Rabu, 27 Maret 2019

Makalah Hukum Perdata Islam di Indonesia: Perkawinan


BAB I
PENDAHULUAN

A.    Latar Belakang

            Perkawinan merupakan suatu hal yang penting dalam realita kehidupan umat manusia. Dengan adanya perkawinan rumah tangga dapat ditegakkan dan dibina sesuai dengan norma agama dan tata kehidupan masyarakat. Dalam rumah tangga berkumpul dua insan yang berlainan jenis (suami istri), mereka saling berhubungan agar mendapat keturunan sebagai penerus generasi.Insan-insan yang berada dalam rumah tangga itulah yang disebut keluarga.Untuk membentuk keluarga yang sejahtera dan bahagia, maka diperlukan perkawinan. Tidak ada tanpa adanya perkawinan yang sah sesuai dengan norma agama dan tata aturan yang berlaku. Kuat lemahnya perkawinan yang ditegakkan dan dibina oleh suami istri tersebut sangat tergantung pada kehendak dan niat suami istri yang melaksanakan pernikahan tersebut.Oleh karena itu, dalam suatu perkawinan diperlukan adanya cinta lahir batin antara pasangan suami istri tersebut.
            Sebelum Indonesia merdeka, sudah ada hukum tertulis tentang perkawinan bagi golongan-golongan tertentu.Yang menjadi masalah waktu itu adalah bagi warga bumiputra yang beragama Islam.Bagi mereka tidak ada aturan sendiri yang mengatur tentang perkawinan, tidak ada undang-undang tersendiri yang dapat dijadikan patokan dalam pelaksanaaan akad nikah perkawinanya. Bagi mereka selama itu berlaku hukum Islam yang sudah diresiplir dalam hukum adat berdasarkan teori receptie yang dikemukakan oleh Hurgronye.
            Setelah Indonesia merdeka, usaha mendapatkan undang-undang tetap diupayakan. Pada akhir tahun 1950 dengan surat Penetapan Mentri Agama RI Nomor B/4299 tanggal 1 Oktober 1950 dibentuk Panitia Penyelidik Peraturan dan Hukum Perkawinan, Talak Rujuk yang diketuai oleh Mr.Teuku Moh.Hasan.
            Dari sinilah pemakalah akan mmembahas hal-hal yang berkaitan dengan pencatatan perkawinan, perjanjian perkawinan, dan larangan perkawinan. yang selanjutnya akan dibahas dalam bagian pembahasan.

B.     Rumusan Masalah

  1. Apa hukum pencatatan perkawinan?
  2. Apa saja yang termasuk perjanjian perkawinan?
  3. Apa saja yang termasuk larangan perkawinan?

C.    Tujuan

            Adapun tujuan dari penulisan makalah ini adalah mencoba untuk memberikan informasi kepada rekan-rekan kami pada khususnya dan kepada masyarakat pada umumnya tentang pencatatan perkawinan, perjanjian perkawinan, dan larangan perkawinan.












BAB II
PEMBAHASAN
1.      Pencatatan Perkawinan
            Pada mulanya syariat Islam -baik dalam Al-Qur’an atau as-sunnah- tidak mengatur secara konkret tentang adanya pencatatan perkawinan. Ini berbeda dengan Muamalat (mudayanah) yang dilakukan tidak secara tunai untuk waktu tertentu, diperintahkan untuk mencatatnya. Tuntutan perkembangan, dengan berbagai pertimbangan kemaslahatan, hukum perdata Islam di Indonesia perlu mengaturnya guna kepentingan kepastian hukum didalam masyarakat.[1]
            Menurut doktrin hukum Islam klasik, perkawinan dianggap sah dan terjadi dengan adanya ijab (menyerahkan) yang diucapkan oleh wali dari pihak calon istri dan adanya Qabul (menerima) yang diucapkan oleh pihak laki-laki dengan dihadiri saksi; dua atau satu orang Muslim laki-laki dan dua orang Muslim perempuan dan adanya Mahar. Unsur-unsur tersebut dinamakan dengan rukun pernikahan tedapat syarat-syarat yang harus terpenuhi.
            Tidak terdapat aturan tentang keharusan pencatatan dalam aturan hukum Islam klasik ini. Perkembangan zaman dan kompleksitas kehidupan telah mendorong para ulama untuk melakukan sebuah pembaruan terkait pernikahan, dan negara-negara Muslim menyadari bahwa kontrak perkawinan perlu didaftarkan agar bukti dari pernikahan tersebut dapat disimpan dan dijadikan sandaran dengan jelas.
            Meskipun tidak ada satupun kelompok ulama menegaskan tentang pentingnya pencatatan, tetapi apa yang dikemukakan Maliki terkait dengan hukum adanya saksi, dimana ia menyebutkan bahwa saksi tidak perlu dihadirkan pada waktu akad diucapkan dan bisa dihadirkan setelahnya, serta tentang fungsinya memberikan pengumuman tentang pernikahan yang ia saksikan, dapat dijadikan pijakan pentingnyapencatatan untuk zaman sekarang. Menurut kelompok ini, saksi tidak harus dihadirkan pada saat pernikahan terjadi. Skasi dapat dihadirkan setelah itu, dan fungsinya untuk menegaskan adanya pernikahan.[2]
            Ada beberapa perspektif tentang pencatatan perkawinan, diantaranya yaitu:
  1. Perspektif Fikih
            Ada beberapa analisis yang dapat dikemukakan mengapa pencatatan perkawinan tidak diberi perhatian yang serius oleh fikih walaupun ada ayat al-Qur’an yang menganjurkan untuk mencatat segala bentuk transaksi muamalah.
1)      Larangan untuk menulis sesuatu selain al-Qur’an. Akibatnya kultur tulis tidak begitu berkembang dibanding dengan kultur hafalan.
2)      Kelanjutan dari yang pertama, maka mereka sangat mengandalkan hafalan (ingatan). Agaknya mengingat sebuah peristiwa perkawinan bukanlah sebuah hal yang sulit untuk dilakukan.
3)      Tradisi walimat-al-urusy walalupun dengan seekor kambing merupakan saksi disamping saksi syar’i tentang sebuah perkawinan.
4)      Ada kesan perkawinan yang berlangsung pada masa-masa awal Islam belum terjadi antar wilayah negara yang berbeda. Biasanya perkawinan pada masa itu berlangsung dimana caon suami dan calon istri berada dalam suatu wilayah yang sama. Sehingga alat bukti kawin selain saksi belum dibutuhkan.
Dengan alasan-alasan yang telah disebut diatas, dapatlah dikatakan bahwa pencatatan perkawinan belum dipandang sebagai sesuatu yang sangat penting sekaligus belum dijadikan alat bukti autentik terhadap sebuah perkawinan.
Sejalan dengan perkembangan zaman dengan dinamika yang terus berubah maka banyak sekali perubahan-perubahan yang terjadi. Pergeseran kltur lisan kepada kultur tulis sebagai ciri masyarakat modern, menuntut dijadikannya akta, surat sebagai bukti autentik. Saksi hiduptidak lagi bisa diandalkan tidak saja karena bisa hilang dengan sebab kematian, manusia dapat juga mengalami kelupaan dan kesilapan. Atas dasar ini diperlukan sebuah bukti yang abadi itulah yang disebut dengan akta.
Dengan demikian salah satu bentuk pembaruan hukum kekeluargaan Islam adalah dimuatnya pencatatan perkawinan sebagai salah satu ketentuan perkawinan yang harus dipenuhi. Dikatakan pembaharuan Huku Islam karena masalah tersebut tidak ditemukan didalam kitab-kitab fikih ataupun fatwa-fatwa.
  1. Perspektif UU No. 1/1974
            Dari penjelasan diatas, jelaslah bahwa fikih tidak membicarakan pencatatan perkawinan. Hal ini tentu berbeda dengan ketentuan UUP Perkawinan yang sebagaimana terlihat nanti, tidak saja menempatkan pencatatan perkawinan sebagai sesuatu yang penting, tetapi juga menjelaskan mekanisme bagaimana pencatatan perkawinan itu dilaksanakan.
            Didalam UU No. 1/1974 pasal 2 ayat 2 dinyatakan bahwa :
“ ...Tiap-tiap perkawinan dicatat menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku...”.[3]
Ini adalah satu-satunya ayat yang mengatur tentang pencatatan perkawinan. Di dalam penjelasannya tidak ada uraian yang lebih rinci kecuali yang dimuat didalam PP No.9 tahun 1975. Ini berbeda dengan ayat 1 yang didalam penjelasannya dikatakan :
(i)                 Tidak ada perkawinan diluar hukum agama, dan
(ii)              Maksud hukum agama termasuk ketentuan Perundang-undangan yang berlaku.
Di dalam PP No.9 tahun 1975 tentang pelaksanaan undang-undang perkawinan pasal 3 ada dinyatakan :
  1. Setiap orang yang akan melangsungkan perkawinan memberitahukan kehendaknya kepada Pegawai Pencatat di tempat perkawinan akan dilangsungkan.
  2. Pemberitahuan tersebut dalam ayat (1) dilakukan sekurang-kurangnya 10 hari kerja sebelum perkawinan dilangsungkan.
  3. Pengecualian terhadap jangka waktu tersebut dalam ayat 2 disebabkan sesuatu alasan yang penting, diberikan oleh Camat (atas nama) Bupati Kepala Daerah.[4]
            Dengan demikian pencatatan perkawinan ini walaupun didalam UUP hanya diatur oleh satu ayat, namun sebenarnya maslah pencatatan ini sangat dominan. Ini akan tampak dengan jelas menyangkut tata-cara perkawinan itu sendiri yang kesemuanya berhubungan dengan pencatatan. Tidaklah berlebihan jika ada sementara pakar hukum yang menempatkannya sebagai syarat administratif yang juga menentukan sah tidaknya sebuah perkawinan.[5]
  1. Perspektif KHI (Kompilasi hukum Islam)
            KHI memuat masalah pencatatan perkawinan ini pada pasal 5 sebagai berikut :
(1)   Agar terjamin ketertiban perkawinan bagi masyarakat Islam, setiap perkawinan harus dicatat.
(2)   Pencatatan perkawinan tersebut pada ayat (1) dilakukan oleh Pegawai Pencatat Nikah sebagaimana yang diatur dalam undang-undang No.22 Tahun 1946 jo. Undang-undang Nomor.22 Tahun 1954
Selanjutnya pada pasal 6 dijelaskan :
(1)   Untuk memenuhi ketentuan dalam pasal 5, setiap perkawinan harus dilangsungkan dihadapan dan dibawah pengawasan Pegawai Pencatat Nikah.
(2)   Perkawinan yang dilakukan diluar pengawasan Pegawai Pencatat Nikah tidak mempunyai kekuatan hukum.[6]
            Aturan-aturan didalam KHI ini sudah melangkah lenih jauh dan tidak hanya bicara masalah administratif. Pertama, didalam pasal 5 ada klausul yang menyatakan “...Agar terjaminnya ketertiban perkawinan bagi masyarakat Islam ...” Ketertiban disini menyangkut ghayat al-tasyri’ (tujuan huum Islam) yaitu menciptakan kemaslahatan bagi masyarakat. Kedua,pada pasal 6 ayat 2 ada klausul “...tidak mempunyai kekuatan hukum...”. Apa makna tidak mempunyai kekuatan hukum ini ? sayang KHI tidak memiliki penjelasan. Penulis lebih setuju jika tidak memiliki kekuatan hukum diterjemahkan dengan tidak sah (laa yasihhu). Jadi perkawinan yang tidak dicatatkan dipandang tidak sah. Lebih jauh hal ini akan dibahas nanti.[7]

A.    Tujuan Pencatatan Pernikahan

            Pencatatan pernikahan bertujuan untuk mewujudkan ketertiban perkawinan dalam masyarakat. Ini merupakan suatu upaya yang diatur melalui perundang-undangan, untuk melindungi martabat dan kesucian (mitsaqan ghalidhan) perkawinan, dan lebih khusus lagi untuk melindungi perempuan dan anak-anak dalam kehidupan rumah tangga.
            Melalui pencatatan pernikahan yang dibuktikan dengan Akta Nikah, yang masing-masing suami-istri mendapat salinannya, apabila terjadi perselisihan atau percekcokan diantara mereka, atau salah satu tidak bertanggung jawab, maka yang lain dapat melakukan upaya hukum guna mempertahankan atau mendapatkan haknya masing-masing. Karena dengan akta tersebut, suami-istri memiliki bukti autentik atas perkawinan yang telah mereka lakukan.[8]
            Jika ditinjau dari perspektif Etika Hukum Internasional seperti Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia tentang perlindungan hak-hak asasi manusia, aturan tentang keharusan pencatatan pernikahan ini telah selaras dengan apa yang diinginkan oleh Deklarasi tersebut.
            Pencatatan pernikahan diatur tentunya untuk memberikan manfaat bagi kehidupan manusia dan perlindungan bagi pihak-pihak terkait yang terlibat dalam ikatan pernikahan. Dengan adanya pencatatan, baik pihak suami maupun istri mempunyai bukti kuat atas terjadinya pernikahan. Anak yang dilahirkan dari pernikahan yang dicatat pun akan memperoleh perlindungan hukum dengan baik.[9]

B.     Akibat Pencatatan Perkawinan

            Beberapa negara secara jelas mengatur tentang status atau posisi dari pencatatan tersebut, Apakah pencatatan merupakan syarat administrasi saja atau merupakan syarat kesahan secara agama ?
            Di Indonesia, aturan tentang pencatatan pernikahan dapat dilihat di UU No.22/1964. UU ini mengatur hanya administrasi perkawinan dan menegaskan bahwa pernikahan diawasi oleh pegawai pencatat nikah. Aturan pencatatan pernikahan diperkuat dalam UU No.1/1974 dan KHI.
            KHI menyatakan bahwa perkawinan dinyatakan sah dengan hadirnya pencatatan perkawinan yang resmi atau jika didaftarkan. Tidak dipenuhinya pendaftaran perkawinan berakibat pada ketidakabsahannya perkawinan, dan upaya hukum di pengadilan akan ditolak jika perkawinan tidak terdaftar. Ini berarti, KHI membedakan antara keabsahan secara agama dan legalitas perkawinan menurut negara, dan dengan demikian tidak menganggap perkawinan batal secara agama jika pihak-pihak terkait hanya tidak mendaftarkan perkawinan mereka.  Tampak jelas, KHI tidak ingin secara jauh melenceng dari doktrin hukum klasik perkawinan.
            Terkait dengan masalah ini, beberapa kalangan menilai bahwa KHI menerapkan konsep “validitas ganda”. Di satu sisi KHI tetap mempertahankan pendapat para ulama klasik, bahwa hanya syarat-syarat agama yang bisa menetapkan apakah akad atau kontrak perkawinan itu sah atau tidak. Disisi lain, KHI ingin menegaskan bahwa pencatatan merupakan keharusan. Dengan demikian pencatatan pernikahan tidak dianggap sebagai faktor utama dalam menentukan sahnya perkawinan secara agama, tetapi ia sekedar syarat administratif.[10]
            Memperhatikan ketentuan-ketentuan hukum yang mengatur tentang pencatatan perkawinan, dapat dipahami bahwa pencatatan tersebut adalah syarat administratif. Artinya, perkawinan tetap sah, karena standar sah dan tidaknya perkawinan ditentukan oleh norma-norma agama dari pihak-pihak yang melangsungkan perkawinan. Pencatatan perkawinan diatur karena tanpa pencatatan, suatu perkawinan tidak mempunyai kekuatan hukum. Akibat yang timbul adalah, apabila salah satu pihak melalaikan kewajibannya, maka pihak lain tidak dapat melakukan upaya hukum, karena tidak memiliki bukti-buktiyang sah dan autentik dari perkawinan yang dilangsungkannya. Tentu saja, keadaan demikian bertentangan dengan misi dan ntujuan perkawinan itu sendiri.[11]

C.    PROSES PELAKSANAAN PENCATATAN NIKAH

  1. Pemberitahuan Kehendak Nikah
Terkait persiapan pernikahan, maksud dan pernyataan kerelaan dalam menikah.
  1. Pemeriksaan Nikah
Pemeriksaan pada calon suami, calon istri dan wali
  1. Pengumuman Kehendak Nikah
a.       Oleh PPN di KUA kecamatan tempat pernikahan akan dilangsungkan dan di KUA kecamatan tempat tinggal masing-masing calon mempelai
b.      Oleh Pembantu PPN di luar Jawa di tempat-tempat yang mudah diketahui umum.
  1. Akad Nikah dan Pencatatan
Akad Nikah dilangsungkan dibawah pengawasan/dihadapan PPN
  1. Persetujuan Izin dan Dispensasi
Sebagai realisasi dapida asas sukarela maka pernikahan harus berdasarkan persetujuan kedua calon mempelai. Untuk itu diisi surat Persetujuan Mempelai (model N3).
  1. Penolakan Kehendak Nikah
Apabila setelah terjadi pemeriksaan nikah, ternyata tidak memenuhi persyaratan yang telah ditentukan baik persyaratan menurut hukum munakahat maupun persyaratan menuju peraturan perundang-undangan yang berlaku maka PPN atau Pembantu PPN harus menolak pelaksanaan pernikahan, dengan cara memberikan surat penolakan kepada yang bersangkutan (N9).
  1. Pencegahan Pernikahan
Pernikahan dapat dicegah apabila ada pihak yang tidak memenuhi syarat untuk melangsungkan pernikahan, yang dapat mengajukan pencegahan pernikahan :
a.       Para Keluarga dalam garis keturunan lurus keatas dan kebawah
b.      Saudara dari seorang calon mempelai
c.       Wali Nikah
d.      Pengampu (kuratele) dari salah satu calon mempelai
e.       Pihak yang berkepentingan.
  1. Pembatalan Pernikahan
Pernikahan dapat dibatalkan apabila setelah dilaksanakan akad nikah, diketahui adanya larangan menurut hukum ataupun peraturan perundang-undangan tentang perkawinan.Pernikahan dapat dibatalkan apabila ada pihak yang tidak memenuhi syarat untuk melangsungkan pernikahan, yang dapat mengajukan pembatalan pernikahan :
a.       Garis keturunan lurus keatas dari suami atau istri
b.      Suami atau istri
c.       Pejabat yang berwenang hanya selama perkawinan belum diputuskan
d.      Pejabat yang ditunjuk[12]

D.    AKTA NIKAH

            Sesaat setelah dilakukan akad nikah, kedua mempelai menandatangani Akta Nikah dan salinannya yang telah disiapkan oleh Pegawai Pencatat Nikah dan salinannya yang telah disiapkan oleh Pegawai Pencatat berdasarkan ketentuan yang berlaku. Selanjutnya diikuti oleh penandatanganan oleh kedua saksi dan Pegawai Pencatat yang menghadiri akad Nikah. Kemudian Wali Nikah atau yang mewakilinya, juga ikut menandatanganinya. Dengan penandatanganan Akta Nikah dan salinannya, maka perkawinan telah tercatat secara resmi.
            Akta Nikah selain merupakan bukti autentik suatu perkawinan, ia memiliki mafaat sebagai “Jaminan Hukum” apabila salah seorang suami atau istri melakukan suatu tindakan yang menyimpang. Akta Nikah juga berguna untuk membuktikan keabsahan anak dari perkawinan itu. Upaya Hukum ke Pengadilan tentu tidak dapat dilakukan, apabila perkawinan tidak dibuktikan dengan akta tersebut. Oleh karena itu, Pasal 7 Kompilasi Hukum Islam menegaskan pada ayat (1) “ ...Perkawinan hanya dapat dibuktikan dengan Akta Nikah yang dibuat oleh Pegawai Pencatat Nikah ...”
            Adapun manfaat represif, Akta Nikah adalah sebagai berikut, Bagi suami istri yang karena sesuatu hal perkawinannya tidak dibuktikan dengan Akta Nikah, kompilasi memberi solusi kepada mereka untuk mengajukan permohonan istbat (penetapan) nikah kepada Pengadilan Agama. Hal ini diperkawinan tidak hanya mementingkan aspek-aspek hukum fikih saja, tetapi aspek aspek keperdataannya juga diperhatikan secara seimbang. Jadi, pencatatan adalah merupakan bentuk usaha pemerintah untuk mengaomi warga masyarakat demi terwujudnya ketertiban dan keadilan.[13]
            Tidak ada sumber-sumber fikih yang menyebutkan mengapa dalam hal pencatatan perkawinan dan membuktikannya dengan akta nikah, tidak dianalogikan kepada ayat muamalah (al-Baqarah [02]: 282) tersebut. Dalam kaidah hukum Islam, pencatatan perkawinan dan membuktikannya dengan akta nikah, sangat jelas mendatangkan maslahat bagi tegaknya rumah tangga. Sejalan dengan kaidah:
دَرْأُ الْمَفَاسِدِ مُقَدَّمٌ عَلَى جَلْبِ الْمَصَالِيْحِ
“Menghindari kerusakan didahulukan daripada memperoleh kemaslahatan”.
تَصَرُّفُ الْإِمَامِ عَلَى الرَّعِيَّةِ مَنُوْطٌ بِالْمَصْلَحَةِ
“Tindakan (perarturan) pemerintah, berintikan terjaminnya kepentingan dan kemaslahatan rakyatnya”.
            Pemerintah yang mengatur tentang pencatatan perkawinan dan dibuktikannya dengan akta nikah, dalam perspektif metodologis, diformulasikan menggunakan metode ishtishlah atau mashlahat mursalah. Hal ini karena meskipun secara formal tidak ada ketentuan ayat atau sunnah yang memerintahkan pencatatan nikah, kandungan maslahatnya sejalan dengan tindakan syara’ yang ingin mewujudkan kemaslahatan bagi manusia. Atatu dengan memerhatikan ayat yang dikutip diatas, dapat dilakuakn analogi, karena ada kesamaan ‘illat yaitu untuk menghindari dampak negatif yang ditimbulkan nikah yang tidak dicatat.[14]
2.      Perjanjian Perkawinan
            Pasal 29 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan mengatur masalah perjanjian perkawinan yang bunyi selengkapnya sebagai berikut:
a.       Pada waktu atau sebelum perkawinan dilangsungkan, kedua pihak atas persetujuan bersama dapat mengadakan perjanjian tertulis yang disahkan oleh Pegawai pencatat perkawinan, setelah mana isinya berlaku juga terhadap pihak ketiga sepanjang pihak ketiga tersangkut.
b.      Perjanjian tersebut tidak dapat disahkan bilamana melanggar batas-batas hukum, agama dan kesusilaan.
c.       Perjanjian tersebut mulai berlaku sejak perkawinan dilangsungkan.
d.      Selama perkawinan berlangsung perjanjian tersebut tidak dapat dirubah, kecuali bila dari kedua belah pihak ada persetujuan untuk merubah dan perubahan tidak merugikan pihak ketiga.[15]
            Penjelasan Pasal 29 tersebut menyatakan bahwa perjanjian dalam pasal ini tidak termasuk taklik talak. Namun dalam Peraturan Menteri Agama Nomor 3 Tahun 1975 Pasal 11 disebutkan satu aturan yang bertolak belakang.
a.       Calon suami istri dapat mengadakan perjanjian sepanjang tidak bertentangan dengan hukum Islam.
b.      Perjanjian yang berupa taklik talak dianggap sah kalau perjanjian itu diucapkan dan ditanda tangani oleh suami setelah akad nikah dilangsungkan.
c.       Sighat taklik talak ditentukan oleh Menteri Agama.[16]
            Yang menarik adalah, kompilasi menggarisbawahi Pasal 11 Peraturan Menteri Agama tersebut. Kompilasi sendiri memuat delapan pasal tentang perjanjian perkawinan, yaitu Pasal 45 sampai dengan Pasal 52.
            Pasal 45 menyatakan:
Kedua calon mempelai dapat mengadakan perjanjian perkawinan dalam bentuk :
1. Taklik talak dan
2. Perjanjian lain yang tidak bertentangan dengan hukum Islam.[17]
            Jadi, perjanjian perkawinan seperti ditegaskan dalam penjelasan Pasal 29 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974, telah diubah, atau setidaknya, diterapkan bahwa taklik talak termasuk salah satu macam perjanjian perkawinan.[18]
            Pasal 46 Kompilasi lebih jauh mengatur ketentuan sebagai berikut:
1.      Isi taklik talak tidak boleh bertentangan dengan hukum Islam.
2.      Apabila keadaan yang diisyaratkan dalam taklik talak betul-betul terjadi kemudian, tidak dengan sendirinya talak jatuh. Supaya talak sungguh-sungguh jatuh, isteri harus mengajukan persoalannya ke pengadilan Agama.
3.      Perjanjian taklik talak bukan salah satu yang wajib diadakan pada setiap perkawinan, akan tetapi sekali taklik talak sudah diperjanjikan tidak dapat dicabut kembali.[19]
            Ayat (3) di atas sepintas bertentangan dengan Pasal 29 Undang-Undang Perkawinan ayat (4) yang mengatur bahwa selama perkawinan berlangsung perjanjian tidak dapat diubah kecuali ada persetujuan kedua belah pihak, dan tidak merugikan pihak ketiga. Dari sinilah, dalam penjelasannya disebutkan tidak termasuk taklik talak. Karena naskah perjanjian taklik talak, dilampirkan dalam salinan akta nikah yang sudah ditandatangani suami. Oleh karena itu pula, perjanjian taklik talak sekali sudah diperjanjikan tidak dapat dicabut kembali.
            Sebelum akad nikah dilangsungkan, Pegawai Pencatat perlu meneliti betul perjanjian perkawinan yang dibuat oleh kedua calon mempelai, baik secara material atau isi perjanjian itu, maupun teknis bagaimana perjanjian itu telah disepakati mereka bersama. Sejauh perjanjian itu berupa taklik talak, Menteri Agama telah mengaturnya. Adapun teks (sighat) taklik talak yang diucapkan suami sesudah dilangsungkan akad nikah adalah sebagai berikut:
“Sesudah akad nikah, saya ... bin ... berjanji dengan sesungguh hati, bahwa saya akan menepati kewajiban saya sebagai seorang suami, dan akan saya pergauli istri saya bernama ... binti ... dengan baik (mu’asyarah bil ma’ruf) menurut ajaran syari’at Islam.
Selanjutnya saya mengucapkan sighat taklik talak atas istri saya itu seperti berikut:
Sewaktu-waktu saya:
1           Meninggalkan istri saya dua tahun berturut-turut,
2           Atau saya tidak memberi nafkah wajib kepadanya tiga bulan lamanya,
3           Atau saya menyakiti badan/jasmani istri saya itu,
4           Atau saya membiarkan (tidak memedulikan) istri saya itu enam bulan lamanya.
Kemudian istri saya tidak ridha dan mengadukan halnya kepada Pengadilan Agama atau petugas yang diberikan hak mengurus pengaduan itu, dan pengaduannya dibenarkan serta diterima oleh pengadilan atau petugas tersebut, dan istri saya itu membayar uang sebesar Rp10.000,- (sepuluh ribu rupiah) sebagai iwadl (pengganti) kepada saya, maka jatuhlah talak saya satu kepadanya. Kepada pengadilan atau petugas tersebut tadi saya kuasakan untuk menerima uang iwadl (pengganti) itu dan kemudian memberikannya untuk keperluan ibadah sosial.[20]


......, ......, .......
(Tempat, Tanggal, Bulan, Tahun)
Suami
........................
(Tanda Tangan dan Nama)

            Secara teknis Pegawai Pencatat perlu memeriksa secara teliti, sebagaimana disebut dalam Pasal 26 Peraturan Menteri Agama Nomor 3 Tahun 1975:
1.      Apabila pada waktu pemeriksaan nikah calon suami istri telah menyetujui adanya talak sebagai dimaksudkan pasal 11 ayat (3) Peraturan ini, maka suami mengucapkan dan menanda tangani taklik yang telah disetujuinya itu setelah akad nikah dilangsungkan.
2.      Apabila dalam pemeriksaan nikah telah ada persetujuan adanya taklik talak akan tetapi setelah akad nikah suami tidak mau mrngucapkannya, maka hal ini segera diberitahukan kepada pihak istrinya.[21]
            Memerhatikan muatan sighat taklik talak tersebut, kandungan maksudnya cukup baik dan positif, yaitu melindungi perempuan dari kesewenang-wenangan suami dalam memenuhi kewajibannya, sebagai hak-hak yang diterima si istri. Meskipun sesungguhnya istri, telah mendapat hak berupa khulu’ (gugat cerai)nmaupun hak fasakh. Karena itu, yang perlu diperhatikan adalah pencatatan apakah suami benar-benar menyetuji dan membaca dan menandatangani sighat taklik talak tersebut atau tidak. Ini dimaksudkan agar tidak terjadi kekeliruan dan kesulitan dalam menyelesaikan persoalan yang timbul.
            Perjanjian perkawinan juga dapat dibuat oleh kedua belah pihak menyangkut harta bersama dan hal-hal lain sepanjang tidak bertentangan dengan aturan syariat Islam. Kompilasi mengatur perjanjian harta bersama dan perjanjian yang berkaitan dengan masalah poligami.
Pasal 47
1.    Pada waktu atau sebelum perkawinan dilangsungkan kedua calon mempelai dapat membuat perjanjian tertulis yang disahkan Pegawai Pencatat Nikah mengenai kedudukan harta dalamperkawinan.
2.    Perjanjian tersebut dalam ayat (1) dapat meliputi percampuran harta probadi dan pemisahan harta pencaharian masing-masing sepanjang hal itu tidak bertentangan dengan Islam.
3.    Di samping ketentuan dalam ayat (1) dan (2) di atas, boleh juga isi perjanjian itu menetapkan kewenangan masing-masing untuk mengadakan ikatan hipotik atas harta pribadi dan harta bersama atau harta syarikat.
Pasal 48
1.    Apabila dibuat perjanjian perkawinan mengenai pemisah harta bersama atau harta syarikat, maka perjanjian tersebut tidak boleh menghilangkan kewajiban suami untuk memenuhi kebutuhan rumah tangga.
2.    Apabila dibuat perjanjian perkawinan tidak memenuhi ketentuan tersebut pada ayat (1) dianggap tetap terjadi pemisahan harta bersama atau harta syarikat dengan kewajiban suami menanggung biaya kebutuhan rumah tangga.
Pasal 49
1.    Perjanjian percampuran harta pribadi dapat meliputi semua harta, baik yang dibawa masing-masing ke dalam perkawinan maupun yang diperoleh masing-masing selama perkawinan.
2.    Dengan tidak mengurangi ketentuan tersebut pada ayat (1) dapat juga diperjanjikan bahwa percampuran harta pribadi yang dibawa pada saat perkawinan dilangsungkan, sehingga percampuran ini tidak meliputi harta pribadi yang diperoleh selama perkawinan atau sebaliknya.
Pasal 50
1.    Perjanjian perkawinan mengenai harta, mengikat kepada para pihak dan pihak ketiga terhitung mulai tanggal dilangsungkan perkawinan di hadapan Pegawai Pencatat Nikah.
2.    Perjanjian perkawinan mengenai harta dapat dicabut atas persetujuan bersama suami isteri dan wajib mendaftarkannya di Kantor Pegawai Pencatat Nikah tempat perkawinan dilangsungkan.
3.    Sejak pendaftaran tersebut, pencabutan telah mengikat kepada suami isteri tetapi terhadap pihak ketiga pencabutan baru mengikat sejak tanggal pendaftaran itu diumumkan suami isteri dalam suatu surat kabar setempat.
4.    Apabila dalam tempo 6 (enam) bulan pengumuman tidak dilakukan yang bersangkutan,
pendaftaran pencabutan dengan sendirinya gugur dan tidak mengikat kepada pihak ketiga.
5.    Pencabutan perjanjian perkawinan mengenai harta tidak boleh merugikan perjanjian yang telah diperbuat sebelumnya dengan pihak ketiga.
Pasal 51
            Pelanggaran atas perjanjian perkawinan memeberi hak kepada isteri untuk meminta pembatalan nikah atau mengajukannya. Sebagai alasan gugatan perceraian ke Pengadilan Agama.
Pasal 52
            Pada saat dilangsungkan perkawinan dengan isteri kedua, ketiga dan keempat, boleh diperjanjikan mengenai tempat kediaman, waktu giliran dan biaya rumah tangga bagi isteri yang akan dinikahinya itu.[22]
            Akan halnya mengenai perjanjian perkawinan, apabila telah disepakati oleh kedua mempelai, maka masing-masing wajib memenuhinya. Sepanjang dalam perjanjian tersebut tidak ada pihak-pohak lain yang memaksa. Ini sejalan dengan hadis riwayat Bukhori:
مَنْ شَرَطَ عَلَى نَفْسِهِ طَائِعًا غَيْرَ مُكْرَهٍ فَهُوَعَلَيْهِ
“Barangsiapa mensyaratkan pada dirinya sendiri untuk maksud taat (kepada Allah dan Rasul-Nya), dalam keadaan tidak terpaksa, maka ia wajib memenuhinya.” (H.R. al-Bukhari)
            Kata Umar ibn al-Khaththab
اِنَّ مَقَطِعَ الْحُقُوْقِ الشُّرُوْطُ وَلَكَ مَا شَرَّطْتَ
“Sesungguhnya keputusan hak terletak pada syarat-syarat yang ditetapkan, dan pada kamu apa yang kamu syaratkan.” (H.R. al-Bukhori)
            Pada hadis yang lain, Rasulullah SAW menegaskan:
اِنَّ اَحَقَّ الشُّرُوْطِ مَا اسْتَحْلَلْتُمْ بِهِ الفُرُوْجَ
“Syarat-syarat yang lebih utama dipenuhi ialah syarat-syarat untuk menghalalkan hubungan suami istri.” (H.R. al-Bukhori)
            Keharusan memenuhi perjanjian yang telah disepakati bersama juga ditegaskan dalam firman Allah:
يَٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُوٓاْ أَوۡفُواْ بِٱلۡعُقُودِۚ
 “Hai orang-orang yang beriman, penuhilah aqad-aqad itu.” (QS Al-Maidah [5]:1)
 وَأَوۡفُواْ بِٱلۡعَهۡدِۖ إِنَّ ٱلۡعَهۡدَ كَانَ مَسۡ‍ُٔولٗا ٣٤
Dan penuhilah janji; Sesungguhnya janji itu pasti diminta pertanggungan jawabnya. (QS Al-Isra’ [17]:34)
            Isi perjanjian tidak boleh bertentangan dengan Al-Qur’an, karena perjanjian yang bertentangan dengan ketentuan hukum Al-Qur’an, meskipun seratur syarat dibuat, hukumnya batal. Demikian juga, perjanjian tidak bertujuan menghalalkan yang haram atau mengharamkan yang halal.
اَلْمُسْلِمُوْنَ عَلَى شُرُوْطِهِمْ اِلاَّ شَرْطًا اَحَلَّ حَرَامًا وَحَرَّمَ حَلَالًا
“Orang-orang Islam itu (terikat) kepada syarat-syarat (yang dibuat) mereka, kecuali syarat untuk menghalalkan yang haram dan mengharamkan yang halal.” (H.R al-Bukhori)
كُلُ شَرْطٍ لَيْسَ فِي كِتَابِ اللهِ بَاطِلٌ وَلَوْمِائَةَ شَرْطٍ
“Setiap syarat yang tidak (sejalan dengan hukum yang) ada dalam kitab Allah adalah batal meskipun 100 syarat.”
            Memerhatikan ayat-ayat dan hadis-hadis tersebut di atas, dapat diambil pengertian bahwa perjanjian perkawinan yang disepakati bersama antar suami-istri, sepanjang tidak bertentangan dengan ketentuan hukum dalam Al-Qur’an dan al-Sunnah, wajib ditepati.
            Lebih jauh tentang perjanjian ini, Kholil Rahman mengintrodusasi macam-macam sifat perjanjian:
a.     Syarat-syarat yang menguntungkan istri, seperti syarat untuk tidak dimadu. Para ulama berbeda pendapat dalam masalah ini, ada yang mengatakan sah, dan ada yang mengatakan tidak sah. Sayid Sabiq misalnya, membolehkan si istri menuntut fasakh apabila suami melanggar perjanjian tersebut.
b.    Syarat-syarat yang bertentangan dengan apa yang dikehendaki oleh maksud akad itu sendiri. Seperti, tidak boleh mengadakan hubungan kelamin, tidak ada hak waris-mewaris di antara suami istri, tidak boleh berkunjung kepada kedua orang tua, dan lain-lain. Syarat-syarat semacam ini tidak sah, dan tidak mengikat.
c.     Syarat-syarat yang bertentangan dengan ketentuan syara’, seperti jika akad nikah sudah dilangsungkan, agar masing-masing pindah agama, harus mau makan daging babi, dan sebagainya. Perjanjian semacam ini tidak sah, dan bahkan akad nikahnya juga tidak sah.
            Apabila perjanjian yang telah disepakati bersama antar suami dan istri, tidak dipenuhi oleh salah satu pihak, maka pihak lain berhak untuk mengajukan persoalannya ke Pengadilan Agama untuk menyelesaikannya. Dalam hal pelanggaran dilakukan suami misalnya, istri berhak meminta pembatalan nikah atau sebagai alasan perceraian dalam gugatannya. Demikian juga sebaliknya, jika si istri yang melanggar perjanjiandi luar taklik talak, suami berhak mengajukan perkaranya ke Pengadilan Agama.[23]
3.      Larangan Perkawinan
Larangan perkawinan dalam bahasa agama disebut dengan mahram. Larangan perkawinan ada dua macam, pertama, larangan abadi (mu’abbad) dan kedua larangan dalam waktu tertentu (muaqqat). Larangan abadi diatur dalam Pasal 39 Kompilasi Hukum Islam di Indonesia:
Pasal 39
            Dilarang melangsungkan perkawinan antara seorang pria dengan wanita disebabkan:
a)      Karena pertalian nasab :
1.      Dengan seorang wanita yang melahirkan atau yang menurunkannya atau keturunannya
2.      Dengan seorang wanita keturunan ayah atau ibu
3.      Dengan seorang wanita saudara yang melahirkannya
b)      Karena pertalian kerabat semenda :
1.      Dengan seorang wanita yang melahirkan istrinya atau bekas istrinya
2.      Dengan seorang wanita bekas istri orang yang menurunkannya
3.      Dengan seorang wanita keturunan istri atau bekas istrinya, kecuali putusnya hubungan perkawinan dengan bekas istrinya itu qabla al-dukhul
4.      Dengan seorang wanita bekas istri keturunannya
c)      Karena pertalian sesusuan :
1.      Dengan wanita yang menyusuinya dan seterusnya menurut garis lurus keatas
2.      Dengan seorang wanita sesusuan dan seterusnya menurut garis lurus keatas
3.      Dengan seorang wanita saudara sesusuan, dan kemenakan sesusuan kebawah
4.      Dengan seorang wanita bibi sesusuan dan nenek bibi sesusuan keatas
5.      Dengan anak yang disusui oleh istri dan keturunannya.[24]
            Ketentuan Pasal 39 KHI tersebut didasarkan kepada firman Allah dalam Q.S. an-Nisaa [04]: 22 dan Q.S. An-Nisaa [04]: 22-23.
            Pasal 39 KHI pada angka 1 mendahulukan nasab yaitu mahram yang timbul karena hubungan darah yang juga sekaligus menjadi dasar adanya mahram karena pertalian sepersusuan (radha’ah), yang diatur dalam angka 3. Sementara angka 2 mahram karena kerabat semenda (mushaharah) atau perkawinan, didasarkan pada ayat 22 surah An-nisaa. Pengutipan ayat-ayat diatas sementara dimaksud agar berurutan. Sementara kompilasi juga bermaksud mengatur secara tertib, dari mahram nasab, mahram akibat perkawinan, dan mahram sepersusuan.[25]
            Adapun larangan perkawinan yang sewaktu-waktu dapat berubah (muaqqad) dijelaskan dalam Pasal 40 KHI: “Dilarang melangsungkan perkawinan antara seorang pria dengan seorang wanita karena keadan tertentu:
a. Karena wanita yang bersangkutan masih terikat satu perkawinan dengan pria lain.
b. Seorang wanita yang masih berada dalam masa iddah dengan pria lain
c. Seorang wanita yang tidak beragama Islam
            Pasal 41 menjelaskan larangan kawin karena pertalian nasab dengan perempuan yang telah dikawini atau karena sepersusuan:
1.      Seorang pria dilarang memadu istrinya dengan seorang wanita yang mempunyai hubungan pertalian nasab atau sesusuan dengan istrinya
2.      Saudara kandung, seayah, seibu serta keturunannya
3.      Wanita dengan bibinya atau kemenakannya
4.      Larangan tersebut pada ayat (1) tetap berlaku meskipun istri-istrinya telah ditalaq raj’i, tetapi masih dalam masa iddah.[26]
            Ketentuan Pasal 40 dan 41 KHI diatas didasarkan atas firman Allah dalam Q.S. an-Nisaa [04]: 24, Q.S. al-Baqarah [02]: 228 dan 221.[27]
            Adapun Pasal 54 KHI menjelaskan tentang larangan perkawinan dalam keadaan ihram sebagai berikut:
1.      Selama seseorang masih dalam keadaan ihram tidak boleh melangsungkan perkawinan dan juga tidak boleh bertindak sebagai wali nikah
2.      Apabila terjadi perkawinan dalam keadaan ihram atau wali nikahnya masih berada dalam ihram, perkawinannya tidak sah.[28]
            Pernyataan Pasal 54 ayat (1) dan (2) diatas menegaskan bahwa salah satu keabsahan perkawinan menurut KHI, adalah bahwa orang yang menikah dan yang menikahkan tidak sedang dalam keadaan ihram haji atau umrah. Dalam riwayat ‘Utsman, Rasulullah Saw bersabda:
لَا يُنكِحُ الْمُحْرِمُ وَ لَا يُنْكِحُ (رواه مسلم)
“Tidak boleh menikah orang yang sedang dalam keadaan ihram, demikian juga tidak boleh menikahkan.” (Riwayat Muslim).[29]
            Larangan kawin juga berlaku bagi seorang laki-laki yang telah beristri empat dan masih terikat dalam tali perkawinan atau ditalaq raj’i yang masih dalam masa iddah. Ini diatur dalam Pasal 42 sebagai berikut:
“Seorang pria dilarang melangsungkan perkawinan dengan seorang wanita apabila pria tersebut sedang mempunyai 4 (empat) orang istri yng keempat-empatnya masih terikat tali perkawinan atau masih dalam iddah talaq raj’i ataupun salah seorang diantara mereka masih terikat tali perkawinan sedang yang lainnya dalam iddah talaq raj’i”.[30]
Pasal 42 tersebut didasarkan kepada instruksi Nabi Saw. Kepada Ghailan Ibn Salamah yang diriwayatkan Abdullah Ibn ‘Umar:
“Sesungguhnya Ghailan Ibn Salamah masuk Islam dan ia mempunyai sepuluh orang istri. Mereka bersama-sama dia masuk Islam. Maka, Nabi Saw memerintahkan kepadanya agar memilih empat saja diantara merek.” (Riwayat Ahmad, Al-Tirmidzi dan dishahihkan Ibn Hibban).
            Jadi, batas maksimal perkawinan menurut hukum Islam adalah empat orang istri. Itupun dengan persyaratan yang ketat, agar dipenuhi prinsip keadilan bagi istri-istri tadi. [31]
            Larangan perkawinan berikutnya adalah antara seorang laki-laki dengan bekas istrinya yang telah ditalaq ba’in (tiga) atau dili’an. Li’an adalah tuduhan seorang suami terhadap istrinya bahwa istrinya telah melakukan zina. Caranya dijelaskan dalam surat An-Nur [24]: 6-9:
وَٱلَّذِينَ يَرۡمُونَ أَزۡوَٰجَهُمۡ وَلَمۡ يَكُن لَّهُمۡ شُهَدَآءُ إِلَّآ أَنفُسُهُمۡ فَشَهَٰدَةُ أَحَدِهِمۡ أَرۡبَعُ شَهَٰدَٰتِۢ بِٱللَّهِ إِنَّهُۥ لَمِنَ ٱلصَّٰدِقِينَ ٦ وَٱلۡخَٰمِسَةُ أَنَّ لَعۡنَتَ ٱللَّهِ عَلَيۡهِ إِن كَانَ مِنَ ٱلۡكَٰذِبِينَ ٧ وَيَدۡرَؤُاْ عَنۡهَا ٱلۡعَذَابَ أَن تَشۡهَدَ أَرۡبَعَ شَهَٰدَٰتِۢ بِٱللَّهِ إِنَّهُۥ لَمِنَ ٱلۡكَٰذِبِينَ ٨ وَٱلۡخَٰمِسَةَ أَنَّ غَضَبَ ٱللَّهِ عَلَيۡهَآ إِن كَانَ مِنَ ٱلصَّٰدِقِينَ ٩
6. Dan orang-orang yang menuduh isterinya (berzina), padahal mereka tidak ada mempunyai saksi-saksi selain diri mereka sendiri, maka persaksian orang itu ialah empat kali bersumpah dengan nama Allah, sesungguhnya dia adalah termasuk orang-orang yang benar
7. Dan (sumpah) yang kelima: bahwa laknat Allah atasnya, jika dia termasuk orang-orang yang berdusta
8. Istrinya itu dihindarkan dari hukuman oleh sumpahnya empat kali atas nama Allah sesungguhnya suaminya itu benar-benar termasuk orang-orang yang dusta
9. dan (sumpah) yang kelima: bahwa laknat Allah atasnya jika suaminya itu termasuk orang-orang yang benar.
Larangan perkawinan terhadap istri yang telah ditalaq tiga dan yang dili’an diatur dalam Pasal 43 KHI:
a.       Dilarang melangsungkan perkawinan antara seorang pria :
1.      Dengan seorang wanita bekas istrinya yang ditalaq tiga kali
2.      Dengan seorang wanita bekas istrinya yang dili’an
b.      Larangan tersebut pada ayat (1) huruf a gugur kalau bekas istri tadi telah kawin dengan pria lain. Kemudian perkawinan tersebut putus ba’da dukhul dan telah habis masa iddahnya.[32]
            Yang perlu dipahami dalam konteks perkawinan seorang suami terhadap bekas istrinya yang telah ditalaq tiga, bahwa perkawinan dengan laki-laki lain yang diikuti dengan perceraian, yang menyebabkan dibolehkannya kawin oleh suami yang pertama, tidak direkayasa bekas suami yang pertama, tidak direkayasa oleh bekas suami yang pertama. Apabila terjadi atas rekayasa bekas suami yang pertama, maka perkawinan yang dilakukan hukumnya haram. Perkawinan semacam ini disebut nikah muhallil dan muhallal-lah. Nikah muhallil adalah nikah yang dilakukan oleh laik-laki lain setelah perempuan ditalaq tiga, dan muhallal-lah adalah bekas suami yang pertama, yang telah menalaq ba’in, tetapi ingin mengawini lagi. Riwayat dari Ibn Mas’ud r.a mengatakan:
“Rasulullah SAW melaknat orang yang menjadi muhallil dan muhallal-lah.” (Riwayat Ahmad Al-Nasai dan Al-Tarmizi).[33]
            Selanjutnya Pasal 44 KHI menegakan bahwa “Seorang wanita Islam dilarang melangsungkan perkawinan dengan seorang pria yang tidak beragama Islam”.[34] Ini sejalan dengan firman Allah dalam surat Al-baqarah: 221, seperti dikutip dimuka. Pasal ini mengisyaratkan agar umat Islam sedapat mungkin tidak melakukan perkawinan antaragama, karena pertimbangan madlaratnya lebih besar dari manfaatnya. Betapapun, antara pemeluk Islam dan selain Islam, terdapat perbedaan prinsip, yang tidak jarang justru menjadi pemicu munculnya konflik dalam rumah tangga. Ini tentu tidak dikehendaki oleh pasangan suami istri dalam mengarungi bahtera keluarga.
            Masih ada suatu bentuk larangan perkawinan yang tidak diatur dalam KHI di Indonesia, yaitu nikah mut’ah. Nikah mut’ah disebut juga al-zawaj al-muaqqat, atau al-jawaj al-munqhati’ adalah perkawinan seorang laki-laki dan perempuan yang dibatasi waktu, misalnya satu hari, satu minggu, satu bulan, atau dalam satuan waktu tertentu. Menurut Mahmud Syaltut, nikah semacam itu tujuannya hanyalah memenuhi kebutuhan, berakhir tidak melalui perceraian, tetapi dengan berlalu (jatuh tempo) nya satuan waktu yang disepakati, atau dengan perpisahan apabila tidak ditentukan batasan waktunya. Nikah semacam ini tidak dikehendaki oleh syariat Islam.[35]
            Dalam Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 larangan perkawinan diatur dalam Pasal 8, 9 dan 10. Yang selengkapnya akan dikutip dibawah ini:
Pasal 8
            Perkawinan dilarang antara dua orang yang:
a.       Berhubungan darah dalam garis keturunan lurus kebawah maupun keatas.
b.      Berhubungan darah dlam garis keturunan menyamping yaitu antara saudara, antara seorang dengan saudara orangtua dan antara seorang dengan saudara neneknya.
c.       Berhubungan semenda, yaitu mertua, anak tiri, menantu dan ibu/bapak tiri.
d.      Berhubungan susuan, yaitu orangtua susuan, anak susuan, saudara susuan, dan bibi/paman susuan.
e.       Berhubungan ssudara dengan istri atau sebagai bibi atau kemenakan dari istri, dalam hal seorang suami beristri lebih dari seorang.
f.        Mempunyai hubungan yang oleh agamanya atau peraturan lain yang berlaku, dilarang kawin.
Pasal 9
            Seseorang yang masih terikat tali perkawinan dengan oranglain tidak dapat kawin lagi, kecuali dalam hal yang tersebut pada Pasal 3 ayat (2) dan Pasal 4 Undang-Undang ini.
Pasal 10
            Apabila suami dan istri yang telah cerai kawin lagi satu dengan yang lain dan bercerai lagi untuk kedua kalinya maka diantara mereka tidak boleh dilangsungkan perkawinan lagi, sepanjang hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu dari yang bersangkutan tidak menentukan lain.[36]
            Uraian pasal-pasal diatas, memang terasa lebih mudah dipahami daripada redaksi yang digunakan dalam KHI di Indonesia.
















BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
-        Hukum pencatatan pernikahan berdasarkan penjelasan diatas adalah mubah menurut perspektif fikih dan wajib menurut perspektif UU No. 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan dan wajib pula menurut perspektif Kompilasi Hukum Islam.
-        Perjanjian dalam perkawinan ada 2 yaitu taklik talak dan perjanjian lain yang tidak bertentangan dengan syari’at Islam sebagaimana diatur dalam pasal 29 UU No. 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan dan pasal 45-52 Kompilasi Hukum Islam.
-        Perkawinan yang dilarang karena beberapa sebab, yaitu: karena pertalian nasab; karena kerabat semenda; karena pertalian susuan; karena laki-laki yang sudah beristri lebih dari 4; karena istri sudah di talak ba’in atau di li’an; karena beda agama.










DAFTAR PUSTAKA
Abdurrahman. 2010. Kompilasi Hukum Islam. Jakarta: Akademika Pressindo.
Ali, Zainuddin. 2007. Hukum Perdata Islam di Indonesia. Jakarta: Sinar Grafika.
Jahar, Asep Saepudin, dkk. 2013. Hukum Keluarga, Pidana & Bisnis. Jakarta:       Kencana.
Mardani. 2011. Hukum Perkawinan Islam di Dunia Islam Modern. Yogyakarta;    Graha Ilmu.
Nuruddin, Amiur. 2004. Hukum Perdata Islam di Indonesia. Jakarta: Kencana.
Redaksi Sinar Grafika. 2006. Undang-undang Pokok Perkawinan. Jakarta: Sinar   Grafika.
Rofiq, Ahmad. 2015.  Hukum Perdata Islam di Indonesia. Jakarta: Rajawali Pers.
Syarifuddin, Amir. 2014. Hukum Perkawinan Islam di Indonesia. Jakarta: Kencana.


                [1] Ahmad Rofiq, Hukum Perdata Islam di Indonesia, (Jakarta: Rajawali Pers, 2015), hlm. 91
                [2] Asep Saepudin Jahar dkk, Hukum Keluarga, Pidana & Bisnis, (Jakarta: Kencana, 2013), hlm.25
                [3] Redaksi Sinar Grafika, Undang-undang Pokok Perkawinan, (Jakarta: Sinar Grafika, 2006), hlm. 2
                [4] Redaksi Sinar Grafika, Undang-undang Pokok Perkawinan, hlm. 2.
                [5] Amiur Nuruddin, Hukum Perdata Islam di Indonesia, (Jakarta: Kencana, 2004), hlm. 120.
                [6] Abdurrahman, Kompilasi Hukum Islam, (Jakarta: Akademika Pressindo, 2010), hlm. 114.
                [7] Amiur Nuruddin, Hukum Perdata Islam di Indonesia, hlm. 124.
                [8] Ahmad Rofiq, Hukum Perdata Islam di Indonesia, hlm. 91.
                [9] Asep Saepudin Jahar dkk, Hukum Keluarga, Pidana & Bisnis, hlm.28-29
                [10] Asep Saepudin Jahar dkk, Hukum Keluarga, Pidana & Bisnis, hlm.26-27.
                [11] Ahmad Rofiq, Hukum Perdata Islam di Indonesia, hlm. 93-94.
                [12] Mardani, Hukum Perkawinan Islam di Dunia Islam Modern, (Yogyakarta; Graha Ilmu, 2011) Hlm. 19-21.
                [13] Ahmad Rofiq, Hukum Perdata Islam di Indonesia, hlm. 99.
                [14] Ahmad Rofiq, Hukum Perdata Islam di Indonesia, hlm. 101.
                [15] Ahmad Rofiq, Hukum Perdata Islam di Indonesia, hlm. 127. Lihat juga Redaksi Sinar Grafika, Undang-undang Pokok Perkawinan, hlm. 10.
                [16] Zainuddin Ali, Hukum Perdata Islam di Indonesia, (Jakarta: Sinar Grafika, 2007), hlm. 41.
                [17] Abdurrahman, Kompilasi Hukum Islam, hlm. 123.
                [18] Ahmad Rofiq, Hukum Perdata Islam di Indonesia, hlm. 128.
                [19] Abdurrahman, Kompilasi Hukum Islam, hlm. 124.
                [20] Zainuddin Ali, Hukum Perdata Islam di Indonesia, hlm.42-43.
                [21] Ahmad Rofiq, Hukum Perdata Islam di Indonesia, hlm. 128-130.
                [22] Abdurrahmah, Kompilasi Hukum Islam, hlm. 125.
                [23] Ahmad Rofiq, Hukum Perdata Islam di Indonesia, hlm. 132-134.
                [24] Abdurrahman, Kompilasi Hukum Islam, hlm. 121-122
                [25] Ahmad Rofiq, Hukum Perdata Islam di Indonesia, hlm. 105.
                [26] Abdurrahman, Kompilasi Hukum Islam, hlm. 122.
                [27] Ahmad Rofiq, Hukum Perdata Islam di Indonesia, hlm. 106.
                [28] Abdurrahman, Kompilasi Hukum Islam, hlm. 125.
                [29] Ahmad Rofiq, Hukum Perdata Islam di Indonesia, hlm. 108. Lihat juga Amir Syarifuddin, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia, (Jakarta: Kencana, 2014), hlm. 129.
                [30] Abdurrahman, Kompilasi Hukum Islam, hlm. 123.
                [31] Ahmad Rofiq, Hukum Perdata Islam di Indonesia, hlm. 108. Lihat juga Amir Syarifuddin, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia, hlm. 126.
                [32] Abdurrahman, Kompilasi Hukum Islam, hlm. 123.
                [33] Ahmad Rofiq, Hukum Perdata Islam di Indonesia, hlm. 109-111
                [34] Abdurrahman, Kompilasi Hukum Islam, hlm. 122.
                [35] Ahmad Rofiq, Hukum Perdata Islam di Indonesia, hlm. 113
                [36] Redaksi Sinar Grafika, Undang-undang Pokok Perkawinan, hlm. 4-5.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar