Rabu, 27 Maret 2019

Makalah Perbandingan Mazhab Munakahat: Pernikahan Beda Agama


BAB I
PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang
       Pernikahan merupakan bagian dari ajaran Islam. Barang siapa menghindari pernikahan berarti ia meninggalkan sebagian dari ajaran agamanya. Disamping itu, pernikahan dapat menghindarkan diri dari perbuatan maksiat/zina.[1]
       Jika keluarga itu bagaikan sebuah batu dari batu-batu bangunan suatu bangsa, maka pernikahan itu merupakan asal usul suatu keluarga. Karena dari pernikahan itulah terbentuk suatu keluarga, yang selanjutnya tumbuh dan berkembang.
       Karena itu, pernikahan juga harus mendapatkan perhatian yang semestinya, seperti hal nya perhatian yang dicurahkan kepada keluarga, bahkan sebaiknya memperoleh perhatian yang lebih kuat.
       Pada hakikatnya, pernikahan merupakan salah satu fenomena penataan fitrah yang tersimpan dalam diri manusia, sebagaimana fitrah itu ada pada jenis binatang. Jika bukan karena pernikahan yang merupakan pengaturan bagi fitrah yang sama-sama dimiliki oleh manusia dan binatang, maka manusia tidak akan berbeda dengan berbagai jenis binatang yang dalam memenuhi tuntutan fitrahnya menempuh cara-cara yang anarkis dan tanpa aturan. Sebab, jika demikian keadaannya, ia tentu bukan manusia sebagai makhluk yang disesuaikan Allah keadaannya dan dihembuskan-Nya roh kedalam tubuhnya. Kemudian, diberi-Nya akal dan pikiran kepadanya dan dilebihkan-Nya derajat manusia dari sekalian makhluk yang lain. Seterusnya, manusia pun diberi-Nya kekuasaan di bumi dan ditundukkan-Nya seluruh alam kepadanya. Kemudian, dieprsiapkan-Nya bagi manusia prinsip-prinsip hubungan yang tinggi, yang bisa mengangkat derajatnya dari lingkup sifat kebinatangannya, dan diseru-Nya manusia untuk tolong-menolong dengan sesamanya dalam upaya menciptakan kemakmuran dunia, pengaturan kemaslahatan dan pertukaran kemanfaatan. [2]
       Di dalam pernikahan ada banyak orang Muslim yang mencintai lawan jenisnya yang non Muslim. Oleh karena itu, kami berusaha mengkaji lebih jauh tentang pernikahan beda agama. Hal ini kami harapkan dapat dijadikan acuan bagi rekan-rekan kami khususnya dan bagi masyarakat pada umumnya.
B.     Rumusan Masalah
1.      Bagaimana gambaran umum Islam mengaturu pernikahan beda agama?
2.      Bagaimana pendapat ulama tentang pernikahan beda agama?
3.      Apa dalil yang digunakan ulama untuk membahas pernikahan beda agama?
4.      Apa yang menyebabkan perbedaan pendapat para ulama tentang pernikahan beda agama?
5.      Bagaimana perdebatan ulama tentang hukum pernikahan beda agama?
6.      Pendapat mana yang dapat kita pilih dan diterapkan di Indonesia?
C.    Tujuan
Adapun tujuan dari penulisan makalah ini adalah mencoba untuk memberikan informasi kepada rekan-rekan kami pada khususnya dan kepada masyarakat pada umumnya tentang pernikahan beda agama.






BAB II

PEMBAHASAN
1.      Gambaran Umum (التصوير)
Secara bahasa kata nikah berarti mengumpulkan, saling memasukkan, bersetubuh, atau sebuah pengibaratan akan sebuah hubungan intim dan akad sekaligus, yang didalam syariat dikenal dengan akad nikah.[3]
Pernikahan, atau tepatnya “keberpasangan” merupakan ketetapan Ilahi atas segala makhluk. Berulang-ulang hakikat ini ditegaskan oleh Al-Quran antara lain dengan firman-Nya:
وَمِن كُلِّ شَيۡءٍ خَلَقۡنَا زَوۡجَيۡنِ لَعَلَّكُمۡ تَذَكَّرُونَ ٤٩
49. Dan segala sesuatu Kami ciptakan berpasang-pasangan supaya kamu mengingat kebesaran Allah. (Q,S Adz-Dzariyat [51]: 49).
سُبۡحَٰنَ ٱلَّذِي خَلَقَ ٱلۡأَزۡوَٰجَ كُلَّهَا مِمَّا تُنۢبِتُ ٱلۡأَرۡضُ وَمِنۡ أَنفُسِهِمۡ وَمِمَّا لَا يَعۡلَمُونَ ٣٦
36. Maha Suci Tuhan yang telah menciptakan pasangan-pasangan semuanya, baik dari apa yang ditumbuhkan oleh bumi dan dari diri mereka maupun dari apa yang tidak mereka ketahui. (Q,S Ya Sin [36]: 36). [4]
Sedangkan secara syariat berarti sebuah akad yang mengandung pembolehan bersenang-senang dengan perempuan, dengan berhuhbungan intim, menyentuh, mencium, memeluk, dan sebagainya, jika perempuan tersebut bukan termasuk mahram dari segi nasab, sesusuan, dan keluarga.[5]
Dalam UU RI No 01 tahun 1974 tentang perkawinan BAB I pasal 1 yang berbunyi: “Perkawinan ialah ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan ketuhanan Yang Maha Esa.[6]
Ada tiga macam golongan yang dikatakan beda agama, yaitu:
  1. Golongan yang tidak memiliki kitab samawi tidak pula yang serupa dengan kitab. Mereka adalah kalangan yang menyembah arca. Yaitu semacam patung yag diapahat dari kayu, batu, perak, permata, atau semacamnya. Adapun berhala, yaitu gambar yang tidak berfisik, seperti gambar yang dicetak pada kertas dan semacamnya. Ada yang berpendapat bahwasanya tidak ada perbedaan antara berhala dengan patung, karena keduanya merupakan sebutan bagi sesuatu yang dianggap tuhan selain Allah. Termasuk didalamnya matahari, bulan, bintang dan gambar-gambar yang mereka pandang baik. Mereka ini serupa dengan kaum yang murtad yang memungkiri hal-hal yang sudah lazim diketahui dalam agama Islam. Seperti kaum Rafidhah yang meyakini bahwa Jibril melakukan kekeliruan terkait wahyu, karena dia menyampaikan wahyu kepada Muhammad padahal Allah menyuruhnya agar menyampaikan kepada Ali. Atau meyakini bahwa Ali adalah tuhan, atau mendustakan sebagian ayat al-Qur’an hingga menyampaikan tuduhan keji terhadap Aisyah. Diantara para penyembah berhala ini adalah kaum Shabiah. Kaum Shabiah adalah kaum yang menyembah bintang-bintang.
  2. Golongan yang memiliki semacam kitab. Mereka adalah kaum Majusi yang menyembah api, maksud dari mereka memiliki semacam kitab bahwasannya ada kitab yang diturunkan kepada nabi mereka –Nabi Zaradash- namun kemudian mereka menyimpangkannya dan membunuh nabi mereka. Lalu Allah mengangkat kitab tersebut dari mereka. Mereka tidak boleh dinikahi berdasarkan pendapat 4 Imam Mazhab.
  3. Golongan yang memiliki kitab yang telah ditegaskan keberadaannya dan diimani. Seperti kaum Yahudi yang mengimani Taurat dan kaum Nasrani yang mengimani Taurat dan Injil. Mereka boleh dinikahi dalam arti bahwa orang beriman boleh menikahi wanita Ahli Kitab namun wanita muslimah tidak boleh menikah dengan laki-laki Ahli Kitab, sebagaimana wanita muslimah tidak boleh menikah dengan selain laki-laki muslim.
Dalilnya adalah firman Allah dalam Q.S. al-Baqarah [02]: 221:
(وَلَا تَنكِحُواْ ٱلۡمُشۡرِكَٰتِ حَتَّىٰ يُؤۡمِنَّۚ) (وَلَا تُنكِحُواْ ٱلۡمُشۡرِكِينَ حَتَّىٰ يُؤۡمِنُواْۚ)
Dua ayat ini merupakan dalil bahwasannya laki-laki muslim tidak boleh menikahi wanita musyrik dalam kondisi apapun, sebagaimana wanita muslimah tidak boleh menikah dengan laki-laki musyrik dalam kondisi apapun, kecuali setelah orang-orang musyrik itu beriman dan masuk Islam bersama umat Islam.
Namun Allah memberikan pengkhususan diantara mereka, yaitu wanita Ahli Kitab bagi laki-laki muslim, dalam firman-Nya:
 ٱلۡيَوۡمَ أُحِلَّ وَٱلۡمُحۡصَنَٰتُ مِنَ ٱلۡمُؤۡمِنَٰتِ وَٱلۡمُحۡصَنَٰتُ مِنَ ٱلَّذِينَ أُوتُواْ ٱلۡكِتَٰبَ مِن قَبۡلِكُم
Ayat ini bermakna bahwa wanita Ahli Kitab boleh dinikahi laki-laki muslim berdasarkan ketetapan syariat, meskipun wanita Ahli Kitab mengatakan bahwa Al-Masih adalah tuhan, atau meyakini konsep trinitas, dan ini adalah syirik yang jelas, namun Allah memperkenankan pernikahan dengan mereka karena memiliki kitab samawi.[7]
            Seorang muslim tidak boleh kawin dengan seorang perempuan musyrik. Yaitu perempuan yang menyembah Allah bersama tuhan yang lain seperti berhala, atau binatang-binatang atau api.
            Dan juga memiliki kondisi ini adalah perempuan atheis atau matrealis yaitu orang yang mempercai materi sebagai tuhan. Serta dia mengingkari keberadaan Allah dia juga tidak mengakui berbagai agama samawi. Penyebab bagi pengharaman mengawini perempuan musyrik dan perempuan yang sepertinya adalah tidak adanya keharmonisan, ketenangan, dan kerjasama diantara suami istri, karena perbedaan adalah akidah menimbulkan rasa gelisah dan ketidak tenangan, sehingga kehidupan rumah tangga yang seharusnya berdri dengan rasa sayang,kasih dan cinta tidak akan tercapai tujuannya.
            Kemudian ketiadaan rasa keimanan terhadap suatu agama membuat seseorang perempuan mudah untuk melakukan pengkhianatan rumah tangga, kerusakan, dan keburukan. Serta membuat hilang rasa amanah, ketulusan dan kebaikan dari dalam dirinya karena dia mempercayai takhayyul atau imajinasi serta dia terpengaruh dengan hawa nafsu, dan tabiat diri yang tidak etis. Karena tidak ada agama yang mengekangnya dan tidak ada yg mendorong dia untuk beriman kepada Allah, hari kiamat, hisab, dan kepada kebangkitan.[8]
Apakah kehalalan menikahi ahli kitab ini bersifat mutlak atau terikat dengan hukum makruh? Ini dijelaskan dalam pandangan masing-masing mazhab.
2.      Pendapat Ulama (رأي الفقهاء)
Ø  Mazhab Hanafi
Mereka mengatakan, bahwasannya pernikahan dengan wanita Ahli Kitab dilarang jika dia berada di negeri perang (Darul Harbi) yang tidak tunduk kepada hukum-hukum umat Islam, karena itu berarti membuka pintu bagi timbulnya fitnah. Sebab, wanita Ahli Kitab tersebut dapat mempengaruhi suaminya yang muslim hingga berperilaku sebagaimana perilakunya yang tidak dapat diterima Islam dan dapat memalingkan anaknya hingga memeluk agama selain agamanya, serta membuat dirinya tertekan hingga berakibat pada prahara yang tiada taranya, yaitu kehilangan pengaruhnya untuk menjaga kehormatan istrinya, dan kerusakan-kerusakan lainnya. Maka, meskipun akadnya dinyatakan sah, hanya saja melakukan pernikahan dengan wanita Ahli Kitab baginya merupakan tindakan-tindakan yang makruh tahrim (harus dihindari) karena berakibat pada berbagai kerusakan di kemudian hari.
Adapun jika wanita Ahli Kitab tersebut berada di negeri Islam (Dzimmiyah) dan tunduk terhadap perundang-undangan Islam, maka hukum pernikahannya adalah makruh tanzih (sebaiknya dihindari).
Ø  Mazhab Maliki
Diantara mereka ada 2 pendapat dalam hal ini.
Pendapat pertama menyatakan, bahwa menikahi wanita ahli kitab hukumnya makruh secara mutlak,baik wanita tersebut berada di negeri islam( Dzimmiyah)  maupun berada di negeri perang (Darul Harbi). Akan tetapi hukum makruh dinegeri perang lebih berat. Pendapat kedua menyatakan hukumnya tidak makruh secara mutlak, sebagai pengamalan terhadap makna eksplisit ayat, karena ayat memperkenankan wanita ahli kitab untuk dinikahi secara mutlak. Mereka berhujah atas hukum makruhnya di negeri islam karena wanita ahli kitab tidak dilarang minum khamer tidak pula makan babi dan dilarang pergi ke gereja, padahal dia sebagai suaminya yang muslim tidak boleh melakukan itu semua, sementara wanita ahli kitab yang menjadi istrinya memberi makan anak-anak dengan santapan seperti itu hingga mereka tumbuh dalam pelanggaran terhadap ajaran agama.
            Barangkali ada yang mengatakan, bahwa larangan-larangan ini adalah berarti di haramkan. Bagi madzhab maliki mendasarkan hal itu pada alasan sadu Dzara’I (langkah antisipasi untuk menutup pintu bahaya yang lebih besar). Jika pernikahan dengan wanita ahli kitab menimbulkan kerusakan-kerusakan, atau dikhawatirkan menimbulkan kerusakan-kerusakan, maka melaksanakan akad dengan haram hukumnya.
            Pendapat ini dapat disanggah, bahwa hal tersebut dapat dibenarkan jikalau tidak ada ketentuan berdasarkan teks syari’at (yang membolehkan). Adapun jikalau nyatanya Allah mempernekan pernikahan dengan wanita ahli kitab, maka tentunya dibalik semua itu ada maslahat terkait pembolehannya. Sebab bisa saja lantaran hubungan pernikahan dengan ahli kitab membawa maslahat bagi agama dan memuliakannya, atau menghindarkan berbagai permasalahan serta menghilangkan berbagai kebencian dan kedengkian.
             Wanita muslim tidak boleh menikah dengan laki-laki ahli kitab tidak lain karena wanita muslim meski bagaimanapun keadaan dirinya namun pada umumnya tidak berani menentang suaminya, akibatnya dia terancam pindah agama dan tidak mustahil anak-anaknya akan mengikuti bapak mereka, meskipun toleran terhadap hal-hal yang memperbaharui ikatan-ikatan sosial, islam tidak mungkin dapat mentolerir hal-hal yang mengakibatkaan seorang muslim keluar dari agamanya, atau menjadikan keturunannya memeluk agama selain islam. Namun sebenarnya Islam telah memperkenankan wanita ahli kitab untuk dinikahi laki-laki muslim, dan melarang laki-laki muslim memaksanya agar keluar dari agamanya.
Ø  Mazhab Asy-Syafi’i
            Mereka mengatakan, makruh hukumnya pernikahan dengan wanita ahli kitab jika dia berada di negeri Islam, dan hukum makruh ini semkain ditekankan jika dia berada dinegeri perang.
            Syarat pertama: laki-laki Muslim yang hendak menikahi tidak mengharapkan keislaman wanita ahli kitab yang hendak dinikahinya.
            Syarat kedua: ia bisa mendapatkan wanita muslim yang layak baginya.
            Syarat ketiga: jika tidak menikah dengan wanita ahli kitab tersebut maka dikhawatirkan ia akan berbuat zina.
            Jadi, jika laki-laki tersebut mengharapkan keislaman wanita ahli kitab yang dinikahinya, dan ia tidak mendapatkan wanita muslimah yang layak baginya, maka hukum baginya adalah sunnah untuk menikahinya. Demikian pula disunnahkan kepadanya untuk menikahi wanita ahli kitab yang layak baginya.sebagai pendamping hidupnya dalam rumah tangga yang diridhai, jika dia tidak menikahi ahli kitab tersebut dikhawatirkan dia akan melakukan perbuatan zina, sebagai antisipasi dari terjadinya perbuatan terlarang. Dari ulasan ini jelaslah bahwa masalahnya berkisar di balik maslahat dan mufsadat (kerusakan). Jika pernikahan dengannya memberikan maslahat maka pernikahannya terpuji. Dan jika menimbulkan mafsadat maka pernikahannya makruh.
Ø   Mazhab Hambali
            Mereka mengatakan, bahwa wanita ahli kitab boleh dinikahi tanpa hukum makruh berdasarkan keumuman firman Allah. “Dan (dihalalkan bagimu menikahi) perempuan-perempuan yang menjaga kehormatan diantar perempuan-perempuan yang beriman dan perempuan-perempuan yang menjaga kehormatan diantara orang-orang yang diberi kitab (ahli kitab) sebelum kamu”. (al- maidah : 5) yang dimaksud dengan perempuan-perempuan yang menjaga kehormatan adalah perempuan-perempuan merdeka.
            Terkait wanita ahli kitab, tidak ada syarat yang menetapkan bahwa kedua orang tuanya harus juga ahli kitab akan tetapi pernikahannya tetap dinyatakan sah meskipun bapaknya atau ibunya sebagai penyembah berhala, selama dia sendiri sebagai wanita ahli kitab.[9]
Ø  Sebagian Ulama
            Sebgaian ulama berpendapat bahwa kata al-musyrikat meliputi semua wanita musyrik, baik ia penyembah berhala, beragama Yahudi, maupun Nashrani.[10]
            Riwayat dari Syahr bin Hawasyib bahwasannya dia mendengar Abdullah bin Abbas berkata: “Rasulullah SAW melarang menikhai berbagai macam wanita kecuali wanita yang mu’minah dan yang berhijrah dan Rasulullah SAW melarang untuk menikahi wanita yang beragaman selain Islam.[11]
3.      Dalil Yang Digunakan (الدلائل)
            Dalil yang disepakati 4 Imam Mazhab untuk pengharaman menikahi wanita musyrik yaitu Q.S. al-Baqarah [02]: 221, yang berbunyi:
وَلَا تَنكِحُواْ ٱلۡمُشۡرِكَٰتِ حَتَّىٰ يُؤۡمِنَّۚ وَلَأَمَةٞ مُّؤۡمِنَةٌ خَيۡرٞ مِّن مُّشۡرِكَةٖ وَلَوۡ أَعۡجَبَتۡكُمۡۗ وَلَا تُنكِحُواْ ٱلۡمُشۡرِكِينَ حَتَّىٰ يُؤۡمِنُواْۚ وَلَعَبۡدٞ مُّؤۡمِنٌ خَيۡرٞ مِّن مُّشۡرِكٖ وَلَوۡ أَعۡجَبَكُمۡۗ أُوْلَٰٓئِكَ يَدۡعُونَ إِلَى ٱلنَّارِۖ وَٱللَّهُ يَدۡعُوٓاْ إِلَى ٱلۡجَنَّةِ وَٱلۡمَغۡفِرَةِ بِإِذۡنِهِۦۖ وَيُبَيِّنُ ءَايَٰتِهِۦ لِلنَّاسِ لَعَلَّهُمۡ يَتَذَكَّرُونَ ٢٢١
221. Dan janganlah kamu menikahi wanita-wanita musyrik, sebelum mereka beriman. Sesungguhnya wanita budak yang mukmin lebih baik dari wanita musyrik, walaupun dia menarik hatimu. Dan janganlah kamu menikahkan orang-orang musyrik (dengan wanita-wanita mukmin) sebelum mereka beriman. Sesungguhnya budak yang mukmin lebih baik dari orang musyrik, walaupun dia menarik hatimu. Mereka mengajak ke neraka, sedang Allah mengajak ke surga dan ampunan dengan izin-Nya. Dan Allah menerangkan ayat-ayat-Nya (perintah-perintah-Nya) kepada manusia supaya mereka mengambil pelajaran.
            Dan dalil yang disepakati 4 Imam Mazhab untuk kebolehan menikahi perempuan ahli kitab yaitu Q.S. al-Maidah [05]: 05, yang berbunyi:
ٱلۡيَوۡمَ أُحِلَّ لَكُمُ ٱلطَّيِّبَٰتُۖ وَطَعَامُ ٱلَّذِينَ أُوتُواْ ٱلۡكِتَٰبَ حِلّٞ لَّكُمۡ وَطَعَامُكُمۡ حِلّٞ لَّهُمۡۖ وَٱلۡمُحۡصَنَٰتُ مِنَ ٱلۡمُؤۡمِنَٰتِ وَٱلۡمُحۡصَنَٰتُ مِنَ ٱلَّذِينَ أُوتُواْ ٱلۡكِتَٰبَ مِن قَبۡلِكُمۡ إِذَآ ءَاتَيۡتُمُوهُنَّ أُجُورَهُنَّ مُحۡصِنِينَ غَيۡرَ مُسَٰفِحِينَ وَلَا مُتَّخِذِيٓ أَخۡدَانٖۗ وَمَن يَكۡفُرۡ بِٱلۡإِيمَٰنِ فَقَدۡ حَبِطَ عَمَلُهُۥ وَهُوَ فِي ٱلۡأٓخِرَةِ مِنَ ٱلۡخَٰسِرِينَ ٥
5. Pada hari ini dihalalkan bagimu yang baik-baik. Makanan (sembelihan) orang-orang yang diberi Al Kitab itu halal bagimu, dan makanan kamu halal (pula) bagi mereka. (Dan dihalalkan mangawini) wanita yang menjaga kehormatan diantara wanita-wanita yang beriman dan wanita-wanita yang menjaga kehormatan di antara orang-orang yang diberi Al Kitab sebelum kamu, bila kamu telah membayar mas kawin mereka dengan maksud menikahinya, tidak dengan maksud berzina dan tidak (pula) menjadikannya gundik-gundik. Barangsiapa yang kafir sesudah beriman (tidak menerima hukum-hukum Islam) maka hapuslah amalannya dan ia di hari kiamat termasuk orang-orang merugi.
4.      Penyebab Perbedaan Pendapat (سبب الخلاف)
            Sebagian ulama yang tidak membolehkan perkawinan beda agama baik musyrik maupun ahli kitab beralasan bahwa tidak adanya dalil yang menasakhkan atau mengkhususkan makna yang umum ini. Jadi, semua wanita tersebut haram dinikahi oleh lelaki Muslim.[12]
            Dan juga ada suatu riwayat yang menjelaskan bahwa Ibnu Umar ketika ditanya tentang seorang laki-laki yang menikahi wanita Nashrani atau Yahudi, maka ia menjawab: “Allah mengharamkan perempuan-perempuan musyrikah (dikawini) orang-orang Islam dan aku tidak melihat kesyirikan yang lebih besar dari seorang perempuan yang berkata: Isa adalah Tuhan atau Tuhannya adalah seorang manusia hamba Allah.[13]
            Dalam sebuah riwayat Umar bin Khattab berpendapat bahwa wanita ahli kitab haram dinikahi, dan dia pun telah memisahkan antara Thalhah bin Ubaidillah dan istrinya yang Ahlil Kitab serta antara Hudzaifah bin Yaman dan istrinya yang juga Ahli Kitab.[14]
            Jumhur Ulama yang membolehkan menikah dengan perempuan ahli ktab sekalipun hukumnya makruh beralasan bahwa berbeda yang dimaksud dengan musyrik dan ahli kitab, sebagaimana firman Allah SWT dalam Q.S. al-Baqarah ayat 105, yang berbunyi:
مَّا يَوَدُّ ٱلَّذِينَ كَفَرُواْ مِنۡ أَهۡلِ ٱلۡكِتَٰبِ وَلَا ٱلۡمُشۡرِكِينَ ….
105. Orang-orang kafir dari Ahli Kitab dan orang-orang musyrik tiada menginginkan diturunkannya sesuatu kebaikan kepadamu dari Tuhanmu. ….
 Disini Allah meng’athafkan lafal “musyrikin” kepada lafal “ahli kitab”, sedang ‘athaf berfungsi menghubungkan antara dua kata atau dua kalimat yang berlainan, maka secara dzahiriah, lafal “musyrikat” tidak dapat mencakup “kitabiyyat”.[15]
5.      Perdebatan Dalil (مناقشة الادلة)
            Salah satu qaul Imam asy-Syafi’I berpendapat bahwa lafaz ayat ini (al-Baqarah [02]: 221) bersifat umum sehingga mencangkup wanita kafir, namun yang dimaksud adalah makna yang khusus, yaitu wanita-wanita Ahlul Kitab. Makna yang khusus ini dijelaskan dalam Q.S. al-Maidah, sedangkan yang umum sama seklai tidak mencakup wanita ahlul kitab. Jika berdasarkan kepada pendapat ini, mereka tercakup oleh lafaz yang umum, kemudian dalam surah al-Maidah itu menasakh sebagian dari makna umum tersebut.[16]
            Jumhur ulama beralasan bahwa ayat dalam Q.S. al-Baqarah ayat 221 ini tidak menasakh ayat dalam surat al-Maidah ayat 5, karena ayat dalam surah al-Baqarah adalah permulaan ayat-ayat yang turun di Madinah sedang surat al-Maidah ayat-ayat terakhir yang turun di Madinah, padahal menurut kaidahnyam yang akhir itu yang menasakh (ayat) yang lebih dahulu turunnya bukan sebaliknya.
            Dan untuk riwayat yang meriwayatkan Umar bin Khattab mengirim surat kepada Hudzaifah agar menceraikan istrinya yang beragama Yahudi, dan Hudzaifah membalas suratnya seraya berkata: “Apakah engkau mengira bahwa mengawininnya itu haram lalu engkau menyuruhku melepaskannya? Umar menjawab: “Aku tidak menganggap haram, tetapi aku khawatir engkau mengawini perempuan pelacur dari kalangan mereka”. Ini menunjukkan apa yang dikatakn Umar itu sifatnya hanya bentuk kehati-hatian, tidak berarti ia beranggapan bahwa menikahi perempuan Ahli Kitab hukumnya haram.[17]
            Adapun hadis Ibnu Umar, hal in tidak dapat dijadikan sebagai dalil. Sebab Ibnu Umar adalah orang yang bersikap tawaquf (menangguhkan atau abstain). Ketika dia menduga dua ayat dimana salah satunya menyatakan halal, sedangkan yang lainnya menyatakan haram, sementara dia tidak mendengar adanya nasakh, maka dia pun bersikap tawaquf. Dari Ibnu Umar sendiri tidak diriwayatkan adanya nasakh, melainkan hanya takwil ayat. Sedangkan ayat yang menasakh dan dinasakh itu tidak dapat ditakwil.[18]
6.      Pendapat Yang Terpilih (رأي المختار)
            Pendapat yang rajih lagi terpilih menurut kami yaitu pendapat jumhur ulama yang mengharamkan pernikahan dengan orang musyrik dan membolehkan menikahi ahli kitab.
            Melihat pembahasan tersebut, maka kami melihat perkawinan beda agama ini bagaimanakah hukumnya di Indonesia?
            Berdasarkan Kompilasi Hukum Islam pasal 40 poin c dikatakan bahwa: “Dilarang melangsungkann perkawinan antara seorang pria dengan seorang wanita karena keadaan tertentu yaitu: c. wanita yang tidak beragama Islam.[19]
            Di Indonesia berdasarkan FATWA MAJELIS ULAMA INDONESIA Nomor : 4/MUNAS VII/MUI/8/2005 Tentang PERKAWINAN BEDA AGAMA, meneteapkan dan memutuskan bahwa:
1. Perkawinan beda agama adalah haram dan tidak sah.
2. Perkawinan laki-laki muslim dengan wanita Ahlu Kitab, menurut qaul mu’tamad, adalah haram dan tidak sah.
            Maka dapat disimpulkan bahwa pernikahan beda agama di Indonesia adalah haram/dilarang.


BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan

-        Pernikahan beda agama adalah pernikahan yang dijalankan oleh orang Muslim dengan orang non-Muslim baik musyrik, majusi atau ahli kitab.
-        Ulama Mazhab berpendapat pernikahan beda agama adalah boleh dan hukumnya makruh sedangkan sebagian ulama mengharamkannya.
-        Dalil yang digunakan para ulama adalah Q.S. al-Baqarah ayat 221 dan Q.S. al-Maidah ayat 5.
-        Sebab perbedaan pendapat adalah bedanya pendapat apakah ayat al-Baqarah itu dinasakh atau tidak dan juga ada hadis yang diriwayatkan kepada Umar bin Khattab dan juga perkataan Ibnu Umar.
-        Dalil yang kuat dan rajih adalah pendapat jumhur ulama sebagaimana dijelaskan pada pembahasan diatas
-        Di Indonesia perkawinan beda agama dilarang berdasarkan Kompilasi Hukum Islam pasal 40 poin c, dan juga berdasarkan fatwa MUI.



 



DAFTAR PUSTAKA

Abdurrahman. 2010. Kompilasi Hukum Islam. Jakarta: Akademika Pressindo.
Ghozali, Abdul Rahman. 2012. Fiqh Munakahat. Jakarta: Kencana.
Ibnu Katsir, Imaduddin Abil Fada’ Islma’il bin Umar. 2013. Tafsir al-Qur’an al-   ‘Adzim. Beirut: Dar al-Kotob al-Ilmiyah.
Jaziri, Al, Abdurrahman. 2015. al-Fiqh ‘ala Madzahib al-Arba’ah. Kairo: Dar al-  Taufiqiyah al-Tursi.
Qurthuby, Al, Abdullah Muhammad bin Ahmad al-Anshori. 2010. al-Jami’ li        Ahkam al-Qur’an. Kairo: Dar el-Hadith.
Shabuny, Al, ‘Aly. 2016. Rawa’I’u al-Bayan Tafsir Ayat al-Ahkam min al-Qur’an,           Terj: Ahmad Dzulfikar dkk. Depok: Keira.
Shihab, M. Quraisy. 2004. Wawasan Al Quran. Bandung: Mizan.
Syaltut, Mahmud. 1998. Islam Akidah dan Syari’ah, Terj. Ir Abdurrahman Zain,   Jakarta: Pustaka Amani.
Yanggo, Huzaemah Tahido. 2005. Masail Fiqhiyah. Bandung: Angkasa.
Zuhaili, Al, Wahbah. 2007. Fiqh Islam wa Adillatuhu, Terj. Abdul Hayyie al-        Kattani dkk. Depok: Gema Insani.
Zuhaily, Al, Wahbah. 2003. al-Tafsir al-Munir fi al-‘Aqidah wa al-Syari’ah wa al-           Minhaj. Beirut: Dar al-Fikr.


                [1] Huzaemah Tahido Yanggo, Masail Fiqhiyah (Bandung: Angkasa, 2005), h. 133
                [2] Mahmud Syaltut, Islam Akidah dan Syari’ah, Terj. Ir Abdurrahman Zain, Sunt. Ainul Ghoerry Soechaimi (Jakarta: Pustaka Amani, 1998), h. 206
                [3] Wahbah Al Zuhaili, Fiqh Islam wa Adillatuhu, Terj. Abdul Hayyie al-Kattani dkk, (Depok: Gema Insani, 2007), jilid 9, h.20. Lihat juga Abdul Rahman Ghozali, Fiqh Munakahat, (Jakarta: Kencana, 2012), h.7.
                [4] M. Quraisy Shihab, Wawasan Al Quran, (Bandung: Mizan, 2004) h. 253
                [5] Wahbah Al Zuhaili, Fiqh Islam wa Adillatuhu, Terj. Abdul Hayyie al-Kattani dkk, jilid 9, h.20.
                [6] Redaksi Sinar Grafika, Undang-undang Pokok Perkawinan, (Jakarta: Sinar Grafika, 2006), h. 01
                [7] Abdurrahman al-Jaziri, al-Fiqh ‘ala Madzahib al-Arba’ah, (Kairo: Dar al-Taufiqiyah al-Tursi, 2015), Jilid 4, hlm. 67.
                [8] Wahbah Al Zuhaili, Fiqh Islam wa Adillatuhu, Terj. Abdul Hayyie al-Kattani dkk, jilid 9, h.147
                [9] Abdurrahman al-Jaziri, al-Fiqh ‘ala Madzahib al-Arba’ah, ilid 4, hlm. 67-68.
                [10] Wahbah al-Zuhaily, al-Tafsir al-Munir fi al-‘Aqidah wa al-Syari’ah wa al-Minhaj, (Beirut: Dar al-Fikr, 2003), Jilid 1, hlm 664
                [11] ‘Imaduddin Abil Fada’ Islma’il bin Umar bin Katsir, Tafsir al-Qur’an al-‘Adzim, (Beirut: Dar al-Kotob al-Ilmiyah, 2012), Jilid 1, hlm. 236.
                [12] Wahbah al-Zuhaily, al-Tafsir al-Munir fi al-‘Aqidah wa al-Syari’ah wa al-Minhaj, Jilid 1, hlm 664
                [13] Abdullah Muhammad bin Ahmad al-Anshiri al-Qurthuby, al-Jami’ li Ahkam al-Qur’an, (Kairo: Dar el-Hadith, 2010), Jilid 2, hlm. 62. Lihat juga ‘Aly al-Shabuny, Rawa’I’u al-Bayan Tafsir Ayat al-Ahkam min al-Qur’an, Terj: Ahmad Dzulfikar dkk, (Depok: Keira, 2016), Jilid 1, hlm. 290. Lihat juga ‘Imaduddin Abil Fada’ Islma’il bin Umar bin Katsir, Tafsir al-Qur’an al-‘Adzim, Jilid 1, hlm. 236. Dan lihat juga Wahbah al-Zuhaily, al-Tafsir al-Munir fi al-‘Aqidah wa al-Syari’ah wa al-Minhaj, Jilid 1, hlm 664. Lihat juga M. Quraisy Shihab, Wawasan Al Quran, hlm. 260.
                [14] Wahbah al-Zuhaily, al-Tafsir al-Munir fi al-‘Aqidah wa al-Syari’ah wa al-Minhaj, Jilid 1, hlm 664. Lihat juga ‘Imaduddin Abil Fada’ Islma’il bin Umar bin Katsir, Tafsir al-Qur’an al-‘Adzim, Jilid 1, hlm. 236.
                [15] ‘Aly al-Shabuny, Rawa’I’u al-Bayan Tafsir Ayat al-Ahkam min al-Qur’an, Terj: Ahmad Dzulfikar dkk, Jilid 1, hlm. 291.
                [16] Abdullah Muhammad bin Ahmad al-Anshiri al-Qurthuby, al-Jami’ li Ahkam al-Qur’an, Jilid 2, hlm. 63.
                [17] ‘Aly al-Shabuny, Rawa’I’u al-Bayan Tafsir Ayat al-Ahkam min al-Qur’an, Terj: Ahmad Dzulfikar dkk, Jilid 1, hlm. 291-291.
                [18] Abdullah Muhammad bin Ahmad al-Anshiri al-Qurthuby, al-Jami’ li Ahkam al-Qur’an, Jilid 2, hlm. 63.
                [19] Abdurrahman, Kompilasi Hukum Islam, (Jakarta: Akademika Pressindo, 2010), hlm. 122.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar