BAB I
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Kelembagaan
hukum Islam di Indonesia mengalami perjalanan yang sangat alot. Keinginan
masyarakat Indonesia untuk memiliki hukum perkawinan secara tertulis yang
isinya merupakan wujud dari hukum-hukum perkawinan yang telah berlaku di dalam
masyarakat, baik itu hukum perkawinan adat maupun hukum perkawinan menurut
ketentuan agama yang ada. Keinginan ini sudah muncul pada masa penjajahan
Belanda, masa penjajahan Jepang, dan seterusnya sampai pada masa kemerdekaan.
Harapan memiliki hukum perkawinan tertulis tersebut baru dapat terwujud pada
awal tahun 1974, dengan disahkannya Undang-Undang No: 1 Tahun 1974 tentang
Perkawinan.
Keberhasilan
yang dimulai dengan dibentuknya UU No. 1 tahun 1974 yang telah mengalami proses
24 tahun sejak mulai perancangan, disusul dengan UU No. 7 tahun 1989 yang
secara resmi mengakui eksistensi Peradilan Agama serta disusul oleh
perundang-undangan lainnya. Namun, secara keseluruhan, peraturan-peraturan yang
diraih hukum Islam itu belum bisa memuaskan kebutuhan masyarakat. Hal
menimbulkan tidak adanya kepastian hukum di lingkungan peradilan ini.
Kenyataan-kenyataan ini mengharuskan dibentuknya sebuah unifikasi hukum Islam
yang akhirnya berhasil disahkan pada tahun 1991, yakni Kompilasi Hukum Islam
yang diberlakukan oleh Inpres No. 1 tahun 1991.
Melihat diatas maka dalam makalah ini, kami
akan mencoba untuk memaparkan tentang politik hukum Islam di Indonesia mengenai
produk hukum UU No. 14 Tahun 1970 Tentang Pokok-pokok Kekuasaan Kehakiman, UU
No. 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan, UU No. 7 Tahun 1989 Tentang Peradilan
Agama dan Instruksi Presiden No. 1 Tahun 1991 Tentang Kompilasi Hukum Islam.
- Rumusan Masalah
1. Apa yang
dimaksud politik hukum?
2. Bagaimana
politik hukum dalam penyusunan dan legalisasi UU No. 14 Tahun 1970 Tentang
Pokok-pokok Kekuasaan Kehakiman?
3. Bagaimana
politik hukum dalam penyusunan dan legalisasi UU No. 1 Tahun 1974 Tentang
Perkawinan?
4. Bagaimana
politik hukum dalam penyusunan dan legalisasi UU No. 7 Tahun 1989 Tentang
Peradilan Agama?
5. Bagaimana
proses lahirnya Kompilasi Hukum Islam?
B.
Tujuan
Tujuan penulisan makalah ini adalah untuk
memenuhi tugas yang diberikan dosen pengampu mata kuliah Politik Hukum Islam di
Indonesia yaitu Ali Mansur, MA. Dan juga untuk memberikan informasi kepada pembaca
khususnya dan masyarakat uumumnya.
BAB II
PEMBAHASAN
1. Pengertian
Politik Hukum
Moh. Mahfud MD mengemukakan bahwa politik
hukum adalah: “Legal policy atau garis (kebijakan) resmi tentang hukum yang
akan diberlakukan baik dengan pembuatan hukum baru maupun dengan penggantian
hukum lama, dalam rangka mencapai tujuannya.
Padmo
Wahyojo mengatakan bahwa politik hukum adalah kebijakan dasar yang menentukan
arah, bentuk, maupun isi hukum yang akan dibentuk.[1]
Stjipto
Raharjo mendefinisikan politik hukum sebagai aktivitas memilih dan cara yang
hendak dipakai untuk mencapai suatu tujuan meliputi jawaban atas beberapa
pertanyaan mendasar, yaitu: 1) Tujuan apa yang hendak dicapai melalui sistem
yang ada; 2) Cara-cara apa dan yang mana dirasa paling baik untuk dalam
mencapai tujuan tersebut; 3) Kapan waktunya dan melalui cara bagaimana hukum
itu perlu diubah; 4) Dapatkah suatu pola yang baku dan mapan dirumuskan untuk
membantu dalam memutuskan proses pemilihan tujuan serta cara-caranya serta cara-cara
untuk mencapai tujuan tersebut dengan baik.[2]
2. Politik
Hukum UU No. 14 Tahun 1974 Tentang Pokok-pokok Kekuasaan Kehakiman
Dalam
rangka memenuhi ketentuan pasal 24 UUD 1945, pada tahun 1964 keluarlah UU No.
19 tahun 1964 tentang ketentuan-ketentuan pokok kekuasaan kehakiman yang
kemudian diganti dan disempurnakan dengan Peraturan Pemerintah No. 14 tahun
1970 tentang ketentuan-ketentuan pokok kekuasaan kehakiman. Pasal 10 Peraturan
Pemerintah No 14 tahun 1970 menentukan bahwa kekuasaan kehakiman dilaksanakan
oleh empat lingkungan peradilan yaitu:
1) Peradilan Umum.
2) Peradilan Agama.
3) Peradilan
Militer.
4) Peradilan Tata
Usaha Negara.
Dalam
proses pembahasan rancangan undang-undang tentang pokok-pokok kekuasaan
kehakiman ini masalah peradilan agama menjadi lingkungan sendiri yang
melaksanakan sebagian kekuasaan kehakiman telah dibahas secara mendalam.
Fraksi
Partai MURBA melalui juru bicaranya Shahab Nainggolan menyampaikan pendapat
bahwa hukum adat dan hukum agama pada kenyataannya sama kuat dalam masyarakat
maka peradilan agama supaya diserahkan kepada lembaga-lembaga agama yang
bersangkutan. Jadi bukan diatur oleh negara. Negara hanya sekedar memberikan
bimbingan dan pengawasan. Dari segi teknis organisasi teroris jika terlalu
banyak macam peradilan, maka akan makin kacau lah peradilan.
Fraksi
Partai Katolik menyarankan agar peradilan hanya terdiri dari dua macam
peradilan, yakni peradilan umum dan peradilan militer dengan kemampuan
masing-masing mengadakan diferensiasi secara limitatif dan berdasarkan asas
efisiensi.
Dan
beberapa fraksi lainnya berpendapat bahwa adanya empat lingkungan peradilan
yang berbeda-beda dalam rancangan undang-undang tersebut dianggap sebagai
kurang sejalan dengan prinsip equality before the law. Terhadap pandangan
fraksi-fraksi, Menteri Kehakiman Oemar Seno Adji, selaku Wakil Pemerintah dalam
jawaban menyatakan: “Prinsip equality before the law adalah merupakan salah
satu hak asasi manusia di mana setiap orang yang berpihak atasnya. Meskipun
demikian, tidak akan mungkin serta tidak akan adil apabila prinsip ini akan
diterapkan pada semua warga negara tanpa membedakan dan dalam semua
perundang-undangan yang ada, sebab tanpa memperkecil arti dari prinsip equality
before the law ini, perbedaan perbedaan hak asasi yang ada di antara warga
negara kita yang bertalian dengan usia, ras, jenis kelamin, jabatan dan agama
dan kondisi lainnya, dapat dan seharusnya mendapatkan peraturan-peraturan yang
berlainan dengan hukum bukankah setiap “legal distinction” itu harus dipandang
sebagai ini quality before the law. Sebaliknya tidak dapat pula dikatakan bahwa
asas ini quality before the law itu hanya dapat dianggap sah apabila factual
condition sama secara keseluruhan, oleh karena itu selalu dapat dipikirkan
suatu pengaturan hukum yang mengenai suatu golongan”.
Pada
hakikat nya prinsip equality before the law ini mengandung suatu nilai yang
esensial yang meletakkan kewajiban pada pembuat undang-undang untuk menjauhkan
diri dari tindakan diskriminatif, sehingga menguntungkan atau merugikan suatu
golongan, atau secara umum meremehkan nilai-nilai moral. Perundang-undangan
khusus mengenai golongan-golongan agama itu bukanlah dimaksudkan sebagai suatu
pengaturan menteri secara sewenang-wenang ataupun bermaksud untuk mengurangi
martabat manusia dengan adanya ciri-ciri yang karakteristik yang ada pada golongan
agama yang bersangkutan. Ia menimbulkan legal disction bukan suatu diskriminasi
sewenang-wenang, sehingga ia tidak dapat dipandang sebagai suatu equality
before the law.
Sebenarnya
Peradilan Agama dapat menentukan mengenai kewenangan dilihat dari segi
yuridisnya adalah ketentuan penjelasan pasal 10 UU No. 14 tahun 1970 yang
menyebutkan bahwa undang-undang ini membedakan antara empat lingkungan wewenang
yang mengadili perkara tertentu dan meliputi badan-badan peradilan tingkat
pertama dan banding. Peradilan Agama, Militer dan Tata Usaha Negara merupakan
pengadilan khusus karena pengadilan perkara perkara tertentu sedangkan
peradilan umum adalah peradilan bagi rakyat pada umumnya mengenai baik perkara
perdata maupun pidana.
Artinya bahwa
empat lingkungan peradilan, masing-masing mempunyai lingkungan wewenang
mengadili perkara-perkara tertentu atau mengenai golongan tertentu, sedangkan
pengadilan umum adalah pengadilan untuk semua warga negara baik perdata maupun
pidana. Dengan adanya undang-undang peradilan khusus, yakni Pengadilan Agama,
Pengadilan Militer dan Pengadilan Tata Usaha Negara, maka harus diambil
kewenangan-kewenangan itu dari peradilan umum. Oleh sebab itu, dalam menentukan
kewenangan Peradilan Agama harus ditentukan secara jelas sehingga tidak ada
lagi kemungkinan yuridis hasil antara peradilan umum dan peradilan khusus
dengan cara seperti undang-undang pengadilan ekonomi.[3]
3. Politik
Hukum UU No. 01 Tahun 1974 Tentang Perkawinan
A.
Setting
Sosial Politik lahirnya UU Perkawinan
Indonesia dapat dikatakan negara muslim yang terlambat dalam
melakukan pembaharuan hukum keluarga, Yakni baru tahun 1974 dengan lahirnya UU No..
1 Tahun 1974 tentang Perkawinan. Kecenderungan mengangkat aspek-aspek
fiqih ke dalam perundang-undangan di bidang hukum keluarga didasari oleh
semangat untuk melindungi hak-hak dan meningkatkan derajat wanita. Spirit ini
muncul dalam Kongres Perempuan Indonesia tahun 1928 membahas fenomena sosial
yang terjadi dalam perkawinan di kalangan umat Islam yang kurang memberikan
perlindungan hukum terhadap perempuan misalnya perkawinan anak-anak, kawin
paksa, poligami, menjatuhkan talak sewenang-wenang dan lain-lain.
Tuntunan akan adanya peraturan atau UU yang dapat memberikan
jaminan hukum dalam perkawinan dan sekaligus meningkatkan derajat wanita
indonesia telah tumbuh bersama dengan Kebangkitan Nasional. Ia merupakan unsur
yang tidak dapat dipisahkan dari cita-cita perjuangan bangsa meskipun dalam
implementasinya terjadi perbedaan cara pandang, terutama pertentangan ideologi,
misalnya apa yang terjadi dalam Kongres Wanita Indonesia tanggal 22 Desember
1928 di Yogyakarta. Pasca Kongres 1928 terjadi konflik antara kelompok wanita
terpelajar dengan kelompok wanita Islam tentang masalah perkawinan. Kalangan
wanita terpelajar melontarkan kecaman terhadap praktek poligami dan talak
sebagai tindakan kesewenang-wenangan kaum pria yang merendahkan wanita.
Kelompok wanita Islam menyanggah tuduhan itu dan menganggap emansipasi yang
berlebih-lebihan serta telah dianggap serangan terhadap ajaran Islam.
Konflik antara dua kelompok wanita itu kemudian semakin tajam
ketika pemerintah Hindia Belanda mengeluarkan sebuah rancangan ordonansi
tentang perkawinan tercatat (onwerp-ordonaantie op de ingesschreven
huwelijken) pada bulan Juni 1937, yakni dua bulan setelah diberlakukannya
Staatblad 1937 No.. 116 yang mengurangi wewenang peradilan agama dalam masalah
waris. Inti gagasan dalam rancangan ordonansi tentang perkawinan tercatat itu
adalah terbukanya kesempatan bagi suami istri pribumi untuk mencatatkan dirinya
tunduk pada ordonansi itu, dengan implikasinya antara lain: 1) seorang suami
hanya akan diperbolehkan mempunyai seorang isteri, 2) perkawinan itu tidak
dapat putus kecuali karena meninggal dunia atau suami/istri tidak dapat putus
kecuali meninggal dunia atau suami/istri tidak berada di tempat tinggalnya
selama 2 tahun tanpa ada berita tentang hidup atau matinya, 3) perkawinan harus
tercatat pada pencatatan sipil. Berbagai reaksi keras muncul di tengah-tengah
masyarakat, misalnya NU bersamaan pada bulan Juni 1937 itu sedang mengadakan
kongres di Malang dan Partai Syarikat Islam Indonesia yang kongres bulan Juli
1937 di Bandung dan Kelompok Barisan Penjadar Sjarikat Islam menyatakan penolakan
diberlakukannya ordonansi tersebut. Pada sisi lain, ada kalangan yang
menyetujui rancangan ordonansi tentang perkawinan tercatat (onwerp-ordonaantie
op de ingesschreven huwelijken) yang berasal dari organisasi wanita terpelajar,
seperti organisasi Isteri Sedar di Jakarta, Poetri Boedi Sedjati di Surabaya,
Serilat Kaoem Iboe Soematra (SKIS) di Padangpanjang. Akhirnya setelah
jelas sebagian besar organisasi keagamaan dan kemasyarakatan di Indonesia
menyatakan tidak setuju terhadap gagasan perkawinan tercatat, pemerintah Hindia
Belanda memutuskan untuk menarik rancangan itu. Pernyataan resmi untuk tidak
meneruskan rancangan ordonansi itu disampaikan oleh penasehat urusan pribumi
kepada pengurus besar PPDB dan dengan demikian pembicaraan ordonansi perkawinan
tercatat dianggap selesai.
Implikasi sosial politik dari rancangan ordonansi tentang
perkawinan tercatat tahun 1937 tersebut membangunkan organisasi-organisasi
Islam tentang urgensi diadakannya pembaharuan dalam bidang hukum perkawinan
Indonesia bagi umat Islam. Ormas Islam Al Islam dalam Kongres pertamanya di
Surabaya tanggal 26 Februari sampai 1 Maret 1938 dalam keputusannya menyatakan
bahwa: “kongres menyerahkan dan meminta sekretariat Majelis Islam A’la
Indonesia (MIAI) agar menyusun Rancangan Peraturan Perkawinan umat Islam dengan
selengkap-lengkapnya.” rancangan ini disusun oleh sekretariat IAI kemudian dikirim
kepada segenap organisasi-organisasi Islam untuk diminta pertimbanganya.
Selain bersumber kepada kitab-kitab fiqih, berlaku pula sejumlah
ketentuan-ketentuan hukum perkawinan bagi berbagai golongan warga negara
Indonesia, seperti berikut: 1) bagi orang-orang Indonesia asli yang beragama
Islam berlaku hukum agama yang telah diresipir dalam hukum adat; 2) bagi
orang-orang Indonesia asli yang beragama Kristen berlaku H.O.C.I (huwelijks
Ordonantie Christen Indonesiers); 3) bagi orang-orang Indonesia asli lainnya
berlaku hukum adat; 4) bagi orang-orang Timur asing Cina dan warga negara Indonesia
keturunan Cina berlaku ketentuan-ketentuan kitab undang-undang hukum perdata
(kuhper) dengan sekedar perubahan; 5) bagi orang-orang Timur asing lainnya dan
warga negara Indonesia keturunan Timur asing lainnya berlaku hukum adat mereka;
dan 6) bagi orang-orang Eropa dan warga negara Indonesia keturunan Eropa dan
disamakan dengan mereka berlaku hukum kitab undang-undang hukum perdata (KUHPer).
Terjadi perbedaan pendapat dalam masalah alternatif pilihan itu,
pertama adanya perbedaan agama memerlukan diferensiasi dalam hukum perkawinan,
kedua perbedaan agama tidak menjadi sebab untuk mengadakan pengelompokan warga
negara, dan ketiga bagi Indonesia yang terbaik adalah unifikasi yang terbatas.
Jalan keluar terhadap persoalan ini, politik hukum negara menjelaskan dalam
garis-garis besar haluan negara (GBHN) bahwa: “peningkatan dan penyempurnaan
pembinaan hukum nasional antara lain dengan mengadakan pembaharuan kodifikasi
serta unifikasi hukum dalam bidang-bidang tertentu dengan jalan memperhatikan
kesadaran hukum dalam masyarakat.”
Dalam konteks perkembangan pembaruan hukum Islam di Indonesia, maka
setelah proklamasi kemerdekaan Indonesia, Departemen Agama Republik Indonesia
RI yang terbentuk pada tahun 1946 memiliki peranan strategis baik secara sosial
keagamaan maupun politik bagi umat Islam, sekaligus mengundang kontroversial.
Lembaga ini dapat dijadikan salah satu barometer dari perkembangan hukum Islam
di Indonesia . kaum muslimin umumnya memandang bahwa keberadaan Depag RI
merupakan keharusan sejarah; Ia merupakan kelanjutan dari inisiasi yang bernama
shumubu atau Kantor Urusan Agama pada masa penjajahan Jepang.
Sebagai lembaga baru Depag yang dipimpin H.M. Rasyidi sebagai
Menteri Agama pertama melakukan konsolidasi tugas dan kewenangannya dengan
langkah pertama sesuai dengan Penetapan Pemerintah No.. 5/SD tanggal 25 Maret
1946 melakukan pengambilalihan beberapa bidang tugas yang sebelumnya berada di
lingkungan Kementerian lain; pertama, Kementerian Dalam Negeri urusan
masalah Perkawinan, Peradilan Agama, kemasjidan, dan Urusan Haji; Kedua
Kementerian kehakiman yang berkenaan dengan urusan Mahkamah Islam Tinggi;
Ketiga, Kementrian P&K, berkenaan dengan pengajaran agama di
sekolah-sekolah. Dengan adanya tugas poin pertama dan kedua di atas, maka sejak
itu secara kelembagaan Departemen Agama mengurus masalah perkawinan, Peradilan
Agama, kemasjidan dan urusan Haji, MIT dan pendidikan agama. Peran inilah yang
kemudian senantiasa dipertanyakan oleh kelompok agama Katolik dan Protestan .
bagi mereka negara melalui Kementerian Agama tidak sewajarnya mencampuri Urusan
Agama . namun . Rasjidi menjelaskan bahwa Kementerian Agama tidak akan
mencampuri urusan agama dan akan memberi tempat yang sewajarnya kepada setiap
agama di Indonesia.
Pada era menteri Fathurrahman Kafrawi dilakukan usaha pembaruan administrasi
pencatatan perkawinan, talak, rujuk bagi umat Islam, khuususnya dimaksudkan
untuk mengoreksi dan memperbaiki peraturan perkawinan yang telah berlaku pada
masa pemerintahan Hindia Belanda. Pada masa menteri Fathurrahman Kafrawi
diundangkan UU. No.. 22 Tahun 1946 tentang Pencatatan Nikah, Talak, Cerai dan
Rujuk. Dengan adanya UU ini jabatan Penghulu di Kabupaten menjadi kepala KUA
Kabupaten sedangkan tugas penghulu sebagai penasehat pada pengadilan negeri
serta sebagai ketua Raad Agama.
Ketika K.H. Masjkur menjadi menteri Agama dalam kabinet Amin
Syarifuddin II, dikeluarkan kebijakan yang berkenaan langsung dengan
kelembagaan peradilan agama melalui Peraturan Menteri Agama No. ... Tahun 1947
tentang biaya perkara pengadilan agama yang harus disetor kek kas negara. Dalam
Kabinet Hatta I, K.H. Masjkur memberlakukan UU No.. 19 Tahun 1948 tentang
susunan dan kekuasaa badan-badan kehakiman dan kejaksaan. UU ini memberi
perhatian terhadap hukum Islam sebagaimana dalam Pasal 35 ayat (2) yang
menyatakan; bahwa perkara-perkara perdata antara umat Islam diperiksa dan
diputuskan menurut hukum Islam oleh pengadilan dengan formasi majelis, seorang
hakim ketua yang beragama Islam, dan dua orang hakim anggota yang ahli agama
Islam. Demikian pula halnya dengan peradilan tingkat kasasi sebagaimana
dijelaskan dalam pasal 53.
K.H Wahid Hasyim adalah menteri agama yang menggantikan K.H.
Masjkur. Wahid Hasyim berusaha secara intens melakukan unifikasi hukum
perkawinan di Indonesia. Kurang dari satu tahun menjadi Menteri Agama, pada
bulan Oktober 1950, ia membentuk panitia penyusunan hukum perkawinan dengan
mengeluarkan Surat Putusan Menteri Agama No.. B/2/4299 tanggal 1 Oktober 1950
tentang Pembentukan Panitia Penyelidik Peraturan Hukum Perkawinan, Talak dan
Rujuk (PPPHPTR), yang diketuai Mr. Teuku Mohammad Hassan seorang nasionalis.
Anggota terdiri dari Islam, Protestan, Katolik dan aktifis perempuan.
Panitia berhasil menyelesaikan dua RUUP yang telah diajukan kepada
DPR-GR (Gotong Royong), yaitu: RUU tentang Pokok Perkawinan yang diselesaikan tahun
1952. RUU ini dijadikan hukum umum bagi seluruh rakyat Indonesia tanpa
memperhatikan kepercayaan agama dan kesukuannya. Rancangan lainnya adalah RUU
tentang pernikahan umat Islam, pada sebuah draf hukum perkawinan bagi umat Isam
yang diselesaikan pada tahun 1954.
Dalam konteks masa jabatan Menteri Agama K.H. Mohammad Iljas,
beberapa kebijakan yang terkait dngan perkembangan kelembagaan hukum Islam
adalah mengenai dikeluarkannya Peraturan Pemerintah (PP) yang dipersiapkan oleh
Depag, yakni PP No.. 25 Tahun 1957 tentang Peradilan Agama Mahkamah Syar’iyyah
di Aceh dan PP No.. 45 Tahun 1957 tentang Pembentukan Pengadilan Agama/
Mahkamah Syar’iyyah di luar Jawa dan Madura.
Dengan penyempurnaan rumusan RUU perkawinan untuk umat Islam masa
Wahid Hasyim, maka pada masa September 1957, K.H. Mohammad Iljas mendapat restu
kabinet untuk mengajukan RUU Perkawinan untuk Umat Islam, Depag mengajukan RUU
Perkawinan Islam pada kabinet dengan satu catatan bahwa akan ada amandemen
sebelum diajukan pada parlemen.
Pada awal orba, pada tanggal 22 Mei 1967 pemerintah menyampaikan
RUU tentang peraturan pernikahan umat Islam yang dibicarakan oleh DPR-GR
bersama-sama dengan RUU tentang ketentuan-ketentuan pokok perkawinan 7
September 1968. Dalam RUU tentang pokok peraturan pernikahan umat Islam yang
diajukan ke DPR tanggal 2 Mei 1967 terlihat jelas keterkaitannya dan bahkan
mengacu kepada Piagam Jakarta sebagaimana dalam poin menimbang yang menyatakan
Piagam Jakarta tanggal 22 Juni 1945 menjiwai dan merupakan satu rangkaian
kesatuan dengan UUD 1945 oleh Dekrit Presiden /Panglima tertinggi Angkatan
Perang tanggal 5 Juli 1959 dengan konsekuensi bahwa bagi pemeluk agama Islam
dapat diciptakan undang-undang yang sesuai dengan syariat Islam untuk
kepentingan umat Islam sebagai bagian dari pelayanan hukum bagi masyarakat
Indonesia.
Kedua draf RUU yang diajukan
pemerintah tanggal 22 Mei 1968 dan yang diajukan Tanggal 7 September 1968 tidak
berhasil disahkan menjadi undang-undang.
Kegagalan RUU tentang peraturan perkawinan umat Islam yang disusun
oleh Depag karena setelah 6 bulan pembahasan di dalam rapat paripurna DPR pada
tanggal 5 Januari 1968 ada satu fraksi yang menolak, yakni Parkindo, 2 fraksi
abstain walaupun fraksi-fraksi lain sejumlah 13 fraksi dapat menerimanya.
Disamping itu, kegagalan RUU yang disusun oleh Depag disebabkan
terjadi kompetisi antara Menteri Kehakiman Oemar Seno Adji dan Depag
yang mengajukan pula RUU tentang Ketentuan Pokok perkawinan sebagai RUU
tandingan. Sedangkan RUU tentang ketentuan-ketentuan pokok perkawinan juga
pembahasannya tidak bisa dilanjutkan karena substansi RUU yang digagas
Menteri Kehakiman mengarah paham sekuler dan mendapat sorotan tajam dan
tantangan dari berbagai pihak, khususnya umat Islam. Selain faktor hambatan
politis di atas, dari persoalan intern umat Islam khususnya ulama
dan Depag belum mampu memformulasikan kaidah-kaidah hukum Islam yang terdapat
di berbagai kitab kuning tersebut menjadi sebuah No.rma hukum tertulis dengan
format undang-undang modern.
Di mana posisi Soeharto ketika perdebatan kedua RUU tentang
perkawinan tersebut? Sebenarnya Soeharto
pada awal pemerintahannya memiliki kehendak politik untuk mengangkat hukum
tidak tertulis seperti hukum Islam ke dalam bentuk perundang-undangan. Namun
dalam 3 tahun dari periode awal pemerintahan orba, Soeharto belum memiliki
kekuatan politik untuk mempengaruhi partai-partai politik dalam mengarahkan
politik hukumnya sehingga terjadi dualisme RUU antara konsep yang diajukan
depan dengan RUU perkawinan umat Islam dan departemen kehakiman dengan ketentuan
pokok perkawinan. Soeharto lebih bersikap menunggu kinerja politik
partai-partai dan lebih memilih menyerahkan persoalan tersebut kepada
departemen kehakiman dan Depag.
Bagi pemerintahan orba, diajukannya RUU Perkawinan adalah sebagai
salah satu proses gerakan besar ke arah terbinanya hukum nasional, menyeluruh
dan mengayomi seluruh masyarakat Indonesia. Dalam rangka modernisasi hukum, pemerintah
menempatkan unsur-unsur keagamaan dan kerohanian hukum adat dan kitab
undang-undang hukum perdata sebagai satu kesatuan untuk menuju unifikasi,
uniformitas dan homogenitas hukum yang berlaku untuk semua warga negara
Indonesia. Bahkan pemerintah mendasari RUU perkawinan dengan dasar falsafah
Pancasila yang menjiwai cita-cita pokok pembinaan hukum nasional.
Bila dicermati secara komprehensif dasar pertimbangan penyusunan
RUUP, maka kebijakan Pemerintah mengajukan RUU menggambarkan bahwa politik
hukum mendesain politik hukumnya sedang menuju pada satu arah yaitu: Pertama,
hukum dan perubahan sosial serta pembangunan adalah sebagai socialengineering
dalam kehidupan masyarakat. Hukum dijadikan sebagai kontrol sosial, yaitu suatu
proses untuk mempengaruhi orang-orang agar berperilaku sesuai dengan harapan
masyarakat. Kedua, modifikasi dan kodifikasi dalam bidang hukum
perkawinan dijadikan sebagai langkah untuk mewujudkan kepastian hukum dalam
menata hukum nasional di bidang hukum perkawinan. Ketiga norrma dan ajaran
Islam dianggap bukan sebagai hukum, tetapi hanya sebagai nilai etika dan moral
yang hidup dalam masyarakat dan posisinya sebagai sub-ordinasi dari cita-cita
moral bangsa.
Tujuan politik hukum dalam RUUP adalah: Pertama, untuk
menyeragamkan dan mengadakan unifikasi terhadap keanekaragaman hukum perkawinan
yang telah ada di Indonesia diarahkan untuk mengayomi dan memberikan kesejukan
kepada semua tanpa terkecuali. Apabila di dalam politik hukum yang demikian itu
terkandung pula ikhtiar modernisasi dalam lapangan hukum, maka modernisasi yang
dimaksudkan bukanlah modernisasi dalam arti yang salah melainkan modernisasi
dalam arti kemampuan menserasikan diri dan tuntutan kemajuan, tanpa
meninggalkan ajaran agama, kebudayaan, budi pekerti dan moral luhur milik
bangsa sendiri. Kedua, untuk mengurangi frekuensi perkawinan, perceraian
dan perkawinan dibawah umur. Ketiga, untuk mengangkat harkat dan
martabat kaum wanita. Keempat, untuk mendukung program pengendalian
jumlah penduduk yang selanjutnya mempunyai pengaruh terhadap jumlah anak dan
karenanya terhadap soal keluarga berencana.
Perdebatan yang terjadi pada tataran scholastik atau teoretis
idealis di seputar discourse dasar negara dalam konstitusi negara
dan kaitannya dengan posisi agama kemudian berimplikasi pada sikap politik
dalam respon kependudukan hukum agama dalam negara termasuk dalam kasus RUU
perkawinan.
Persoalan konflik inilah yang kemudian mengemuka dalam perbincangan
RUU perkawinan yang diajukan pemerintah orba. Umat Islam terutama yang berada
diluar pemerintahan, menentang RUU perkawinan yang diajukan pemerintah. Respon
masyarakat terhadap RUU secara cepat mendapat tanggapan dan reaksi keras dari
umat Islam, serta dari berbagai unsur masyarakat baik di dalam DPR maupun di
kalangan masyarakat luas. Respon dan pernyataan terbuka, khutbah di
masjid-masjid, ceramah pengajian, tulisan di mass media, demonstrasi dan
berbagai utusan delegasi untuk bertemu pemerintah, bahkan demonstrasi politik
mewarnai proses panjang RUU tersebut. Umat Islam menolak beberapa
hal yang secara mendasar dipandang bertentangan dengan syariat Islam.[4]
B.
Dinamika
Konflik dan Proses Legislasi UU Perkawinan
1)
Dinamika Konflik di Parlemen
a.
Aktor Utama dan Aktor Pendukung dalam Konflik
Dalam konteks RUUP Juli tahun 1973, negara merupakan pemeran utama
yang direfrensentasikan departemen kehakiman sebagai basis dan kelompok
nasionalis sekuler. Sedangkan departemen agama yang lebih banyak dinahkodai
dari kelompok nasionalis Islam yang hanya dalam posisi pemanis atau bahkan tidak
dilibatkan dalam proses penyusunan RUUP tersebut. Perbedaan peran kedua lembaga
ini terjadi karena memiliki dua corak pemikiran, yakni mazhab hukum umum dan
mazhab hukum Islam.
Dalam kasus RUU persoalan utamanya bermuara dari pada konsepsi
hubungan agama dan negara. Kalau di departemen kehakiman intinya adalah mazhab
Eropa atau barat, sementara Depag adalah mazhab hukum Islam dan kedua
Departemen ini berkompetisi dan ini akan tetap berlangsung yang diwujudkan
dalam bentuk persaingan untuk merebut pengaruh negara. Secara faktual
persaingan kedua mazhab pemikiran ini dapat dilihat dalam kasus RUUP yang
disusun oleh departemen kehakiman. Di sini terlihat formulasi pemikirannya yang
secara diametral bertolak belakang dengan konsepsi pemikiran hukum Islam. Hal
ini bisa dilihat dari RUUP yang diajukan itu ternyata hampir 75% adalah
terjemahan dari satu rancangan zaman Belanda tahun 1937 tentang perkawinan
tercatat (ontwerp ordonantie op de Ingeschreven Huwelijiken). Rancangan
ordonansi tentang perkawinan tercatat yang inti dasarnya itu adalah terjemahan
dari BW dengan ketentuan yang khusus yaitu bagi mereka yang sudah nikah dengan
Islam boleh langsung mendaftarkan diri untuk tunduk pada peraturan itu.
Rancangan inilah yang kemudian diangkat kembali oleh departemen kehakiman
sebagai RUUP pada tahun 1973.
Fenomena yang patut dicermati adalah dalam masalah perkawinan, dimana
era Menteri Agama seperti K.H. Iljas, Depag proaktif dalam menyusun dan
membahas RUU perkawinan umat Islam. Tetapi kenapa pada Europe tahun 1973 itu
Depag tidak diikutsertakan oleh departemen kehakiman? Karena ada keterkaitan
dengan konsep dan pilihan yang berkembang di departemen kehakiman itu sendiri ini
pola pikir yang menginginkan adanya kesatuan hukum dalam bidang perkawinan
serta menganggap bahwa hukum Islam bukanlah hukum tetapi hanyalah satu norma
yang hidup di tengah-tengah masyarakat. Pada sisi lain, tidak terlepas dari
kepemimpinan Menteri Agama Mukti Ali dalam merespon masalah hukum perkawinan di
Indonesia. Mukti Ali kurang memiliki sensitifitas politik di bidang hukum Islam,
bahkan Mukti Ali terjebak dengan alur pikir dan politik hukum departemen
kehakiman pimpinan Oemar Seno. Adji.
Pemerintahan Soeharto telah melakukan suatu tindakan yang
kontroversial dengan mengajukan RUUP yang bermasalah, Sehingga mengundang
perlawanan dari umat Islam. Kendati penjelasan seputar RUUP ini telah diberikan
dalam sidang pleno tanggal 30 Agustus 1973 namun belum
bisa menjawab reaksi dari kalangan umat Islam. RUUP yang diajukan pemerintah
mengandung banyak hal yang tidak berkenan di hati umat Islam, bertentangan
dengan rasa kesadaran hukum rakyat dan bahkan sebagian besar bertentangan
dengan syariat Islam.
Partai Islam yang tergabung dalam fraksi Persatuan Pembangunan dan
umat Islam menilai bahwa perkawinan bukan hanya sekedar mempunyai hubungan yang
erat dengan unsur keagamaan tetapi bagi umat Islam Perkawinan adalah salah satu
ibadah kepada Allah. Sehingga apabila perkawinan sebagai unsur agama itu
dirubah aturan-aturannya , maka akan berubah agama itu karena unsurnya dirubah.
Sejarah konstitusional UUD 1945 pasal 29 ayat (2) menyatakan bahwa: “Negara
menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing
dan untuk beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya itu.” maka konsekuensi
dari ketentuan pasal 29 ayat (2) adalah perlakuan terhadap umat Islam yang
melakukan perkawinan yang menurut hukum perkawinan sebagai ibadah menurut agama
yaitu dengan sendirinya menjadi kewajiban negara dan negara berkewajiban
menjamin kebebasan nya dengan melindungi sesuai dengan UUD tersebut. Hal yang
sama semestinya menjamin agama lain untuk melaksanakan ibadah sesuai dengan
kepercayaan itu.
Secara yuridis partai yang berasaskan Islam ini mengajukan
keberatan karena Europe banyak merujuk kepada hukum perkawinan BW dan H.O.C.I
yang sebenarnya hanya berlaku bagi golongan Eropa, orang timur asing, dan orang
Kristen. PPP berargumen bahwa hukum Islam harus masuk menjadi UU negara karena
sejalan dengan pasal 29 ayat (2) UUD 1945 yang memberi ruang bagi pemeluk agama
Islam untuk memberlakukan hukum Islam. Perbedaan hukum yang akan diberlakukan
tersebut tidak akan membuat kacau dan disintegrasi Indonesia. Argumen PBB
tersebut sama sekali tidak menyebut piagam Jakarta sebagai landasan argumennya.
Kali ini berbeda dengan argumen yang disampaikan anggota DPR ketika
membincangkan RUUP tahun 1969.
Fraksi Partai Demokrasi Indonesia justru mendukung langkah yang
diambil oleh pemerintah dalam mengajukan RUU perkawinan. PDI yang mayoritas
beraliran nasionalisme sekuler atau sebagian Islam abangan serta non- muslim tidak
melihat dari substansi hukum yang diatur dalam RUU perkawinan tersebut. .
perhatiannya lebih pada pandangan bahwa untuk menjamin kepastian hukum
diperlukan adanya UU nasional yang mengatur tentang perkawinan dengan segala
tata hukum dan tata laksananya, dimana wajib pula dihormati ketentuan-ketentuan
hukum perkawinan menurut agama Kepercayaan dan keyakinan masing-masing. PDI
tidak mau disebut partai sekuler dan PDI juga berusaha agar orang mau
menjalankan agamanya Tapi jangan negara yang memaksa dia menjalankan agamanya.
Bagi Sabam Sirait, pemerintah orba mengatakan bahwa sumber dari segala sumber
hukum adalah Pancasila, Oleh sebab itu harus diperiksa segala macam peraturan
perundang-undangan yang bertentangan dengan Pancasila di bidang politik ekonomi sosial
budaya dan militer. Pancasila itu tidak bertentangan dengan agama, tapi jangan
membuat hukum nasional yang hanya berlaku untuk satu golongan. Memang bisa ada
perbedaan, tapi tanpa menjalankan hukum Islam secara total sebab bagian dari
hukum Islam sudah dijadikan hukum nasional.
Sementara fraksi Karya Pembangunan dalam pandangan umum partai ini
mendukung RUUP yang diajukan pemerintah dan berusaha untuk mempertahankannya.
Dengan RUUP ini Cakrawala kaum Ibu menjadi cerah karena RUUP ini memberikan
perspektif dan perhatian terhadap bagi nasib serta hak-hak kaum wanita dan
anak-anak karena tidak akan ada lagi kawin paksa, tidak akan bisa kawin
anak-anak, perkawinan harus bebas dari paksaan, bebas dari tipu daya karena
semua itu bertentangan dengan hak-hak asasi manusia. FKP menilai, secara
yuridis formal yang menjadi sumber hukum RUUP adalah: Pertama, Sesuai
dengan prinsip negara hukum berdasarkan Pancasila yang dianut dalam UUD 1945.
FKP menyimpulkan bahwa RUUP tersebut dapat diteruskan pembahasannya dan tidak
sepakat dengan fraksi Persatuan Pembangunan yang mengatakan bahwa bertentangan
dengan UUD 1945 pasal 29 ayat (2). Kedua, sesuai politik hukum sebagai
tercantum dalam TAP MPR No.. IV/MPR/1973. Ketiga, menjamin kesejahteraan keluarga
lahiriyah dan batiniyah, ialah satu rumah tangga yang bahagia dan kekal sesuai
dengan aspirasi hukum yang hidup dalam masyarakat. Dan empat, mengatur secara
menyeluruh, baik tata cara maupun status perkawinan.
Setelah proses pembahasan berlangsung di DPR, maka terjadilah
peristiwa akhir Sya'ban yaitu ketika menteri Mukti Ali menyampaikan
jawaban-jawaban pemerintah mengenai RUU perkawinan pasal demi pasal dan pada
saat itu tiba-tiba pengunjung rapat yang sebagian besar terdiri dari Pemuda dan
Pemudi berteriak-teriak dari balkon. Pimpinan rapat meminta kepada Sekjen DPR
supaya melaksanakan peraturan tata tertib DPR. Kemudian Sekjen memperingati
kepada pengunjung yang berteriak-teriak supaya tenang dan apabila tidak maka
mereka akan dikeluarkan dari ruang sidang. Karena ternyata tetap tidak tenang,
maka saya meminta kepada petugas keamanan untuk mengeluarkan mereka dari ruang
sidang. Ternyata mereka masih tetap meneriakkan yel-yel tolak RUUP dan takbir
dan sebagainya. Selanjutnya pimpinan rapat menskor sidang mulai jam 10.12
sampai 12.45.
Pembahasan RUUP sempat deadlock karena setelah
mendengar jawaban pemerintah yang mempertahankan RUU akhirnya tidak bersedia melanjutkan
pembicaraan tingkat III yang seharusnya dilaksanakan pada 8 Oktober 1973 karena
FPP menilai RUUP bertentangan dengan Akidah Agama, UUD 1945 dan sumpah anggota
DPR. pembahasan di DPR akhirnya menemui jalan buntu.[5]
b. Substansi
Materi Konflik dan Kontroversial
Persoalan
hukum perkawinan bagi umat Islam adalah perbuatan hukum dan merupakan ibadah.
Perkawinan menurut Islam bukan hak asasi, tetapi hak asasi itu adalah mencari
jodoh. Berbeda dengan agama Kristen, hukum perkawinan bagi mereka tidak ada,
yang ada adalah sakramen atau selamatan. Konsekuensi logis dengan cara
pandang ini, persoalan hukum perkawinan adalah kewajiban agama yang Harus
dipatuhi dan bilamana ada aturan negara yang menyimpang dari ketentuan yang
terdapat dalam teks suci dan kitab-kitab fiqih hasil ijtihad para ulama, maka
akan mendapatkan reaksi dari umat Islam karena menyangkut sesuatu yang given
dari Allah SWT oleh sebab itu ketika Soeharto mengajukan RUU perkawinan
perhatian umat Islam tersebut kepada substansi dari RUUP yang akan diberlakukan
tersebut.
Persoalan yang menjadi sumber konflik
dalam proses legislasi RUUP dalam dilihat dari berbagai aspek, yaitu pertama bagi
eksistensi lembaga hukum Islam, yakni pengakuan terhadap lembaga Pengadilan
Agama. Dalam RUU perkawinan ini dapat mengancam eksistensi peradilan agama
sekaligus keberadaan hukum Islam. Rancangan tersebut banyak mereduksi
pengadilan agama. Selama ini yurisdiksi pengadilan dalam hal perkawinan tergantung
pada agama seseorang, sementara itu versi RUU yang diajukan pemerintah adalah
UU yang berlaku untuk seluruh rakyat Indonesia tanpa memperhatikan agama dan
hanya dilaksanakan oleh pengadilan negeri. Kedua, segi substansi materi RUUP
bertentangan dengan hukum Islam yang diyakini umat Islam. Secara substansial
isi pasal-pasal UUD tahun 1973 yang terdapat dalam RUU tersebut terkesan sejiwa
dengan RUUP yang pernah diusulkan diajukan oleh Ny. Soemari dkk pada tahun
1958.[6]
2)
Dinamika
Konflik di Luar Parlemen
Respon masyarakat Islam terhadap RUU
perkawinan semakin meluas baik yang datang dari ormas Islam maupun kalangan
ulama, dan masyarakat Islam pada umumnya. Pimpinan pusat Muhammadiyah secara
resmi mengirimkan surat No. A-6/174/’73 perihal RUU perkawinan tertanggal 30
Juli 1973 kepada Menteri Kehakiman yang menjelaskan sikap Muhammadiyah bahwa
masalah perkawinan tidak dapat dipisahkan dari agama sehingga pengaturan dan
pelaksanaannya harus sesuai dengan ajaran agama sebagaimana yang ditentukan
dalam Al-Quran dan Hadis. Pengurus besar persatuan umat Islam mengirimkan surat
tertanggal 18 Agustus 1973 tentang rencana undang-undang perkawinan yang
menginginkan agar pemerintah meninjau kembali RUU yang telah disampaikan kepada
DPR, demi untuk kepentingan dan keutuhan bangsa dan negara. Di lingkungan NU
misalnya, atas prakarsa K.H. Muhammad Bisri Syansuri, Rois ‘am Pengurus Besar
Syuriah Nahdlatul Ulama pada 22 Agustus 1973 di Jombang mengadakan musyawarah
alim ulama untuk mengambil sikap dan merobah pasal demi pasal dari RUU yang
dianggap bertentangan dengan syariat Islam. Keputusan musyawarah itu kemudian
menjadi pegangan bagi PPP serta fraksinya di DPR dalam pembahasan RUU
perkawinan. Sedangkan dari perguruan tinggi datang dari fakultas Syariah IAIN
Sunan Kalijaga yang meneliti RUU perkawinan tersebut dengan menyimpulkan bahwa
ada 14 pasal dari RUU perkawinan yang bertentangan dengan agama Islam.
Selain ormas Islam reaksi yang sama
juga datang dari tokoh-tokoh Islam, seperti Hazairin yang menentang keras RUU
perkawinan yang diajukan pemerintah. Bagi Hazairin jika rancangan itu
dimaksudkan sebagai RUU untuk berlaku bagi setiap warga negara RI maka
rancangan itu bagi orang Islam bertentangan dengan pasal 29 ayat (1) UUD 1945
karena peradilan agama Islam di bidang hukum perkawinan dan kewarisan
sebagaimana yang telah ada sekarang ini dijamin sesuai dengan UU No. 14 Tahun
1970 tentang pokok-pokok kekuasaan kehakiman pasal 10, kelihatannya secara
terencana ingin dirongrong atau dihapuskan sama sekali. Hazairin menilai sikap
ini sejalan dengan tujuan teori receptie dalam Indische staatsregeling (I.S)
pemerintah kolonial Belanda yang hendak memperlemah kedudukan Islam di
Indonesia. Hazairin menyebut Teori ini dengan nama teori iblis. Hal ini
jelas bertolak belakang dengan tujuan revolusi bangsa Indonesia sebagaimana
amanat dalam Mukadimah UUD 1945 antara lain adalah hendak menjamin tercapainya
cita-cita setiap agama yang berketuhanan Yang Maha Esa di Indonesia ini guna
mencapai dan menyempurnakan aspirasi imannya dalam negara Pancasila.
Sejalan dengan Hazairin, Hamka
menyuarakan peNo.lakan menyatakan sikap bahwa RUU perkawinan diajukan
pemerintahan Soeharto sebagai upaya memaksa umat Islam yang mayoritas untuk
meninggalkan agamanya melalui pemaksaan berlakunya peraturan perundang-undangan
bertentangan dengan asas hukum Islam. Hamka dengan gaya bahasa seorang ulama
karismatik dan pujangga Islam menulis sebuah artikel pada harian KAMI, menilai
dengan mengusung RUU Perkawinan adalah pertanda sikap politik pemerintah yang
menganggap kaum muslim dalam suasana sangat lemah. Lemah dalam bidang politik,
lemah dalam ekonomi, dan lemah dalam segala bidang. Dalam keadaan kaum muslimin
sedang lemah, di saat itulah RUU perkawinan diajukan yang pada kenyataannya
memaksa kaum muslimin sebagai golongan mayoritas dalam negara ini meninggalkan
Syariat agama nya di bidang perkawinan supaya menggantikannya dengan suatu
peraturan dan perundangan lain untuk menghancurkan asas Islam dalam masyarakat.
Jika RUU Perkawinan semacam ini
hendak disahkan di DPR, semata-mata karena mengandalkan kekuatan politik dengan
mekanisme pemungutan suara, kegagahan perasaan mayoritas politik, maka kata
Hamka “dengan segala kerendahan hati inilah kami memperingatkan bahwa kaum
muslimin tidak akan melawan, tidaklah akan memberontak, tetapi demi kesadaran
beragama, itu tidak akan diterima, tidak akan dijalankan. Malahan ulama-ulama
yang merasakan diri mereka sebagai pewaris dari nabi-nabi akan mengeluarkan fatwa
haram nikah kawin umat Islam berdasarkan kepada UU tersebut dan hanya wajib
melaksanakan suatu perkawinan secara Islam. Sebaliknya bila mana ada kaum
muslimin yang menaati dan menjalankan UU itu sebagai ganti dari peraturan
syariat Islam berarti mereka mengakui ada lagi suatu peraturan yang lebih baik dari
peraturan Allah dan Rasul. Kalau ada pengakuan demikian kafirlah hukumnya”.
Sikap dan reaksi keras Buya Hamka
ini mewakili pendapat tokoh-tokoh Islam pada saat itu, seperti Syafruddin
Prawiranegara, A.H. Nasution dan Muhammad Hatta. Bahkan menurut Deliar Noer,
Hatta melayangkan surat ke Soeharto agar pemerintah menarik kembali RUU
perkawinan dan seharusnya upaya untuk menyesuaikan dengan tuntunan agama khususnya
Islam. Respon umat Islam atas RUU perkawinan tersebut mencapai puncaknya pada
peristiwa yang sangat dramatis dengan terjadinya demonstrasi masa Islam di
gedung DPR. Didalam gedung DPR ketika pemerintah akan menyampaikan
keterangan pada pembicaraan tingkat satu, terdengar yel-yel protes pemuda
Muslim. Mereka memasang poster sehingga mengganggu jalannya sidang. Isi poster
itu antara lain: “sekularisme dan komunisme adalah musuh agama dan Pancasila,
RUU Perkawinan adalah konsepsi kafir, manusia yang menyetujui RUU Perkawinan
adalah tidak bermoral.” sekitar 500 pemuda pemudi muslim selama sekitar 2 jam
masuk ke dalam ruang sidang DPR dan mengecilkan jalannya sidang serta menguasai
perdebatan yang berlangsung sekitar 2 jam. Peristiwa itu terjadi ketika Mukti
Ali sedang menyampaikan jawaban pemerintah tentang RUU perkawinan. Kekacauan di
gedung DPR sudah tidak bisa dikendalikan lagi, ak.irnya Menteri Agama Mukti Ali
dan menteri kehakiman Oemar Seno Adji diungsikan masuk ke ruang ketua DPR/MPR
K.H.Idham Cholid. Sidang akhirnya berhenti. Tidak satupun kesepakatan yang
dibuat antara pemerintah dan umat Islam.
Kamal Hassan menggambarkan bahwa
semua ulama, baik dari kalangan tradisional maupun reformis, sejak dari Aceh, Sumatera
Utara hingga Surabaya Jawa Timur mengadakan protes. Para pelajar muslim seperti
Badan Kontak Pelajar Islam (BKPI) menggalang solidaritas dari kalangan IPNU,
PII, IPM dan secara tegas menunjukkan sikap penolakan yang terhadap RUU perkawinan.
Penolakan terhadap RUU perkawinan tersebut ternyata tidak hanya datang dari
kalangan Islam. Meskipun tidak secara eksplisit, sejumlah eksponen GMNI, PMKRI,
GMKI, GPM dan GSNI pada 19 Desember 1973 mengeluarkan pernyataan yang
meminta agar DPR dan pemerintah dalam menyusun UU perkawinan tetap menjadikan
Pancasila dan UUD 1945 sebagai sumber hukum, terutama mengenai sahnya
perkawinan yang harus tetap mengacu pada pasal 27 dan pasal 29 UUD 1945.
Harry Tjan Silalahi, Sekjen partai
Katolik, mengatakan bahwa penerapan itu dilandasi suatu keberatan bahwa RUU itu
merupakan realisasi Piagam Jakarta. Untuk tujuan ini partai Katolik menyebarkan
selebaran yang memuat pandangan mereka tentang RUU yang tertanggal 1 Februari
1969 yang ditandatangani oleh Harry Tjan Silalahi dan F.X. Soesijono. Alasan penolakan
tersebut adalah bila RUU tersebut diterima itu berarti bahwa menerima untuk
menggantikan dasar negara pancasila dengan piagam Jakarta dan atau dengan
agama. Dalam negara Pancasila sumber hukum tertinggi adalah Pancasila,
sementara di dalam RUU dikatakan bahwa sumber tertinggi adalah wahyu. Ketuhanan
yang maha esa tidak hanya menuju pada agama yang besar tetapi juga agama lain
seperti mistisisme di Jawa dan adat.
Bagi Franz magnis Suseno. Penolakan terhadap
UU perkawinan didasari oleh pengalaman negara-negara yang gagal menjalin
hubungan antara agama dan negara. Dalam sebuah negara modern, hanya ada satu
hukum yang wajib ditaati kau meskipun kalau ada hukum-hukum agama itu, tentu
boleh dipakai Apabila ada asas kerelaan masyarakat bukan berdasarkan hukum
negara. Negara pasca tradisional dimana-mana bersifat negara teritorial
birokratis nasional. Negara itu hanya bisa menjalankan tugas tugas
kewajibannya apabila tidak langsung berkaitan dengan sebuah agama.[7]
c. Menuju
Akomodasi dalam Proses Legislasi UU Perkawinan
Untuk menembus kemacetan pembahasan
di DPR, menteri agama dan menteri kehakiman mengambil inisiatif mengadakan lobbying
dengan pimpinan fraksi dengan mengambil momentum buka puasa bersama pada
pertengahan Oktober 1973. Begitu juga Panglima KOPKAMTIB juga mengadakan acara
yang sama dengan berbagai tokoh masyarakat dan ABRI, dimana juga ikut hadir
Ketua DPP Golkar Amir Murtono. Namun, sampai minggu ketiga November 1973,
pendekatan-pendekatan itu belum menghasilkan jalan keluar kapan pembicaraan
tingkat III bisa dimulai. Dalam situasi kebuntuan itu, Fraksi Persatuan
Pembangunan mengambil inisiatif agar RUU perkawinan dapat disahkan setelah
terlebih dahulu dihapus pasal-pasal yang bertentangan dengan ajaran Islam.
Ada dua arah pendekatan yang
dilakukan oleh PPP. Pertama, mengadakan komunikasi politik dengan
Soeharto dan Kedua, komunikasi politik dengan fraksi ABRI sebagai salah
satu kekuatan politik di DPR.
Sebagai langkah membangun komunikasi
politik dengan Soeharto, FPB pada 25 November 1973 mengirim delegasinya kepada
Soeharto yang terdiri dari dua tokoh sesepuh PPP yang juga tokoh NU, yakni K.H.
Bisri syansuri dan K.H. Masjkur. K.H. Bisri syansuri adalah tokoH sepuh dari NU
yang disegani dan menjabat sebagai Raisa Majelis Syuro Partai Persatuan
Pembangunan. Sedangkan K.H. MasJkur adalah tokoh Ulama NU, Ketua Fraksi PPP di
DPR dan mantan menteri agama RI masa Soekarno dalam Kabinet Amir Syarifuddin
ke-2 dan kabinet Hatta 1.
Ketika Kyai MasJkur mengutarakan
kepada Soeharto; “Pokoknya mengenai UU perkawinan kalau memang Pak Harto ingin
RUU perkawinan yang begitu ya terserah, dan kami tidak mau ikut”, kata Kyai Masjkur.
Soeharto menjawab; “Jadi Pak Kyai, baiknya Bagaimana? dan Pak Harto
berkata lagi; “Lalu Pak Kyai maunya apa?” K.H. Masjkur menjawab kami kesini menyampaikan
beberapa amandemen-amandemen hasil musyawarah alim ulama di Jombang. Ketika
sedang dalam pembicaraan itu Soeharto memanggil Soemitro untuk ikut dalam
pembicaraan ini. Kemudian Soeharto memerintahkan agar fraksi ABRI hendaknya
bekerjasama dengan fraksi PPP untuk menyusun RUU perkawinan.
Sejak pertemuan dengan kedua Kyai
sepuh ini, sikap Soeharto mengalami perubahan signifikan dalam memandang posisi
hukum Islam. Hal ini disebabkan tokoh yang meng komunikasi persoalan UU
perkawinan ini adalah ulama sepuh yang sangat dihormati di kalangan umat Islam
dan di tengah-tengah masyarakat Jawa. Soeharto sebagai orang yang sangat kuat
memegang budaya Jawa tahu persis menempatkan diri ketika berhadapan dengan
tokoh seperti K.H. Masjkur dan K.H. Bisri Syansuri. Disamping itu Soeharto
yakin, bahwa tidak terdapat korelasi antara mengakomodir hukum perkawinan umat
Islam dalam perundang-undangan negara dengan stabilitas kekuasaan politiknya
sebagai presiden, malah justru sebaliknya akan memperkuat posisinya dalam
pandangan umat Islam.
Respon positif yang diperlihatkan
Soeharto tersebut membawa pengaruh positif bagi perubahan sikap politik dari
Fraksi ABRI dan Golkar. Sehingga usaha-usaha perumusan RUU perkawinan yang
lebih responsif terhadap ajaran Islam semakin terbuka. Serangkaian lobbying
semakin terbuka di antara pejabat-pejabat tinggi kalangan fraksi PPP dan fraksi
ABRI yang ternyata mempermudah untuk merumuskan ulang RUU perkawinan tersebut.
Kompromi ini melegakan umat Islam,
akan tetapi tidak kelompok Kristen. Reaksi kelompok Kristen terhadap kompromi
yang dilakukan militer dan PPP adalah dengan membuat pokok pikiran yang
dikirimkan kepada Presiden, juru bicara parlemen, pangkopkamtib, Jenderal Soemitro
dan juga diterbitkan di harian Kompas dan Sinar Harapan. Isi dari pokok-pokok
pikiran tersebut adalah pasal 29 UUD 45 harus berdasar pada kerelaan dan mereka
khawatir negara akan mewajibkan penerapan agama. Hal ini bertentangan dengan
kebebasan menjalankan agama. bela negara menerapkan ajaran agama, maka
bagaimana menyelesaikan masalah di bawah ini: a) bagaimana kalau ada orang tak
mempunyai agama? b) bagaimana kalau seseorang tidak mengikuti aturan agamanya
yang ia anut sendiri? c) bagaimana dengan orang-orang yang pindah agama, apakah
perkawinan yang dilakukan ketika menganut agama lamanya sah atau tidak. Dewan
Gereja Indonesia (DGI) - MAWI berpendapat bahwa perkawinan mesti sahnya menurut
aturan negara , tidak agama. bila sah suatu perkawinan menurut agama , itu
berarti akan ada kevakuman hukum.
Gagasan DGI dan Mawi di atas tidak
mampu merubah kompromi yang dilakukan PPP dan ABRI. Terlepas dari masalah
politik, oposisi yang dilakukan oleh kalangan Kristen terlambat karena sudah
dipatok deadline untuk lulusan RUU tersebut yakni tanggal 22 Desember 1973
ketika memperingati hari ibu. Di mana oposisi kalung Kristen tersebut hanya
satu minggu sebelum tepat waktu tersebut. Editorial Sinar Harapan mengatakan ke
percaya bahwa ditelan merupakan salah satu alasan kenapa ABRI membuat kompromi
dengan PPP. Kompas dan Sinar Harapan mengkritik bahwa kompromi tersebut
merupakan gerakan extra-parlementary yang membahayakan keutuhan
parlemen.
Pemerintah juga bereaksi dengan
pendapat DGI-MAWI tersebut. presiden mewakilkannya pada Sekretaris Negara
Sudharmono, S.H 1 hari menjelang diundangkannya RUU tersebut, 21 Desember 1973
Sudarmono bertemu dengan DGI - MAWIdan mengatakan pemerintah akan menjawab
pertanyaan DGI - MAWI. Jawaban itu diterima DGI-MAWI melalui surat tertanggal
31 Januari 1974. Menjelaskan pasal 29 UUD 1945 bahwa ada jaminan kebebasan beragama
bagi setiap warga negara. kemudian menjawab pertanyaan satu per satu , yang
menjelaskan Menteri Sekretaris Negara sebagai berikut: Pertama, apabila
sekiranya dewasa ini Indonesia masih terdapat orang-orang yang beragama, maka
sesungguhnya tidak ada yang mengharuskan orang-orang tersebut kawin menurut
cara-cara berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku sesuai dengan
UU ini. Kedua di dalam suatu perkawinan, sama sekali bukan yang
dimaksudkan untuk membuka kesempatan kepada para pemeluk agama tertentu untuk
melangsungkan perkawinan mereka menurut ajaran agama lain yang tidak dianutnya.
Sebagai pemeluk agama yang baik, tentu diharapkan seseorang akan melaksanakan
dengan ikhlas dan senang hati ketentuan-ketentuan sesuai dengan ajaran agama
yang dipeluknya. Namun demikian, apabila seseorang menghendaki dan sepakat
untuk kawin menurut cara lain yang tidak sesuai dengan ajaran agama yang
dipeluk atau dianutnya, maka sepanjang cara itu sesuai dengan peraturan perundang-undangan
yang berlaku, perkawinan itupun sama dengan pengertian bahwa orang tersebut
pada saat melangsungkan perkawinan memeluk agama sesuai dengan cara-cara
perkawinan yang dipilihnya. Ketiga, masalah penting yang sekiranya perlu
ditegaskan dalam kasus calon suami istri yang berbeda agama adalah, bahwa tidak
terkandung maksud di dalam UU perkawinan untuk mengadakan pemaksaan atau
dosakan agama yang satu terhadap agama yang lain dan sama sekali bukan pula
dimaksudkan untuk menghancurkan seseorang untuk pindah agama atau kawin dengan
orang yang berbeda agama. Kebebasan untuk memeluk agamanya masing-masing dan
beribadah menurut agamanya dan kepercayaannya itu jelas dijamin UUD. oleh
karena itu sepanjang perkawinan ini dilakukan menurut Salah satu cara sesuai
dengan UU perkawinan ini , tentunya yang dipilih atau disepakati oleh kedua
calon mempelai , maka perkawinan itu adalah sah, Keempa, perpindahan
dari agama yang satu ke agama yang lain dilakukan setelah dilangsungkannya
perkawinan menurut cara-cara ajaran agama semula tidak mempengaruhi sahnya
perkawinan itu sendiri. Sudah barang tentu apabila yang bersangkutan setelah
pindah agama akan melakukan tindakan yang berhubungan dengan perkawinan, maka
tindakan tersebut dilakukan sesuai dengan ketentuan ketentuan yang berlaku
menurut hukum dari agama yang diperlukan pada saat ini akan melakukan
tindakan-tindakan tersebut.
Jalan penyelesaian yang dicapai
adalah suatu kompromi UU yang kemudian diterima DPR pada 22 Desember 1973. ini
adalah kebijakan pertama pemerintahan orba sebagai akomodasi politik terhadap
aspirasi dan kebutuhan hukum umat Islam dalam legislasi UU perkawinan di
Indonesia UU tersebut mengakui bahwa wewenang yuridiksi peradilan agama menjadi
luas melalui dua cara pertama, Pengadilan Agama mendapat wewenang yang lebih
besar dalam menangani wilayah-wilayah yang sebelumnya ditetapkan UU ini hanya
mempunyai kompetensi yang sangat terbatas, seperti hanya masalah perkawinan dan
perceraian. Kedua, kewenangan Pengadilan Agama mencakup wilayah-wilayah
penting yang tidak berada pada wewenang Pengadilan Agama sebelumnya.
RUUP hasil kompromi yang telah
disesuaikan dengan ajaran Islam ini kemudian disahkan Soeharto pada tanggal 2
Januari 1974 menjadi UU tentang perkawinan. Pelaksanaannya secara efektif mulai
tanggal 1 Oktober 1975 dengan peraturan pemerintah K 09 tahun 1975 tanggal 1
April 1975 ini terdiri dari 14 bab
dengan 67 pasal . Sistematika dalam apa itu tidak berbeda dengan sistematika
RUU , hanya dengan menghapus bab 3 tentang pertunangan dan bab 8 bagian kedua
tentang pengangkatan anak, sedangkan pasal-pasalnya merupakan hasil revisi dari
RUU perkawinan semula dengan mengeluarkan pasal-pasal yang bertentangan dengan
hukum Islam.[8]
4.
Politik
Hukum UU No. 7 Tahin 1989
A. Landasan Sosio-Politis lahirmya UU Peradilan
Agama
Setelah Indonesia merdeka perubahan
yang terjadi di dalam lembaga peradilan agama berjalan terus. Pada awal tahun
1946, pada tanggal 3 Januari 1946 dibentuk Kementerian Agama. Langkah ini
sebagai lompatan jauh kedepan. Departemen Agama memungkinkan melakukan
konsolidasi bagi seluruh administrasi lembaga-lembaga Islam melalui sebuah
badan yang bersifat nasional.
Setelah Pengadilan Agama diserahkan
pada Depag masih terdapat usaha-usaha pihak tertentu yang berusaha menghapuskan
keberadaan peradilan agama, usaha
pertama dilakukan melalui UU No. 19 Tahun 1948 isinya antara lain tetapi materi
hukum yang menjadi wewenang dan dimasukkan di pengadilan negeri. Kewenangan
Pengadilan Agama dimasukkan dalam pengadilan umum secara istimewa yang diatur
dalam pasal 35 ayat 2 pasal 75 dan pasal 33. ini merupakan aturan yang penting
tentang pengadilan dalam masa pemerintahan RI Yogyakarta . UU ini bermaksud
mengatur mengenai peradilan dan sekaligus mencabut serta menyempurnakan isi UU No.
7 tahun 1947 tentang susunan dan kekuasaan Mahkamah Agung dan Kejaksaan yang
mulai berlaku pada tanggal 3 Maret 1947 .
Usaha kedua melalui UU Darurat No. 1
tahun 1951 tentang susunan kekuasaan peradilan sipil. UU Darurat No. 1 tahun
1951 menyebutkan tentang tindakan sementara untuk menyelenggarakan kesatuan
susunan kekuasaan dan acara pengadilan-pengadilan sipil. Diantara isi pokok
pokok UU tersebut adalah: Pertama semua bentuk peradilan zaman
pre-federal serta penuntut padanya dihapus dan diganti dengan pengadilan
negeri dan Kejaksaan dan Pengadilan tinggi. Kedua, semua bentuk
peradilan swapraja dan peradilan adat secara berangsur-angsur dihapus dan
kekuasaannya diserahkan kepada pengadilan negeri. Ketiga, peradilan
agama yang merupakan bagian tersendiri dari peradilan swapraja dan peradilan
adat tidak turut dihapus dan kelanjutannya diatur dengan peraturan pemerintah.
Pada tahun 1970 pemerintah lebih
mempertegas keberadaan pengadilan agama dengan dikeluarkannya UU No. 14 tahun
1970 tentang ketentuan-ketentuan pokok kekuasaan kehakiman. Dengan adanya UU No.
14 tahun 1970 ini , maka kekuatan peradilan agama sama dengan
pengadilan-pengadilan lainnya yang ada di wilayah yurisdiksi Indonesia.
Pada sisi lain, tahun 1980 lahir
pula Keputusan Menteri Agama No. 6 tahun 1980 tanggal 28 Januari 1980 tentang
penyeragaman nama lembaga menjadi sebutan Pengadilan Agama. Dengan demikian, Kerapatan
Qadhi di Kalimantan, Mahkamah Syar'iyah di luar Jawa dan Madura, disebut dengan
nama pengadilan agama. Kerapatan Qadhi Besar di Kalimantan Selatan dan Mahkamah
Syar'iyah provinsi di luar Jawa dan Madura sebagai pengadilan banding disebut
pengadilan tinggi agama.
Pada masa Menteri Agama Alamsyah
Ratu Perwiranegara, Pengadilan Agama bisa kasasi Dimanakah putusan dari
Mahkamah Agung tahun 1977 meskipun waktu itu direktur Pengadilan Agama,
Ichtianto tidak setuju. Ketidak Setujuan Ichtianto mengenai kasasi di MA
mendapat sikap keras dari Alamsyah dan Ichtianto dimarah-marahi “Kamu ini
bagaimana, Kenapa tidak mendukung Pengadilan Agama kasasi ke MA?” Ketidaksetujuan
Ichtant bukan karena Menolak adanya peradilan agama tetapi beliau tidak setuju
apabila Pengadilan Agama masuk ke dalam Mahkamah Agung dan akan berakibat pada
terputusnya hubungan ulama dengan peradilan Islam tersebut.
Masa Alamsyah diperintahkan Siapa
saja yang mau kasasi dipersilahkan ke Mahkamah Agung sesuai dengan Keputusan
Mahkamah Agung No. 1 tahun 77, untuk Menindaklanjuti kebijakan boleh kasasi
tersebut disusunlah satu panitia untuk mempersiapkan hakim hakim agung yang
latar belakang pengetahuan keislaman yang mantap. Bustanul Arifin menjadi
generasi pertama menjadi hakim agung di bidang peradilan agama antara tahun
1981 dan Bustanul Arifin lah yang dari hakim agung yang setuju dengan adanya
peradilan agama.
Usaha untuk menyiapkan RUU peradilan
agama ini sebenarnya telah dimulai sejak tahun 1971 oleh menteri agama K.H. Moh.
Dahlan dengan surat tertanggal 11 Agustus 1971 No. MA/242.1971 yang mengemukakan
urgensi UU Peradilan Agama. Sebagai jawaban atas surat menteri agama tersebut,
menteri kehakiman telah memberikan pertimbangan bahwa proses penyampaian RUU
tentang Peradilan Agama sebaiknya menunggu selesainya persiapan RUU tentang
peradilan umum dan RUU tentang Mahkamah Agung.
Rencana untuk mewujudkan UU
Pengadilan Agama kemudian baru menjadi prioritas setelah memasuki Pelita V dari
pemerintahan orba yakni era Pembangunan yang meletakkan landasan hukum sesuai
dengan arahan GBHN tentang perlunya unifikasi dalam bidang-bidang hukum,
setelah Menteri Kehakiman Ali Said mengajukan persetujuan prakarsa penyusunan
RUU tentang acara peradilan agama kepada Soeharto melalui surat No.
M.PR.02.08-21 tertanggal 30 Juli 1983. Permohonan Ini mendapat persetujuan
Presiden pada tanggal 13 September 1983.
RUUPA diajukan pemerintah melalui
departemen kehakiman yang di backup secara penuh oleh Alamsyah Ratu Perwiranegara
dengan moril dan materil. Setelah masa jabatan Alamsyah sebagai Menteri Agama
berakhir, kebijakan tersebut dilanjutkan Menteri Agama Munawir Sjadzali, secara
formil ini baru dibicarakan di DPR.
Langkah konkrit yang dilakukan
adalah: Pertama, membentuk tim kerja penyusunan naskah akademis; Kedua,
tim inti pembahasan dan penyusunan RUU tentang acara peradilan agama yang
diketuai oleh ketua muda urusan lingkungan peradilan agama Mahkamah Agung RI
Bustanul Arifin; Ketiga, panitia antar departemen dan perguruan tinggi
penyusunan RUU tentang acara peradilan agama; Keempat, tim pembahasan
dan penyusunan RUU tentang susunan dan kekuasaan badan-badan peradilan agama; Kelima,
tim antar departemen dan perguruan tinggi pembahasan dan penyusunan RUU tentang
susunan dan kekuasaan badan-badan peradilan agama. Dari tim-tim yang dibentuk
ini terlihat keterkaitan dan sinergi antara Departemen Kehakiman, Departemen
Agama, BPHN, perguruan tinggi IAIN dan UI dalam menyusun dan membahas RUU
peradilan agama.
Setelah melalui proses panjang RUU
tentang Peradilan Agama disampaikan oleh Presiden RI ke DPR melalui amanat Presiden
No. R.06/PN/XII/1988 tanggal 3 Desember 1988 untuk dibicarakan dalam sidang DPR
guna mendapatkan persetujuan. RUU peradilan agama yang diajukan pemerintah itu
terdiri dari VII BAB dan 108 pasal, dengan gambaran Bab I ketentuan umum berisi
pasal 1-5, Bab II susunan pengadilan memuat Pasal 6-48, Bab III Kekuasaan pengadilan
berisi pasal 49-53, Bab IV hukum acara memuat pasal 54-91, Bab V
ketentuan-ketentuan lain berisi pasal 92-105, Bab VI ketentuan peralihan
terdiri dari pasal 106 dan Bab 7 memuat pasal 107-108. [9]
B. Dinamika Konflik di Parlemen
1)
Aktor
utama dan Aktor Pendukung dalam Konflik
Dinamika politik dalam proses legislasi
RUU tentang Peradilan Agama berbeda atmosfernya bila dibanding ketika
pembicaraan RUU tentang perkawinan pada tahun 1973 karena RUU peradilan agama
ini antara pemerintah dan umat Islam berada dalam garis saling mendukung karena
secara substansial RUU peradilan agama ini tidak bertentangan dengan ajaran
Islam bahkan justru mendukung eksistensi lembaga peradilan agama sebagai
peradilan keluarga dalam Islam.
Peradilan agama bagi fraksi
Persatuan Pembangunan sebagai salah satu pilar dalam sistem pelaksana kekuasaan
kehakiman di tanah air, baik secara de facto maupun de jure sudah lama ada dan
berjalan, bahkan kehadirannya jauh sebelum kaum penjajah Belanda menginjakkan
kakinya di bumi Indonesia ini. Bahkan bagi FPP sambil mengutip ucapan Soeharto
menyatakan diajukannya RUU tentang peradilan agama adalah sebagai pelaksana
Pancasila dan UUD 1945 yang sama sekali tidak ada hubungannya dengan piagam
Jakarta.
Fraksi Karya Pembangunan berpendapat
bahwa dari sudut pandang itulah pembentukan hukum nasional harus dirujuk
sepanjang tidak bertentangan dengan Pancasila dan UUD 1945 karena merupakan
hukum yang hidup tumbuh dan berkembang searah dengan tingkat perkembangan
kesadaran hukum masyarakat.
Sejalan dengan sikap FPP dan FKP di
atas, fraksi ABRI berpendapat bahwa RUU peradilan agama ini berada dalam
kerangka pembangunan hukum nasional sebagaimana diamanatkan GBHN 1988.
Fraksi Partai Demokrasi Indonesia
memiliki pandangan berbeda terhadap RUU peradilan agama. UU No 14 tahun 1970
tentang pokok-pokok kekuasaan kehakiman pada hakekatnya ditinjau dari segi
disiplin hukum memang benar merupakan hukum yang sah dan berlaku dalam hal
penegakan lembaga hukum. Dari segi akademik merupakan tonggak lama yang
menjembatani yang masih melanjutkan praktek diskriminatif yang membagi-bagi ragam
hukum sesuai dengan agama, suku, dan golongan orang sehingga belum merupakan
hukum nasional yang dicita-citakan, dengan masih berlakunya B.w. hukum adat dan
hukum Islam. bahkan fraksi ini menyatakan UU peradilan agama bertentangan
dengan prinsip bahwa Indonesia seharusnya hanya ada satu hukum nasional
Bukankah RUU ini menggunakan syariat Islam dan hanya berlaku khusus untuk orang
Islam bagaimana pemerintah menjamin orang bebas melakukan pilihan hukum, sehingga
seorang muslim bisa memilih peradilan agama untuk memperkarakan masalah
kewarisannya.
FPDI mempertanyakan, RUU peradilan
agama adalah rancangan produk hukum yang akan berlaku dan diberlakukan untuk
sebagian golongan masyarakat yang beragama Islam. Bagaimana agar RUU peradilan
agama tersebut tidak menimbulkan persepsi pengertian yang salah di antara warga
negara Republik Indonesia yang Bhineka Tunggal Ika.[10]
2)
Substansi
konflik dan kontroversial
Berbeda dengan RUU perkawinan yang
mengandung pasal-pasal mengenai substansi hukum Islam, maka RUU peradilan agama
tidak memasuki wilayah substansi hukum material dan hukum Islam, tetapi lebih
memfokuskan masalah: Pertama, menyangkut eksistensi peradilan agama; Kedua,
menyangkut substansi peradilan agama, yakni masalah sekitar masalah kekuasaan
dan kewenangan peradilan agama.
Substansi konflik dan kontroversial
mengenai RUU peradilan agama ini adalah sebagian dari persoalan yang
dipermasalahkan dalam pembahasan di DPR dan dipertanyakan di tengah-tengah
masyarakat. sedangkan dalam pembahasan ini tidak diuraikan secara rinci.[11]
2) Dinamika Konflik di Luar Parlemen
Setelah pemerintah menyampaikan
keterangannya atas RUU peradilan agama pada tanggal 28 Januari 1989 berbagai
pihak baik perorangan maupun organisasi menyampaikan tanggapan nya pro dan
kontra mengenai eksistensi peradilan agama dan menyangkut substansi peradilan
agama. Diluar parlemen dukungan ulama dan umat Islam terhadap usul inisiatif
pemerintahan ini menjadikan UU peradilan agama ini secara politis tidak
mendapat tantangan yang berat, terutama dari pemerintah, Golkar dan Abri. Sedangkan
kelompok penentang RUU ini berasal dari FPDI di parlemen dan kelompok non
muslim, seperti KWI dan aktivis intelektual Katolik dan Protestan.
Kelompok penentang ini secara kategoris
dapat dibagi pada tiga, yaitu: Pertama, mengatakan bahwa dalam rangka
menuju unifikasi hukum di Indonesia, pengadilan agama tidak diperlukan lagi
sebab akan ada dualisme dalam sistem peradilan di Indonesia; Kedua,
menganggap Eropa tidak perlu juga menghendaki pembubaran Pengadilan Agama umat
Islam seharusnya mengurus sendiri hukum Islam yang mereka anut . ketiga bukan
saja menolak RUU Peradilan Agama , tetapi juga menolak eksistensi peradilan
agama dan pengadilan agama.
Mengenai nama pengadilan agama juga
dipertanyakan ormas keagamaan Perwalian Umat Buddha Indonesia (Walubi), apabila
hanya disebutkan demikian saja maka akan bisa mengganggu ketentraman agama
lain. Apabila RUU peradilan agama disahkan menjadi uu bagi umat Islam apakah
mungkin walubi juga bisa meminta UU yang serupa bagi kepentingan peradilan
agama Budha di Indonesia.
Bagi Franz Magnis Suseno dibentuknya
peradilan khusus, berarti diskriminasi terhadap kelompok lainnya. Lebih jauhnya
juga ada tuduhan bahwa RUU peradilan agama termasuk pada usaha untuk memperlakukan
kembali Piagam Jakarta. Frans melihat yang menjadi masalah bukan bahwa
perundangan negara yang dipengaruhi oleh nilai-nilai dan harapan harapan
masyarakat di mana termasuk juga agama-agama. Melainkan yang dipertanyakan
ialah UU peradilan agama secara formal didasarkan pada pandangan salah satu
agama saja. Sehingga yang menjadi penafsir dan pembatas keberlakuannya adalah
salah satu agama dan bukan lagi negara. Pada sisi lain juga Frans menyatakan
apabila di samping peradilan negara terdapat Peradilan Agama, bagaimana
kesatuan peradilan dalam wilayah Republik Indonesia dapat dijamin padahal
kesatuan peradilan merupakan salah satu unsur konstitutif kesatuan sebuah bangsa.
Maka pro kontra RUU peradilan agama
bukanlah sekedar masalah golongan Islam dengan golongan bukan Islam, melainkan
masalah mau secara konsekuen mendasar diri pada konsensus nasional yang
mendasari kesatuan republik yang terdiri dari sekian banyak suku, kebudayaan,
bahasa, agama, sistem adat istiadat, yang kalau persatuan dan kesatuannya tidak
sungguh-sungguh dipelihara dapat berantakan.
Pendapat Franz Magnis Ini mendapat
tanggapan keras, diantaranya dari Rasjidi. Rasjidi menanggapi secara cermat dari
1 statement dan paragraf-paragraf. Dalam tanggapannya disebutkan jika Franz Magnis
menyatakan dengan adanya RUU peradilan agama berarti sebagian dari materi
peradilan dalam masyarakat Indonesia diserahkan dari tangan negara ke tangan
badan-badan pihak non negara. Pendapat ini tidak benar. Menurut UU No 14 tahun
1970 yaitu UU tentang Ketentuan Pokok kekuasaan kehakiman di Indonesia terdapat
empat lingkungan peradilan, yaitu lingkungan peradilan umum yang dilaksanakan
oleh pengadilan negeri dan tiga lingkungan peradilan khusus yaitu Peradilan
Militer, Peradilan Tata Usaha dan Peradilan Agama. Ketiga lingkungan peradilan
itu dinamakan peradilan khusus karena mengadili perkara-perkara yang ditentukan
khusus oleh peraturan perundang-undangan.
Menurut Munawir Sjadzali tidak ada
kaitan antara RUU peradilan agama itu dengan isu Negara Islam. Munawir
menjelaskan dengan melihat negara-negara seperti Singapura, Filipina, Srilanka,
dan Muangthai mempunyai pengadilan-pengadilan agama atau Mahkamah syar'iyah maka
kecurigaan menuju negara Islam menjadi tidak relevan. Ia menambahkan, bahwa RUU
itu tidak saja dilakukan Depag, melainkan juga Mahkamah Agung, karena hal itu
hanyalah kelanjutan dari UU No 14 tahun 1970 tentang pokok-pokok kekuasaan
kehakiman. Terlalu berlebihan kata Munawir mengait-ngaitkan persoalan RUU
peradilan agama dengan piagam Jakarta dan negara Islam.
Ismail Suny menilai, argumentasi
yang diajukan para penentang RUU peradilan agama dinilainya lemah dan tidak
tepat. Sunny memberi contoh isu Negara Islam yang dikaitkan dengan RUU
peradilan agama. “Coba baca lagi Piagam Jakarta khususnya 7 kata itu. Apa
disana ada disebut dengan Negara Islam? tanya Sunny menentang tokoh-tokoh
intelektual dan tokoh hukum non muslim. “Saya tantang siapa saja yang
menganggap RUU ini pencerminan dari Piagam Jakarta sebetulnya yang berpendapat
ada kaitan RUU peradilan agama dengan negara Islam dan Piagam Jakarta, mereka
itu tidak mengerti mengenai Piagam Jakarta, tetapi karena kehabisan bahan lalu
mereka bawa-bawa” tegas Ismail Sunny meyakinkan. Bahkan sebenarnya suara-suara
sumbang terhadap RUU peradilan agama yang dilontarkan kalangan non muslim
sangat tidak berdasar dan mengada-ngada. Peradilan agama itu sendiri sudah ada
sejak zaman Belanda dan berjalan baik.
Pada sisi lain terlihat pula
permainan politik Kristen yang cenderung menghalangi setiap kebijakan yang
tampaknya menguntungkan hukum Islam atau umat Islam pada umumnya, sekedar
contoh, permainan politik Kristen muncul ketika RUU perkawinan dan RUU
peradilan agama. Politik Kristen ini bergerak baik dari dalam jajaran
pemerintahan, partai politik dan para intelektual mereka. Dari dalam jajaran
pemerintahan misalnya memperlambat proses pembicaraan RUU peradilan agama
dengan berbagai alasan yang terkadang seolah-olah sulit untuk diterima oleh
akal sehat.[12]
C. Akomodasi dalam Proses Legislasi UU peradilan
agama
Terjadinya titik temu dalam masalah
legislasi UU peradilan agama tidak bisa dilepaskan situasi sosial politik di
mana hubungan umat Islam dan pemerintahan Soeharto sedang berada dalam periode
yang akomodatif yang di hubungan antara Islam dan negara saling mengisi dan
meminimalisir konflik serta sudah tercipta hubungan yang sinergis antara umat
Islam dengan negara.
Adanya dukungan Soeharto, diikuti pula
dukungan dari PPP Golkar, dan ABRI membuat RUU peradilan agama ini berjalan
mulus dan menemui titik temu. Soeharto sendiri ikut menyatakan bahwa RUU
peradilan agama itu adalah sebagai implementasi dari UUD 1945 dan Pancasila dan
hal itu tidak ada hubungannya sama sekali dengan piagam Jakarta.
Perjuangan menggolkan RUU peradilan
agama hanya mengembalikan posisi peradilan agama kepada posisi semula, yang
dulu oleh Belanda dihapuskan dan dikebiri. Yang menonjol adalah kecemburuan
karangan non muslim sementara dari segi hukum tata negara tidak menyalahi
prosedur yang diatur sesuai dengan ketentuan dalam mengusulkan sebuah RUU.
Tetapi ketika Pak Harto mengatakan kata putus, maka akhir kan berjalan. Dengan
dukungan politik Soeharto RUU tersebut berhasil disetujui DPR dan akhirnya
diundangkan menjadi UU No 7 tahun 1989.
Pemberlakuan UU No 7 tahun 1989
tentang Peradilan Agama mengandung arti bahwa negara menjamin keberadaan dan
kemandirian peradilan agama. Perwujudan ini merupakan puncak perjuangan panjang
umat Islam Indonesia untuk memiliki peranan agama sebagai peradilan negara yang
mandiri dan sederajat dengan peradilan negara di lingkungan kekuasaan kehakiman
lainnya.[13]
5.
Politik
Hukum Instruksi Presiden No. 1 Tahun 1991 Tentang Kompilasi Hukum Islam
Berbeda dengan dua produk hukum di
atas, maka kompilasi Hukum Islam secara hierarki perundang-undangan berada
dibawah UU dan peraturan pemerintah pengganti UU. Dasar hukum KHI adalah
Instruksi Presiden No. 1 Tahun 1991 tentang Kompilasi Hukum Islam dan surat
Keputusan Menteri Agama No. 54 tahun 1991 tentang pelaksanaan Inpres tersebut.
Hukum Islam yang diterapkan
dilingkungan Peradilan Agama, dalam menyelesaikan perkara sebelum melahirkan
merujuk berbagai kitab fiqih madzhab Syafi'i yang ditulis oleh para fuqaha
beberapa abad yang lalu. Sebagai hasil penalaran masa lalu, maka ia terikat
pada ruang dan waktu, situasi dan kondisi di tempat ia melakukan penalaran itu,
Disamping itu terdapat perbedaan-perbedaan. Perbedaan-perbedaan yang terdapat
dalam kitab-kitab fiqih pegangan hakim pengadilan agama itu menimbulkan
ketidakpastian hukum yang pada gilirannya menumbuhkan sikap ambivalensi
masyarakat terhadap Peradilan Agama dan hukum yang dipergunakannya yakni hukum
Islam. Perbedaan yang terdapat dalam kitab-kitab fiqih itu memungkinkan lain hakim
lain pula pendapat dan putusannya mengenai hal yang sama sesuai dengan ungkapan
difference judge different sentence.
Terlebih-lebih lagi ketika pihak
pemerintah untuk alasan kesatuan hukum, mengeluarkan surat edaran yang berisi
agar hakim agama dan Mahkamah Syar’iah dalam memeriksa dan memutuskan perkara,
dianjurkan agar menggunakan sebagai pedoman kitab-kitab tersebut dibawah ini:
1) al-Baijuri; 2) Fathul Mu’in; 3) Syarqawi Alat Tahrir;
4) Qalyubi/Mahalli; 5) Fathul Wahab dengan syarahnya; 6) Tuhfah;
7) Targhibul Musytaq; 8) Qawanin Syar’iyah li Sayyid bin Yahya;
9) Qawanin Syar’iyah Li Sayyid Shafaqah Dahlan; 10) Syamsuri fil
Fara'id; 11) Bugyatul Mustarsyidin; 12) al-Fiqhul Ala Madzahibul Arba’ah;
13) Mughnil Muhtaj.
Bustanul Arifin mengatakan
menjadikan kitab-kitab fikih sebagai rujukan hukum material pada Pengadilan
Agama menimbulkan keruwetan tersendiri yaitu akan terjadi pembangkangan atau
setidaknya keluhan bagi pihak yang dikalahkan dalam pengadilan. Disamping itu
para hakim sendiri sering berbeda dalam merujuk kitab-kitab yang telah
ditetapkan tersebut dalam memutuskan suatu perkara. Situasi hukum Islam seperti
ini mendorong Mahkamah Agung RI untuk mengadakan KHI. Hukum Islam apabila tidak
di komplikasi akan berakibat kepada: Pertama, Ketidakseragaman dalam
pembentukan apa apa yang disebut dengan Hukum Islam. Kedua,
ketidakjelasan bagaimana menerapkan syariah, dan Ketiga, Tidak mampu
mempergunakan jalan-jalan dan alat-alat yang telah tersedia dalam UUD 1945 dan
perundangan lainnya. Akibat perbedaan perbedaan yang cukup menonjol dalam
penerapan kandungan isi Ke-13 kitab fiqih di atas, demi kesatuan Hukum Islam,
pemerintah melakukan langkah untuk menyusun sebuah UU tentang perkawinan yang
dituangkan melalui UU No. 1 tahun 1974 tentang perkawinan dan disusul dengan
Peraturan Pemerintah No 28 tahun 1977 tentang perwakafan tanah milik. Kedua
peraturan ini telah mengarah kepada satu hukum Islam tertulis, sehingga
kesatuan penerapan hukum dan kepastian hukum semakin baik di lingkungan
Peradilan Agama.
Gagasan penyusunan KHI dengan
melihat kondisi objektif: Pertama, dapat berlakunya hukum Islam di
Indonesia harus ada aturan hukum yang jelas dan dapat dilaksanakan baik oleh
aparat penegak hukum maupun oleh masyarakat. Kedua, persepsi yang tidak
seragam tentang Syariah akan menyebabkan: a) Ketidakseragaman dalam menentukan
apa apa yang disebut hukum Islam; b) Tidak mendapat kejelasan bagaimana
menjalankan syariat itu; c) Akibat kepanjangannya adalah tidak mampu
menggunakan jalan-jalan dan alat-alat yang telah tersedia dalam UUD 1945 dan
perundang-undangan lainnya.
Mencermati perkembangan itu lahir
gagasan penyusunan kompilasi hukum Islam di Indonesia yang pertama kali muncul
dari Bustanul Arifin, Hakim Agung dan Ketua Muda Urusan Lingkungan Pengadilan
Agama Mahkamah Agung RI. Meskipun ada pendapat bahwa Menteri Agama Munawir Sjadzali
sebagai penggagas pertamanya. Berbeda dengan itu, disebutkan seakan-akan ide
gagasan tersebut berasal dari pemikiran K.H. Ibrahim Hosein yang disampaikan
kepada H. Bustanul Arifin.
Ketua Mahkamah Agung Kali Said
menyarankan untuk meminta dana ke Soeharto. Bustanul Arifin dipercaya untuk
membuat konsep permohonannya. Dalam surat usulan itu antara lain dijelaskan
bahwa perbedaan pendapat dikalangan umat Islam dan pertentangan mereka terhadap
kebijakan pemerintah bersumber dari persepsi yang beragama tentang syariat. Oleh
karena itu persepsi itu harus diseragamkan, antara lain melalui Kompilasi Hukum
Islam. Selama persepsi tentang Syariah belum seragam, Pancasila tidak akan aman.
Ternyata optimisme Ali Said terbukti setelah Ketua Mahkamah Agung Ali Said,
Menteri Agama Munawir Sjadzali dan Ketua Muda Lingkungan Peradilan Agama
Bustanul Arifin bertemu dengan Soeharto. Pada pertemuan itu, Soeharto
berkomentar “Kalau kita sendiri mampu mengapa mesti minta ke pihak lain” kata
Bustanul menirukan ucapan Soeharto.
Gagasan ini terealisir dengan lahir
surat keputusan bersama Ketua Mahkamah Agung dan menteri agama RI No. 07/KMA/1985
tanggal 25 Maret 1985 membentuk sebuah panitia yang diberi tugas melaksanakan
KHI dan menyusunnya ke dalam sebuah kitab hukum secara sistematis untuk menjadi
pegangan: 1) Hakim-hakim agama juga hakim-hakim dilingkungan peradilan lain
serta 2) Masyarakat terutama masyarakat muslim Indonesia yang mencari keadilan
di badan peradilan agama.
Kompilasi Hukum Islam bukan termasuk
dalam hierarki peraturan perundang-undangan, bukan pula hukum tertulis meskipun
ia dituliskan, bukan UU, bukan Peraturan Pemerintah, bukan Keputusan Presiden
dan seterusnya. KHI menunjukkan adanya hukum tidak tertulis yang hidup secara
nyata dalam kehidupan sehari-hari sebagian besar rakyat Indonesia yang beragama
Islam dan apabila nantinya diperlukan oleh masyarakat bisa menelusuri
norma-norma hukum yang ada di dalam KHI baik didalam maupun diluar pengadilan.
Sebelum Instruksi Presiden No. 1
tahun 1991 dikeluarkan banyak pihak yang menghendaki agar KHI ditetapkan dengan
keputusan presiden atau dengan peraturan pemerintah, dan juga yang menghendaki
agar ditetapkan dengan UU.
Menurut Rahmat Djatnika, Kompilasi Hukum
Islam tidak melalui DPR karena melalui DPR akan mengalami kesulitan. Karena itu
Mahkamah Agung menggunakan jalan pintas bersama-sama tepat untuk menggolkan
kompilasi, dengan restu presiden.
Kedudukan Kompilasi Hukum Islam yang
terdapat dalam Instruksi Presiden No. 1 tahun 1991 yang telah diterima baik
oleh para alim ulama Indonesia yang penyebar luasnya diinstruksikan oleh
Presiden dan menteri agama serta materinya dituangkan dalam bentuk luar dan
formatnya seperti layaknya suatu batang tubuh peraturan perundang-undangan.[14]
BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
-
Politik hukum adalah kebijakan dasar yang menentukan
arah, bentuk, maupun isi hukum yang akan dibentuk.
-
UU No. 14 Tahun 1970 Tentang Pokok-pokok Kekuasaan
Kehakiman, lahir dengan perdebatan antara beberapa fraksi tentang Peradilan
Agama mendapat kekuasaan kehakiman sendiri/ khusus dan itu berefek pada tidak
adanya equality before the law.
-
UU No. 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan, lahir dengan
perdebatan yang panjang karena RUU yang dibuat tidak sesuai dengan ajaran Islam
dan jika bertentangan dengan suatu agama maka itu tidak sesuai dengan
Pancasila. Karena masalah itulah maka timbul pertentangan dari tokoh-tokoh
besar Islam dan aksi dari umat Islam itu sendiri. Setelah melalui loby-loby
politis PPP berhasil meloby presiden Soeharto dan Fraksi Golkar dan ABRI untuk
mendukung RUU Perkawinan yang sesuai dengan ajaran Islam hingga di legalkannya
UU No. 1 Tahun 1974.
-
UU No. 7 Tahun 1989 Tentang Peradilan Agama, lahir
dengan perdebatan yang datangnya dari Fraksi PDI, mereka berpendapat bahwa
seharusnya Indonesia hanya memiliki satu hukum saja demi menjamin kepastian
hukum. Dan juga banyak konflik yang datang dari tokoh-tokoh Katolik. UU ini
lahir karena adanya dukungan dari Soeharto dan fraksi PPP, Golkar dan ABRI.
-
Kompilasi Hukum Islam lahir karena tidak ada nya
rujukan pasti di Peradilan Agama, karena pada saat itu Peradilan Agama dalam
memutuskakn perkara merujuk kepada kitab-kitab fiqh yang terdiri dari 13 kitab.
Karena alasan itulah Busthanul Arifin menggagas pemikiran untuk melahirkan
Kompilasi Hukum Islam walaupun ada perbedaan pendapat tentang penggagasnya ada
pendapat penggagasnya yaitu menteri agama pada saat itu Munawir Syadzali, ada
juga pendapat bahwa ide itu datang dari K.H. Ibrahim Hosein. Dari alasan
tersebut maka Ketua Mahkamah Agung RI pada saat itu yaitu Ali Said dan
Busthanul Arifin sebagai hakim agung MA bertemu dengan Soeharto dan meminta
agar Kompilasi Hukum Islam ini teralisasikan. Akhirnya setelah penyusunan
Kompilasi Hukum Islam selesai, Soeharto mengeluarkan instruksi dalam Inpres No.
1 Tahun 1991 Tentang Kompilasi Hukum Islam.
DAFTAR PUSTAKA
Djalil, A.
Basiq. 2010. Peradilan Agama di Indonesia. Jakarta: Kencana.
Halim, Abdul.
2008. Politik Hukum Islam di Indonesia. t.t: Badan Litbang & Diklat Departemen Agama.
MD, Moh.
Mahfud. 2014. Politik Hukum di Indonesia. Jakarta: Rajawali Pers.
Rahardjo,
Satjipto. 2015. Ilmu Hukum. Bandung, PT Citra Aditya Bakti.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar