hak-hak Ekonomi Sosial dan Budaya
|
Komite Hak-hak Ekonomi. Sosial dan
Budaya (The Committee on Economic, Social and Cultural Right)
|
|
2
|
Konvenan Internasional tentang
Hak-hak Sipil dan Politik
|
Komite Hak Asasi Manusia (The Human
Rights Committee)
|
|
3
|
Konvensi Internasional tentang
Penghapusan Semua Bentuk Diskriminasi Rasial
|
Komite Penghapusan Semua Bentuk
Diskriminasi Rasial (The Committee on The Elimination of Racial
Discrimination)
|
|
4
|
Konvensi tentang Penghapusan semua
bentuk Diskriminasi terhadap Perempuan (1979)
|
Komite Penghapusan Semua Bentuk
Diskriminasi terhadap Perempuan (The Committee on Elimination of
Discrimination against Women)
|
|
5
|
Konvensi Menentang Penyiksaan dan
Perlakuan atau Penghukuman lain yang Kejam, Tidak Manusiawi dan Merendahkan
Martabat
|
Komite Menentang Penyiksaan (The
Committee against Torture)
|
|
6
|
Konvensi mengenai Hak-hak Anak
|
Komite Hak-hak Anak (The
Committee on The Rights of the Child)
|
|
7
|
Konvensi Internasional tentang
Perlindungan Hak-hak Semua Buruh Migran dan Anggota Keluarga
|
Komite Buruh Migran (The
commite on Migrant Workers)
|
C. Instrumen Khusus dalam
Instrumen HAM Internasional
Norma “Bill
of Right” Internasional, kemudian diikuti dengan pengabdosian instrument –
instrument lain yang dikodifikasi, memuat hak – hak asasi manusia dan sistem
pengawasan yang dilakukan untuk tujuan perlindungan dan pemenuhan katalog hak –
hak asasi. Intrumen nasional hak asasi manusia tidak hanya ditetapkan oleh
Majelis Umum Perserikatan Bangsa Bangsa, tetapi badan badan PBB lainnya, yang
juga berfungsi memajukan hak asasi manusia, seperti Organisasi Pendidikan, Ilmu
Pengetahuan dan Kebudayaan PBB – United
Nations Educational, Scientific, and Culture Organisation (UNESCO) dan
Organisasi Buruh Internasional – International
Labor Organisation ( ILO ), yang menuyusun dan menetapkan instrumen –
instrumen khusus, yang berbentuk perjanjian (konvensi), pernyataan,
rekomendasi, untuk perlindungan dan pemenuhan hak asasi manusia.
Karena spektrum yang luas dari instrumen –
instrumen khusus yang diadopsi badan badan PBB – yang mesti diberi bobot
politik dan sosial secara khusus, maka pada pembahasan instrumen khusus ini
dibatasi hanya instrumen kusus yang berkaitan dengan; hak menentukan nasib
sendiri, pencegahan diskriminasi, termasuk larangan diskriminasi rasial,
kebijakan dan praktik pembedaan warna kulit ( apartheid ), penghapusan diskriminasi terhadap perempuan, dan
penghapusan segala bentuk intoleransi serta diskriminasi berdasarkan agama atau
kepercayaan, hak – hak perempuan, hak – hak anak, serta hak asasi manusia dalam
administrasi keadilan, yang difokuskan terhadap perlindungan setiap orang dari
penyiksaan.
- Hak menentukan nasib sendiri
Sebelum diadopsinya 2 kovenan Internasional Hak
Asasi Manusia, jaminan menentukan nasib sendiri sudah dirumuskan dan ditetapkan
dalam deklarasi tentang Pemberian Kemerdekaan kepada Negara – negara dan Bangsa
– bangsa Jajahan yang dikenal dengan sebutan deklarasi dekolonial. Deklarasi
ini dimulai dengan pernyataan bahwa kebijakan dan praktik penjajah, dominasi
dan eksploitasi merupakan pengingkaran terhadap hak hak asasi manusia,
bertentangan dengan Piagam PBB serta menjadi hambatan bagi peningkatan
perdamaian dan kerjasam dunia. Deklarasi ini juga menyatakan, semua negara
wajib mematuhi sepenuh – penuhnya secara konsekuen ketentuan – ketentuan dalam
Piagam PBB dan Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia.
Dalam perkembangannya, istilah hak menentukan nasib
sendiri, dianalisis dari dua prespektif
: menetukan nasib sendiri ( right of
self-determination ). Pengertian pertama, seperti dinyatakan sebelumnya,
berkaitan dengan “dekolonisasi” atau praktik memerdekakan diri sebuah bangsa
untuk membentuk sebuah negara yang merdeka. Sedangkan pengertian kedua
berkaitan dengan kebebasan kolektif ( penduduk ) menentukan nasib sendiri,
bukan dalam rangka membantu sebuah Negara baru, melainkan kebebasan dalam
konteks partisipasi penduduk dalam menentukan kebijakan – serta dan
implementasinya- didalam sebuah Negara.
Instrumen lain, yang dapat diklasifikasikan ke
dalam kelompok “ hak menentukan nasib sendiri” yakni konvensi Internasional
tentang Rekrutmen, Pengunaan, Pembiayaan, dan Pelatihan Tentara Bayaran.
- Pencegahan diskriminasi
Setidaknya terdapat 8 Intrumen pokok
Internasional, yang diadopsi PBB dengan pencegah,,an diskriminasi, yakni: (1)
konvensi ILO No. 100 ( 1951); (2) Konvensi ILO No. 111 ( 1958); (3) Konvensi
internasional Penghapusan semua bentuk Diskriminasi Rasial; (4) Deklarasi
tentang Praduga Rasial dan Ras; (5) Konvensi UNESCO menentang Diskriminasi di
Bidang Pendidikan; (6) Protokol Pembentukan sebuah Negara Pihak berkaitan
dengan Konvensi Menentang Penyiksaan di Bidang Pendidikan; (7) Deklarasi tentang
Penghapusan Semua Bentuk Intoleransi dan Diskriminasi Berdasrakan Agama dan
Kepercayaan, serta (8) Deklarasi dan Program Aksi Durban, yang dihasilkan
Konferensi Dunia Menentang Rasisme (2001).
Organisasi Buruh Internasional ( ILO ) memberikan perhatian amat serius
terhadap problem diskriminasi. Perhatian ini kemudian, dirumuskan dalam
konvensi ILO No. 100, yang adiadopsi pada tahun 1951 tentang Pengupahan yang
sama untuk laki-laki dan perempuan untuk Jenis Pekerjaan yang Sejenis, serta
dirumuskan juga Konvensi No 111 yang diadopsi 7 tahun berikutnya pada tahun
1958 tentang penghapusan diskriminasi dalam pekerjaan dan Jabatan. Selain ILO,
Organisasi Pendidikan Ilmu Pengetahuan dan Kebudayaan (UNESCO) , juga
mengadopsi setidaknya 2 Instrumen pokok yang memuat larangan dan pencegahan
diskriminasi di bidang pendidikan, yakni Konvensi Menentang Diskriminasi di
Bidang Pendidikan, serta Protokol pembentukan Komisis dan Konsiliasi yang
bertanggung jawab untuk menyelesaikan sengketa antara Negara Pihak berkaitan dengan
Konvemsi Menentang Diskriminasi di Bidang Pendidikan,
Selanjutnya, upaya penghapusan praduga rasial dan
diskriminasi rasial, medapat perhatian khusus. Majelis Umum mengadopsi
Deklarasi (1963) dan Konvensi (1965)
tentang penghapusan semua bentuk diskriminasi rasial. Penggalangan solidaritas
Majelis Umum kemudian menghasilkan Konvensi Internasional tentang Pemberantasan
dan Penghukuman Kejahatan Pembedaan Warna Kulit ( apertheid ) (1975 ).
Berbeda dengan proses penetapan Konvensi
menentang Rasil dan Rasisme yang sudah berhasil mendapat persetujuan dalam
Majelis Umum PBB pada tahun 1965, pengadopsian instrumen yang memuat jaminan
perlindungan hak dan kebebasan beragama, sekaligus penghapusan semua bentuk
intoleransi dan diskrimanasi berdasakan
agama dan kepercayaan menghadapi rintangan dan perdebatan kontroversial.
Bertahun – tahun perundingan tidak mengalami
kemajuan, kemudian pada tahun 1981, Majelis Umum memproklamasikan Deklarasi
tentang Penghapusan Semua Bentuk Intoleransi dan Diskriminasi berdasarkan Agama
dan Kepercayaan, pada tahun 1981.
- Hak – hak perempuan
Dalam “payung” klarifikasi hak-hak perempuan,
selain Konvensi dan Protokol Opsional tentang Penghapusan semua bentuk
Diskriminasi terhadap perempuan, terdapat 2 instrumen pokok lain, yakni: Deklarasi
tentang Perlindungan Perempuan dan Anak-anak dalam situasi Darurat dan Konflik
bersenjata, serta: Deklarasi tentang Penghapusan Kekerasan terhadap Perempuan.
- Hak-hak anak
Hak-hak
anak dalam konvensi hak anak tahun 1989, secara umum, dapat diklasifikasikan
kedalam 3 katagori. Pertama, hal-hak
yang merupakan hak-hak setiap anak dengan tidak memandang usia, namun dalam
konvensi ini, dinyatakn dan ditugaskan kembali. Sebagai contoh, jaminan
perlindungan terhadap penyiksaan, jak atas nam dan identitas kewarganegaraan,
atau hak atas jaminan sosial.
Kedua, katalog hak asasi manusia
secara umum, namun dalam konvensi diberikan penekanan, jaminan atas hak perlu
diperkuat dan ditetapkan secara khsusu, seperti hak dan persyaratan bagi anak (
remaja ) yang hendak bekerja, atau hak-hak anak dalam konteks perampasan
kemerdekaanya (penahanan/pemenjaraan). Selanjutnya, ketiga, hak - hak yang khusus berkaitan dengan anak, seperti
adopsi, hak atas pendidikan dasar dan komunikasi(berhubungan) dengan
orangtuanya.
Selain
itu, ILO juga mengadopsi setidaknya 2 konvensi yang ditujukan untuk
perlindungan hak-hak anak. Sebelum Konvensi hak-hak anak diadopsi, pada tahun
1973 ILO sudah mengadopsi Konvensi tentang Usia Minimum. Kemudian pada 1999,
ILO menetapkan Konvensi No. 182 tentang Bentuk-bentuk Terburuk Buruh Anak.
- Larangan Penyiksaan
Praktik penyiksaan terhadap manusia, telah
menjadi perhatian yang serius dari komunitas Internasional. Tidak mengherankan,
ketentuan hukum berkaitan dengan larangan penyiksaan, dinyatakan dalam banyak
instrumen pokok Internasional dan regional.
Pasal 5 DUHAM dan pasal 7 konvenan Internasional hak-hak
sipil dan politik dengan tegas mengatur jaminan setiap orang untuk bebas dari
segala bentuk, praktik, dan kejahatan penyiksaan. Kejahatan ini, jika dilakukan
sebagai serangan yang sitematik dan meluas, dikategorikan sebagai kejahatan
hak-hak asasi manusia yang berat, dengan klasifikasi kejahatan terhadap
manusia.
Pengadopsian konvensi yang
berkaitan dengan larangan penyiksaan, didahului dengan pengadopsian Deklarasi
tentang Perlindungan Semua Orang dari Penyiksaan dan Perlakuan atau Hukuman
yang Kejam, tidak manusiawi dan merendahkan martabat pada 1975. Dorongan untuk
pengadopsian deklarasi, antara lain disebabkan kejahatan penyiksaan terhadap
individu dan kelompok masyarakat pasca kudeta militer di chili pada tahun 1973.
Membutuhkan waktu 9 tahun bagi majelis Umum untuk bisa mengadopsi Konvensi
menentang Penyiksaan. Selanjutnya, kurang lebih 3 tahun, 20 negara menyatakan
mengingatkan diri pada perjanjian ini, sehingga konvensi menentang penyiksaan
dapat berlaku pada 26 Juni 1987.
Larangan melakukan
penyiksaan, dinyatakan dalam Konvensi Jenewa yang diadopsi pada 1949, setahun
setelah ditetapkannya DUHAM. Para tahanan perang tidak diperbolehkan mendapat
perlakuan yang kejam, penyiksaan atau pemotongan bagian-bagian tubuhnya. Hal
yang sama berlaku untuk korban konflik bersenjata Internasional dan konflik
bersenjata yang terjadi di dalam sebuah Negara (non internasional)
Instrumen Internasional,
secara khusus mengatur larangan penyiksaan terhadap anak-anak serta mengatur
masalah kompensasi untuk semua korban kejahatan hak-hak asasi manusia,
Tabel Instrumen Internasional Hak Asasi Manusia,
berdasarkan Urutan Kronologis
|
Tahun
|
|
|
1945
1948
1948
1949
1951
1951
1952
1953
1954
1955
1956
1957
1957
1958
1959
1960
1960
1962
1963
1965
1966
1966
1967
1968
1969
1973
1974
1974
1975
1975
1978
1979
1981
1984
1986
1989
1989
1989
1990
1992
1992
1993
1993
1997
1998
1999
1999
2000
2000
2000
2001
2001
2002
|
Piagam PBB
Konvensi Pencegahan dan Penghukuman Genosida (
1951)
Deklarasi HAM Semesta
Konvensi ILO (No, 98) tentang Hak Mengorganisir
dan Posisi Tawar Kolektif (1951)
Konvensi ILO (No.100) tentang Upah yang sama
bagi Laki-laki dan Perempuan atas Pekerjaan yang Nilainya Setara (1953)
Konvensi Status Mengungsi(1954)
Konevensi hak-hak Politik Perempuan
Protokol Amandemen Konvensi Perbudakan 1926
(1953)
Konvensi tentang Status Penduduk yang tidak
memiliki kewarganegaraan (1960)
Peraturan Standar minimum bagi perlakuan
Tahanan
Lampiran Tambahan Konvensi Penghapusan
Perbudakan (1957)
Konvensi Nasional tentang Perempuan yang
Menikah (1958)
Konvensi ILO (No. 105) tentang Penghapusan
Kerja Paksa (1959)
Konvensi ILO (No. 111) tentang diskriminasi (
ILO Discrimination) Tempat Bekerja dan Pekerjaan (1960)
Deklarasi hak-hak Anak
Deklarasi Pengakuan Kemerdekaan Negara dan
Penduduk dari Penjajahan
Konvensi UNESCO Menentang Diskriminasi dalm
Pendidikan
Koneverensi Perizinan Perkawinan, Usia Minimum Perkawinan
dan Pencatatan Perkawinan (1964)
Deklarasi Penghapusan segala bentuk
diskrimanasi rasial
Konvensi Internasional Penghapusan segala
Bentuk Diskriminasi Rasial (1962)
Konvensi Internasional hak-hak Ekonomi Sosial
dan Budaya (1976)
Konvenan Internasional hak-hak Sipil dan
Politik (1976)
Deklarasi Penghapusan Diskriminasi Terhadap
Perempuan
Proklamasi Teheran
Deklarasi Kemajuan Sosial dan Pembangunan
Konevensi Internasional Penghapusan dan
Penghukuman Apartheid (1976)
Deklarasi Semesta Pemberantas Kelaparan dan
Kekurangan Pangan
Deklarasi Perlindungan Perempuan dan Anak dalam
Situasi Darurat dan Konflik Bersenjata Deklarasi hak hak orang cacat
deklarasi Perlindungan Setiap Orang dari
Ancaman Penyiksaan dan Tindakan Keji Lainnya
Tindakan atau Hukuman tidak Berperi Kemanusiaan
atau Merendahkan Martabat
Deklarasi Prasangka Ras dan Rasial
Konvensi Penghapusan Bentuk Intoleransi dna
Diskriminasi berdasarkan Agama dan Kepercayaan
Deklarasi Penghapusan Bentuk Intoleransi dan
Diskriminasi terhadap Perempuan (1981)
Konvensi Menentang Penyiksaan dan Perlakuan
Keji atau Tindakan atau Hukuman yang merendahkan Martabat (1987)
Deklarasi hak-hak Pembangunan
Konvensi ILO No 169 tentang Penduduk Asli dan
Adat di Negara negara Independen (1991)
Konvensi hak-hak Anak (1990)
Protokol Optional Kedua terhadap Kovenan
hak-hak sipil dan Politik, Guna Menghapuskan Hukuman Mati
Konvensi Internasional untuk PERLINDUNGAN ham
Setiap Pekerja Migran dan Keluarganya (2003)
Deklarasi hak hak setiap orang untuk Mmeliki
Kebangsaan atau Etnis, Agama dan Bahasa Minoritas
Deklarasi Perlindungan Setiap Orang dari Segala
Bentuk Penghilangan Paksa
Deklarasi dan Program Aksi Wina
Prinsip-prinsip yang berkaitan dengan Status
Lembaga Nasional untuk Promosi dan Perlindungan Hak Asasi Manusia
Agenda Pembangunan
Deklarasi tentang Hak dan Tanggung Jawab
Individu, Kelompok dan Organisasi Masyarakat untuk Mempromosikan dan
Melindungi hak-hak Asasi dan Kebebasan fundamental Manusia Universal
Deklarasi dan Kemajuan Negara dan Inisiatif
Dimasa Depan untuk Program Aksi Pembangunan Berkelanjutan di Pulau – Pulau
Kecil Negara Berkembang
Protokol opsional untuk Konevensi Penghapusan
Semua Bentuk Diskriminasi terhadap Perempuan (2000)
Protokol Opsional untuk Konvensi mengenai
Hak-hak Anak, Keterlibatan Anak dalam Konflik Bersenjata (2002)
Deklarasi Millinium PBB
Konvensi Menentang Kejahatan Trans-nasional
Terorganisir
Deklarasi Komitmen HIV/AIDS
Deklarasi tentang Kota dan Wilayah lain yang
didiami Manusia dalam Millenium Baru
Protokol Opsional Konvensi Menentang Penyiksaan
( per Januari 2006 belum berlaku, baru diratifikasi 16 Negara dari total
minimum 30 Negara )
|
Keterangan : *Tahun disebelah kiri menunjukkan
tahun adopsi, sedangkan tahun dalam tanda kurung menunjukkan instrumen HAM
mulai diberlakukan ( entry into force )
Sementara dilevel domestik, sebagai contoh di
Indonesia, pada 2001, amandemen ke-2 Undang-undang Dasar 1945, memuat hak
setiap orang untuk bebas dari penyiksaan atau perlakuan yang merendahkan
derajat martabat manusia. Sebelumnya, larangan penyiksaan dimuat dalam pasal 33
UU No 39/1999 tentang Hak Asasi Manusia dan secara khusus larangan penyiksaan
terhadap anak dimuat dalam pasal 66 UU ini.
Dari ke 7 instrumen pokok,
tidak termasuk protokol opsional atau protokol tambahan. Indonesia sudah
meratifikasi 8 instrumen kecuali Konvensi Internasional tentang Perlindungan
Hak hak Semua Buruh Migran dan Anggota Keluarganya. Inkorporasi hukum
Internasional hak asasi manusia ini, dilakukan melalui undan-undang, kecuali
Konvensi mengenai hak hak Anak, yang diratifikasi melalui keputusan Presiden.[7]
Table the Internastional human rights: instruments, dates, and membership[8]
Name
|
Date when open for signature
|
States parties as of 2004 as of N and %
|
|
International Covenant on Cicil and Political Rights
(ICCPR)
|
1966
|
152
(78%)
|
|
International Covenant on Economic, Social, and Culture
Rights ( ICESCR )
|
1966
|
149
(77%)
|
|
Optional Protocol to
the International Covenant on Civil and Political Righs (OPTI)
|
1976
|
104
(54%)
|
|
Second Optional Protocol to the International Covenant
on Civil and Political Rights ( OPT2 )
|
1989
|
50
(26%)
|
|
International Convention on the Elimination of all
Forms of Racial Discrimination ( CERD )
|
1966
|
169
(89%)
|
|
Convention on the Elimination of all Forms of
Discrimination Against Women ( CEDAW )
|
1979
|
177
(91%)
|
|
Convention Against Torture and other Cruel, Inhuman, or
Degrading Treatment or Punishment (CAT)
|
1984
|
136
(70%)
|
|
Convention on the Rights of the Child (CRC)
|
1989
|
192
(99%)
|
BAB III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
-
Instrumen HAM Internasional adalah alat yang digunakan untuk
melindungi Hak Asasi Manusia di seluruh negeri di dunia.
-
Instrumen umum dalam Instrumen HAM internasional ada dua yaitu
Kovenan Internasional tentang Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya dan Kovenan
Internasional tentang Hak Sipil dan Politik.
-
Instrumen Khusus dalam Intrumen HAM internasional ada 5 yaitu; Hak
menentukan nasib sendiri; Pencegahan Diskriminasi; Hak-hak Perempuan; Hak-hak
Anak dan Larangan Penyiksaan.
DAFTAR PUSTAKA
Nasution, Adnan Buyung. 2006. Instrumen Internasional Pokok Hak
Asasi Manusia, Jakarta:
Yayasan Obor Indonesia.
Departemen
Pendidikan Nasional. 2005. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka.
Landman, Todd. 2006. Studying Human Rights. New York:
Routledge.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar