BAB I
PENDAHULUAN
PENDAHULUAN
A.
Latar
Belakang
Pada beberapa
kasus yang terjadi di masyarakat, ada istilah “gugurnya hak penuntutan” atau
hapusnya hak penuntutan dan hapusnya pidana. Pembentuk undang-undang telah
membuat sejumlah ketentuan yang bersifat khusus, baik dalam Kitab Undang-Undang
Hukum Pidana maupun di dalam perundang-undangan lainnya, di dalam keadaaan mana
ketentuan-ketentuan pidana yang ada itu dianggap sebagai tidak dapat
diberlakukan, hingga penuntut umum pun tidak dapat melakukan penuntutan terhadap
seseorang pelaku yang telah dituduh melanggar ketentuan-ketentuan pidana
tersebut, dan apabila penuntut umum telah melakukan penuntutan terhadap
seseorang pelaku yang telah dituduh melanggar ketentuan-ketentuan pidana
termaksud di atas, maka hakim pun tidak dapat mengadili pelaku tersebut, oleh
karena di disitu terdapat sejumlah keadaan-keadaan yang telah membuat tindakan
dari pelaku itu menjadi tidak bersifat melawan hukum ataupun yang telah membuat
pelakunya itu menjadi tidak dapat dipersalahkan atas tindakan-tindakannya,
karena pada diri pelaku tidak terdapat sesuatu unsur schuld.
Keadaan-keadaan yang membuat penuntut umum tidak dapat melakukan suatu
penuntutan terhadap seorang pelaku disebut ”vervolgingsuitsluitingsgroden” atau
dasar-dasar yang meniadakan “penuntutan” sedang keadaan- keadaan yang
membuat hakim tidak dapat mengadili seseorang pelaku hingga ia pun tidak dapat
menjatuhkan sesuatu hukuman terhadap pelaku tersebut disebut
”strafuitsluitingsgroden” atau “dasar-dasar yang meniadakan hukuman.
Keadaan-keadaan khusus tersebutlah yang masih menjadi tanda tanya besar
dalam kalangan masyarakat. Apa yang menjadi alasan atau dasar daripada tindakan
tersebut harus disampaikan dengan jelas kepada masyarakat. Oleh karena
itu, dalam makalah ini akan dibahas mengenai alasan atau dasar dari
penghapusan penuntutan dan alasan atau dasar dari penghapusan pidana.
B.
Rumusan
Masalah
1.
Apa saja alasan
yang dapat menyebabkan terhapusnya wewenang penuntutan pidana?
2.
Apa saja alasan
yang dapat menyebabkan terhapusnya menjalankan pidana?
C.
Tujuan
Penulisan
Adapun tujuan dari penulisan makalah
ini adalah mencoba untuk memberikan informasi kepada rekan-rekan kami pada
khususnya dan kepada masyarakat pada umumnya tentang penghapusan wewenang
penuntutan pidana dan menjalankan pidana.
BAB II
PEMBAHASAN
1. Alasan
Hapusnya Kewenangan Penuntutan Pidana
Seseorang yang telah melakukan
perbuatan pidana pada dasarnya dapat dituntut di muka pengadilan untuk diadili,
dan jika dalam persidangan dapat dibuktikan perbuatan pidana yang dituduhkan
kepadanya, maka akan diputuskan bersalah untuk dapat dijatuhkan pidana sesuai
dengan ancaman pidana dari peraturan pidana yang dilanggar. Namun demikian,
dalam kenyataan hukum tidak selalu demikian adanya, karena terdapat hal-hal
yang menurut hukum hak untuk melakukan penuntutan pidana menjadi gugur. Dasar
aturan hak untuk melakukan penuntutan pidana diadakan dengan maksud agar
tercipta kepastian hukum bagi seseorang, sehingga terhindar dari keadaan tidak
pasti atau tidak menentu dalam menghadapi penuntutan pidana.
Di dalam KUHP terdapat empat hal
yang dapat menggugurkan penuntutan pidana, yaitu ne bis in idem, terdakwa
meninggal dunia, daluwarsa, dan penyelesaian perkara di luar pengadilan.[1]
Untuk lebih memahami lebih dalam hal yang dapat menggugurkan penuntutan pidana
kami uraikan sebagai berikut:
1. Ne
Bis In Idem
Ne Bis in Idem berasal dari bahasa
latin yang berarti tidak atau jangan dua kali yang sama. Dalam kamus hukum, Ne
Bis In Idem artinya suatu perkara yang sama tidak boleh lebih dari satu kali
diajukan untuk diputuskan oleh pengadilan.[2] Azaz ini dalam peraturan perundang-undangan
dinegara kita diatur dalam pasal 76 KUHP yang berbunyi:
(1) Kecuali dalam
hal putusan hakim masih mungkin diulangi, orang tidak boleh dituntut dua kali
karena perbuatan yang oleh hakim Indonesia terhadap dirinya telah diadili
dengan putusan yang menjadi tetap. Dalam artian hakim Indonesia, termasuk juga
hakim pengadilan swapraja dan adat, di tempat-tempat yang mempunyai
pengadilan-pengadilan tersebut.
(2) Jika putusan
yang menjadi tetap itu berasal dari hakim lain, maka terhadap orang itu dan
karena tindak pidana itu pula, tidak boleh diadakan penuntutan dalam hal: 1. Putusan
berupa pembebasan dari tuduhan atau lepas dari tuntutan hukum;
2. Putusan berupa
pemidanaan dan telah dijalani seluruhnya atau telah diberi ampun atau wewenang
untuk menjalankannya telah hapus karena daluwarsa.[3]
Ketentuan pasal ini
dimaksudkan guna memberikan kepastian kepada masyarakat maupun kepada setiap
individu agar menghormati putusan tersebut. Prinsip yang dimuat dalam Pasal 76
KUHP tersebut dikenal dengan ne bis in idem, yang artinya tidak boleh
suatu perkara yang sama yang sudah diputus, diperiksa, dan diputus lagi untuk
kedua kalinya oleh pengadilan.[4]
Dasar
pemikiran pasal 76 KUHP adalah sebagai berikut :
a.
Untuk menjaga kewibawaan
pengadilan alat perlengkapan negara. Pengadilan harus memiliki kewibawaan,
tanpa memiliki kewibawaan akan menimbulkan pelecehan hukum. Begitu juga
masyarakat dan pemerintah sendiri harus menaruh kepercayaan dan menghormati
segala putusan pengadilan. Pemeriksaan terhadap perkara yang sama dan perbuatan
yang sama oleh pengadilan yang dilakukan berulang kali sebagai perkara baru
akan menyebabkan kemerosoran kewibawaan dan kepercayaan masyarakat terhadap
keberadaan pengadilan. Hilangnya kewibawaan pengadilan dan merosotnya
kepercayaan masyarakat terhadap pengadilan dan menyebabkan kemerosotan
kewibawaan pemerintah. Pemeriksaan perkara karena adanya verzet (perlawanan),
banding, kasasi maupun peninjauan kembali, bukan merupakan pemeriksaan yang
berulang-ulang sebagai mana dimaksud dalam pasal 76 KUHP tetapi merupakan
kelanjutan pemeriksaan dari pada pemeriksaan pertama. Adanya lembaga verzet,
banding, kasasi, maupun peninjauan kembali (herzining) hanya
merupakan sarana dan alat untuk memeriksa dan memperbaiki keputusan terdahulu.
b.
Untuk menciptakan rasa
kepastian hukum bagi terdakwa yang telah mendapatkan keputusan pengadilan atas
perbuatannya. Pikiran seseorang telah mendapatkan keputusan pengadilan yang
telah mempunyai ketentuan hukum tetap, tidak boleh selalu diganggu atau
diombang ambingkan karena perkaranya disidangkan lagi (Nemo De Bet Bis
Vaxari) tidak seorangpun atas perbuatannya diwajibkan diganggu untuk kedua
kali seseorang dapat bebas dari penuntutan untuk kedua kali berdasarkan azas Ne
Bis In Idem pasal 76 KUHP apabila memenuhi persyaratan sebagai
berikut :
1. Adanya keputusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan yang hukum tetap
terhadap tindak pidana yang sama.
2. Putusan itu dijatuhkan terhadap orang yang sama.
3. Perbuatan yang dilakukan tersangka atau terdakwa sama.
Dalam teks pasal 76 KUHP dalam bahasa Belanda disebut gewijsde yang
berarti keputusan hakim yang berkekuatan hukum tetap dan sudah tidak ada alat
hukum lagi (rechsmiddle) yang dapat dipakai untuk merubah keputusan
tersebut. Jadi sudah tidak ada cara lagi, untuk melakukan upaya hukum lagi,
baik berupa verzet maupun kasasi ataupun peninjauan kembali.[5]
Dahulu,
pada Reglemen Indonesia yang Diperbarui (RIB/HIR) dipergunakan istilah “adanya
suatu putusan yang tidak dapat diubah lagi”. Setelah berlakunya KUHAP
(Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981), istilah tersebut menjadi “adanya suatu
putusan yang telah berkekuatan hukum tetap”.
Apabila
putusan telah berkekuatan hukum tetap, upaya hukum tidak dapat digunakan lagi.
Putusan yang telah berkekuatan hukum tetap tersebut, dapat berupa:
a.
Putusan bebas;
b.
Putusan lepas dari segala tuntutan hukum;
c.
Putusan tidak dapat menerima tuntutan penuntut
umum;
d.
Putusan pemidanaan.[6]
Adapun penjelasan dari putusan yang
berkekuatan hukum kami uraikan sebagai berikut:
A. Putusan Bebas
Putusan bebas dapat dijatuhkan oleh hakim sebagai mana
diatur dalam pasal 191 ayat (1) KUHAP yang berbunyi : « jika
pengadilan berpendapat bahwa dari hasil pemeriksaan disidang, kesalahan
terdakwa atas perbuatan yang didakwakan kepadanya tidak terbukti secara sah dan
meyakinkan maka terdakwa diputus bebas ».
Penjelasan pasal 191 ayat (1) menyebutkan, yang dimaksud
dengan perbuatan yang didakwakan kepadanya tidak terbukti sah dan meyakinkan
adalah tidak cukup bukti menurut penilaian hakim atas dasar pembuktian dengan
mengguanakan alat bukti yang sah. Dengan demikian putusan bebas adalah putusan
yang dinilai menurut hakim sebagai berikut :
a. Putusan
tersebut tidak memenuhi azas pembuktian menurut undang-undang secara negatif (negative
wettelijk). Hasil pembuktian yang diperoleh di persidangan tidak cukup
dibuktikan kesalahan terdakwa dan hakim tidak yakin atas kesalahan terdakwa.
b. Tidak memenuhi
azas hukum pembuktian.
Dalam hal ini minimum pembuktian yang disyaratkan oleh undang-undang tidak
dipenuhi misalnya hanya ada satu alat bukti saja. Sedangkan pasal 183 KUHAP
menentukan untuk membuktikan apakah terdakwa bersalah atau tidak bersalah
sekurang-kurangnya harus ada 2 alat bukti yang sah.
Putusan bebas pada umumnya terjadi
karena penilaian dan pendapat hakim. Sebagai berikut :
a. Kesalahan
terdakwa sama sekali tidak terbukti. Semua alat bukti yang dijatuhkan oleh
penuntut umum persidangan tidak dapat membuktikan bahwa terdakwa bersalah.
Berarti disini perbuatan terdakwa tidak terbukti secara sah dan meyakinkan
karena hakim berpendapat bahwa semua alat bukti diajukan dipersidangan tidak
dapat membuktikan kesalahan terdakwa.
b. Pembuktian
kesalahan terdakwa tidak memenuhi batas minimum pembuktian sebagaimana
disyaratkan pasal 183 KUHAP.
c. Hakim tidak
yakin atas kesalahan terdakwa, meskipun kesalahan terdakwa dinilai cukup
terbukti.
Menurut Wirjono Prodjodikoro,
ketiadaan bukti ada 2 macam yaitu :
1. Ketiadaan bukti
yang oleh undang-undang ditetapkan sebagai minim bukti yaitu adanya pengakuan
terdakwa saja atau adanya satu petunjuk saja tidak dikuatkan oleh alat bukti
lain.
2. Minimum
pembuktian yang ditetapkan undang-undang telah terpenuhi, misalnya sudah ada 2
orang saksi atau 2 petunjuk atau lebih tetapi hakim tidak yakin atas kesalahan
terdakwa.
Menurut
Martiman Prodjohamidjojo, masih ada satu kemungkinan yang dapat ditambahkan,
bukan dari segi ketiadaan alat bukti, tetapi dari segi lain yakni kesalahan
atau schuld yang mempunyai pengertian bertalian dengan pertanggung
jawaban pidana.
Bila
unsur schuld dalam bentuk dolus atau culpa tidak
dibuktikan, berarti terdakwa tidak ada kesalahan, maka terdakwa harus
dibebaskan.
B. Putusan Pelepasan
Dari Segala Tuntutan Hukum (onstslag van alle rechtsvervolging)
Putusan lepas dari segala tuntutan hukum dalam
KUHAP diatur dalam pasal 191 ayat (2) yang berbunyi : »Jika
pengadilan berpendapat bahwa perbuatan yang didakwakan kepada terdakwa
terbukti, tetapi perbuatan itu tidak merupakan suatu tindak pidana maka
terdakwa diputus lepas dari segala tuntutan hukum ».
Menurut Malikul Adil, pembebasan yang tidak
menurut pasal 191 ayat (2) KUHAP, dinamakan pembebeasan yang tidak sebenarnya.
Putusan lepas dari segala sesuatu tuntutan hukum berdasarkan bahwa apa yang
didakwakan kepada terdakwa terbukti secara sah, tapi hakim berpendapat bahwa
perbuatan yang didakwakan tidak merupakan tindak pidana.
Putusan pelepasan dari segala tuntutan hukum
dapat diartikan dalam dua arti, yaitu dalam arti sempit dan arti luas.
a. Pelepasan dari
segala tuntutan hukum dalam arti luas, disini termasuk pembebasan yang
sebenarnya merupakan pelepasan dari segala tuntutan hukum, tetapi karena telah
disebut sebagai pembebasan, maka disebut pelepasan dari segala tuntutan hukum
yang bersifat tertutup. Pembebasan yang hakikatnya pelepasan dari segala tuntutan
hukum (ontslag van alle vervolging), dipakai :
1. Bila perbuatan
yang didakwakan tidak merupakan tindak pidana, didalamnya termasuk :
·
Bila perbuatan yang didakwakan tidak
mengandung segala unsur yang dikehendaki oleh undang-undang. Misalnya pasal 338
KUHP tidak disebut unsur sengaja dalam surat dakwaan.
·
Bila perbuatan itu kehilangan sifat melawan
hukumnya perbuatan. Misalnya bila perbuatan itu dilakukan untuk membela diri
menurut syarat undang-undang pasal 49 KUHP.
2. Bila terdakwa,
walaupun perbuatan yang didakwakan merupakan tindak pidana, tetapi tidak dapat
dipersalahkan kepadanya, termasuk hal-hal yang merupakan kekuasaan relatif
tidak dapat diatasi dan keadaan jasmaniah yang tidak memungkinkan bertanggung
jawab atas perbuatannya.
b. Pelepasan dari
ketentutan hukum dalam arti sempit (verkapte ontslag van rechsvervolging).
Dalam hal ini jika hakim berpendapat
unsur-unsur tindak pidana tidak terbukti, akan tetapi pendapatnya keliru karena
salah satu unsur diartikan salah, tidak sesuai dengan maksud undang-undang.
Disini hakim menggunakan kriteria objektif yang harus dituntut. Misalnya
memberikan arti aliran listrik dalam surat dakwaan karena kata barang dalam
unsur pasal 362 KUHP, secara objekti mengandung artitan aliran listrik.
Dalam
putusan pengadilan yang berisi pelepasan dari segala tuntutan hukum, apa yang
didakwakan penuntut umum terbukti secara sah dan meyakinkan akan tetapi
perbuatan yang terbukti tersebut tidak merupakan tindak pidana.
Putusan Mahkamah Agung tanggal 8 Januari tahun
1984 Reg. Nomor 3 PK/Pid/1982 menyatakan perbuatan yang didakwakan terbukti
dengan sah dan meyakinkan akan tetapi perbuatan tersebut bukan merupakan
kejahatan maupun pelanggaran. Alasan Mahkamah Agung memutuskan demikian adalah
baik dan pengakuan terdakwa serta alat-alat bukti surat-surat dan saksi
persidangan ternyata terdakwa terbukti membuat surat palsu tersebut tidak
pernah digunakan sebagai bukti dalam perkara perdata Nomor 14 Tahun 1976,
sehingga dengan demikian perbuatan terdakwa yang terbukti itu bukan merupakan
kejahatan maupun pelanggaran pidana.
Putusan Mahkamah Agung Nomor 645/Pid/1982
bulan Agustus 1983 menyatakan perbuatan yang didakwakan dala dakwaan terbukti
tetapi bukan merupakan kejahatan atau pelanggaran. Sebab apa yang didakwakan
adalah hubungan suatu usaha dimana saksi membeli mobil kepada terdakwa yang
termasuk bidanga perdata, penggunaan modal bukanlah sebagai penggelapan.
C.
Putusan Pengadilan Yang Berupa Pemidanaan
Keputusan pendilan yang berupa pemidanaan
terhadap terdakwa diatur dalam pasal 193 ayat (3) KUHAP yang
berbunyi : »Jika pengadilan berpendapat bahwa terdakwa bersalah
melakukan tindak pidana yang didakwakan kepadanya, maka pengadilan menjatuhkan
pidana ».
Jika hakim berpendapat dan menilai bahwa
terdakwa terbukti secara sah dan meyakinkan telah melakukan tindak pidana dan
dikuatkan sekurang-kurang nya dua alat bukti yang sah maka terdakwa dapat
dijatuhi pidana.
Dalam hal putusan hakim berupa putusan
pemidanaan, hakim ketua Majelis wajib memberitahukan kepada terdakwa tentang
segala sesuatu yang menjadi haknya, yaitu :
a. Hak untuk
menolak segera atau menerima putusan
b. Hak untuk
mempelajari putusan sebelum menyatakan menerima atau menolak putusan, dalam
tenggang waktu yang ditetapkan undang-undang. Hak ini biasa disebut dengan hak
pikir-pikir.
c. Hak untuk minta
penangguhan pelaksanaan putusan dalam tenggang waktu yang ditetapkan oleh
undang-undang untuk mengajukan grasi dalam hak terdakwa menerima putusan.
d. Hak minta
diperiksa perkaranya dalam tingkat banding dalam tenggang waktu yang ditetapkan
oleh undang-undang dalam hal terdakwa menolak putusan pengadilan.
e. Hak mencabut
pernyataan sebagaimana dimaksud dalam huruf a diatas dalam tenggang waktu yang
ditetapkan undang-undang (pasal 196 ayat (3) KUHAP). Putusan pengadilan yang
berisi pemidanaan merupakan suatu perintah untuk menghukum terdakwa karena
terbukti telah melakukan tindak pidana.
Disamping tiga jenis putusan pengadilan
tersebut diatas yang kesemuanya berupa putusan akhir, bila dipandang perlu
hakim berwenang memutuskan suatu perkara yang sedang diperiksa yang tidak
mengandung penentuan terbukti atau tidak terbukti suatu tindak pidana dan
kesalahan terdakwa. Keputusan macam itu biasa disebut dengan penetapan.
Sedangkan penetapan hakim dapat berupa sebagai berikut :
a. Putusan atau
penetapan yang menyatakan tentang tidak berwenang atau berkompetennya
pengadilan untuk memeriksa perkara yang bersangkutan.
b. Keputusan atau
penetapan tentang tidak diterimanya tuntutan penuntut umum karena terdakwa
tidak melakukan tindak pidana
c. Keputusan atau
penetapan tidak diterimanya perkara karena penuntutan perkara sudah daluwarsa.
Penetapan hakim tersebut bukan merupakan
keputusan akhir, oleh karena itu tidak menghalangi dilakukan pemeriksaan
kembali atas perkara tersebut dan dalam hal ini pasal 76 tidak berlaku, artinya
disini tidak ada ne bis in idem. Dengan demikian perkara tersebut tetap masih
dapat dilakukan penuntutan oleh penuntut umum.
Adapun unsur-unsur dari pasal 76 KUHP (neb
is in idem) adalah sebagai berikut :
1. Adanya
keputusan pengadilan yang mempunyai kekuatan hukum tetap
2. Orangnya sama/
pelakunya sama
3. Perbuatannya
sama
Bahwa
unsur kedua dari pasal 76 adalah sama orangnya dan disebut dengan objective
identiteit, dan unsur ketiga dari neb is in idem adalah adanya perbuatan
yang sama yang disebut objective identiteit.
Tentang
pengertian perbuatan dalam ajaran ne bis in idem merupakan persoalan yang
paling sukar dipecahkan, karena pengertian perbuatan (feit) mempunyai
arti yang tidak pasti. Kesulitan arti dari pada perbuatan (feit)
terletak dalam hal :
a.
Yang berhubungan dengan concursus
Mengenai
concursus merupakan persoalan yang sukar, untuk menentukan apakah suatu
kejadian merupakan concursus realis ( perbarengan perbuatan) atau concursus
idealis (perbarengan peraturan). Bila perbuatan (feit) itu dipandang
sebagai concursus realis, maka dapat dikatakan terdakwa melakukan beberapa
perbuatan. Untuk itu dimungkinkan adanya beberapa kali penuntutan. Tetapi jika
perbuatan itu dipandang sebagai concursus idealis, dimana hanya ada satu
perbuatan saja, maka penuntutan yang kemudian atau belakangan tidak dapat
dilakukan. Dengan demikian hanya dapat dilakukan penuntutan satu kali saja. Contoh :
« A melakukan pemerkosaan dijalan umum terhadap seorang perempuan B yang
sdah dewasa. Oleh penuntut umum A dituntut berdasarkan pasal 385 KUHP saja dan
dibebaskan oleh hakim karena tidak terbukti adanya pemerkosaan, dan ternyata
disidang pegadilan perbuatan A dan B adalah perbuatan suka sama suka. Kemudian
A dituntut lagi oleh penuntut umum dengan dakwaan melanggar kesusilaan didepan
umum (dijalan umum) berdasarkan pasal 281 KUHP. »
Apakah
tuntutan yang kedua berdasarkan pasal 281 (melanggar kesusilaan didepan umum)
dapat dilakukan ? untuk menjawab pertanyaan ini kita harus melihat dahulu
apakah perbuatan itu sebagai concursus realis ataukah concursus
idealis. Kalau perbatan itu dipandang sebagai concursus realis, maka dapat
dikatakan terdakwa melakukan beberapa perbuatan. Karena itu penuntutan yang
kedua kalinya berdasarkan pasal 281 KUHP dapat dilakukan, tetapi bila perbuatan
itu dipandang sebagai concursus idealis, dimana dipandang hanya ada satu
perbuatan saja, maka tidak mungkin dilakukan penuntutan, yang berarti neb is
in idem.
b.
Persoalan yang berhubungan dengan
alternativitas
Didalam ajaran concursus, masalah yang kita
hadapi adalah perbuatan yang berupa pelanggaran ini dan itu. Dalam persoalan
alternativitas mengenai peaturan yang dilanggar, maka disitu hanya ada satu
perbuatan saja. Penuntutan berdasarkan perbuatan yang satu menghalangi
penuntutan yang lain. Bila mana tuntutan itu tidak berhasil karena dibebaskan
atau dilepas dari segala tuntutan hukum, maka tidak dapat dituntut berdasarkan
pasal yang lain.
Dalam hal ada alternativitas mengenai waktu,
misalnya A dituntut karena melakukan penipuan terhadap B pada tanggal 1 Oktober
1993, tetapi dalam surat dakwaan penuntut umum dicantumkan 1 November 1993,
akhirnya oleh pengadilan diputus bebas. Tetapi kemudian penuntut umum melakukan
penuntutan lagi terhadap A dengan tanggal yang benar, maka disini ada neb is in
idem. Begitu juga dalam hal ada alternativitas tentang tempat terjadinya tindak
pidana (locus delictie).
c.
Persoalan perbuatan (feit) dalam telah ada
tuntutan tetapi dalam surat dakwaan terdapat kelupaan suatu tindak pidana yang
didakwakan.
Bila terdapat kekeliruan atau kekurangan dalam
surat dakwaan baik mengenai waktu maupun mengenai unsur-unsur tindak pidananya,
penuntut umum dapat melakukan penambahan atau perubahan surat dakwaan
sebagaimana dimungkinkan oleh pasal 144 KUHAP yang berbunyi :
(1) Penuntut
umum dapat mengubah surat dakwaan sebelum pengadilan menetapkan hari sidang,
baik dengan tujuan untuk menyempurnakan maupun untuk tidak melanjutkan
penuntutannya.
(2) Pengubahan
surat dakwaan tersebut dapat dilakukan hanya satu kali selambat-lambatnya tujuh
hari sebelum sidang dirnulai.
(3) Dalam hal
penuntut umum mengubah surat dakwaan ia menyampaikan turunannya kepada
tersangka atau penasihat hukum dan penyidik.
Dalam hal surat
dakwaan dibatalkan oelh hakim, maka perkara tersebut masih dapat diajukan
kepengadilan untuk dilakukan penuntutan. Tetapi apabila terdakwa dibebaskan
sebagai akibatk dakwaan yang tidak sempurna dalam memuat unsur-unsur tindak
pidananya, maka tidak dapat dilakukan penuntutan lagi. Berarti didalam hal yang
demikian terdapat neb is in idem.[7]
Putusan-putusan di atas mengenai penjatuhan putusan
tentang delik (pelanggaran pidana) yang telah didakwakan. Berbeda dengan
keputusan atau pernyataan hakim dalam hal :
1)
Pengadilan tidak berkompeten (berkuasa) untuk
mengadili;
2)
Pembatalan surat dakwaan;
3)
Tuntutan pidana tak dapat diterima.
Penerapan ne
bis in idem yang tepat dapat terlaksana jika pengertian “perbuatan”
diterapkan dengan tepat.
Pada penanganan
suatu perkara, perlu dicermati apakah perbuatan tersangka atau terdakwa
tersebut telah pernah diadili? Jika tersangka atau terdakwa pernah diadili,
perlu dicermati lagi apakah perbuatannya concursus idealis atau concursus
realis. Misalnya: “A telah dipidana berdasarkan
putusan pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap dalam perbuatan
pemerkosaan terhadap diri seorang perempuan bernama R. Akan tetapi, A belum
pernah diadili oleh pengadilan atas perbuatannya memperkosa diri seorang
perempuan bernama S. Dari contoh di atas, diharapkan agar aparat penegak hukum,
khususnya penyidik, lebih cermat terhadap pengertian “perbuatan”.” [8]
2. Terdakwa
Meninggal Dunia
Ketika terdakwa meninggal dunia, maka hal itu dapat dijadikan dasar
untuk menggugurkan penuntutan pidana. Penjatuhan suatu pidana harus ditujukan
kepada pribadi orang yang melakukan perbuatan pidana. Apabila orang yang
melakukan perbuatan pidana meninggal dunia, tidak ada lagi penuntutan bagi
perbuatan yang dilakukannya. Jika orang itu meninggal dunia, maka penuntutan
bagi perbuatan pidana kepadanya menjadi gugur, atau dengan kata lain, kewenangan
menuntut pidana hapus jika terdakwa meninggal dunia.[9]
Hal
ini diatur dalam Pasal 77 KUHP yang berbunyi :“Hak menuntut hilang oleh karena
meninggalnya si tersangka.”[10]
Sehubungan dengan
kewenangan kejaksaan dalam bidang pidana melakukan penuntutan (pasal 27 ayat
(1) huruf a KUHAP) dan KUHAP sendiri tidak memberlkam wewenang kepada penuntut
umum melakukan penyidikan, maka timbul pertayaan sejak kapan timbul kewenangan
penuntut umum untuk melakukan penuntutan terhadap perkara tindak pidana umum? Jawabnya
adalah sejak penuntut umum menerima penyerahan tanggung jawab hukum atas
tersangka dan barang bukti dari penyidik kepada penuntut umum, proses
penyelesaian perkara tersebut berarti ada pada tahap penyidikan yang dilakukan
dan menjadi tanggung jawab yuridis menyidik. Sebab sebelum adanya penyerahan
tanggung jawab hukum atas tersangka dan barang bukti dari penyidik kepada
penuntut umum, proses penyelesaian perkara tersebut berarti ada pada tahap
penyidikan yang dilakukan dan menjadi tanggung jawab yuridids penyidik. Jelas penuntut
umum belum berwenang unutuk melakukan penuntutan atas perkara tersebut.
Penghentian
penyidikan maupun pengehentian penuntutan karena tersangka atau terdakwa
meninggal adalah suatu hal yang wajar karena untuk adanya penuntutan harus ada
orang yang dapat dipertanggung jawabkan atas perbuatannnya. Sedangkan
pertanggung jawaban pidana melekat pada sipembuat ( orang yang melakukan tindak
pidana itu), jika orang yang harus dipertanggung jawabkan atas perbuatannya
tidak ada karena meninggal dunia tentunya penyidikan atau penuntutannya harus dihentikan
demi hukum.
Putusan
Mahkamah Agung nomor 29/K/Kr/1974 tanggal 19 Novemberr 1974 memutuskan:
Hak
untuk menentukan hukuman gugur karena tertuduh meninggal dunia, oleh kareana
mana permohonan kasasi dari Jaksa dinyatakan tidak dapat diterima. Dalam
pertimbangannya Mahkamah Agung menyatakan antara lain:
a.
Menimbang,
bahwa berdasarkan surat keterangan kepala kampung Lampuk, Mukim Tungkop,
Kecamatan Darusalam tanggal 21 Desember 1973, ternyata meninggal dunia tanggal
4 Desember 1973.
b.
Menimbang,
bahwa menurut pasal 77 KUHP hak untuk menuntut hukuman gugur karena tertuduh
meninggal dunia.
Putusan
Mahkamah agung nomor 186 K/Kr/ 1979 tanggal 5 September 1979 memutuskan.
“Dalam hal
terdakwa telah meninggal dunia (pada tahan pemeriksaan banding), Pengadilan
Tinggi cukup mengeluarkan penetapan yang menyatakan tuntutan hukuman gugur atau
tuntutan Jaksa tidak dapat diterima karena terdakwa meninggal dunia”.[11]
3. Daluwarsa
Latar belakang yang
mendasari daluwarsa sebagai alasan yang menggugurkan penuntutan pidana adalah
dikaitkan dengan kemampuan daya ingat manusia dan keadaan alam yang
memungkinkan petunjuk alat bukti lenyap atau tidak memiliki nilai untuk hukum
pembuktian. Daya ingat manusia baik sebagai terdakwa maupun sebagai saksi
seringkali tidak mampu untuk menggambarkan kembali kejadian yang telah terjadi
di masa lalu. Bahan pembuktian yang diperlukan dalam perkara semakin sulit
dipertanggungjawabkan yang disebabkan oleh kerusakan dan lain-lain.
Atas dasar hal itu, maka
pembentuk undang-undang memilih suatu kebijakan yakni kewenangan untuk
melakukan penuntutan pidana menjadi gugur karena alasan daluwarsa dengan
tenggang waktu tertentu. Tenggang waktu tertentu yang menajdi alasan daluwarsa
penuntutan dibedakan menurut jenis atau berat ringannya perbuatan pidana.[12]
Pasal 78 KUHP
selengkapnya berbunyi :
(1)
Kewenangan
menuntut pidana hapus karena daluwarsa:
a.
mengenai semua
pelanggaran dan kejahatan yang dilakukan dengan percetakan sesudah satu tahun;
b.
mengenai
kejahatan yang diancam dengan pidana denda, pidana kurungan, atau pidana
penjara paling lama tiga tahun, sesudah enam tahun;
c.
mengenai
kejahatan yang diancam dengan pidana penjara lebih dari tiga tahun, sesudah dua
belas tahun;
d.
mengenai
kejahatan yang diancam dengan pidana mati atau pidana penjara seumur hidup,
sesudah delapan belas tahun
(2)
Bagi orang yang
pada saat melakukan perbuatan umurnya belum delapan belas tahun, masing-masing
tenggang daluwarsa di atas dikurangi menjadi sepertiga.[13]
Maksud pembentuk undang-undang
adanya ketentuan-ketentuan tentang kadaluwarsa adalah:
- Bahwa perkara yang sudah sangat
lama mungkin telah dilupakan orang, karena itu tidak perlu lagi dilakukan
penuntutan
- Mungkin juga semua bukti-bukti
dari perkara yang sudah lama itu, sudah banyak yang hilang atau kabur,
saksi-saksinya pun sudah lupa atas kejadian yang sudah sekian lamanya itu.
Ada segolongan orang berpendapat
bahwa dengan adanya ketentuan tentang kedaluwarsa itu, menyebabkan penguasa
mengabaikan salah satu kewajibannya, yaitu menegakkan keadilan dengan
mengadakan koreksi terhadap yang berbuat salah. Senada dengan pendapat tersebut
hazeminkel suringah menganggap bahwa tentunya juga puniendi (hak menghukum)
sebagai hak negara untuk menghukum pelaku tindak pidana, tidak dapat hilang
setelah lampau tenggang waktu tertentu. Van feurbach seorang tokoh hukum
pidana, menganggap tidak ada alasan sama sekali untuk mengadakan daluwarsa
dalam hukum pidana. Van hamei, tokoh dalam hukum pidana Belanda mengatakan
daluwarsa tidak pada tempatnya bagi kejahatan-kejahatan yang besifat sangat
berat dan bagi perbuatan-perbuatan penjahat prodesional.
Saat mulai
terjadinya daluwarsa (lewat waktu) menurut pasal 79 KUHP tenggang daluwarsa
mulai berlaku pada hari sesudah tindak pidana dilakukan, kecuali dalam hal
sebagai berikut:
1.
Mengenai
pemalsuan atau pengrusakan mata uang, tenggang saat berlaku pada hari sesudah
barang yang dipalsu atau mata uang yang dirusak digunakan.
2.
Mengenai
kejahatan dalam pasal-pasal 328, 329, 330 dan 333 KUHP, tenggang waktu
daluwarsa dimulai pada hari sesudah orang yang langsung terkena oleh kejahatan
atau dibebaskan atau meninggal dunia
3.
Mengenai
pelanggaran dalam pasal 556 sampai dengan 558 a, tenggang waktu daluwarsa
dimulai pada hari sesudah daftar yang memuat pelanggaran-pelanggaran itu,
menurut aturan-aturan umum dipindah ke kantor Panitra suatu Pengadilan,
dipindah ke kantor tersebut.
Bertitik tolak dari ketentuan pasal
78 KUHP timbul pertanyaan, kapan dimulainya daluwarsa? Apa sejak terdakwa mulai
melakukan tindak pidana atau saat timbulnya akibat dari tindak pidana yang
dilakukan? Mungkin juga dapat terjadi antara perbuatan pelaksanaan dengan
akibat yang timbul terjadi memakan waktu yang lama.
Wirjono prodjodikoro dan hazeminkel
suringa berpendapat daluwarsa mulai pada hari sesudah hari akibat tindak pidana
itu terjadi, pompe berpendapat bahwa tenggang daluwarsa dimulai pada perbuatan
dilakukan.
Tenggang daluwarsa terhenti apabila ada tindakan penuntutan (pasal
80 ayat (1) KUHP).
Pada mulanya tindakan penuntutan
diartikan meliputi tindakan penyidikan yang dilakukan pejabat penyidik, tetapi
kemudian dipersempit dengan tindakan-tindakan penuntut umum. Misalnya melakukan
pemeriksaan tambahan baik pemeriksaan tambahan atas perintah hakim dalam
pemeriksaan acara singkat maupun pemeriksaan tambahan karena penyidik tidak
dapat memenuhi petunjuk penuntut umum dan penuntut umum melakukan pemeriksaan
tambahan berdasarkan pasal 30 ayat (1) huruf e Undang-Undang Nomor 16 tahun
2004 tentang Kejaksaan Re[ublik Indonesia.
Menurut Pasal 80 ayat (2) KUHP
setelah penuntutan dihentikan maka mulai tenggang daluwarsa yang baru. Jadi
selama ada penuntutan, tenggang daluwarsa tidak diperhitungkan.
Tenggang daluwarsa penuntutan
tertunda (tettangguhkan, apabila ada perselisihan prae judicial (pasal 81
KUHP)).
Perselisihan prae judicial adalah
perselisihan menurut hukum perdata yang berlebih dahulu harus diselesaikan
sebelum penuntutan dapat diteruskan. Dalam hal ada penangguhan tenggang
daluwarsa maka tenggang daluwarsa yang telah dilalui, sebelum diadakan
penundaan daluwarsa, tetap diperhitungkan. Hanya saja selama acara hukum perdata belum selesai,
tenggang waktu daluwarsa tuntutan pidana ditangguhkan. Hal ini dimaksudkan agar
terdakwa tidak diberi kesempatan untuk menunda-nunda penyelesaian perkara
perdata dengan perhitungan dapat dipenuhi tenggang daluwarsa penuntutan pidana.
Perbedaan terhentinya tenggang
daluwarsa dengan penangguhan daluwarsa adalah sebagai berikut :
·
Dalam
terhentinya daluwarsa sebagaimana ditentukan dalam pasal 80 KUHP adalah adanya
penuntutan. Maka tenggang daluwarsa terhenti dan setelah penuntutan terhenti,
baru mulai ada tenggang daluwarsa.
·
Dalam
penangguhan daluwarsa sebagaimana ditentukan dalam pasal 81 KUHP, tenggang
waktu daluwarsa sebelum adanya perselisihan prae judicial akan diperhitungkan
apabila sudah ada putusan pengadilan tentang perkara perdatanya. Jadi terhenti
sementara saja.
Alasan daluwarsa untuk menjalani
pidana diatur dalam pasal 84 KUHP yang berbunyi:
(1)
Kewenangan
menjalankan pidana hapus karena lewat waktu;
(2)
Tenggang
lewat waktu mengenai semua pelanggaran lamanya 2(dua) tahun, mengenai kejahatan
yang dilakukan dengan sarana percetakan lamanya lima tahun, dan mengenai
kejahatan-kejahatan yang lain lamanya sama dengan tenggang lewat waktu bagi
penuntutan pidana, ditambah sepertiga.
(3)
Bagaimana
juga, tenggang lewat waktu tidak boleh kurang dari lamanya pidana yang
dijatuhkan.
(4)
Wewenang
menjalankan pidana mati tidak lewat waktu.
Pada ayat (3) pasal
tersebut diatas disebutkan bahwa tenggang lewat waktu tidak boleh kurang dari
lamanya pidana yang dijatuhkan, maka bagi seseorang dijatuhi pidana seumur
hidup oleh pengadilan tidak ada waktu kadaluarsa untuk pelaksanaan putusan itu.
Begitu juga dalam ayat (4), bahwa untuk pidana mati tidak mengenal adanya
daluwarsa.
Menurut pasal 85 ayat
(1) KUHP tenggang waktu daluwarsa dihitung mulai keesokan harinya sesudah
putusan pengadilan dapat dijalankan. Ini tidak selalu sama dengan putusan
pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap.
Pada umumnya putusan
pengadilan dapat dijalankan. Ini tidak selalu sama dengan putusan pengadilan
yang mempunyai kekuatan hukum tetap. Tetapi pada putusan pengadilan yang sudah
dapat dieksekusi sebelum putusan itu mempunyai kekuatan hukum tetap, yaitu
putusan di luar hadirnya terdakwa (verstek). Putusan verstek tersebut
dilaksanakan setelah terdakwa memperoleh pemberitahuan bahwa ia diputus verstek.
Terhadap putusan verstek
itu masih dapat diadakan upaya hukum yaitu perlawanan (verzet), asal
diajukan dalam tenggang waktu yang ditentukan oleh undang-undang, tenggang
waktu ini mulai berlaku pada hari berikutnya hari terpidana mulai menjalankan
pidana. Jika dalam tenggang waktu yang ditentukan oleh undang-undang terpidana
menggunakan haknya mengajukan verzet (perlawanan) maka dengan sendirinya
keputusan pengadilan itu gugur demi hukum.
Jika terdakwa
dikenakan pidana bersyarat oleh pengadilan, maka pidana itu baru dapat
dilaksanakan apabila terpidana melanggar syarat-syarat yang ditentukan. Oleh
karena itu terpidana diperintahkan untuk menjalani pidana. Tenggang waktu
daluwarsa dimulai keesokan harinya setelah terpidana diperintah menjalani
pidana itu. Artinya daluwarsa mulai dihitung keesokan harinya setelah pidana
bersyarat itu dicabut. Dengan demikian maka berlaku daluwarsa baru. Begitu juga
dalam hal terpidana melarikan diri dari penjara. Untuk jelasnya mari kita lihat
pasal 85 ayat (2) KUHP yang berbunyi :
“Jika seorang terpidana melarikan diri selama menjalani pidana,
maka pada esok harinya setelah melarikan diri itu mulai berlaku tenggang lewat
waktu baru. Jika suatu pelepasan bersyarat dicabut, mulai berlaku tenggang
lewat waktu baru”.
Penundaan terhadap daluwarsa (lewat waktu) untuk menjalani pidana
dapat terjadi dalam dua hal yaitu :
a.
Selama
ada perintah penghentian sementara untuk menjalani pidana menurut peraturan
perundang-undangan. Misalnya dalam hal ada permohonan grasi (pasal 3 ayat (3)
Undang-undang Grasi (Undang-Undang nomor 3 tahun 1950 tentang Permohonan
Grasi)).
b.
Selama
terpidana dirampas kemerdekaannya (berada dalam tahanan) meskipun karena adanya
tindak pidana lain.
Hal tersebut diatur dalam pasal 85 ayat (3)
KUHP yang berbunyi “Tenggang lewat waktu terdakwa selama perjalanan pidana
ditunda menurut perintah dalam suatu peraturan umum, dan juga selama terpidana
dirampas kemerdekaannya, meskipun perampasan kemerdekaan itu berhubung dengan
pemidanaan lain”.[14]
Berdasarkan ketentuan
Pasal 78 ayat (1) KUHP terdapat empat
macam daluwarsa yang didasarkan pada sifat perbuatan pidana yang dilakukan,
antara lain:
1.
Tenggang waktu bagi kejahatan atau pelanggaran yang
dilakukan dengan percetakan adalah satu tahun;
2.
Tenggang waktu bagi kejahatan yang diancam pidana denda,
kurungan atau penjara paling lama lima tahun adalah enam tahun;
3.
Tenggang waktu bagi kejahatan yang diancam dengan pidana
penjara lebih dari tiga tahun adalah dua belas tahun;
4.
Tenggang waktu bagi kejahatan yang diancam dengan pidana
penjara seumur hidup atau pidana mati adalah delapan belas tahun.[15]
4. Penyelesaian
Perkara di Luar Pengadilan
Ketentuan mengenai penyelesaian perkara di luar pengadilan sebagai
alasan yang menggugurkan penuntutan pidana diatur di dalam Pasal 82 ayat (1)
KUHP yang berbunyi:
“Kewenangan menuntut pelanggaran yang diancam dengan denda saja
menjadi hapus, kalau dengan sukarela dibayar denda maksimum denda dan
biaya-biaya yang telah dikeluarkan kalau penuntutan telah dimulai, atas kuasa
pejabat yang ditunjuk untuk itu oleh aturan-aturan umum, dan dalam waktu yang
ditetapkan olehnya.”.[16]
Ketentuan Pasal 82 ayat
(1) KUHP tersebut seringkali disebut lembaga penebusan (afkoop) atau
lembaga hukum perdamaian (schikking) sebagai alasan yang menggugurkan
penuntutan pidana hanya dimungkinkan pada perkara tertentu, yaitu perkara
pelanggaran yang hanya diancam dengan pidana denda secara tunggal, pembayaran
denda harus sebanyak maksimum ancaman pidana denda berserat biaya lain yang
harus dikeluarkan, atau penebusan harga tafsiran bagi barang yang terkena
perampasan, dan harus bersifat sukarela dari inisiatif terdakwa sendiri yang
sudah cukup umum.[17]
Ketentuan di atas secara
rasional adalah hal yang logis demi efisiensi. Hal ini diatur demikian untuk
memberi kepastian hukum bagi pelaku pelanggaran maupun bagi aparat penuntut.[18]
5.
Pembayaran Denda
Pembayaran denda hanya
dapat terjadi dalam hal pelanggaran yang hanya diancam dengan sanksi pidana
denda saja. Jika maksimun denda yang diancamkan dibayar penuh oleh terdakwa,
maka tidak melakukan pemungutan lagi (pasal 82 ayat (1) KUHP).
Jika disamping hukuman denda,
dikenakan juga hukuman tambahan berupa perampasan barang-barang, maka
barang-barang tersebut harus diserahkan bersama-sama dengan pelaksanaan
pembayaran denda atau pada saat itu juga hanya barang-barang yang disitu
(dirampas) dibayar sekaligus (pasal 82 ayat (2) KUHP).
Pembayaran denda itu tidak
menghilangkan penambahan hukuman denda tambahan bila terjadi residivis (pasal
82 ayat (3) KUHP). Ketentuan pasal ini tidak berlaku terhadap orang yang belum
dewasa, yang pada saat melakukan perbuatan itu belum berumur 16 (enambelas)
tahun (pasal 82 ayat (4) KUHP).
Ketentuan pembayaran denda maksimum
untuk pelanggaran (pasal 82 KUHP) ini dikenal juga sebagai suatu lembaga yang
disebut afkoop atau sering juga disebut schiking (perdamaian).
6.
Amnesti dan Abolisi
Pasal 14 UUD 1945 menyatakan bahwa
Presiden memberi grasi, amnesti, abolisi dan rehabilitasi. Dalam undang-undang
nomor 11 tahun 1954 Lembarang Negara nomor 146 tahun 1954 menyebutkan, Presiden
atas kepentingan negara, dapat memberikan amnesti dan abolisi kepada
orang-orang yang melakukan sesuatu
tindak pidana dihapuskan dengan pemberian abolisi hanya dihapuskan penuntutan
terhadap mereka.
Amnesty adalah
pengampunan dari Presiden yang menghapuskan semua akibat hukum pidana bagi
orang-orang yang telah melakukan suatu tindak pidana. Abolisi adalah
pengampunan dari Presiden yang dapat menghapuskan penuntutan kepada pelaku
tindak pidana. Jadi Amnesti, dapat diberikan kepada seorang yang telah
melakukan tindak pidana baik sebelum maupun sesudah adanya putusan pengadilan,
sedangkan abolisi hanya dapat diberikan kepada pelaku tindak pidana sebelum ada
putusan pengadilan, karena abolisi sifatnya hanya menghapuskan penuntutan.[19]
2. Alasan
Yang Menggugurkan Pelaksanaan Pidana
Selain hal-hal yang menggugurkan penuntutan pidana, KUHP juga
mengatur mengenai hal-hal yang menggugurkan pelaksanaan pidana. Terhadap orang
yang dinyatakan bersalah berdasarkan putusan pengadilan yang berkekuatan hukum
tetap, orang tersebut diwajibkan menjalankan atau melaksanakan hukuman atau
pidana yang dijatuhkan padanya. Namun demikian, dalam hal tertentu orang
pelaksanaan pidana yang harus dijalankan orang itu menjadi gugur.[20]
Pada umumnya,
setelah adanya putusan yang berkekuatan hukum tetap, jaksa pada kesempatan
pertama akan melakukan eksekusi (Pasal 270 KUHAP). Akan tetapi, adakalanya
jaksa tidak dapat melakukan eksekusi atau hak eksekusi telah habis sehingga
putusan yang telah berkekuatan hukum tetap tidak dapat dilakukan untuk
selama-lamanya.[21]
Alasan
terpidana untuk tidak menjalani pidana yang telah dijatuhkan oleh pengadilan
adalah merupakan penerapan hukum terhadap seorang yang telah dijatuhi sanksi
pidana pada suatu saat harus dihentikan. Begitu juga karena pengaruh waktu
dapat menghapuskan hasrat untuk menghukum.
Hapusnya terpidana untuk menjalani
pidana dapat disebabkan karena:
1.
Meninggalnya
terpidana;
2.
Adanya
waktu daluwarsa
3.
Pemberian
amnesti dari Presiden;
4.
Pemberian
grasi dari Presiden.[22]
Untuk lebih
memahami sebab hapusnya terpidana untuk menjalani pidana, kami uraikan sebagai
berikut:
1. Meninggalnya Terpidana
Dalam hukum pidana
terdapat suatu doktrin yang menyatakan bahwa hukuman atau pidana dijatuhkan
semata-mata kepada pribadi terpidana, karenanya tidak dapat dibebankan kepada
ahli warisnya.[23]
Terhadap
ketentuan di atas, dahulu ada pengecualian yang dimuat dalam Pasal 368 HIR yang
berbunyi sebagai berikut.
“Jika orang yang melakukan pelanggaran pidana
telah meninggal setelah putusan hakim yang tidak dapat diubah lagi, maka dalam
perkara-perkara pelanggaran peraturan pajak dan cukai, semua denda dan
perampasan serta biaya-biayanya ditagih dari ahli-ahli waris atau wakil-wakil
orang yang yang meninggal itu.”
Akan
tetapi, ketentuan di atas tidak dianut oleh KUHAP. Sebaiknya dalam rangka
penyempurnaan KUHAP, hal tersebut perlu mendapat perhatian.[24]
Memang
dapat dimengerti bahwa seseorang yang telah dijatuhi pidana oleh pengadilan,
sebelum menjalani pidana terpidana meninggal dunia, maka dengan sendirinya
kewajiban untuk menjalani pidana itu menjadi gugur.[25]
Pasal
83 KUHP berbunyi “Kewenangan menjalankan pidana hapus jika terpidana meninggal
dunia”.[26]
Ketentuan
pasal 83 KUHP itu sebenarnya dapat dikecualikan dalam hal ini pidana yang
dijatuhkan oleh pengadilan berupa pidana denda. Meskipun orang yang dikenalkan
pidana denda itu meninggal dunia, ini tidak perlu membawa akibat hapusnya
pelaksanaan pidana denda. Sebab denda itu dapat saja dilaksanakan terhadap
harta benda yang meninggal. Ketentuan ini dapat diketemukan dalam pelanggaran
peraturan mata penghasilan dan sewa Negara.
Didalam
pelanggaran-pelanggaran lainnya, penagihan denda kepada ahli warisnya tidak
dapat dituntut lagi jika terpidana meninggal dunia. Hanya pelaksanaan
perampasan barang-barang milik terpidana
saja dapat dirampas apabila keputusan pengadilan telah memperoleh
kekuatan hukum yang pasti. Jadi terhadap barang-barnag milik terpidana yang
telah dirampas atas keputusan pengadilan, dapat dilakukan eksekusi bila
terpidana meninggal dunia.
Selain
ketentuan sebagaimana diatur dalam pasal 368 HIR, terdapat juga ketentuan yang
mengatur hal yang sama yaitu dalam Undang-Undang Nomor 7 Drt tahun 1955 LN
nomor 27 tahun 1955 tentang pengusutan,
penuntutan dan peradilan tindak pidana ekonomi, pasal 16 ayat (1) huruf a yang
berbunyi “Jika ada cukup alasan untuk menduga, bahwa seseorang meninggal dunia
sebelum atas perkaranya ada putusan yang dapat diubah lagi telah melakukan
suatu tindak pidana ekonomi, maka hakim atas tuntutan penuntut umum dengan putusan
pengadilan dapat memutus perampasan barang-barang yang telah disita.[27]
Gugurnya pelaksanaan pidana ketika terpidana meninggal
dunia tidak hanya terbatas pada pidana penjara yang dijatuhkan oleh hakim, tapi
termasuk juga pidana tambahan seperti perampasan barang, tetapi tidak termasuk
perintah untuk merusak barang atau menjadikan
barang itu tidak bisa digunakan lagi. Hal yang terakhir bukan merupakan
pidana melainkan tindakan yang dimiliki kepolisian untuk kepentingan keamanan.[28]
Menurut Remmelink, dahulu kala matinya terpidana tidak mennghentikan
semangat memidana. Tatkala orang membunuh diri dipandang sebagai delik
tersendiri, pidana yang dijatuhkan ialah menggantung kembali orang yang
membunuh diri itu. Denda dan penyitaan tetap dieksekusi dengan cara
dikompesasikan dengan benda-benda terpidana mati tersebut.[29]
2. Adanya Daluwarsa
Ketentuan tentang daluwarsa hak eksekusi dimuat dalam Pasal 84 KUHP
yang berbunyi sebagai berikut:
(1)
Hak
menjalankan hukuman hilang karena daluwarsa.
(2)
Tenggang
daluwarsa ini untuk pelanggaran-pelanggaran, lamanya dua tahun, untuk kejahatan
yang dilakukan dengan alat pencetakan, lamanya lima tahun, dan untuk kejahatan
lain, lamanya sama dengan lebih tenggang daluwarsa hak menuntu pidana, ditambah
sepertiga.
(3)
Tenggang
daluwarsa ini sekali-kali tidak boleh kurang dari lamanya hukuman yang telah
dijatuhkan.
(4)
Hak
menjalankan hukuman mati tidak kena daluwarsa.[30]
Berdasarkan
ketentuan Pasal tersebut, pelaksanaan pidana menjadi gugur karena daluwarsa
jika pidana yang dijatuhkan kepada terpidana buka pidana mati. Bagi terpidana
yang dijatuhi pidana mati aturan mengenai daluwarsa sebagai alasan yang
menggugurkan pelaksanaan pidana tidak dapat diberlakukan kepada terpidana itu.
Lalu bagaimana kalau terpidana dijatuhi pidana seumur hidup, KUHP ternyata
tidak mengaturnya. Karena yang secara eksplisit disebutkan sebagai alasan yang
tidak menggugurkan pelaksanaan pidana karena daluwarsa adalah pidana mati,
sedangkan pidana seumur hidup tidak
dijelaskan. Ketentuan mengenai daluwarsa dalam KUHP sebagai alasan yang
menggugurkan pelaksanaan pidana memiliki kelemahan terutama dalam kaitannya
dengan pidana seumur hidup yang dijatuhkan kepada terpidana.[31]
Pasal 84 KUHP mengatur tentang lewat waktu
pelaksanaan pidana. Tenggat lewat waktu mengenai semua pelanggaran lamanya 2
tahun. Kejahatan yang dilakukan dengan sarana percetakan lamanya 5 tahun. Untuk
kejahatan lain sama dengan tenggat lewat waktu penuntutan ditambah lagi
sepertiga. Dalam pasal 83 ayat (3), lamanya tenggat waktu pelaksanaan pidana
tidak boleh kurang dari lamanya pidana yang dijatuhkan. Jadi, jika terpidana
dijatuhi pidana penjara 10 tahun, maka tenggat waktu tidak boleh dari 10 tahun.[32]
3. Pemberian Amnesti Dari Presiden
Diatas telah disebutkan bahwa pasal
14 Undang-Undang Dasar 1945 berbunyi “Presiden memberi grasi, amnesti, abolisi
dan rehabilitasi”.
Kemudian dalam Undang-Undang Darurat
nomor 11 tahun 1954 disebutkan bahwa Presiden atas kepentingan Negara, dapat
memberi amnesti dan abolisi kepada orang-orang yang melakukan tindak pidana.
Hal ini merupakan kewenangan Presiden sebagai Kepala Negara.
Amnesti adalah
suatu pengampunan dari Presiden yang dapat menghapuskan semua akibat hukum
pidana bagi orang-orang yang telah melakukan suatu tindak pidana. Amnesti dapat
diberikan kepada orang-orang yang telah melakukan tindak pidana dengan tidak
terikat oleh waktu kapan amnesti akan diberikan. Jadi amnesti dapat diberikan
sesudah ada keputusan pengadilan.[33]
4. Pemberian Grasi Dari Presiden
Grasi
adalah wewenang dari kepala negara untuk menghapuskan seluruh pidana yang telah
dijatuhkan hakim atau mengurangi pidana, atau menukar hukum pokok yang berat
dengan suatu pidana yang lebih ringan.[34]
Ketentuan
tentang grasi dimuat dalam Pasal 14 UUD 1945. Pengertian grasi adalah wewenang
dari kepada negara untuk mengahapuskan seluruh hukuman yang telah dijatuhkan
hakim atau mengurangi hukuman, atau menukar hukuman pokok yang berat dengan
suatu hukuman yang lebih ringan.
Dahulu,
grasi ini merupakan hak raja sehingga dianggap sebagai anugerah raja. Akan
tetapi, pada saat ini grasi merupakan suatu alat untuk menghapuskan sesuatu
yang dirasakan tidak adil jika hukum yang berlaku menimbulkan kekurangadilan.
Perihal
grasi ini sekarang diatur oleh Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2002 tentang Grasi
yang menggantikan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1950 tentang Permohonan Grasi.[35]
Yang
dapat mengajukan permohonan grasi adalah
terpidana atau pihak lain yang mendapat persetujuan dari terpidana, kecuali
terhadap orang yang telah dijatuhi pidana mati. Pasal 2 ayat (2) Undang-Undang
nomor 3 tahun 1950 tentang Permohonan Grasi, dinyatakan jika orang yang dihukum
pidana tidak mengajukan grasi, maka hakim atau Ketua Pengadilan Negeri harus
mengajukan grasi karena jabatan.
Tenggang waktu untuk mengajukan
grasi, bila terpidana dijatuhi pidana mati, maka waktu 30 (tigapuluh) hari
setelah keputusan pengadilan mempunyai kekuatan hukum tetap diberitahukan
kepada terpidana. Dan untuk terpidana selain dijatuhi pidana mati, tenggang
waktu untuk mengajukan grasi 14 (empatbelas) hari setelah keputusan pengadilan
mempunyai kekuatan hukum tetap.
Dalam hal terpidana dijatuhi pidana
mati, dalam waktu 30 (tigapuluh) hari tidak mengajukan permohonan grasi adalah
terpidana atau pihak lain yang mendapat persetujuan dari terpidana, kecuali
terhadap orang yang telah dijatuhi pidana mati. Pasal 2 ayat ayat (2)
Undang-Undang nomor 3 tahun 1950 tentang Permohona Grasi, dinyatakan jika orang
yang dihukum pidana mati tidak mengajukan grasi, maka hakim atau Ketua
Pengadilan Negeri harus mengajukan grasi karena jabatan. Tenggang waktu untuk
mengajukan grasi, bila terpidana dijatuhi pidana mati, maka waktu 30
(tigapuluh) hari setelah keputusan pengadilan mempunyai kekuatan hukum tetap.
Dalam hal terpidana dijatuhi pidana
mati, dalam waktu 30 (tigapuluh) hari tidak mengajukan permohonan grasi, maka
panitera Pengadilan Negeri yang memutus perkaranya dalam tingkat memberitahukan
hal itu kepada hakim yang mengadili perkara tersebut atau kepada Kepada Kejaksaan
pada pengadilan yang memutus perkaranya pada tingkat pertama.
Meskipun terpidana mati tidak
mengajukan permohonan grasi, maka hakim yang mengadili dan memutus perkaranya
karena jabatan harus mengajukan permohonan grasi kepada Presiden.
Pidana mati tidak dapat
dilaksanakan sebelum keputusan Presiden
mengenai grasi sampai kepada Kepala Kejaksaan pada Pengadilan yang mengadili
perkaranya pada tingkat pertama atau pegawai yang diwajibkan menjalankan
keputusan pengadilan itu.
Permohonan grasi yang diajukan
sesuai dengan tenggang waktu yang ditentukan 14 (empatbelas) hari oleh
terpidana dijatuhi pidana seumur hidup, pidana penjara, pidana kurungan, dan
kurungan pengganti, dapat menunda pelaksanaan hukuman (menunda pelaksanaan
eksekusi putusan pengadilan).
Tetapi dalam pidana kurungan
pengganti, ternyata terpidana mampu membayar dendanya, tetapi tidak mau
membayar denda itu, maka permohonan grasi tidak dapat menunda pelaksanaan
eksekusi mengenai pidana kurungan pengganti. Begitu juga pidana denda tidak
dapat ditunda pelaksanaannya. Sekalipun terpidana mengajukan permohonan grasi kepada Presiden.
Bagaimanakah caranya mengajukan
permohonan grasi? Permohonan grasi harus dilakukan dalam tenggang waktu 30
(tigapuluh) hari bagi terpidana yang dijatuhi pidana mati dan 14 (empatbelas)
hari bagi terpidana yang dijatuhi pidana selain pidana mati. Permohonan grasi
yang memutus perkaranya pada tingkat pertama. Kemudian oleh Panitera diteruskan
kepada hakim yang memutus perkaranya dalam tingkat pertama. Permohonan grasi
dapat juga langsung kepad Presiden. Kemudian oleh Presiden dikirim ke Hakim
yang mengadili dan memutus perkara tersebut. Dalam hal demikian permohonan
grasi dianggap dikirim kepada Panitera pada pengadilan yang memutus pada
tingkat pertama tersebut.
Selanjutnya permohonan grasi dari
terpidana beserta berkas perkaranya dikirim kepada Kepala Kejaksaan Negeri yang
melakukan penuntutan. Setelah Kepala Kejaksaan Negeri menerima berkas
permohonan grasi yang telah dilengkapi dengan pertimbangan jaksa. Kewajiban
Jaksa yang menangani perkara tersebut atau Jaksa yang ditunjuk, adalah
menyampaikan pertimbangan setuju atau tidak setuju permohonan grasi tersebut
dengan mengemukakan alasan yuridis secara objektif secara ringkas, tetapi jelas
dan diuraikan tentang kesalahan terpidana, akibat terhadap diri terpidana dan
masyarakat sekitarnya serta pandangan tentang berat ringannya keputusan
pengadilan yang dijatuhkan.
Selesai Jaksa yang ditunjuk membuat
pertimbangan hukum atas permohonan grasi, bekas permohonan grasi selanjutnya
diserahkan kepada Kepala Kejaksaan Negeri yang bersangkutan untuk dikirim
kepada Presiden melalui ketua Mahkamah Agung Republik Indonesia (Surat Edaran
Jaksa Agung RI No: SE-008/J.A/6/1982).
Dari Mahkamah Agung, berkas
permohonan grasi disaampaikan kepada Menteri Kehakiman. Sebelum Ketua Mahkamah
Agung mengirim berkas permohonan grasi kepada Menteri Kehakiman, Ketua Mahkamah
Agung meminta pertimbangan kepada Jaksa Agung, dalam hal-hal sebagai berikut:
a.
Apabila
keputusan pengadilan itu mengenai hukuman mati;
b.
Apabila
Mahkamah Agung membutuhkan pendapat Jaksa Agung tentang kebijakan;
c.
Apabila
Jaksa Agung sebelumnya mengemukakan keinginannya kepada Ketua Mahkamah Agung
untuk diminta pertimbangannya.
Menteri Kehakiman dapat meminta
pertimbangan kepada Menteri yang lain tentang permohonan grasi sebelum
meneruskan kepada Presiden.
Bila permohonan grasi dimajukan atas
hukuman yang dijatuhkan oleh pengadilan Tentara, maka perkataan Ketua
Pengadilan, Mahkamah Agung Indonesia, Jaksa, Kepala Kejaksaan dan Jaksa Agung.
Jaksa Agung harus dibaca Ketua Pengadilan Tentara (Mahkamah Tentara), Mahkamah
Tentara Agung (Mahkamah Militer Agung), Jaksa Tentara (Oditur Militer), Kepala
Kejaksaan Tentara (Komandan Oditorat Militer) dan Jaksa Militer Agung (Oditur Militer
Agung).[36]
BAB III
PENUTUP
PENUTUP
A. Kesimpulan
-
Alasan yang
dapat meneybabkan terhapusnya wewenang penuntutan pidana adalah sebagai
berikut:
1. Ne Bis In Idem
2. Terdakwa meninggal dunia
3. Daluarsa
4. Penyelesaian perkara diluar pengadilan
5. Pembayaran Denda
6. Amnestid dan Abolisi
-
Alasan yang
dapat menyebabkan terhapusnya menjalankan pidana adalah sebagai berikut:
1. Meninggalnya terpidana
2. Adanya waktu daluarsa
3. Pemberian amnesti dari presiden
4. Pemberian grasi dari presiden.
DAFTAR PUSTAKA
Alfitra.
2009. Gugur atau Batalnya Hak Penuntutan Serta Menjalankan Pidana Menurut Hukum Positif
Indonesia. Jakarta: Sejahtera Printing.
Ali,
Mahrus. 2012. Dasar-dasar Hukum Pidana. Jakarta: Sinar Grafika.
Hamzah,
Andi. 2014. Asas-asas Hukum Pidana. Jakarta, Rineka Cipta.
_____________
KUHP dan KUHAP. Jakarta: Rineke Cipta.
Marpaung,
Leden. 2008. Asas-Teori-Praktik Hukum Pidana. Jakarta: Sinar Grafika.
Lucky Club Casino Site - Live Casino - LuckyClub.live
BalasHapusLucky Club casino is an online gambling site operated by a group of well luckyclub known operators and operators that has been around since 1999. It was launched in