BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Pernikahan
merupakan bagian dari ajaran Islam. Barang siapa menghindari pernikahan berarti
ia meninggalkan sebagian dari ajaran agamanya. Disamping itu, pernikahan dapat
menghindarkan diri dari perbuatan maksiat/zina.[1]
Jika
keluarga itu bagaikan sebuah batu dari batu-batu bangunan suatu bangsa, maka
pernikahan itu merupakan asal usul suatu keluarga. Karena dari pernikahan
itulah terbentuk suatu keluarga, yang selanjutnya tumbuh dan berkembang.
Karena
itu, pernikahan juga harus mendapatkan perhatian yang semestinya, seperti hal
nya perhatian yang dicurahkan kepada keluarga, bahkan sebaiknya memperoleh
perhatian yang lebih kuat.
Pada
hakikatnya, pernikahan merupakan salah satu fenomena penataan fitrah yang
tersimpan dalam diri manusia, sebagaimana fitrah itu ada pada jenis binatang.
Jika bukan karena pernikahan yang merupakan pengaturan bagi fitrah yang
sama-sama dimiliki oleh manusia dan binatang, maka manusia tidak akan berbeda
dengan berbagai jenis binatang yang dalam memenuhi tuntutan fitrahnya menempuh
cara-cara yang anarkis dan tanpa aturan. Sebab, jika demikian keadaannya, ia
tentu bukan manusia sebagai makhluk yang disesuaikan Allah keadaannya dan
dihembuskan-Nya roh kedalam tubuhnya. Kemudian, diberi-Nya akal dan pikiran
kepadanya dan dilebihkan-Nya derajat manusia dari sekalian makhluk yang lain.
Seterusnya, manusia pun diberi-Nya kekuasaan di bumi dan ditundukkan-Nya
seluruh alam kepadanya. Kemudian, dieprsiapkan-Nya bagi manusia prinsip-prinsip
hubungan yang tinggi, yang bisa mengangkat derajatnya dari lingkup sifat
kebinatangannya, dan diseru-Nya manusia untuk tolong-menolong dengan sesamanya
dalam upaya menciptakan kemakmuran dunia, pengaturan kemaslahatan dan
pertukaran kemanfaatan. [2]
Di
dalam pernikahan ada banyak orang Muslim yang mencintai lawan jenisnya yang non
Muslim. Oleh karena itu, kami berusaha mengkaji lebih jauh tentang pernikahan
beda agama. Hal ini kami harapkan dapat dijadikan acuan bagi rekan-rekan kami
khususnya dan bagi masyarakat pada umumnya.
B.
Rumusan Masalah
1.
Bagaimana gambaran umum Islam mengaturu pernikahan beda agama?
2.
Bagaimana pendapat ulama tentang pernikahan beda agama?
3.
Apa dalil yang digunakan ulama untuk membahas pernikahan beda agama?
4.
Apa yang menyebabkan perbedaan pendapat para ulama tentang
pernikahan beda agama?
5.
Bagaimana perdebatan ulama tentang hukum pernikahan beda agama?
6.
Pendapat mana yang dapat kita pilih dan diterapkan di Indonesia?
C.
Tujuan
Adapun tujuan dari penulisan makalah
ini adalah mencoba untuk memberikan informasi kepada rekan-rekan kami pada
khususnya dan kepada masyarakat pada umumnya tentang pernikahan beda agama.
BAB II
PEMBAHASAN
1.
Gambaran Umum (التصوير)
Secara bahasa
kata nikah berarti mengumpulkan, saling memasukkan, bersetubuh, atau
sebuah pengibaratan akan sebuah hubungan intim dan akad sekaligus, yang didalam
syariat dikenal dengan akad nikah.[3]
Pernikahan, atau tepatnya
“keberpasangan” merupakan ketetapan Ilahi atas segala makhluk. Berulang-ulang
hakikat ini ditegaskan oleh Al-Quran antara lain dengan firman-Nya:
وَمِن
كُلِّ شَيۡءٍ خَلَقۡنَا زَوۡجَيۡنِ لَعَلَّكُمۡ تَذَكَّرُونَ ٤٩
49. Dan segala sesuatu Kami ciptakan
berpasang-pasangan supaya kamu mengingat kebesaran Allah. (Q,S Adz-Dzariyat
[51]: 49).
سُبۡحَٰنَ ٱلَّذِي خَلَقَ ٱلۡأَزۡوَٰجَ
كُلَّهَا مِمَّا تُنۢبِتُ ٱلۡأَرۡضُ وَمِنۡ أَنفُسِهِمۡ وَمِمَّا لَا يَعۡلَمُونَ
٣٦
36.
Maha Suci Tuhan yang telah menciptakan pasangan-pasangan semuanya, baik dari
apa yang ditumbuhkan oleh bumi dan dari diri mereka maupun dari apa yang tidak
mereka ketahui. (Q,S Ya Sin [36]: 36). [4]
Sedangkan secara syariat berarti sebuah
akad yang mengandung pembolehan bersenang-senang dengan perempuan, dengan
berhuhbungan intim, menyentuh, mencium, memeluk, dan sebagainya, jika perempuan
tersebut bukan termasuk mahram dari segi nasab, sesusuan, dan keluarga.[5]
Dalam
UU RI No 01 tahun 1974 tentang perkawinan BAB I pasal 1 yang berbunyi:
“Perkawinan ialah ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita
sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang
bahagia dan kekal berdasarkan ketuhanan Yang Maha Esa.[6]
Ada tiga macam golongan yang
dikatakan beda agama, yaitu:
- Golongan yang tidak
memiliki kitab samawi tidak pula yang serupa dengan kitab. Mereka adalah
kalangan yang menyembah arca. Yaitu semacam patung yag diapahat dari kayu,
batu, perak, permata, atau semacamnya. Adapun berhala, yaitu gambar yang
tidak berfisik, seperti gambar yang dicetak pada kertas dan semacamnya.
Ada yang berpendapat bahwasanya tidak ada perbedaan antara berhala dengan
patung, karena keduanya merupakan sebutan bagi sesuatu yang dianggap tuhan
selain Allah. Termasuk didalamnya matahari, bulan, bintang dan
gambar-gambar yang mereka pandang baik. Mereka ini serupa dengan kaum yang
murtad yang memungkiri hal-hal yang sudah lazim diketahui dalam agama Islam.
Seperti kaum Rafidhah yang meyakini bahwa Jibril melakukan kekeliruan
terkait wahyu, karena dia menyampaikan wahyu kepada Muhammad padahal Allah
menyuruhnya agar menyampaikan kepada Ali. Atau meyakini bahwa Ali adalah
tuhan, atau mendustakan sebagian ayat al-Qur’an hingga menyampaikan
tuduhan keji terhadap Aisyah. Diantara para penyembah berhala ini adalah
kaum Shabiah. Kaum Shabiah adalah kaum yang menyembah bintang-bintang.
- Golongan yang
memiliki semacam kitab. Mereka adalah kaum Majusi yang menyembah api,
maksud dari mereka memiliki semacam kitab bahwasannya ada kitab yang
diturunkan kepada nabi mereka –Nabi Zaradash- namun kemudian mereka
menyimpangkannya dan membunuh nabi mereka. Lalu Allah mengangkat kitab
tersebut dari mereka. Mereka tidak boleh dinikahi berdasarkan pendapat 4
Imam Mazhab.
- Golongan yang
memiliki kitab yang telah ditegaskan keberadaannya dan diimani. Seperti
kaum Yahudi yang mengimani Taurat dan kaum Nasrani yang mengimani Taurat
dan Injil. Mereka boleh dinikahi dalam arti bahwa orang beriman boleh
menikahi wanita Ahli Kitab namun wanita muslimah tidak boleh menikah
dengan laki-laki Ahli Kitab, sebagaimana wanita muslimah tidak boleh
menikah dengan selain laki-laki muslim.
Dalilnya adalah firman Allah dalam Q.S. al-Baqarah [02]:
221:
(وَلَا
تَنكِحُواْ ٱلۡمُشۡرِكَٰتِ حَتَّىٰ يُؤۡمِنَّۚ)
(وَلَا
تُنكِحُواْ ٱلۡمُشۡرِكِينَ حَتَّىٰ يُؤۡمِنُواْۚ)
Dua ayat ini merupakan dalil bahwasannya laki-laki muslim
tidak boleh menikahi wanita musyrik dalam kondisi apapun, sebagaimana wanita
muslimah tidak boleh menikah dengan laki-laki musyrik dalam kondisi apapun,
kecuali setelah orang-orang musyrik itu beriman dan masuk Islam bersama umat
Islam.
Namun Allah memberikan pengkhususan diantara mereka,
yaitu wanita Ahli Kitab bagi laki-laki muslim, dalam firman-Nya:
ٱلۡيَوۡمَ
أُحِلَّ وَٱلۡمُحۡصَنَٰتُ مِنَ ٱلۡمُؤۡمِنَٰتِ وَٱلۡمُحۡصَنَٰتُ مِنَ ٱلَّذِينَ
أُوتُواْ ٱلۡكِتَٰبَ مِن قَبۡلِكُم
Ayat ini bermakna bahwa wanita Ahli Kitab boleh dinikahi
laki-laki muslim berdasarkan ketetapan syariat, meskipun wanita Ahli Kitab
mengatakan bahwa Al-Masih adalah tuhan, atau meyakini konsep trinitas, dan ini
adalah syirik yang jelas, namun Allah memperkenankan pernikahan dengan mereka
karena memiliki kitab samawi.[7]
Seorang muslim
tidak boleh kawin dengan seorang perempuan musyrik. Yaitu perempuan yang
menyembah Allah bersama tuhan yang lain seperti berhala, atau binatang-binatang
atau api.
Dan
juga memiliki kondisi ini adalah perempuan atheis atau matrealis yaitu orang
yang mempercai materi sebagai tuhan. Serta dia mengingkari keberadaan Allah dia
juga tidak mengakui berbagai agama samawi. Penyebab bagi pengharaman mengawini
perempuan musyrik dan perempuan yang sepertinya adalah tidak adanya
keharmonisan, ketenangan, dan kerjasama diantara suami istri, karena perbedaan
adalah akidah menimbulkan rasa gelisah dan ketidak tenangan, sehingga kehidupan
rumah tangga yang seharusnya berdri dengan rasa sayang,kasih dan cinta tidak
akan tercapai tujuannya.
Kemudian
ketiadaan rasa keimanan terhadap suatu agama membuat seseorang perempuan mudah
untuk melakukan pengkhianatan rumah tangga, kerusakan, dan keburukan. Serta
membuat hilang rasa amanah, ketulusan dan kebaikan dari dalam dirinya karena
dia mempercayai takhayyul atau imajinasi serta dia terpengaruh dengan hawa
nafsu, dan tabiat diri yang tidak etis. Karena tidak ada agama yang
mengekangnya dan tidak ada yg mendorong dia untuk beriman kepada Allah, hari
kiamat, hisab, dan kepada kebangkitan.[8]
Apakah
kehalalan menikahi ahli kitab ini bersifat mutlak atau terikat dengan hukum
makruh? Ini dijelaskan dalam pandangan masing-masing mazhab.
2.
Pendapat Ulama (رأي
الفقهاء)
Ø Mazhab Hanafi
Mereka
mengatakan, bahwasannya pernikahan dengan wanita Ahli Kitab dilarang jika dia
berada di negeri perang (Darul Harbi) yang tidak tunduk kepada hukum-hukum umat
Islam, karena itu berarti membuka pintu bagi timbulnya fitnah. Sebab, wanita
Ahli Kitab tersebut dapat mempengaruhi suaminya yang muslim hingga berperilaku
sebagaimana perilakunya yang tidak dapat diterima Islam dan dapat memalingkan
anaknya hingga memeluk agama selain agamanya, serta membuat dirinya tertekan
hingga berakibat pada prahara yang tiada taranya, yaitu kehilangan pengaruhnya
untuk menjaga kehormatan istrinya, dan kerusakan-kerusakan lainnya. Maka,
meskipun akadnya dinyatakan sah, hanya saja melakukan pernikahan dengan wanita
Ahli Kitab baginya merupakan tindakan-tindakan yang makruh tahrim (harus
dihindari) karena berakibat pada berbagai kerusakan di kemudian hari.
Adapun jika
wanita Ahli Kitab tersebut berada di negeri Islam (Dzimmiyah) dan tunduk
terhadap perundang-undangan Islam, maka hukum pernikahannya adalah makruh
tanzih (sebaiknya dihindari).
Ø Mazhab Maliki
Diantara mereka
ada 2 pendapat dalam hal ini.
Pendapat pertama menyatakan, bahwa menikahi
wanita ahli kitab hukumnya makruh secara mutlak,baik wanita tersebut berada di
negeri islam( Dzimmiyah) maupun
berada di negeri perang (Darul Harbi). Akan tetapi hukum makruh dinegeri perang
lebih berat. Pendapat kedua menyatakan hukumnya tidak makruh secara mutlak,
sebagai pengamalan terhadap makna eksplisit ayat, karena ayat memperkenankan
wanita ahli kitab untuk dinikahi secara mutlak. Mereka berhujah atas hukum
makruhnya di negeri islam karena wanita ahli kitab tidak dilarang minum khamer
tidak pula makan babi dan dilarang pergi ke gereja, padahal dia sebagai
suaminya yang muslim tidak boleh melakukan itu semua, sementara wanita ahli kitab
yang menjadi istrinya memberi makan anak-anak dengan santapan seperti itu
hingga mereka tumbuh dalam pelanggaran terhadap ajaran agama.
Barangkali ada yang mengatakan, bahwa larangan-larangan ini adalah
berarti di haramkan. Bagi madzhab maliki mendasarkan hal itu pada alasan sadu
Dzara’I (langkah antisipasi untuk menutup pintu bahaya yang lebih besar).
Jika pernikahan dengan wanita ahli kitab menimbulkan kerusakan-kerusakan, atau
dikhawatirkan menimbulkan kerusakan-kerusakan, maka melaksanakan akad dengan
haram hukumnya.
Pendapat
ini dapat disanggah, bahwa hal tersebut dapat dibenarkan jikalau tidak ada
ketentuan berdasarkan teks syari’at (yang membolehkan). Adapun jikalau nyatanya
Allah mempernekan pernikahan dengan wanita ahli kitab, maka tentunya dibalik
semua itu ada maslahat terkait pembolehannya. Sebab bisa saja lantaran hubungan
pernikahan dengan ahli kitab membawa maslahat bagi agama dan memuliakannya,
atau menghindarkan berbagai permasalahan serta menghilangkan berbagai kebencian
dan kedengkian.
Wanita muslim tidak boleh menikah dengan
laki-laki ahli kitab tidak lain karena wanita muslim meski bagaimanapun keadaan
dirinya namun pada umumnya tidak berani menentang suaminya, akibatnya dia
terancam pindah agama dan tidak mustahil anak-anaknya akan mengikuti bapak
mereka, meskipun toleran terhadap hal-hal yang memperbaharui ikatan-ikatan
sosial, islam tidak mungkin dapat mentolerir hal-hal yang mengakibatkaan
seorang muslim keluar dari agamanya, atau menjadikan keturunannya memeluk agama
selain islam. Namun sebenarnya Islam telah memperkenankan wanita ahli kitab
untuk dinikahi laki-laki muslim, dan melarang laki-laki muslim memaksanya agar
keluar dari agamanya.
Ø Mazhab Asy-Syafi’i
Mereka
mengatakan, makruh hukumnya pernikahan dengan wanita ahli kitab jika dia berada
di negeri Islam, dan hukum makruh ini semkain ditekankan jika dia berada
dinegeri perang.
Syarat
pertama: laki-laki Muslim yang hendak menikahi tidak mengharapkan keislaman
wanita ahli kitab yang hendak dinikahinya.
Syarat
kedua: ia bisa mendapatkan wanita muslim yang layak baginya.
Syarat
ketiga: jika tidak menikah dengan wanita ahli kitab tersebut maka dikhawatirkan
ia akan berbuat zina.
Jadi,
jika laki-laki tersebut mengharapkan keislaman wanita ahli kitab yang
dinikahinya, dan ia tidak mendapatkan wanita muslimah yang layak baginya, maka
hukum baginya adalah sunnah untuk menikahinya. Demikian pula disunnahkan
kepadanya untuk menikahi wanita ahli kitab yang layak baginya.sebagai
pendamping hidupnya dalam rumah tangga yang diridhai, jika dia tidak menikahi
ahli kitab tersebut dikhawatirkan dia akan melakukan perbuatan zina, sebagai
antisipasi dari terjadinya perbuatan terlarang. Dari ulasan ini jelaslah bahwa
masalahnya berkisar di balik maslahat dan mufsadat (kerusakan). Jika pernikahan
dengannya memberikan maslahat maka pernikahannya terpuji. Dan jika menimbulkan
mafsadat maka pernikahannya makruh.
Ø Mazhab Hambali
Mereka
mengatakan, bahwa wanita ahli kitab boleh dinikahi tanpa hukum makruh
berdasarkan keumuman firman Allah. “Dan (dihalalkan bagimu menikahi)
perempuan-perempuan yang menjaga kehormatan diantar perempuan-perempuan yang
beriman dan perempuan-perempuan yang menjaga kehormatan diantara orang-orang
yang diberi kitab (ahli kitab) sebelum kamu”. (al- maidah : 5) yang dimaksud
dengan perempuan-perempuan yang menjaga kehormatan adalah perempuan-perempuan
merdeka.
Terkait
wanita ahli kitab, tidak ada syarat yang menetapkan bahwa kedua orang tuanya
harus juga ahli kitab akan tetapi pernikahannya tetap dinyatakan sah meskipun
bapaknya atau ibunya sebagai penyembah berhala, selama dia sendiri sebagai
wanita ahli kitab.[9]
Ø Sebagian Ulama
Sebgaian
ulama berpendapat bahwa kata al-musyrikat meliputi semua wanita musyrik,
baik ia penyembah berhala, beragama Yahudi, maupun Nashrani.[10]
Riwayat
dari Syahr bin Hawasyib bahwasannya dia mendengar Abdullah bin Abbas berkata:
“Rasulullah SAW melarang menikhai berbagai macam wanita kecuali wanita yang
mu’minah dan yang berhijrah dan Rasulullah SAW melarang untuk menikahi wanita
yang beragaman selain Islam.[11]
3.
Dalil Yang Digunakan (الدلائل)
Dalil yang disepakati 4 Imam Mazhab
untuk pengharaman menikahi wanita musyrik yaitu Q.S. al-Baqarah [02]: 221, yang
berbunyi:
وَلَا
تَنكِحُواْ ٱلۡمُشۡرِكَٰتِ حَتَّىٰ يُؤۡمِنَّۚ وَلَأَمَةٞ مُّؤۡمِنَةٌ خَيۡرٞ مِّن
مُّشۡرِكَةٖ وَلَوۡ أَعۡجَبَتۡكُمۡۗ وَلَا تُنكِحُواْ ٱلۡمُشۡرِكِينَ حَتَّىٰ
يُؤۡمِنُواْۚ وَلَعَبۡدٞ مُّؤۡمِنٌ خَيۡرٞ مِّن مُّشۡرِكٖ وَلَوۡ أَعۡجَبَكُمۡۗ
أُوْلَٰٓئِكَ يَدۡعُونَ إِلَى ٱلنَّارِۖ وَٱللَّهُ يَدۡعُوٓاْ إِلَى ٱلۡجَنَّةِ وَٱلۡمَغۡفِرَةِ
بِإِذۡنِهِۦۖ وَيُبَيِّنُ ءَايَٰتِهِۦ لِلنَّاسِ لَعَلَّهُمۡ يَتَذَكَّرُونَ ٢٢١
221. Dan
janganlah kamu menikahi wanita-wanita musyrik, sebelum mereka beriman.
Sesungguhnya wanita budak yang mukmin lebih baik dari wanita musyrik, walaupun
dia menarik hatimu. Dan janganlah kamu menikahkan orang-orang musyrik (dengan
wanita-wanita mukmin) sebelum mereka beriman. Sesungguhnya budak yang mukmin
lebih baik dari orang musyrik, walaupun dia menarik hatimu. Mereka mengajak ke
neraka, sedang Allah mengajak ke surga dan ampunan dengan izin-Nya. Dan Allah
menerangkan ayat-ayat-Nya (perintah-perintah-Nya) kepada manusia supaya mereka
mengambil pelajaran.
Dan dalil yang
disepakati 4 Imam Mazhab untuk kebolehan menikahi perempuan ahli kitab yaitu
Q.S. al-Maidah [05]: 05, yang berbunyi:
ٱلۡيَوۡمَ
أُحِلَّ لَكُمُ ٱلطَّيِّبَٰتُۖ وَطَعَامُ ٱلَّذِينَ أُوتُواْ ٱلۡكِتَٰبَ حِلّٞ
لَّكُمۡ وَطَعَامُكُمۡ حِلّٞ لَّهُمۡۖ وَٱلۡمُحۡصَنَٰتُ مِنَ ٱلۡمُؤۡمِنَٰتِ وَٱلۡمُحۡصَنَٰتُ
مِنَ ٱلَّذِينَ أُوتُواْ ٱلۡكِتَٰبَ مِن قَبۡلِكُمۡ إِذَآ ءَاتَيۡتُمُوهُنَّ أُجُورَهُنَّ
مُحۡصِنِينَ غَيۡرَ مُسَٰفِحِينَ وَلَا مُتَّخِذِيٓ أَخۡدَانٖۗ وَمَن يَكۡفُرۡ بِٱلۡإِيمَٰنِ
فَقَدۡ حَبِطَ عَمَلُهُۥ وَهُوَ فِي ٱلۡأٓخِرَةِ مِنَ ٱلۡخَٰسِرِينَ ٥
5. Pada hari
ini dihalalkan bagimu yang baik-baik. Makanan (sembelihan) orang-orang yang
diberi Al Kitab itu halal bagimu, dan makanan kamu halal (pula) bagi mereka.
(Dan dihalalkan mangawini) wanita yang menjaga kehormatan diantara
wanita-wanita yang beriman dan wanita-wanita yang menjaga kehormatan di antara
orang-orang yang diberi Al Kitab sebelum kamu, bila kamu telah membayar mas
kawin mereka dengan maksud menikahinya, tidak dengan maksud berzina dan tidak
(pula) menjadikannya gundik-gundik. Barangsiapa yang kafir sesudah beriman
(tidak menerima hukum-hukum Islam) maka hapuslah amalannya dan ia di hari
kiamat termasuk orang-orang merugi.
4.
Penyebab Perbedaan Pendapat (سبب
الخلاف)
Sebagian ulama yang tidak membolehkan perkawinan beda agama baik
musyrik maupun ahli kitab beralasan bahwa tidak adanya dalil yang menasakhkan
atau mengkhususkan makna yang umum ini. Jadi, semua wanita tersebut haram
dinikahi oleh lelaki Muslim.[12]
Dan juga ada suatu
riwayat yang menjelaskan bahwa Ibnu Umar ketika ditanya tentang seorang
laki-laki yang menikahi wanita Nashrani atau Yahudi, maka ia menjawab: “Allah
mengharamkan perempuan-perempuan musyrikah (dikawini) orang-orang Islam dan aku
tidak melihat kesyirikan yang lebih besar dari seorang perempuan yang berkata:
Isa adalah Tuhan atau Tuhannya adalah seorang manusia hamba Allah.[13]
Dalam sebuah
riwayat Umar bin Khattab berpendapat bahwa wanita ahli kitab haram dinikahi,
dan dia pun telah memisahkan antara Thalhah bin Ubaidillah dan istrinya yang
Ahlil Kitab serta antara Hudzaifah bin Yaman dan istrinya yang juga Ahli Kitab.[14]
Jumhur Ulama yang
membolehkan menikah dengan perempuan ahli ktab sekalipun hukumnya makruh
beralasan bahwa berbeda yang dimaksud dengan musyrik dan ahli kitab,
sebagaimana firman Allah SWT dalam Q.S. al-Baqarah ayat 105, yang berbunyi:
مَّا
يَوَدُّ ٱلَّذِينَ كَفَرُواْ مِنۡ أَهۡلِ ٱلۡكِتَٰبِ وَلَا ٱلۡمُشۡرِكِينَ ….
105.
Orang-orang kafir dari Ahli Kitab dan orang-orang musyrik tiada menginginkan
diturunkannya sesuatu kebaikan kepadamu dari Tuhanmu. ….
Disini Allah meng’athafkan
lafal “musyrikin” kepada lafal “ahli kitab”, sedang ‘athaf berfungsi
menghubungkan antara dua kata atau dua kalimat yang berlainan, maka secara
dzahiriah, lafal “musyrikat” tidak dapat mencakup “kitabiyyat”.[15]
5.
Perdebatan Dalil (مناقشة
الادلة)
Salah satu qaul Imam asy-Syafi’I
berpendapat bahwa lafaz ayat ini (al-Baqarah [02]: 221) bersifat umum sehingga
mencangkup wanita kafir, namun yang dimaksud adalah makna yang khusus, yaitu
wanita-wanita Ahlul Kitab. Makna yang khusus ini dijelaskan dalam Q.S.
al-Maidah, sedangkan yang umum sama seklai tidak mencakup wanita ahlul kitab.
Jika berdasarkan kepada pendapat ini, mereka tercakup oleh lafaz yang umum,
kemudian dalam surah al-Maidah itu menasakh sebagian dari makna umum tersebut.[16]
Jumhur ulama beralasan bahwa ayat
dalam Q.S. al-Baqarah ayat 221 ini tidak menasakh ayat dalam surat al-Maidah
ayat 5, karena ayat dalam surah al-Baqarah adalah permulaan ayat-ayat yang
turun di Madinah sedang surat al-Maidah ayat-ayat terakhir yang turun di
Madinah, padahal menurut kaidahnyam yang akhir itu yang menasakh (ayat) yang
lebih dahulu turunnya bukan sebaliknya.
Dan untuk riwayat yang meriwayatkan
Umar bin Khattab mengirim surat kepada Hudzaifah agar menceraikan istrinya yang
beragama Yahudi, dan Hudzaifah membalas suratnya seraya berkata: “Apakah engkau
mengira bahwa mengawininnya itu haram lalu engkau menyuruhku melepaskannya?
Umar menjawab: “Aku tidak menganggap haram, tetapi aku khawatir engkau
mengawini perempuan pelacur dari kalangan mereka”. Ini menunjukkan apa yang
dikatakn Umar itu sifatnya hanya bentuk kehati-hatian, tidak berarti ia
beranggapan bahwa menikahi perempuan Ahli Kitab hukumnya haram.[17]
Adapun hadis Ibnu Umar, hal in tidak
dapat dijadikan sebagai dalil. Sebab Ibnu Umar adalah orang yang bersikap tawaquf
(menangguhkan atau abstain). Ketika dia menduga dua ayat dimana salah
satunya menyatakan halal, sedangkan yang lainnya menyatakan haram, sementara
dia tidak mendengar adanya nasakh, maka dia pun bersikap tawaquf. Dari Ibnu
Umar sendiri tidak diriwayatkan adanya nasakh, melainkan hanya takwil ayat.
Sedangkan ayat yang menasakh dan dinasakh itu tidak dapat ditakwil.[18]
6.
Pendapat Yang Terpilih (رأي
المختار)
Pendapat yang rajih lagi terpilih menurut kami yaitu pendapat
jumhur ulama yang mengharamkan pernikahan dengan orang musyrik dan membolehkan
menikahi ahli kitab.
Melihat pembahasan
tersebut, maka kami melihat perkawinan beda agama ini bagaimanakah hukumnya di
Indonesia?
Berdasarkan
Kompilasi Hukum Islam pasal 40 poin c dikatakan bahwa: “Dilarang melangsungkann
perkawinan antara seorang pria dengan seorang wanita karena keadaan tertentu
yaitu: c. wanita yang tidak beragama Islam.[19]
Di Indonesia berdasarkan FATWA
MAJELIS ULAMA INDONESIA Nomor : 4/MUNAS VII/MUI/8/2005 Tentang PERKAWINAN BEDA
AGAMA, meneteapkan dan memutuskan bahwa:
1. Perkawinan beda agama adalah haram dan tidak sah.
2. Perkawinan laki-laki muslim dengan wanita Ahlu Kitab, menurut
qaul mu’tamad, adalah haram dan tidak sah.
Maka dapat
disimpulkan bahwa pernikahan beda agama di Indonesia adalah haram/dilarang.
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
-
Pernikahan beda agama adalah pernikahan yang dijalankan oleh orang
Muslim dengan orang non-Muslim baik musyrik, majusi atau ahli kitab.
-
Ulama Mazhab berpendapat pernikahan beda agama adalah boleh dan
hukumnya makruh sedangkan sebagian ulama mengharamkannya.
-
Dalil yang digunakan para ulama adalah Q.S. al-Baqarah ayat 221 dan
Q.S. al-Maidah ayat 5.
-
Sebab perbedaan pendapat adalah bedanya pendapat apakah ayat
al-Baqarah itu dinasakh atau tidak dan juga ada hadis yang diriwayatkan kepada
Umar bin Khattab dan juga perkataan Ibnu Umar.
-
Dalil yang kuat dan rajih adalah pendapat jumhur ulama sebagaimana
dijelaskan pada pembahasan diatas
-
Di Indonesia perkawinan beda agama dilarang berdasarkan Kompilasi
Hukum Islam pasal 40 poin c, dan juga berdasarkan fatwa MUI.
DAFTAR PUSTAKA
Abdurrahman. 2010. Kompilasi
Hukum Islam. Jakarta: Akademika Pressindo.
Ghozali, Abdul Rahman. 2012. Fiqh Munakahat. Jakarta:
Kencana.
Ibnu Katsir,
Imaduddin Abil Fada’ Islma’il bin Umar.
2013. Tafsir al-Qur’an al- ‘Adzim. Beirut: Dar al-Kotob al-Ilmiyah.
Jaziri, Al, Abdurrahman. 2015. al-Fiqh ‘ala
Madzahib al-Arba’ah. Kairo: Dar al- Taufiqiyah
al-Tursi.
Qurthuby, Al, Abdullah Muhammad bin Ahmad al-Anshori. 2010. al-Jami’
li Ahkam al-Qur’an. Kairo: Dar
el-Hadith.
Shabuny, Al, ‘Aly. 2016. Rawa’I’u al-Bayan Tafsir Ayat al-Ahkam
min al-Qur’an, Terj: Ahmad
Dzulfikar dkk. Depok: Keira.
Shihab, M. Quraisy. 2004. Wawasan Al Quran.
Bandung: Mizan.
Syaltut, Mahmud. 1998. Islam Akidah dan Syari’ah, Terj. Ir
Abdurrahman Zain, Jakarta: Pustaka Amani.
Yanggo, Huzaemah Tahido. 2005. Masail Fiqhiyah. Bandung:
Angkasa.
Zuhaili, Al, Wahbah. 2007. Fiqh Islam wa Adillatuhu, Terj. Abdul Hayyie al- Kattani dkk. Depok: Gema Insani.
Zuhaily, Al, Wahbah. 2003. al-Tafsir
al-Munir fi al-‘Aqidah wa al-Syari’ah wa al- Minhaj. Beirut: Dar
al-Fikr.
[13]
Abdullah Muhammad bin Ahmad al-Anshiri al-Qurthuby, al-Jami’ li Ahkam
al-Qur’an, (Kairo: Dar el-Hadith, 2010), Jilid 2, hlm. 62. Lihat juga ‘Aly
al-Shabuny, Rawa’I’u al-Bayan Tafsir Ayat al-Ahkam min al-Qur’an, Terj:
Ahmad Dzulfikar dkk, (Depok: Keira, 2016), Jilid 1, hlm. 290. Lihat juga
‘Imaduddin Abil Fada’ Islma’il bin Umar bin Katsir, Tafsir al-Qur’an
al-‘Adzim, Jilid 1, hlm. 236. Dan lihat juga Wahbah al-Zuhaily, al-Tafsir
al-Munir fi al-‘Aqidah wa al-Syari’ah wa al-Minhaj, Jilid 1, hlm 664. Lihat
juga M. Quraisy Shihab, Wawasan Al
Quran, hlm. 260.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar