Rabu, 27 Maret 2019

Makalah Politik Hukum Islam: Politik Hukum UU Kekuasaan Kehakiman, UU Perkawinan, dan UU Peradilan Agama


BAB I
PENDAHULUAN

Latar Belakang

            Kelembagaan hukum Islam di Indonesia mengalami perjalanan yang sangat alot. Keinginan masyarakat Indonesia untuk memiliki hukum perkawinan secara tertulis yang isinya merupakan wujud dari hukum-hukum perkawinan yang telah berlaku di dalam masyarakat, baik itu hukum perkawinan adat maupun hukum perkawinan menurut ketentuan agama yang ada. Keinginan ini sudah muncul pada masa penjajahan Belanda, masa penjajahan Jepang, dan seterusnya sampai pada masa kemerdekaan. Harapan memiliki hukum perkawinan tertulis tersebut baru dapat terwujud pada awal tahun 1974, dengan disahkannya Undang-Undang No: 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan.
            Keberhasilan yang dimulai dengan dibentuknya UU No. 1 tahun 1974 yang telah mengalami proses 24 tahun sejak mulai perancangan, disusul dengan UU No. 7 tahun 1989 yang secara resmi mengakui eksistensi Peradilan Agama serta disusul oleh perundang-undangan lainnya. Namun, secara keseluruhan, peraturan-peraturan yang diraih hukum Islam itu belum bisa memuaskan kebutuhan masyarakat. Hal menimbulkan tidak adanya kepastian hukum di lingkungan peradilan ini. Kenyataan-kenyataan ini mengharuskan dibentuknya sebuah unifikasi hukum Islam yang akhirnya berhasil disahkan pada tahun 1991, yakni Kompilasi Hukum Islam yang diberlakukan oleh Inpres No. 1 tahun 1991.
Melihat diatas maka dalam makalah ini, kami akan mencoba untuk memaparkan tentang politik hukum Islam di Indonesia mengenai produk hukum UU No. 14 Tahun 1970 Tentang Pokok-pokok Kekuasaan Kehakiman, UU No. 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan, UU No. 7 Tahun 1989 Tentang Peradilan Agama dan Instruksi Presiden No. 1 Tahun 1991 Tentang Kompilasi Hukum Islam.

  1. Rumusan Masalah
1.      Apa yang dimaksud politik hukum?
2.      Bagaimana politik hukum dalam penyusunan dan legalisasi UU No. 14 Tahun 1970 Tentang Pokok-pokok Kekuasaan Kehakiman?
3.      Bagaimana politik hukum dalam penyusunan dan legalisasi UU No. 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan?
4.      Bagaimana politik hukum dalam penyusunan dan legalisasi UU No. 7 Tahun 1989 Tentang Peradilan Agama?
5.      Bagaimana proses lahirnya Kompilasi Hukum Islam?

B.     Tujuan

            Tujuan penulisan makalah ini adalah untuk memenuhi tugas yang diberikan dosen pengampu mata kuliah Politik Hukum Islam di Indonesia yaitu Ali Mansur, MA. Dan juga untuk memberikan informasi kepada pembaca khususnya dan masyarakat uumumnya.

 

 

 

 

 

 

 


BAB II

PEMBAHASAN
1.      Pengertian Politik Hukum
            Moh. Mahfud MD mengemukakan bahwa politik hukum adalah: “Legal policy atau garis (kebijakan) resmi tentang hukum yang akan diberlakukan baik dengan pembuatan hukum baru maupun dengan penggantian hukum lama, dalam rangka mencapai tujuannya.
            Padmo Wahyojo mengatakan bahwa politik hukum adalah kebijakan dasar yang menentukan arah, bentuk, maupun isi hukum yang akan dibentuk.[1]
            Stjipto Raharjo mendefinisikan politik hukum sebagai aktivitas memilih dan cara yang hendak dipakai untuk mencapai suatu tujuan meliputi jawaban atas beberapa pertanyaan mendasar, yaitu: 1) Tujuan apa yang hendak dicapai melalui sistem yang ada; 2) Cara-cara apa dan yang mana dirasa paling baik untuk dalam mencapai tujuan tersebut; 3) Kapan waktunya dan melalui cara bagaimana hukum itu perlu diubah; 4) Dapatkah suatu pola yang baku dan mapan dirumuskan untuk membantu dalam memutuskan proses pemilihan tujuan serta cara-caranya serta cara-cara untuk mencapai tujuan tersebut dengan baik.[2]
2.      Politik Hukum UU No. 14 Tahun 1974 Tentang Pokok-pokok Kekuasaan Kehakiman
Dalam rangka memenuhi ketentuan pasal 24 UUD 1945, pada tahun 1964 keluarlah UU No. 19 tahun 1964 tentang ketentuan-ketentuan pokok kekuasaan kehakiman yang kemudian diganti dan disempurnakan dengan Peraturan Pemerintah No. 14 tahun 1970 tentang ketentuan-ketentuan pokok kekuasaan kehakiman. Pasal 10 Peraturan Pemerintah No 14 tahun 1970 menentukan bahwa kekuasaan kehakiman dilaksanakan oleh empat lingkungan peradilan yaitu:
1)      Peradilan Umum.
2)      Peradilan Agama.
3)      Peradilan Militer.
4)      Peradilan Tata Usaha Negara.
Dalam proses pembahasan rancangan undang-undang tentang pokok-pokok kekuasaan kehakiman ini masalah peradilan agama menjadi lingkungan sendiri yang melaksanakan sebagian kekuasaan kehakiman telah dibahas secara mendalam.
Fraksi Partai MURBA melalui juru bicaranya Shahab Nainggolan menyampaikan pendapat bahwa hukum adat dan hukum agama pada kenyataannya sama kuat dalam masyarakat maka peradilan agama supaya diserahkan kepada lembaga-lembaga agama yang bersangkutan. Jadi bukan diatur oleh negara. Negara hanya sekedar memberikan bimbingan dan pengawasan. Dari segi teknis organisasi teroris jika terlalu banyak macam peradilan, maka akan makin kacau lah peradilan.
Fraksi Partai Katolik menyarankan agar peradilan hanya terdiri dari dua macam peradilan, yakni peradilan umum dan peradilan militer dengan kemampuan masing-masing mengadakan diferensiasi secara limitatif dan berdasarkan asas efisiensi.
Dan beberapa fraksi lainnya berpendapat bahwa adanya empat lingkungan peradilan yang berbeda-beda dalam rancangan undang-undang tersebut dianggap sebagai kurang sejalan dengan prinsip equality before the law. Terhadap pandangan fraksi-fraksi, Menteri Kehakiman Oemar Seno Adji, selaku Wakil Pemerintah dalam jawaban menyatakan: “Prinsip equality before the law adalah merupakan salah satu hak asasi manusia di mana setiap orang yang berpihak atasnya. Meskipun demikian, tidak akan mungkin serta tidak akan adil apabila prinsip ini akan diterapkan pada semua warga negara tanpa membedakan dan dalam semua perundang-undangan yang ada, sebab tanpa memperkecil arti dari prinsip equality before the law ini, perbedaan perbedaan hak asasi yang ada di antara warga negara kita yang bertalian dengan usia, ras, jenis kelamin, jabatan dan agama dan kondisi lainnya, dapat dan seharusnya mendapatkan peraturan-peraturan yang berlainan dengan hukum bukankah setiap “legal distinction” itu harus dipandang sebagai ini quality before the law. Sebaliknya tidak dapat pula dikatakan bahwa asas ini quality before the law itu hanya dapat dianggap sah apabila factual condition sama secara keseluruhan, oleh karena itu selalu dapat dipikirkan suatu pengaturan hukum yang mengenai suatu golongan”.
Pada hakikat nya prinsip equality before the law ini mengandung suatu nilai yang esensial yang meletakkan kewajiban pada pembuat undang-undang untuk menjauhkan diri dari tindakan diskriminatif, sehingga menguntungkan atau merugikan suatu golongan, atau secara umum meremehkan nilai-nilai moral. Perundang-undangan khusus mengenai golongan-golongan agama itu bukanlah dimaksudkan sebagai suatu pengaturan menteri secara sewenang-wenang ataupun bermaksud untuk mengurangi martabat manusia dengan adanya ciri-ciri yang karakteristik yang ada pada golongan agama yang bersangkutan. Ia menimbulkan legal disction bukan suatu diskriminasi sewenang-wenang, sehingga ia tidak dapat dipandang sebagai suatu equality before the law.
Sebenarnya Peradilan Agama dapat menentukan mengenai kewenangan dilihat dari segi yuridisnya adalah ketentuan penjelasan pasal 10 UU No. 14 tahun 1970 yang menyebutkan bahwa undang-undang ini membedakan antara empat lingkungan wewenang yang mengadili perkara tertentu dan meliputi badan-badan peradilan tingkat pertama dan banding. Peradilan Agama, Militer dan Tata Usaha Negara merupakan pengadilan khusus karena pengadilan perkara perkara tertentu sedangkan peradilan umum adalah peradilan bagi rakyat pada umumnya mengenai baik perkara perdata maupun pidana.
Artinya bahwa empat lingkungan peradilan, masing-masing mempunyai lingkungan wewenang mengadili perkara-perkara tertentu atau mengenai golongan tertentu, sedangkan pengadilan umum adalah pengadilan untuk semua warga negara baik perdata maupun pidana. Dengan adanya undang-undang peradilan khusus, yakni Pengadilan Agama, Pengadilan Militer dan Pengadilan Tata Usaha Negara, maka harus diambil kewenangan-kewenangan itu dari peradilan umum. Oleh sebab itu, dalam menentukan kewenangan Peradilan Agama harus ditentukan secara jelas sehingga tidak ada lagi kemungkinan yuridis hasil antara peradilan umum dan peradilan khusus dengan cara seperti undang-undang pengadilan ekonomi.[3]
3.      Politik Hukum UU No. 01 Tahun 1974 Tentang Perkawinan

A.    Setting Sosial Politik lahirnya UU Perkawinan

Indonesia dapat dikatakan negara muslim yang terlambat dalam melakukan pembaharuan hukum keluarga, Yakni baru tahun 1974 dengan lahirnya UU No.. 1 Tahun 1974  tentang Perkawinan. Kecenderungan mengangkat aspek-aspek fiqih ke dalam perundang-undangan di bidang hukum keluarga didasari oleh semangat untuk melindungi hak-hak dan meningkatkan derajat wanita. Spirit ini muncul dalam Kongres Perempuan Indonesia tahun 1928 membahas fenomena sosial yang terjadi dalam perkawinan di kalangan umat Islam yang kurang memberikan perlindungan hukum terhadap perempuan misalnya perkawinan anak-anak, kawin paksa, poligami, menjatuhkan talak sewenang-wenang dan lain-lain.
Tuntunan akan adanya peraturan atau UU yang dapat memberikan jaminan hukum dalam perkawinan dan sekaligus meningkatkan derajat wanita indonesia telah tumbuh bersama dengan Kebangkitan Nasional. Ia merupakan unsur yang tidak dapat dipisahkan dari cita-cita perjuangan bangsa meskipun dalam implementasinya terjadi perbedaan cara pandang, terutama pertentangan ideologi, misalnya apa yang terjadi dalam Kongres Wanita Indonesia tanggal 22 Desember 1928 di Yogyakarta. Pasca Kongres 1928 terjadi konflik antara kelompok wanita terpelajar dengan kelompok wanita Islam tentang masalah perkawinan. Kalangan wanita terpelajar melontarkan kecaman terhadap praktek poligami dan talak sebagai tindakan kesewenang-wenangan kaum pria yang merendahkan wanita. Kelompok wanita Islam menyanggah tuduhan itu dan menganggap emansipasi yang berlebih-lebihan serta telah dianggap serangan terhadap ajaran Islam.
Konflik antara dua kelompok wanita itu kemudian semakin tajam ketika pemerintah Hindia Belanda mengeluarkan sebuah rancangan ordonansi tentang perkawinan tercatat (onwerp-ordonaantie op de ingesschreven huwelijken) pada bulan Juni 1937, yakni dua bulan setelah diberlakukannya Staatblad 1937 No.. 116 yang mengurangi wewenang peradilan agama dalam masalah waris. Inti gagasan dalam rancangan ordonansi tentang perkawinan tercatat itu adalah terbukanya kesempatan bagi suami istri pribumi untuk mencatatkan dirinya tunduk pada ordonansi itu, dengan implikasinya antara lain: 1) seorang suami hanya akan diperbolehkan mempunyai seorang isteri, 2) perkawinan itu tidak dapat putus kecuali karena meninggal dunia atau suami/istri tidak dapat putus kecuali meninggal dunia atau suami/istri tidak berada di tempat tinggalnya selama 2 tahun tanpa ada berita tentang hidup atau matinya, 3) perkawinan harus tercatat pada pencatatan sipil. Berbagai reaksi keras muncul di tengah-tengah masyarakat, misalnya NU bersamaan pada bulan Juni 1937 itu sedang mengadakan kongres di Malang dan Partai Syarikat Islam Indonesia yang kongres bulan Juli 1937 di Bandung dan Kelompok Barisan Penjadar Sjarikat Islam menyatakan penolakan diberlakukannya ordonansi tersebut. Pada sisi lain, ada kalangan yang menyetujui rancangan ordonansi tentang perkawinan tercatat (onwerp-ordonaantie op de ingesschreven huwelijken) yang berasal dari organisasi wanita terpelajar, seperti organisasi Isteri Sedar di Jakarta, Poetri Boedi Sedjati di Surabaya, Serilat Kaoem Iboe Soematra (SKIS) di Padangpanjang. Akhirnya setelah jelas sebagian besar organisasi keagamaan dan kemasyarakatan di Indonesia menyatakan tidak setuju terhadap gagasan perkawinan tercatat, pemerintah Hindia Belanda memutuskan untuk menarik rancangan itu. Pernyataan resmi untuk tidak meneruskan rancangan ordonansi itu disampaikan oleh penasehat urusan pribumi kepada pengurus besar PPDB dan dengan demikian pembicaraan ordonansi perkawinan tercatat dianggap selesai.
Implikasi sosial politik dari rancangan ordonansi tentang perkawinan tercatat tahun 1937 tersebut membangunkan organisasi-organisasi Islam tentang urgensi diadakannya pembaharuan dalam bidang hukum perkawinan Indonesia bagi umat Islam. Ormas Islam Al Islam dalam Kongres pertamanya di Surabaya tanggal 26 Februari sampai 1 Maret 1938 dalam keputusannya menyatakan bahwa: “kongres menyerahkan dan meminta sekretariat Majelis Islam A’la Indonesia (MIAI) agar menyusun Rancangan Peraturan Perkawinan umat Islam dengan selengkap-lengkapnya.” rancangan ini disusun oleh sekretariat IAI kemudian dikirim kepada segenap organisasi-organisasi Islam untuk diminta pertimbanganya.
Selain bersumber kepada kitab-kitab fiqih, berlaku pula sejumlah ketentuan-ketentuan hukum perkawinan bagi berbagai golongan warga negara Indonesia, seperti berikut: 1) bagi orang-orang Indonesia asli yang beragama Islam berlaku hukum agama yang telah diresipir dalam hukum adat; 2) bagi orang-orang Indonesia asli yang beragama Kristen berlaku H.O.C.I (huwelijks Ordonantie Christen Indonesiers); 3) bagi orang-orang Indonesia asli lainnya berlaku hukum adat; 4) bagi orang-orang Timur asing Cina dan warga negara Indonesia keturunan Cina berlaku ketentuan-ketentuan kitab undang-undang hukum perdata (kuhper) dengan sekedar perubahan; 5) bagi orang-orang Timur asing lainnya dan warga negara Indonesia keturunan Timur asing lainnya berlaku hukum adat mereka; dan 6) bagi orang-orang Eropa dan warga negara Indonesia keturunan Eropa dan disamakan dengan mereka berlaku hukum kitab undang-undang hukum perdata (KUHPer).
Terjadi perbedaan pendapat dalam masalah alternatif pilihan itu, pertama adanya perbedaan agama memerlukan diferensiasi dalam hukum perkawinan, kedua perbedaan agama tidak menjadi sebab untuk mengadakan pengelompokan warga negara, dan ketiga bagi Indonesia yang terbaik adalah unifikasi yang terbatas. Jalan keluar terhadap persoalan ini, politik hukum negara menjelaskan dalam garis-garis besar haluan negara (GBHN) bahwa: “peningkatan dan penyempurnaan pembinaan hukum nasional antara lain dengan mengadakan pembaharuan kodifikasi serta unifikasi hukum dalam bidang-bidang tertentu dengan jalan memperhatikan kesadaran hukum dalam masyarakat.”
Dalam konteks perkembangan pembaruan hukum Islam di Indonesia, maka setelah proklamasi kemerdekaan Indonesia, Departemen Agama Republik Indonesia RI yang terbentuk pada tahun 1946 memiliki peranan strategis baik secara sosial keagamaan maupun politik bagi umat Islam, sekaligus mengundang kontroversial. Lembaga ini dapat dijadikan salah satu barometer dari perkembangan hukum Islam di Indonesia . kaum muslimin umumnya memandang bahwa keberadaan Depag RI merupakan keharusan sejarah; Ia merupakan kelanjutan dari inisiasi yang bernama shumubu atau Kantor Urusan Agama pada masa penjajahan Jepang.
Sebagai lembaga baru Depag yang dipimpin H.M. Rasyidi sebagai Menteri Agama pertama melakukan konsolidasi tugas dan kewenangannya dengan langkah pertama sesuai dengan Penetapan Pemerintah No.. 5/SD tanggal 25 Maret 1946 melakukan pengambilalihan beberapa bidang tugas yang sebelumnya berada di lingkungan Kementerian lain; pertama, Kementerian Dalam Negeri urusan masalah Perkawinan, Peradilan Agama, kemasjidan, dan Urusan Haji; Kedua Kementerian kehakiman yang berkenaan dengan urusan Mahkamah Islam Tinggi; Ketiga, Kementrian P&K, berkenaan dengan pengajaran agama di sekolah-sekolah. Dengan adanya tugas poin pertama dan kedua di atas, maka sejak itu secara kelembagaan Departemen Agama mengurus masalah perkawinan, Peradilan Agama, kemasjidan dan urusan Haji, MIT dan pendidikan agama. Peran inilah yang kemudian senantiasa dipertanyakan oleh kelompok agama Katolik dan Protestan . bagi mereka negara melalui Kementerian Agama tidak sewajarnya mencampuri Urusan Agama . namun . Rasjidi menjelaskan bahwa Kementerian Agama tidak akan mencampuri urusan agama dan akan memberi tempat yang sewajarnya kepada setiap agama di Indonesia.
Pada era menteri Fathurrahman Kafrawi dilakukan usaha pembaruan administrasi pencatatan perkawinan, talak, rujuk bagi umat Islam, khuususnya dimaksudkan untuk mengoreksi dan memperbaiki peraturan perkawinan yang telah berlaku pada masa pemerintahan Hindia Belanda. Pada masa menteri Fathurrahman Kafrawi diundangkan UU. No.. 22 Tahun 1946 tentang Pencatatan Nikah, Talak, Cerai dan Rujuk. Dengan adanya UU ini jabatan Penghulu di Kabupaten menjadi kepala KUA Kabupaten sedangkan tugas penghulu sebagai penasehat pada pengadilan negeri serta sebagai ketua Raad Agama.
Ketika K.H. Masjkur menjadi menteri Agama dalam kabinet Amin Syarifuddin II, dikeluarkan kebijakan yang berkenaan langsung dengan kelembagaan peradilan agama melalui Peraturan Menteri Agama No. ... Tahun 1947 tentang biaya perkara pengadilan agama yang harus disetor kek kas negara. Dalam Kabinet Hatta I, K.H. Masjkur memberlakukan UU No.. 19 Tahun 1948 tentang susunan dan kekuasaa badan-badan kehakiman dan kejaksaan. UU ini memberi perhatian terhadap hukum Islam sebagaimana dalam Pasal 35 ayat (2) yang menyatakan; bahwa perkara-perkara perdata antara umat Islam diperiksa dan diputuskan menurut hukum Islam oleh pengadilan dengan formasi majelis, seorang hakim ketua yang beragama Islam, dan dua orang hakim anggota yang ahli agama Islam. Demikian pula halnya dengan peradilan tingkat kasasi sebagaimana dijelaskan dalam pasal 53.
K.H Wahid Hasyim adalah menteri agama yang menggantikan K.H. Masjkur. Wahid Hasyim berusaha secara intens melakukan unifikasi hukum perkawinan di Indonesia. Kurang dari satu tahun menjadi Menteri Agama, pada bulan Oktober 1950, ia membentuk panitia penyusunan hukum perkawinan dengan mengeluarkan Surat Putusan Menteri Agama No.. B/2/4299 tanggal 1 Oktober 1950 tentang Pembentukan Panitia Penyelidik Peraturan Hukum Perkawinan, Talak dan Rujuk (PPPHPTR), yang diketuai Mr. Teuku Mohammad Hassan seorang nasionalis. Anggota terdiri dari Islam, Protestan, Katolik dan aktifis perempuan.
Panitia berhasil menyelesaikan dua RUUP yang telah diajukan kepada DPR-GR (Gotong Royong), yaitu: RUU tentang Pokok Perkawinan yang diselesaikan tahun 1952. RUU ini dijadikan hukum umum bagi seluruh rakyat Indonesia tanpa memperhatikan kepercayaan agama dan kesukuannya. Rancangan lainnya adalah RUU tentang pernikahan umat Islam, pada sebuah draf hukum perkawinan bagi umat Isam yang diselesaikan pada tahun 1954.
Dalam konteks masa jabatan Menteri Agama K.H. Mohammad Iljas, beberapa kebijakan yang terkait dngan perkembangan kelembagaan hukum Islam adalah mengenai dikeluarkannya Peraturan Pemerintah (PP) yang dipersiapkan oleh Depag, yakni PP No.. 25 Tahun 1957 tentang Peradilan Agama Mahkamah Syar’iyyah di Aceh dan PP No.. 45 Tahun 1957 tentang Pembentukan Pengadilan Agama/ Mahkamah Syar’iyyah di luar Jawa dan Madura.
Dengan penyempurnaan rumusan RUU perkawinan untuk umat Islam masa Wahid Hasyim, maka pada masa September 1957, K.H. Mohammad Iljas mendapat restu kabinet untuk mengajukan RUU Perkawinan untuk Umat Islam, Depag mengajukan RUU Perkawinan Islam pada kabinet dengan satu catatan bahwa akan ada amandemen sebelum diajukan pada parlemen.
Pada awal orba, pada tanggal 22 Mei 1967 pemerintah menyampaikan RUU tentang peraturan pernikahan umat Islam yang dibicarakan oleh DPR-GR bersama-sama dengan RUU tentang ketentuan-ketentuan pokok perkawinan 7 September 1968. Dalam RUU tentang pokok peraturan pernikahan umat Islam yang diajukan ke DPR tanggal 2 Mei 1967 terlihat jelas keterkaitannya dan bahkan mengacu kepada Piagam Jakarta sebagaimana dalam poin menimbang yang menyatakan Piagam Jakarta tanggal 22 Juni 1945 menjiwai dan merupakan satu rangkaian kesatuan dengan UUD 1945 oleh Dekrit Presiden /Panglima tertinggi Angkatan Perang tanggal 5 Juli 1959 dengan konsekuensi bahwa bagi pemeluk agama Islam dapat diciptakan undang-undang yang sesuai dengan syariat Islam untuk kepentingan umat Islam sebagai bagian dari pelayanan hukum bagi masyarakat Indonesia.
Kedua draf  RUU yang diajukan pemerintah tanggal 22 Mei 1968 dan yang diajukan Tanggal 7 September 1968 tidak berhasil disahkan menjadi undang-undang.
Kegagalan RUU tentang peraturan perkawinan umat Islam yang disusun oleh Depag karena setelah 6 bulan pembahasan di dalam rapat paripurna DPR pada tanggal 5 Januari 1968 ada satu fraksi yang menolak, yakni Parkindo, 2 fraksi abstain walaupun fraksi-fraksi lain sejumlah 13 fraksi dapat menerimanya.
Disamping itu, kegagalan RUU yang disusun oleh Depag disebabkan terjadi kompetisi antara Menteri Kehakiman Oemar Seno Adji dan Depag yang mengajukan pula RUU tentang Ketentuan Pokok perkawinan sebagai RUU tandingan. Sedangkan RUU tentang ketentuan-ketentuan pokok perkawinan juga pembahasannya tidak bisa dilanjutkan karena substansi RUU yang  digagas Menteri Kehakiman mengarah paham sekuler dan mendapat sorotan tajam dan tantangan dari berbagai pihak, khususnya umat Islam. Selain faktor hambatan politis di atas, dari persoalan intern umat Islam khususnya ulama dan Depag belum mampu memformulasikan kaidah-kaidah hukum Islam yang terdapat di berbagai kitab kuning tersebut menjadi sebuah No.rma hukum tertulis dengan format undang-undang modern.
Di mana posisi Soeharto ketika perdebatan kedua RUU tentang perkawinan tersebut?  Sebenarnya Soeharto pada awal pemerintahannya memiliki kehendak politik untuk mengangkat hukum tidak tertulis seperti hukum Islam ke dalam bentuk perundang-undangan. Namun dalam 3 tahun dari periode awal pemerintahan orba, Soeharto belum memiliki kekuatan politik untuk mempengaruhi partai-partai politik dalam mengarahkan politik hukumnya sehingga terjadi dualisme RUU antara konsep yang diajukan depan dengan RUU perkawinan umat Islam dan departemen kehakiman dengan ketentuan pokok perkawinan. Soeharto lebih bersikap menunggu kinerja politik partai-partai dan lebih memilih menyerahkan persoalan tersebut kepada departemen kehakiman dan Depag.
Bagi pemerintahan orba, diajukannya RUU Perkawinan adalah sebagai salah satu proses gerakan besar ke arah terbinanya hukum nasional, menyeluruh dan mengayomi seluruh masyarakat Indonesia. Dalam rangka modernisasi hukum, pemerintah menempatkan unsur-unsur keagamaan dan kerohanian hukum adat dan kitab undang-undang hukum perdata sebagai satu kesatuan untuk menuju unifikasi, uniformitas dan homogenitas hukum yang berlaku untuk semua warga negara Indonesia. Bahkan pemerintah mendasari RUU perkawinan dengan dasar falsafah Pancasila yang menjiwai cita-cita pokok pembinaan hukum nasional.
Bila dicermati secara komprehensif dasar pertimbangan penyusunan RUUP, maka kebijakan Pemerintah mengajukan RUU menggambarkan bahwa politik hukum mendesain politik hukumnya sedang menuju pada satu arah yaitu: Pertama, hukum dan perubahan sosial serta pembangunan adalah sebagai socialengineering dalam kehidupan masyarakat. Hukum dijadikan sebagai kontrol sosial, yaitu suatu proses untuk mempengaruhi orang-orang agar berperilaku sesuai dengan harapan masyarakat. Kedua, modifikasi dan kodifikasi dalam bidang hukum perkawinan dijadikan sebagai langkah untuk mewujudkan kepastian hukum dalam menata hukum nasional di bidang hukum perkawinan. Ketiga norrma dan ajaran Islam dianggap bukan sebagai hukum, tetapi hanya sebagai nilai etika dan moral yang hidup dalam masyarakat dan posisinya sebagai sub-ordinasi dari cita-cita moral bangsa.
Tujuan politik hukum dalam RUUP adalah: Pertama, untuk menyeragamkan dan mengadakan unifikasi terhadap keanekaragaman hukum perkawinan yang telah ada di Indonesia diarahkan untuk mengayomi dan memberikan kesejukan kepada semua tanpa terkecuali. Apabila di dalam politik hukum yang demikian itu terkandung pula ikhtiar modernisasi dalam lapangan hukum, maka modernisasi yang dimaksudkan bukanlah modernisasi dalam arti yang salah melainkan modernisasi dalam arti kemampuan menserasikan diri dan tuntutan kemajuan, tanpa meninggalkan ajaran agama, kebudayaan, budi pekerti dan moral luhur milik bangsa sendiri. Kedua, untuk mengurangi frekuensi perkawinan, perceraian dan perkawinan dibawah umur. Ketiga, untuk mengangkat harkat dan martabat kaum wanita. Keempat, untuk mendukung program pengendalian jumlah penduduk yang selanjutnya mempunyai pengaruh terhadap jumlah anak dan karenanya terhadap soal keluarga berencana.
Perdebatan yang terjadi pada tataran scholastik atau teoretis idealis di seputar discourse dasar negara dalam konstitusi negara dan kaitannya dengan posisi agama kemudian berimplikasi pada sikap politik dalam respon kependudukan hukum agama dalam negara termasuk dalam kasus RUU perkawinan.
Persoalan konflik inilah yang kemudian mengemuka dalam perbincangan RUU perkawinan yang diajukan pemerintah orba. Umat Islam terutama yang berada diluar pemerintahan, menentang RUU perkawinan yang diajukan pemerintah. Respon masyarakat terhadap RUU secara cepat mendapat tanggapan dan reaksi keras dari umat Islam, serta dari berbagai unsur masyarakat baik di dalam DPR maupun di kalangan masyarakat luas. Respon dan pernyataan terbuka, khutbah di masjid-masjid, ceramah pengajian, tulisan di mass media, demonstrasi dan berbagai utusan delegasi untuk bertemu pemerintah, bahkan demonstrasi politik mewarnai proses panjang RUU tersebut. Umat Islam menolak beberapa hal yang secara mendasar dipandang bertentangan dengan syariat Islam.[4]

B.     Dinamika Konflik dan Proses Legislasi UU Perkawinan

1)      Dinamika Konflik di Parlemen
a.      Aktor Utama dan Aktor Pendukung dalam Konflik
Dalam konteks RUUP Juli tahun 1973, negara merupakan pemeran utama yang direfrensentasikan departemen kehakiman sebagai basis dan kelompok nasionalis sekuler. Sedangkan departemen agama yang lebih banyak dinahkodai dari kelompok nasionalis Islam yang hanya dalam posisi pemanis atau bahkan tidak dilibatkan dalam proses penyusunan RUUP tersebut. Perbedaan peran kedua lembaga ini terjadi karena memiliki dua corak pemikiran, yakni mazhab hukum umum dan mazhab hukum Islam.
Dalam kasus RUU persoalan utamanya bermuara dari pada konsepsi hubungan agama dan negara. Kalau di departemen kehakiman intinya adalah mazhab Eropa atau barat, sementara Depag adalah mazhab hukum Islam dan kedua Departemen ini berkompetisi dan ini akan tetap berlangsung yang diwujudkan dalam bentuk persaingan untuk merebut pengaruh negara. Secara faktual persaingan kedua mazhab pemikiran ini dapat dilihat dalam kasus RUUP yang disusun oleh departemen kehakiman. Di sini terlihat formulasi pemikirannya yang secara diametral bertolak belakang dengan konsepsi pemikiran hukum Islam. Hal ini bisa dilihat dari RUUP yang diajukan itu ternyata hampir 75% adalah terjemahan dari satu rancangan zaman Belanda tahun 1937 tentang perkawinan tercatat (ontwerp ordonantie op de Ingeschreven Huwelijiken). Rancangan ordonansi tentang perkawinan tercatat yang inti dasarnya itu adalah terjemahan dari BW dengan ketentuan yang khusus yaitu bagi mereka yang sudah nikah dengan Islam boleh langsung mendaftarkan diri untuk tunduk pada peraturan itu. Rancangan inilah yang kemudian diangkat kembali oleh departemen kehakiman sebagai RUUP pada tahun 1973.
Fenomena yang patut dicermati adalah dalam masalah perkawinan, dimana era Menteri Agama seperti K.H. Iljas,  Depag proaktif dalam menyusun dan membahas RUU perkawinan umat Islam. Tetapi kenapa pada Europe tahun 1973 itu Depag tidak diikutsertakan oleh departemen kehakiman? Karena ada keterkaitan dengan konsep dan pilihan yang berkembang di departemen kehakiman itu sendiri ini pola pikir yang menginginkan adanya kesatuan hukum dalam bidang perkawinan serta menganggap bahwa hukum Islam bukanlah hukum tetapi hanyalah satu norma yang hidup di tengah-tengah masyarakat. Pada sisi lain, tidak terlepas dari kepemimpinan Menteri Agama Mukti Ali dalam merespon masalah hukum perkawinan di Indonesia. Mukti Ali kurang memiliki sensitifitas politik di bidang hukum Islam, bahkan Mukti Ali terjebak dengan alur pikir dan politik hukum departemen kehakiman pimpinan Oemar Seno. Adji.
            Pemerintahan Soeharto telah melakukan suatu tindakan yang kontroversial dengan mengajukan RUUP yang bermasalah, Sehingga mengundang perlawanan dari umat Islam. Kendati penjelasan seputar RUUP ini telah diberikan dalam sidang pleno tanggal 30 Agustus 1973 namun belum bisa menjawab reaksi dari kalangan umat Islam. RUUP yang diajukan pemerintah mengandung banyak hal yang tidak berkenan di hati umat Islam, bertentangan dengan rasa kesadaran hukum rakyat dan bahkan sebagian besar bertentangan dengan syariat Islam.
Partai Islam yang tergabung dalam fraksi Persatuan Pembangunan dan umat Islam menilai bahwa perkawinan bukan hanya sekedar mempunyai hubungan yang erat dengan unsur keagamaan tetapi bagi umat Islam Perkawinan adalah salah satu ibadah kepada Allah. Sehingga apabila perkawinan sebagai unsur agama itu dirubah aturan-aturannya , maka akan berubah agama itu karena unsurnya dirubah. Sejarah konstitusional UUD 1945 pasal 29 ayat (2) menyatakan bahwa: “Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya itu.” maka konsekuensi dari ketentuan pasal 29 ayat (2) adalah perlakuan terhadap umat Islam yang melakukan perkawinan yang menurut hukum perkawinan sebagai ibadah menurut agama yaitu dengan sendirinya menjadi kewajiban negara dan negara berkewajiban menjamin kebebasan nya dengan melindungi sesuai dengan UUD tersebut. Hal yang sama semestinya menjamin agama lain untuk melaksanakan ibadah sesuai dengan kepercayaan itu.
Secara yuridis partai yang berasaskan Islam ini mengajukan keberatan karena Europe banyak merujuk kepada hukum perkawinan BW dan H.O.C.I yang sebenarnya hanya berlaku bagi golongan Eropa, orang timur asing, dan orang Kristen. PPP berargumen bahwa hukum Islam harus masuk menjadi UU negara karena sejalan dengan pasal 29 ayat (2) UUD 1945 yang memberi ruang bagi pemeluk agama Islam untuk memberlakukan hukum Islam. Perbedaan hukum yang akan diberlakukan tersebut tidak akan membuat kacau dan disintegrasi Indonesia. Argumen PBB tersebut sama sekali tidak menyebut piagam Jakarta sebagai landasan argumennya. Kali ini berbeda dengan argumen yang disampaikan anggota DPR ketika membincangkan RUUP tahun 1969.
Fraksi Partai Demokrasi Indonesia justru mendukung langkah yang diambil oleh pemerintah dalam mengajukan RUU perkawinan. PDI yang mayoritas beraliran nasionalisme sekuler atau sebagian Islam abangan serta non- muslim tidak melihat dari substansi hukum yang diatur dalam RUU perkawinan tersebut. . perhatiannya lebih pada pandangan bahwa untuk menjamin kepastian hukum diperlukan adanya UU nasional yang mengatur tentang perkawinan dengan segala tata hukum dan tata laksananya, dimana wajib pula dihormati ketentuan-ketentuan hukum perkawinan menurut agama Kepercayaan dan keyakinan masing-masing. PDI tidak mau disebut partai sekuler dan PDI juga berusaha agar orang mau menjalankan agamanya Tapi jangan negara yang memaksa dia menjalankan agamanya. Bagi Sabam Sirait, pemerintah orba mengatakan bahwa sumber dari segala sumber hukum adalah Pancasila, Oleh sebab itu harus diperiksa segala macam peraturan perundang-undangan yang bertentangan dengan Pancasila di bidang politik ekonomi sosial budaya dan militer. Pancasila itu tidak bertentangan dengan agama, tapi jangan membuat hukum nasional yang hanya berlaku untuk satu golongan. Memang bisa ada perbedaan, tapi tanpa menjalankan hukum Islam secara total sebab bagian dari hukum Islam sudah dijadikan hukum nasional.
Sementara fraksi Karya Pembangunan dalam pandangan umum partai ini mendukung RUUP yang diajukan pemerintah dan berusaha untuk mempertahankannya. Dengan RUUP ini Cakrawala kaum Ibu menjadi cerah karena RUUP ini memberikan perspektif dan perhatian terhadap bagi nasib serta hak-hak kaum wanita dan anak-anak karena tidak akan ada lagi kawin paksa, tidak akan bisa kawin anak-anak, perkawinan harus bebas dari paksaan, bebas dari tipu daya karena semua itu bertentangan dengan hak-hak asasi manusia. FKP menilai, secara yuridis formal yang menjadi sumber hukum RUUP adalah: Pertama, Sesuai dengan prinsip negara hukum berdasarkan Pancasila yang dianut dalam UUD 1945. FKP menyimpulkan bahwa RUUP tersebut dapat diteruskan pembahasannya dan tidak sepakat dengan fraksi Persatuan Pembangunan yang mengatakan bahwa bertentangan dengan UUD 1945 pasal 29 ayat (2). Kedua, sesuai politik hukum sebagai tercantum dalam TAP MPR No.. IV/MPR/1973. Ketiga, menjamin kesejahteraan keluarga lahiriyah dan batiniyah, ialah satu rumah tangga yang bahagia dan kekal sesuai dengan aspirasi hukum yang hidup dalam masyarakat. Dan empat, mengatur secara menyeluruh, baik tata cara maupun status perkawinan.
Setelah proses pembahasan berlangsung di DPR, maka terjadilah peristiwa akhir Sya'ban yaitu ketika menteri Mukti Ali menyampaikan jawaban-jawaban pemerintah mengenai RUU perkawinan pasal demi pasal dan pada saat itu tiba-tiba pengunjung rapat yang sebagian besar terdiri dari Pemuda dan Pemudi berteriak-teriak dari balkon. Pimpinan rapat meminta kepada Sekjen DPR supaya melaksanakan peraturan tata tertib DPR. Kemudian Sekjen memperingati kepada pengunjung yang berteriak-teriak supaya tenang dan apabila tidak maka mereka akan dikeluarkan dari ruang sidang. Karena ternyata tetap tidak tenang, maka saya meminta kepada petugas keamanan untuk mengeluarkan mereka dari ruang sidang. Ternyata mereka masih tetap meneriakkan yel-yel tolak RUUP dan takbir dan sebagainya. Selanjutnya pimpinan rapat menskor sidang mulai jam 10.12 sampai 12.45.
Pembahasan RUUP sempat deadlock karena setelah mendengar jawaban pemerintah yang mempertahankan RUU akhirnya tidak bersedia melanjutkan pembicaraan tingkat III yang seharusnya dilaksanakan pada 8 Oktober 1973 karena FPP menilai RUUP bertentangan dengan Akidah Agama, UUD 1945 dan sumpah anggota DPR. pembahasan di DPR akhirnya menemui jalan buntu.[5]
b.      Substansi Materi Konflik dan Kontroversial
            Persoalan hukum perkawinan bagi umat Islam adalah perbuatan hukum dan merupakan ibadah. Perkawinan menurut Islam bukan hak asasi, tetapi hak asasi itu adalah mencari jodoh. Berbeda dengan agama Kristen, hukum perkawinan bagi mereka tidak ada, yang ada adalah sakramen atau selamatan. Konsekuensi logis dengan cara pandang ini, persoalan hukum perkawinan adalah kewajiban agama yang Harus dipatuhi dan bilamana ada aturan negara yang menyimpang dari ketentuan yang terdapat dalam teks suci dan kitab-kitab fiqih hasil ijtihad para ulama, maka akan mendapatkan reaksi dari umat Islam karena menyangkut sesuatu yang given dari Allah SWT oleh sebab itu ketika Soeharto mengajukan RUU perkawinan perhatian umat Islam tersebut kepada substansi dari RUUP yang akan diberlakukan tersebut.
            Persoalan yang menjadi sumber konflik dalam proses legislasi RUUP dalam dilihat dari berbagai aspek, yaitu pertama bagi eksistensi lembaga hukum Islam, yakni pengakuan terhadap lembaga Pengadilan Agama. Dalam RUU perkawinan ini dapat mengancam eksistensi peradilan agama sekaligus keberadaan hukum Islam. Rancangan tersebut banyak mereduksi pengadilan agama. Selama ini yurisdiksi pengadilan dalam hal perkawinan tergantung pada agama seseorang, sementara itu versi RUU yang diajukan pemerintah adalah UU yang berlaku untuk seluruh rakyat Indonesia tanpa memperhatikan agama dan hanya dilaksanakan oleh pengadilan negeri. Kedua, segi substansi materi RUUP bertentangan dengan hukum Islam yang diyakini umat Islam. Secara substansial isi pasal-pasal UUD tahun 1973 yang terdapat dalam RUU tersebut terkesan sejiwa dengan RUUP yang pernah diusulkan diajukan oleh Ny. Soemari dkk pada tahun 1958.[6]
2)      Dinamika Konflik di Luar Parlemen
            Respon masyarakat Islam terhadap RUU perkawinan semakin meluas baik yang datang dari ormas Islam maupun kalangan ulama, dan masyarakat Islam pada umumnya. Pimpinan pusat Muhammadiyah secara resmi mengirimkan surat No. A-6/174/’73 perihal RUU perkawinan tertanggal 30 Juli 1973 kepada Menteri Kehakiman yang menjelaskan sikap Muhammadiyah bahwa masalah perkawinan tidak dapat dipisahkan dari agama sehingga pengaturan dan pelaksanaannya harus sesuai dengan ajaran agama sebagaimana yang ditentukan dalam Al-Quran dan Hadis. Pengurus besar persatuan umat Islam mengirimkan surat tertanggal 18 Agustus 1973 tentang rencana undang-undang perkawinan yang menginginkan agar pemerintah meninjau kembali RUU yang telah disampaikan kepada DPR, demi untuk kepentingan dan keutuhan bangsa dan negara. Di lingkungan NU misalnya, atas prakarsa K.H. Muhammad Bisri Syansuri, Rois ‘am Pengurus Besar Syuriah Nahdlatul Ulama pada 22 Agustus 1973 di Jombang mengadakan musyawarah alim ulama untuk mengambil sikap dan merobah pasal demi pasal dari RUU yang dianggap bertentangan dengan syariat Islam. Keputusan musyawarah itu kemudian menjadi pegangan bagi PPP serta fraksinya di DPR dalam pembahasan RUU perkawinan. Sedangkan dari perguruan tinggi datang dari fakultas Syariah IAIN Sunan Kalijaga yang meneliti RUU perkawinan tersebut dengan menyimpulkan bahwa ada 14 pasal dari RUU perkawinan yang bertentangan dengan agama Islam.
            Selain ormas Islam reaksi yang sama juga datang dari tokoh-tokoh Islam, seperti Hazairin yang menentang keras RUU perkawinan yang diajukan pemerintah. Bagi Hazairin jika rancangan itu dimaksudkan sebagai RUU untuk berlaku bagi setiap warga negara RI maka rancangan itu bagi orang Islam bertentangan dengan pasal 29 ayat (1) UUD 1945 karena peradilan agama Islam di bidang hukum perkawinan dan kewarisan sebagaimana yang telah ada sekarang ini dijamin sesuai dengan UU No. 14 Tahun 1970 tentang pokok-pokok kekuasaan kehakiman pasal 10, kelihatannya secara terencana ingin dirongrong atau dihapuskan sama sekali. Hazairin menilai sikap ini sejalan dengan tujuan teori receptie dalam Indische staatsregeling (I.S) pemerintah kolonial Belanda yang hendak memperlemah kedudukan Islam di Indonesia. Hazairin menyebut Teori ini dengan nama teori iblis. Hal ini jelas bertolak belakang dengan tujuan revolusi bangsa Indonesia sebagaimana amanat dalam Mukadimah UUD 1945 antara lain adalah hendak menjamin tercapainya cita-cita setiap agama yang berketuhanan Yang Maha Esa di Indonesia ini guna mencapai dan menyempurnakan aspirasi imannya dalam negara Pancasila.
            Sejalan dengan Hazairin, Hamka menyuarakan peNo.lakan menyatakan sikap bahwa RUU perkawinan diajukan pemerintahan Soeharto sebagai upaya memaksa umat Islam yang mayoritas untuk meninggalkan agamanya melalui pemaksaan berlakunya peraturan perundang-undangan bertentangan dengan asas hukum Islam. Hamka dengan gaya bahasa seorang ulama karismatik dan pujangga Islam menulis sebuah artikel pada harian KAMI, menilai dengan mengusung RUU Perkawinan adalah pertanda sikap politik pemerintah yang menganggap kaum muslim dalam suasana sangat lemah. Lemah dalam bidang politik, lemah dalam ekonomi, dan lemah dalam segala bidang. Dalam keadaan kaum muslimin sedang lemah, di saat itulah RUU perkawinan diajukan yang pada kenyataannya memaksa kaum muslimin sebagai golongan mayoritas dalam negara ini meninggalkan Syariat agama nya di bidang perkawinan supaya menggantikannya dengan suatu peraturan dan perundangan lain untuk menghancurkan asas Islam dalam masyarakat.
            Jika RUU Perkawinan semacam ini hendak disahkan di DPR, semata-mata karena mengandalkan kekuatan politik dengan mekanisme pemungutan suara, kegagahan perasaan mayoritas politik, maka kata Hamka “dengan segala kerendahan hati inilah kami memperingatkan bahwa kaum muslimin tidak akan melawan, tidaklah akan memberontak, tetapi demi kesadaran beragama, itu tidak akan diterima, tidak akan dijalankan. Malahan ulama-ulama yang merasakan diri mereka sebagai pewaris dari nabi-nabi akan mengeluarkan fatwa haram nikah kawin umat Islam berdasarkan kepada UU tersebut dan hanya wajib melaksanakan suatu perkawinan secara Islam. Sebaliknya bila mana ada kaum muslimin yang menaati dan menjalankan UU itu sebagai ganti dari peraturan syariat Islam berarti mereka mengakui ada lagi suatu peraturan yang lebih baik dari peraturan Allah dan Rasul. Kalau ada pengakuan demikian kafirlah hukumnya”.
            Sikap dan reaksi keras Buya Hamka ini mewakili pendapat tokoh-tokoh Islam pada saat itu, seperti Syafruddin Prawiranegara, A.H. Nasution dan Muhammad Hatta. Bahkan menurut Deliar Noer, Hatta melayangkan surat ke Soeharto agar pemerintah menarik kembali RUU perkawinan dan seharusnya upaya untuk menyesuaikan dengan tuntunan agama khususnya Islam. Respon umat Islam atas RUU perkawinan tersebut mencapai puncaknya pada peristiwa yang sangat dramatis dengan terjadinya demonstrasi masa Islam di gedung DPR.  Didalam gedung DPR ketika pemerintah akan menyampaikan keterangan pada pembicaraan tingkat satu, terdengar yel-yel protes pemuda Muslim. Mereka memasang poster sehingga mengganggu jalannya sidang. Isi poster itu antara lain: “sekularisme dan komunisme adalah musuh agama dan Pancasila, RUU Perkawinan adalah konsepsi kafir, manusia yang menyetujui RUU Perkawinan adalah tidak bermoral.” sekitar 500 pemuda pemudi muslim selama sekitar 2 jam masuk ke dalam ruang sidang DPR dan mengecilkan jalannya sidang serta menguasai perdebatan yang berlangsung sekitar 2 jam. Peristiwa itu terjadi ketika Mukti Ali sedang menyampaikan jawaban pemerintah tentang RUU perkawinan. Kekacauan di gedung DPR sudah tidak bisa dikendalikan lagi, ak.irnya Menteri Agama Mukti Ali dan menteri kehakiman Oemar Seno Adji diungsikan masuk ke ruang ketua DPR/MPR K.H.Idham Cholid. Sidang akhirnya berhenti. Tidak satupun kesepakatan yang dibuat antara pemerintah dan umat Islam.
            Kamal Hassan menggambarkan bahwa semua ulama, baik dari kalangan tradisional maupun reformis, sejak dari Aceh, Sumatera Utara hingga Surabaya Jawa Timur mengadakan protes. Para pelajar muslim seperti Badan Kontak Pelajar Islam (BKPI) menggalang solidaritas dari kalangan IPNU, PII, IPM dan secara tegas menunjukkan sikap penolakan yang terhadap RUU perkawinan. Penolakan terhadap RUU perkawinan tersebut ternyata tidak hanya datang dari kalangan Islam. Meskipun tidak secara eksplisit, sejumlah eksponen GMNI, PMKRI,  GMKI, GPM dan GSNI pada 19 Desember 1973 mengeluarkan pernyataan yang meminta agar DPR dan pemerintah dalam menyusun UU perkawinan tetap menjadikan Pancasila dan UUD 1945 sebagai sumber hukum, terutama mengenai sahnya perkawinan yang harus tetap mengacu pada pasal 27 dan pasal 29 UUD 1945.
            Harry Tjan Silalahi, Sekjen partai Katolik, mengatakan bahwa penerapan itu dilandasi suatu keberatan bahwa RUU itu merupakan realisasi Piagam Jakarta. Untuk tujuan ini partai Katolik menyebarkan selebaran yang memuat pandangan mereka tentang RUU yang tertanggal 1 Februari 1969 yang ditandatangani oleh Harry Tjan Silalahi dan F.X. Soesijono. Alasan penolakan tersebut adalah bila RUU tersebut diterima itu berarti bahwa menerima untuk menggantikan dasar negara pancasila dengan piagam Jakarta dan atau dengan agama. Dalam negara Pancasila sumber hukum tertinggi adalah Pancasila, sementara di dalam RUU dikatakan bahwa sumber tertinggi adalah wahyu. Ketuhanan yang maha esa tidak hanya menuju pada agama yang besar tetapi juga agama lain seperti mistisisme di Jawa dan adat.
            Bagi Franz magnis Suseno. Penolakan terhadap UU perkawinan didasari oleh pengalaman negara-negara yang gagal menjalin hubungan antara agama dan negara. Dalam sebuah negara modern, hanya ada satu hukum yang wajib ditaati kau meskipun kalau ada hukum-hukum agama itu, tentu boleh dipakai Apabila ada asas kerelaan masyarakat bukan berdasarkan hukum negara. Negara pasca tradisional dimana-mana bersifat negara teritorial birokratis nasional.  Negara itu hanya bisa menjalankan tugas tugas kewajibannya apabila tidak langsung berkaitan dengan sebuah agama.[7]
c. Menuju Akomodasi dalam Proses Legislasi UU Perkawinan
            Untuk menembus kemacetan pembahasan di DPR, menteri agama dan menteri kehakiman mengambil inisiatif mengadakan lobbying dengan pimpinan fraksi dengan mengambil momentum buka puasa bersama pada pertengahan Oktober 1973. Begitu juga Panglima KOPKAMTIB juga mengadakan acara yang sama dengan berbagai tokoh masyarakat dan ABRI, dimana juga ikut hadir Ketua DPP Golkar Amir Murtono. Namun, sampai minggu ketiga November 1973, pendekatan-pendekatan itu belum menghasilkan jalan keluar kapan pembicaraan tingkat III bisa dimulai.  Dalam situasi kebuntuan itu, Fraksi Persatuan Pembangunan mengambil inisiatif agar RUU perkawinan dapat disahkan setelah terlebih dahulu dihapus pasal-pasal yang bertentangan dengan ajaran Islam.
            Ada dua arah pendekatan yang dilakukan oleh PPP. Pertama, mengadakan komunikasi politik dengan Soeharto dan Kedua, komunikasi politik dengan fraksi ABRI sebagai salah satu kekuatan politik di DPR.
            Sebagai langkah membangun komunikasi politik dengan Soeharto, FPB pada 25 November 1973 mengirim delegasinya kepada Soeharto yang terdiri dari dua tokoh sesepuh PPP yang juga tokoh NU, yakni K.H. Bisri syansuri dan K.H. Masjkur. K.H. Bisri syansuri adalah tokoH sepuh dari NU yang disegani dan menjabat sebagai Raisa Majelis Syuro Partai Persatuan Pembangunan. Sedangkan K.H. MasJkur adalah tokoh Ulama NU, Ketua Fraksi PPP di DPR dan mantan menteri agama RI masa Soekarno dalam Kabinet Amir Syarifuddin ke-2 dan kabinet Hatta 1.
            Ketika Kyai MasJkur mengutarakan kepada Soeharto; “Pokoknya mengenai UU perkawinan kalau memang Pak Harto ingin RUU perkawinan yang begitu ya terserah, dan kami tidak mau ikut”, kata Kyai Masjkur.  Soeharto menjawab; “Jadi Pak Kyai, baiknya Bagaimana? dan Pak Harto berkata lagi; “Lalu Pak Kyai maunya apa?” K.H. Masjkur menjawab kami kesini menyampaikan beberapa amandemen-amandemen hasil musyawarah alim ulama di Jombang. Ketika sedang dalam pembicaraan itu Soeharto memanggil Soemitro untuk ikut dalam pembicaraan ini. Kemudian Soeharto memerintahkan agar fraksi ABRI hendaknya bekerjasama dengan fraksi PPP untuk menyusun RUU perkawinan.
            Sejak pertemuan dengan kedua Kyai sepuh ini, sikap Soeharto mengalami perubahan signifikan dalam memandang posisi hukum Islam.  Hal ini disebabkan tokoh yang meng komunikasi persoalan UU perkawinan ini adalah ulama sepuh yang sangat dihormati di kalangan umat Islam dan di tengah-tengah masyarakat Jawa. Soeharto sebagai orang yang sangat kuat memegang budaya Jawa tahu persis menempatkan diri ketika berhadapan dengan tokoh seperti K.H. Masjkur dan K.H. Bisri Syansuri. Disamping itu Soeharto yakin, bahwa tidak terdapat korelasi antara mengakomodir hukum perkawinan umat Islam dalam perundang-undangan negara dengan stabilitas kekuasaan politiknya sebagai presiden, malah justru sebaliknya akan memperkuat posisinya dalam pandangan umat Islam.
            Respon positif yang diperlihatkan Soeharto tersebut membawa pengaruh positif bagi perubahan sikap politik dari Fraksi ABRI dan Golkar. Sehingga usaha-usaha perumusan RUU perkawinan yang lebih responsif terhadap ajaran Islam semakin terbuka. Serangkaian lobbying semakin terbuka di antara pejabat-pejabat tinggi kalangan fraksi PPP dan fraksi ABRI yang ternyata mempermudah untuk merumuskan ulang RUU perkawinan tersebut.
            Kompromi ini melegakan umat Islam, akan tetapi tidak kelompok Kristen. Reaksi kelompok Kristen terhadap kompromi yang dilakukan militer dan PPP adalah dengan membuat pokok pikiran yang dikirimkan kepada Presiden, juru bicara parlemen, pangkopkamtib, Jenderal Soemitro dan juga diterbitkan di harian Kompas dan Sinar Harapan. Isi dari pokok-pokok pikiran tersebut adalah pasal 29 UUD 45 harus berdasar pada kerelaan dan mereka khawatir negara akan mewajibkan penerapan agama. Hal ini bertentangan dengan kebebasan menjalankan agama.  bela negara menerapkan ajaran agama, maka bagaimana menyelesaikan masalah di bawah ini: a) bagaimana kalau ada orang tak mempunyai agama? b) bagaimana kalau seseorang tidak mengikuti aturan agamanya yang ia anut sendiri? c) bagaimana dengan orang-orang yang pindah agama, apakah perkawinan yang dilakukan ketika menganut agama lamanya sah atau tidak. Dewan Gereja Indonesia (DGI) - MAWI berpendapat bahwa perkawinan mesti sahnya menurut aturan negara , tidak agama. bila sah suatu perkawinan menurut agama , itu berarti akan ada kevakuman hukum.
            Gagasan DGI dan Mawi di atas tidak mampu merubah kompromi yang dilakukan PPP dan ABRI. Terlepas dari masalah politik, oposisi yang dilakukan oleh kalangan Kristen terlambat karena sudah dipatok deadline untuk lulusan RUU tersebut yakni tanggal 22 Desember 1973 ketika memperingati hari ibu. Di mana oposisi kalung Kristen tersebut hanya satu minggu sebelum tepat waktu tersebut. Editorial Sinar Harapan mengatakan ke percaya bahwa ditelan merupakan salah satu alasan kenapa ABRI membuat kompromi dengan PPP. Kompas dan Sinar Harapan mengkritik bahwa kompromi tersebut merupakan gerakan extra-parlementary yang membahayakan keutuhan parlemen.
            Pemerintah juga bereaksi dengan pendapat DGI-MAWI tersebut.  presiden mewakilkannya pada Sekretaris Negara Sudharmono, S.H 1 hari menjelang diundangkannya RUU tersebut, 21 Desember 1973 Sudarmono bertemu dengan DGI - MAWIdan mengatakan pemerintah akan menjawab pertanyaan DGI - MAWI. Jawaban itu diterima DGI-MAWI melalui surat tertanggal 31 Januari 1974. Menjelaskan pasal 29 UUD 1945 bahwa ada jaminan kebebasan beragama bagi setiap warga negara. kemudian menjawab pertanyaan satu per satu , yang menjelaskan Menteri Sekretaris Negara sebagai berikut: Pertama, apabila sekiranya dewasa ini Indonesia masih terdapat orang-orang yang beragama, maka sesungguhnya tidak ada yang mengharuskan orang-orang tersebut kawin menurut cara-cara berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku sesuai dengan UU ini. Kedua di dalam suatu perkawinan, sama sekali bukan yang dimaksudkan untuk membuka kesempatan kepada para pemeluk agama tertentu untuk melangsungkan perkawinan mereka menurut ajaran agama lain yang tidak dianutnya. Sebagai pemeluk agama yang baik, tentu diharapkan seseorang akan melaksanakan dengan ikhlas dan senang hati ketentuan-ketentuan sesuai dengan ajaran agama yang dipeluknya. Namun demikian, apabila seseorang menghendaki dan sepakat untuk kawin menurut cara lain yang tidak sesuai dengan ajaran agama yang dipeluk atau dianutnya, maka sepanjang cara itu sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku, perkawinan itupun sama dengan pengertian bahwa orang tersebut pada saat melangsungkan perkawinan memeluk agama sesuai dengan cara-cara perkawinan yang dipilihnya. Ketiga, masalah penting yang sekiranya perlu ditegaskan dalam kasus calon suami istri yang berbeda agama adalah, bahwa tidak terkandung maksud di dalam UU perkawinan untuk mengadakan pemaksaan atau dosakan agama yang satu terhadap agama yang lain dan sama sekali bukan pula dimaksudkan untuk menghancurkan seseorang untuk pindah agama atau kawin dengan orang yang berbeda agama. Kebebasan untuk memeluk agamanya masing-masing dan beribadah menurut agamanya dan kepercayaannya itu jelas dijamin UUD. oleh karena itu sepanjang perkawinan ini dilakukan menurut Salah satu cara sesuai dengan UU perkawinan ini , tentunya yang dipilih atau disepakati oleh kedua calon mempelai , maka perkawinan itu adalah sah, Keempa, perpindahan dari agama yang satu ke agama yang lain dilakukan setelah dilangsungkannya perkawinan menurut cara-cara ajaran agama semula tidak mempengaruhi sahnya perkawinan itu sendiri. Sudah barang tentu apabila yang bersangkutan setelah pindah agama akan melakukan tindakan yang berhubungan dengan perkawinan, maka tindakan tersebut dilakukan sesuai dengan ketentuan ketentuan yang berlaku menurut hukum dari agama yang diperlukan pada saat ini akan melakukan tindakan-tindakan tersebut.
            Jalan penyelesaian yang dicapai adalah suatu kompromi UU yang kemudian diterima DPR pada 22 Desember 1973. ini adalah kebijakan pertama pemerintahan orba sebagai akomodasi politik terhadap aspirasi dan kebutuhan hukum umat Islam dalam legislasi UU perkawinan di Indonesia UU tersebut mengakui bahwa wewenang yuridiksi peradilan agama menjadi luas melalui dua cara pertama, Pengadilan Agama mendapat wewenang yang lebih besar dalam menangani wilayah-wilayah yang sebelumnya ditetapkan UU ini hanya mempunyai kompetensi yang sangat terbatas, seperti hanya masalah perkawinan dan perceraian. Kedua, kewenangan Pengadilan Agama mencakup wilayah-wilayah penting yang tidak berada pada wewenang Pengadilan Agama sebelumnya.
            RUUP hasil kompromi yang telah disesuaikan dengan ajaran Islam ini kemudian disahkan Soeharto pada tanggal 2 Januari 1974 menjadi UU tentang perkawinan. Pelaksanaannya secara efektif mulai tanggal 1 Oktober 1975 dengan peraturan pemerintah K 09 tahun 1975 tanggal 1 April 1975  ini terdiri dari 14 bab dengan 67 pasal . Sistematika dalam apa itu tidak berbeda dengan sistematika RUU , hanya dengan menghapus bab 3 tentang pertunangan dan bab 8 bagian kedua tentang pengangkatan anak, sedangkan pasal-pasalnya merupakan hasil revisi dari RUU perkawinan semula dengan mengeluarkan pasal-pasal yang bertentangan dengan hukum Islam.[8]
4.      Politik Hukum UU No. 7 Tahin 1989
A.    Landasan Sosio-Politis lahirmya UU Peradilan Agama
            Setelah Indonesia merdeka perubahan yang terjadi di dalam lembaga peradilan agama berjalan terus. Pada awal tahun 1946, pada tanggal 3 Januari 1946 dibentuk Kementerian Agama. Langkah ini sebagai lompatan jauh kedepan. Departemen Agama memungkinkan melakukan konsolidasi bagi seluruh administrasi lembaga-lembaga Islam melalui sebuah badan yang bersifat nasional.
            Setelah Pengadilan Agama diserahkan pada Depag masih terdapat usaha-usaha pihak tertentu yang berusaha menghapuskan keberadaan peradilan agama,  usaha pertama dilakukan melalui UU No. 19 Tahun 1948 isinya antara lain tetapi materi hukum yang menjadi wewenang dan dimasukkan di pengadilan negeri. Kewenangan Pengadilan Agama dimasukkan dalam pengadilan umum secara istimewa yang diatur dalam pasal 35 ayat 2 pasal 75 dan pasal 33. ini merupakan aturan yang penting tentang pengadilan dalam masa pemerintahan RI Yogyakarta . UU ini bermaksud mengatur mengenai peradilan dan sekaligus mencabut serta menyempurnakan isi UU No. 7 tahun 1947 tentang susunan dan kekuasaan Mahkamah Agung dan Kejaksaan yang mulai berlaku pada tanggal 3 Maret 1947 .
            Usaha kedua melalui UU Darurat No. 1 tahun 1951 tentang susunan kekuasaan peradilan sipil. UU Darurat No. 1 tahun 1951 menyebutkan tentang tindakan sementara untuk menyelenggarakan kesatuan susunan kekuasaan dan acara pengadilan-pengadilan sipil. Diantara isi pokok pokok UU tersebut adalah: Pertama semua bentuk peradilan zaman pre-federal  serta penuntut padanya dihapus dan diganti dengan pengadilan negeri dan Kejaksaan dan Pengadilan tinggi. Kedua, semua bentuk peradilan swapraja dan peradilan adat secara berangsur-angsur dihapus dan kekuasaannya diserahkan kepada pengadilan negeri. Ketiga, peradilan agama yang merupakan bagian tersendiri dari peradilan swapraja dan peradilan adat tidak turut dihapus dan kelanjutannya diatur dengan peraturan pemerintah.
            Pada tahun 1970 pemerintah lebih mempertegas keberadaan pengadilan agama dengan dikeluarkannya UU No. 14 tahun 1970 tentang ketentuan-ketentuan pokok kekuasaan kehakiman. Dengan adanya UU No. 14 tahun 1970 ini , maka kekuatan peradilan agama sama dengan pengadilan-pengadilan lainnya yang ada di wilayah yurisdiksi Indonesia.
            Pada sisi lain, tahun 1980 lahir pula Keputusan Menteri Agama No. 6 tahun 1980 tanggal 28 Januari 1980 tentang penyeragaman nama lembaga menjadi sebutan Pengadilan Agama. Dengan demikian, Kerapatan Qadhi di Kalimantan, Mahkamah Syar'iyah di luar Jawa dan Madura, disebut dengan nama pengadilan agama. Kerapatan Qadhi Besar di Kalimantan Selatan dan Mahkamah Syar'iyah provinsi di luar Jawa dan Madura sebagai pengadilan banding disebut pengadilan tinggi agama.
            Pada masa Menteri Agama Alamsyah Ratu Perwiranegara, Pengadilan Agama bisa kasasi Dimanakah putusan dari Mahkamah Agung tahun 1977 meskipun waktu itu direktur Pengadilan Agama, Ichtianto tidak setuju. Ketidak Setujuan Ichtianto mengenai kasasi di MA mendapat sikap keras dari Alamsyah dan Ichtianto dimarah-marahi “Kamu ini bagaimana, Kenapa tidak mendukung Pengadilan Agama kasasi ke MA?” Ketidaksetujuan Ichtant bukan karena Menolak adanya peradilan agama tetapi beliau tidak setuju apabila Pengadilan Agama masuk ke dalam Mahkamah Agung dan akan berakibat pada terputusnya hubungan ulama dengan peradilan Islam tersebut.
            Masa Alamsyah diperintahkan Siapa saja yang mau kasasi dipersilahkan ke Mahkamah Agung sesuai dengan Keputusan Mahkamah Agung No. 1 tahun 77, untuk Menindaklanjuti kebijakan boleh kasasi tersebut disusunlah satu panitia untuk mempersiapkan hakim hakim agung yang latar belakang pengetahuan keislaman yang mantap. Bustanul Arifin menjadi generasi pertama menjadi hakim agung di bidang peradilan agama antara tahun 1981 dan Bustanul Arifin lah yang dari hakim agung yang setuju dengan adanya peradilan agama.
            Usaha untuk menyiapkan RUU peradilan agama ini sebenarnya telah dimulai sejak tahun 1971 oleh menteri agama K.H. Moh. Dahlan dengan surat tertanggal 11 Agustus 1971 No. MA/242.1971 yang mengemukakan urgensi UU Peradilan Agama. Sebagai jawaban atas surat menteri agama tersebut, menteri kehakiman telah memberikan pertimbangan bahwa proses penyampaian RUU tentang Peradilan Agama sebaiknya menunggu selesainya persiapan RUU tentang peradilan umum dan RUU tentang Mahkamah Agung.
            Rencana untuk mewujudkan UU Pengadilan Agama kemudian baru menjadi prioritas setelah memasuki Pelita V dari pemerintahan orba yakni era Pembangunan yang meletakkan landasan hukum sesuai dengan arahan GBHN tentang perlunya unifikasi dalam bidang-bidang hukum, setelah Menteri Kehakiman Ali Said mengajukan persetujuan prakarsa penyusunan RUU tentang acara peradilan agama kepada Soeharto melalui surat No. M.PR.02.08-21 tertanggal 30 Juli 1983. Permohonan Ini mendapat persetujuan Presiden pada tanggal 13 September 1983.
            RUUPA diajukan pemerintah melalui departemen kehakiman yang di backup secara penuh oleh Alamsyah Ratu Perwiranegara dengan moril dan materil. Setelah masa jabatan Alamsyah sebagai Menteri Agama berakhir, kebijakan tersebut dilanjutkan Menteri Agama Munawir Sjadzali, secara formil ini baru dibicarakan di DPR.
            Langkah konkrit yang dilakukan adalah: Pertama, membentuk tim kerja penyusunan naskah akademis; Kedua, tim inti pembahasan dan penyusunan RUU tentang acara peradilan agama yang diketuai oleh ketua muda urusan lingkungan peradilan agama Mahkamah Agung RI Bustanul Arifin; Ketiga, panitia antar departemen dan perguruan tinggi penyusunan RUU tentang acara peradilan agama; Keempat, tim pembahasan dan penyusunan RUU tentang susunan dan kekuasaan badan-badan peradilan agama; Kelima, tim antar departemen dan perguruan tinggi pembahasan dan penyusunan RUU tentang susunan dan kekuasaan badan-badan peradilan agama. Dari tim-tim yang dibentuk ini terlihat keterkaitan dan sinergi antara Departemen Kehakiman, Departemen Agama, BPHN, perguruan tinggi IAIN dan UI dalam menyusun dan membahas RUU peradilan agama.
            Setelah melalui proses panjang RUU tentang Peradilan Agama disampaikan oleh Presiden RI ke DPR melalui amanat Presiden No. R.06/PN/XII/1988 tanggal 3 Desember 1988 untuk dibicarakan dalam sidang DPR guna mendapatkan persetujuan. RUU peradilan agama yang diajukan pemerintah itu terdiri dari VII BAB dan 108 pasal, dengan gambaran Bab I ketentuan umum berisi pasal 1-5, Bab II susunan pengadilan memuat Pasal 6-48, Bab III Kekuasaan pengadilan berisi pasal 49-53, Bab IV hukum acara memuat pasal 54-91, Bab V ketentuan-ketentuan lain berisi pasal 92-105, Bab VI ketentuan peralihan terdiri dari pasal 106 dan Bab 7 memuat pasal 107-108. [9]
B.     Dinamika Konflik di Parlemen
1)      Aktor utama dan Aktor Pendukung dalam Konflik
            Dinamika politik dalam proses legislasi RUU tentang Peradilan Agama berbeda atmosfernya bila dibanding ketika pembicaraan RUU tentang perkawinan pada tahun 1973 karena RUU peradilan agama ini antara pemerintah dan umat Islam berada dalam garis saling mendukung karena secara substansial RUU peradilan agama ini tidak bertentangan dengan ajaran Islam bahkan justru mendukung eksistensi lembaga peradilan agama sebagai peradilan keluarga dalam Islam.
            Peradilan agama bagi fraksi Persatuan Pembangunan sebagai salah satu pilar dalam sistem pelaksana kekuasaan kehakiman di tanah air, baik secara de facto maupun de jure sudah lama ada dan berjalan, bahkan kehadirannya jauh sebelum kaum penjajah Belanda menginjakkan kakinya di bumi Indonesia ini. Bahkan bagi FPP sambil mengutip ucapan Soeharto menyatakan diajukannya RUU tentang peradilan agama adalah sebagai pelaksana Pancasila dan UUD 1945 yang sama sekali tidak ada hubungannya dengan piagam Jakarta.
            Fraksi Karya Pembangunan berpendapat bahwa dari sudut pandang itulah pembentukan hukum nasional harus dirujuk sepanjang tidak bertentangan dengan Pancasila dan UUD 1945 karena merupakan hukum yang hidup tumbuh dan berkembang searah dengan tingkat perkembangan kesadaran hukum masyarakat.
            Sejalan dengan sikap FPP dan FKP di atas, fraksi ABRI berpendapat bahwa RUU peradilan agama ini berada dalam kerangka pembangunan hukum nasional sebagaimana diamanatkan GBHN 1988.
            Fraksi Partai Demokrasi Indonesia memiliki pandangan berbeda terhadap RUU peradilan agama. UU No 14 tahun 1970 tentang pokok-pokok kekuasaan kehakiman pada hakekatnya ditinjau dari segi disiplin hukum memang benar merupakan hukum yang sah dan berlaku dalam hal penegakan lembaga hukum. Dari segi akademik merupakan tonggak lama yang menjembatani yang masih melanjutkan praktek diskriminatif yang membagi-bagi ragam hukum sesuai dengan agama, suku, dan golongan orang sehingga belum merupakan hukum nasional yang dicita-citakan, dengan masih berlakunya B.w. hukum adat dan hukum Islam. bahkan fraksi ini menyatakan UU peradilan agama bertentangan dengan prinsip bahwa Indonesia seharusnya hanya ada satu hukum nasional Bukankah RUU ini menggunakan syariat Islam dan hanya berlaku khusus untuk orang Islam bagaimana pemerintah menjamin orang bebas melakukan pilihan hukum, sehingga seorang muslim bisa memilih peradilan agama untuk memperkarakan masalah kewarisannya.
            FPDI mempertanyakan, RUU peradilan agama adalah rancangan produk hukum yang akan berlaku dan diberlakukan untuk sebagian golongan masyarakat yang beragama Islam. Bagaimana agar RUU peradilan agama tersebut tidak menimbulkan persepsi pengertian yang salah di antara warga negara Republik Indonesia yang Bhineka Tunggal Ika.[10]
2)      Substansi konflik dan kontroversial
            Berbeda dengan RUU perkawinan yang mengandung pasal-pasal mengenai substansi hukum Islam, maka RUU peradilan agama tidak memasuki wilayah substansi hukum material dan hukum Islam, tetapi lebih memfokuskan masalah: Pertama, menyangkut eksistensi peradilan agama; Kedua, menyangkut substansi peradilan agama, yakni masalah sekitar masalah kekuasaan dan kewenangan peradilan agama.
            Substansi konflik dan kontroversial mengenai RUU peradilan agama ini adalah sebagian dari persoalan yang dipermasalahkan dalam pembahasan di DPR dan dipertanyakan di tengah-tengah masyarakat. sedangkan dalam pembahasan ini tidak diuraikan secara rinci.[11]
2) Dinamika Konflik di Luar Parlemen
            Setelah pemerintah menyampaikan keterangannya atas RUU peradilan agama pada tanggal 28 Januari 1989 berbagai pihak baik perorangan maupun organisasi menyampaikan tanggapan nya pro dan kontra mengenai eksistensi peradilan agama dan menyangkut substansi peradilan agama. Diluar parlemen dukungan ulama dan umat Islam terhadap usul inisiatif pemerintahan ini menjadikan UU peradilan agama ini secara politis tidak mendapat tantangan yang berat, terutama dari pemerintah, Golkar dan Abri. Sedangkan kelompok penentang RUU ini berasal dari FPDI di parlemen dan kelompok non muslim, seperti KWI dan aktivis intelektual Katolik dan Protestan.
            Kelompok penentang ini secara kategoris dapat dibagi pada tiga, yaitu: Pertama, mengatakan bahwa dalam rangka menuju unifikasi hukum di Indonesia, pengadilan agama tidak diperlukan lagi sebab akan ada dualisme dalam sistem peradilan di Indonesia; Kedua, menganggap Eropa tidak perlu juga menghendaki pembubaran Pengadilan Agama umat Islam seharusnya mengurus sendiri hukum Islam yang mereka anut . ketiga bukan saja menolak RUU Peradilan Agama , tetapi juga menolak eksistensi peradilan agama dan pengadilan agama.
            Mengenai nama pengadilan agama juga dipertanyakan ormas keagamaan Perwalian Umat Buddha Indonesia (Walubi), apabila hanya disebutkan demikian saja maka akan bisa mengganggu ketentraman agama lain. Apabila RUU peradilan agama disahkan menjadi uu bagi umat Islam apakah mungkin walubi juga bisa meminta UU yang serupa bagi kepentingan peradilan agama Budha di Indonesia.
            Bagi Franz Magnis Suseno dibentuknya peradilan khusus, berarti diskriminasi terhadap kelompok lainnya. Lebih jauhnya juga ada tuduhan bahwa RUU peradilan agama termasuk pada usaha untuk memperlakukan kembali Piagam Jakarta. Frans melihat yang menjadi masalah bukan bahwa perundangan negara yang dipengaruhi oleh nilai-nilai dan harapan harapan masyarakat di mana termasuk juga agama-agama. Melainkan yang dipertanyakan ialah UU peradilan agama secara formal didasarkan pada pandangan salah satu agama saja. Sehingga yang menjadi penafsir dan pembatas keberlakuannya adalah salah satu agama dan bukan lagi negara. Pada sisi lain juga Frans menyatakan apabila di samping peradilan negara terdapat Peradilan Agama, bagaimana kesatuan peradilan dalam wilayah Republik Indonesia dapat dijamin padahal kesatuan peradilan merupakan salah satu unsur konstitutif kesatuan sebuah bangsa.
            Maka pro kontra RUU peradilan agama bukanlah sekedar masalah golongan Islam dengan golongan bukan Islam, melainkan masalah mau secara konsekuen mendasar diri pada konsensus nasional yang mendasari kesatuan republik yang terdiri dari sekian banyak suku, kebudayaan, bahasa, agama, sistem adat istiadat, yang kalau persatuan dan kesatuannya tidak sungguh-sungguh dipelihara dapat berantakan.
            Pendapat Franz Magnis Ini mendapat tanggapan keras, diantaranya dari Rasjidi. Rasjidi menanggapi secara cermat dari 1 statement dan paragraf-paragraf. Dalam tanggapannya disebutkan jika Franz Magnis menyatakan dengan adanya RUU peradilan agama berarti sebagian dari materi peradilan dalam masyarakat Indonesia diserahkan dari tangan negara ke tangan badan-badan pihak non negara. Pendapat ini tidak benar. Menurut UU No 14 tahun 1970 yaitu UU tentang Ketentuan Pokok kekuasaan kehakiman di Indonesia terdapat empat lingkungan peradilan, yaitu lingkungan peradilan umum yang dilaksanakan oleh pengadilan negeri dan tiga lingkungan peradilan khusus yaitu Peradilan Militer, Peradilan Tata Usaha dan Peradilan Agama. Ketiga lingkungan peradilan itu dinamakan peradilan khusus karena mengadili perkara-perkara yang ditentukan khusus oleh peraturan perundang-undangan.
            Menurut Munawir Sjadzali tidak ada kaitan antara RUU peradilan agama itu dengan isu Negara Islam. Munawir menjelaskan dengan melihat negara-negara seperti Singapura, Filipina, Srilanka, dan Muangthai mempunyai pengadilan-pengadilan agama atau Mahkamah syar'iyah maka kecurigaan menuju negara Islam menjadi tidak relevan. Ia menambahkan, bahwa RUU itu tidak saja dilakukan Depag, melainkan juga Mahkamah Agung, karena hal itu hanyalah kelanjutan dari UU No 14 tahun 1970 tentang pokok-pokok kekuasaan kehakiman. Terlalu berlebihan kata Munawir mengait-ngaitkan persoalan RUU peradilan agama dengan piagam Jakarta dan negara Islam.
            Ismail Suny menilai, argumentasi yang diajukan para penentang RUU peradilan agama dinilainya lemah dan tidak tepat. Sunny memberi contoh isu Negara Islam yang dikaitkan dengan RUU peradilan agama. “Coba baca lagi Piagam Jakarta khususnya 7 kata itu. Apa disana ada disebut dengan Negara Islam? tanya Sunny menentang tokoh-tokoh intelektual dan tokoh hukum non muslim. “Saya tantang siapa saja yang menganggap RUU ini pencerminan dari Piagam Jakarta sebetulnya yang berpendapat ada kaitan RUU peradilan agama dengan negara Islam dan Piagam Jakarta, mereka itu tidak mengerti mengenai Piagam Jakarta, tetapi karena kehabisan bahan lalu mereka bawa-bawa” tegas Ismail Sunny meyakinkan. Bahkan sebenarnya suara-suara sumbang terhadap RUU peradilan agama yang dilontarkan kalangan non muslim sangat tidak berdasar dan mengada-ngada. Peradilan agama itu sendiri sudah ada sejak zaman Belanda dan berjalan baik.
            Pada sisi lain terlihat pula permainan politik Kristen yang cenderung menghalangi setiap kebijakan yang tampaknya menguntungkan hukum Islam atau umat Islam pada umumnya, sekedar contoh, permainan politik Kristen muncul ketika RUU perkawinan dan RUU peradilan agama. Politik Kristen ini bergerak baik dari dalam jajaran pemerintahan, partai politik dan para intelektual mereka. Dari dalam jajaran pemerintahan misalnya memperlambat proses pembicaraan RUU peradilan agama dengan berbagai alasan yang terkadang seolah-olah sulit untuk diterima oleh akal sehat.[12]
C.    Akomodasi dalam Proses Legislasi UU peradilan agama
            Terjadinya titik temu dalam masalah legislasi UU peradilan agama tidak bisa dilepaskan situasi sosial politik di mana hubungan umat Islam dan pemerintahan Soeharto sedang berada dalam periode yang akomodatif yang di hubungan antara Islam dan negara saling mengisi dan meminimalisir konflik serta sudah tercipta hubungan yang sinergis antara umat Islam dengan negara.
            Adanya dukungan Soeharto, diikuti pula dukungan dari PPP Golkar, dan ABRI membuat RUU peradilan agama ini berjalan mulus dan menemui titik temu. Soeharto sendiri ikut menyatakan bahwa RUU peradilan agama itu adalah sebagai implementasi dari UUD 1945 dan Pancasila dan hal itu tidak ada hubungannya sama sekali dengan piagam Jakarta.
            Perjuangan menggolkan RUU peradilan agama hanya mengembalikan posisi peradilan agama kepada posisi semula, yang dulu oleh Belanda dihapuskan dan dikebiri. Yang menonjol adalah kecemburuan karangan non muslim sementara dari segi hukum tata negara tidak menyalahi prosedur yang diatur sesuai dengan ketentuan dalam mengusulkan sebuah RUU. Tetapi ketika Pak Harto mengatakan kata putus, maka akhir kan berjalan. Dengan dukungan politik Soeharto RUU tersebut berhasil disetujui DPR dan akhirnya diundangkan menjadi UU No 7 tahun 1989.
            Pemberlakuan UU No 7 tahun 1989 tentang Peradilan Agama mengandung arti bahwa negara menjamin keberadaan dan kemandirian peradilan agama. Perwujudan ini merupakan puncak perjuangan panjang umat Islam Indonesia untuk memiliki peranan agama sebagai peradilan negara yang mandiri dan sederajat dengan peradilan negara di lingkungan kekuasaan kehakiman lainnya.[13]
5.      Politik Hukum Instruksi Presiden No. 1 Tahun 1991 Tentang Kompilasi Hukum Islam
            Berbeda dengan dua produk hukum di atas, maka kompilasi Hukum Islam secara hierarki perundang-undangan berada dibawah UU dan peraturan pemerintah pengganti UU. Dasar hukum KHI adalah Instruksi Presiden No. 1 Tahun 1991 tentang Kompilasi Hukum Islam dan surat Keputusan Menteri Agama No. 54 tahun 1991 tentang pelaksanaan Inpres tersebut.
            Hukum Islam yang diterapkan dilingkungan Peradilan Agama, dalam menyelesaikan perkara sebelum melahirkan merujuk berbagai kitab fiqih madzhab Syafi'i yang ditulis oleh para fuqaha beberapa abad yang lalu. Sebagai hasil penalaran masa lalu, maka ia terikat pada ruang dan waktu, situasi dan kondisi di tempat ia melakukan penalaran itu, Disamping itu terdapat perbedaan-perbedaan. Perbedaan-perbedaan yang terdapat dalam kitab-kitab fiqih pegangan hakim pengadilan agama itu menimbulkan ketidakpastian hukum yang pada gilirannya menumbuhkan sikap ambivalensi masyarakat terhadap Peradilan Agama dan hukum yang dipergunakannya yakni hukum Islam. Perbedaan yang terdapat dalam kitab-kitab fiqih itu memungkinkan lain hakim lain pula pendapat dan putusannya mengenai hal yang sama sesuai dengan ungkapan difference judge different sentence.
            Terlebih-lebih lagi ketika pihak pemerintah untuk alasan kesatuan hukum, mengeluarkan surat edaran yang berisi agar hakim agama dan Mahkamah Syar’iah dalam memeriksa dan memutuskan perkara, dianjurkan agar menggunakan sebagai pedoman kitab-kitab tersebut dibawah ini: 1) al-Baijuri; 2) Fathul Mu’in; 3) Syarqawi Alat Tahrir; 4) Qalyubi/Mahalli; 5) Fathul Wahab dengan syarahnya; 6) Tuhfah; 7) Targhibul Musytaq; 8) Qawanin Syar’iyah li Sayyid bin Yahya; 9) Qawanin Syar’iyah Li Sayyid Shafaqah Dahlan; 10) Syamsuri fil Fara'id; 11) Bugyatul Mustarsyidin; 12) al-Fiqhul Ala Madzahibul Arba’ah; 13) Mughnil Muhtaj.
            Bustanul Arifin mengatakan menjadikan kitab-kitab fikih sebagai rujukan hukum material pada Pengadilan Agama menimbulkan keruwetan tersendiri yaitu akan terjadi pembangkangan atau setidaknya keluhan bagi pihak yang dikalahkan dalam pengadilan. Disamping itu para hakim sendiri sering berbeda dalam merujuk kitab-kitab yang telah ditetapkan tersebut dalam memutuskan suatu perkara. Situasi hukum Islam seperti ini mendorong Mahkamah Agung RI untuk mengadakan KHI. Hukum Islam apabila tidak di komplikasi akan berakibat kepada: Pertama, Ketidakseragaman dalam pembentukan apa apa yang disebut dengan Hukum Islam. Kedua, ketidakjelasan bagaimana menerapkan syariah, dan Ketiga, Tidak mampu mempergunakan jalan-jalan dan alat-alat yang telah tersedia dalam UUD 1945 dan perundangan lainnya. Akibat perbedaan perbedaan yang cukup menonjol dalam penerapan kandungan isi Ke-13 kitab fiqih di atas, demi kesatuan Hukum Islam, pemerintah melakukan langkah untuk menyusun sebuah UU tentang perkawinan yang dituangkan melalui UU No. 1 tahun 1974 tentang perkawinan dan disusul dengan Peraturan Pemerintah No 28 tahun 1977 tentang perwakafan tanah milik. Kedua peraturan ini telah mengarah kepada satu hukum Islam tertulis, sehingga kesatuan penerapan hukum dan kepastian hukum semakin baik di lingkungan Peradilan Agama.
            Gagasan penyusunan KHI dengan melihat kondisi objektif: Pertama, dapat berlakunya hukum Islam di Indonesia harus ada aturan hukum yang jelas dan dapat dilaksanakan baik oleh aparat penegak hukum maupun oleh masyarakat. Kedua, persepsi yang tidak seragam tentang Syariah akan menyebabkan: a) Ketidakseragaman dalam menentukan apa apa yang disebut hukum Islam; b) Tidak mendapat kejelasan bagaimana menjalankan syariat itu; c) Akibat kepanjangannya adalah tidak mampu menggunakan jalan-jalan dan alat-alat yang telah tersedia dalam UUD 1945 dan perundang-undangan lainnya.
            Mencermati perkembangan itu lahir gagasan penyusunan kompilasi hukum Islam di Indonesia yang pertama kali muncul dari Bustanul Arifin, Hakim Agung dan Ketua Muda Urusan Lingkungan Pengadilan Agama Mahkamah Agung RI. Meskipun ada pendapat bahwa Menteri Agama Munawir Sjadzali sebagai penggagas pertamanya. Berbeda dengan itu, disebutkan seakan-akan ide gagasan tersebut berasal dari pemikiran K.H. Ibrahim Hosein yang disampaikan kepada H. Bustanul Arifin.
            Ketua Mahkamah Agung Kali Said menyarankan untuk meminta dana ke Soeharto. Bustanul Arifin dipercaya untuk membuat konsep permohonannya. Dalam surat usulan itu antara lain dijelaskan bahwa perbedaan pendapat dikalangan umat Islam dan pertentangan mereka terhadap kebijakan pemerintah bersumber dari persepsi yang beragama tentang syariat. Oleh karena itu persepsi itu harus diseragamkan, antara lain melalui Kompilasi Hukum Islam. Selama persepsi tentang Syariah belum seragam, Pancasila tidak akan aman. Ternyata optimisme Ali Said terbukti setelah Ketua Mahkamah Agung Ali Said, Menteri Agama Munawir Sjadzali dan Ketua Muda Lingkungan Peradilan Agama Bustanul Arifin bertemu dengan Soeharto. Pada pertemuan itu, Soeharto berkomentar “Kalau kita sendiri mampu mengapa mesti minta ke pihak lain” kata Bustanul menirukan ucapan Soeharto.
            Gagasan ini terealisir dengan lahir surat keputusan bersama Ketua Mahkamah Agung dan menteri agama RI No. 07/KMA/1985 tanggal 25 Maret 1985 membentuk sebuah panitia yang diberi tugas melaksanakan KHI dan menyusunnya ke dalam sebuah kitab hukum secara sistematis untuk menjadi pegangan: 1) Hakim-hakim agama juga hakim-hakim dilingkungan peradilan lain serta 2) Masyarakat terutama masyarakat muslim Indonesia yang mencari keadilan di badan peradilan agama.
            Kompilasi Hukum Islam bukan termasuk dalam hierarki peraturan perundang-undangan, bukan pula hukum tertulis meskipun ia dituliskan, bukan UU, bukan Peraturan Pemerintah, bukan Keputusan Presiden dan seterusnya. KHI menunjukkan adanya hukum tidak tertulis yang hidup secara nyata dalam kehidupan sehari-hari sebagian besar rakyat Indonesia yang beragama Islam dan apabila nantinya diperlukan oleh masyarakat bisa menelusuri norma-norma hukum yang ada di dalam KHI baik didalam maupun diluar pengadilan.
            Sebelum Instruksi Presiden No. 1 tahun 1991 dikeluarkan banyak pihak yang menghendaki agar KHI ditetapkan dengan keputusan presiden atau dengan peraturan pemerintah, dan juga yang menghendaki agar ditetapkan dengan UU.
            Menurut Rahmat Djatnika, Kompilasi Hukum Islam tidak melalui DPR karena melalui DPR akan mengalami kesulitan. Karena itu Mahkamah Agung menggunakan jalan pintas bersama-sama tepat untuk menggolkan kompilasi, dengan restu presiden.
            Kedudukan Kompilasi Hukum Islam yang terdapat dalam Instruksi Presiden No. 1 tahun 1991 yang telah diterima baik oleh para alim ulama Indonesia yang penyebar luasnya diinstruksikan oleh Presiden dan menteri agama serta materinya dituangkan dalam bentuk luar dan formatnya seperti layaknya suatu batang tubuh peraturan perundang-undangan.[14]








BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
-        Politik hukum adalah kebijakan dasar yang menentukan arah, bentuk, maupun isi hukum yang akan dibentuk.
-        UU No. 14 Tahun 1970 Tentang Pokok-pokok Kekuasaan Kehakiman, lahir dengan perdebatan antara beberapa fraksi tentang Peradilan Agama mendapat kekuasaan kehakiman sendiri/ khusus dan itu berefek pada tidak adanya equality before the law.
-        UU No. 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan, lahir dengan perdebatan yang panjang karena RUU yang dibuat tidak sesuai dengan ajaran Islam dan jika bertentangan dengan suatu agama maka itu tidak sesuai dengan Pancasila. Karena masalah itulah maka timbul pertentangan dari tokoh-tokoh besar Islam dan aksi dari umat Islam itu sendiri. Setelah melalui loby-loby politis PPP berhasil meloby presiden Soeharto dan Fraksi Golkar dan ABRI untuk mendukung RUU Perkawinan yang sesuai dengan ajaran Islam hingga di legalkannya UU No. 1 Tahun 1974.
-        UU No. 7 Tahun 1989 Tentang Peradilan Agama, lahir dengan perdebatan yang datangnya dari Fraksi PDI, mereka berpendapat bahwa seharusnya Indonesia hanya memiliki satu hukum saja demi menjamin kepastian hukum. Dan juga banyak konflik yang datang dari tokoh-tokoh Katolik. UU ini lahir karena adanya dukungan dari Soeharto dan fraksi PPP, Golkar dan ABRI.
-        Kompilasi Hukum Islam lahir karena tidak ada nya rujukan pasti di Peradilan Agama, karena pada saat itu Peradilan Agama dalam memutuskakn perkara merujuk kepada kitab-kitab fiqh yang terdiri dari 13 kitab. Karena alasan itulah Busthanul Arifin menggagas pemikiran untuk melahirkan Kompilasi Hukum Islam walaupun ada perbedaan pendapat tentang penggagasnya ada pendapat penggagasnya yaitu menteri agama pada saat itu Munawir Syadzali, ada juga pendapat bahwa ide itu datang dari K.H. Ibrahim Hosein. Dari alasan tersebut maka Ketua Mahkamah Agung RI pada saat itu yaitu Ali Said dan Busthanul Arifin sebagai hakim agung MA bertemu dengan Soeharto dan meminta agar Kompilasi Hukum Islam ini teralisasikan. Akhirnya setelah penyusunan Kompilasi Hukum Islam selesai, Soeharto mengeluarkan instruksi dalam Inpres No. 1 Tahun 1991 Tentang Kompilasi Hukum Islam.















DAFTAR PUSTAKA
Djalil, A. Basiq. 2010. Peradilan Agama di Indonesia. Jakarta: Kencana.
Halim, Abdul. 2008. Politik Hukum Islam di Indonesia. t.t: Badan Litbang & Diklat          Departemen Agama.
MD, Moh. Mahfud. 2014. Politik Hukum di Indonesia. Jakarta: Rajawali Pers.
Rahardjo, Satjipto. 2015. Ilmu Hukum. Bandung, PT Citra Aditya Bakti.


                [1] Moh. Mahfud MD, Politik Hukum di Indonesia, (Jakarta: Rajawali Pers, 2014), hlm. 1.
                [2] Satjipto rahardjo, Ilmu Hukum, (Bandung, PT Citra Aditya Bakti, 2015), hlm. 397-298.
                [3] A. Basiq Djalil, Peradilan Agama di Indonesia, (Jakarta: Kencana, 2010), hlm 79-81.
                [4] Abdul Halim, Politik Hukum Islam di Indonesia, (t.t: Badan Litbang & Diklat Departemen Agama, 2008), hlm 172-192.
                [5] Abdul Halim, Politik Hukum Islam di Indonesia, hlm 192-201.
                [6] Abdul Halim, Politik Hukum Islam di Indonesia, hlm 201-207
                [7] Abdul Halim, Politik Hukum Islam di Indonesia, hlm 218-228.
                [8] Abdul Halim, Politik Hukum Islam di Indonesia, hlm 218-228.
                [9] Abdul Halim, Politik Hukum Islam di Indonesia, hlm 235-238.
                [10] Abdul Halim, Politik Hukum Islam di Indonesia, hlm 238-242.
                [11] Abdul Halim, Politik Hukum Islam di Indonesia, hlm 242-244.
                [12] Abdul Halim, Politik Hukum Islam di Indonesia, hlm 244-254.
                [13] Abdul Halim, Politik Hukum Islam di Indonesia, hlm 254-257.
                [14] Abdul Halim, Politik Hukum Islam di Indonesia, hlm 257-267.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar