Rabu, 27 Maret 2019

Makalah Hukum Pidana: Wewenang Terhapusnya Penuntutan dan Menjalankan Pidana


BAB I
PENDAHULUAN
A.   Latar Belakang
          Pada beberapa kasus yang terjadi di masyarakat, ada istilah “gugurnya hak penuntutan” atau hapusnya hak penuntutan dan hapusnya pidana. Pembentuk undang-undang telah membuat sejumlah ketentuan yang bersifat khusus, baik dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana maupun di dalam perundang-undangan lainnya, di dalam keadaaan mana ketentuan-ketentuan pidana yang ada itu dianggap sebagai tidak dapat diberlakukan, hingga penuntut umum pun tidak dapat melakukan penuntutan terhadap seseorang pelaku yang telah dituduh melanggar ketentuan-ketentuan pidana tersebut, dan apabila penuntut umum telah melakukan penuntutan terhadap seseorang pelaku yang telah dituduh melanggar ketentuan-ketentuan pidana termaksud di atas, maka hakim pun tidak dapat mengadili pelaku tersebut, oleh karena di disitu terdapat sejumlah keadaan-keadaan yang telah membuat tindakan dari pelaku itu menjadi tidak bersifat melawan hukum ataupun yang telah membuat pelakunya itu menjadi tidak dapat dipersalahkan atas tindakan-tindakannya, karena pada diri pelaku tidak terdapat sesuatu unsur schuld.
            Keadaan-keadaan yang membuat penuntut umum tidak dapat melakukan suatu penuntutan terhadap seorang pelaku disebut ”vervolgingsuitsluitingsgroden” atau dasar-dasar yang meniadakan “penuntutan”  sedang keadaan- keadaan yang membuat hakim tidak dapat mengadili seseorang pelaku hingga ia pun tidak dapat menjatuhkan sesuatu hukuman terhadap pelaku tersebut disebut ”strafuitsluitingsgroden” atau “dasar-dasar yang meniadakan hukuman. Keadaan-keadaan khusus tersebutlah yang masih menjadi tanda tanya besar dalam kalangan masyarakat. Apa yang menjadi alasan atau dasar daripada tindakan tersebut harus disampaikan dengan jelas kepada masyarakat. Oleh karena itu, dalam makalah ini akan dibahas mengenai alasan atau dasar dari penghapusan penuntutan dan alasan atau dasar dari penghapusan pidana.

B.    Rumusan Masalah
1.      Apa saja alasan yang dapat menyebabkan terhapusnya wewenang penuntutan pidana?
2.      Apa saja alasan yang dapat menyebabkan terhapusnya menjalankan pidana?
C.   Tujuan Penulisan
            Adapun tujuan dari penulisan makalah ini adalah mencoba untuk memberikan informasi kepada rekan-rekan kami pada khususnya dan kepada masyarakat pada umumnya tentang penghapusan wewenang penuntutan pidana dan menjalankan pidana.














BAB II
PEMBAHASAN
1.      Alasan Hapusnya Kewenangan Penuntutan Pidana
            Seseorang yang telah melakukan perbuatan pidana pada dasarnya dapat dituntut di muka pengadilan untuk diadili, dan jika dalam persidangan dapat dibuktikan perbuatan pidana yang dituduhkan kepadanya, maka akan diputuskan bersalah untuk dapat dijatuhkan pidana sesuai dengan ancaman pidana dari peraturan pidana yang dilanggar. Namun demikian, dalam kenyataan hukum tidak selalu demikian adanya, karena terdapat hal-hal yang menurut hukum hak untuk melakukan penuntutan pidana menjadi gugur. Dasar aturan hak untuk melakukan penuntutan pidana diadakan dengan maksud agar tercipta kepastian hukum bagi seseorang, sehingga terhindar dari keadaan tidak pasti atau tidak menentu dalam menghadapi penuntutan pidana.
            Di dalam KUHP terdapat empat hal yang dapat menggugurkan penuntutan pidana, yaitu ne bis in idem, terdakwa meninggal dunia, daluwarsa, dan penyelesaian perkara di luar pengadilan.[1] Untuk lebih memahami lebih dalam hal yang dapat menggugurkan penuntutan pidana kami uraikan sebagai berikut:
1.      Ne Bis In Idem
            Ne Bis in Idem berasal dari bahasa latin yang berarti tidak atau jangan dua kali yang sama. Dalam kamus hukum, Ne Bis In Idem artinya suatu perkara yang sama tidak boleh lebih dari satu kali diajukan untuk diputuskan oleh pengadilan.[2] Azaz ini dalam peraturan perundang-undangan dinegara kita diatur dalam pasal 76 KUHP yang berbunyi:
(1) Kecuali dalam hal putusan hakim masih mungkin diulangi, orang tidak boleh dituntut dua kali karena perbuatan yang oleh hakim Indonesia terhadap dirinya telah diadili dengan putusan yang menjadi tetap. Dalam artian hakim Indonesia, termasuk juga hakim pengadilan swapraja dan adat, di tempat-tempat yang mempunyai pengadilan-pengadilan tersebut.
(2) Jika putusan yang menjadi tetap itu berasal dari hakim lain, maka terhadap orang itu dan karena tindak pidana itu pula, tidak boleh diadakan penuntutan dalam hal: 1. Putusan berupa pembebasan dari tuduhan atau lepas dari tuntutan hukum;
2. Putusan berupa pemidanaan dan telah dijalani seluruhnya atau telah diberi ampun atau wewenang untuk menjalankannya telah hapus karena daluwarsa.[3]
Ketentuan pasal ini dimaksudkan guna memberikan kepastian kepada masyarakat maupun kepada setiap individu agar menghormati putusan tersebut. Prinsip yang dimuat dalam Pasal 76 KUHP tersebut dikenal dengan ne bis in idem, yang artinya tidak boleh suatu perkara yang sama yang sudah diputus, diperiksa, dan diputus lagi untuk kedua kalinya oleh pengadilan.[4]
Dasar pemikiran pasal 76 KUHP adalah sebagai berikut :
a.       Untuk menjaga kewibawaan pengadilan alat perlengkapan negara. Pengadilan harus memiliki kewibawaan, tanpa memiliki kewibawaan akan menimbulkan pelecehan hukum. Begitu juga masyarakat dan pemerintah sendiri harus menaruh kepercayaan dan menghormati segala putusan pengadilan. Pemeriksaan terhadap perkara yang sama dan perbuatan yang sama oleh pengadilan yang dilakukan berulang kali sebagai perkara baru akan menyebabkan kemerosoran kewibawaan dan kepercayaan masyarakat terhadap keberadaan pengadilan. Hilangnya kewibawaan pengadilan dan merosotnya kepercayaan masyarakat terhadap pengadilan dan menyebabkan kemerosotan kewibawaan pemerintah. Pemeriksaan perkara karena adanya verzet (perlawanan), banding, kasasi maupun peninjauan kembali, bukan merupakan pemeriksaan yang berulang-ulang sebagai mana dimaksud dalam pasal 76 KUHP tetapi merupakan kelanjutan pemeriksaan dari pada pemeriksaan pertama. Adanya lembaga verzet, banding, kasasi, maupun peninjauan kembali (herzining) hanya merupakan sarana dan alat untuk memeriksa dan memperbaiki keputusan terdahulu.
b.      Untuk menciptakan rasa kepastian hukum bagi terdakwa yang telah mendapatkan keputusan pengadilan atas perbuatannya. Pikiran seseorang telah mendapatkan keputusan pengadilan yang telah mempunyai ketentuan hukum tetap, tidak boleh selalu diganggu atau diombang ambingkan karena perkaranya disidangkan lagi (Nemo De Bet Bis Vaxari) tidak seorangpun atas perbuatannya diwajibkan diganggu untuk kedua kali seseorang dapat bebas dari penuntutan untuk kedua kali berdasarkan azas Ne Bis In Idem pasal 76 KUHP apabila memenuhi persyaratan sebagai berikut :
1.      Adanya keputusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan yang hukum tetap terhadap tindak pidana yang sama.
2.      Putusan itu dijatuhkan terhadap orang yang sama.
3.      Perbuatan yang dilakukan tersangka atau terdakwa sama.
Dalam teks pasal 76 KUHP dalam bahasa Belanda disebut gewijsde yang berarti keputusan hakim yang berkekuatan hukum tetap dan sudah tidak ada alat hukum lagi (rechsmiddle) yang dapat dipakai untuk merubah keputusan tersebut. Jadi sudah tidak ada cara lagi, untuk melakukan upaya hukum lagi, baik berupa verzet maupun kasasi ataupun peninjauan kembali.[5]
Dahulu, pada Reglemen Indonesia yang Diperbarui (RIB/HIR) dipergunakan istilah “adanya suatu putusan yang tidak dapat diubah lagi”. Setelah berlakunya KUHAP (Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981), istilah tersebut menjadi “adanya suatu putusan yang telah berkekuatan hukum tetap”.
Apabila putusan telah berkekuatan hukum tetap, upaya hukum tidak dapat digunakan lagi. Putusan yang telah berkekuatan hukum tetap tersebut, dapat berupa:
a.       Putusan bebas;
b.      Putusan lepas dari segala tuntutan hukum;
c.       Putusan tidak dapat menerima tuntutan penuntut umum;
d.      Putusan pemidanaan.[6]
            Adapun penjelasan dari putusan yang berkekuatan hukum kami uraikan sebagai berikut:
A.    Putusan Bebas
Putusan bebas dapat dijatuhkan oleh hakim sebagai mana diatur dalam pasal 191 ayat (1) KUHAP yang berbunyi : « jika pengadilan berpendapat bahwa dari hasil pemeriksaan disidang, kesalahan terdakwa atas perbuatan yang didakwakan kepadanya tidak terbukti secara sah dan meyakinkan maka terdakwa diputus bebas ».
Penjelasan pasal 191 ayat (1) menyebutkan, yang dimaksud dengan perbuatan yang didakwakan kepadanya tidak terbukti sah dan meyakinkan adalah tidak cukup bukti menurut penilaian hakim atas dasar pembuktian dengan mengguanakan alat bukti yang sah. Dengan demikian putusan bebas adalah putusan yang dinilai menurut hakim sebagai berikut :
a.       Putusan tersebut tidak memenuhi azas pembuktian menurut undang-undang secara negatif (negative wettelijk). Hasil pembuktian yang diperoleh di persidangan tidak cukup dibuktikan kesalahan terdakwa dan hakim tidak yakin atas kesalahan terdakwa.
b.      Tidak memenuhi azas hukum pembuktian.
Dalam hal ini minimum pembuktian yang disyaratkan oleh undang-undang tidak dipenuhi misalnya hanya ada satu alat bukti saja. Sedangkan pasal 183 KUHAP menentukan untuk membuktikan apakah terdakwa bersalah atau tidak bersalah sekurang-kurangnya harus ada 2 alat bukti yang sah.
            Putusan bebas pada umumnya terjadi karena penilaian dan pendapat hakim. Sebagai berikut :
a.       Kesalahan terdakwa sama sekali tidak terbukti. Semua alat bukti yang dijatuhkan oleh penuntut umum persidangan tidak dapat membuktikan bahwa terdakwa bersalah. Berarti disini perbuatan terdakwa tidak terbukti secara sah dan meyakinkan karena hakim berpendapat bahwa semua alat bukti diajukan dipersidangan tidak dapat membuktikan kesalahan terdakwa.
b.      Pembuktian kesalahan terdakwa tidak memenuhi batas minimum pembuktian sebagaimana disyaratkan pasal 183 KUHAP.
c.       Hakim tidak yakin atas kesalahan terdakwa, meskipun kesalahan terdakwa dinilai cukup terbukti.
            Menurut Wirjono Prodjodikoro, ketiadaan bukti ada 2 macam yaitu :
1.      Ketiadaan bukti yang oleh undang-undang ditetapkan sebagai minim bukti yaitu adanya pengakuan terdakwa saja atau adanya satu petunjuk saja tidak dikuatkan oleh alat bukti lain.
2.      Minimum pembuktian yang ditetapkan undang-undang telah terpenuhi, misalnya sudah ada 2 orang saksi atau 2 petunjuk atau lebih tetapi hakim tidak yakin atas kesalahan terdakwa.
            Menurut Martiman Prodjohamidjojo, masih ada satu kemungkinan yang dapat ditambahkan, bukan dari segi ketiadaan alat bukti, tetapi dari segi lain yakni kesalahan atau schuld yang mempunyai pengertian bertalian dengan pertanggung jawaban pidana.
            Bila unsur schuld dalam bentuk dolus atau culpa tidak dibuktikan, berarti terdakwa tidak ada kesalahan, maka terdakwa harus dibebaskan.
B.     Putusan Pelepasan Dari Segala Tuntutan Hukum (onstslag van alle rechtsvervolging)
Putusan lepas dari segala tuntutan hukum dalam KUHAP diatur dalam pasal 191 ayat (2) yang berbunyi : »Jika pengadilan berpendapat bahwa perbuatan yang didakwakan kepada terdakwa terbukti, tetapi perbuatan itu tidak merupakan suatu tindak pidana maka terdakwa diputus lepas dari segala tuntutan hukum ».
Menurut Malikul Adil, pembebasan yang tidak menurut pasal 191 ayat (2) KUHAP, dinamakan pembebeasan yang tidak sebenarnya. Putusan lepas dari segala sesuatu tuntutan hukum berdasarkan bahwa apa yang didakwakan kepada terdakwa terbukti secara sah, tapi hakim berpendapat bahwa perbuatan yang didakwakan tidak merupakan tindak pidana.
Putusan pelepasan dari segala tuntutan hukum dapat diartikan dalam dua arti, yaitu dalam arti sempit dan arti luas.
a.       Pelepasan dari segala tuntutan hukum dalam arti luas, disini termasuk pembebasan yang sebenarnya merupakan pelepasan dari segala tuntutan hukum, tetapi karena telah disebut sebagai pembebasan, maka disebut pelepasan dari segala tuntutan hukum yang bersifat tertutup. Pembebasan yang hakikatnya pelepasan dari segala tuntutan hukum (ontslag van alle vervolging), dipakai :
1.      Bila perbuatan yang didakwakan tidak merupakan tindak pidana, didalamnya termasuk :
·         Bila perbuatan yang didakwakan tidak mengandung segala unsur yang dikehendaki oleh undang-undang. Misalnya pasal 338 KUHP tidak disebut unsur sengaja dalam surat dakwaan.
·         Bila perbuatan itu kehilangan sifat melawan hukumnya perbuatan. Misalnya bila perbuatan itu dilakukan untuk membela diri menurut syarat undang-undang pasal 49 KUHP.
2.      Bila terdakwa, walaupun perbuatan yang didakwakan merupakan tindak pidana, tetapi tidak dapat dipersalahkan kepadanya, termasuk hal-hal yang merupakan kekuasaan relatif tidak dapat diatasi dan keadaan jasmaniah yang tidak memungkinkan bertanggung jawab atas perbuatannya.
b.      Pelepasan dari ketentutan hukum dalam arti sempit (verkapte ontslag van rechsvervolging).
            Dalam hal ini jika hakim berpendapat unsur-unsur tindak pidana tidak terbukti, akan tetapi pendapatnya keliru karena salah satu unsur diartikan salah, tidak sesuai dengan maksud undang-undang. Disini hakim menggunakan kriteria objektif yang harus dituntut. Misalnya memberikan arti aliran listrik dalam surat dakwaan karena kata barang dalam unsur pasal 362 KUHP, secara objekti mengandung artitan aliran listrik.
            Dalam putusan pengadilan yang berisi pelepasan dari segala tuntutan hukum, apa yang didakwakan penuntut umum terbukti secara sah dan meyakinkan akan tetapi perbuatan yang terbukti tersebut tidak merupakan tindak pidana.
Putusan Mahkamah Agung tanggal 8 Januari tahun 1984 Reg. Nomor 3 PK/Pid/1982 menyatakan perbuatan yang didakwakan terbukti dengan sah dan meyakinkan akan tetapi perbuatan tersebut bukan merupakan kejahatan maupun pelanggaran. Alasan Mahkamah Agung memutuskan demikian adalah baik dan pengakuan terdakwa serta alat-alat bukti surat-surat dan saksi persidangan ternyata terdakwa terbukti membuat surat palsu tersebut tidak pernah digunakan sebagai bukti dalam perkara perdata Nomor 14 Tahun 1976, sehingga dengan demikian perbuatan terdakwa yang terbukti itu bukan merupakan kejahatan maupun pelanggaran pidana.
Putusan Mahkamah Agung Nomor 645/Pid/1982 bulan Agustus 1983 menyatakan perbuatan yang didakwakan dala dakwaan terbukti tetapi bukan merupakan kejahatan atau pelanggaran. Sebab apa yang didakwakan adalah hubungan suatu usaha dimana saksi membeli mobil kepada terdakwa yang termasuk bidanga perdata, penggunaan modal bukanlah sebagai penggelapan.

C.     Putusan Pengadilan Yang Berupa Pemidanaan

Keputusan pendilan yang berupa pemidanaan terhadap terdakwa diatur dalam pasal 193 ayat (3) KUHAP yang berbunyi : »Jika pengadilan berpendapat bahwa terdakwa bersalah melakukan tindak pidana yang didakwakan kepadanya, maka pengadilan menjatuhkan pidana ».
Jika hakim berpendapat dan menilai bahwa terdakwa terbukti secara sah dan meyakinkan telah melakukan tindak pidana dan dikuatkan sekurang-kurang nya dua alat bukti yang sah maka terdakwa dapat dijatuhi pidana.
Dalam hal putusan hakim berupa putusan pemidanaan, hakim ketua Majelis wajib memberitahukan kepada terdakwa tentang segala sesuatu yang menjadi haknya, yaitu :
a.       Hak untuk menolak segera atau menerima putusan
b.      Hak untuk mempelajari putusan sebelum menyatakan menerima atau menolak putusan, dalam tenggang waktu yang ditetapkan undang-undang. Hak ini biasa disebut dengan hak pikir-pikir.
c.       Hak untuk minta penangguhan pelaksanaan putusan dalam tenggang waktu yang ditetapkan oleh undang-undang untuk mengajukan grasi dalam hak terdakwa menerima putusan.
d.      Hak minta diperiksa perkaranya dalam tingkat banding dalam tenggang waktu yang ditetapkan oleh undang-undang dalam hal terdakwa menolak putusan pengadilan.
e.       Hak mencabut pernyataan sebagaimana dimaksud dalam huruf a diatas dalam tenggang waktu yang ditetapkan undang-undang (pasal 196 ayat (3) KUHAP). Putusan pengadilan yang berisi pemidanaan merupakan suatu perintah untuk menghukum terdakwa karena terbukti telah melakukan tindak pidana.
Disamping tiga jenis putusan pengadilan tersebut diatas yang kesemuanya berupa putusan akhir, bila dipandang perlu hakim berwenang memutuskan suatu perkara yang sedang diperiksa yang tidak mengandung penentuan terbukti atau tidak terbukti suatu tindak pidana dan kesalahan terdakwa. Keputusan macam itu biasa disebut dengan penetapan. Sedangkan penetapan hakim dapat berupa sebagai berikut :
a.       Putusan atau penetapan yang menyatakan tentang tidak berwenang atau berkompetennya pengadilan untuk memeriksa perkara yang bersangkutan.
b.      Keputusan atau penetapan tentang tidak diterimanya tuntutan penuntut umum karena terdakwa tidak melakukan tindak pidana
c.       Keputusan atau penetapan tidak diterimanya perkara karena penuntutan perkara sudah daluwarsa.
Penetapan hakim tersebut bukan merupakan keputusan akhir, oleh karena itu tidak menghalangi dilakukan pemeriksaan kembali atas perkara tersebut dan dalam hal ini pasal 76 tidak berlaku, artinya disini tidak ada ne bis in idem. Dengan demikian perkara tersebut tetap masih dapat dilakukan penuntutan oleh penuntut umum.
Adapun unsur-unsur dari pasal 76 KUHP (neb is in idem) adalah sebagai berikut :
1.      Adanya keputusan pengadilan yang mempunyai kekuatan hukum tetap
2.      Orangnya sama/ pelakunya sama
3.      Perbuatannya sama
            Bahwa unsur kedua dari pasal 76 adalah sama orangnya dan disebut dengan objective identiteit, dan unsur ketiga dari neb is in idem adalah adanya perbuatan yang sama yang disebut objective identiteit.
            Tentang pengertian perbuatan dalam ajaran ne bis in idem merupakan persoalan yang paling sukar dipecahkan, karena pengertian perbuatan (feit) mempunyai arti yang tidak pasti. Kesulitan arti dari pada perbuatan (feit) terletak dalam hal :
a.       Yang berhubungan dengan concursus
     Mengenai concursus merupakan persoalan yang sukar, untuk menentukan apakah suatu kejadian merupakan concursus realis ( perbarengan perbuatan) atau concursus idealis (perbarengan peraturan). Bila perbuatan (feit) itu dipandang sebagai concursus realis, maka dapat dikatakan terdakwa melakukan beberapa perbuatan. Untuk itu dimungkinkan adanya beberapa kali penuntutan. Tetapi jika perbuatan itu dipandang sebagai concursus idealis, dimana hanya ada satu perbuatan saja, maka penuntutan yang kemudian atau belakangan tidak dapat dilakukan. Dengan demikian hanya dapat dilakukan penuntutan satu kali saja. Contoh : « A melakukan pemerkosaan dijalan umum terhadap seorang perempuan B yang sdah dewasa. Oleh penuntut umum A dituntut berdasarkan pasal 385 KUHP saja dan dibebaskan oleh hakim karena tidak terbukti adanya pemerkosaan, dan ternyata disidang pegadilan perbuatan A dan B adalah perbuatan suka sama suka. Kemudian A dituntut lagi oleh penuntut umum dengan dakwaan melanggar kesusilaan didepan umum (dijalan umum) berdasarkan pasal 281 KUHP. »
     Apakah tuntutan yang kedua berdasarkan pasal 281 (melanggar kesusilaan didepan umum) dapat dilakukan ? untuk menjawab pertanyaan ini kita harus melihat dahulu apakah perbuatan itu sebagai concursus realis ataukah concursus idealis. Kalau perbatan itu dipandang sebagai concursus realis, maka dapat dikatakan terdakwa melakukan beberapa perbuatan. Karena itu penuntutan yang kedua kalinya berdasarkan pasal 281 KUHP dapat dilakukan, tetapi bila perbuatan itu dipandang sebagai concursus idealis, dimana dipandang hanya ada satu perbuatan saja, maka tidak mungkin dilakukan penuntutan, yang berarti neb is in idem.
b.      Persoalan yang berhubungan dengan alternativitas
Didalam ajaran concursus, masalah yang kita hadapi adalah perbuatan yang berupa pelanggaran ini dan itu. Dalam persoalan alternativitas mengenai peaturan yang dilanggar, maka disitu hanya ada satu perbuatan saja. Penuntutan berdasarkan perbuatan yang satu menghalangi penuntutan yang lain. Bila mana tuntutan itu tidak berhasil karena dibebaskan atau dilepas dari segala tuntutan hukum, maka tidak dapat dituntut berdasarkan pasal yang lain.
Dalam hal ada alternativitas mengenai waktu, misalnya A dituntut karena melakukan penipuan terhadap B pada tanggal 1 Oktober 1993, tetapi dalam surat dakwaan penuntut umum dicantumkan 1 November 1993, akhirnya oleh pengadilan diputus bebas. Tetapi kemudian penuntut umum melakukan penuntutan lagi terhadap A dengan tanggal yang benar, maka disini ada neb is in idem. Begitu juga dalam hal ada alternativitas tentang tempat terjadinya tindak pidana (locus delictie).
c.       Persoalan perbuatan (feit) dalam telah ada tuntutan tetapi dalam surat dakwaan terdapat kelupaan suatu tindak pidana yang didakwakan.
Bila terdapat kekeliruan atau kekurangan dalam surat dakwaan baik mengenai waktu maupun mengenai unsur-unsur tindak pidananya, penuntut umum dapat melakukan penambahan atau perubahan surat dakwaan sebagaimana dimungkinkan oleh pasal 144 KUHAP yang berbunyi :
(1) Penuntut umum dapat mengubah surat dakwaan sebelum pengadilan menetapkan hari sidang, baik dengan tujuan untuk menyempurnakan maupun untuk tidak melanjutkan penuntutannya.
(2) Pengubahan surat dakwaan tersebut dapat dilakukan hanya satu kali selambat-lambatnya tujuh hari sebelum sidang dirnulai.
(3) Dalam hal penuntut umum mengubah surat dakwaan ia menyampaikan turunannya kepada tersangka atau penasihat hukum dan penyidik.
Dalam hal surat dakwaan dibatalkan oelh hakim, maka perkara tersebut masih dapat diajukan kepengadilan untuk dilakukan penuntutan. Tetapi apabila terdakwa dibebaskan sebagai akibatk dakwaan yang tidak sempurna dalam memuat unsur-unsur tindak pidananya, maka tidak dapat dilakukan penuntutan lagi. Berarti didalam hal yang demikian terdapat neb is in idem.[7]
Putusan-putusan di atas mengenai penjatuhan putusan tentang delik (pelanggaran pidana) yang telah didakwakan. Berbeda dengan keputusan atau pernyataan hakim dalam hal :
1)      Pengadilan tidak berkompeten (berkuasa) untuk mengadili;
2)      Pembatalan surat dakwaan;
3)      Tuntutan pidana tak dapat diterima.
            Penerapan ne bis in idem yang tepat dapat terlaksana jika pengertian “perbuatan” diterapkan dengan tepat.
            Pada penanganan suatu perkara, perlu dicermati apakah perbuatan tersangka atau terdakwa tersebut telah pernah diadili? Jika tersangka atau terdakwa pernah diadili, perlu dicermati lagi apakah perbuatannya concursus idealis atau concursus realis. Misalnya: “A telah dipidana berdasarkan putusan pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap dalam perbuatan pemerkosaan terhadap diri seorang perempuan bernama R. Akan tetapi, A belum pernah diadili oleh pengadilan atas perbuatannya memperkosa diri seorang perempuan bernama S. Dari contoh di atas, diharapkan agar aparat penegak hukum, khususnya penyidik, lebih cermat terhadap pengertian “perbuatan”.” [8]
2.      Terdakwa Meninggal Dunia
Ketika terdakwa meninggal dunia, maka hal itu dapat dijadikan dasar untuk menggugurkan penuntutan pidana. Penjatuhan suatu pidana harus ditujukan kepada pribadi orang yang melakukan perbuatan pidana. Apabila orang yang melakukan perbuatan pidana meninggal dunia, tidak ada lagi penuntutan bagi perbuatan yang dilakukannya. Jika orang itu meninggal dunia, maka penuntutan bagi perbuatan pidana kepadanya menjadi gugur, atau dengan kata lain, kewenangan menuntut pidana hapus jika terdakwa meninggal dunia.[9]
            Hal ini diatur dalam Pasal 77 KUHP yang berbunyi :“Hak menuntut hilang oleh karena meninggalnya si tersangka.”[10]
Sehubungan dengan kewenangan kejaksaan dalam bidang pidana melakukan penuntutan (pasal 27 ayat (1) huruf a KUHAP) dan KUHAP sendiri tidak memberlkam wewenang kepada penuntut umum melakukan penyidikan, maka timbul pertayaan sejak kapan timbul kewenangan penuntut umum untuk melakukan penuntutan terhadap perkara tindak pidana umum? Jawabnya adalah sejak penuntut umum menerima penyerahan tanggung jawab hukum atas tersangka dan barang bukti dari penyidik kepada penuntut umum, proses penyelesaian perkara tersebut berarti ada pada tahap penyidikan yang dilakukan dan menjadi tanggung jawab yuridis menyidik. Sebab sebelum adanya penyerahan tanggung jawab hukum atas tersangka dan barang bukti dari penyidik kepada penuntut umum, proses penyelesaian perkara tersebut berarti ada pada tahap penyidikan yang dilakukan dan menjadi tanggung jawab yuridids penyidik. Jelas penuntut umum belum berwenang unutuk melakukan penuntutan atas perkara tersebut.
Penghentian penyidikan maupun pengehentian penuntutan karena tersangka atau terdakwa meninggal adalah suatu hal yang wajar karena untuk adanya penuntutan harus ada orang yang dapat dipertanggung jawabkan atas perbuatannnya. Sedangkan pertanggung jawaban pidana melekat pada sipembuat ( orang yang melakukan tindak pidana itu), jika orang yang harus dipertanggung jawabkan atas perbuatannya tidak ada karena meninggal dunia tentunya penyidikan atau penuntutannya harus dihentikan demi hukum.
            Putusan Mahkamah Agung nomor 29/K/Kr/1974 tanggal 19 Novemberr 1974 memutuskan:
            Hak untuk menentukan hukuman gugur karena tertuduh meninggal dunia, oleh kareana mana permohonan kasasi dari Jaksa dinyatakan tidak dapat diterima. Dalam pertimbangannya Mahkamah Agung menyatakan antara lain:
a.       Menimbang, bahwa berdasarkan surat keterangan kepala kampung Lampuk, Mukim Tungkop, Kecamatan Darusalam tanggal 21 Desember 1973, ternyata meninggal dunia tanggal 4 Desember  1973.
b.      Menimbang, bahwa menurut pasal 77 KUHP hak untuk menuntut hukuman gugur karena tertuduh meninggal dunia.
Putusan Mahkamah agung nomor 186 K/Kr/ 1979 tanggal 5 September 1979 memutuskan.
“Dalam hal terdakwa telah meninggal dunia (pada tahan pemeriksaan banding), Pengadilan Tinggi cukup mengeluarkan penetapan yang menyatakan tuntutan hukuman gugur atau tuntutan Jaksa tidak dapat diterima karena terdakwa meninggal dunia”.[11]
3.      Daluwarsa
      Latar belakang yang mendasari daluwarsa sebagai alasan yang menggugurkan penuntutan pidana adalah dikaitkan dengan kemampuan daya ingat manusia dan keadaan alam yang memungkinkan petunjuk alat bukti lenyap atau tidak memiliki nilai untuk hukum pembuktian. Daya ingat manusia baik sebagai terdakwa maupun sebagai saksi seringkali tidak mampu untuk menggambarkan kembali kejadian yang telah terjadi di masa lalu. Bahan pembuktian yang diperlukan dalam perkara semakin sulit dipertanggungjawabkan yang disebabkan oleh kerusakan dan lain-lain.
      Atas dasar hal itu, maka pembentuk undang-undang memilih suatu kebijakan yakni kewenangan untuk melakukan penuntutan pidana menjadi gugur karena alasan daluwarsa dengan tenggang waktu tertentu. Tenggang waktu tertentu yang menajdi alasan daluwarsa penuntutan dibedakan menurut jenis atau berat ringannya perbuatan pidana.[12]
Pasal 78 KUHP selengkapnya berbunyi :
(1)   Kewenangan menuntut pidana hapus karena daluwarsa:
a.       mengenai semua pelanggaran dan kejahatan yang dilakukan dengan percetakan sesudah satu tahun;
b.      mengenai kejahatan yang diancam dengan pidana denda, pidana kurungan, atau pidana penjara paling lama tiga tahun, sesudah enam tahun;
c.       mengenai kejahatan yang diancam dengan pidana penjara lebih dari tiga tahun, sesudah dua belas tahun;
d.      mengenai kejahatan yang diancam dengan pidana mati atau pidana penjara seumur hidup, sesudah delapan belas tahun
(2)   Bagi orang yang pada saat melakukan perbuatan umurnya belum delapan belas tahun, masing-masing tenggang daluwarsa di atas dikurangi menjadi sepertiga.[13]
            Maksud pembentuk undang-undang adanya ketentuan-ketentuan tentang kadaluwarsa adalah:
  1. Bahwa perkara yang sudah sangat lama mungkin telah dilupakan orang, karena itu tidak perlu lagi dilakukan penuntutan
  2. Mungkin juga semua bukti-bukti dari perkara yang sudah lama itu, sudah banyak yang hilang atau kabur, saksi-saksinya pun sudah lupa atas kejadian yang sudah sekian lamanya itu.
            Ada segolongan orang berpendapat bahwa dengan adanya ketentuan tentang kedaluwarsa itu, menyebabkan penguasa mengabaikan salah satu kewajibannya, yaitu menegakkan keadilan dengan mengadakan koreksi terhadap yang berbuat salah. Senada dengan pendapat tersebut hazeminkel suringah menganggap bahwa tentunya juga puniendi (hak menghukum) sebagai hak negara untuk menghukum pelaku tindak pidana, tidak dapat hilang setelah lampau tenggang waktu tertentu. Van feurbach seorang tokoh hukum pidana, menganggap tidak ada alasan sama sekali untuk mengadakan daluwarsa dalam hukum pidana. Van hamei, tokoh dalam hukum pidana Belanda mengatakan daluwarsa tidak pada tempatnya bagi kejahatan-kejahatan yang besifat sangat berat dan bagi perbuatan-perbuatan penjahat prodesional.
            Saat mulai terjadinya daluwarsa (lewat waktu) menurut pasal 79 KUHP tenggang daluwarsa mulai berlaku pada hari sesudah tindak pidana dilakukan, kecuali dalam hal sebagai berikut:
1.      Mengenai pemalsuan atau pengrusakan mata uang, tenggang saat berlaku pada hari sesudah barang yang dipalsu atau mata uang yang dirusak digunakan.
2.      Mengenai kejahatan dalam pasal-pasal 328, 329, 330 dan 333 KUHP, tenggang waktu daluwarsa dimulai pada hari sesudah orang yang langsung terkena oleh kejahatan atau dibebaskan atau meninggal dunia
3.      Mengenai pelanggaran dalam pasal 556 sampai dengan 558 a, tenggang waktu daluwarsa dimulai pada hari sesudah daftar yang memuat pelanggaran-pelanggaran itu, menurut aturan-aturan umum dipindah ke kantor Panitra suatu Pengadilan, dipindah ke kantor tersebut.
            Bertitik tolak dari ketentuan pasal 78 KUHP timbul pertanyaan, kapan dimulainya daluwarsa? Apa sejak terdakwa mulai melakukan tindak pidana atau saat timbulnya akibat dari tindak pidana yang dilakukan? Mungkin juga dapat terjadi antara perbuatan pelaksanaan dengan akibat yang timbul terjadi memakan waktu yang lama.
            Wirjono prodjodikoro dan hazeminkel suringa berpendapat daluwarsa mulai pada hari sesudah hari akibat tindak pidana itu terjadi, pompe berpendapat bahwa tenggang daluwarsa dimulai pada perbuatan dilakukan.
Tenggang daluwarsa terhenti apabila ada tindakan penuntutan (pasal 80 ayat (1) KUHP).
            Pada mulanya tindakan penuntutan diartikan meliputi tindakan penyidikan yang dilakukan pejabat penyidik, tetapi kemudian dipersempit dengan tindakan-tindakan penuntut umum. Misalnya melakukan pemeriksaan tambahan baik pemeriksaan tambahan atas perintah hakim dalam pemeriksaan acara singkat maupun pemeriksaan tambahan karena penyidik tidak dapat memenuhi petunjuk penuntut umum dan penuntut umum melakukan pemeriksaan tambahan berdasarkan pasal 30 ayat (1) huruf e Undang-Undang Nomor 16 tahun 2004 tentang Kejaksaan Re[ublik Indonesia.
            Menurut Pasal 80 ayat (2) KUHP setelah penuntutan dihentikan maka mulai tenggang daluwarsa yang baru. Jadi selama ada penuntutan, tenggang daluwarsa tidak diperhitungkan.
            Tenggang daluwarsa penuntutan tertunda (tettangguhkan, apabila ada perselisihan prae judicial (pasal 81 KUHP)).
            Perselisihan prae judicial adalah perselisihan menurut hukum perdata yang berlebih dahulu harus diselesaikan sebelum penuntutan dapat diteruskan. Dalam hal ada penangguhan tenggang daluwarsa maka tenggang daluwarsa yang telah dilalui, sebelum diadakan penundaan daluwarsa, tetap diperhitungkan. Hanya saja  selama acara hukum perdata belum selesai, tenggang waktu daluwarsa tuntutan pidana ditangguhkan. Hal ini dimaksudkan agar terdakwa tidak diberi kesempatan untuk menunda-nunda penyelesaian perkara perdata dengan perhitungan dapat dipenuhi tenggang daluwarsa penuntutan pidana.
            Perbedaan terhentinya tenggang daluwarsa dengan penangguhan daluwarsa adalah sebagai berikut :
·         Dalam terhentinya daluwarsa sebagaimana ditentukan dalam pasal 80 KUHP adalah adanya penuntutan. Maka tenggang daluwarsa terhenti dan setelah penuntutan terhenti, baru mulai ada tenggang daluwarsa.
·         Dalam penangguhan daluwarsa sebagaimana ditentukan dalam pasal 81 KUHP, tenggang waktu daluwarsa sebelum adanya perselisihan prae judicial akan diperhitungkan apabila sudah ada putusan pengadilan tentang perkara perdatanya. Jadi terhenti sementara saja.
            Alasan daluwarsa untuk menjalani pidana diatur dalam pasal 84 KUHP yang berbunyi:
(1)   Kewenangan menjalankan pidana hapus karena lewat waktu;
(2)   Tenggang lewat waktu mengenai semua pelanggaran lamanya 2(dua) tahun, mengenai kejahatan yang dilakukan dengan sarana percetakan lamanya lima tahun, dan mengenai kejahatan-kejahatan yang lain lamanya sama dengan tenggang lewat waktu bagi penuntutan pidana, ditambah sepertiga.
(3)   Bagaimana juga, tenggang lewat waktu tidak boleh kurang dari lamanya pidana yang dijatuhkan.
(4)   Wewenang menjalankan pidana mati tidak lewat waktu.
       Pada ayat (3) pasal tersebut diatas disebutkan bahwa tenggang lewat waktu tidak boleh kurang dari lamanya pidana yang dijatuhkan, maka bagi seseorang dijatuhi pidana seumur hidup oleh pengadilan tidak ada waktu kadaluarsa untuk pelaksanaan putusan itu. Begitu juga dalam ayat (4), bahwa untuk pidana mati tidak mengenal adanya daluwarsa.
       Menurut pasal 85 ayat (1) KUHP tenggang waktu daluwarsa dihitung mulai keesokan harinya sesudah putusan pengadilan dapat dijalankan. Ini tidak selalu sama dengan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap.
          Pada umumnya putusan pengadilan dapat dijalankan. Ini tidak selalu sama dengan putusan pengadilan yang mempunyai kekuatan hukum tetap. Tetapi pada putusan pengadilan yang sudah dapat dieksekusi sebelum putusan itu mempunyai kekuatan hukum tetap, yaitu putusan di luar hadirnya terdakwa (verstek). Putusan verstek tersebut dilaksanakan setelah terdakwa memperoleh pemberitahuan bahwa ia diputus verstek.
          Terhadap putusan verstek itu masih dapat diadakan upaya hukum yaitu perlawanan (verzet), asal diajukan dalam tenggang waktu yang ditentukan oleh undang-undang, tenggang waktu ini mulai berlaku pada hari berikutnya hari terpidana mulai menjalankan pidana. Jika dalam tenggang waktu yang ditentukan oleh undang-undang terpidana menggunakan haknya mengajukan verzet (perlawanan) maka dengan sendirinya keputusan pengadilan itu gugur demi hukum.
          Jika terdakwa dikenakan pidana bersyarat oleh pengadilan, maka pidana itu baru dapat dilaksanakan apabila terpidana melanggar syarat-syarat yang ditentukan. Oleh karena itu terpidana diperintahkan untuk menjalani pidana. Tenggang waktu daluwarsa dimulai keesokan harinya setelah terpidana diperintah menjalani pidana itu. Artinya daluwarsa mulai dihitung keesokan harinya setelah pidana bersyarat itu dicabut. Dengan demikian maka berlaku daluwarsa baru. Begitu juga dalam hal terpidana melarikan diri dari penjara. Untuk jelasnya mari kita lihat pasal 85 ayat (2) KUHP yang berbunyi :
“Jika seorang terpidana melarikan diri selama menjalani pidana, maka pada esok harinya setelah melarikan diri itu mulai berlaku tenggang lewat waktu baru. Jika suatu pelepasan bersyarat dicabut, mulai berlaku tenggang lewat waktu baru”.
Penundaan terhadap daluwarsa (lewat waktu) untuk menjalani pidana dapat terjadi dalam dua hal yaitu :
a.       Selama ada perintah penghentian sementara untuk menjalani pidana menurut peraturan perundang-undangan. Misalnya dalam hal ada permohonan grasi (pasal 3 ayat (3) Undang-undang Grasi (Undang-Undang nomor 3 tahun 1950 tentang Permohonan Grasi)).
b.      Selama terpidana dirampas kemerdekaannya (berada dalam tahanan) meskipun karena adanya tindak pidana lain.
Hal tersebut diatur dalam pasal 85 ayat (3) KUHP yang berbunyi “Tenggang lewat waktu terdakwa selama perjalanan pidana ditunda menurut perintah dalam suatu peraturan umum, dan juga selama terpidana dirampas kemerdekaannya, meskipun perampasan kemerdekaan itu berhubung dengan pemidanaan lain”.[14]
            Berdasarkan ketentuan Pasal 78 ayat  (1) KUHP terdapat empat macam daluwarsa yang didasarkan pada sifat perbuatan pidana yang dilakukan, antara lain:
1.      Tenggang waktu bagi kejahatan atau pelanggaran yang dilakukan dengan percetakan adalah satu tahun;
2.      Tenggang waktu bagi kejahatan yang diancam pidana denda, kurungan atau penjara paling lama lima tahun adalah enam tahun;
3.      Tenggang waktu bagi kejahatan yang diancam dengan pidana penjara lebih dari tiga tahun adalah dua belas tahun;
4.      Tenggang waktu bagi kejahatan yang diancam dengan pidana penjara seumur hidup atau pidana mati adalah delapan belas tahun.[15]
4.      Penyelesaian Perkara di Luar Pengadilan
Ketentuan mengenai penyelesaian perkara di luar pengadilan sebagai alasan yang menggugurkan penuntutan pidana diatur di dalam Pasal 82 ayat (1) KUHP yang berbunyi:
“Kewenangan menuntut pelanggaran yang diancam dengan denda saja menjadi hapus, kalau dengan sukarela dibayar denda maksimum denda dan biaya-biaya yang telah dikeluarkan kalau penuntutan telah dimulai, atas kuasa pejabat yang ditunjuk untuk itu oleh aturan-aturan umum, dan dalam waktu yang ditetapkan olehnya.”.[16]
      Ketentuan Pasal 82 ayat (1) KUHP tersebut seringkali disebut lembaga penebusan (afkoop) atau lembaga hukum perdamaian (schikking) sebagai alasan yang menggugurkan penuntutan pidana hanya dimungkinkan pada perkara tertentu, yaitu perkara pelanggaran yang hanya diancam dengan pidana denda secara tunggal, pembayaran denda harus sebanyak maksimum ancaman pidana denda berserat biaya lain yang harus dikeluarkan, atau penebusan harga tafsiran bagi barang yang terkena perampasan, dan harus bersifat sukarela dari inisiatif terdakwa sendiri yang sudah cukup umum.[17]
      Ketentuan di atas secara rasional adalah hal yang logis demi efisiensi. Hal ini diatur demikian untuk memberi kepastian hukum bagi pelaku pelanggaran maupun bagi aparat penuntut.[18]
5.      Pembayaran Denda
            Pembayaran denda hanya dapat terjadi dalam hal pelanggaran yang hanya diancam dengan sanksi pidana denda saja. Jika maksimun denda yang diancamkan dibayar penuh oleh terdakwa, maka tidak melakukan pemungutan lagi (pasal 82 ayat (1) KUHP).
            Jika disamping hukuman denda, dikenakan juga hukuman tambahan berupa perampasan barang-barang, maka barang-barang tersebut harus diserahkan bersama-sama dengan pelaksanaan pembayaran denda atau pada saat itu juga hanya barang-barang yang disitu (dirampas) dibayar sekaligus (pasal 82 ayat (2) KUHP).
            Pembayaran denda itu tidak menghilangkan penambahan hukuman denda tambahan bila terjadi residivis (pasal 82 ayat (3) KUHP). Ketentuan pasal ini tidak berlaku terhadap orang yang belum dewasa, yang pada saat melakukan perbuatan itu belum berumur 16 (enambelas) tahun (pasal 82 ayat (4) KUHP).
            Ketentuan pembayaran denda maksimum untuk pelanggaran (pasal 82 KUHP) ini dikenal juga sebagai suatu lembaga yang disebut afkoop atau sering juga disebut schiking (perdamaian).

6.      Amnesti dan Abolisi
            Pasal 14 UUD 1945 menyatakan bahwa Presiden memberi grasi, amnesti, abolisi dan rehabilitasi. Dalam undang-undang nomor 11 tahun 1954 Lembarang Negara nomor 146 tahun 1954 menyebutkan, Presiden atas kepentingan negara, dapat memberikan amnesti dan abolisi kepada orang-orang yang melakukan  sesuatu tindak pidana dihapuskan dengan pemberian abolisi hanya dihapuskan penuntutan terhadap mereka.
            Amnesty adalah pengampunan dari Presiden yang menghapuskan semua akibat hukum pidana bagi orang-orang yang telah melakukan suatu tindak pidana. Abolisi adalah pengampunan dari Presiden yang dapat menghapuskan penuntutan kepada pelaku tindak pidana. Jadi Amnesti, dapat diberikan kepada seorang yang telah melakukan tindak pidana baik sebelum maupun sesudah adanya putusan pengadilan, sedangkan abolisi hanya dapat diberikan kepada pelaku tindak pidana sebelum ada putusan pengadilan, karena abolisi sifatnya hanya menghapuskan penuntutan.[19]
2.      Alasan Yang Menggugurkan Pelaksanaan Pidana
Selain hal-hal yang menggugurkan penuntutan pidana, KUHP juga mengatur mengenai hal-hal yang menggugurkan pelaksanaan pidana. Terhadap orang yang dinyatakan bersalah berdasarkan putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap, orang tersebut diwajibkan menjalankan atau melaksanakan hukuman atau pidana yang dijatuhkan padanya. Namun demikian, dalam hal tertentu orang pelaksanaan pidana yang harus dijalankan orang itu menjadi gugur.[20]
            Pada umumnya, setelah adanya putusan yang berkekuatan hukum tetap, jaksa pada kesempatan pertama akan melakukan eksekusi (Pasal 270 KUHAP). Akan tetapi, adakalanya jaksa tidak dapat melakukan eksekusi atau hak eksekusi telah habis sehingga putusan yang telah berkekuatan hukum tetap tidak dapat dilakukan untuk selama-lamanya.[21]
Alasan terpidana untuk tidak menjalani pidana yang telah dijatuhkan oleh pengadilan adalah merupakan penerapan hukum terhadap seorang yang telah dijatuhi sanksi pidana pada suatu saat harus dihentikan. Begitu juga karena pengaruh waktu dapat menghapuskan hasrat untuk menghukum.
            Hapusnya terpidana untuk menjalani pidana dapat disebabkan karena:
1.      Meninggalnya terpidana;
2.      Adanya waktu daluwarsa
3.      Pemberian amnesti dari Presiden;
4.      Pemberian grasi dari Presiden.[22]
            Untuk lebih memahami sebab hapusnya terpidana untuk menjalani pidana, kami uraikan sebagai berikut:
1.  Meninggalnya Terpidana
            Dalam hukum pidana terdapat suatu doktrin yang menyatakan bahwa hukuman atau pidana dijatuhkan semata-mata kepada pribadi terpidana, karenanya tidak dapat dibebankan kepada ahli warisnya.[23]
            Terhadap ketentuan di atas, dahulu ada pengecualian yang dimuat dalam Pasal 368 HIR yang berbunyi sebagai berikut.
“Jika orang yang melakukan pelanggaran pidana telah meninggal setelah putusan hakim yang tidak dapat diubah lagi, maka dalam perkara-perkara pelanggaran peraturan pajak dan cukai, semua denda dan perampasan serta biaya-biayanya ditagih dari ahli-ahli waris atau wakil-wakil orang yang yang meninggal itu.”
            Akan tetapi, ketentuan di atas tidak dianut oleh KUHAP. Sebaiknya dalam rangka penyempurnaan KUHAP, hal tersebut perlu mendapat perhatian.[24]
            Memang dapat dimengerti bahwa seseorang yang telah dijatuhi pidana oleh pengadilan, sebelum menjalani pidana terpidana meninggal dunia, maka dengan sendirinya kewajiban untuk menjalani pidana itu menjadi gugur.[25]
            Pasal 83 KUHP berbunyi “Kewenangan menjalankan pidana hapus jika terpidana meninggal dunia”.[26]
            Ketentuan pasal 83 KUHP itu sebenarnya dapat dikecualikan dalam hal ini pidana yang dijatuhkan oleh pengadilan berupa pidana denda. Meskipun orang yang dikenalkan pidana denda itu meninggal dunia, ini tidak perlu membawa akibat hapusnya pelaksanaan pidana denda. Sebab denda itu dapat saja dilaksanakan terhadap harta benda yang meninggal. Ketentuan ini dapat diketemukan dalam pelanggaran peraturan mata penghasilan dan sewa Negara.
            Didalam pelanggaran-pelanggaran lainnya, penagihan denda kepada ahli warisnya tidak dapat dituntut lagi jika terpidana meninggal dunia. Hanya pelaksanaan perampasan barang-barang milik terpidana  saja dapat dirampas apabila keputusan pengadilan telah memperoleh kekuatan hukum yang pasti. Jadi terhadap barang-barnag milik terpidana yang telah dirampas atas keputusan pengadilan, dapat dilakukan eksekusi bila terpidana meninggal dunia.
            Selain ketentuan sebagaimana diatur dalam pasal 368 HIR, terdapat juga ketentuan yang mengatur hal yang sama yaitu dalam Undang-Undang Nomor 7 Drt tahun 1955 LN nomor 27 tahun  1955 tentang pengusutan, penuntutan dan peradilan tindak pidana ekonomi, pasal 16 ayat (1) huruf a yang berbunyi “Jika ada cukup alasan untuk menduga, bahwa seseorang meninggal dunia sebelum atas perkaranya ada putusan yang dapat diubah lagi telah melakukan suatu tindak pidana ekonomi, maka hakim atas tuntutan penuntut umum dengan putusan pengadilan dapat memutus perampasan barang-barang yang telah disita.[27]
            Gugurnya pelaksanaan pidana ketika terpidana meninggal dunia tidak hanya terbatas pada pidana penjara yang dijatuhkan oleh hakim, tapi termasuk juga pidana tambahan seperti perampasan barang, tetapi tidak termasuk perintah untuk merusak barang atau menjadikan  barang itu tidak bisa digunakan lagi. Hal yang terakhir bukan merupakan pidana melainkan tindakan yang dimiliki kepolisian untuk kepentingan keamanan.[28]
     Menurut Remmelink, dahulu kala matinya terpidana tidak mennghentikan semangat memidana. Tatkala orang membunuh diri dipandang sebagai delik tersendiri, pidana yang dijatuhkan ialah menggantung kembali orang yang membunuh diri itu. Denda dan penyitaan tetap dieksekusi dengan cara dikompesasikan dengan benda-benda terpidana mati tersebut.[29]
2.  Adanya Daluwarsa
Ketentuan tentang daluwarsa hak eksekusi dimuat dalam Pasal 84 KUHP yang berbunyi sebagai berikut:
(1)   Hak menjalankan hukuman hilang karena daluwarsa.
(2)   Tenggang daluwarsa ini untuk pelanggaran-pelanggaran, lamanya dua tahun, untuk kejahatan yang dilakukan dengan alat pencetakan, lamanya lima tahun, dan untuk kejahatan lain, lamanya sama dengan lebih tenggang daluwarsa hak menuntu pidana, ditambah sepertiga.
(3)   Tenggang daluwarsa ini sekali-kali tidak boleh kurang dari lamanya hukuman yang telah dijatuhkan.
(4)   Hak menjalankan hukuman mati tidak kena daluwarsa.[30]
Berdasarkan ketentuan Pasal tersebut, pelaksanaan pidana menjadi gugur karena daluwarsa jika pidana yang dijatuhkan kepada terpidana buka pidana mati. Bagi terpidana yang dijatuhi pidana mati aturan mengenai daluwarsa sebagai alasan yang menggugurkan pelaksanaan pidana tidak dapat diberlakukan kepada terpidana itu. Lalu bagaimana kalau terpidana dijatuhi pidana seumur hidup, KUHP ternyata tidak mengaturnya. Karena yang secara eksplisit disebutkan sebagai alasan yang tidak menggugurkan pelaksanaan pidana karena daluwarsa adalah pidana mati, sedangkan pidana seumur hidup  tidak dijelaskan. Ketentuan mengenai daluwarsa dalam KUHP sebagai alasan yang menggugurkan pelaksanaan pidana memiliki kelemahan terutama dalam kaitannya dengan pidana seumur hidup yang dijatuhkan kepada terpidana.[31]
Pasal 84 KUHP mengatur tentang lewat waktu pelaksanaan pidana. Tenggat lewat waktu mengenai semua pelanggaran lamanya 2 tahun. Kejahatan yang dilakukan dengan sarana percetakan lamanya 5 tahun. Untuk kejahatan lain sama dengan tenggat lewat waktu penuntutan ditambah lagi sepertiga. Dalam pasal 83 ayat (3), lamanya tenggat waktu pelaksanaan pidana tidak boleh kurang dari lamanya pidana yang dijatuhkan. Jadi, jika terpidana dijatuhi pidana penjara 10 tahun, maka tenggat waktu tidak boleh dari 10 tahun.[32]
3.  Pemberian Amnesti Dari Presiden
            Diatas telah disebutkan bahwa pasal 14 Undang-Undang Dasar 1945 berbunyi “Presiden memberi grasi, amnesti, abolisi dan rehabilitasi”.
            Kemudian dalam Undang-Undang Darurat nomor 11 tahun 1954 disebutkan bahwa Presiden atas kepentingan Negara, dapat memberi amnesti dan abolisi kepada orang-orang yang melakukan tindak pidana. Hal ini merupakan kewenangan Presiden sebagai Kepala Negara.
            Amnesti adalah suatu pengampunan dari Presiden yang dapat menghapuskan semua akibat hukum pidana bagi orang-orang yang telah melakukan suatu tindak pidana. Amnesti dapat diberikan kepada orang-orang yang telah melakukan tindak pidana dengan tidak terikat oleh waktu kapan amnesti akan diberikan. Jadi amnesti dapat diberikan sesudah ada keputusan pengadilan.[33]
4.  Pemberian Grasi Dari Presiden
            Grasi adalah wewenang dari kepala negara untuk menghapuskan seluruh pidana yang telah dijatuhkan hakim atau mengurangi pidana, atau menukar hukum pokok yang berat dengan suatu pidana yang lebih ringan.[34]
            Ketentuan tentang grasi dimuat dalam Pasal 14 UUD 1945. Pengertian grasi adalah wewenang dari kepada negara untuk mengahapuskan seluruh hukuman yang telah dijatuhkan hakim atau mengurangi hukuman, atau menukar hukuman pokok yang berat dengan suatu hukuman yang lebih ringan.
            Dahulu, grasi ini merupakan hak raja sehingga dianggap sebagai anugerah raja. Akan tetapi, pada saat ini grasi merupakan suatu alat untuk menghapuskan sesuatu yang dirasakan tidak adil jika hukum yang berlaku menimbulkan kekurangadilan.
            Perihal grasi ini sekarang diatur oleh Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2002 tentang Grasi yang menggantikan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1950 tentang Permohonan Grasi.[35]
Yang dapat mengajukan permohonan grasi  adalah terpidana atau pihak lain yang mendapat persetujuan dari terpidana, kecuali terhadap orang yang telah dijatuhi pidana mati. Pasal 2 ayat (2) Undang-Undang nomor 3 tahun 1950 tentang Permohonan Grasi, dinyatakan jika orang yang dihukum pidana tidak mengajukan grasi, maka hakim atau Ketua Pengadilan Negeri harus mengajukan grasi karena jabatan.
            Tenggang waktu untuk mengajukan grasi, bila terpidana dijatuhi pidana mati, maka waktu 30 (tigapuluh) hari setelah keputusan pengadilan mempunyai kekuatan hukum tetap diberitahukan kepada terpidana. Dan untuk terpidana selain dijatuhi pidana mati, tenggang waktu untuk mengajukan grasi 14 (empatbelas) hari setelah keputusan pengadilan mempunyai kekuatan hukum tetap.
            Dalam hal terpidana dijatuhi pidana mati, dalam waktu 30 (tigapuluh) hari tidak mengajukan permohonan grasi adalah terpidana atau pihak lain yang mendapat persetujuan dari terpidana, kecuali terhadap orang yang telah dijatuhi pidana mati. Pasal 2 ayat ayat (2) Undang-Undang nomor 3 tahun 1950 tentang Permohona Grasi, dinyatakan jika orang yang dihukum pidana mati tidak mengajukan grasi, maka hakim atau Ketua Pengadilan Negeri harus mengajukan grasi karena jabatan. Tenggang waktu untuk mengajukan grasi, bila terpidana dijatuhi pidana mati, maka waktu 30 (tigapuluh) hari setelah keputusan pengadilan mempunyai kekuatan hukum tetap.
            Dalam hal terpidana dijatuhi pidana mati, dalam waktu 30 (tigapuluh) hari tidak mengajukan permohonan grasi, maka panitera Pengadilan Negeri yang memutus perkaranya dalam tingkat memberitahukan hal itu kepada hakim yang mengadili perkara tersebut atau kepada Kepada Kejaksaan pada pengadilan yang memutus perkaranya pada tingkat pertama.
            Meskipun terpidana mati tidak mengajukan permohonan grasi, maka hakim yang mengadili dan memutus perkaranya karena jabatan harus mengajukan permohonan grasi kepada Presiden.
            Pidana mati tidak dapat dilaksanakan  sebelum keputusan Presiden mengenai grasi sampai kepada Kepala Kejaksaan pada Pengadilan yang mengadili perkaranya pada tingkat pertama atau pegawai yang diwajibkan menjalankan keputusan pengadilan itu.
            Permohonan grasi yang diajukan sesuai dengan tenggang waktu yang ditentukan 14 (empatbelas) hari oleh terpidana dijatuhi pidana seumur hidup, pidana penjara, pidana kurungan, dan kurungan pengganti, dapat menunda pelaksanaan hukuman (menunda pelaksanaan eksekusi putusan pengadilan).
            Tetapi dalam pidana kurungan pengganti, ternyata terpidana mampu membayar dendanya, tetapi tidak mau membayar denda itu, maka permohonan grasi tidak dapat menunda pelaksanaan eksekusi mengenai pidana kurungan pengganti. Begitu juga pidana denda tidak dapat ditunda pelaksanaannya. Sekalipun terpidana mengajukan  permohonan grasi kepada Presiden.
            Bagaimanakah caranya mengajukan permohonan grasi? Permohonan grasi harus dilakukan dalam tenggang waktu 30 (tigapuluh) hari bagi terpidana yang dijatuhi pidana mati dan 14 (empatbelas) hari bagi terpidana yang dijatuhi pidana selain pidana mati. Permohonan grasi yang memutus perkaranya pada tingkat pertama. Kemudian oleh Panitera diteruskan kepada hakim yang memutus perkaranya dalam tingkat pertama. Permohonan grasi dapat juga langsung kepad Presiden. Kemudian oleh Presiden dikirim ke Hakim yang mengadili dan memutus perkara tersebut. Dalam hal demikian permohonan grasi dianggap dikirim kepada Panitera pada pengadilan yang memutus pada tingkat pertama tersebut.
            Selanjutnya permohonan grasi dari terpidana beserta berkas perkaranya dikirim kepada Kepala Kejaksaan Negeri yang melakukan penuntutan. Setelah Kepala Kejaksaan Negeri menerima berkas permohonan grasi yang telah dilengkapi dengan pertimbangan jaksa. Kewajiban Jaksa yang menangani perkara tersebut atau Jaksa yang ditunjuk, adalah menyampaikan pertimbangan setuju atau tidak setuju permohonan grasi tersebut dengan mengemukakan alasan yuridis secara objektif secara ringkas, tetapi jelas dan diuraikan tentang kesalahan terpidana, akibat terhadap diri terpidana dan masyarakat sekitarnya serta pandangan tentang berat ringannya keputusan pengadilan yang dijatuhkan.
            Selesai Jaksa yang ditunjuk membuat pertimbangan hukum atas permohonan grasi, bekas permohonan grasi selanjutnya diserahkan kepada Kepala Kejaksaan Negeri yang bersangkutan untuk dikirim kepada Presiden melalui ketua Mahkamah Agung Republik Indonesia (Surat Edaran Jaksa Agung RI No: SE-008/J.A/6/1982).
            Dari Mahkamah Agung, berkas permohonan grasi disaampaikan kepada Menteri Kehakiman. Sebelum Ketua Mahkamah Agung mengirim berkas permohonan grasi kepada Menteri Kehakiman, Ketua Mahkamah Agung meminta pertimbangan kepada Jaksa Agung, dalam hal-hal sebagai berikut:
a.       Apabila keputusan pengadilan itu mengenai hukuman mati;
b.      Apabila Mahkamah Agung membutuhkan pendapat Jaksa Agung tentang kebijakan;
c.       Apabila Jaksa Agung sebelumnya mengemukakan keinginannya kepada Ketua Mahkamah Agung untuk diminta pertimbangannya.
            Menteri Kehakiman dapat meminta pertimbangan kepada Menteri yang lain tentang permohonan grasi sebelum meneruskan kepada Presiden.
            Bila permohonan grasi dimajukan atas hukuman yang dijatuhkan oleh pengadilan Tentara, maka perkataan Ketua Pengadilan, Mahkamah Agung Indonesia, Jaksa, Kepala Kejaksaan dan Jaksa Agung. Jaksa Agung harus dibaca Ketua Pengadilan Tentara (Mahkamah Tentara), Mahkamah Tentara Agung (Mahkamah Militer Agung), Jaksa Tentara (Oditur Militer), Kepala Kejaksaan Tentara (Komandan Oditorat Militer) dan Jaksa Militer Agung (Oditur Militer Agung).[36]






BAB III
PENUTUP

A.    Kesimpulan

-          Alasan yang dapat meneybabkan terhapusnya wewenang penuntutan pidana adalah sebagai berikut:
1.       Ne Bis In Idem
2.       Terdakwa meninggal dunia
3.       Daluarsa
4.       Penyelesaian perkara diluar pengadilan
5.       Pembayaran Denda
6.       Amnestid dan Abolisi
-          Alasan yang dapat menyebabkan terhapusnya menjalankan pidana adalah sebagai berikut:
1.       Meninggalnya terpidana
2.       Adanya waktu daluarsa
3.       Pemberian amnesti dari presiden
4.       Pemberian grasi dari presiden.







DAFTAR PUSTAKA


Alfitra. 2009. Gugur atau Batalnya Hak Penuntutan Serta Menjalankan Pidana                            Menurut Hukum Positif Indonesia. Jakarta: Sejahtera Printing.
Ali, Mahrus. 2012. Dasar-dasar Hukum Pidana. Jakarta: Sinar Grafika.
Hamzah, Andi. 2014. Asas-asas Hukum Pidana. Jakarta, Rineka Cipta.
_____________ KUHP dan KUHAP. Jakarta: Rineke Cipta.
Marpaung, Leden. 2008. Asas-Teori-Praktik Hukum Pidana. Jakarta: Sinar Grafika.


                [1] Mahrus Ali, Dasar-dasar Hukum Pidana, (Jakarta: Sinar Grafika, 2012), hlm. 206.
                [2] Alfitra, Gugur atau Batalnya Hak Penuntutan Serta Menjalankan Pidana Menurut Hukum Positif Indonesia, (Jakarta: Sejahtera Printing, 2009), hlm. 104.
                [3] Andi Hamzah, KUHP dan KUHAP, (Jakarta: Rineke Cipta, 2014), hlm. 35.
                [4] Leden Marpaung, Asas-Teori-Praktik Hukum Pidana, (Jakarta: Sinar Grafika, 2008), hlm. 100.
                [5] Alfitra, Gugur atau Batalnya Hak Penuntutan Serta Menjalankan Pidana Menurut Hukum Positif Indonesia, hlm. 104.
                [6] Leden Marpaung, Asas-Teori-Praktik Hukum Pidana, hlm. 101.
                [7] Alfitra, Gugur atau Batalnya Hak Penuntutan Serta Menjalankan Pidana Menurut Hukum Positif Indonesia, hlm. 106-114.
                [8] Leden Marpaung, Asas-Teori-Praktik Hukum Pidana, hlm. 101.
                [9] Mahrus Ali, Dasar-dasar Hukum Pidana, hlm. 206.
                [10] Andi Hamzah, KUHP dan KUHAP, hlm. 35
                [11] Alfitra, Gugur atau Batalnya Hak Penuntutan Serta Menjalankan Pidana Menurut Hukum Positif Indonesia, hlm. 114-116.
                [12] Mahrus Ali, Dasar-dasar Hukum Pidana, hlm. 207.
                [13] Andi Hamzah, KUHP dan KUHAP, hlm. 35
                [14] Alfitra, Gugur atau Batalnya Hak Penuntutan Serta Menjalankan Pidana Menurut Hukum Positif Indonesia, hlm. 117-122.
                [15] Mahrus Ali, Dasar-dasar Hukum Pidana, hlm. 208.
                [16] Andi Hamzah, KUHP dan KUHAP, hlm. 36.
                [17] Mahrus Ali, Dasar-dasar Hukum Pidana, hlm. 208.
                [18] Leden Marpaung, Asas-Teori-Praktik Hukum Pidana, hlm. 102.
                [19] Alfitra, Gugur atau Batalnya Hak Penuntutan Serta Menjalankan Pidana Menurut Hukum Positif Indonesia, hlm. 122-123.
                [20] Mahrus Ali, Dasar-dasar Hukum Pidana, hlm. 209.
                [21] Leden Marpaung, Asas-Teori-Praktik Hukum Pidana, 103.
                [22] Alfitra, Gugur atau Batalnya Hak Penuntutan Serta Menjalankan Pidana Menurut Hukum Positif Indonesia, hlm. 124.
                [23] Mahrus Ali, Dasar-dasar Hukum Pidana, hlm. 209.
                [24] Leden Marpaung, Asas-Teori-Praktik Hukum Pidana, 103.
                [25] Alfitra, Gugur atau Batalnya Hak Penuntutan Serta Menjalankan Pidana Menurut Hukum Positif Indonesia, hlm. 124.
                [26] Andi Hamzah, KUHP dan KUHAP, hlm. 37
                [27] Alfitra, Gugur atau Batalnya Hak Penuntutan Serta Menjalankan Pidana Menurut Hukum Positif Indonesia, hlm. 124-125.
                [28] Mahrus Ali, Dasar-dasar Hukum Pidana, hlm. 210.
                [29] Andi Hamzah, Asas-asas Hukum Pidana, (Jakarta, Rineka Cipta, 2014). Hlm. 191.
                [30] Andi Hamzah, KUHP dan KUHAP, hlm. 37
                [31] Mahrus Ali, Dasar-daasar Hukum Pidana, hlm. 210
                [32] Andi Hamzah, Asas-asas Hukum Pidana, hlm 191.
                [33] Alfitra, Gugur atau Batalnya Hak Penuntutan Serta Menjalankan Pidana Menurut Hukum Positif Indonesia, hlm. 125.
                [34] Mahrus Ali, Dasar-dasar Hukum Pidana, hlm. 211.
                [35] Leden Marpaung, Asas-Teori-Praktik Hukum Pidana, hlm. 104.
                [36] Alfitra, Gugur atau Batalnya Hak Penuntutan Serta Menjalankan Pidana Menurut Hukum Positif Indonesia, hlm. 125-128.

1 komentar:

  1. Lucky Club Casino Site - Live Casino - LuckyClub.live
    Lucky Club casino is an online gambling site operated by a group of well luckyclub known operators and operators that has been around since 1999. It was launched in

    BalasHapus