BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar
Belakang
Perkawinan merupakan suatu hal yang penting dalam realita
kehidupan umat manusia. Dengan adanya perkawinan rumah tangga dapat ditegakkan
dan dibina sesuai dengan norma agama dan tata kehidupan masyarakat. Dalam rumah
tangga berkumpul dua insan yang berlainan jenis (suami istri), mereka saling
berhubungan agar mendapat keturunan sebagai penerus generasi.Insan-insan yang
berada dalam rumah tangga itulah yang disebut keluarga.Untuk membentuk keluarga
yang sejahtera dan bahagia, maka diperlukan perkawinan. Tidak ada tanpa adanya
perkawinan yang sah sesuai dengan norma agama dan tata aturan yang berlaku.
Kuat lemahnya perkawinan yang ditegakkan dan dibina oleh suami istri tersebut
sangat tergantung pada kehendak dan niat suami istri yang melaksanakan
pernikahan tersebut.Oleh karena itu, dalam suatu perkawinan diperlukan adanya
cinta lahir batin antara pasangan suami istri tersebut.
Sebelum Indonesia
merdeka, sudah ada hukum tertulis tentang perkawinan bagi golongan-golongan tertentu.Yang
menjadi masalah waktu itu adalah bagi warga bumiputra yang beragama Islam.Bagi
mereka tidak ada aturan sendiri yang mengatur tentang perkawinan, tidak ada
undang-undang tersendiri yang dapat dijadikan patokan dalam pelaksanaaan akad
nikah perkawinanya. Bagi mereka selama itu berlaku hukum Islam yang sudah
diresiplir dalam hukum adat berdasarkan teori receptie yang dikemukakan oleh
Hurgronye.
Setelah Indonesia
merdeka, usaha mendapatkan undang-undang tetap diupayakan. Pada akhir tahun
1950 dengan surat Penetapan Mentri Agama RI Nomor B/4299 tanggal 1 Oktober 1950
dibentuk Panitia Penyelidik Peraturan dan Hukum Perkawinan, Talak Rujuk yang
diketuai oleh Mr.Teuku Moh.Hasan.
Dari sinilah pemakalah akan mmembahas hal-hal yang
berkaitan dengan pencatatan perkawinan, perjanjian perkawinan, dan larangan
perkawinan. yang selanjutnya akan dibahas dalam bagian pembahasan.
B.
Rumusan
Masalah
- Apa hukum pencatatan perkawinan?
- Apa saja yang termasuk perjanjian
perkawinan?
- Apa saja yang termasuk larangan perkawinan?
C.
Tujuan
Adapun tujuan dari penulisan makalah ini adalah mencoba
untuk memberikan informasi kepada rekan-rekan kami pada khususnya dan kepada
masyarakat pada umumnya tentang pencatatan perkawinan, perjanjian perkawinan,
dan larangan perkawinan.
BAB II
PEMBAHASAN
1.
Pencatatan Perkawinan
Pada mulanya syariat Islam -baik
dalam Al-Qur’an atau as-sunnah- tidak mengatur secara
konkret tentang adanya pencatatan perkawinan. Ini berbeda dengan Muamalat (mudayanah) yang dilakukan tidak secara
tunai untuk waktu tertentu, diperintahkan untuk mencatatnya. Tuntutan
perkembangan, dengan berbagai pertimbangan kemaslahatan, hukum perdata Islam di
Indonesia perlu mengaturnya guna kepentingan kepastian hukum didalam masyarakat.[1]
Menurut doktrin hukum Islam klasik, perkawinan dianggap
sah dan terjadi dengan adanya ijab (menyerahkan) yang diucapkan oleh wali dari
pihak calon istri dan adanya Qabul (menerima) yang diucapkan oleh pihak
laki-laki dengan dihadiri saksi; dua atau satu orang Muslim laki-laki dan dua
orang Muslim perempuan dan adanya Mahar. Unsur-unsur tersebut dinamakan dengan
rukun pernikahan tedapat syarat-syarat yang harus terpenuhi.
Tidak terdapat aturan tentang keharusan pencatatan dalam
aturan hukum Islam klasik ini. Perkembangan zaman dan kompleksitas kehidupan
telah mendorong para ulama untuk melakukan sebuah pembaruan terkait pernikahan,
dan negara-negara Muslim menyadari bahwa kontrak perkawinan perlu didaftarkan
agar bukti dari pernikahan tersebut dapat disimpan dan dijadikan sandaran
dengan jelas.
Meskipun tidak ada satupun kelompok ulama menegaskan
tentang pentingnya pencatatan, tetapi apa yang dikemukakan Maliki terkait
dengan hukum adanya saksi, dimana ia menyebutkan bahwa saksi tidak perlu
dihadirkan pada waktu akad diucapkan dan bisa dihadirkan setelahnya, serta
tentang fungsinya memberikan pengumuman tentang pernikahan yang ia saksikan,
dapat dijadikan pijakan pentingnyapencatatan untuk zaman sekarang. Menurut
kelompok ini, saksi tidak harus dihadirkan pada saat pernikahan terjadi. Skasi
dapat dihadirkan setelah itu, dan fungsinya untuk menegaskan adanya pernikahan.[2]
Ada beberapa perspektif tentang pencatatan perkawinan, diantaranya
yaitu:
- Perspektif Fikih
Ada beberapa analisis yang dapat dikemukakan mengapa
pencatatan perkawinan tidak diberi perhatian yang serius oleh fikih walaupun
ada ayat al-Qur’an yang menganjurkan untuk mencatat segala bentuk transaksi
muamalah.
1) Larangan untuk menulis
sesuatu selain al-Qur’an. Akibatnya kultur tulis tidak begitu berkembang dibanding
dengan kultur hafalan.
2) Kelanjutan dari yang
pertama, maka mereka sangat mengandalkan hafalan (ingatan). Agaknya mengingat
sebuah peristiwa perkawinan bukanlah sebuah hal yang sulit untuk dilakukan.
3) Tradisi walimat-al-urusy walalupun dengan seekor
kambing merupakan saksi disamping saksi syar’i tentang sebuah perkawinan.
4) Ada kesan perkawinan yang
berlangsung pada masa-masa awal Islam belum terjadi antar wilayah negara yang
berbeda. Biasanya perkawinan pada masa itu berlangsung dimana caon suami dan
calon istri berada dalam suatu wilayah yang sama. Sehingga alat bukti kawin
selain saksi belum dibutuhkan.
Dengan alasan-alasan yang telah disebut diatas, dapatlah dikatakan bahwa
pencatatan perkawinan belum dipandang sebagai sesuatu yang sangat penting
sekaligus belum dijadikan alat bukti autentik
terhadap sebuah perkawinan.
Sejalan dengan perkembangan zaman dengan dinamika yang terus berubah maka
banyak sekali perubahan-perubahan yang terjadi. Pergeseran kltur lisan kepada
kultur tulis sebagai ciri masyarakat modern, menuntut dijadikannya akta, surat
sebagai bukti autentik. Saksi hiduptidak lagi bisa diandalkan tidak saja karena
bisa hilang dengan sebab kematian, manusia dapat juga mengalami kelupaan dan
kesilapan. Atas dasar ini diperlukan sebuah bukti yang abadi itulah yang
disebut dengan akta.
Dengan demikian salah satu bentuk pembaruan hukum kekeluargaan Islam adalah
dimuatnya pencatatan perkawinan sebagai salah satu ketentuan perkawinan yang
harus dipenuhi. Dikatakan pembaharuan Huku Islam karena masalah tersebut tidak
ditemukan didalam kitab-kitab fikih ataupun fatwa-fatwa.
- Perspektif UU No. 1/1974
Dari penjelasan diatas, jelaslah bahwa fikih tidak
membicarakan pencatatan perkawinan. Hal ini tentu berbeda dengan ketentuan UUP Perkawinan
yang sebagaimana terlihat nanti, tidak saja menempatkan pencatatan perkawinan
sebagai sesuatu yang penting, tetapi juga menjelaskan mekanisme bagaimana
pencatatan perkawinan itu dilaksanakan.
Didalam UU No. 1/1974 pasal 2 ayat 2 dinyatakan bahwa :
Ini adalah satu-satunya ayat yang mengatur tentang
pencatatan perkawinan. Di dalam penjelasannya tidak ada uraian yang lebih rinci
kecuali yang dimuat didalam PP No.9 tahun 1975. Ini berbeda dengan ayat 1 yang
didalam penjelasannya dikatakan :
(i)
Tidak ada perkawinan diluar hukum agama, dan
(ii)
Maksud hukum agama termasuk ketentuan
Perundang-undangan yang berlaku.
Di dalam PP No.9 tahun
1975 tentang pelaksanaan undang-undang perkawinan pasal 3 ada dinyatakan :
- Setiap orang yang
akan melangsungkan perkawinan memberitahukan kehendaknya kepada Pegawai
Pencatat di tempat perkawinan akan dilangsungkan.
- Pemberitahuan
tersebut dalam ayat (1) dilakukan sekurang-kurangnya 10 hari kerja sebelum
perkawinan dilangsungkan.
- Pengecualian
terhadap jangka waktu tersebut dalam ayat 2 disebabkan sesuatu alasan yang
penting, diberikan oleh Camat (atas nama) Bupati Kepala Daerah.[4]
Dengan demikian pencatatan perkawinan ini walaupun
didalam UUP hanya diatur oleh satu ayat, namun sebenarnya maslah pencatatan ini
sangat dominan. Ini akan tampak dengan jelas menyangkut tata-cara perkawinan
itu sendiri yang kesemuanya berhubungan dengan pencatatan. Tidaklah berlebihan
jika ada sementara pakar hukum yang menempatkannya sebagai syarat administratif
yang juga menentukan sah tidaknya sebuah perkawinan.[5]
- Perspektif KHI (Kompilasi hukum Islam)
KHI
memuat masalah pencatatan perkawinan ini pada pasal 5 sebagai berikut :
(1)
Agar terjamin ketertiban perkawinan bagi
masyarakat Islam, setiap perkawinan harus dicatat.
(2)
Pencatatan perkawinan tersebut pada ayat (1)
dilakukan oleh Pegawai Pencatat Nikah sebagaimana yang diatur dalam
undang-undang No.22 Tahun 1946 jo. Undang-undang Nomor.22 Tahun 1954
Selanjutnya pada pasal 6 dijelaskan :
(1)
Untuk memenuhi ketentuan dalam pasal 5, setiap
perkawinan harus dilangsungkan dihadapan dan dibawah pengawasan Pegawai
Pencatat Nikah.
(2)
Perkawinan yang dilakukan diluar pengawasan
Pegawai Pencatat Nikah tidak mempunyai kekuatan hukum.[6]
Aturan-aturan didalam KHI ini sudah melangkah lenih jauh
dan tidak hanya bicara masalah administratif. Pertama, didalam pasal 5 ada klausul yang menyatakan “...Agar terjaminnya ketertiban perkawinan
bagi masyarakat Islam ...” Ketertiban disini menyangkut ghayat al-tasyri’ (tujuan huum Islam)
yaitu menciptakan kemaslahatan bagi masyarakat. Kedua,pada pasal 6 ayat 2 ada klausul “...tidak mempunyai kekuatan hukum...”. Apa makna tidak mempunyai
kekuatan hukum ini ? sayang KHI tidak memiliki penjelasan. Penulis lebih setuju
jika tidak memiliki kekuatan hukum diterjemahkan dengan tidak sah (laa yasihhu). Jadi perkawinan yang tidak
dicatatkan dipandang tidak sah. Lebih jauh hal ini akan dibahas nanti.[7]
A. Tujuan Pencatatan Pernikahan
Pencatatan pernikahan bertujuan untuk mewujudkan
ketertiban perkawinan dalam masyarakat. Ini merupakan suatu upaya yang diatur
melalui perundang-undangan, untuk melindungi martabat dan kesucian (mitsaqan ghalidhan) perkawinan, dan
lebih khusus lagi untuk melindungi perempuan dan anak-anak dalam kehidupan
rumah tangga.
Melalui pencatatan pernikahan yang dibuktikan dengan Akta
Nikah, yang masing-masing suami-istri mendapat salinannya, apabila terjadi
perselisihan atau percekcokan diantara mereka, atau salah satu tidak
bertanggung jawab, maka yang lain dapat melakukan upaya hukum guna
mempertahankan atau mendapatkan haknya masing-masing. Karena dengan akta
tersebut, suami-istri memiliki bukti autentik atas perkawinan yang telah mereka
lakukan.[8]
Jika
ditinjau dari perspektif Etika Hukum Internasional seperti Deklarasi Universal
Hak Asasi Manusia tentang perlindungan hak-hak asasi manusia, aturan tentang
keharusan pencatatan pernikahan ini telah selaras dengan apa yang diinginkan
oleh Deklarasi tersebut.
Pencatatan pernikahan diatur tentunya untuk memberikan
manfaat bagi kehidupan manusia dan perlindungan bagi pihak-pihak terkait yang
terlibat dalam ikatan pernikahan. Dengan adanya pencatatan, baik pihak suami
maupun istri mempunyai bukti kuat atas terjadinya pernikahan. Anak yang
dilahirkan dari pernikahan yang dicatat pun akan memperoleh perlindungan hukum
dengan baik.[9]
B. Akibat Pencatatan Perkawinan
Beberapa
negara secara jelas mengatur tentang status atau posisi dari pencatatan
tersebut, Apakah pencatatan merupakan syarat administrasi saja atau merupakan
syarat kesahan secara agama ?
Di Indonesia, aturan tentang pencatatan pernikahan dapat
dilihat di UU No.22/1964. UU ini mengatur hanya administrasi perkawinan dan
menegaskan bahwa pernikahan diawasi oleh pegawai pencatat nikah. Aturan
pencatatan pernikahan diperkuat dalam UU No.1/1974 dan KHI.
KHI
menyatakan bahwa perkawinan dinyatakan sah dengan hadirnya pencatatan
perkawinan yang resmi atau jika didaftarkan. Tidak dipenuhinya pendaftaran
perkawinan berakibat pada ketidakabsahannya perkawinan, dan upaya hukum di
pengadilan akan ditolak jika perkawinan tidak terdaftar. Ini berarti, KHI
membedakan antara keabsahan secara agama dan legalitas perkawinan menurut
negara, dan dengan demikian tidak menganggap perkawinan batal secara agama jika
pihak-pihak terkait hanya tidak mendaftarkan perkawinan mereka. Tampak jelas, KHI tidak ingin secara jauh
melenceng dari doktrin hukum klasik perkawinan.
Terkait dengan masalah ini, beberapa kalangan menilai
bahwa KHI menerapkan konsep “validitas
ganda”. Di satu sisi KHI tetap mempertahankan pendapat para ulama klasik,
bahwa hanya syarat-syarat agama yang bisa menetapkan apakah akad atau kontrak
perkawinan itu sah atau tidak. Disisi lain, KHI ingin menegaskan bahwa
pencatatan merupakan keharusan. Dengan demikian pencatatan pernikahan tidak
dianggap sebagai faktor utama dalam menentukan sahnya perkawinan secara agama,
tetapi ia sekedar syarat administratif.[10]
Memperhatikan ketentuan-ketentuan hukum yang mengatur
tentang pencatatan perkawinan, dapat dipahami bahwa pencatatan tersebut adalah
syarat administratif. Artinya, perkawinan tetap sah, karena standar sah dan
tidaknya perkawinan ditentukan oleh norma-norma agama dari pihak-pihak yang
melangsungkan perkawinan. Pencatatan perkawinan diatur karena tanpa pencatatan,
suatu perkawinan tidak mempunyai kekuatan hukum. Akibat yang timbul adalah,
apabila salah satu pihak melalaikan kewajibannya, maka pihak lain tidak dapat
melakukan upaya hukum, karena tidak memiliki bukti-buktiyang sah dan autentik
dari perkawinan yang dilangsungkannya. Tentu saja, keadaan demikian
bertentangan dengan misi dan ntujuan perkawinan itu sendiri.[11]
C. PROSES PELAKSANAAN PENCATATAN NIKAH
- Pemberitahuan
Kehendak Nikah
Terkait persiapan
pernikahan, maksud dan pernyataan kerelaan dalam menikah.
- Pemeriksaan Nikah
Pemeriksaan pada calon suami,
calon istri dan wali
- Pengumuman Kehendak
Nikah
a.
Oleh PPN di KUA kecamatan tempat pernikahan akan
dilangsungkan dan di KUA kecamatan tempat tinggal masing-masing calon mempelai
b.
Oleh Pembantu PPN di luar Jawa di tempat-tempat
yang mudah diketahui umum.
- Akad Nikah dan
Pencatatan
Akad Nikah dilangsungkan
dibawah pengawasan/dihadapan PPN
- Persetujuan Izin dan
Dispensasi
Sebagai realisasi dapida
asas sukarela maka pernikahan harus berdasarkan persetujuan kedua calon
mempelai. Untuk itu diisi surat Persetujuan Mempelai (model N3).
- Penolakan Kehendak
Nikah
Apabila setelah terjadi
pemeriksaan nikah, ternyata tidak memenuhi persyaratan yang telah ditentukan
baik persyaratan menurut hukum munakahat
maupun persyaratan menuju peraturan perundang-undangan yang berlaku maka PPN
atau Pembantu PPN harus menolak pelaksanaan pernikahan, dengan cara memberikan
surat penolakan kepada yang bersangkutan (N9).
- Pencegahan
Pernikahan
Pernikahan dapat dicegah
apabila ada pihak yang tidak memenuhi syarat untuk melangsungkan pernikahan,
yang dapat mengajukan pencegahan pernikahan :
a.
Para Keluarga dalam garis keturunan lurus keatas
dan kebawah
b.
Saudara dari seorang calon mempelai
c.
Wali Nikah
d.
Pengampu (kuratele) dari salah satu calon
mempelai
e.
Pihak yang berkepentingan.
- Pembatalan
Pernikahan
Pernikahan dapat
dibatalkan apabila setelah dilaksanakan akad nikah, diketahui adanya larangan
menurut hukum ataupun peraturan perundang-undangan tentang
perkawinan.Pernikahan dapat dibatalkan apabila ada pihak yang tidak memenuhi
syarat untuk melangsungkan pernikahan, yang dapat mengajukan pembatalan
pernikahan :
a.
Garis keturunan lurus keatas dari suami atau
istri
b.
Suami atau istri
c.
Pejabat yang berwenang hanya selama perkawinan
belum diputuskan
d.
Pejabat yang ditunjuk[12]
D. AKTA NIKAH
Sesaat
setelah dilakukan akad nikah, kedua mempelai menandatangani Akta Nikah dan
salinannya yang telah disiapkan oleh Pegawai Pencatat Nikah dan salinannya yang
telah disiapkan oleh Pegawai Pencatat berdasarkan ketentuan yang berlaku.
Selanjutnya diikuti oleh penandatanganan oleh kedua saksi dan Pegawai Pencatat
yang menghadiri akad Nikah. Kemudian Wali Nikah atau yang mewakilinya, juga
ikut menandatanganinya. Dengan penandatanganan Akta Nikah dan salinannya, maka
perkawinan telah tercatat secara resmi.
Akta Nikah selain merupakan bukti autentik suatu
perkawinan, ia memiliki mafaat sebagai “Jaminan
Hukum” apabila salah seorang suami atau istri melakukan suatu tindakan yang
menyimpang. Akta Nikah juga berguna untuk membuktikan keabsahan anak dari
perkawinan itu. Upaya Hukum ke Pengadilan tentu tidak dapat dilakukan, apabila
perkawinan tidak dibuktikan dengan akta tersebut. Oleh karena itu, Pasal 7
Kompilasi Hukum Islam menegaskan pada ayat (1) “ ...Perkawinan hanya dapat dibuktikan dengan Akta Nikah yang dibuat oleh
Pegawai Pencatat Nikah ...”
Adapun manfaat represif, Akta Nikah adalah sebagai
berikut, Bagi suami istri yang karena sesuatu hal perkawinannya tidak
dibuktikan dengan Akta Nikah, kompilasi memberi solusi kepada mereka untuk
mengajukan permohonan istbat
(penetapan) nikah kepada Pengadilan Agama. Hal ini diperkawinan tidak hanya
mementingkan aspek-aspek hukum fikih saja, tetapi aspek aspek keperdataannya
juga diperhatikan secara seimbang. Jadi, pencatatan adalah merupakan bentuk
usaha pemerintah untuk mengaomi warga masyarakat demi terwujudnya ketertiban
dan keadilan.[13]
Tidak ada sumber-sumber fikih yang menyebutkan mengapa
dalam hal pencatatan perkawinan dan membuktikannya dengan akta nikah, tidak
dianalogikan kepada ayat muamalah (al-Baqarah [02]: 282) tersebut. Dalam kaidah hukum Islam, pencatatan
perkawinan dan membuktikannya dengan akta nikah, sangat jelas mendatangkan
maslahat bagi tegaknya rumah tangga. Sejalan dengan kaidah:
دَرْأُ
الْمَفَاسِدِ مُقَدَّمٌ عَلَى جَلْبِ الْمَصَالِيْحِ
“Menghindari kerusakan didahulukan daripada
memperoleh kemaslahatan”.
تَصَرُّفُ الْإِمَامِ عَلَى
الرَّعِيَّةِ مَنُوْطٌ بِالْمَصْلَحَةِ
“Tindakan (perarturan)
pemerintah, berintikan terjaminnya kepentingan dan kemaslahatan rakyatnya”.
Pemerintah
yang mengatur tentang pencatatan perkawinan dan dibuktikannya dengan akta
nikah, dalam perspektif metodologis, diformulasikan menggunakan metode ishtishlah
atau mashlahat mursalah. Hal ini karena meskipun secara formal tidak
ada ketentuan ayat atau sunnah yang memerintahkan pencatatan nikah, kandungan
maslahatnya sejalan dengan tindakan syara’ yang ingin mewujudkan kemaslahatan
bagi manusia. Atatu dengan memerhatikan ayat yang dikutip diatas, dapat
dilakuakn analogi, karena ada kesamaan ‘illat yaitu untuk menghindari
dampak negatif yang ditimbulkan nikah yang tidak dicatat.[14]
2.
Perjanjian Perkawinan
Pasal 29 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan mengatur
masalah perjanjian perkawinan yang bunyi selengkapnya sebagai berikut:
a.
Pada waktu atau
sebelum perkawinan dilangsungkan, kedua pihak atas persetujuan bersama dapat
mengadakan perjanjian tertulis yang disahkan oleh Pegawai pencatat perkawinan,
setelah mana isinya berlaku juga terhadap pihak ketiga sepanjang pihak ketiga
tersangkut.
b.
Perjanjian
tersebut tidak dapat disahkan bilamana melanggar batas-batas hukum, agama dan
kesusilaan.
c.
Perjanjian
tersebut mulai berlaku sejak perkawinan dilangsungkan.
d.
Selama
perkawinan berlangsung perjanjian tersebut tidak dapat dirubah, kecuali bila
dari kedua belah pihak ada persetujuan untuk merubah dan perubahan tidak
merugikan pihak ketiga.[15]
Penjelasan
Pasal 29 tersebut menyatakan bahwa perjanjian dalam pasal ini tidak termasuk
taklik talak. Namun dalam Peraturan Menteri Agama Nomor 3 Tahun 1975 Pasal 11
disebutkan satu aturan yang bertolak belakang.
a.
Calon suami
istri dapat mengadakan perjanjian sepanjang tidak bertentangan dengan hukum
Islam.
b.
Perjanjian yang
berupa taklik talak dianggap sah kalau perjanjian itu diucapkan dan ditanda
tangani oleh suami setelah akad nikah dilangsungkan.
c.
Sighat taklik
talak ditentukan oleh Menteri Agama.[16]
Yang menarik adalah,
kompilasi menggarisbawahi Pasal 11 Peraturan Menteri Agama tersebut. Kompilasi
sendiri memuat delapan pasal tentang perjanjian perkawinan, yaitu Pasal 45
sampai dengan Pasal 52.
Pasal
45 menyatakan:
Kedua calon mempelai dapat mengadakan perjanjian perkawinan dalam bentuk :
1. Taklik talak dan
2. Perjanjian lain yang tidak bertentangan dengan hukum Islam.[17]
1. Taklik talak dan
2. Perjanjian lain yang tidak bertentangan dengan hukum Islam.[17]
Jadi, perjanjian
perkawinan seperti ditegaskan dalam penjelasan Pasal 29 Undang-Undang Nomor 1
Tahun 1974, telah diubah, atau setidaknya, diterapkan bahwa taklik talak
termasuk salah satu macam perjanjian perkawinan.[18]
Pasal
46 Kompilasi lebih jauh mengatur ketentuan sebagai berikut:
1.
Isi taklik
talak tidak boleh bertentangan dengan hukum Islam.
2.
Apabila keadaan
yang diisyaratkan dalam taklik talak betul-betul terjadi kemudian, tidak dengan
sendirinya talak jatuh. Supaya talak sungguh-sungguh jatuh, isteri harus
mengajukan persoalannya ke pengadilan Agama.
3.
Perjanjian
taklik talak bukan salah satu yang wajib diadakan pada setiap perkawinan, akan
tetapi sekali taklik talak sudah diperjanjikan tidak dapat dicabut kembali.[19]
Ayat
(3) di atas sepintas bertentangan dengan Pasal 29 Undang-Undang Perkawinan ayat
(4) yang mengatur bahwa selama perkawinan berlangsung perjanjian tidak dapat
diubah kecuali ada persetujuan kedua belah pihak, dan tidak merugikan pihak
ketiga. Dari sinilah, dalam penjelasannya disebutkan tidak termasuk taklik
talak. Karena naskah perjanjian taklik talak, dilampirkan dalam salinan akta
nikah yang sudah ditandatangani suami. Oleh karena itu pula, perjanjian taklik
talak sekali sudah diperjanjikan tidak dapat dicabut kembali.
Sebelum akad nikah
dilangsungkan, Pegawai Pencatat perlu meneliti betul perjanjian perkawinan yang
dibuat oleh kedua calon mempelai, baik secara material atau isi perjanjian itu,
maupun teknis bagaimana perjanjian itu telah disepakati mereka bersama. Sejauh
perjanjian itu berupa taklik talak, Menteri Agama telah mengaturnya. Adapun
teks (sighat) taklik talak yang diucapkan suami sesudah dilangsungkan akad
nikah adalah sebagai berikut:
“Sesudah akad nikah, saya ... bin ... berjanji dengan sesungguh hati, bahwa
saya akan menepati kewajiban saya sebagai seorang suami, dan akan saya pergauli
istri saya bernama ... binti ... dengan baik (mu’asyarah bil ma’ruf) menurut
ajaran syari’at Islam.
Selanjutnya saya mengucapkan sighat taklik talak atas istri saya itu
seperti berikut:
Sewaktu-waktu saya:
1
Meninggalkan
istri saya dua tahun berturut-turut,
2
Atau saya tidak
memberi nafkah wajib kepadanya tiga bulan lamanya,
3
Atau saya
menyakiti badan/jasmani istri saya itu,
4
Atau saya
membiarkan (tidak memedulikan) istri saya itu enam bulan lamanya.
Kemudian istri saya tidak ridha dan mengadukan halnya kepada Pengadilan
Agama atau petugas yang diberikan hak mengurus pengaduan itu, dan pengaduannya
dibenarkan serta diterima oleh pengadilan atau petugas tersebut, dan istri saya
itu membayar uang sebesar Rp10.000,- (sepuluh ribu rupiah) sebagai iwadl
(pengganti) kepada saya, maka jatuhlah talak saya satu kepadanya. Kepada
pengadilan atau petugas tersebut tadi saya kuasakan untuk menerima uang iwadl
(pengganti) itu dan kemudian memberikannya untuk keperluan ibadah sosial.[20]
......, ......, .......
(Tempat, Tanggal, Bulan, Tahun)
Suami
........................
(Tanda Tangan dan Nama)
Secara
teknis Pegawai Pencatat perlu memeriksa secara teliti, sebagaimana disebut
dalam Pasal 26 Peraturan Menteri Agama Nomor 3 Tahun 1975:
1.
Apabila pada
waktu pemeriksaan nikah calon suami istri telah menyetujui adanya talak sebagai
dimaksudkan pasal 11 ayat (3) Peraturan ini, maka suami mengucapkan dan menanda
tangani taklik yang telah disetujuinya itu setelah akad nikah dilangsungkan.
2.
Apabila dalam
pemeriksaan nikah telah ada persetujuan adanya taklik talak akan tetapi setelah
akad nikah suami tidak mau mrngucapkannya, maka hal ini segera diberitahukan
kepada pihak istrinya.[21]
Memerhatikan
muatan sighat taklik talak tersebut, kandungan maksudnya cukup baik dan
positif, yaitu melindungi perempuan dari kesewenang-wenangan suami dalam
memenuhi kewajibannya, sebagai hak-hak yang diterima si istri. Meskipun
sesungguhnya istri, telah mendapat hak berupa khulu’ (gugat cerai)nmaupun hak
fasakh. Karena itu, yang perlu diperhatikan adalah pencatatan apakah suami
benar-benar menyetuji dan membaca dan menandatangani sighat taklik talak
tersebut atau tidak. Ini dimaksudkan agar tidak terjadi kekeliruan dan
kesulitan dalam menyelesaikan persoalan yang timbul.
Perjanjian
perkawinan juga dapat dibuat oleh kedua belah pihak menyangkut harta bersama
dan hal-hal lain sepanjang tidak bertentangan dengan aturan syariat Islam.
Kompilasi mengatur perjanjian harta bersama dan perjanjian yang berkaitan
dengan masalah poligami.
Pasal 47
1.
Pada waktu atau
sebelum perkawinan dilangsungkan kedua calon mempelai dapat membuat perjanjian
tertulis yang disahkan Pegawai Pencatat Nikah mengenai kedudukan harta
dalamperkawinan.
2.
Perjanjian
tersebut dalam ayat (1) dapat meliputi percampuran harta probadi dan pemisahan
harta pencaharian masing-masing sepanjang hal itu tidak bertentangan dengan
Islam.
3.
Di samping
ketentuan dalam ayat (1) dan (2) di atas, boleh juga isi perjanjian itu
menetapkan kewenangan masing-masing untuk mengadakan ikatan hipotik atas harta
pribadi dan harta bersama atau harta syarikat.
Pasal 48
1.
Apabila dibuat
perjanjian perkawinan mengenai pemisah harta bersama atau harta syarikat, maka
perjanjian tersebut tidak boleh menghilangkan kewajiban suami untuk memenuhi
kebutuhan rumah tangga.
2.
Apabila dibuat
perjanjian perkawinan tidak memenuhi ketentuan tersebut pada ayat (1) dianggap
tetap terjadi pemisahan harta bersama atau harta syarikat dengan kewajiban
suami menanggung biaya kebutuhan rumah tangga.
Pasal 49
1.
Perjanjian
percampuran harta pribadi dapat meliputi semua harta, baik yang dibawa
masing-masing ke dalam perkawinan maupun yang diperoleh masing-masing selama
perkawinan.
2.
Dengan tidak
mengurangi ketentuan tersebut pada ayat (1) dapat juga diperjanjikan bahwa
percampuran harta pribadi yang dibawa pada saat perkawinan dilangsungkan,
sehingga percampuran ini tidak meliputi harta pribadi yang diperoleh selama
perkawinan atau sebaliknya.
Pasal 50
1.
Perjanjian
perkawinan mengenai harta, mengikat kepada para pihak dan pihak ketiga
terhitung mulai tanggal dilangsungkan perkawinan di hadapan Pegawai Pencatat
Nikah.
2.
Perjanjian
perkawinan mengenai harta dapat dicabut atas persetujuan bersama suami isteri
dan wajib mendaftarkannya di Kantor Pegawai Pencatat Nikah tempat perkawinan
dilangsungkan.
3.
Sejak
pendaftaran tersebut, pencabutan telah mengikat kepada suami isteri tetapi
terhadap pihak ketiga pencabutan baru mengikat sejak tanggal pendaftaran itu
diumumkan suami isteri dalam suatu surat kabar setempat.
4.
Apabila dalam tempo
6 (enam) bulan pengumuman tidak dilakukan yang bersangkutan,
pendaftaran pencabutan dengan sendirinya gugur dan tidak mengikat kepada pihak ketiga.
pendaftaran pencabutan dengan sendirinya gugur dan tidak mengikat kepada pihak ketiga.
5.
Pencabutan
perjanjian perkawinan mengenai harta tidak boleh merugikan perjanjian yang
telah diperbuat sebelumnya dengan pihak ketiga.
Pasal 51
Pelanggaran
atas perjanjian perkawinan memeberi hak kepada isteri untuk meminta pembatalan
nikah atau mengajukannya. Sebagai alasan gugatan perceraian ke Pengadilan
Agama.
Pasal
52
Pada saat dilangsungkan
perkawinan dengan isteri kedua, ketiga dan keempat, boleh diperjanjikan
mengenai tempat kediaman, waktu giliran dan biaya rumah tangga bagi isteri yang
akan dinikahinya itu.[22]
Akan
halnya mengenai perjanjian perkawinan, apabila telah disepakati oleh kedua
mempelai, maka masing-masing wajib memenuhinya. Sepanjang dalam perjanjian
tersebut tidak ada pihak-pohak lain yang memaksa. Ini sejalan dengan hadis
riwayat Bukhori:
مَنْ شَرَطَ عَلَى نَفْسِهِ
طَائِعًا غَيْرَ مُكْرَهٍ فَهُوَعَلَيْهِ
“Barangsiapa
mensyaratkan pada dirinya sendiri untuk maksud taat (kepada Allah dan
Rasul-Nya), dalam keadaan tidak terpaksa, maka ia wajib memenuhinya.” (H.R. al-Bukhari)
Kata Umar ibn al-Khaththab
اِنَّ
مَقَطِعَ الْحُقُوْقِ الشُّرُوْطُ وَلَكَ مَا شَرَّطْتَ
“Sesungguhnya keputusan hak terletak pada syarat-syarat yang ditetapkan,
dan pada kamu apa yang kamu syaratkan.” (H.R. al-Bukhori)
Pada
hadis yang lain, Rasulullah SAW menegaskan:
اِنَّ
اَحَقَّ الشُّرُوْطِ مَا اسْتَحْلَلْتُمْ بِهِ الفُرُوْجَ
“Syarat-syarat yang lebih utama dipenuhi ialah syarat-syarat untuk
menghalalkan hubungan suami istri.” (H.R.
al-Bukhori)
Keharusan
memenuhi perjanjian yang telah disepakati bersama juga ditegaskan dalam firman
Allah:
يَٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُوٓاْ أَوۡفُواْ بِٱلۡعُقُودِۚ
“Hai orang-orang yang beriman,
penuhilah aqad-aqad itu.” (QS Al-Maidah [5]:1)
وَأَوۡفُواْ بِٱلۡعَهۡدِۖ إِنَّ ٱلۡعَهۡدَ
كَانَ مَسُۡٔولٗا ٣٤
Dan penuhilah janji; Sesungguhnya janji itu pasti diminta pertanggungan
jawabnya. (QS Al-Isra’ [17]:34)
Isi
perjanjian tidak boleh bertentangan dengan Al-Qur’an, karena perjanjian yang
bertentangan dengan ketentuan hukum Al-Qur’an, meskipun seratur syarat dibuat,
hukumnya batal. Demikian juga, perjanjian tidak bertujuan menghalalkan yang
haram atau mengharamkan yang halal.
اَلْمُسْلِمُوْنَ
عَلَى شُرُوْطِهِمْ اِلاَّ شَرْطًا اَحَلَّ حَرَامًا وَحَرَّمَ حَلَالًا
“Orang-orang
Islam itu (terikat) kepada syarat-syarat (yang dibuat) mereka, kecuali syarat
untuk menghalalkan yang haram dan mengharamkan yang halal.” (H.R al-Bukhori)
كُلُ
شَرْطٍ لَيْسَ فِي كِتَابِ اللهِ بَاطِلٌ وَلَوْمِائَةَ شَرْطٍ
“Setiap syarat yang tidak (sejalan dengan hukum yang) ada dalam kitab Allah
adalah batal meskipun 100 syarat.”
Memerhatikan
ayat-ayat dan hadis-hadis tersebut di atas, dapat diambil pengertian bahwa
perjanjian perkawinan yang disepakati bersama antar suami-istri, sepanjang tidak
bertentangan dengan ketentuan hukum dalam Al-Qur’an dan al-Sunnah, wajib
ditepati.
Lebih
jauh tentang perjanjian ini, Kholil Rahman mengintrodusasi macam-macam sifat
perjanjian:
a.
Syarat-syarat
yang menguntungkan istri, seperti syarat untuk tidak dimadu. Para ulama berbeda
pendapat dalam masalah ini, ada yang mengatakan sah, dan ada yang mengatakan
tidak sah. Sayid Sabiq misalnya, membolehkan si istri menuntut fasakh apabila
suami melanggar perjanjian tersebut.
b.
Syarat-syarat
yang bertentangan dengan apa yang dikehendaki oleh maksud akad itu sendiri.
Seperti, tidak boleh mengadakan hubungan kelamin, tidak ada hak waris-mewaris
di antara suami istri, tidak boleh berkunjung kepada kedua orang tua, dan
lain-lain. Syarat-syarat semacam ini tidak sah, dan tidak mengikat.
c.
Syarat-syarat
yang bertentangan dengan ketentuan syara’, seperti jika akad nikah sudah
dilangsungkan, agar masing-masing pindah agama, harus mau makan daging babi,
dan sebagainya. Perjanjian semacam ini tidak sah, dan bahkan akad nikahnya juga
tidak sah.
Apabila perjanjian yang
telah disepakati bersama antar suami dan istri, tidak dipenuhi oleh salah satu
pihak, maka pihak lain berhak untuk mengajukan persoalannya ke Pengadilan Agama
untuk menyelesaikannya. Dalam hal pelanggaran dilakukan suami misalnya, istri
berhak meminta pembatalan nikah atau sebagai alasan perceraian dalam
gugatannya. Demikian juga sebaliknya, jika si istri yang melanggar perjanjiandi
luar taklik talak, suami berhak mengajukan perkaranya ke Pengadilan Agama.[23]
3.
Larangan Perkawinan
Larangan perkawinan dalam bahasa
agama disebut dengan mahram. Larangan perkawinan ada dua macam, pertama,
larangan abadi (mu’abbad) dan kedua larangan dalam waktu tertentu (muaqqat).
Larangan abadi diatur dalam Pasal 39 Kompilasi Hukum Islam di Indonesia:
Pasal 39
Dilarang
melangsungkan perkawinan antara seorang pria dengan wanita disebabkan:
a)
Karena pertalian nasab :
1. Dengan seorang wanita yang
melahirkan atau yang menurunkannya atau keturunannya
2. Dengan seorang wanita keturunan ayah
atau ibu
3. Dengan seorang wanita saudara yang
melahirkannya
b)
Karena pertalian kerabat semenda :
1. Dengan seorang wanita yang
melahirkan istrinya atau bekas istrinya
2. Dengan seorang wanita bekas istri
orang yang menurunkannya
3. Dengan seorang wanita keturunan
istri atau bekas istrinya, kecuali putusnya hubungan perkawinan dengan bekas
istrinya itu qabla al-dukhul
4. Dengan seorang wanita bekas istri
keturunannya
c)
Karena pertalian sesusuan :
1. Dengan wanita yang menyusuinya dan
seterusnya menurut garis lurus keatas
2. Dengan seorang wanita sesusuan dan
seterusnya menurut garis lurus keatas
3. Dengan seorang wanita saudara
sesusuan, dan kemenakan sesusuan kebawah
4. Dengan seorang wanita bibi sesusuan
dan nenek bibi sesusuan keatas
Ketentuan Pasal 39
KHI tersebut didasarkan kepada firman Allah dalam Q.S. an-Nisaa [04]: 22 dan
Q.S. An-Nisaa [04]: 22-23.
Pasal 39 KHI pada
angka 1 mendahulukan nasab yaitu mahram yang timbul karena hubungan darah yang
juga sekaligus menjadi dasar adanya mahram karena pertalian sepersusuan
(radha’ah), yang diatur dalam angka 3. Sementara angka 2 mahram karena kerabat
semenda (mushaharah) atau perkawinan, didasarkan pada ayat 22 surah An-nisaa.
Pengutipan ayat-ayat diatas sementara dimaksud agar berurutan. Sementara
kompilasi juga bermaksud mengatur secara tertib, dari mahram nasab, mahram
akibat perkawinan, dan mahram sepersusuan.[25]
Adapun larangan
perkawinan yang sewaktu-waktu dapat berubah (muaqqad) dijelaskan dalam Pasal 40
KHI: “Dilarang melangsungkan perkawinan antara seorang pria dengan seorang
wanita karena keadan tertentu:
a. Karena wanita yang bersangkutan
masih terikat satu perkawinan dengan pria lain.
b. Seorang wanita yang masih berada
dalam masa iddah dengan pria lain
c. Seorang wanita yang tidak
beragama Islam
Pasal 41
menjelaskan larangan kawin karena pertalian nasab dengan perempuan yang telah
dikawini atau karena sepersusuan:
1. Seorang pria dilarang memadu
istrinya dengan seorang wanita yang mempunyai hubungan pertalian nasab atau
sesusuan dengan istrinya
2. Saudara kandung, seayah, seibu serta
keturunannya
3. Wanita dengan bibinya atau
kemenakannya
4. Larangan tersebut pada ayat (1)
tetap berlaku meskipun istri-istrinya telah ditalaq raj’i, tetapi masih dalam
masa iddah.[26]
Ketentuan Pasal 40
dan 41 KHI diatas didasarkan atas firman Allah dalam Q.S. an-Nisaa [04]: 24,
Q.S. al-Baqarah [02]: 228 dan 221.[27]
Adapun Pasal 54
KHI menjelaskan tentang larangan perkawinan dalam keadaan ihram sebagai berikut:
1.
Selama seseorang masih dalam keadaan ihram tidak boleh
melangsungkan perkawinan dan juga tidak boleh bertindak sebagai wali nikah
2.
Apabila terjadi perkawinan dalam keadaan ihram atau wali nikahnya
masih berada dalam ihram, perkawinannya tidak sah.[28]
Pernyataan Pasal
54 ayat (1) dan (2) diatas menegaskan bahwa salah satu keabsahan perkawinan
menurut KHI, adalah bahwa orang yang menikah dan yang menikahkan tidak sedang
dalam keadaan ihram haji atau umrah. Dalam riwayat ‘Utsman, Rasulullah Saw
bersabda:
لَا يُنكِحُ الْمُحْرِمُ وَ لَا يُنْكِحُ (رواه
مسلم)
“Tidak boleh menikah
orang yang sedang dalam keadaan ihram, demikian juga tidak boleh menikahkan.” (Riwayat
Muslim).[29]
Larangan
kawin juga berlaku bagi seorang laki-laki yang telah beristri empat dan masih
terikat dalam tali perkawinan atau ditalaq raj’i yang masih dalam masa iddah.
Ini diatur dalam Pasal 42 sebagai berikut:
“Seorang pria dilarang melangsungkan
perkawinan dengan seorang wanita apabila pria tersebut sedang mempunyai 4
(empat) orang istri yng keempat-empatnya masih terikat tali perkawinan atau
masih dalam iddah talaq raj’i ataupun salah seorang diantara mereka masih
terikat tali perkawinan sedang yang lainnya dalam iddah talaq raj’i”.[30]
Pasal 42 tersebut didasarkan kepada instruksi Nabi Saw. Kepada
Ghailan Ibn Salamah yang diriwayatkan Abdullah Ibn ‘Umar:
“Sesungguhnya
Ghailan Ibn Salamah masuk Islam dan ia mempunyai sepuluh orang istri. Mereka
bersama-sama dia masuk Islam. Maka, Nabi Saw memerintahkan kepadanya agar
memilih empat saja diantara merek.” (Riwayat Ahmad, Al-Tirmidzi dan dishahihkan Ibn Hibban).
Jadi, batas
maksimal perkawinan menurut hukum Islam adalah empat orang istri. Itupun dengan
persyaratan yang ketat, agar dipenuhi prinsip keadilan bagi istri-istri tadi. [31]
Larangan
perkawinan berikutnya adalah antara seorang laki-laki dengan bekas istrinya
yang telah ditalaq ba’in (tiga) atau dili’an. Li’an adalah tuduhan seorang
suami terhadap istrinya bahwa istrinya telah melakukan zina. Caranya dijelaskan
dalam surat An-Nur [24]: 6-9:
وَٱلَّذِينَ
يَرۡمُونَ أَزۡوَٰجَهُمۡ وَلَمۡ يَكُن لَّهُمۡ شُهَدَآءُ إِلَّآ أَنفُسُهُمۡ
فَشَهَٰدَةُ أَحَدِهِمۡ أَرۡبَعُ شَهَٰدَٰتِۢ بِٱللَّهِ إِنَّهُۥ لَمِنَ ٱلصَّٰدِقِينَ
٦ وَٱلۡخَٰمِسَةُ
أَنَّ لَعۡنَتَ ٱللَّهِ عَلَيۡهِ إِن كَانَ مِنَ ٱلۡكَٰذِبِينَ ٧ وَيَدۡرَؤُاْ
عَنۡهَا ٱلۡعَذَابَ أَن تَشۡهَدَ أَرۡبَعَ شَهَٰدَٰتِۢ بِٱللَّهِ إِنَّهُۥ لَمِنَ ٱلۡكَٰذِبِينَ
٨ وَٱلۡخَٰمِسَةَ
أَنَّ غَضَبَ ٱللَّهِ عَلَيۡهَآ إِن كَانَ مِنَ ٱلصَّٰدِقِينَ ٩
6. Dan orang-orang yang menuduh isterinya (berzina), padahal mereka
tidak ada mempunyai saksi-saksi selain diri mereka sendiri, maka persaksian
orang itu ialah empat kali bersumpah dengan nama Allah, sesungguhnya dia adalah
termasuk orang-orang yang benar
7. Dan (sumpah) yang kelima: bahwa laknat Allah atasnya, jika dia
termasuk orang-orang yang berdusta
8. Istrinya itu dihindarkan dari hukuman oleh sumpahnya empat kali
atas nama Allah sesungguhnya suaminya itu benar-benar termasuk orang-orang yang
dusta
9. dan (sumpah) yang kelima: bahwa laknat Allah atasnya jika
suaminya itu termasuk orang-orang yang benar.
Larangan perkawinan terhadap istri yang telah ditalaq tiga dan yang
dili’an diatur dalam Pasal 43 KHI:
a.
Dilarang melangsungkan perkawinan antara seorang pria :
1.
Dengan seorang wanita bekas istrinya yang ditalaq tiga kali
2.
Dengan seorang wanita bekas istrinya yang dili’an
b.
Larangan tersebut pada ayat (1) huruf a gugur kalau bekas istri
tadi telah kawin dengan pria lain. Kemudian perkawinan tersebut putus ba’da
dukhul dan telah habis masa iddahnya.[32]
Yang perlu
dipahami dalam konteks perkawinan seorang suami terhadap bekas istrinya yang
telah ditalaq tiga, bahwa perkawinan dengan laki-laki lain yang diikuti dengan
perceraian, yang menyebabkan dibolehkannya kawin oleh suami yang pertama, tidak
direkayasa bekas suami yang pertama, tidak direkayasa oleh bekas suami yang
pertama. Apabila terjadi atas rekayasa bekas suami yang pertama, maka
perkawinan yang dilakukan hukumnya haram. Perkawinan semacam ini disebut nikah
muhallil dan muhallal-lah. Nikah muhallil adalah nikah yang dilakukan oleh
laik-laki lain setelah perempuan ditalaq tiga, dan muhallal-lah adalah bekas
suami yang pertama, yang telah menalaq ba’in, tetapi ingin mengawini lagi.
Riwayat dari Ibn Mas’ud r.a mengatakan:
“Rasulullah SAW melaknat orang yang menjadi muhallil dan muhallal-lah.” (Riwayat Ahmad Al-Nasai dan Al-Tarmizi).[33]
Selanjutnya Pasal
44 KHI menegakan bahwa “Seorang wanita Islam dilarang melangsungkan perkawinan
dengan seorang pria yang tidak beragama Islam”.[34] Ini sejalan dengan firman Allah dalam surat Al-baqarah: 221, seperti
dikutip dimuka. Pasal ini mengisyaratkan agar umat Islam sedapat mungkin tidak
melakukan perkawinan antaragama, karena pertimbangan madlaratnya lebih besar
dari manfaatnya. Betapapun, antara pemeluk Islam dan selain Islam, terdapat
perbedaan prinsip, yang tidak jarang justru menjadi pemicu munculnya konflik
dalam rumah tangga. Ini tentu tidak dikehendaki oleh pasangan suami istri dalam
mengarungi bahtera keluarga.
Masih ada suatu
bentuk larangan perkawinan yang tidak diatur dalam KHI di Indonesia, yaitu
nikah mut’ah. Nikah mut’ah disebut juga al-zawaj al-muaqqat, atau al-jawaj
al-munqhati’ adalah perkawinan seorang laki-laki dan perempuan yang dibatasi
waktu, misalnya satu hari, satu minggu, satu bulan, atau dalam satuan waktu
tertentu. Menurut Mahmud Syaltut, nikah semacam itu tujuannya hanyalah memenuhi
kebutuhan, berakhir tidak melalui perceraian, tetapi dengan berlalu (jatuh
tempo) nya satuan waktu yang disepakati, atau dengan perpisahan apabila tidak
ditentukan batasan waktunya. Nikah semacam ini tidak dikehendaki oleh syariat
Islam.[35]
Dalam Undang-Undang
No. 1 Tahun 1974 larangan perkawinan diatur dalam Pasal 8, 9 dan 10. Yang
selengkapnya akan dikutip dibawah ini:
Pasal 8
Perkawinan
dilarang antara dua orang yang:
a.
Berhubungan darah dalam garis keturunan lurus kebawah maupun
keatas.
b.
Berhubungan darah dlam garis keturunan menyamping yaitu antara
saudara, antara seorang dengan saudara orangtua dan antara seorang dengan
saudara neneknya.
c.
Berhubungan semenda, yaitu mertua, anak tiri, menantu dan ibu/bapak
tiri.
d.
Berhubungan susuan, yaitu orangtua susuan, anak susuan, saudara
susuan, dan bibi/paman susuan.
e.
Berhubungan ssudara dengan istri atau sebagai bibi atau kemenakan
dari istri, dalam hal seorang suami beristri lebih dari seorang.
f.
Mempunyai hubungan yang oleh agamanya atau peraturan lain yang
berlaku, dilarang kawin.
Pasal 9
Seseorang yang
masih terikat tali perkawinan dengan oranglain tidak dapat kawin lagi, kecuali
dalam hal yang tersebut pada Pasal 3 ayat (2) dan Pasal 4 Undang-Undang ini.
Pasal 10
Apabila suami dan
istri yang telah cerai kawin lagi satu dengan yang lain dan bercerai lagi untuk
kedua kalinya maka diantara mereka tidak boleh dilangsungkan perkawinan lagi,
sepanjang hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu dari yang
bersangkutan tidak menentukan lain.[36]
Uraian pasal-pasal
diatas, memang terasa lebih mudah dipahami daripada redaksi yang digunakan
dalam KHI di Indonesia.
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
-
Hukum pencatatan pernikahan berdasarkan
penjelasan diatas adalah mubah menurut perspektif fikih dan wajib menurut
perspektif UU No. 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan dan wajib pula menurut
perspektif Kompilasi Hukum Islam.
-
Perjanjian dalam perkawinan ada 2 yaitu
taklik talak dan perjanjian lain yang tidak bertentangan dengan syari’at Islam
sebagaimana diatur dalam pasal 29 UU No. 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan dan
pasal 45-52 Kompilasi Hukum Islam.
-
Perkawinan yang dilarang karena beberapa
sebab, yaitu: karena pertalian nasab; karena kerabat semenda; karena pertalian
susuan; karena laki-laki yang sudah beristri lebih dari 4; karena istri sudah
di talak ba’in atau di li’an; karena beda agama.
DAFTAR PUSTAKA
Abdurrahman. 2010. Kompilasi Hukum
Islam. Jakarta: Akademika Pressindo.
Ali, Zainuddin. 2007. Hukum Perdata
Islam di Indonesia. Jakarta: Sinar Grafika.
Jahar, Asep Saepudin, dkk. 2013. Hukum
Keluarga, Pidana & Bisnis. Jakarta: Kencana.
Mardani. 2011. Hukum Perkawinan Islam
di Dunia Islam Modern. Yogyakarta; Graha
Ilmu.
Nuruddin, Amiur. 2004. Hukum Perdata
Islam di Indonesia. Jakarta: Kencana.
Redaksi Sinar Grafika. 2006. Undang-undang
Pokok Perkawinan. Jakarta: Sinar Grafika.
Rofiq, Ahmad. 2015. Hukum Perdata Islam di Indonesia. Jakarta: Rajawali Pers.
Syarifuddin, Amir. 2014. Hukum Perkawinan
Islam di Indonesia. Jakarta: Kencana.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar