BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar
Belakang
Perkembangan
hukum Islam di Indonesia terbagi kedalam beberapa masa yakni peratama, masa
sebelum pemerintahan kolonial Belanda yang disana pada waktu itu pemerintahan
berbentuk kerajaan. Kedua, masa pemerintahan kolonial Belanda. Ketiga, masa
penjajahan Jepang. Keempat, pada masa kemerdekaan (1945-1974). Kelima, pasca
kemerdekaan setelah diundangkannya UU No. 1 tahun 1974.
Di
Negara yang baru merdeka terdapat gejala umum, yaitu munculnya kehendak untuk
menghapuskan hukum yang diwariskan oleh penjajah. Hukum yang diwariskan
kolonial itu diganti dengan hukum yang dianggap cocok dengan alam kemerdekaan,
yang digali dari nilai-nilai yang dianut oleh massyaraka dan hukum penggantinya
itu dianggap mampu menampung dan mengikuti perubahan yang dialami masyarakat
dalam negara itu.
Perkembangan
peradilan itu merupakan perubahan yang memiliki makna perluasan dan terdapat
penambahan dari berbagi aspek, dimulai dari aspek yang berkenaan dengan
kedudukan peradilan sampai kepada hukum acara yang dijadikan sebagai landasan
dalam penerimaan, pemeriksaan, putusan dan penyelesaian perkara.
Berbicara
tentang Peradilan Agama sebenarnya kita sedang membicarakan sejarah penegakan
hukum Islam di Indonesia. Penegakan hukum di tanah air telah dilakukan oleh
masyarakat Islam sejak Islam dianut oleh masyarakat Nusantara. Hukum Islam
memiliki kedudukan sendiri dalam massyarakat disamping kebiasaan adat penduduk
yang tambah berkembang dalam masyarakat.
Lain
dari pada itu, dilihat dari kedudukan Peradilan Agama mulai dari masa sebelum
colonial sampai kepada munculnya UU No. 7 tahun 1989, terjadi pasang surut baik
dari segi kedudukannya ataupun kekuasaan pengadilan dalam pengambilan
keputusan. Sebagai salah satu perwujudan politik hukum yang diambil oleh
penguasa Negara melalui interaksi dikalangan elite politik nasional perkembangan
itu merupakan suatu perubahan yang memiliki makna perluasan ataupun penambahan,
yang didasarkan pada peraturan perundang-undangan.
Aktualisasi perkembangan itu di uji
dalam cakupan yang lebih luas yaitu dalam peranan yang dimainkan oleh badan peradilan
sesuai kedudukannya. Berangkat dari sinilah kami menulis makalah ini sebagai
sarana menambah pengetahuan sejarah perkembangan Peradilan Agama serta
kedudukan serta kewenangangnya pada saat itu di Indonesia yang diberi judul
"Kedudukan Kewenangan Peradilan Agama Lahirnya UU. No. 7 1989 tentang
Peradilan Agama dan Lahirnya Kompilasi Hukum Islam dalam tatanan Masyarakat
Majemuk".
B.
Rumusan
Masalah
1. Bagaimana
proses perancangan UU No. 07 Tahun 1989?
2. Bagaimana
Lahirnya UU No. 07 Tahun 1989?
3. Apa saja
yang berubah setelah lahirnya UU No. 07 Tahun 1989?
C.
Tujuan
Adapun tujuan
dari penulisan makalah ini adalah mencoba untuk memberikan informasi kepada
rekan-rekan kami pada khususnya dan kepada masyarakat pada umumnya tentang Peradilan Agama di Indonesia setelah
lahirnya UU No. 07 Tahun 1989 dalam bahasan mata kuliah Peradilan Agama di Indonesia.
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Proses
Perancangan UU No. 07 Tahun 1989
Bila kita membicarakan Peradilan Agama sebenarnya kita sedang
membicarakan sejarah penegakan hukum Islam di Indonesia. Penegakan hukum Islam
di Tanah Air kita telah dilakukan oleh masyarakat Islam sejak Islam diaut oleh
penduduk Nusantara ini. Setelah kerajaan-kerajaan Islam berdiri diberbagai
bagian kepulauan kita, kerajaan-kerajaan itu mendirikan lembaga peradilan untuk
menegakkan hukum Islam yang merupakan bagian agama Islam. Misalnya, sebagai
contoh: di Kerajaan Pasai, Kesultanan Aceh, Jambi, Palembang, Demak, Mataram,
dan Kerajaan-kerajaan Islam lain. Sejarah telah mencatat pula bahwa sebelum
Belanda mengukuhkan kekuasaannya di Indonesia, hukum Islam mempunyai kedudukan
sendiri dalam masyarakat. Sebagai hukum berdiri sendiri, hukum Islam yang
berlaku bagi umat Islam itu tumbuh dan berkembang dalam masyarkat di samping
kebiasaan atau adat penduduk.
Usaha awal mempersiapkan Rancangan Undang-Undang Peradilan Agama
telah dimulai sejak tahun 1971, dalam rangka melaksanakan perintah Pasal 12
Undang-Undang tentang Pokok-pokok Kekuasaan Kehakiman sebagai pelaksanaan pasal
24 Undang-Undang Dasar 1945.
Sehubungan dengan hal tersebut pada tahun 1982, pemerintah
membentuk Tim Inti Pembahasan dan Penyusunan Rancangan Undang-Undang tentang
Acara Peradilan Agama serta RUU tentang Susunan dan Kekuasaan Badan-badan
Peradilan Agama. Tim ini bekerja di Badan Pembinaan HukumNasional Departemen
Kehakiman, beranggotakan unsur-unsur dari Mahkamah Agung (Imam Anis Busthanul
Arifin), Departemen Kehakiman (Santoso Poedjosoebarto), BPHN (Nur Aini Barda’i,
dan Wahiduddin Adam), Departemen Agama (Muchtar Zarkasyi). Fakultas Ilmu Sosial
dan Ilmu Politik Universitas Indonesia (Ny. Habibah Daud), Fakultas Syariah
IAIN Syarif Hidayatullah (A. Wasit Aulawi dan Asro Sosroatmodjo). Tim yang diketuai
oleh Hakim Agung, kemudian diganti oleh Ketua Muda Mahkamah Agung Urusan
Lingkungan Peradilan Agama ini, berhasil menyelesaikan tugasnya pada bulan
Maret 1984 denga menyusun dua Rancangan Undang-Undang yaitu Rancangan
Undang-Undang tentang Hukum Acara Perdata Peradilan Agama (yang terdri dari 204
pasal), dan rancangan Undang-Undang tentang susunan dan kekuasaan Bada-badan
Peradilan Agama (58 pasal). Jumlah pasal dalam kedua Rancangan Undang-Undang
tersebut telah disatukan dan diringkaskan oleh tim lain menjadi Rancangan
Undang-Undang Peradilan Agama yang memuat hanya 108 pasal saja, rancangan yang
tersebut terakhir inilah yang diproses di dalam Dewan Perwakilan Rakyat
Republik Indonesia. Ada perbedaan fundamental antara Rancangan Undang-Udang
yang dibuat oleh Tim Inti tersebut denga Rancangan Undang-Undang Peradilan
Agama yang sekarang ini, terutama mengenai kekuasaan atau wewenang Pengadilan Agama. Masalah wewenang Pengadilan Agama ini adalah
masalah inti dalam Rancangan Undang-Undang Peradilan Agama itu, karena ia
merupakan jantung Pengadilan Agama perlu dicatat bahwa setelah RUU ini menjadi
undang-undang kelak banyak hal yang akan dicapai dalam sistem hukum dan sistem
peradilan nasional Indonesia. Diantaranya seperti: (1) terlaksananya
ketentuan-ketentuan yang termaktub dalam Undang-Undang tentang
ketentuan-ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman terutama yang disebut dalam pasal
10 ayat (1) dan Pasal 12, dalam rangka melaksanakan Pasal 24 Undang-Undang
Dasar 1945 secara murni dan konsekuen; (2) terjadi pembaruan dan pembangunan
hukum dalam makna peningkatan dan penyempurnaan perangkat hukum nasional
dibidang peradilan agama sebagai bagian dari sistem peradilan nasional;
(3) sebagai pelaksana kekuasaan
kehakiman dala lingkungan Peradilan Agama, Pengadilan Agama akan mampu secara
mandiri melaksanakan keputusan-keputusannya karena selain dari telah mempunyai
hukum acara sendiri juga telah mempunyai kelengkapan juru sita sebagai
pelaksana putusan-putusannya; (4) kedudukannya benar-benar (akan) sama dan sederajatnya
dengan pengadilan-pengadilan dalam lingungan peradilan umum, militer, dan tata
usaha negara; (5) mempunyai wewenang yang sama di seluruh Indonesia; (6)
terjadi unifikasi hukum acara Peradilan Agama, yang memungkinkan terwujudnya
ketertiban dan kepastian hukum yang berintikan keadilan dalam lingkungan
Peradilan Agama; dan (7) lebih memantapkan usaha penggalian berbagai asas dan
kaidah hukum Islam melalui yurisprudensi yang akan dijadikan salah satu bahan
baku dalam penyusunan dan pembangunan hukum nasional.[1]
B.
Lahirnya UU
Nomor 7 Tahun 1989
Undang-undang
Nomor 7 Tahun 1989 disahkan dan diundangkan tanggal 29 Desember 1989. Kemudian
ditempatkan dalam Lembaran Negara RI Nomor 49 tahun 1989 dan Tambahan Lembaran
Negara Nomor 3400. Isi UU Nomor 7 Tahun 1989 terdiri atas 7 Bab, meliputi 108
pasal. Ketujuh Bab itu adalah Ketentuan umum, Sususnan Pengadilan, Kekuasaan
Pengadilan, Hukum Acara, Ketentuan-ketentuan lain, Ketentuan Peralihan, dan
Ketentuan Penutup. Disamping itu, dimuat Penjelasan Umum dan Penjelasan Pasal
demi Pasal.
Ketika itu gancarnya tantangan dan hambatan yang datang baik dari
perorangan maupun dari kelompok yang tidak menginginkan terwujudnya Rancangan
Undang-Undang Peradilan Agama itu menjadi undang-undang dengan berbagai alasan
bahkan tuduhan yang tidak berdasar, sejak dari Keterangan Pemerintah mengenai
RUU-PA itu disampaikan oleh Menteri Agama Rapat Paripurna DPR tanggal 28
Januari 1989 sampai dengan akhir bulan Agustus 1989, kehadiran Undang-Undang
Peradilan Agama ini patutlah disyukuri. Selain disyukuri, agaknya lahirnya
undang-undang dimaksud dapat pula dipandang sebagai amal jariah bersama
penyelenggara negara dan warga negara yang telah berupaya memenuhi kebutuhan
dasar umat Islam dengan menyediakan sarana atau fasilitas yang diperlukan umat
Islam Indonesia untuk beribadah mematuhi ajaran agamanya dengan melaksanakan
ketentuan-ketentuan hukum islam yang sidebutkan dalam Undang-Undanf Peradilan
Agama.
Hukum Islam adalah bagian Agama Islam, dirumuskan dengan tepat oleh
orientasi terkemuka Christian Snouck Hurgronje “Islam is a religion of law in the full meaning of the word”. Artinya,
lebih kurang, Islam adalah agam hukum dalam arti yang sebenarnya. Ini berarti
bahwa agama Islam mengadung norma-norma hukum, baik kaidah-kaidah yang mengatur
hubungan manusia dengan Allah Tuhan Yang Maha Esa yang sepenuhnya dapat
dilaksanakan oleh pemeluk agama Islam secara pribadi, maupun kaidah-kaidah yang
mengatur hubungan manusia dengan manusia lain dan benda dalam kehidupan
masyarakat yang memerlukan bantuan penyelenggara negara untuk dapat
melkasanakan dengan sempurna, bermakna pula bahwa agama Islam dan hukum Islam
tidak dapat diverai pisahkan. Dan kalau kenyataan ini dihubungkan dengan
kata-kata “Negara menjamin kemerdekaan penduduk untuk memeluk agamanya dan
beribadat menurut agamanyitu” seperti yang tercantum dalam Pasal 29 Ayat (2)
UUD 1945, ini berarti pula bahwa negara menjamin, dalam makna memberi
kesempatan kepada pemeluk agama Islam menaati hukum Islam yang menjadi bagian
mutlak ajaran agamanya. Hukum Islam yang dimaksudkan adalah hukum perdata Islam
yang disebutkan dalam Undang-Undang Peradilan Agama itu, terbatas hanya pada
hukum perkawinan, kewarisan, wasiat, hibah, wakaf, dan sedekah yang telah
menjadi bagian hukum positif di Tanah Air kita. Bahkan kemudian wewenang
sebagai Peradilan Agama, seperti “Aceh” berkembang pada wewenang pidana.
Susunan kekusasaan Undang-undang Peradilan
Agama yang disahkan dan diundangkan itu terdiri dari 7 bab 108 pasal dengan
sistematik sebagai berikut: Bab 1 tentang Ketentuan Umum, Bab 2-3 mengenai
Susunan dan Kekuasaan Peradilan Agama, Bab 4 Hukum Acara, Bab 5
Ketentuan-ketentuan lain, Bab 6 Ketentuan Peralihan, dan Bab 7 Ketentuan
Penutup.
Bab 1 memuat ketentuan umum tentang
pengertian, kedudukan, tempat kedudukan, dan pembinaan pengadilan dalam
lingkungan Peradilan Agama. Mengenai pengertian disebutkan bahwa yang dimaksud
dengan Peradilan Agama adalah peradilan bagi orang-orang yang beragama Islam,
terdiri dari (1) Pengadilan Agama sebagai pengadilan tingkat pertama dan
(2) Pengadilan Tinggi Agama yang merupakan pengadilan tinggi banding.
Tentang kedudukannya disebutkan bahwa Peradilan Agama merupakan salah satu
pelaksana kekuasaan kehakiman bagi rakyat pencari keadilan yang beragama Islam
mengenai perkara tertentu (yang disebut dalam undang-undang itu). Pengadilan
Agama berkedudukan di kota madya atau di ibu kota kabupaten, sedang Pengadilan
Tinggi Agama berkedudukan di ibukota provinsi. Kedua-duanya berpuncak pada Mahkamah
Agung sebagai pengadilan negara tertinggi. Pembinaan teknis peradilannya,
karena itu, dilakukan oleh Mahkamah Agung di bawah pimpinan Ketua Muda Mahkamah
Agung Bidang Lingkungan Peradilan Agama. Pembinaan organisasi adminitrasi, dan
keuangannya, seperti halnya dengan badan-badan peradilan lain, dilakukan oleh
Departemen Teknis, yaitu Departemen Agama yang dipimpin oleh Menteri Agama.
Bab
2 mengatur tentang susunan pengadilan agama dan pengadilan, yakni
seorang wakil ketua, hakim anggota, panitera, sekretaris, dan juru sita.
Susunan pengadilan tinggi agama terdiri bdari pimpinan, yaitu seorang ketua dan
seorang wakil ktua, hakim tinggi (agama) sebagai hakim anggota, panitera, dan
sekretaris. Bagian kedua mengatur tentang syarta dan tata cara pengangkatan,
pemberhentain ketua, wakil ketua, hakim, panitera, dan juru sita peradilan
agama.
Untuk
dapat diangkat kedalamlain dari syara jabatan yang ada dalam susunan pengadilan
dalam lingkungan perdailan agama, seseorang harus memenuhi syarat. Selain dari
syarat-syarat umum yang berlaku bagi pengangkatan pegawai negeri dan pegawai di
badan-badan peradilan lain, untuk para pejabat di lingkungan peradilan agama da
syarat khusus yakni harus beragama Islam. Syarat ini tidaklah dimaksudkan untuk
mengadakan deskriminasi berdasarkan agama, tetapi diperlakukan agar para
pencari keadilan yang beragama Islam yang datang ke peradilan agama itu merasa
mantap hati dan perasaannya melaksanakan umum berurusan dengan orang yang
seagama dengan dia. Dan, karena sifat pekerjaan yang khusus dilingkungan
peradilan agama, kecuali dengan juru sita, syarat lain yang ditentukan untuk
dapat diangkat kedalam jabatan-jabatan itu adalah berijazah sarjana syari’ah
atau sarjana hukum yang menguasain hukum Islam. Bagian ketiga mengatur tentang sekretaris
yang memimpin sekretariat pengadilan dalam lingkungan peradilan agama, panitera
pengadilan merangkap sebagai sekretaris pengadilan. Dalam melaksanakan
kesekretariatan ia dibantu oleh wakil sekretaris untuk dapat diangkat menjadi
wakil sekretaris baik di pengadilan agama maupun di pengadilan tinggi agama,
seorang calon harus memenuhi syarat-syarat tersebut diatas selain dari beragama
Islam, untuk pengadilan agama ia harus berijazah serendah-rendahnya sarjana
muda syari’ah atau sarjana muda hukum yang menguasain hukum Islam atau sarja
muda administrasi. Untuk pengadilan agama, berijazah syari’ah atau sarjana
hukum yang menguasai hukum Islam.
Bab
3 mengatur kekuasaaan pengadilan dalam lingkungan peradilan agama. Dalam
pasal 49 ayat (1) disebutkan bahwa pengadilan agama bertugas dan berwenang
memeriksa, memutus, dan menyelesaikan perkara-perkara ditingkat pertama antara
orang-orang yang beragama Islam di bidang (a) perkawinan; (b) warisan wasiat,
dan hibah yang dilakukan berdasarkan hukum Islam; (c) wakaf dan sedekah. Dalam
penjelasan Undang-undang Peradilan Agama ini, pasal 49 ayat 1 diatas dinyatakan
cukup jelas mengenai bidang perkawinan, pasal 49 ayat 1 menyebutkan bahwa yang
dimaksud ialah hal-hal yang diatur dalam atau berdasarkan undang-undang mengenai
perkawinan. Pasal 49 ayat (2) ini dalam penjelasan diperinci lebih lanjut
kedalam 202 butir 10 tentang penyelesaian harta bersama baik karena perceraian
maupun atas permohonan pihak-pihak yang berkepentingan diluar sengketa. Dalam
pasal 66 ayat (5) dan pasal 86 ayat (1) soal harta bersama ini dirumuskan
dengan jelas bersama dengan permohonan atau gugatan soal penguasaan anak,
nafkah anak, dan nafkah istri. Ini merupakan penting dan mendasar kalau
dibandingkan dengan keadaan selama ini dimana soal harta bersama itu baru dapat
dimajukan kemudian dan diselesaikan tidak oleh pengadilan agama tetapi oleh
pengadilan negeri. Menurut pasal 49 ayat (3) kewenangan pengadilan agama
dibidang kewarisan yang disebut dalam pasar 49 ayat (1) huruf B sebelumnya, adalah
mengenai penentuan, siapa-siapa yang menjadi ahli waris, penetuan mengenai
harta peninggalan, penentuan bagian masing-masing ahli waris dan melaksanakan
pembagian harta peninggalan tersebut. Dengan demikian, kewenangan Pengadilan
Agama di Jawa dan Madura serta sebagian bekas residensi Kalimantan Selatan dan
Kalimantan Timur mengenai perkara-perkara kewarisan yang dicabut oleh
pemerintah Belanda pada tahun 1937, melalui undang-undang ini dikembalikan lagi
menjadi wewenang agama, sehingga kewenangan agama Madura dan di sebagian
Kalimantan Selatan dan Timur itu disamakan dengan kewenangan Pengadilan Agama
di daerah-daerah lainnya di Indonesia. Pasal 49 ayat (3) dan penjelasan pasal
demi pasal dinyatakan cukup jelas. Hanya, dalam penjelasan umum disebutkan
bahwa para pihak sebelum berperkara dapat mempertimbangkan untuk memilih hukum
apa yang digunakan oleh dalam pembagian warisannya. Mempertimbangkan untuk
memilih hukum yang digunakan dalam pembagian warisan adalah mempertimbangkan
kemaslahatan ahli waris. Dalam pertimbangan kemaslahatan ahli waris sebelum
berperkara, hukum Islam membuka peluang bagi ahli waris untuk berdamai,
bermusyawarah untuk mencapai kata mufakat dalam menentukan perolehan
masing-masing berdasarkan kerelaan, keikhlasan, dan kekeluargaan.
Hukum acara diatur dalam Bab 4 Undang-Undang Peradilan Agama. bagian pertama
mengatur hal-hal yang bersifat umum. Diantaranya disebutkan bahwa hukum acara
yang berlaku pada pengadilan dalam lingkungan peradilan agama adalah hukum
acara perdata yang berlaku pada pengadilan dalam lingkungan peradilan umum,
kecuali yang telah diatur secara khusus dalam undang-undang ini. Yang diatur
secara khusus dalam Undang-undang Peradilan Agama, disebutkan dalam bagian
kedua yaitu pemeriksaan sengketa perkawinan berkenaan dengan (a) cerai talak
yang datang dari pihak suami; (b) cerai gugat yang datang baik dari pihak istri
maupun dari pihak suami; dan (c) dengan alasan zina.
Kalau diperhatikan
proses pemeriksaan sengketa perkawinan di Pengadilan Agama jelas bahwa
undang-undang ini berupaya melindungi dan meningkatkan kedudukan wanita dengan
memberikan hak yang sama kepada istri dalam megajukan gugatan serta melakukan
pembelaan di muka pengadilan. Untuk melindungi pihak istri, misalnya gugatan
perceraian yang diajukan pada suaminya (tergugat) tidak harus ditujukan ke
pengadilan di daerah hukum kediaman tergugat seperti yang telah menjadi prinsip
dalam hukum acara perdata umum, tetapi dalam hukum acara perdata peradilan
agama ini gugatan itu ditujukan kepada pengadilan yang daerah hukumnya meliputi
tempat kediaman istri (penggugat) bersangkutan. Sementara itu perlu dicatat
pula bahwa di bagian Bab 5 ini disebutkan: tiap penetapan dan putusan peradilan
agama dimulai dengan kalimat bismillahirrahmanirrahim diikuti dengan
kata-kata demi keadilan berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Penyebutan
kata-kata bismillahirrahmanirrahim pada setiap penetapan dalam putusan
peradilan agama itu, selain dari menunjukkan ciri khusus pelaksana kekuasaan
kehakiman yang satu ini, kata-kata itu juga dapat dihubungkan langsung engan
kata-kata “atas berkat rahmat Allah Yang Maha Kuasa” yang tercantum dalam
Pembukaan Undang-undang Dasar 1945, kata-kata itu mempunyai fungi dan makna
tersendiri bagi hakim dan para pejabat di lingkungan peradilan agama dalam
melaksanakan tugasnya. Melalui kalimat pendek yang mencakup maknanya itu,
mereka diingatkan agar selalu teliti dan hati-hati bekerja, sebab semua (isi)
penetapan dan putusan yang mereka buat dan laksanakan yang diawali dengan asma
(nama) Allah itu, sesungguhnya berada dalam titikan Allah mengetahui, maha adil
dan bijkasana yang pasti, menurut keyakinan seorang muslim, akan dimintai
pertanggungjawabannya kelak di akhirat. Bagian lain yakni bagian ketiga Bab 4
ini menyebut soal biaya perkara yang diatur oleh Menteri Agama dengan
persetujuan Mahkamah Agung berdasarkan asas peradilan sederhana, cepat, dan
biaya ringan.
Bab 5 menyebut ketentuan-ketentuan
lain mengenai administrasi peradilan, pembagian tugas para hakim, panitera
dalam melaksanakan tugasnya masing-masing. Dalam bab ini disebut dengan jelas
tugas juru sita untuk (a) melaksanakan semua perintah yang diberikan oleh ketua
sidang; (b) menyampaikan pengumuman-pengumuman, teguran-teguran dan
pemberitahuan penetapan atau putusan pengadilan menurut cara-cara berdasarkan
ketentuan undang-undang; (c) melakukan penyitaan atas perintah ketua
pengadilan; (d) membuat berita penyitaan, yang salinan resminya diserahkan kepada
pihak-pihak yang berkepentingan. Juru sita Pengdilan Agama berwenang melakukan
tugasnya di daerah hukum pengadilan yang bersangkutan.
Juru sita, tidak
ada dalam urusan peradilan agama ini, sehingga dalam melaksanakan putusannya
yang tidak mau dilaksanakan oleh para pihak, terutama oleh mereka yang kalah,
pengadilan agama selalu bergantung pada pengadilan negeri. Dengan kata lain,
karena tidak ada juru sita dalam tubuhnya sendiri, putusan pengadilan agama
tidak dapat dilaksanakannya sendiri, tetapi harus “minta” persetujuan untuk
dilaksanakan dari ketua pengadilan negeri. Persetujuan ini, dalam kepustakaan
hukum Indonesia, disebut dengan fiat eksekusi. Karena ketiadaan juru sita itu
pula, maka setiap putusan pengadilan agama di bidang perkawinan selama ini
perlu dikukuhkan oleh pengadilan umum atau pengadilan negeri. Dengan
Undang-undang Peradilan Agama ini, ketergantungan pengadilan agama
kepada pengadilan negeri yang telah berlangsung selama 107 tahun di Jawa dan
Madura, diakhiri melalui undang-undang ini pula semua aturan yang menentukan
ketergantungan peradilan agama kepada peradilan umum, telah terhapuskan. Kini,
peradilan agama tidak lagi seakan-akan “peradilan semu”, tetapi telah
benar-benar menjadi peradilan mandiri.
Bab 6 mengenai ketentuan
peralihan. Dalam bab ini disebutkan antara lain bahwa (1) semua badan
peradilan agama yang telah ada dinyatakan sebagai badan peradilan agama menurut
undang-undang ini. Di seluruh Indonesia, peradilan agama itu berjumlah 321
buah, terdiri dari 303 pengadilan agama dan 18 pengadilan tinggi agama.
ketentuan peradilan ini menyatakan pula
bahwa (2) semua peraturan pelaksanaan yang telah ada mengenai peradilan agama
dinyatakan tetap berlaku sepanjang peraturan itu tidak bertentangan dengan
undang-undang ini dan selama ketentuan baru berdasarkan undang-undang ini belum
dikeluarkan.
Bab 7 tentang ketentuan
penutup. Dalam bab terakhir ini ditegaskan bahwa pada saat mulai berlakunya
Undang-Undang Peradilan agama, semua peraturan tentang peradilan agama di Jawa
dan Madura, di sebagian (bekas) residensi Kalimantan Selatan dan Timur, dan di
bagian lain wilayah Republik Indonesia, dinyatakan tidak berlaku lagi. Dengan
demikian, terciptalah pula kesatuan hukum yang mengatur peradilan agama
diseluruh Indonesia, sebagai penerapan wawasan Nusantara. Di samping itu,
dinyatakan juga bahwa aturan mengenai pengukuhan yang disebut dalam Pasal 63
ayat (2) Undang-Undang Perkawinan, tidak berlaku lagi. Disebutkan pula dalam
ketentuan penutup bahwa pembagian harta peninggalan diluar sengketa antar
orang-orang beragama Islam yang dilakukan berdasarkan hukum Islam, diselesaikan
(juga) oleh pengadilan agama dengan disahkannya Undang-Undang Peradilan Agama,
perubahan penting dan mendasar terjadi dalam lingkungan peradilan agama.
Diantaranya:
1.
Perdailan
agama telah menjadi peradilan mandiri, kedudukannya telah sejajar dan sederajat
dengan peradilna umum, peradilan militer, dan peradilan tata usaha negara.
2.
Nama,
susunan, wewenang (kekuasaan) dan hukum acara peradilan agama telah sama dan
seragam di seluruh Indonesia. Terciptanya unifikasi hukum acara peradilan agama
itu akan memudahkan terwujudnya ketertiban dan kepastian hukum yang berintikan
keadilan dalam lingkungan peradilan agama.
3.
Perlindungan
terhadap wanita lebih ditingkatkan, dengan jalan antara lain memberikan hak
yang sama kepada istri dalam berproses membela kepentingannya dimuka pengadilan
agama.
4.
Lebih
menatapkan upaya penggalian berbagai asas dan kaidah hukum Islam melalui
yurisprudensi sebagai salah satu bahan dalam penyusunan dan pembinaan hukum
nasional.
5.
Terlaksananya
ketentuan-ketentuan dalam Undang-Undang Pokok Kekuasaan Kehakiman, terutama
yang disebut pada Pasal 10 ayat (1) mengenai kedudukan pengadilan agama dan
pasal 12 tentang susunan, kekuasaan, dan (hukum) acaranya.
6.
Terselenggaranya
pembangunan hukum nasional berwawasan Bhinneka Tunggal Ika dalam bentuk
Undang-Undang Peradilan Agama.
Dari uraian pasal ini dapat disimpulkan bahwa:
1.
Wakaf
sebagai satu lembaga keagamaan dapat digunakan sebagai sarana pengembangan
kehidupan beragama dalam rangka mencapai kesejahteraan masyarakat;
2.
Wakaf
bisa dengan waktu selamanya dan boleh pula dengan jangka waktu tertentu;
3.
Pada
dasarnya wakaf tidak boleh diubah atau diganti, kecuali dalam keadaan tertentu
dengan prosedur yang dibenarkan peraturan perundangan; dan
4.
Dalam
hal penyelewengan benda wakaf dalam Undang-Undang No. 1 Tahun 2004 tentang
wakaf terdapat ketentuan-ketentuan Pidana yang lebih rinci. [2]
C.
Perubahan
Akibat Lahirnya UU No. 07 Tahun 1989
Secara umum isi UU No. 07 Tahun 1989 memuat beberapa perubahan tentang
penyelenggaraan PADI, yaitu:
- Perubahan
tentang dasar hukum penyelenggaraan PADI.
- Perubahan
tentang kedudukan PADI dalam tata peradilan nasional.
- Perubahan
tentang kedudukan hakim peradilan agama.
- Perubahan
tentang kekuasaan pengadilan dalam lingkungan PADI.
- Perubahan
tentang hukum acara peradilan agama.
- Perubahan
tentang administrasi peradilan agama.
- Perubahan
tentang perlindungan terhadap wanita.
Perubahan pertama tentang dasar hukum penyelenggaraan peradilan.
Sebelum UU Nomor 7 tahun 1989 berlaku, dasar penyelenggaraan peradilan beraneka
ragam. Sebagian merupakan produk pemerintah kolonial Belanda, dan sebagian
produk pemerintah Republik IIndonesia. Dasar hukum itu meliputi berbagai
peraturan perundang-undangan, yaitu:
1.
Peraturan
tentang Peradilan Agama di Jawa dan Madura (Staatblad Tahun 1882 Nomor 152 dan
Staatblad Tahun 1937 Nomor 116 dan 610)
2.
Peraturan
tentang Kerapatan Qadi dan Kerapatan Qadi Besar untuk Sebagian Residensi
Kalimantan Selatan dan Timur (Staatblad. Tahun 1937 Nomor 638 dan 639).
3.
Peraturan
Pemeritah Nomor 45 Tahun 1957 tentang Pembentukan Pengadilan Agama/Mahkamah
Syariah di luar Jawa dan Madura (Lembaran
Negara Tahun 1957 Nomor 99).
4.
Ketentuan
sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 63 ayat (2) Undang-Undang Nomor 1 Tahun
1974 tentang Perkawinan(Lembaran Negara tahun 1974 Nomor 1, Tambahan Lebaran
Negara Nomor 3019).
Sejak berlakunya UU Nomor 7 Tahun 1989 semua peraturan
perundang-undangan tersebut dinyatakan tidak berlaku lagi. Dengan demikian,
maka penyelenggaraan PADI didasarkan pada peraturan yang sama atau seragam.
Penyeragaman itu dilakukan sebagai upaya penerapan konsep Wawasan Nusantara di
bidang hukum, dan sebagai pelaksanaan politik hukum nasional sebagaimana
diamanatkan di dalam GBHN. Penyeragaman tersebut juga dilakukan untuk
mewujudkan penyelenggaraan peradilan yang sederhana, cepat, dan biaya ringan,
sesuai dengan ketentuan sebagaimana diatur dalam UU Nomor 14 Tahun 1970 Jo. UU
Nomor 35 Tahun 1999.
Perubahan kedua tentang kedudukan pengadilan. Sebelum berlakunya UU
Nomor 7 Tahun 1989 terdapat ketidaksejajaran antara pengadilan dalam lingkungan
Peradilan Agama dengan pengadilan lainnya, khususnya dengan pengadilan dalam lingkungan
Peradilan Umum. Hal itu tercermin dengan adanya pranata pengukuhan putusan Pengadilan Agama oleh Pengadilan Negeri.
Berdasarkan UU Nomor 7 Tahun 1989 kedudukan pengadilan dalam lingkungan
Peradilan Agama sejajar dengan Pengadilan dalam lingkungan peradilan lainnya,
khususnya dengan pengadilan dalam lingkungan Peradilan Umum. Ketentuan pengukuhan putusan Pengadilan Agama oleh Pengadilan Negeri,
sebagaimana diatur dalam pasal 63 Ayat (2) UU Nomor 1 Tahun 1974 dinyatakan dicabut.
Dengan demikian, Pengadilan Agama memiliiki kemandirian untuk melaksanakan
putusannya sendiri yang dilaksanakan oleh jurusita. Kejurusitaan merupakan
pranata baru di dalam susunan organisasi Pengadilan Agama.
Perubahan ketiga
tentang kedudukan hakim. Menurut ketentuan pasal 15 ayat (1), Hakim diangkat
dan diberhentikan oleh Presiden selaku Kepala Negara atas usul Menteri Agama
berdasarkan persetujuan Mahkamah Agung. Hal yang sama berlaku bagi hakim dalam
lingkungan Peradilan Umum dan hakim dalam lingkungan Peradilan Tata Usaha
Negara. Dalam menjalankan tugasnya, hakim memiliki kebebasan untuk membuat
keputusan, terlepas dari pengaruh pemerintah dan pengaruh pihak lainnya.
Perubahan keempat
tentang wewenang pengadilan. Menurur ketentuan pasal 49 ayat (1), “Pengadilan
Agama bertugas dan berwenang memeriksa, memutus, dan menyelesaikan
perkara-perkara di tingkat pertama antara orang-orang yang beragama Islam di
bidang: a. Perkawinan; b. Kewarisan, wasiat, dan hibah, yang dilakukan
berdasarkan hukum Islam; c. Wakaf dan Shadaqah”. Hal itu menunjukkan bahwa
wewenang pengadilan dalam lingkungan Peradilan Agama di Jawa-Madura
dikembalikan sebagaimana wewenang yang berlaku sebelum tahun 1937. Dengan
perkataan lain, wewenang pengadilan tersebut “lebih luas” dibandingkan dengan
masa sebelumnya (1937-1989). Sedangkan wewenang Pengadilan Agama yang lainnya
tidak mengalami perubahan. Namun demikian, menurut PP Nomor 45 Tahun 1957
wewenang tersebut (selain perselisihan antara suami dan istri) berhubugan
dengan “hukum yang hidup” diputus menurut hukum agama Islam. Kini, pengganti
“hukum yang hidup” itu adalah hukum Islam sebagaimana dinyatakan dalam
penjelasan Umum UU tersebut.
Perubahan kelima
tentang hukum acara. Menurut ketentuan pasal 54, hukum acara yang berlau pada
pengadilan dalam lingkungan Peradilan Agama adalah Hukum Acara Perdata yang
berlaku pada pengadilan dalam lingkungan Peradilan Umum, kecuali yang telah
diatur secara khusus dalam undang-undang ini. Hal itu menunjukkan bahwa hukum
acara yang berlaku adalah hukum tertulis, disamping adanya kekecualian dan
kekhususan yang diatur dalam UU Nomor 7 Tahun 1989. Kekhususan itu meliputi
prosedur cerai talak, cerai gugat, cerai dengan alasan zina, dan biaya perkara.
Sebelum berlakunya UU tersebut, hukum acara yang berlaku pada pengadilan dalam
lingkungan Peradilan Agama tersebar dalam berbagai sumber, baik hukum tertulis
maupun hukum tidak tertulis.[3]
Ketentuan hukum
acara yang berlaku di lingkungan Peradilan Agama baru disebutkan secara tegas
sejak disahkannya Undang-undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama.
Hukum acara yang dimaksud dalam
ketentuan Bab IV terdiri atas 37 pasal. Meskipun tidak semua ketentuan tentang
Hukum Acara Peradilan Agama yang dimuat dalam Undang-undang ini, tetapi hal
tersebut dapat dilihat dalam pasal 54 yang menjelaskan bahwa, “Hukum acara yang berlaku pada pengadilan
dalam lingkungan Peradilan Agama adalah Hukum Acara Perdata yang berlaku pada
Peradilan Umum, kecuali yang telah diatur secara khusus dalam undang-undang
ini.” Oleh karena itu, disamping Hukum Acara Perdata yang diatur dalam HIR
dan RB.g, terdapat pula beberapa pasal atau ketentuan lainnya yang berisi Hukum
Acara Perdata berupa pasal-pasal, seperti yang tercantum dalam Bab IV tersebut[4]
Perubahan keenam
tentang penyelenggaraan administrasi peradilan. Di pengadilan dalam lingkungan
Peradilan Agama terdapat dua jenis administrasi, yaitu administrasi peradilan
dan administrasi umum. Jenis pertama berkenaan dengan adminintrasi perkara dan
teknis yudisia; sedangkan jenis kedua berkenaan dengan administrasi
kepegawaian, keuangan dan umum. Oleh karena itu, di pengadilan terdapat dua
jenis jabatan pengelola kedua jenis adminitrasi itu dikelola oleh Panitera yang
merangkap sebagai Sekretaris Pengadilan. Secara khusus, administrasi peradilan
dikelola oleh wakil Panitera, sedangkan administrasi umum dikelola oleh Wakil
Sekretaris. Sebelum berlakunya UU tersebut administrasi pada pengadilan
bercorak tunggal, dan dikelola oleh Panitera Kepala.
Perubahan ketujuh
tentang perlindungan terhadap wanita. Menurut Penjelasan Umum UU itu, “Untuk
melindungi pihak istri, maka gugatan perceraian dalam Undang-undang ini
diadakan perubahan, tidak diajukan ke pengadilan yang daerah hukumnya meliputi
tempat kediaman tergugat tetapi ke pengadilan yang daerah hukumnya meliputi
tempat kediaman penggugat”. Dalam ketentuan sebelumnya digunakan Pasal 20 ayat
(1) PP Nomor 9 Tahun 1975, yaitu “Gugatan perceraian diajukan oleh suami atau
istri atau kuasaya kepada pengadilan yang daerah hukumnya meliputi tempat
kediaman tergugat”. Ketentuan itu tidak berlaku pada pengadilan dalam
lingkungan Peradilan Agama; dan tidak pula dihapuskan. Ia masih tetap berlaku
pada Pengadilan dalam lingkungan Peradilam Umum. [5]
BAB III
PENUTUP
A.
KESIMPULAN
-
Usaha awal mempersiapkan Rancangan
Undang-Undang Peradilan Agama telah dimulai sejak tahun 1971, dalam rangka
melaksanakan perintah Pasal 12 Undang-Undang tentang Pokok-pokok Kekuasaan
Kehakiman sebagai pelaksanaan pasal 24 Undang-Undang Dasar 1945. Sehubungan dengan hal tersebut pada tahun 1982, pemerintah
membentuk Tim Inti Pembahasan dan Penyusunan Rancangan Undang-Undang tentang
Acara Peradilan Agama serta RUU tentang Susunan dan Kekuasaan Badan-badan
Peradilan Agama.
-
Undang-undang
Nomor 7 Tahun 1989 disahkan dan diundangkan tanggal 29 Desember 1989. Kemudian
ditempatkan dalam Lembaran Negara RI Nomor 49 tahun 1989 dan Tambahan Lembaran
Negara Nomor 3400. Isi UU Nomor 7 Tahun 1989 terdiri atas 7 Bab, meliputi 108
pasal. Dengan
sistematik sebagai berikut: Bab 1 tentang Ketentuan Umum, Bab 2-3 mengenai
Susunan dan Kekuasaan Peradilan Agama, Bab 4 Hukum Acara, Bab 5
Ketentuan-ketentuan lain, Bab 6 Ketentuan Peralihan, dan Bab 7 Ketentuan
Penutup.
-
Secara
umum isi UU No. 07 Tahun 1989 memuat beberapa perubahan tentang penyelenggaraan
PADI, yaitu: perubahan tentang dasar hukum penyelenggaraan padi, perubahan
tentang kedudukan padi dalam tata peradilan nasional, perubahan tentang kedudukan
hakim peradilan agama, perubahan tentang kekuasaan pengadilan dalam lingkungan
padi, perubahan tentang hukum acara peradilan agama, perubahan tentang
administrasi peradilan agama, perubahan tentang perlindungan
terhadap wanita.
DAFTAR PUSTAKA
Bisri, Cik Hasan.
2003. Peradilan Agama di Indonesia. Jakarta: Raja Grafindo Persada.
Djalil, Basiq. 2010. Peradilan Agama di Indonesia.
Jakarta: Kencana.
Rosadi, Ade. 2015. Peradilan Agama di
Indonesia Dinamika Pembentukan Hukum. Bandung:
Simbiosa Pratama Media.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar